bab v sketsa jaringan islam tradisional di...

32
63 BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI PEKALONGAN Kaum Nahdiyin sebagai Basis Jaringan Islam Tradisional Istilah Nahdiyin berasal dari bahasa Arab yang berarti umat Nahdatul Ulama. Sedangkan Nahdlatul Ulama dalam bahasa arab berasal dari kata Nahdlah yang berarti bangkit atau bergerak, dan Ulama atau Alim (kata jamaknya) memiliki arti yang mengetahui atau berilmu. Sehingga Nahdlatul Ulama (kebangkitan Ulama) memiliki pengertian gerak serentak para ulama dalam satu pengarahan atau gerakan bersama-sama yang terorganisir. Dengan demikian Istilah kaum Nahdiyin secara populer dipakai untuk menyebut pengikut atau warga Nahdlatul Ulama. Di beberapa daerah Warga NU sering diistilahkan dengan “kaum sarungan” 1 . Kedua istilah ini dipergunakan di Pekalongan, namun istilah kaum Nahdiyin lebih sering dipakai khususnya dalam penyebutan resmi. Menurut Dhofier (1994) dan Budhy Munawar Rachman (2010), NU dikenal sebagai bagian dari Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran para ulama yang ahli fiqih (hukum Islam), ahli hadis, tafsir, tauhid, dan tasawuf yang hidup dan menyebarkan agama Islam di Indonesia antara abad ke tujuh hingga abad ke XIII. Sebagai bagian dari Islam tradisional, NU menampakkan identitasnya didalam lambangnya yang 1 Istilah kaum sarungan ini mengacu pada kebiasaan umat NU yang dalam berbagai ritual keagamaan hadir dengan pakaian khas yaitu sarung. Sarung juga menjadi pakaian sehari dilingkungan pesantran. Hal ini pulalah yang memberi pembeda dengan kelompok Islam lainnya seperti Muhammadiyah. Istilah kaum sarungan menguatkan identitas NU sebagai kelompok Islam tradisional yang memegang teguh pada tradisi- tradisi yang lama berkembang dimasyarakat. Berbeda dengan Muhammadiyah yang ketika sholat Jumat (misalnya) mereka kebanyakan menggunakan celana panjang dan berpenampilan modern.

Upload: ngokiet

Post on 09-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

63

BAB V

SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI

PEKALONGAN

Kaum Nahdiyin sebagai Basis Jaringan Islam Tradisional

Istilah Nahdiyin berasal dari bahasa Arab yang berarti umat

Nahdatul Ulama. Sedangkan Nahdlatul Ulama dalam bahasa arab

berasal dari kata Nahdlah yang berarti bangkit atau bergerak, dan

Ulama atau Alim (kata jamaknya) memiliki arti yang mengetahui atau

berilmu. Sehingga Nahdlatul Ulama (kebangkitan Ulama) memiliki

pengertian gerak serentak para ulama dalam satu pengarahan atau

gerakan bersama-sama yang terorganisir. Dengan demikian Istilah

kaum Nahdiyin secara populer dipakai untuk menyebut pengikut atau

warga Nahdlatul Ulama. Di beberapa daerah Warga NU sering

diistilahkan dengan “kaum sarungan”1. Kedua istilah ini dipergunakan

di Pekalongan, namun istilah kaum Nahdiyin lebih sering dipakai

khususnya dalam penyebutan resmi. Menurut Dhofier (1994) dan

Budhy Munawar Rachman (2010), NU dikenal sebagai bagian dari

Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran para

ulama yang ahli fiqih (hukum Islam), ahli hadis, tafsir, tauhid, dan

tasawuf yang hidup dan menyebarkan agama Islam di Indonesia antara

abad ke tujuh hingga abad ke XIII. Sebagai bagian dari Islam

tradisional, NU menampakkan identitasnya didalam lambangnya yang

1 Istilah kaum sarungan ini mengacu pada kebiasaan umat NU yang dalam berbagai ritual keagamaan hadir dengan pakaian khas yaitu sarung. Sarung juga menjadi pakaian sehari dilingkungan pesantran. Hal ini pulalah yang memberi pembeda dengan kelompok Islam lainnya seperti Muhammadiyah. Istilah kaum sarungan menguatkan identitas NU sebagai kelompok Islam tradisional yang memegang teguh pada tradisi-tradisi yang lama berkembang dimasyarakat. Berbeda dengan Muhammadiyah yang ketika sholat Jumat (misalnya) mereka kebanyakan menggunakan celana panjang dan berpenampilan modern.

Page 2: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

64

memunculkan bintang berjumlah sembilan sebagai tanda keterikatan

yang kuat dengan ajaran wali songo (wali sembilan) yang ajarannya

telah hidup sejak sekitar abad ke VII. 2

NU sebagai organisasi keagamaan secara formal terbentuk sejak

tahun 1926 di Kampung Kertopaten, Surabaya, Jawa Timur. Beberapa

responden mengemukakan bahwa NU merupakan pelembagaan dari

pesantren tradisional yang jauh sebelumnya telah ada dan menjadi

tulang punggung dalam memperjuangkan sistem keyakinan yang

berpegangan pada amal ubudiyah (relasi dengan Tuhan) dan

mu‟amalah (relasi antar manusia) dalam paham Ahlus Sunnah wa al-

Jama‟ah (Aswaja) serta berpegang pada salah satu dari 4 mazhab, yaitu:

Syafi‟i, Maliki, Hanafi dan Hambali.3 Pelembagaan ini muncul ketika

menyikapi perkembangan sosial politik Islam di Hijaz (Saudi Arabia).

Kemenangan Ibnu Saud (penguasa Najed) atas Syarif Husen (peguasa

Hijaz) pada tahun 1924 di tanah hijaz yang mencakup Makkah dan

Madinah, membawa kekawatiran akan berdampak pada Islam di

Indonesia. Kemenangan Ibnu Saud yang beraliran Wahabi membuat

kecemasan di kalangan ulama Ahlissunah wal Jama‟ah karena mulai

tersiar kabar tentang pelarangan ziarah ke makam Nabi, pembongkaran

makam Nabi dan sahabat, pelanggaran kemerdekaan bermadzhab di

wilayah Hijaz, dan lain-lain.

Keberadaan pesantren-pesantren tua seperti pondok pesantren

Bahrul Ulum Tambak Beras di Jombang yang berdiri sejak Tahun 1825,

Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang yang berdiri tahun 1899, dan

masih banyak lagi pondok-pondok pesantren lain yang telah

memunculkan pondok–pondok pesantren di berbagai daerah di

Indonesia menjadi modal bagi terbentuknya NU kala itu. Atau dengan

kata lain bahwa NU mewadahi lembaga pesantren yang sebelumnya

telah ada. Ketika pendirian NU ada sekitar 50 pesantren dari berbagai

2 Wawancara dengan Kyai Sonwasi Ridwan (Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Salatiga) pada tanggal 25 Mei 2011. 3 Ibid, wawancara dengan Kyai Sonwasi Ridwan, 25 Mei 2011.

Page 3: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

65

daerah di Indonesia menyatakan ikut menjadi bagian dari organisasi

keagamaan ini.

Mayoritas umat Islam di Pekalongan adalah warga Nahdiyin.

Sebagai penanda bahwa kaum Nahdiyin sangat dominan di Pekalongan

antara lain dapat dilihat dari maraknya pelaksanaan amaliyah harian

warga Muslim setempat seperti tahlilan, haul, diba‟an, barzanjian, dalailan, thoriqohan dan lain sebagainya yang sebagai ritus keagamaan

umumnya sangat kuat dilakukan oleh orang-orang NU.

Perkembangan NU di Pekalongan

Tidak diperoleh informasi yang dapat memastikan kapan secara

formal mulai berkembangnya NU di Pekalongan. Namun bahwa

Pekalongan merupakan salah satu kantong penting bagi perkembangan

NU, nampak dengan Pekalongan menjadi tempat penyelenggaraan

muktamar NU ke V pada tahun 1930. Menurut dugaan salah seorang

responden yang menjadi aktivis NU pekalongan, dipilihnya Pekalongan

menjadi tempat penyelenggaraan Muktamar ke V itu karena adanya

kedekatan para kyai, ulama dan tokoh-tokoh pekalongan masa itu

dengan Ulama Besar Jawa Timur yang menjadi pendiri NU. Bahkan ada

anggapan bahwa adanya hubungan antara Kyai Pekalongan dengan

Kyai Jawa Timur yang sudah terbangun sejak lama, maka NU

Pekalongan sudah terbentuk sejak awal berdirinya NU pada tahun

1926. Kyai-kyai legendaris Pekalongan yang memiliki peran besar bagi

kemunculan NU di Pekalongan diantaranya Kyai Amir dari Pesantren

Simbang Kulon-Buaran, Pekalongan, (yang konon memiliki kedekatan

dengan ulama Jawa Timur melalui kebersamaan berguru di Mekah dan

ketika mondok di Termas-Pacitan); Kyai Fahdlun, dan beberapa kyai

lagi. Dalam perkembangan selanjutnya ada Kyai Safe‟i dari Pringlangu,

dan Kyai Akrom Kasani yang memiliki peran besar ketika organisasi

NU masuk dalam politik. Sejalan dengan itu tokoh NU seperti Gus Dur

juga sering berkunjung ke Pekalongan. Menurut ceritara yang hidup di

Pekalongan setiap kali Gus Dur ke Pekalongan untuk urusan NU dia

sering kali diantar dengan diboncengkan Vespa oleh Pak Mahmud

Maskur ketua pengurus NU Pekalongan

Page 4: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

66

Struktur kepengurusan organisasi NU di Pekalongan saat ini

sudah terbentuk dari tingkat Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten),

Majelis Wakil Cabang (tingkat Kecamatan) dan Pengurus Ranting

(tingkat Desa/Kelurahan) berikut perangkat keorganisasiannya seperti

Muslimat, Fatayat, GP Anshor, Lakpesdam NU, PMII, IPNU, IPPNU

Lesbumi, dll. Di bidang pendidikan melalui lembaga Ma‟arif NU

menaungi sekolah-sekolah yang didirikan oleh individu-individu

(umat NU) yang di daftarkan menjadi bagian dari Ma‟arif NU. Lembaga

pendidikan MI (Madrasah Ibtidaiyah) yang dikelola NU berjumlah 87

buah, sedangkan lembaga setingkat PAUD/TK (Raudhatul Athfal)

berjumlah 200 buah,

Dari data statistik yang dihimpun oleh Kantor Kemenag

(Kementrian Agama) Kota Pekalongan, jumlah LPQ di Kota

Pekalongan tahun ajaran 2016-2017 berjumlah 206 LPQ yang hampir

semuannya berafiliasi dengan NU. Selain itu di Pekalongan terdapat 33

pesantren dan sekitar 30 buah majelis taklim , yang sebagian besar

bernaung di bawah organisa NU.

Menurut salah seorang pengurus harian NU Kota Pekalongan

salah satu peran orgnaisasi NU di Pekalongan saat ini adalah

membangun jembatan antara masyarakat yang membutuhkan bantuan

di bidang ekonomi dan kesehatan dengan program-program

pemerintah yang terkait. Mekanisme kerja dari bidang ini, yaitu

mempergunakan jaringan ranting NU yang ada di tiap kelurahan. Tugas

ranting adalah untuk mengorganisir, mendata, melakukan pemetaan,

dan menginventarisir kebutuhan warga miskin. Dari data ini kemudian

di-share-kan ke tingkat cabang untuk dilakukan pendataan. Tingkat

cabang akan mencari pihak-pihak yang memiliki program terkait

dengan kebutuhan, bisa lembaga pemerintah maupun swasta. (relasi

kerjasama ini berbeda di masa sebelum reformasi, dimana relasi

kerjasama ini tidak mungkin dilakukan). Di ranting, mereka tidak

hanya menunggu program dari cabang namun berinisiatif dengan

mencari dukungan dari pengusaha-pengusaha lokal yang bersedia

untuk beramal. Ranting telah memiliki data dari pengusaha-pengusaha

Page 5: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

67

yang bersedia untuk melakukan sedekah atau zakat. Aktifitas bersama

pengusaha-pengusaha lokal untuk upaya kesehatan dan pendidikan ini

sudah berlangsung sejak 2007. Pada tahun 2012 muncul lembaga infaq

yang disebut LAZISNU (Lembaga Amal Zakat Infaq Sodakoh NU).

Lembaga ini menampung dana sedekah dari para pengusaha yang

sebelumnya langsung kepada ranting namun dengan adanya lembaga

ini alurnya menjadi berubah, yaitu melalui lembaga ini kemudian

bekerjasama dengan ranting disalurkan untuk kepentingan pendidikan

dan kesehatan. Dengan demikian ranting NU tidak lagi berhubungan

langsung dengan pengusaha tetapi melalui lembaga ini. Hanya pada

kegiatan-kegiatan yang bersifat isidentil maka para pengusaha tersebut

akan di hubungi untuk mendapatkan dukungan dana. Lembaga infaq

NU ini diluar lembaga infaq yang diselenggarakan oleh pemerintah,

hanya saja lembaga ini menggunakan aturan-aturan yang dikeluarkan

oleh pemerintah untuk mengatur lembaganya yaitu BASNAS (Badan

Amal Sakat Nasional) yang keberadaannya ada sampai ke kota dan

kabupaten. Perlu dicatat bahwa lembaga zakat ini juga ada di

Muhammadiyah dengan sebutan LAZISMU dengan perbedaan pada

huruf “m” untuk Muhammadiyah.

Untuk kebutuhan dana operasional organisasi NU Pekalongan,

dana didapat dari Baitulmal Wadanir (unit kerja koperasi yang

didirikan oleh beberapa warga NU), dan BMT MTS NU (Koperasi NU).

Di BMT MTS NU sudah ada kesepakatan sejak dulu bahwa prosentase

dari hasil diberikan kepada Organisasi NU setiap akhir tahun. Dana NU

juga didapat dari pemotongan 50% honor sebagai pengurus Koperasi

NU. Ada komitment dari pengurus untuk ikut menyumbang bagi

perkembangan organisasi. Nilai solidaritas dan keinginan untuk

mengembangkan organisasi NU tinggi dikalangan pengurus dan umat

Nahdiyin melalui sumbangan-sumbangan tersebut.

Di NU, proses keterlibatan seseorang dalam organisasi di bawah

NU ditentukan oleh pengamatan para sesepuh (tokoh) lokal. Para

sesepuh ini akan mengamati keaktifan pemuda-pemuda

dilingkungannya untuk kemudian melakukan pengkaderan secara tidak

Page 6: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

68

formal. Zaenal misalnya, mengaku bahwa dia bisa terlibat di

pengurusan NU dimulai karena keaktifannya di dalam organisasi di

bawah NU. Zaenal tidak memiliki latar belakang pesantren, dan hanya

bersekolah di sekolah-sekolah umum Islam. Di masa SMA, ketika itu

bersekolah di SMA Salawiyah Sari, ia aktif dalam oraganisasi

dikampungnya. Zaenal kemudian masuk ke IPNU selama 2 tahun di

kelurahannya (kampungnya). Setelahnya, karena ada Maskesta (Masa

Kesetiaan Anggota/semacam pendadaran aktifis muda NU) yang

dilakukan oleh para senior di Ansor, Zaenal kemudian ditarik masuk ke

Ansor tingkat ranting yang ada di kelurahannya. Pada tahun ke tiga,

Zaenal kemudian menjadi ketua Ansor ranting. Perlu dicatat bahwa

dalam kepengurusan NU di pekalongan pengaruh para kyai masih

sangat penting terutama dalam memberikan referensi agar seseorang

dapat duduk dalam kepengurusan NU. Dalam hal ini kepengrusan NU

tidak lagi harus dari lingkungan pesantren. Namun demikian umumnya

mereka berasal dari lingkungan anak ketururunan dari keluarga aktivis

NU. Sebagai contoh, Zaenal menjadi pengurus NU antara lain

dikarenakan orang tuanya memiliki latar belakang tradisi NU kuat. Ibu,

Bapak dan nenek Zaenal adalah tokoh-tokoh NU. Ibu Zaenal pernah

menjadi ketua muslimat ranting dan pernah juga ketua muslimat

tingkat kota/cabang pada tahun 1985. Neneknya pernah menjadi ketua

ranting partai NU pada tahun 50 an. Sedangkan Bapaknya merupakan

anggota Banser di tahun 1960. Kemudian adik dari Ibunya adalah

sekretaris muslimat NU pada tahun 1983, dan pernah menjadi utusan

untuk mengikuti muktamar NU di Situbondo tahun 1984 (ketika NU

kembali ke qitah).

Nilai-nilai Pegangan Warga Nahdiyin

Untuk menjadi warga nahdiyin tidak diperlukan administrasi

keanggotaan formal. Seperti dikatakan oleh salah seorang responden:

“Tiap orang yang memiliki komitment dan keyakinan terhadap tradisi-tradisi yang ada di NU bisa dikatakan sebagai warga Nahdiyin. Yang terpenting untuk menjadi seorang NU, adalah adanya komitment dan kepatuhan kepada kyai setempat atau Kyai NU dalam kaitannya dengan kaidah dan syariat

Page 7: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

69

keagamaan sesuai dengan Al sunah Wal Jamaah ala Nahdiyin seperti tawasuth (moderat) sebagai sikap dasar yang dikembangkan NU selain tawadhu‟ (rendah hati), tasamuh (lapang dada), dan tawazun (hati-hati).” 4

Dalam menjalankan nilai-nilai Al sunah Wal Jamaah kaun

Nahdhiyin berpegang teguh pada prinsip “Al-Mukhafadotu bil qodimissolih Wah akhdu bil jadidil Aslah”, yang artinya “memelihara

yang dahulu yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”

dengan demikian hal-hal yang dulu seperti tradisi, budaya-budaya yang

dilakukan oleh para ulama Islam terdahulu tetap dirawat dan

dijalankan. Termasuk didalam tradisi itu adalah praktek keseharian

dalam kehidupan keagamaan yang sesungguhnya lebih merupakan

tradisi lokal seperti nyadran, bersih kubur, slametan, ruwatan, netonan,

dan melakukan amalan-amalan seperti tahlilan, haul, diba‟an,

barzanjian, dalailan, thoriqohan.

Salah satu nilai yang dijunjung tinggi dikalangan NU adalah

penghormatan yang tinggi kepada guru (terutama kepada guru yang

mengajarkan agama kepadanya), orang tua, dan kyai. Nilai taklit

mengajarkan kepada para santri (murid) untuk tunduk dan taat

mengikuti pendapat para kyai tanpa bertanya terlebih dahulu. Nilai ini

menjadikan kedudukan para kyai, habaid, dan tokoh agama sangat

dominan dan menjadi panutan dalam kehidupan sosial, keagamaan

kaum nahdliyin. Hanya saja dalam sejarah Pekalongan penghormatan

dan ketaatan kepada para kyai itu pernah diciderai oleh apa yang

disebut oleh J Mardimin sebagai „perlawanan politik santri‟. yang

menjadi pertanda pudarnya kewibawaan dan pengaruh kyai di

Pekalongan sebagai akibat dari konflik PPP dan PKB tahun 1998.

Dalam peristiwa konflik politik itu beberapa kyai kharismatik dihujat,

dicemooh, bahkan diancam untuk diculik, suatu keadaan yang dalam

kultur NU tak dapat diterima.

Perkembangan kaum nahdhiyin tidak lepas dari pembentukan

ketaatan dan pola pikir agamis masyarakat melalui sebuah mekanisme

4 Wawancara dengan Zaenal

Page 8: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

70

sosial budaya yang tidak pernah putus dan lintas generasi. Dalam hal

ini proses pembentukan itu muncul dari sistem pendidikan dan

pengajaran agama yang dibangun dalam keluarga, lingkungan tempat

tinggal, dan dilembaga-lembaga pendidikan yang dikembangan oleh

masyarakat seperti pesantren, majelis taklim, alib-aliban (belajar

membaca arab) di langgar dan masjid di kampung-kampung. Lebih lagi

di jaman sekarang madrasah juga memegang peranan pendidikan

agama. Lembaga-lembaga pendidikan ini tampaknya memegang

peranan penting bagi terbentuknya komunitas muslim dalam

memegang sistem keyakinannya. Banyak keluarga muslim di

Pekalongan mengajarkan pendidikan agama mulai pada saat anak-anak

mereka masih kecil. Pada umumnya setelah dewasa mereka masih

ingat saat-saat mereka dibangunkan pada pagi buta untuk diajak sholat

subuh, atau pada sore hari setelah magrib mereka belajar alib-aliban

dilanggar, di mushola atau diteras masjid bersama teman-teman

sebayanya.

Peran orang tua dalam pendidikan Islam bagi anak-anak mereka

merupakan tugas yang diwajibkan oleh agama dan telah membentuk

sebuah rantai yang tidak putus. Para orang tua mengalami pengalaman

dan suasana pendidikan yang sedemikian sejak masa kanak-kanak dan

akan menurunkan pada anak-anaknya. Ada pola umum internalisasi

ajaran Islam tradisional pada individu yang berimplikasi pada

pembentukan tatanan keyakinan dalam masyarakat, yang kemudian

menjadi basis ikatan primordial dalam jaringan Islam Tradisional.5

Mulai dari pembentukan nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari

dalam keluarga dan kemudian merembes dan melembaga di komunitas

yang lebih luas melalui berbagai jaringan keagamaan.

5 Bandingakan misalnya uraian dari Britt Dale dalam “Using an Institutionalist Approach as Analytic Framework in Regional Studies”, University of Oslo, 2002.

Page 9: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

71

Jaringan Dakwah: komitmen mempertahankan tradisi

keislaman

Dalam kehidupan sehari-hari kaum Nahdiyin dakwah

merupakan penegakan atau penjagaan terhadap nilai dan tradisi Islam.

Kata Dakwah berasal dari bahasa Arab da‟wah yang memiliki arti

sebuah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil

orang untuk beriman dan taat kepada Allah sesuai dengan garis aqidah,

syari‟at dan akhlak Islam.6 Yang kedua, memiliki arti penegakan atau

penjagaan terhadap nilai dan tradisi Islam. Dengan pengertian dakwah

sangat luas, mencakup berbagai kegiatan pendidikan, pengajaran,

penegakan dan penjagaan tradisi ritual dan sebagainya. Berikut akan

diuraikan beberapa jaringan dakwah yang ditemui di Pekalongan yaitu

jaringan majelis taklim, jaringan pesantren dan jaringan tarekat.

Jaringan Majelis Taklim

Dalam Islam majelis dapat berarti tempat perkumpulan, dewan,

dan tempat sidang. Sedangkan ta‟lim atau taklim didalam bahasa arab

artinya masdar atau dalam kata kerja memiliki arti pengajaran.

Sehingga majelis taklim dapat diartikan sebagai tempat berkumpul

untuk orang belajar dan mengajar tentang agama.

Majelis taklim dapat dikatakan sebagai sebuah jaringan

komunitas lokal yang tumbuh di tengah masyarakat lokal. Ia tumbuh

sebagai sebuah kelembagaan dakwah yang bersifat informal. Bentuk

organisasinya pun longgar, dalam artian tidak ada struktur dan aturan-

aturan ketat yang tertulis dan baku. Tidak ada sistem administrasi yang

diberlakukan dalam penyelenggaraan majelis taklim, sehingga siapapun

bisa ikut dalam majelis taklim ini. Hanya saja karena hampir di setiap

kampung terdapat majelis taklim maka yang mengikuti majelis taklim

ini terbatasi dengan sendirinya hanya warga kampung saja.

Sebagai tempat pengajaran agama, dalam majelis taklim ada

guru dan murid. Ada materi-materi yang telah disiapkan dari kitab-

6 https://id.wikipedia.org/wiki/Dakwah

Page 10: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

72

kitab tertentu sebagai bahan pengajaran. Ada rutinitas waktu

penyelenggaraan majelis taklim tergantung dari kesepakatan yang

dibuat antara guru dan murid.

Relasi antara guru dan murid pada majelis taklim yang bersifat

lokal ini, menunjukkan relasi yang kuat. Tidak hanya sebatas pada

relasi murid dan guru, tetapi juga relasi pertemanan dan perkerabatan

juga melingkupinya. Ini terjadi karena yang menjadi guru adalah

anggota warga kampung tersebut, yang karena telah mengecap ilmu

keagamaan dari pesantren atau majelis taklim lainnya sehingga

dianggap warga mampu untuk mengajar agama. Menurut informasi

dari salah seorang responden, kedekatan relasi ini sangat tampak ketika

misalnya murid yang tidak diketahui sebabnya tidak hadir dalam

majelis taklim beberapa kali, maka guru (kyai langgar7) akan

mengunjungi murid tersebut.

Dengan adanya kedekatan tidak hanya sebagai guru dan murid

tetapi juga sebagai bagian dari anggota masyarakat itu sendiri, sangat

dimungkinkan tingkat kepercayaan warga kampung terhadap kyai

lokal ini kuat, dan menjadi tempat rujukan utama dari warga kampung.

Sebagai contoh, Zaenal (salah seorang responden) menceritakan bahwa

walaupun ia sebagai orang yang mengenal banyak kyai karena

keaktifan dalam organisasi NU namun saran utama yang akan diikuti

adalah Kyai Langgar di kampungnya dimana sejak kecil ia belajar

mengaji dan mengenal Islam.

Dalam perkembangan, majelis taklim yang awalnya memiliki

ruang lingkup lokal sebatas kampung dapat meluas dengan kehadirian

orang-orang dari luar kampung hingga luar kota, propins, dsb.

Kehadiran orang-orang luar kampung ini, menurut beberapa

responden seperti Kyai Zakaria dan Zaenal disebabkan karena

informasi yang menyebar dari kerabat dan teman karena ada kekhasan

dari majelis taklim tersebut. Kekhasan ini bisa karena metode yang

digunakan atau kitab khusus yang diajarkan. Sebagai contoh majelis

7 Kyai langgar dipakai Pradjata untuk menunjuk pada guru ngaji yang ada di langgar-langgar di desa Tayu.

Page 11: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

73

taklim yang cukup terkemuka dimasa orde baru dan memiliki

pengaruh cukup kuat, yaitu majelis taklim yang diasuh oleh Kyai

Abdul Fatah Tohir di Kradenan. Kyai Abdul Fatah Tohir merupakan

ayah dari Kyai Tohir yang merupakan salah satu tokoh PPP dikala itu.

Majelis taklim ini memiliki kekhasan yaitu mengajarkan kitab eliyak

(imam Gozali) yang merupakan ajaran tasawuh. Dan konon kata Kyai

Zakaria, para kyai akan merasa belum sempurna jika tidak mempelajari

kitab eliyak dan bisa dikatakan sebagai syarat sebagai seorang yang

akan memimpin pesantren.

Dalam beberapa kasus, perkembangan jaringan lokal

merupakan awal bagi perkembangan aktor. Kemunculan aktor di

dibidang dakwah berawal dari pembangunan jaringan di aras lokal,

kemudian meluas masuk dalam jaringan dakwah diaras lintas lokal.

Jaringan Pesantren

Berbeda dengan majelis taklim di langgar-langgar kampung

yang sifat jaringannya lokal, pesantren memiliki sifat jaringan lintas

lokal atau wilayah. Artinya relasi antar pesantren cenderung terbangun

dengan pesantren-pesantren di luar kota, bahkan hingga daerah-daerah

yang jauh. Sering terjadi pesantren-pesantren di satu daerah tidak

memiliki jaringan satu sama lain.

Jaringan pesantren ini ditentukan melalui hubungan pesantren

tertentu dengan pesantren induknya. Kecenderungannya adalah

jaringan ini ditentukan oleh hubungan dimana tokoh-tokoh dari suatu

pesantren pernah mengecap ilmu. Sebagai satu contoh, pesantren Al-

Mubarok yang terletak di Jl. Setia Bakti 166, Medono, Kota Pekalongan

yang saat ini diasuh oleh Kyai Zakaria Anabas. Pondok pesantren ini

memiliki sejarah kedekatan dengan beberapa pesantren diawali dari

perjalanan mencari ilmu oleh tokoh-tokohnya. Berikut ini sepenggal

cerita dari Kyai Zakaria terkait dengan perjalanan Kyai Anshor (Ayah

Kyai Zakaria) tokoh pendiri dalam menimba ilmu.

“Cerita bermula dari keinginan Ayah Kyai Zakaria (Kyai Anshor) untuk mondok di pondok pesantren Payaman Magelang. Keinginan Kyai Anshor untuk mondok ini muncul

Page 12: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

74

setelah mendengar cerita tentang pengalaman kehidupan pesantren dari pamannya, yang baru pulang dari mondok di pesantren Payaman. Atas niat bulat dari Kyai Anshor, tanggal 2 Februari 1954 Kyai Anshor datang ke Pesantren di Payaman-Magelang, dan tinggal di pesantren tersebut.

Serasa cukup menimba Ilmu di pesantren di Payaman-Magelang, pada tahun 1958 kyai Anshor bersama beberapa temannya memutuskan untuk melanjutkan menimba ilmu agama di sebuah pesantren di daerah Mangkang-Semarang.

Namun karena Kyai Anshor memiliki pertimbangan lain, di Mangkang-Semarang ia hanya tinggal selama 8 bulan, dan pada tahun yang sama (1958) ia pun kemudian memutuskan untuk pindah ke Pesantren Tebu Ireng di Jombang-Jawa Timur. Hingga tahun 1962 ia memutuskan untuk kembali ke Pekalongan.

Sekembalinya Kyai Anshor ke kampung halamannya di pekalongan, ia kemudian mengikuti tarekat Naqsyabandiyah di Petarukan-Pemalang dengan gurunya yaitu Kyai Mi‟ad. Dari keterlibatan Kyai Anshor di tarekat ini lah, kemudian beberapa santri lain yang sama-sama mengikut tarekat ini menitipkan anak-anak mereka kepada kyai Anshor untuk belajar ilmu agama. Sehingga kemudian berkembang menjadi pesantren Al-Mubarok.”

Mencermati cerita perjalanan Kyai Anshor ini, tampak bahwa

Kyai Anshor telah mengecap ilmu dari beberapa pesantren, dan ini

yang membuat dirinya masuk kedalam jaringan pesantren. Hal ini

tampak dari perkembangan selanjutnya. dimana Kyai Anshor yang

memiliki tujuh anak kemudian mengirimkan anak pertamanya yaitu

Durwahid (Kakak Kyai Zakaria) untuk masuk ke pesantren di

Payaman-Magelang yang merupakan pesantren awal dari Kyai Anshor.

Jaringan pesantren yang mulai dibangun oleh Kyai Anshor

dengan salah satu pesantren induknya di Payaman Magelang ini

kemudian diperluas oleh Kyai Anshor. Perluasan jaringan ini dilakukan

dengan mengarahkan Kyai Zakaria beserta adik-adiknya untuk masuk

ke pesantren Al-Anwar di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Pesantren

Al-Anwar di Sarang-Rembang menjadi sebuah pilihan dari Kyai

Page 13: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

75

Anshor karena pesantren ini menjadi salah satu pesantren orientasi dari

Pesantren Tebu Ireng.

Dalam jaringan pesantren, pesantren orientasi (sanat/kiblat

keilmuan) merupakan sebuah simpul yang bisa menghubungkan satu

pesantren dengan pesantren lainnya. Tiap-tiap pesantren memiliki

pesantren yang menjadi orientasinya dan pesantren orientasinya ini

bisa berganti/bergulir tergantung siapa tokoh yang memimpin

pesantren saat itu. Seperti di Al Mubarok, ketika Kyai Anshor menjadi

pengasuh pondok maka yang menjadi salah satu pesantren orientasinya

adalah Tebu Ireng dengan guru rujukannya Kyai Hasyim, tetapi setelah

di pegang oleh Kyai Zakaria yang menjadi pesantren orientasinya

adalah Al-Anwar dengan guru rujukannya Kyai Maimun. Pesantren

orientasi ini akan menjadi rekomendasi bagi para santri di Pesantren

Al-Mubarok untuk meneruskan perjalanan pencarian ilmu.

Dengan demikian jaringan pesantren ini muncul didasari oleh

nilai ketaatan dan penghormatan pada guru oleh murid. Nilai ini

terbagun dari sistem pengajaran di pesantren. Mulai dari pembelajaran

kitab ta‟limulmuta‟alim pada saat santri masuk ke pesantren. Kitab

ta‟limulmuta‟alim berisikan tentang ajaran etika orang-orang berilmu.

Melalui kitab ini, santri akan diajarkan tentang bagaimana bersikap di

hadapan kyai, mengutarakan pendapat dan menghormati guru (kyai)

akan kapasitas keilmuannya.

Selain melalui kitab tersebut, kedekatan relasi antara kyai dan

murid juga muncul dari sistem pengajaran sorogan dan bandongan8

yang menjadi ciri khas dari pondok pesantren tradisional. Sistim

sorogan dan bandongan ini membangun ikatan personal secara

langsung antara kyai dengan santri. Sistem sorogan ini merupakan

sistim pengajaran dasar bagi santri pemula di pesantren. Walau dasar

tetapi sebenarnya memegang peranan penting dalam pembelajaran

selanjutnya, karena ditingkatan selanjutnya kelancar membaca dan

menulis Arab merupakan syarat dalam mengkaji kitab-kitab kuning.

8 Baca Dhofier, 1994, hal 28 – 29.

Page 14: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

76

Seorang kyai akan mendampingi santri secara personal dengan

berhadapan langsung. Jika santri salah dalam pengucapan ayat yang

sedang dibaca, kyai akan langsung memperbaiki hingga benar. Hal ini

dilakukan karena dalam pembacaan ayat suci Al‟Quran atau tulisan

arab dalam kitab-kitab kuning, kesalahan baca sekecil apapun bisa

berakibat fatal. Tiap laval bisa mengandung makna yang berbeda.

Untuk itu kyai melakukan verifikasi, atau istilah yang digunakan dalam

pesantren yaitu “tashih”. Dengan adanya tashih oleh guru, santri akan

merasa percaya diri untuk mememimpin majelis ta‟lim di kampung-

kampung, di langgar-langgar, di masjid-masjid, dll.

Lamanya seorang santri berada dalam sistim sorogan ini tidak

tentu, ada yang bisa menuntaskan dalam waktu singkat tetapi ada yang

bisa memakan waktu bertahun-tahun. Tidak ada batasan waktu belajar

di pesantren, semuanya tergantung dari tiap santri. Siang hingga malam

bagi santri pemula hal ini menjadi hal yang mereka lakukan secara

rutin hingga Kyai menganggap cukup dan memperbolehkan santri

tersebut masuk kedalam kelompok yang lebih tinggi.

Kelompok kajian yang lebih tinggi ini menggunakan sistem

bandonggan, yang artinya para santri masuk dalam kelas-

kelas/pengelompokan berdasarkan usia atau tingkatan keilmuan

masing-masing santri. Berbeda dengan sistem sorogan, dalam sistem

bandonggan santri tidak dituntut untuk maju ke depan kyai dan

mengucapkan ayat dalam kitab. Santri hanya mendengarkan penjelasan

dari kyai tentang terjemahan dan tafsir terhadap suatu ayat tertentu

yang sedang dipelajari, serta pemahaman mendalam tentang makna di

balik ayat-ayat yang dipelajari. Para santri akan memberi catatan

terhadap ayat-ayat dalam kitab kuning miliknya dengan menggunakan

bahasa jawa dengan tulisan arab.

Dalam kehidupan santri di pesantren, para santri tidak hanya

belajar tentang baca dan tulis arab serta pemahaman agama melalui

kitab-kitab yang ada. Tetapi para santri belajar juga cara hidup dan

pemikiran kyai yang ia hormati. Termasuk cara makan, minum,

beribadah, interaksi sosial, prilaku masuk-keluar ruangan, pakaian,

Page 15: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

77

menghadapi berbagai persoalan umat, dll. Sehingga seluruh

pengalaman hidup didalam pesantren lambat laun membangun

membentuk karakter dari para santri. Begitu juga tingkat percayanya

santri terhadap kebesaran kyainya akan semakin kuat.

Selama santri tinggal di Pesantren, Kyai merupakan orangtua

mereka dan santri lainnya adalah saudara mereka. Nilai persaudaraan

diantara santri sangat kuat, yang muncul karena mereka tinggal dan

beraktivitas bersama dalam kurun waktu yang cukup lama. Para santri

ini tidur berdesak-desakan dalam satu ruangan bersama-sama, belajar

bersama, memenuhi kebutuhan seperti makan dan minum secara

bersama-sama, dan mereka selalu berbagi apa yang mereka miliki. Dan

ikatan antar santri ini akan hidup terus walau para santri ini telah

kembali ke daerah masing-masing.

Dalam perkembangan saat ini, dimana tehnologi transportasi

dan telekomunikasi berkembang pesat, jaringan antar santri semakin

kuat dengan munculnya jaringan Almamater. Menurut Kyai Zakaria,

gejala menguatnya jaringan almamater (berdasarkan asal

keilmuan/pondok pesantren induk) baru-baru ini terjadi. Dulu tiap

pesantren walau sama-sama berasal dari pondok induk yang sama

jarang bertemu. Biasanya para pengasuh pondok melakukan

silahturami secara pribadi ke pondok pesantren induk pada saat

tertentu saja, seperti ketika hari raya Idul Fitri. Namun sekarang

dengan kemudahan telekomunikasi terutama dengan adanya HP

dengan fasilitas penunjang untuk terbangunnya relasi kelompok seperti

group WhatsApp, BBM, dll, maka link antar alumni sangat mudah

dibangun. Sekarang pesantren-pesantren tersebut membangun

wadahnya sendiri-sendiri di Pekalongan (Kota dan Kabupaten).

Beberapa almamter tersebut diantaranya yaitu dari Tebu Ireng, Al-

Anwar Sarang, Kaliwungu, Pesantren API Tegalrejo, dll. Paguyuban

berdasarkan almamater ini ada nama sendiri-sendiri seperti HIMA

(Himpunan Muhtarojin) merupakan kumpulan pondok yang memiliki

asal keilmuan dari PP Al Anwar Sarang, kemudian dari Lirboyo yaitu

HIMASA, dll.

Page 16: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

78

Silahturahmi antar beberapa Kyai pengasuh

pondok pesantren di Pekalongan

Kegiatan almamater ini biasanya dilakukan secara rutin, seperti

HIMA, dilakukan rutin satu bulan sekali. Bentuk acaranya adalah

pengajian. Mulai dari bacaan

kitab, aurod/wirid, dan

kemudian konsolidasi. Ada

beberapa tujuan dari

paguyuban almamater ini yaitu

1) tetap menjaga tali

persaudaraan antar santri

sehingga hubungan “barokah”

tidak putus; 2) Sebagai wadah

penyaluran informasi kegiatan

pondok induk beserta kegiatan

almamater. Wadah ini juga berfungsi ketika ada kunjungan dari Kyai

dari pondok induk sehingga dapat di jamu oleh semua anggota

almamater yang ada di wilayah tersebut; dan 3) Sebagai upaya

merespon isu-isu yang berkembang di wilayah tersebut khususnya

ketika gerakan transnasional semakin meningkat dilingkungan masing-

masing. Sehingga dengan adanya paguyuban, pesantren dapat

melakukan gerakan bersama dalam memberi penyadaran dikalangan

pesantren masing-masing atau kepada santri melalui pembicaraan

dalam pengajaran, kotbah, maupun seminar jika dimampukan untuk

menyelenggarakan.

Namun apakah jaringan pesantren selalu menguat? Dalam

beberapa wawancara yang penulis lakukan, ada beberapa responden

yang menceritakan bahwa ada perubahan terjadi didunia pesantren saat

ini. Sebagai contoh, situasi yang di ceritakan oleh Kyai Marzuki

tentang pengalaman masa kecil dan sekarang. Ia merasa ada perbedaan

animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke Pesantren. Ia

menceritakan bahwa pada saat ia masih kecil pondok pesantren

memiliki pengaruh yang sangat kuat di lingkungan masyarakat

pekalongan. Pengaruh ini teutama disebabkan pada jaman dulu di

Pekalongan, masyarakat tidak melihat kebutuhan akan ilmu

pengetahuan lain selain Agama. Mereka beranggapan bahwa tidak

Page 17: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

79

perlu sekolah tinggi-tinggi untuk menjalankan usaha perbatikkan, dan

beranggapan bahwa belajar agama di pondok pesantren sudah cukup.

Namun semenjak mulai surutnya industri batik di Pekalongan,

masyarakat melihat bahwa peluang untuk menjadi pegawai lebih

menjanjikan. Sehingga kemudian masyarakat memasukkan anaknya di

sekolah-sekolah umum.

Perubahan situasi sosial ekonomi masyarakat Pekalongan

tersebut juga mendorong perubahan pada pengajaran di pesantren.

Beberapa pesantren yang awalnya murni salaf kemudian mulai

menjadikannya kedalam bentuk madrasah, sehingga kurikulum sekolah

umum juga masuk dalam pengajarannya selain pengajaran agama.

Sistem madarasah diharapkan dapat bersinergi dengan sekolah modern

sehingga santri-santri juga bisa mendapatkan ijasah untuk melanjutkan

kejenjang perguruan tinggi atau menjadi pegawai.

Seiring dengan situasi ini dan perkembangan media semakin

cepat, pesantren mendapat tantangan baru. Dengan tehnologi yang

semakin berkembang, akses terhadap kajian-kajian tentang pemikiran

pembaharuan dalam Islam mulai dapat dengan mudah masuk dan

menguat didalam pesantren. Beberapa pesantren berhasil dalam

membentengi dan menjaga tradisi-tradisi yang selama ini dijaga dari

pemikiran-pemikiran ini. Mereka melakukannya melalui kajian

bersama dengan pengasuh pondok pesantren yang lain dalam bahsul masail. Kegiatan bahsul masail merupakan kegiatan di bawah NU yang

melakukan kajian perosoalan sosial dari sisi hukum Islam. Namun

walaupun demikian beberapa responden mengatakan bahwa beberapa

pesantren di Pekalongan ada yang tidak dapat membentengi dirinya

sehingga terjadi perubahan pada tradisi-tradisi yang dulu sangat

dipertahankan, saat ini mulai memudar. Menurut beberapa responden

perubahan ini dapat dilihat dari mulai adanya penentangan terhadap

kesenian-kesenian tradisional yang dulu dijaga keberadaanya oleh wali

songo.

Uraian diatas menjelaskan bagaimana upaya pesantren untuk

mengembangkan jaringan agar dapat tetap menjaga kelangsungan

Page 18: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

80

hidupnya, dan tradisi pesantren tidak pudar ditengah perubahan

dinamika masyarakat. Mulai dari mendidik calon-calon kyai yang

diharapkan dapat menggantikan kedudukannya, membangun

kerjasama diantara pesantren dan membangun solidaritas diantara

mereka, serta usaha-usaha lainnya. Cara praktis yang dilakukan oleh

pesantren untuk menumbuhkan solidaritas dan kerjasama diantara

mereka yaitu ada tiga. Pertama, mengembangkan suatu tradisi bahwa

keluarga yang terdekat harus menjadi calon kuat sebagai pengganti

kepemimpinan pesantren. Kedua, mengembangkan jaringan aliansi

perkawinan endogamous antar keluarga kyai. Dan ketiga,

mengembangkan transmisi pengetahuan dan rantai transmisi

intelektual antara sesama kyai dan keluarganya. Hal yang sama

sebenarnya juga diungkapkan oleh Dhofier (1994), bahwa ada usaha-

usaha keras dari Kyai agar kelangsungan hidup pesantrennya tidak

punah.

Jaringan Tarekat

Kata tarekat berasal dari bahasa arab thoriqoh dengan kata

jamaknya thoraiq, yang memiliki arti (1) jalan atau petunjuk jalan atau

cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-

mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat,

payung („amud al-mizalah). Dari pengertian ini dapat ditarik dua

pengertian penting dari tarekat yaitu: (1) sebagai jalan, ini mengacu

pada cara yang dilakukan melalui latihan meditasi atau amalan tertentu

yang dilakukan seperti wirid, dzikir, dll, dalam upaya mendekatkan

diri pada Tuhan. (2) Aliran/mazhab yang membawa pengertian adanya

persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan

adanya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah9.

9 Dalam tulisan Emroni berjudul “KONTRIBUSI LEMBAGA SUFI DALAM PENDIDIKAN ISLAM: Studi Terhadap Lembaga Ribath, Zawiyah dan Khanqah” yang dimuat dalam Ta'lim Jurnal Ilmiah Pendidikan Islam, Vol. 5 No. 01 Januari-Juni 2015, 43-56, dikatakan bahwa Ribath, Zawiyah dan Khanqah adalah merupakan suatu lembaga yang berperan sebagai penampung para pengikut sufi dan sekaligus sebagai tempat untuk memperdalam ilmu pengetahuan mereka tentang bagaimana cara beribadah mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai macam kegiatan dan

Page 19: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

81

Sebagai sebuah aliran, tarekat dalam menempuh jalan atau

metode untuk mendekatkan diri tersebut dilakukan berdasarkan pada

petunjuk yang diberikan oleh sederet guru-guru sufi yang berperan

sebagai perantara (wassilah). Para perantara ini adalah orang-orang

yang diyakini telah dekat dengan Tuhan dan dapat menolong untuk

mendekatkan diri dengan Tuhan. Para perantara ini dianggap sebagai

wali Tuhan baik itu yang sudah mati maupun masih hidup. Mereka ini

menjadi perantara karena diyakini dan diharapkan menjadi perantara

yang baik oleh umat-umatnya. Walau juga ada yang menjadi perantra

karena telah melalui berbagai ujian yang dilakukan oleh guru-guru sufi

sehingga mendapatkan ijasah untuk membaiat dan mengajarkan

tasawuf dalam traekat.

Dalam percakapan dengan beberapa umat Islam, untuk

mengikuti tarekat memerlukan kesiapan dalam segala hal, termasuk

melapaskan diri dari pikiran duniawi. Upaya ini dianggap sebagai

sebuah upaya yang memerlukan ketekunan dalam menjalaninya.

Sehingga banyak yang mengikuti tarekat ketika mereka sudah pensiun

bagi yang pegawai, atau telah mapan dalam kehidupannya. Orang yang

telah dianggap siap oleh seorang guru sufi baru bisa diangkat menjadi

pengikut resmi dari sebuah tarekat melalui sebuah acara pem-baiat-an.

Dengan di baiat atau mengucakan sumpah yang intinya akan setia pada

guru-guru tarekat dalam garis transmisi keilmuan keatas (silsilah)

hingga dengan pendiri tarekat dan Nabi Muhammad SAW. Sudah

latihan. Ribath, merupakan lembaga sufi yang lebih fleksibel, karena di dalamnya berisi orang-orang miskin, orang-orang tua atau janda yang tidak mampu membiayai dirinya yang ingin mendekatkan diri pada Allah, di samping orang-orang yang khusus ingin mendekatkan diri pada-Nya. Ribath ini muncul karena berawal dari barak-barak tentara perang Islam yang bertujuan untuk memperluas wilayah Islam. Zawiyah, adalah lembaga sufi yang lebih khusus yang lebih kecil ruang lingkupnya, sehingga dalam lembaga ini tidak terdapat aturan-aturan sebagaiman yang ada dalam Khanqah. Sistem Zawiyah pendidikan yang guruisme atau gurusentris, guru adalah segala galanya, tidak boleh dibantah dan harus selalu ditaati semua ajarannya. Guru adalah sosok yang sempurna baik dalam suatu keilmuannya maupun tigkah lakunya. Khanaqah dengan kebersamaan ini betul-betul mereka tanamkan, seperti ahli khanqah tidak boleh meninggalkan khanqah tanpa memberi tahu pada salah seorang yang hadir di sana.

Page 20: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

82

barang tentu hubungan antara guru dan murid sangatlah penting dan

terikat kuat. Murid mengakui gurunya tidak hanya sebagai sumber

pengetahuan tetapi juga menjadi tuntunan yang dipercaya untuk tidak

tersesat.

Dalam tarekat kedudukan mursyid adalah tertinggi. Kemudian

dibawahnya adalah Kolifah yang merupakan murid sekaligus yang

membantu ikut mengajar murid-murid yang lain. Di bawahnya

kemudian ada Badal. Badal ini tersebar di berbagai daerah sebagai

penghubung antara umat/murid-muridnya dengan Mursyid.

Di Indonesia terdapat berbagai tarekat yang berkembang, dan

diantaranya ada beberapa tarekat utama dengan jumlah pengikut

terbanyak, diantaranya yaitu: Naqsyabandiyah, Alawiyyah, Idrisyiyah,

Khalwatiyah, Nahdlatul Wathan, Qodiriyah wa Naqsyabandiyah,

Tarekat Qodiriyah, Rifa‟iah, Samaniyah, Shiddiqiyyah, Syadziliyah,

Syattariyah, Tijaniyah, Maulawiyah, dan masih banyak lagi.

Dalam dunia tarekat, Pekalongan merupakan daerah yang

spesial, ini dikarenakan ada seorang guru mursyid (pembimbing) yaitu

Maulana Habib Muhammad Luthfi Bin Ali bin Hasyim bin Yahya

(Habib Luthfi) yang tinggal dan mengembangkan tarekatnya. Ia

merupakan menjadi sentral dari perkembangan tarekat Syadziliyah di

Indonesia dan juga menjadi ketua Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-

Mu'tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN) sebuah badan otonom NU yang

menaungi tarekat-tarekat dibawah NU. Sebagai ketua Jatman tentu

kemudian ia tidak hanya membawahi tarekat Syadziliyah tetapi

membawahi tarekat-tarekat yang berkembang di NU.

Sebagai tokoh sentral di Jatman, Habib Luthfi seringkali

mengadakan pertemuan guru-guru mursyid dari berbagai tarekat di

Pekalongan. Mereka berkumpul untuk berdiskusi dan tukar pikiran

tentang ilmu tasawuf. Seperti yang terjadi pada tanggal 27-29 Juli 2016

di Pekalongan berlangsung Konfrensi ulama internasional yang

diselenggarakan oleh Jatman. Hadir dalam konfrensi internasional ini

ulama-ulama dari berbagai negara.

Page 21: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

83

Sebagai seorang sufi, Habib Luthfi, oleh Julian Day Howell dalam

buku yang di edit oleh Bryan S. Turner and Oscar Salemink berjudul

“Routledge Handbook of Regions in Asia”, mengelompokkan Habib

Luthfi sebagai kelompok Neo-sufi. Yang oleh Nurcholis Masjid

diidetifikasikan sebagai pengawal tasawuf kontemporer, dan corak

tasawufnya memiliki sifat tajdid (memperbaharui) baik pada konsep,

cara pandang dan pengamalan dari unsur bid‟ah, khurafat, dan

takhayul.

Selain tarekat Habib Luthfi, di Pekalongan masih ada beberapa

tarekat lain yang berkembang. Tidak ada yang tahu jumlah pasti dari

tarekat NU yang berkembang di Pekalongan. Namun selain Habib

Luthfi masih ada mursyid lain yang mengemuka, salah satunya adalah

Kyai Tofiq di Wonopringgo - Kabupaten Pekalongan yang merupakan

Mursyid dari tarekat Pengamal Dalail. Sedangkan lainnya, warga

banyak yang mengikut tarekat tetapi keberadaan mursyidnya ada di

luar kota.

Sebagai gambaran bagaimana seseorang terlibat dalam sebuah

tarekat, berikut ada cerita dari Kyai Zakaria yang menceritakan

bagaimana Ayahnya yaitu Kyai Anshori masuk dalam sebuah tarekat.

“Dalam proses mengikuti tarekat, awal Kyai Anshor sempat berkunjung ke beberapa kyai tarekat untuk melakukan penjajakan dan memahami dulu tentang apa itu tarekat, bagaimana hukum tarekat, dll. Hingga kemudian dalam kehadirian dibeberapa tarekat bertemu dengan seorang kyai dari Dusun Grogolan, Kelurahan Landung Sari, Kota Pekalongan, yang bernama Kyai Abdul Jamil. Kyai Abdul Jamil yang senang bergaul dan memiliki pemikiran terbuka, mengajak Kyai Anshori untuk berkunjung ke Petarukan Pemalang untuk bertemu Kyai Mi‟ad guru tarekatnya yang mengikut tarekat Naqsyabandiyah cabang dari Mranggen Semarang. Dalam perkenalannya dengan guru tarekat ini, Kyai Anshor menjadi tertarik, terutama tentang pandangan Kyai Mi‟ad yang memegang teguh pada syariat tetapi mengamalkan untuk dirinya sendiri dan tidak memaksakan pada orang lain. Seperti pengamalan terhadap pelaksanan hari raya yang berbeda dengan perhitungan dan ketetapan pemerintah. Perhitungan hari raya ini, bagi tarekat Nasabandi, tidak untuk

Page 22: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

84

dipaksakan pada orang lain tetapi hanya bisa di terapkan pada diri pribadi, bahkan tidak pula kepada keluarganya maupun anggota tarekat lainnya. Jadi pengamalannya hanya untuk pribadi masing-masing.”

Dalam bertarekat, untuk mempelajarai dan mengamalkannya

dibutuhkan ketatan dalam menjalankannya sehingga seorang murid

harus di baiat agar dapat mengikuti semua arahannya. Di baiat berarti

dia mengikuti semua amalan, sikir dan pendalaman spiritualnya, tetapi

sisi syariatnya tetap syariat. Sedangkan kaitannya dengan duniawi bisa

saja berbeda dengan guru atau murid yang lain.

Dengan demikian jaringan tarekat hampir sama dengan nilai

yang dikembangkan dalam jaringan pesantren yaitu nilai keatatan pada

kyai, serta nilai persaudaraan dalam satu ikatan ilmu.

Pergeseran dan perkembangan Jaringan Ekonomi

Seperti yang telah di uraikan di bab IV, dijaman kejayaan batik

Pekalongan relasi kuat antara pesantren dengan para pengusaha kelas

menengah muslim yang bergerak di industri batik tradisional

terbangun. Ada relasi saling menguntungkan dan saling mendukung

antara pengusaha dengan ulama yang kemudian menjadikan

perkembangan pesat dibidang dakwah. Jaman dulu orang-orang

kaya/pengusaha-pengusaha batik memondokkan anaknya di pesantren

dengan maksud ketika keluar dapat meneruskan usaha dan tidak

menjadi pegawai. Sehingga dalam situasi ini para pengusaha ada

keterkaita erat dengan pesantren.

Keterkaitan erat antara pengusaha dengan pesantren juga

meluas pada kehidupan organisasi NU. Hampir sebagian besar kegiatan

organisasi NU dominasi yang hadir adalah dari kalangan pengusaha-

pengusaha batik (juragan). Bahkan berjalannya organisasi NU di

Pekalongan juga atas sumbangan-sumbangan dari para juragan batik.

Para pengusaha ini dilibatkan atas peran dari para kyai/ulamanya

sebagai upaya pengembangan NU. Namun walaupun para pengusaha

Page 23: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

85

ini duduk dalam kepengurusan NU, para pengusaha ini hampir tidak

memiliki kekuatan untuk mengatur arah kebijakan politik NU. Semua

masih tergantung dari para Kyainya. Mereka adalah santri-santrinya

sehingga patuh terhadap apa yang menjadi kehendak dari kyai.

Hanya saja pada tahun 2007, terjadi perubahan keterlibatan

para pengusaha dalam pendanaan yang semula para pengusaha

memberikan secara langsung, namun setelah terbentuk BMT NU

sistem donasi berubah. Para pengusaha ini “menyalurkan dananya”

melalui keterlibatan dalam BMT NU, baru dari BMT NU ada sebagian

yang disalurkan kepada NU. Walaupun dalam beberapa kegiatan yang

sifatnya isidentil para pengusaha memberikan sumbangan secara

perseorangan bila di minta oleh pengurus NU.

Seiring perkembangan jaman, dimana industri batik mulai

meredup relasi ini semakin berkurang. Runtuhnya batik Pekalongan

sangat dirasakan oleh masyarakat. Dalam pengalaman Zaenal, pada usia

4 tahunan ketika masa jayanya batik sekitar tahun 1960 hingga tahun

1970 an, Batik yang masih basah sudah di beli oleh pedagang batik.

Orang tua Zaenal yang tidak bergerak di bidang batikpun mendapatkan

keuntungan dengan menjadi perantara antara penjual dan pembeli.

Dengan perubahan ini kecenderungan untuk menyekolahkan anak ke

sekolah konfensional semakin besar sehingga kemudian memunculkan

para pengusaha tidak berlatar belakang pesantren.

Walau situasi ini mengurangi jumlah santri dalam pesantren

tetapi relasi pengusaha dengan pesantren atau dengan ulama-ulama

tetap terjadi. Kyai atau ulama masih sering menjadi tempat bagi para

pengusaha untuk mendapatkan doa dan saran bagi keberhasilan

usahanya. Peluang relasi bisnis juga sering kali terjadi karena

pertemuan yang diupayakan oleh kyai atau ulama. Hal ini seperti yang

diceritakan oleh Fauzin yang sekarang menjadi santri Habib Luthfi.

Fauzin menceritakan bahwa dulu di awal ia merintis usaha perbatikan,

ia sowan kepada Habib Luthfi untuk meminta doa agar usahanya

berhasil. Pada saat itu usahanya berhasil, namun pada suatu masa

usahanya menurun dan ia pun kembali ketempat Habib Luthfi untuk

Page 24: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

86

minta doa dan saran. Dia pun kemudian diperkenalkan dengan

beberapa orang yang bergerak dibidang yang sama sehingga kemudian

terjadi relasi bisnis dengan beberapa orang pengusaha. Relasi ini

kemudian dapat menghidupkan usaha yang ia kembangkan. Mitra-

mitra usahapun semakin lama-semakin meningkat. Sehingga kemudian

usahanya bisa berkembang.

Perkembangan fungsi ekonomi pada jaringan Islam tradisional

juga tampak dikalangan pesantren dengan adanya upaya penguatan

ekonomi pesantren. Upaya ini dilakukan karena pesantren melihat ada

peluang untuk mendapatkan pendanaan bagi pengelolaan dan

kemandirian pesantren. Pesantren yang selama ini hanya merupakan

penyedia konsumen bagi perusahaan-perusahaan melihat bahwa ada

peluang untuk ikut mendapatkan sedikit keuntungannya. Selama ini

pengeluaran santri untuk kebutuhan seperti peralatan mandi, pembalut

(bagi wanita), dll sangat besar, apa lagi pesantren dengan jumlah santri

yang besar tentu uang yang beredar untuk memenuhi kebutuhan

tersebut sangat banyak. Melihat peluang ini beberapa pesantren

berupaya untuk membangun PGP (Pusat Grosir Pesantren). PGP ini

dilakukan dikalangan pesantren NU dengan menyediakan grosir untuk

kebutuhan rumah tangga (sabun, odol, dll) dalam pesantren. PGP ini

dikelola oleh himpunan pesantren NU dengan melibatkan perusahaan

besar penyedia kebutuhan rumah tangga. Bentuk kerjasamanya yaitu

pesantren berhubungan langsung dengan perusahaan-perusahan

tersebut sehingga mendapatkan harga pokok dan kemudian pesantren

menjualnya. Relasi dengan perusahaan dibangun atas relasi yang sudah

terbentuk anatara beberapa ulama dengan para pengusaha ini sehingga

dalam percakapan dapat dilakukan dengan mudah.

PGP ini diluar struktur organisasi NU, namun ada jaringan di

level pusat, propinsi hingga kedaerah-daerah. Tiap daerah ada

perkumpulan PGP yang terdiri dari pesantren-pesantren. PGP ini baru

2 tahun berjalan. Untuk PGP Pekalongan belum terbentuk, namun

telah ada perintisan yang dimulai sejak awal tahun 2017. Zaenal dan

Kyai Zakaria termasuk yang diminta oleh PGP pusat untuk ikut dalam

Page 25: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

87

pembentukan PGP di Pekalongan. Kajian tentang ini oleh beberapa

pesantren sudah mulai dilakukan. Percakapan dengan PGP propinsi di

Kudus juga mulai dilakukan. Hingga kini, upaya ini tinggal menunggu

kata sepakat diantara para pengasuh pondok pesantren di Pekalongan

untuk bersama-sama membangun PGP.

Faksionalisme dan perkembangan jaringan politik

Dikalangan nahdliyin di Pekalongan gejala faksionalisme dan

perubahan orientasi politik muncul pada peristiwa kembalinya NU ke

khittah yang terjadi pada tahun 1984. Arti kembali ke khittah adalah

NU kembali menjadi organisasi keagamaan dan membebaskan

warganya memiliki pilihan politiknya masing-masing. Sebagai

akibatnya di Pekalongan partai Islam (NU) yang selalu memenangkan

perolehan kursi dalam tiap pemilunya namun pada pemilu tahun 1987

kalah dari partai Golkar. Beberapa Kyai yang memiliki akses pada

kekuatan elektoral masyarakat, menangkap sumber baru kewibawaan

dengan memperoleh akses pada birokrasi. Selain juga bagi para kyai

tersebut ini merupakan kewajibannya sebagai ulama untuk

membimbing umatnya yang bekerja dalam pemerintahan.

Kemudian gejala menguatnya tujuan politik juga kembali tampak

di awal jaman reformasi ketika NU mendeklarasikan PKB. Dengan

adanya deklarasi PKB oleh NU, memungkinkan tokoh-tokoh NU yang

semula tidak mendapatkan ruang dalam PPP bisa memperoleh ruang

politik. Namun diwaktu yang sama, beberapa tokoh NU yang semula

memiliki ruang politik dan sumber kekuatan politiknya besar di PPP

menjadikan ini sebagai kesempatan untuk mempertahankan

kekuatannya. Faksionalisasi dalam jaringanpun terjadi akibat dari

perebutan sumber politik tersebut.

Namun perlu dicatat bahwa dalam kasus kemunculan PKB ini,

ada perbedaan tingkat ketegangan antara tingkat nasional dan lokal.

Ketegangan di tingkat lokal lebih kuat dibandingkan di tingkat

nasional, dimana di tingkat lokal situasi sosial masyarakat turut

Page 26: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

88

mewarnai ketegangan ini. Di Pekalongan, konflik kemunculan PKB

yang mengambil sebagian basis massa dari PPP, terwarnai dengan

sejarah konflik antara PPP dan Golkar. Banyak kyai atau ulama-ulama

yang dulunya berafiliasi politik pada Golkar diisukan menjadi motor

bagi deklarasi partai PKB.

Dalam percakapan dengan Zaenal dan Faizin secara terpisah,

ditangkap bahwa ada pergerakan aktor-aktor ketika faksionalisasi ini

mulai terbangun. Paska kerusuhan Pekalongan tahun 1997 yang

disebabkan konflik antara Golkar dengan PPP. NU di lapis keduanya,

diluar kyai-kyai sepuh/pemudanya melakukan gerakan bersama untuk

memperbaiki NU dan menjadikannya pilar yang keluar dari ketegangan

politik antara Golkar dan PPP. Para generasi muda kebanyakan dari

pemuda Ansor mereka menginginkan agar NU keluar dari konflik

antara Golkar dan PPP. Sedangkan generasi tua atau yang kebanyakan

merupakan kyai-kyai atau ulama cenderung masuk kedalam politik

tersebut.

Pada akhir tahun 1997 pemikiran tentang pembentukan PKB

oleh PBNU mulai menguat. Di Pekalongan, Generasi muda NU dan

beberapa tokoh tua NU mulai memikirkan upaya pembentukan NU

atas dasar anjuran PBNU. Generasi muda NU yang memiliki

pengalaman dalam LSM seperti PATTIRO, mulai melakukan pemetaan

terhadap tokoh-tokoh tua yang memungkinkan untuk mendukung

terbentuknya PKB. Pemetaan ini dilakukan karena tidak semua kyai

atau tokoh-tokoh sentral kaum Nahdiyin mendukung upaya ini, ada

banyak juga tokoh-tokoh tersebut yang tetap PPP.

Pada tahun 1998, beberapa tokoh-tokoh tua ada keraguan untuk

membentuk PKB. Tokoh-tokoh muda yang didominasi Ansor, melihat

bahwa PPP mulai memperkuat kelompoknya. Beberapa pertemuan di

masjid dilakukan oleh kelompok PPP untuk menggagalkan upaya

pendirian PKB. Isu yang dilontarkan adalah PKB merupakan

pembentukan kyai-kyai Golkar. Di tubuh Banser, yang merupakan

pasukan pengamanan di bawah Ansor sudah tampak mulai terpecah.

Beberapa orang Banser menjadi satgas PPP. Gelagat yang demikian

Page 27: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

89

ditangkap oleh Zaenal dan kawan-kawan muda. Sehingga mereka

mengunjungi para kyai-kyai kunci dalam struktur dan mendesak untuk

segera tim formatur yang terdiri dari 9 kyai dibentuk untuk kemudian

membentuk PKB. Alasan mereka adalah jika PKB tidak dibentuk

segera, kekuatan PPP dalam NU akan semakin kuat dan konflik yang

lebih besar akan terjadi.

Desakan generasi muda ini berhasil dan kekuatan PPP dalam NU

pada saat itu belum begitu kuat sehingga akhirnya memutuskan untuk

mundur dari kepengurusan NU. Bahkan beberapa tokoh tersebut

mengatakan secara tegas sikapnya dengan mengatakan “ora NU-NU-an,

sing penting Islam”. Tetapi ada juga tokoh PPP yang karena

kesetiaanya pada NU, walau tidak setuju terhadap anjuran dan

kepemimpinan Gus Dur, kyai tersebut tetap mendukung pembentukan

PKB.

Untuk meyakinkan kyai untuk bergerak cepat dalam melakukan

pembentukan PKB tidak mudah. Para kyai masih menunggu serta ada

perasaan tidak enak dengan kyai-kyai lain yang dipandang tidak sejalan

dan masih berharap bahwa musyawarah secara baik-baik diantara

mereka dapat dilakukan. Namun generasi muda juga sebenarnya tidak

mudah untuk melakukan desakkan kepada para kyai karena banyak

diantara mereka yang masih kuat memegang nilai tradisi untuk

menghormati orang yang lebih tua atau dituakan. Mereka tidak berani

berbicara kepada kyai dan mendesakkan keinginannya secara langsung.

Ini terjadi karena kebanyakan generasi muda merupakan santri dan

ketika berhadapan dengan figur kyai mereka cenderung untuk

mengiyakan. Hanya beberapa orang muda seperti Zaenal, yang

memiliki latarbelakang tidak dari pesantren yang bisa melakukan

negosiasi dengan para Kyai.

Di tahun 2004, di awal periode baru kepengurusan NU, NU

sudah berpikir bahwa harus dikembalikan pada misi NU yang sesuai

dengan kitah. Sehingga tahun 2006, aktivis generasi muda sudah

dilibatkan dalam kepengurusan NU untuk membuat konsep “Peran NU

sebagai organisasi sosial kemasyarakatan”. Inisiatif untuk

Page 28: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

90

mengumpulkan aktivis muda ini berasal dari H. Rofiq (ketua harian NU

sejak tahun 2008). Para aktivis muda10 ini kebanyakan mereka aktif

dalam gerakan-gerakan pemuda dan LSM (seperti Patiro, KIM

(Komunitas Insan Madani). Konsep NU ini dipersiapkan untuk

konferensi NU tahun 2007. Konsep ini dibuat untuk membentuk tim

kerja NU yang dapat memberikan pendampingan pada masyarakat

dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang

diselenggarakan oleh pemerintah.

Dengan melihat kasus-kasus diatas, perubahan sosial membawa

peluang-peluang/sumber-sumber baru bagi kewibawaan aktor-aktor

(kyai). Tetapi membawa dilema bagi jaringan, karena dengan adanya

sumber-sumber baru jaringan-jaringan baru muncul, jaringan politik

lokal masuk dalam jaringan politik nasional dan sering kali

mengakibatkan faksionalisasi dalam jaringan Islam Tradisional. Tapi

perlu di catat bahwa gejala ini sebenarnya sudah lama, dalam Islam

pemisahan antara agama dan politik sangat tipis. Bahkan beberapa kyai

menceritakan bahwa Islam diwajibkan untuk berperan dalam politik

sebagai bagian dari dakwah.

Munculnya Jaringan Lintas Iman

Dampak traumatis masyarakat dan kerugian material yang

ditimbulkan dari berbagai kerusuhan massa yang terjadi, sebut saja

sejak kerusuhan massa tahun 1995, menjelang Pemilu 1997, dan

bentrok massa antara pendukung PPP dan PKB pada Pemilu 1999

menjadi catatan sejarah yang tak terlupakan bagi masyarakat

Pekalongan. Gesekan-gesekan sebagai akibat dari keberagaman dan

perbedaan kepentingan tak bisa terhindarkan seperti yang

tergambarkan dalam rentang waktu cukup lama di wilayah ini. Potensi

konflik yang semakin kuat dan tidak kunjung surut dirasakan oleh

10 Aktivis muda ini diantranya yaitu Zaenal, Basir (ketua KPU 2015), dan Aminuddin (Ketua Patiro) yang memiliki pengalaman dalam LSM. Mereka pernah bersama-sama IPNU (Ikatan Pemuda NU) dan pernah bergabung dengan Patiro (Pusat Telaah Otonomi Daerah).

Page 29: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

91

beberapa tokoh sebagai ancaman. Tokoh-tokoh ini dapat mendekteksi

adanya bahaya besar jika ketegangan antar pihak tidak segera diatasi.

Hal ini yang kemudian mendorong para tokoh melakukan upaya untuk

keluar dari situasi tersebut. Upaya membangun jembatan diantara

kelompok-kelompok yang bersebrangan mulai di bangun. Solidaritas

sosial mulai diciptakan agar kerusuhan tersebut tidak terulang,

kalaupun tak terhindarkan dan muncul kembali, paling tidak

kerusuhan tersebut bisa diminimalisir dan dilakolisir agar tidak meluas.

Dalam situasi dimana konflik sering terjadi pengulangan, aktor

lebih berperan dalam merespon situasi tersebut. Aktor yang kemudian

mempengaruhi jaringan untuk merespon kondisi yang dihadapi.

Bentuk respon tersebut memperluas dan membentuk jaringan baru

guna merespon dinamika sosial politik. Zurkoni merupakan seorang

aktivis NU yang lahir di era Orde Baru. Sejak sekitar tahun 1993,

Zurkoni mulai aktif dan menduduki posisi sentral dalam berbagai

gerakan pemuda untuk mendampingi masyarakat bawah seperti

melakukan demo terhadap pencemaran sungai, demo terhadap

pengaturan jalur angkutan kota bersama supir angkutan kota, dll.

Keterlibatan dalam organisasi pemuda tersebut diantaranya yaitu

pernah menjabat sebagai Wakil Ketua KNPI (Komite Nasional Pemuda

Indonesia) Pekalongan, Wakil Ketua FKRM (Forum Komunikasi

Remaja Masjid), Ketua FKMP (Forum Komunikasi Masyrakat

Pekalongan), dan Ketua GMPPR (Gerakan Masyarakat Pekalongan Pro

Reformasi).11

Di tahun 1999, paska kerusuhan massa, Zurkoni beserta

beberapa aktivis muda lainnya berhasil mengajak beberapa kelompok

masyarakat Kota Pekalongan yang terdiri dari HMI, PII, KBPII, jamaah

pengajian, tokoh-tokoh pemerhati budaya, tokoh-tokoh masyarakat,

tokoh-tokoh agama tokoh NU, IPPNU/IPNU untuk bersatu dan

melakukan aksi menuntut dikembalikannya bangunan Monumen

Juang 1945 yang telah di jual oleh Walikota Joko Pranowo12.

11 Arsip wawancara dengan Zurkoni pada tahun 2005 12 Walikota Joko Prawoto berlangsung dari tahun 1979 hingga tahun 1989.

Page 30: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

92

Pertemuan pemuka-pemuka lintas agama

di Pekalongan

Momentum ini yang kemudian menjadi salah satu tonggak bagi

pengembangan hubungan antar kelompok.

Sebagai aktivis, hubungannya dengan banyak pihak telah

terbentuk dan memudahkan Zurkoni untuk diterima dibeberapa

kalangan yang berbeda latar belakang termasuk agama. Di tahun 1998,

ketika Lembaga Percik13 melakukan studi tentang kerusuhan politik di

Pekalongan, Zurkoni terlibat

didalamnya sebagai peneliti

lokal dan penghubung untuk

beberapa tokoh agama atau

masyarakat. Dari hasil

penelitian ini Zurkoni dengan

beberapa tokoh lokal di awal

tahun 2000 berinisiatif untuk

mengadakan pertemuan lintas

agama dengan tema “Peran

Tokoh Agama Dalam Otonomi Daerah”. Peserta pertemuan adalah

tokoh agama dari Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, dan

Kabupaten Batang. Dari pertemuan ini kemudian lahir rekomendasi

untuk membentuk forum lintas agama, yang kemudian direalisir oleh

Habib Luthfi dan Zurkoni. Sehingga pada pembentukan awal ini,

Habib Luthfi bin Yahya seorang tokoh agama lokal menjadi pemrakarsa

dan Zurkoni menjadi sekretarisnya.

Aktor lain yang muncul dan memiliki basis kuat dalam jaringan

Islam Tradisional yaitu Kyai Ahmad Marzuqi. Kyai Marzuqi sapaannya,

tinggal di kelurahan Buaran, kecamatan Pekalongan Selatan, wilayah

perbatasan antara kota dengan kabupaten Pekalongan. Wilayah Buaran

ini sudah sejak lama dianggap oleh Kesbangpol Pekalongan sebagai

wilayah rawan konflik. Buaran juga dikenal sebagai wilayah hijau

(PPP) kuat, sehingga di tahun 1995-1999 di wilayah ini sering terjadi

ketegangan antar partai politik. Beberapa kali kerusuhan menjelang

13 Lembaga Percik merupakan lembaga penelitian sosial, demokrasi dan keadilan sosial, yang terletak di salatiga.

Page 31: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

93

pemilu terjadi di daerah ini hingga ke wilayah Kedungwuni di

Kabupaten Pekalongan.

Namun walaupun Kyai Marzuki tinggal di Buaran, sejak tahun

1995 beliau menjadi Guru PNS (Pegawai Negeri Sipil) di SMP Negeri 1

Batang. Sebuah hal yang sangat berbahaya ketika itu, karena di wilayah

Buaran masyarakatnya sangat anti terhadap Golkar. Hingga beliaupun

harus menyembunyikan identitasnya sebagai PNS. Bertahun-tahun

beliau selalu berganti pakaian dinas di sebuah pom bensin untuk

menyembunyikan identitasnya sebagai PNS.

Selain beliau mengajar di SMP Negeri, di sore hari, beliau turut

mengajar di Pondok Pesantren Al-Qur'an miliki Kyai Haji Syafii yang

berada di Kradenan. Beliau juga mengajar mengaji di langgar dan

masjid yang ada di kampungnya dan bahkan juga mengisi pengajian di

beberapa stasiun radio mapun televisi lokal.

Banyaknya aktivitas Kyai Marzuki dalam hal keagamaan serta

organisasi keagamaan memberikan kekuatan basis pada jaringan

kegamaan (NU). Dalam perkembangannya Kyai Marzuki yang awalnya

di tunjuk untuk duduk dalam keanggotaan FKUB Kota Pekalongan

oleh Organisasi NU menjadikan jaringannya meluas. Jaringan lintas

agama mulai terbuka bagi Kyai Marzuki. Kyai Marzuki dapat mengenal

tokoh-tokoh agama lain mulai dari tokoh agama lain yang duduk di

FKUB. Perluasan jaringan ini membawa Marzuki untuk mendapat

posisi dalam kehidupan sosial dan pemerintahan kota Pekalongan. Ia

bisa memiliki akses yang mudah untuk menghubungi Walikota, pejabat

pemerintah, dan stack holder lainnya. Sehingga pada periode kedua

Kyai Marzuki di tunjuk kembali oleh walikota untuk menjadi anggota

FKUB.

Akses pada kelompok-kelompok keagamaan tidak terbatas

hanya pada kelompok-kelompok tertentu dalam keagamaan tetapi juga

bisa masuk dalam kelompok keagamaan yang selama ini berada dalam

ketegangan, seperti kelompok Syiah, Al‟Irsyad, Muhamadiyah, FPI,

Wahabi, dll yang selama ini cenderung “tertutup”. Tentu kemudahan

akses terhadap berbagai kelompok sosial keagamaan dapat mengurai

Page 32: BAB V SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14109/5/T2_092013019_BAB V.pdf · Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran

94

ketegangan-ketegangan antar kelompok dan menjadi modal

menyelesaikan berbagai persoalan sosial. Namun pada waktu yang

sama Kyai Marzuki berada pada situasi yang sulit. Keperpihakan pada

satu kelompok tertentu bisa menjadi tantangan bagi Kyai Marzuki.

Tuduhan murtad bisa saja melemahkan posisi Kyai Marzuki dalam

organisasi sosial kegamaannya, namun bisa juga menguatkan posisinya

dalam jaringan lintas agama yang memiliki keluasan yang lebih besar.

Sehingga ini menjadi sebuah pilihan yang perlu dilalui secara hati-hati.

Seperti dalam contoh khasus terkait dengan rencana pendirian satu

Masjid oleh salah satu kelompok Islam yang mendapat dukungan dari

Al‟Irsyad. Dalam rencana pendirian Masjid ini, terjadi penolakan oleh

warga yang kebanyakan adalah NU di sekitar lokasi pendirian Masjid.

Jika Kyai Marzuki menolak rencana pendirian Masjid, kelompok

Al‟Irsyad bisa menyebarkan isu bahwa Kyai Marzuki merupakan orang

Murtad yang dekat dengan kelompok Kristen, misalkan. Hal ini bisa

terjadi karena beberapa waktu sebelumnya Kyai Marzuki terlibat dalam

perencanaan pengembangan sebuah gedung gereja yang berhasil

digunakan untuk ibadah walau ijin pengembangan rumah ibadahnya

belum diperoleh.

Situasi-situasi tersebut diatas menjadikan jaringan keagamaan

sangat dinamis. Jaringan keagamaan dapat memperluas jaringan untuk

kepentingan-kepentingan tertentu, tetapi juga bisa menutup perluasan

jaringan karena situasi itu juga agar akses kekuatan politik lebih besar.