bab v sketsa jaringan islam tradisional di...
TRANSCRIPT
63
BAB V
SKETSA JARINGAN ISLAM TRADISIONAL DI
PEKALONGAN
Kaum Nahdiyin sebagai Basis Jaringan Islam Tradisional
Istilah Nahdiyin berasal dari bahasa Arab yang berarti umat
Nahdatul Ulama. Sedangkan Nahdlatul Ulama dalam bahasa arab
berasal dari kata Nahdlah yang berarti bangkit atau bergerak, dan
Ulama atau Alim (kata jamaknya) memiliki arti yang mengetahui atau
berilmu. Sehingga Nahdlatul Ulama (kebangkitan Ulama) memiliki
pengertian gerak serentak para ulama dalam satu pengarahan atau
gerakan bersama-sama yang terorganisir. Dengan demikian Istilah
kaum Nahdiyin secara populer dipakai untuk menyebut pengikut atau
warga Nahdlatul Ulama. Di beberapa daerah Warga NU sering
diistilahkan dengan “kaum sarungan”1. Kedua istilah ini dipergunakan
di Pekalongan, namun istilah kaum Nahdiyin lebih sering dipakai
khususnya dalam penyebutan resmi. Menurut Dhofier (1994) dan
Budhy Munawar Rachman (2010), NU dikenal sebagai bagian dari
Islam tradisional yang terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran para
ulama yang ahli fiqih (hukum Islam), ahli hadis, tafsir, tauhid, dan
tasawuf yang hidup dan menyebarkan agama Islam di Indonesia antara
abad ke tujuh hingga abad ke XIII. Sebagai bagian dari Islam
tradisional, NU menampakkan identitasnya didalam lambangnya yang
1 Istilah kaum sarungan ini mengacu pada kebiasaan umat NU yang dalam berbagai ritual keagamaan hadir dengan pakaian khas yaitu sarung. Sarung juga menjadi pakaian sehari dilingkungan pesantran. Hal ini pulalah yang memberi pembeda dengan kelompok Islam lainnya seperti Muhammadiyah. Istilah kaum sarungan menguatkan identitas NU sebagai kelompok Islam tradisional yang memegang teguh pada tradisi-tradisi yang lama berkembang dimasyarakat. Berbeda dengan Muhammadiyah yang ketika sholat Jumat (misalnya) mereka kebanyakan menggunakan celana panjang dan berpenampilan modern.
64
memunculkan bintang berjumlah sembilan sebagai tanda keterikatan
yang kuat dengan ajaran wali songo (wali sembilan) yang ajarannya
telah hidup sejak sekitar abad ke VII. 2
NU sebagai organisasi keagamaan secara formal terbentuk sejak
tahun 1926 di Kampung Kertopaten, Surabaya, Jawa Timur. Beberapa
responden mengemukakan bahwa NU merupakan pelembagaan dari
pesantren tradisional yang jauh sebelumnya telah ada dan menjadi
tulang punggung dalam memperjuangkan sistem keyakinan yang
berpegangan pada amal ubudiyah (relasi dengan Tuhan) dan
mu‟amalah (relasi antar manusia) dalam paham Ahlus Sunnah wa al-
Jama‟ah (Aswaja) serta berpegang pada salah satu dari 4 mazhab, yaitu:
Syafi‟i, Maliki, Hanafi dan Hambali.3 Pelembagaan ini muncul ketika
menyikapi perkembangan sosial politik Islam di Hijaz (Saudi Arabia).
Kemenangan Ibnu Saud (penguasa Najed) atas Syarif Husen (peguasa
Hijaz) pada tahun 1924 di tanah hijaz yang mencakup Makkah dan
Madinah, membawa kekawatiran akan berdampak pada Islam di
Indonesia. Kemenangan Ibnu Saud yang beraliran Wahabi membuat
kecemasan di kalangan ulama Ahlissunah wal Jama‟ah karena mulai
tersiar kabar tentang pelarangan ziarah ke makam Nabi, pembongkaran
makam Nabi dan sahabat, pelanggaran kemerdekaan bermadzhab di
wilayah Hijaz, dan lain-lain.
Keberadaan pesantren-pesantren tua seperti pondok pesantren
Bahrul Ulum Tambak Beras di Jombang yang berdiri sejak Tahun 1825,
Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang yang berdiri tahun 1899, dan
masih banyak lagi pondok-pondok pesantren lain yang telah
memunculkan pondok–pondok pesantren di berbagai daerah di
Indonesia menjadi modal bagi terbentuknya NU kala itu. Atau dengan
kata lain bahwa NU mewadahi lembaga pesantren yang sebelumnya
telah ada. Ketika pendirian NU ada sekitar 50 pesantren dari berbagai
2 Wawancara dengan Kyai Sonwasi Ridwan (Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Salatiga) pada tanggal 25 Mei 2011. 3 Ibid, wawancara dengan Kyai Sonwasi Ridwan, 25 Mei 2011.
65
daerah di Indonesia menyatakan ikut menjadi bagian dari organisasi
keagamaan ini.
Mayoritas umat Islam di Pekalongan adalah warga Nahdiyin.
Sebagai penanda bahwa kaum Nahdiyin sangat dominan di Pekalongan
antara lain dapat dilihat dari maraknya pelaksanaan amaliyah harian
warga Muslim setempat seperti tahlilan, haul, diba‟an, barzanjian, dalailan, thoriqohan dan lain sebagainya yang sebagai ritus keagamaan
umumnya sangat kuat dilakukan oleh orang-orang NU.
Perkembangan NU di Pekalongan
Tidak diperoleh informasi yang dapat memastikan kapan secara
formal mulai berkembangnya NU di Pekalongan. Namun bahwa
Pekalongan merupakan salah satu kantong penting bagi perkembangan
NU, nampak dengan Pekalongan menjadi tempat penyelenggaraan
muktamar NU ke V pada tahun 1930. Menurut dugaan salah seorang
responden yang menjadi aktivis NU pekalongan, dipilihnya Pekalongan
menjadi tempat penyelenggaraan Muktamar ke V itu karena adanya
kedekatan para kyai, ulama dan tokoh-tokoh pekalongan masa itu
dengan Ulama Besar Jawa Timur yang menjadi pendiri NU. Bahkan ada
anggapan bahwa adanya hubungan antara Kyai Pekalongan dengan
Kyai Jawa Timur yang sudah terbangun sejak lama, maka NU
Pekalongan sudah terbentuk sejak awal berdirinya NU pada tahun
1926. Kyai-kyai legendaris Pekalongan yang memiliki peran besar bagi
kemunculan NU di Pekalongan diantaranya Kyai Amir dari Pesantren
Simbang Kulon-Buaran, Pekalongan, (yang konon memiliki kedekatan
dengan ulama Jawa Timur melalui kebersamaan berguru di Mekah dan
ketika mondok di Termas-Pacitan); Kyai Fahdlun, dan beberapa kyai
lagi. Dalam perkembangan selanjutnya ada Kyai Safe‟i dari Pringlangu,
dan Kyai Akrom Kasani yang memiliki peran besar ketika organisasi
NU masuk dalam politik. Sejalan dengan itu tokoh NU seperti Gus Dur
juga sering berkunjung ke Pekalongan. Menurut ceritara yang hidup di
Pekalongan setiap kali Gus Dur ke Pekalongan untuk urusan NU dia
sering kali diantar dengan diboncengkan Vespa oleh Pak Mahmud
Maskur ketua pengurus NU Pekalongan
66
Struktur kepengurusan organisasi NU di Pekalongan saat ini
sudah terbentuk dari tingkat Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten),
Majelis Wakil Cabang (tingkat Kecamatan) dan Pengurus Ranting
(tingkat Desa/Kelurahan) berikut perangkat keorganisasiannya seperti
Muslimat, Fatayat, GP Anshor, Lakpesdam NU, PMII, IPNU, IPPNU
Lesbumi, dll. Di bidang pendidikan melalui lembaga Ma‟arif NU
menaungi sekolah-sekolah yang didirikan oleh individu-individu
(umat NU) yang di daftarkan menjadi bagian dari Ma‟arif NU. Lembaga
pendidikan MI (Madrasah Ibtidaiyah) yang dikelola NU berjumlah 87
buah, sedangkan lembaga setingkat PAUD/TK (Raudhatul Athfal)
berjumlah 200 buah,
Dari data statistik yang dihimpun oleh Kantor Kemenag
(Kementrian Agama) Kota Pekalongan, jumlah LPQ di Kota
Pekalongan tahun ajaran 2016-2017 berjumlah 206 LPQ yang hampir
semuannya berafiliasi dengan NU. Selain itu di Pekalongan terdapat 33
pesantren dan sekitar 30 buah majelis taklim , yang sebagian besar
bernaung di bawah organisa NU.
Menurut salah seorang pengurus harian NU Kota Pekalongan
salah satu peran orgnaisasi NU di Pekalongan saat ini adalah
membangun jembatan antara masyarakat yang membutuhkan bantuan
di bidang ekonomi dan kesehatan dengan program-program
pemerintah yang terkait. Mekanisme kerja dari bidang ini, yaitu
mempergunakan jaringan ranting NU yang ada di tiap kelurahan. Tugas
ranting adalah untuk mengorganisir, mendata, melakukan pemetaan,
dan menginventarisir kebutuhan warga miskin. Dari data ini kemudian
di-share-kan ke tingkat cabang untuk dilakukan pendataan. Tingkat
cabang akan mencari pihak-pihak yang memiliki program terkait
dengan kebutuhan, bisa lembaga pemerintah maupun swasta. (relasi
kerjasama ini berbeda di masa sebelum reformasi, dimana relasi
kerjasama ini tidak mungkin dilakukan). Di ranting, mereka tidak
hanya menunggu program dari cabang namun berinisiatif dengan
mencari dukungan dari pengusaha-pengusaha lokal yang bersedia
untuk beramal. Ranting telah memiliki data dari pengusaha-pengusaha
67
yang bersedia untuk melakukan sedekah atau zakat. Aktifitas bersama
pengusaha-pengusaha lokal untuk upaya kesehatan dan pendidikan ini
sudah berlangsung sejak 2007. Pada tahun 2012 muncul lembaga infaq
yang disebut LAZISNU (Lembaga Amal Zakat Infaq Sodakoh NU).
Lembaga ini menampung dana sedekah dari para pengusaha yang
sebelumnya langsung kepada ranting namun dengan adanya lembaga
ini alurnya menjadi berubah, yaitu melalui lembaga ini kemudian
bekerjasama dengan ranting disalurkan untuk kepentingan pendidikan
dan kesehatan. Dengan demikian ranting NU tidak lagi berhubungan
langsung dengan pengusaha tetapi melalui lembaga ini. Hanya pada
kegiatan-kegiatan yang bersifat isidentil maka para pengusaha tersebut
akan di hubungi untuk mendapatkan dukungan dana. Lembaga infaq
NU ini diluar lembaga infaq yang diselenggarakan oleh pemerintah,
hanya saja lembaga ini menggunakan aturan-aturan yang dikeluarkan
oleh pemerintah untuk mengatur lembaganya yaitu BASNAS (Badan
Amal Sakat Nasional) yang keberadaannya ada sampai ke kota dan
kabupaten. Perlu dicatat bahwa lembaga zakat ini juga ada di
Muhammadiyah dengan sebutan LAZISMU dengan perbedaan pada
huruf “m” untuk Muhammadiyah.
Untuk kebutuhan dana operasional organisasi NU Pekalongan,
dana didapat dari Baitulmal Wadanir (unit kerja koperasi yang
didirikan oleh beberapa warga NU), dan BMT MTS NU (Koperasi NU).
Di BMT MTS NU sudah ada kesepakatan sejak dulu bahwa prosentase
dari hasil diberikan kepada Organisasi NU setiap akhir tahun. Dana NU
juga didapat dari pemotongan 50% honor sebagai pengurus Koperasi
NU. Ada komitment dari pengurus untuk ikut menyumbang bagi
perkembangan organisasi. Nilai solidaritas dan keinginan untuk
mengembangkan organisasi NU tinggi dikalangan pengurus dan umat
Nahdiyin melalui sumbangan-sumbangan tersebut.
Di NU, proses keterlibatan seseorang dalam organisasi di bawah
NU ditentukan oleh pengamatan para sesepuh (tokoh) lokal. Para
sesepuh ini akan mengamati keaktifan pemuda-pemuda
dilingkungannya untuk kemudian melakukan pengkaderan secara tidak
68
formal. Zaenal misalnya, mengaku bahwa dia bisa terlibat di
pengurusan NU dimulai karena keaktifannya di dalam organisasi di
bawah NU. Zaenal tidak memiliki latar belakang pesantren, dan hanya
bersekolah di sekolah-sekolah umum Islam. Di masa SMA, ketika itu
bersekolah di SMA Salawiyah Sari, ia aktif dalam oraganisasi
dikampungnya. Zaenal kemudian masuk ke IPNU selama 2 tahun di
kelurahannya (kampungnya). Setelahnya, karena ada Maskesta (Masa
Kesetiaan Anggota/semacam pendadaran aktifis muda NU) yang
dilakukan oleh para senior di Ansor, Zaenal kemudian ditarik masuk ke
Ansor tingkat ranting yang ada di kelurahannya. Pada tahun ke tiga,
Zaenal kemudian menjadi ketua Ansor ranting. Perlu dicatat bahwa
dalam kepengurusan NU di pekalongan pengaruh para kyai masih
sangat penting terutama dalam memberikan referensi agar seseorang
dapat duduk dalam kepengurusan NU. Dalam hal ini kepengrusan NU
tidak lagi harus dari lingkungan pesantren. Namun demikian umumnya
mereka berasal dari lingkungan anak ketururunan dari keluarga aktivis
NU. Sebagai contoh, Zaenal menjadi pengurus NU antara lain
dikarenakan orang tuanya memiliki latar belakang tradisi NU kuat. Ibu,
Bapak dan nenek Zaenal adalah tokoh-tokoh NU. Ibu Zaenal pernah
menjadi ketua muslimat ranting dan pernah juga ketua muslimat
tingkat kota/cabang pada tahun 1985. Neneknya pernah menjadi ketua
ranting partai NU pada tahun 50 an. Sedangkan Bapaknya merupakan
anggota Banser di tahun 1960. Kemudian adik dari Ibunya adalah
sekretaris muslimat NU pada tahun 1983, dan pernah menjadi utusan
untuk mengikuti muktamar NU di Situbondo tahun 1984 (ketika NU
kembali ke qitah).
Nilai-nilai Pegangan Warga Nahdiyin
Untuk menjadi warga nahdiyin tidak diperlukan administrasi
keanggotaan formal. Seperti dikatakan oleh salah seorang responden:
“Tiap orang yang memiliki komitment dan keyakinan terhadap tradisi-tradisi yang ada di NU bisa dikatakan sebagai warga Nahdiyin. Yang terpenting untuk menjadi seorang NU, adalah adanya komitment dan kepatuhan kepada kyai setempat atau Kyai NU dalam kaitannya dengan kaidah dan syariat
69
keagamaan sesuai dengan Al sunah Wal Jamaah ala Nahdiyin seperti tawasuth (moderat) sebagai sikap dasar yang dikembangkan NU selain tawadhu‟ (rendah hati), tasamuh (lapang dada), dan tawazun (hati-hati).” 4
Dalam menjalankan nilai-nilai Al sunah Wal Jamaah kaun
Nahdhiyin berpegang teguh pada prinsip “Al-Mukhafadotu bil qodimissolih Wah akhdu bil jadidil Aslah”, yang artinya “memelihara
yang dahulu yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”
dengan demikian hal-hal yang dulu seperti tradisi, budaya-budaya yang
dilakukan oleh para ulama Islam terdahulu tetap dirawat dan
dijalankan. Termasuk didalam tradisi itu adalah praktek keseharian
dalam kehidupan keagamaan yang sesungguhnya lebih merupakan
tradisi lokal seperti nyadran, bersih kubur, slametan, ruwatan, netonan,
dan melakukan amalan-amalan seperti tahlilan, haul, diba‟an,
barzanjian, dalailan, thoriqohan.
Salah satu nilai yang dijunjung tinggi dikalangan NU adalah
penghormatan yang tinggi kepada guru (terutama kepada guru yang
mengajarkan agama kepadanya), orang tua, dan kyai. Nilai taklit
mengajarkan kepada para santri (murid) untuk tunduk dan taat
mengikuti pendapat para kyai tanpa bertanya terlebih dahulu. Nilai ini
menjadikan kedudukan para kyai, habaid, dan tokoh agama sangat
dominan dan menjadi panutan dalam kehidupan sosial, keagamaan
kaum nahdliyin. Hanya saja dalam sejarah Pekalongan penghormatan
dan ketaatan kepada para kyai itu pernah diciderai oleh apa yang
disebut oleh J Mardimin sebagai „perlawanan politik santri‟. yang
menjadi pertanda pudarnya kewibawaan dan pengaruh kyai di
Pekalongan sebagai akibat dari konflik PPP dan PKB tahun 1998.
Dalam peristiwa konflik politik itu beberapa kyai kharismatik dihujat,
dicemooh, bahkan diancam untuk diculik, suatu keadaan yang dalam
kultur NU tak dapat diterima.
Perkembangan kaum nahdhiyin tidak lepas dari pembentukan
ketaatan dan pola pikir agamis masyarakat melalui sebuah mekanisme
4 Wawancara dengan Zaenal
70
sosial budaya yang tidak pernah putus dan lintas generasi. Dalam hal
ini proses pembentukan itu muncul dari sistem pendidikan dan
pengajaran agama yang dibangun dalam keluarga, lingkungan tempat
tinggal, dan dilembaga-lembaga pendidikan yang dikembangan oleh
masyarakat seperti pesantren, majelis taklim, alib-aliban (belajar
membaca arab) di langgar dan masjid di kampung-kampung. Lebih lagi
di jaman sekarang madrasah juga memegang peranan pendidikan
agama. Lembaga-lembaga pendidikan ini tampaknya memegang
peranan penting bagi terbentuknya komunitas muslim dalam
memegang sistem keyakinannya. Banyak keluarga muslim di
Pekalongan mengajarkan pendidikan agama mulai pada saat anak-anak
mereka masih kecil. Pada umumnya setelah dewasa mereka masih
ingat saat-saat mereka dibangunkan pada pagi buta untuk diajak sholat
subuh, atau pada sore hari setelah magrib mereka belajar alib-aliban
dilanggar, di mushola atau diteras masjid bersama teman-teman
sebayanya.
Peran orang tua dalam pendidikan Islam bagi anak-anak mereka
merupakan tugas yang diwajibkan oleh agama dan telah membentuk
sebuah rantai yang tidak putus. Para orang tua mengalami pengalaman
dan suasana pendidikan yang sedemikian sejak masa kanak-kanak dan
akan menurunkan pada anak-anaknya. Ada pola umum internalisasi
ajaran Islam tradisional pada individu yang berimplikasi pada
pembentukan tatanan keyakinan dalam masyarakat, yang kemudian
menjadi basis ikatan primordial dalam jaringan Islam Tradisional.5
Mulai dari pembentukan nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari
dalam keluarga dan kemudian merembes dan melembaga di komunitas
yang lebih luas melalui berbagai jaringan keagamaan.
5 Bandingakan misalnya uraian dari Britt Dale dalam “Using an Institutionalist Approach as Analytic Framework in Regional Studies”, University of Oslo, 2002.
71
Jaringan Dakwah: komitmen mempertahankan tradisi
keislaman
Dalam kehidupan sehari-hari kaum Nahdiyin dakwah
merupakan penegakan atau penjagaan terhadap nilai dan tradisi Islam.
Kata Dakwah berasal dari bahasa Arab da‟wah yang memiliki arti
sebuah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil
orang untuk beriman dan taat kepada Allah sesuai dengan garis aqidah,
syari‟at dan akhlak Islam.6 Yang kedua, memiliki arti penegakan atau
penjagaan terhadap nilai dan tradisi Islam. Dengan pengertian dakwah
sangat luas, mencakup berbagai kegiatan pendidikan, pengajaran,
penegakan dan penjagaan tradisi ritual dan sebagainya. Berikut akan
diuraikan beberapa jaringan dakwah yang ditemui di Pekalongan yaitu
jaringan majelis taklim, jaringan pesantren dan jaringan tarekat.
Jaringan Majelis Taklim
Dalam Islam majelis dapat berarti tempat perkumpulan, dewan,
dan tempat sidang. Sedangkan ta‟lim atau taklim didalam bahasa arab
artinya masdar atau dalam kata kerja memiliki arti pengajaran.
Sehingga majelis taklim dapat diartikan sebagai tempat berkumpul
untuk orang belajar dan mengajar tentang agama.
Majelis taklim dapat dikatakan sebagai sebuah jaringan
komunitas lokal yang tumbuh di tengah masyarakat lokal. Ia tumbuh
sebagai sebuah kelembagaan dakwah yang bersifat informal. Bentuk
organisasinya pun longgar, dalam artian tidak ada struktur dan aturan-
aturan ketat yang tertulis dan baku. Tidak ada sistem administrasi yang
diberlakukan dalam penyelenggaraan majelis taklim, sehingga siapapun
bisa ikut dalam majelis taklim ini. Hanya saja karena hampir di setiap
kampung terdapat majelis taklim maka yang mengikuti majelis taklim
ini terbatasi dengan sendirinya hanya warga kampung saja.
Sebagai tempat pengajaran agama, dalam majelis taklim ada
guru dan murid. Ada materi-materi yang telah disiapkan dari kitab-
6 https://id.wikipedia.org/wiki/Dakwah
72
kitab tertentu sebagai bahan pengajaran. Ada rutinitas waktu
penyelenggaraan majelis taklim tergantung dari kesepakatan yang
dibuat antara guru dan murid.
Relasi antara guru dan murid pada majelis taklim yang bersifat
lokal ini, menunjukkan relasi yang kuat. Tidak hanya sebatas pada
relasi murid dan guru, tetapi juga relasi pertemanan dan perkerabatan
juga melingkupinya. Ini terjadi karena yang menjadi guru adalah
anggota warga kampung tersebut, yang karena telah mengecap ilmu
keagamaan dari pesantren atau majelis taklim lainnya sehingga
dianggap warga mampu untuk mengajar agama. Menurut informasi
dari salah seorang responden, kedekatan relasi ini sangat tampak ketika
misalnya murid yang tidak diketahui sebabnya tidak hadir dalam
majelis taklim beberapa kali, maka guru (kyai langgar7) akan
mengunjungi murid tersebut.
Dengan adanya kedekatan tidak hanya sebagai guru dan murid
tetapi juga sebagai bagian dari anggota masyarakat itu sendiri, sangat
dimungkinkan tingkat kepercayaan warga kampung terhadap kyai
lokal ini kuat, dan menjadi tempat rujukan utama dari warga kampung.
Sebagai contoh, Zaenal (salah seorang responden) menceritakan bahwa
walaupun ia sebagai orang yang mengenal banyak kyai karena
keaktifan dalam organisasi NU namun saran utama yang akan diikuti
adalah Kyai Langgar di kampungnya dimana sejak kecil ia belajar
mengaji dan mengenal Islam.
Dalam perkembangan, majelis taklim yang awalnya memiliki
ruang lingkup lokal sebatas kampung dapat meluas dengan kehadirian
orang-orang dari luar kampung hingga luar kota, propins, dsb.
Kehadiran orang-orang luar kampung ini, menurut beberapa
responden seperti Kyai Zakaria dan Zaenal disebabkan karena
informasi yang menyebar dari kerabat dan teman karena ada kekhasan
dari majelis taklim tersebut. Kekhasan ini bisa karena metode yang
digunakan atau kitab khusus yang diajarkan. Sebagai contoh majelis
7 Kyai langgar dipakai Pradjata untuk menunjuk pada guru ngaji yang ada di langgar-langgar di desa Tayu.
73
taklim yang cukup terkemuka dimasa orde baru dan memiliki
pengaruh cukup kuat, yaitu majelis taklim yang diasuh oleh Kyai
Abdul Fatah Tohir di Kradenan. Kyai Abdul Fatah Tohir merupakan
ayah dari Kyai Tohir yang merupakan salah satu tokoh PPP dikala itu.
Majelis taklim ini memiliki kekhasan yaitu mengajarkan kitab eliyak
(imam Gozali) yang merupakan ajaran tasawuh. Dan konon kata Kyai
Zakaria, para kyai akan merasa belum sempurna jika tidak mempelajari
kitab eliyak dan bisa dikatakan sebagai syarat sebagai seorang yang
akan memimpin pesantren.
Dalam beberapa kasus, perkembangan jaringan lokal
merupakan awal bagi perkembangan aktor. Kemunculan aktor di
dibidang dakwah berawal dari pembangunan jaringan di aras lokal,
kemudian meluas masuk dalam jaringan dakwah diaras lintas lokal.
Jaringan Pesantren
Berbeda dengan majelis taklim di langgar-langgar kampung
yang sifat jaringannya lokal, pesantren memiliki sifat jaringan lintas
lokal atau wilayah. Artinya relasi antar pesantren cenderung terbangun
dengan pesantren-pesantren di luar kota, bahkan hingga daerah-daerah
yang jauh. Sering terjadi pesantren-pesantren di satu daerah tidak
memiliki jaringan satu sama lain.
Jaringan pesantren ini ditentukan melalui hubungan pesantren
tertentu dengan pesantren induknya. Kecenderungannya adalah
jaringan ini ditentukan oleh hubungan dimana tokoh-tokoh dari suatu
pesantren pernah mengecap ilmu. Sebagai satu contoh, pesantren Al-
Mubarok yang terletak di Jl. Setia Bakti 166, Medono, Kota Pekalongan
yang saat ini diasuh oleh Kyai Zakaria Anabas. Pondok pesantren ini
memiliki sejarah kedekatan dengan beberapa pesantren diawali dari
perjalanan mencari ilmu oleh tokoh-tokohnya. Berikut ini sepenggal
cerita dari Kyai Zakaria terkait dengan perjalanan Kyai Anshor (Ayah
Kyai Zakaria) tokoh pendiri dalam menimba ilmu.
“Cerita bermula dari keinginan Ayah Kyai Zakaria (Kyai Anshor) untuk mondok di pondok pesantren Payaman Magelang. Keinginan Kyai Anshor untuk mondok ini muncul
74
setelah mendengar cerita tentang pengalaman kehidupan pesantren dari pamannya, yang baru pulang dari mondok di pesantren Payaman. Atas niat bulat dari Kyai Anshor, tanggal 2 Februari 1954 Kyai Anshor datang ke Pesantren di Payaman-Magelang, dan tinggal di pesantren tersebut.
Serasa cukup menimba Ilmu di pesantren di Payaman-Magelang, pada tahun 1958 kyai Anshor bersama beberapa temannya memutuskan untuk melanjutkan menimba ilmu agama di sebuah pesantren di daerah Mangkang-Semarang.
Namun karena Kyai Anshor memiliki pertimbangan lain, di Mangkang-Semarang ia hanya tinggal selama 8 bulan, dan pada tahun yang sama (1958) ia pun kemudian memutuskan untuk pindah ke Pesantren Tebu Ireng di Jombang-Jawa Timur. Hingga tahun 1962 ia memutuskan untuk kembali ke Pekalongan.
Sekembalinya Kyai Anshor ke kampung halamannya di pekalongan, ia kemudian mengikuti tarekat Naqsyabandiyah di Petarukan-Pemalang dengan gurunya yaitu Kyai Mi‟ad. Dari keterlibatan Kyai Anshor di tarekat ini lah, kemudian beberapa santri lain yang sama-sama mengikut tarekat ini menitipkan anak-anak mereka kepada kyai Anshor untuk belajar ilmu agama. Sehingga kemudian berkembang menjadi pesantren Al-Mubarok.”
Mencermati cerita perjalanan Kyai Anshor ini, tampak bahwa
Kyai Anshor telah mengecap ilmu dari beberapa pesantren, dan ini
yang membuat dirinya masuk kedalam jaringan pesantren. Hal ini
tampak dari perkembangan selanjutnya. dimana Kyai Anshor yang
memiliki tujuh anak kemudian mengirimkan anak pertamanya yaitu
Durwahid (Kakak Kyai Zakaria) untuk masuk ke pesantren di
Payaman-Magelang yang merupakan pesantren awal dari Kyai Anshor.
Jaringan pesantren yang mulai dibangun oleh Kyai Anshor
dengan salah satu pesantren induknya di Payaman Magelang ini
kemudian diperluas oleh Kyai Anshor. Perluasan jaringan ini dilakukan
dengan mengarahkan Kyai Zakaria beserta adik-adiknya untuk masuk
ke pesantren Al-Anwar di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Pesantren
Al-Anwar di Sarang-Rembang menjadi sebuah pilihan dari Kyai
75
Anshor karena pesantren ini menjadi salah satu pesantren orientasi dari
Pesantren Tebu Ireng.
Dalam jaringan pesantren, pesantren orientasi (sanat/kiblat
keilmuan) merupakan sebuah simpul yang bisa menghubungkan satu
pesantren dengan pesantren lainnya. Tiap-tiap pesantren memiliki
pesantren yang menjadi orientasinya dan pesantren orientasinya ini
bisa berganti/bergulir tergantung siapa tokoh yang memimpin
pesantren saat itu. Seperti di Al Mubarok, ketika Kyai Anshor menjadi
pengasuh pondok maka yang menjadi salah satu pesantren orientasinya
adalah Tebu Ireng dengan guru rujukannya Kyai Hasyim, tetapi setelah
di pegang oleh Kyai Zakaria yang menjadi pesantren orientasinya
adalah Al-Anwar dengan guru rujukannya Kyai Maimun. Pesantren
orientasi ini akan menjadi rekomendasi bagi para santri di Pesantren
Al-Mubarok untuk meneruskan perjalanan pencarian ilmu.
Dengan demikian jaringan pesantren ini muncul didasari oleh
nilai ketaatan dan penghormatan pada guru oleh murid. Nilai ini
terbagun dari sistem pengajaran di pesantren. Mulai dari pembelajaran
kitab ta‟limulmuta‟alim pada saat santri masuk ke pesantren. Kitab
ta‟limulmuta‟alim berisikan tentang ajaran etika orang-orang berilmu.
Melalui kitab ini, santri akan diajarkan tentang bagaimana bersikap di
hadapan kyai, mengutarakan pendapat dan menghormati guru (kyai)
akan kapasitas keilmuannya.
Selain melalui kitab tersebut, kedekatan relasi antara kyai dan
murid juga muncul dari sistem pengajaran sorogan dan bandongan8
yang menjadi ciri khas dari pondok pesantren tradisional. Sistim
sorogan dan bandongan ini membangun ikatan personal secara
langsung antara kyai dengan santri. Sistem sorogan ini merupakan
sistim pengajaran dasar bagi santri pemula di pesantren. Walau dasar
tetapi sebenarnya memegang peranan penting dalam pembelajaran
selanjutnya, karena ditingkatan selanjutnya kelancar membaca dan
menulis Arab merupakan syarat dalam mengkaji kitab-kitab kuning.
8 Baca Dhofier, 1994, hal 28 – 29.
76
Seorang kyai akan mendampingi santri secara personal dengan
berhadapan langsung. Jika santri salah dalam pengucapan ayat yang
sedang dibaca, kyai akan langsung memperbaiki hingga benar. Hal ini
dilakukan karena dalam pembacaan ayat suci Al‟Quran atau tulisan
arab dalam kitab-kitab kuning, kesalahan baca sekecil apapun bisa
berakibat fatal. Tiap laval bisa mengandung makna yang berbeda.
Untuk itu kyai melakukan verifikasi, atau istilah yang digunakan dalam
pesantren yaitu “tashih”. Dengan adanya tashih oleh guru, santri akan
merasa percaya diri untuk mememimpin majelis ta‟lim di kampung-
kampung, di langgar-langgar, di masjid-masjid, dll.
Lamanya seorang santri berada dalam sistim sorogan ini tidak
tentu, ada yang bisa menuntaskan dalam waktu singkat tetapi ada yang
bisa memakan waktu bertahun-tahun. Tidak ada batasan waktu belajar
di pesantren, semuanya tergantung dari tiap santri. Siang hingga malam
bagi santri pemula hal ini menjadi hal yang mereka lakukan secara
rutin hingga Kyai menganggap cukup dan memperbolehkan santri
tersebut masuk kedalam kelompok yang lebih tinggi.
Kelompok kajian yang lebih tinggi ini menggunakan sistem
bandonggan, yang artinya para santri masuk dalam kelas-
kelas/pengelompokan berdasarkan usia atau tingkatan keilmuan
masing-masing santri. Berbeda dengan sistem sorogan, dalam sistem
bandonggan santri tidak dituntut untuk maju ke depan kyai dan
mengucapkan ayat dalam kitab. Santri hanya mendengarkan penjelasan
dari kyai tentang terjemahan dan tafsir terhadap suatu ayat tertentu
yang sedang dipelajari, serta pemahaman mendalam tentang makna di
balik ayat-ayat yang dipelajari. Para santri akan memberi catatan
terhadap ayat-ayat dalam kitab kuning miliknya dengan menggunakan
bahasa jawa dengan tulisan arab.
Dalam kehidupan santri di pesantren, para santri tidak hanya
belajar tentang baca dan tulis arab serta pemahaman agama melalui
kitab-kitab yang ada. Tetapi para santri belajar juga cara hidup dan
pemikiran kyai yang ia hormati. Termasuk cara makan, minum,
beribadah, interaksi sosial, prilaku masuk-keluar ruangan, pakaian,
77
menghadapi berbagai persoalan umat, dll. Sehingga seluruh
pengalaman hidup didalam pesantren lambat laun membangun
membentuk karakter dari para santri. Begitu juga tingkat percayanya
santri terhadap kebesaran kyainya akan semakin kuat.
Selama santri tinggal di Pesantren, Kyai merupakan orangtua
mereka dan santri lainnya adalah saudara mereka. Nilai persaudaraan
diantara santri sangat kuat, yang muncul karena mereka tinggal dan
beraktivitas bersama dalam kurun waktu yang cukup lama. Para santri
ini tidur berdesak-desakan dalam satu ruangan bersama-sama, belajar
bersama, memenuhi kebutuhan seperti makan dan minum secara
bersama-sama, dan mereka selalu berbagi apa yang mereka miliki. Dan
ikatan antar santri ini akan hidup terus walau para santri ini telah
kembali ke daerah masing-masing.
Dalam perkembangan saat ini, dimana tehnologi transportasi
dan telekomunikasi berkembang pesat, jaringan antar santri semakin
kuat dengan munculnya jaringan Almamater. Menurut Kyai Zakaria,
gejala menguatnya jaringan almamater (berdasarkan asal
keilmuan/pondok pesantren induk) baru-baru ini terjadi. Dulu tiap
pesantren walau sama-sama berasal dari pondok induk yang sama
jarang bertemu. Biasanya para pengasuh pondok melakukan
silahturami secara pribadi ke pondok pesantren induk pada saat
tertentu saja, seperti ketika hari raya Idul Fitri. Namun sekarang
dengan kemudahan telekomunikasi terutama dengan adanya HP
dengan fasilitas penunjang untuk terbangunnya relasi kelompok seperti
group WhatsApp, BBM, dll, maka link antar alumni sangat mudah
dibangun. Sekarang pesantren-pesantren tersebut membangun
wadahnya sendiri-sendiri di Pekalongan (Kota dan Kabupaten).
Beberapa almamter tersebut diantaranya yaitu dari Tebu Ireng, Al-
Anwar Sarang, Kaliwungu, Pesantren API Tegalrejo, dll. Paguyuban
berdasarkan almamater ini ada nama sendiri-sendiri seperti HIMA
(Himpunan Muhtarojin) merupakan kumpulan pondok yang memiliki
asal keilmuan dari PP Al Anwar Sarang, kemudian dari Lirboyo yaitu
HIMASA, dll.
78
Silahturahmi antar beberapa Kyai pengasuh
pondok pesantren di Pekalongan
Kegiatan almamater ini biasanya dilakukan secara rutin, seperti
HIMA, dilakukan rutin satu bulan sekali. Bentuk acaranya adalah
pengajian. Mulai dari bacaan
kitab, aurod/wirid, dan
kemudian konsolidasi. Ada
beberapa tujuan dari
paguyuban almamater ini yaitu
1) tetap menjaga tali
persaudaraan antar santri
sehingga hubungan “barokah”
tidak putus; 2) Sebagai wadah
penyaluran informasi kegiatan
pondok induk beserta kegiatan
almamater. Wadah ini juga berfungsi ketika ada kunjungan dari Kyai
dari pondok induk sehingga dapat di jamu oleh semua anggota
almamater yang ada di wilayah tersebut; dan 3) Sebagai upaya
merespon isu-isu yang berkembang di wilayah tersebut khususnya
ketika gerakan transnasional semakin meningkat dilingkungan masing-
masing. Sehingga dengan adanya paguyuban, pesantren dapat
melakukan gerakan bersama dalam memberi penyadaran dikalangan
pesantren masing-masing atau kepada santri melalui pembicaraan
dalam pengajaran, kotbah, maupun seminar jika dimampukan untuk
menyelenggarakan.
Namun apakah jaringan pesantren selalu menguat? Dalam
beberapa wawancara yang penulis lakukan, ada beberapa responden
yang menceritakan bahwa ada perubahan terjadi didunia pesantren saat
ini. Sebagai contoh, situasi yang di ceritakan oleh Kyai Marzuki
tentang pengalaman masa kecil dan sekarang. Ia merasa ada perbedaan
animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke Pesantren. Ia
menceritakan bahwa pada saat ia masih kecil pondok pesantren
memiliki pengaruh yang sangat kuat di lingkungan masyarakat
pekalongan. Pengaruh ini teutama disebabkan pada jaman dulu di
Pekalongan, masyarakat tidak melihat kebutuhan akan ilmu
pengetahuan lain selain Agama. Mereka beranggapan bahwa tidak
79
perlu sekolah tinggi-tinggi untuk menjalankan usaha perbatikkan, dan
beranggapan bahwa belajar agama di pondok pesantren sudah cukup.
Namun semenjak mulai surutnya industri batik di Pekalongan,
masyarakat melihat bahwa peluang untuk menjadi pegawai lebih
menjanjikan. Sehingga kemudian masyarakat memasukkan anaknya di
sekolah-sekolah umum.
Perubahan situasi sosial ekonomi masyarakat Pekalongan
tersebut juga mendorong perubahan pada pengajaran di pesantren.
Beberapa pesantren yang awalnya murni salaf kemudian mulai
menjadikannya kedalam bentuk madrasah, sehingga kurikulum sekolah
umum juga masuk dalam pengajarannya selain pengajaran agama.
Sistem madarasah diharapkan dapat bersinergi dengan sekolah modern
sehingga santri-santri juga bisa mendapatkan ijasah untuk melanjutkan
kejenjang perguruan tinggi atau menjadi pegawai.
Seiring dengan situasi ini dan perkembangan media semakin
cepat, pesantren mendapat tantangan baru. Dengan tehnologi yang
semakin berkembang, akses terhadap kajian-kajian tentang pemikiran
pembaharuan dalam Islam mulai dapat dengan mudah masuk dan
menguat didalam pesantren. Beberapa pesantren berhasil dalam
membentengi dan menjaga tradisi-tradisi yang selama ini dijaga dari
pemikiran-pemikiran ini. Mereka melakukannya melalui kajian
bersama dengan pengasuh pondok pesantren yang lain dalam bahsul masail. Kegiatan bahsul masail merupakan kegiatan di bawah NU yang
melakukan kajian perosoalan sosial dari sisi hukum Islam. Namun
walaupun demikian beberapa responden mengatakan bahwa beberapa
pesantren di Pekalongan ada yang tidak dapat membentengi dirinya
sehingga terjadi perubahan pada tradisi-tradisi yang dulu sangat
dipertahankan, saat ini mulai memudar. Menurut beberapa responden
perubahan ini dapat dilihat dari mulai adanya penentangan terhadap
kesenian-kesenian tradisional yang dulu dijaga keberadaanya oleh wali
songo.
Uraian diatas menjelaskan bagaimana upaya pesantren untuk
mengembangkan jaringan agar dapat tetap menjaga kelangsungan
80
hidupnya, dan tradisi pesantren tidak pudar ditengah perubahan
dinamika masyarakat. Mulai dari mendidik calon-calon kyai yang
diharapkan dapat menggantikan kedudukannya, membangun
kerjasama diantara pesantren dan membangun solidaritas diantara
mereka, serta usaha-usaha lainnya. Cara praktis yang dilakukan oleh
pesantren untuk menumbuhkan solidaritas dan kerjasama diantara
mereka yaitu ada tiga. Pertama, mengembangkan suatu tradisi bahwa
keluarga yang terdekat harus menjadi calon kuat sebagai pengganti
kepemimpinan pesantren. Kedua, mengembangkan jaringan aliansi
perkawinan endogamous antar keluarga kyai. Dan ketiga,
mengembangkan transmisi pengetahuan dan rantai transmisi
intelektual antara sesama kyai dan keluarganya. Hal yang sama
sebenarnya juga diungkapkan oleh Dhofier (1994), bahwa ada usaha-
usaha keras dari Kyai agar kelangsungan hidup pesantrennya tidak
punah.
Jaringan Tarekat
Kata tarekat berasal dari bahasa arab thoriqoh dengan kata
jamaknya thoraiq, yang memiliki arti (1) jalan atau petunjuk jalan atau
cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-
mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat,
payung („amud al-mizalah). Dari pengertian ini dapat ditarik dua
pengertian penting dari tarekat yaitu: (1) sebagai jalan, ini mengacu
pada cara yang dilakukan melalui latihan meditasi atau amalan tertentu
yang dilakukan seperti wirid, dzikir, dll, dalam upaya mendekatkan
diri pada Tuhan. (2) Aliran/mazhab yang membawa pengertian adanya
persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan
adanya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah9.
9 Dalam tulisan Emroni berjudul “KONTRIBUSI LEMBAGA SUFI DALAM PENDIDIKAN ISLAM: Studi Terhadap Lembaga Ribath, Zawiyah dan Khanqah” yang dimuat dalam Ta'lim Jurnal Ilmiah Pendidikan Islam, Vol. 5 No. 01 Januari-Juni 2015, 43-56, dikatakan bahwa Ribath, Zawiyah dan Khanqah adalah merupakan suatu lembaga yang berperan sebagai penampung para pengikut sufi dan sekaligus sebagai tempat untuk memperdalam ilmu pengetahuan mereka tentang bagaimana cara beribadah mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai macam kegiatan dan
81
Sebagai sebuah aliran, tarekat dalam menempuh jalan atau
metode untuk mendekatkan diri tersebut dilakukan berdasarkan pada
petunjuk yang diberikan oleh sederet guru-guru sufi yang berperan
sebagai perantara (wassilah). Para perantara ini adalah orang-orang
yang diyakini telah dekat dengan Tuhan dan dapat menolong untuk
mendekatkan diri dengan Tuhan. Para perantara ini dianggap sebagai
wali Tuhan baik itu yang sudah mati maupun masih hidup. Mereka ini
menjadi perantara karena diyakini dan diharapkan menjadi perantara
yang baik oleh umat-umatnya. Walau juga ada yang menjadi perantra
karena telah melalui berbagai ujian yang dilakukan oleh guru-guru sufi
sehingga mendapatkan ijasah untuk membaiat dan mengajarkan
tasawuf dalam traekat.
Dalam percakapan dengan beberapa umat Islam, untuk
mengikuti tarekat memerlukan kesiapan dalam segala hal, termasuk
melapaskan diri dari pikiran duniawi. Upaya ini dianggap sebagai
sebuah upaya yang memerlukan ketekunan dalam menjalaninya.
Sehingga banyak yang mengikuti tarekat ketika mereka sudah pensiun
bagi yang pegawai, atau telah mapan dalam kehidupannya. Orang yang
telah dianggap siap oleh seorang guru sufi baru bisa diangkat menjadi
pengikut resmi dari sebuah tarekat melalui sebuah acara pem-baiat-an.
Dengan di baiat atau mengucakan sumpah yang intinya akan setia pada
guru-guru tarekat dalam garis transmisi keilmuan keatas (silsilah)
hingga dengan pendiri tarekat dan Nabi Muhammad SAW. Sudah
latihan. Ribath, merupakan lembaga sufi yang lebih fleksibel, karena di dalamnya berisi orang-orang miskin, orang-orang tua atau janda yang tidak mampu membiayai dirinya yang ingin mendekatkan diri pada Allah, di samping orang-orang yang khusus ingin mendekatkan diri pada-Nya. Ribath ini muncul karena berawal dari barak-barak tentara perang Islam yang bertujuan untuk memperluas wilayah Islam. Zawiyah, adalah lembaga sufi yang lebih khusus yang lebih kecil ruang lingkupnya, sehingga dalam lembaga ini tidak terdapat aturan-aturan sebagaiman yang ada dalam Khanqah. Sistem Zawiyah pendidikan yang guruisme atau gurusentris, guru adalah segala galanya, tidak boleh dibantah dan harus selalu ditaati semua ajarannya. Guru adalah sosok yang sempurna baik dalam suatu keilmuannya maupun tigkah lakunya. Khanaqah dengan kebersamaan ini betul-betul mereka tanamkan, seperti ahli khanqah tidak boleh meninggalkan khanqah tanpa memberi tahu pada salah seorang yang hadir di sana.
82
barang tentu hubungan antara guru dan murid sangatlah penting dan
terikat kuat. Murid mengakui gurunya tidak hanya sebagai sumber
pengetahuan tetapi juga menjadi tuntunan yang dipercaya untuk tidak
tersesat.
Dalam tarekat kedudukan mursyid adalah tertinggi. Kemudian
dibawahnya adalah Kolifah yang merupakan murid sekaligus yang
membantu ikut mengajar murid-murid yang lain. Di bawahnya
kemudian ada Badal. Badal ini tersebar di berbagai daerah sebagai
penghubung antara umat/murid-muridnya dengan Mursyid.
Di Indonesia terdapat berbagai tarekat yang berkembang, dan
diantaranya ada beberapa tarekat utama dengan jumlah pengikut
terbanyak, diantaranya yaitu: Naqsyabandiyah, Alawiyyah, Idrisyiyah,
Khalwatiyah, Nahdlatul Wathan, Qodiriyah wa Naqsyabandiyah,
Tarekat Qodiriyah, Rifa‟iah, Samaniyah, Shiddiqiyyah, Syadziliyah,
Syattariyah, Tijaniyah, Maulawiyah, dan masih banyak lagi.
Dalam dunia tarekat, Pekalongan merupakan daerah yang
spesial, ini dikarenakan ada seorang guru mursyid (pembimbing) yaitu
Maulana Habib Muhammad Luthfi Bin Ali bin Hasyim bin Yahya
(Habib Luthfi) yang tinggal dan mengembangkan tarekatnya. Ia
merupakan menjadi sentral dari perkembangan tarekat Syadziliyah di
Indonesia dan juga menjadi ketua Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-
Mu'tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN) sebuah badan otonom NU yang
menaungi tarekat-tarekat dibawah NU. Sebagai ketua Jatman tentu
kemudian ia tidak hanya membawahi tarekat Syadziliyah tetapi
membawahi tarekat-tarekat yang berkembang di NU.
Sebagai tokoh sentral di Jatman, Habib Luthfi seringkali
mengadakan pertemuan guru-guru mursyid dari berbagai tarekat di
Pekalongan. Mereka berkumpul untuk berdiskusi dan tukar pikiran
tentang ilmu tasawuf. Seperti yang terjadi pada tanggal 27-29 Juli 2016
di Pekalongan berlangsung Konfrensi ulama internasional yang
diselenggarakan oleh Jatman. Hadir dalam konfrensi internasional ini
ulama-ulama dari berbagai negara.
83
Sebagai seorang sufi, Habib Luthfi, oleh Julian Day Howell dalam
buku yang di edit oleh Bryan S. Turner and Oscar Salemink berjudul
“Routledge Handbook of Regions in Asia”, mengelompokkan Habib
Luthfi sebagai kelompok Neo-sufi. Yang oleh Nurcholis Masjid
diidetifikasikan sebagai pengawal tasawuf kontemporer, dan corak
tasawufnya memiliki sifat tajdid (memperbaharui) baik pada konsep,
cara pandang dan pengamalan dari unsur bid‟ah, khurafat, dan
takhayul.
Selain tarekat Habib Luthfi, di Pekalongan masih ada beberapa
tarekat lain yang berkembang. Tidak ada yang tahu jumlah pasti dari
tarekat NU yang berkembang di Pekalongan. Namun selain Habib
Luthfi masih ada mursyid lain yang mengemuka, salah satunya adalah
Kyai Tofiq di Wonopringgo - Kabupaten Pekalongan yang merupakan
Mursyid dari tarekat Pengamal Dalail. Sedangkan lainnya, warga
banyak yang mengikut tarekat tetapi keberadaan mursyidnya ada di
luar kota.
Sebagai gambaran bagaimana seseorang terlibat dalam sebuah
tarekat, berikut ada cerita dari Kyai Zakaria yang menceritakan
bagaimana Ayahnya yaitu Kyai Anshori masuk dalam sebuah tarekat.
“Dalam proses mengikuti tarekat, awal Kyai Anshor sempat berkunjung ke beberapa kyai tarekat untuk melakukan penjajakan dan memahami dulu tentang apa itu tarekat, bagaimana hukum tarekat, dll. Hingga kemudian dalam kehadirian dibeberapa tarekat bertemu dengan seorang kyai dari Dusun Grogolan, Kelurahan Landung Sari, Kota Pekalongan, yang bernama Kyai Abdul Jamil. Kyai Abdul Jamil yang senang bergaul dan memiliki pemikiran terbuka, mengajak Kyai Anshori untuk berkunjung ke Petarukan Pemalang untuk bertemu Kyai Mi‟ad guru tarekatnya yang mengikut tarekat Naqsyabandiyah cabang dari Mranggen Semarang. Dalam perkenalannya dengan guru tarekat ini, Kyai Anshor menjadi tertarik, terutama tentang pandangan Kyai Mi‟ad yang memegang teguh pada syariat tetapi mengamalkan untuk dirinya sendiri dan tidak memaksakan pada orang lain. Seperti pengamalan terhadap pelaksanan hari raya yang berbeda dengan perhitungan dan ketetapan pemerintah. Perhitungan hari raya ini, bagi tarekat Nasabandi, tidak untuk
84
dipaksakan pada orang lain tetapi hanya bisa di terapkan pada diri pribadi, bahkan tidak pula kepada keluarganya maupun anggota tarekat lainnya. Jadi pengamalannya hanya untuk pribadi masing-masing.”
Dalam bertarekat, untuk mempelajarai dan mengamalkannya
dibutuhkan ketatan dalam menjalankannya sehingga seorang murid
harus di baiat agar dapat mengikuti semua arahannya. Di baiat berarti
dia mengikuti semua amalan, sikir dan pendalaman spiritualnya, tetapi
sisi syariatnya tetap syariat. Sedangkan kaitannya dengan duniawi bisa
saja berbeda dengan guru atau murid yang lain.
Dengan demikian jaringan tarekat hampir sama dengan nilai
yang dikembangkan dalam jaringan pesantren yaitu nilai keatatan pada
kyai, serta nilai persaudaraan dalam satu ikatan ilmu.
Pergeseran dan perkembangan Jaringan Ekonomi
Seperti yang telah di uraikan di bab IV, dijaman kejayaan batik
Pekalongan relasi kuat antara pesantren dengan para pengusaha kelas
menengah muslim yang bergerak di industri batik tradisional
terbangun. Ada relasi saling menguntungkan dan saling mendukung
antara pengusaha dengan ulama yang kemudian menjadikan
perkembangan pesat dibidang dakwah. Jaman dulu orang-orang
kaya/pengusaha-pengusaha batik memondokkan anaknya di pesantren
dengan maksud ketika keluar dapat meneruskan usaha dan tidak
menjadi pegawai. Sehingga dalam situasi ini para pengusaha ada
keterkaita erat dengan pesantren.
Keterkaitan erat antara pengusaha dengan pesantren juga
meluas pada kehidupan organisasi NU. Hampir sebagian besar kegiatan
organisasi NU dominasi yang hadir adalah dari kalangan pengusaha-
pengusaha batik (juragan). Bahkan berjalannya organisasi NU di
Pekalongan juga atas sumbangan-sumbangan dari para juragan batik.
Para pengusaha ini dilibatkan atas peran dari para kyai/ulamanya
sebagai upaya pengembangan NU. Namun walaupun para pengusaha
85
ini duduk dalam kepengurusan NU, para pengusaha ini hampir tidak
memiliki kekuatan untuk mengatur arah kebijakan politik NU. Semua
masih tergantung dari para Kyainya. Mereka adalah santri-santrinya
sehingga patuh terhadap apa yang menjadi kehendak dari kyai.
Hanya saja pada tahun 2007, terjadi perubahan keterlibatan
para pengusaha dalam pendanaan yang semula para pengusaha
memberikan secara langsung, namun setelah terbentuk BMT NU
sistem donasi berubah. Para pengusaha ini “menyalurkan dananya”
melalui keterlibatan dalam BMT NU, baru dari BMT NU ada sebagian
yang disalurkan kepada NU. Walaupun dalam beberapa kegiatan yang
sifatnya isidentil para pengusaha memberikan sumbangan secara
perseorangan bila di minta oleh pengurus NU.
Seiring perkembangan jaman, dimana industri batik mulai
meredup relasi ini semakin berkurang. Runtuhnya batik Pekalongan
sangat dirasakan oleh masyarakat. Dalam pengalaman Zaenal, pada usia
4 tahunan ketika masa jayanya batik sekitar tahun 1960 hingga tahun
1970 an, Batik yang masih basah sudah di beli oleh pedagang batik.
Orang tua Zaenal yang tidak bergerak di bidang batikpun mendapatkan
keuntungan dengan menjadi perantara antara penjual dan pembeli.
Dengan perubahan ini kecenderungan untuk menyekolahkan anak ke
sekolah konfensional semakin besar sehingga kemudian memunculkan
para pengusaha tidak berlatar belakang pesantren.
Walau situasi ini mengurangi jumlah santri dalam pesantren
tetapi relasi pengusaha dengan pesantren atau dengan ulama-ulama
tetap terjadi. Kyai atau ulama masih sering menjadi tempat bagi para
pengusaha untuk mendapatkan doa dan saran bagi keberhasilan
usahanya. Peluang relasi bisnis juga sering kali terjadi karena
pertemuan yang diupayakan oleh kyai atau ulama. Hal ini seperti yang
diceritakan oleh Fauzin yang sekarang menjadi santri Habib Luthfi.
Fauzin menceritakan bahwa dulu di awal ia merintis usaha perbatikan,
ia sowan kepada Habib Luthfi untuk meminta doa agar usahanya
berhasil. Pada saat itu usahanya berhasil, namun pada suatu masa
usahanya menurun dan ia pun kembali ketempat Habib Luthfi untuk
86
minta doa dan saran. Dia pun kemudian diperkenalkan dengan
beberapa orang yang bergerak dibidang yang sama sehingga kemudian
terjadi relasi bisnis dengan beberapa orang pengusaha. Relasi ini
kemudian dapat menghidupkan usaha yang ia kembangkan. Mitra-
mitra usahapun semakin lama-semakin meningkat. Sehingga kemudian
usahanya bisa berkembang.
Perkembangan fungsi ekonomi pada jaringan Islam tradisional
juga tampak dikalangan pesantren dengan adanya upaya penguatan
ekonomi pesantren. Upaya ini dilakukan karena pesantren melihat ada
peluang untuk mendapatkan pendanaan bagi pengelolaan dan
kemandirian pesantren. Pesantren yang selama ini hanya merupakan
penyedia konsumen bagi perusahaan-perusahaan melihat bahwa ada
peluang untuk ikut mendapatkan sedikit keuntungannya. Selama ini
pengeluaran santri untuk kebutuhan seperti peralatan mandi, pembalut
(bagi wanita), dll sangat besar, apa lagi pesantren dengan jumlah santri
yang besar tentu uang yang beredar untuk memenuhi kebutuhan
tersebut sangat banyak. Melihat peluang ini beberapa pesantren
berupaya untuk membangun PGP (Pusat Grosir Pesantren). PGP ini
dilakukan dikalangan pesantren NU dengan menyediakan grosir untuk
kebutuhan rumah tangga (sabun, odol, dll) dalam pesantren. PGP ini
dikelola oleh himpunan pesantren NU dengan melibatkan perusahaan
besar penyedia kebutuhan rumah tangga. Bentuk kerjasamanya yaitu
pesantren berhubungan langsung dengan perusahaan-perusahan
tersebut sehingga mendapatkan harga pokok dan kemudian pesantren
menjualnya. Relasi dengan perusahaan dibangun atas relasi yang sudah
terbentuk anatara beberapa ulama dengan para pengusaha ini sehingga
dalam percakapan dapat dilakukan dengan mudah.
PGP ini diluar struktur organisasi NU, namun ada jaringan di
level pusat, propinsi hingga kedaerah-daerah. Tiap daerah ada
perkumpulan PGP yang terdiri dari pesantren-pesantren. PGP ini baru
2 tahun berjalan. Untuk PGP Pekalongan belum terbentuk, namun
telah ada perintisan yang dimulai sejak awal tahun 2017. Zaenal dan
Kyai Zakaria termasuk yang diminta oleh PGP pusat untuk ikut dalam
87
pembentukan PGP di Pekalongan. Kajian tentang ini oleh beberapa
pesantren sudah mulai dilakukan. Percakapan dengan PGP propinsi di
Kudus juga mulai dilakukan. Hingga kini, upaya ini tinggal menunggu
kata sepakat diantara para pengasuh pondok pesantren di Pekalongan
untuk bersama-sama membangun PGP.
Faksionalisme dan perkembangan jaringan politik
Dikalangan nahdliyin di Pekalongan gejala faksionalisme dan
perubahan orientasi politik muncul pada peristiwa kembalinya NU ke
khittah yang terjadi pada tahun 1984. Arti kembali ke khittah adalah
NU kembali menjadi organisasi keagamaan dan membebaskan
warganya memiliki pilihan politiknya masing-masing. Sebagai
akibatnya di Pekalongan partai Islam (NU) yang selalu memenangkan
perolehan kursi dalam tiap pemilunya namun pada pemilu tahun 1987
kalah dari partai Golkar. Beberapa Kyai yang memiliki akses pada
kekuatan elektoral masyarakat, menangkap sumber baru kewibawaan
dengan memperoleh akses pada birokrasi. Selain juga bagi para kyai
tersebut ini merupakan kewajibannya sebagai ulama untuk
membimbing umatnya yang bekerja dalam pemerintahan.
Kemudian gejala menguatnya tujuan politik juga kembali tampak
di awal jaman reformasi ketika NU mendeklarasikan PKB. Dengan
adanya deklarasi PKB oleh NU, memungkinkan tokoh-tokoh NU yang
semula tidak mendapatkan ruang dalam PPP bisa memperoleh ruang
politik. Namun diwaktu yang sama, beberapa tokoh NU yang semula
memiliki ruang politik dan sumber kekuatan politiknya besar di PPP
menjadikan ini sebagai kesempatan untuk mempertahankan
kekuatannya. Faksionalisasi dalam jaringanpun terjadi akibat dari
perebutan sumber politik tersebut.
Namun perlu dicatat bahwa dalam kasus kemunculan PKB ini,
ada perbedaan tingkat ketegangan antara tingkat nasional dan lokal.
Ketegangan di tingkat lokal lebih kuat dibandingkan di tingkat
nasional, dimana di tingkat lokal situasi sosial masyarakat turut
88
mewarnai ketegangan ini. Di Pekalongan, konflik kemunculan PKB
yang mengambil sebagian basis massa dari PPP, terwarnai dengan
sejarah konflik antara PPP dan Golkar. Banyak kyai atau ulama-ulama
yang dulunya berafiliasi politik pada Golkar diisukan menjadi motor
bagi deklarasi partai PKB.
Dalam percakapan dengan Zaenal dan Faizin secara terpisah,
ditangkap bahwa ada pergerakan aktor-aktor ketika faksionalisasi ini
mulai terbangun. Paska kerusuhan Pekalongan tahun 1997 yang
disebabkan konflik antara Golkar dengan PPP. NU di lapis keduanya,
diluar kyai-kyai sepuh/pemudanya melakukan gerakan bersama untuk
memperbaiki NU dan menjadikannya pilar yang keluar dari ketegangan
politik antara Golkar dan PPP. Para generasi muda kebanyakan dari
pemuda Ansor mereka menginginkan agar NU keluar dari konflik
antara Golkar dan PPP. Sedangkan generasi tua atau yang kebanyakan
merupakan kyai-kyai atau ulama cenderung masuk kedalam politik
tersebut.
Pada akhir tahun 1997 pemikiran tentang pembentukan PKB
oleh PBNU mulai menguat. Di Pekalongan, Generasi muda NU dan
beberapa tokoh tua NU mulai memikirkan upaya pembentukan NU
atas dasar anjuran PBNU. Generasi muda NU yang memiliki
pengalaman dalam LSM seperti PATTIRO, mulai melakukan pemetaan
terhadap tokoh-tokoh tua yang memungkinkan untuk mendukung
terbentuknya PKB. Pemetaan ini dilakukan karena tidak semua kyai
atau tokoh-tokoh sentral kaum Nahdiyin mendukung upaya ini, ada
banyak juga tokoh-tokoh tersebut yang tetap PPP.
Pada tahun 1998, beberapa tokoh-tokoh tua ada keraguan untuk
membentuk PKB. Tokoh-tokoh muda yang didominasi Ansor, melihat
bahwa PPP mulai memperkuat kelompoknya. Beberapa pertemuan di
masjid dilakukan oleh kelompok PPP untuk menggagalkan upaya
pendirian PKB. Isu yang dilontarkan adalah PKB merupakan
pembentukan kyai-kyai Golkar. Di tubuh Banser, yang merupakan
pasukan pengamanan di bawah Ansor sudah tampak mulai terpecah.
Beberapa orang Banser menjadi satgas PPP. Gelagat yang demikian
89
ditangkap oleh Zaenal dan kawan-kawan muda. Sehingga mereka
mengunjungi para kyai-kyai kunci dalam struktur dan mendesak untuk
segera tim formatur yang terdiri dari 9 kyai dibentuk untuk kemudian
membentuk PKB. Alasan mereka adalah jika PKB tidak dibentuk
segera, kekuatan PPP dalam NU akan semakin kuat dan konflik yang
lebih besar akan terjadi.
Desakan generasi muda ini berhasil dan kekuatan PPP dalam NU
pada saat itu belum begitu kuat sehingga akhirnya memutuskan untuk
mundur dari kepengurusan NU. Bahkan beberapa tokoh tersebut
mengatakan secara tegas sikapnya dengan mengatakan “ora NU-NU-an,
sing penting Islam”. Tetapi ada juga tokoh PPP yang karena
kesetiaanya pada NU, walau tidak setuju terhadap anjuran dan
kepemimpinan Gus Dur, kyai tersebut tetap mendukung pembentukan
PKB.
Untuk meyakinkan kyai untuk bergerak cepat dalam melakukan
pembentukan PKB tidak mudah. Para kyai masih menunggu serta ada
perasaan tidak enak dengan kyai-kyai lain yang dipandang tidak sejalan
dan masih berharap bahwa musyawarah secara baik-baik diantara
mereka dapat dilakukan. Namun generasi muda juga sebenarnya tidak
mudah untuk melakukan desakkan kepada para kyai karena banyak
diantara mereka yang masih kuat memegang nilai tradisi untuk
menghormati orang yang lebih tua atau dituakan. Mereka tidak berani
berbicara kepada kyai dan mendesakkan keinginannya secara langsung.
Ini terjadi karena kebanyakan generasi muda merupakan santri dan
ketika berhadapan dengan figur kyai mereka cenderung untuk
mengiyakan. Hanya beberapa orang muda seperti Zaenal, yang
memiliki latarbelakang tidak dari pesantren yang bisa melakukan
negosiasi dengan para Kyai.
Di tahun 2004, di awal periode baru kepengurusan NU, NU
sudah berpikir bahwa harus dikembalikan pada misi NU yang sesuai
dengan kitah. Sehingga tahun 2006, aktivis generasi muda sudah
dilibatkan dalam kepengurusan NU untuk membuat konsep “Peran NU
sebagai organisasi sosial kemasyarakatan”. Inisiatif untuk
90
mengumpulkan aktivis muda ini berasal dari H. Rofiq (ketua harian NU
sejak tahun 2008). Para aktivis muda10 ini kebanyakan mereka aktif
dalam gerakan-gerakan pemuda dan LSM (seperti Patiro, KIM
(Komunitas Insan Madani). Konsep NU ini dipersiapkan untuk
konferensi NU tahun 2007. Konsep ini dibuat untuk membentuk tim
kerja NU yang dapat memberikan pendampingan pada masyarakat
dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang
diselenggarakan oleh pemerintah.
Dengan melihat kasus-kasus diatas, perubahan sosial membawa
peluang-peluang/sumber-sumber baru bagi kewibawaan aktor-aktor
(kyai). Tetapi membawa dilema bagi jaringan, karena dengan adanya
sumber-sumber baru jaringan-jaringan baru muncul, jaringan politik
lokal masuk dalam jaringan politik nasional dan sering kali
mengakibatkan faksionalisasi dalam jaringan Islam Tradisional. Tapi
perlu di catat bahwa gejala ini sebenarnya sudah lama, dalam Islam
pemisahan antara agama dan politik sangat tipis. Bahkan beberapa kyai
menceritakan bahwa Islam diwajibkan untuk berperan dalam politik
sebagai bagian dari dakwah.
Munculnya Jaringan Lintas Iman
Dampak traumatis masyarakat dan kerugian material yang
ditimbulkan dari berbagai kerusuhan massa yang terjadi, sebut saja
sejak kerusuhan massa tahun 1995, menjelang Pemilu 1997, dan
bentrok massa antara pendukung PPP dan PKB pada Pemilu 1999
menjadi catatan sejarah yang tak terlupakan bagi masyarakat
Pekalongan. Gesekan-gesekan sebagai akibat dari keberagaman dan
perbedaan kepentingan tak bisa terhindarkan seperti yang
tergambarkan dalam rentang waktu cukup lama di wilayah ini. Potensi
konflik yang semakin kuat dan tidak kunjung surut dirasakan oleh
10 Aktivis muda ini diantranya yaitu Zaenal, Basir (ketua KPU 2015), dan Aminuddin (Ketua Patiro) yang memiliki pengalaman dalam LSM. Mereka pernah bersama-sama IPNU (Ikatan Pemuda NU) dan pernah bergabung dengan Patiro (Pusat Telaah Otonomi Daerah).
91
beberapa tokoh sebagai ancaman. Tokoh-tokoh ini dapat mendekteksi
adanya bahaya besar jika ketegangan antar pihak tidak segera diatasi.
Hal ini yang kemudian mendorong para tokoh melakukan upaya untuk
keluar dari situasi tersebut. Upaya membangun jembatan diantara
kelompok-kelompok yang bersebrangan mulai di bangun. Solidaritas
sosial mulai diciptakan agar kerusuhan tersebut tidak terulang,
kalaupun tak terhindarkan dan muncul kembali, paling tidak
kerusuhan tersebut bisa diminimalisir dan dilakolisir agar tidak meluas.
Dalam situasi dimana konflik sering terjadi pengulangan, aktor
lebih berperan dalam merespon situasi tersebut. Aktor yang kemudian
mempengaruhi jaringan untuk merespon kondisi yang dihadapi.
Bentuk respon tersebut memperluas dan membentuk jaringan baru
guna merespon dinamika sosial politik. Zurkoni merupakan seorang
aktivis NU yang lahir di era Orde Baru. Sejak sekitar tahun 1993,
Zurkoni mulai aktif dan menduduki posisi sentral dalam berbagai
gerakan pemuda untuk mendampingi masyarakat bawah seperti
melakukan demo terhadap pencemaran sungai, demo terhadap
pengaturan jalur angkutan kota bersama supir angkutan kota, dll.
Keterlibatan dalam organisasi pemuda tersebut diantaranya yaitu
pernah menjabat sebagai Wakil Ketua KNPI (Komite Nasional Pemuda
Indonesia) Pekalongan, Wakil Ketua FKRM (Forum Komunikasi
Remaja Masjid), Ketua FKMP (Forum Komunikasi Masyrakat
Pekalongan), dan Ketua GMPPR (Gerakan Masyarakat Pekalongan Pro
Reformasi).11
Di tahun 1999, paska kerusuhan massa, Zurkoni beserta
beberapa aktivis muda lainnya berhasil mengajak beberapa kelompok
masyarakat Kota Pekalongan yang terdiri dari HMI, PII, KBPII, jamaah
pengajian, tokoh-tokoh pemerhati budaya, tokoh-tokoh masyarakat,
tokoh-tokoh agama tokoh NU, IPPNU/IPNU untuk bersatu dan
melakukan aksi menuntut dikembalikannya bangunan Monumen
Juang 1945 yang telah di jual oleh Walikota Joko Pranowo12.
11 Arsip wawancara dengan Zurkoni pada tahun 2005 12 Walikota Joko Prawoto berlangsung dari tahun 1979 hingga tahun 1989.
92
Pertemuan pemuka-pemuka lintas agama
di Pekalongan
Momentum ini yang kemudian menjadi salah satu tonggak bagi
pengembangan hubungan antar kelompok.
Sebagai aktivis, hubungannya dengan banyak pihak telah
terbentuk dan memudahkan Zurkoni untuk diterima dibeberapa
kalangan yang berbeda latar belakang termasuk agama. Di tahun 1998,
ketika Lembaga Percik13 melakukan studi tentang kerusuhan politik di
Pekalongan, Zurkoni terlibat
didalamnya sebagai peneliti
lokal dan penghubung untuk
beberapa tokoh agama atau
masyarakat. Dari hasil
penelitian ini Zurkoni dengan
beberapa tokoh lokal di awal
tahun 2000 berinisiatif untuk
mengadakan pertemuan lintas
agama dengan tema “Peran
Tokoh Agama Dalam Otonomi Daerah”. Peserta pertemuan adalah
tokoh agama dari Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, dan
Kabupaten Batang. Dari pertemuan ini kemudian lahir rekomendasi
untuk membentuk forum lintas agama, yang kemudian direalisir oleh
Habib Luthfi dan Zurkoni. Sehingga pada pembentukan awal ini,
Habib Luthfi bin Yahya seorang tokoh agama lokal menjadi pemrakarsa
dan Zurkoni menjadi sekretarisnya.
Aktor lain yang muncul dan memiliki basis kuat dalam jaringan
Islam Tradisional yaitu Kyai Ahmad Marzuqi. Kyai Marzuqi sapaannya,
tinggal di kelurahan Buaran, kecamatan Pekalongan Selatan, wilayah
perbatasan antara kota dengan kabupaten Pekalongan. Wilayah Buaran
ini sudah sejak lama dianggap oleh Kesbangpol Pekalongan sebagai
wilayah rawan konflik. Buaran juga dikenal sebagai wilayah hijau
(PPP) kuat, sehingga di tahun 1995-1999 di wilayah ini sering terjadi
ketegangan antar partai politik. Beberapa kali kerusuhan menjelang
13 Lembaga Percik merupakan lembaga penelitian sosial, demokrasi dan keadilan sosial, yang terletak di salatiga.
93
pemilu terjadi di daerah ini hingga ke wilayah Kedungwuni di
Kabupaten Pekalongan.
Namun walaupun Kyai Marzuki tinggal di Buaran, sejak tahun
1995 beliau menjadi Guru PNS (Pegawai Negeri Sipil) di SMP Negeri 1
Batang. Sebuah hal yang sangat berbahaya ketika itu, karena di wilayah
Buaran masyarakatnya sangat anti terhadap Golkar. Hingga beliaupun
harus menyembunyikan identitasnya sebagai PNS. Bertahun-tahun
beliau selalu berganti pakaian dinas di sebuah pom bensin untuk
menyembunyikan identitasnya sebagai PNS.
Selain beliau mengajar di SMP Negeri, di sore hari, beliau turut
mengajar di Pondok Pesantren Al-Qur'an miliki Kyai Haji Syafii yang
berada di Kradenan. Beliau juga mengajar mengaji di langgar dan
masjid yang ada di kampungnya dan bahkan juga mengisi pengajian di
beberapa stasiun radio mapun televisi lokal.
Banyaknya aktivitas Kyai Marzuki dalam hal keagamaan serta
organisasi keagamaan memberikan kekuatan basis pada jaringan
kegamaan (NU). Dalam perkembangannya Kyai Marzuki yang awalnya
di tunjuk untuk duduk dalam keanggotaan FKUB Kota Pekalongan
oleh Organisasi NU menjadikan jaringannya meluas. Jaringan lintas
agama mulai terbuka bagi Kyai Marzuki. Kyai Marzuki dapat mengenal
tokoh-tokoh agama lain mulai dari tokoh agama lain yang duduk di
FKUB. Perluasan jaringan ini membawa Marzuki untuk mendapat
posisi dalam kehidupan sosial dan pemerintahan kota Pekalongan. Ia
bisa memiliki akses yang mudah untuk menghubungi Walikota, pejabat
pemerintah, dan stack holder lainnya. Sehingga pada periode kedua
Kyai Marzuki di tunjuk kembali oleh walikota untuk menjadi anggota
FKUB.
Akses pada kelompok-kelompok keagamaan tidak terbatas
hanya pada kelompok-kelompok tertentu dalam keagamaan tetapi juga
bisa masuk dalam kelompok keagamaan yang selama ini berada dalam
ketegangan, seperti kelompok Syiah, Al‟Irsyad, Muhamadiyah, FPI,
Wahabi, dll yang selama ini cenderung “tertutup”. Tentu kemudahan
akses terhadap berbagai kelompok sosial keagamaan dapat mengurai
94
ketegangan-ketegangan antar kelompok dan menjadi modal
menyelesaikan berbagai persoalan sosial. Namun pada waktu yang
sama Kyai Marzuki berada pada situasi yang sulit. Keperpihakan pada
satu kelompok tertentu bisa menjadi tantangan bagi Kyai Marzuki.
Tuduhan murtad bisa saja melemahkan posisi Kyai Marzuki dalam
organisasi sosial kegamaannya, namun bisa juga menguatkan posisinya
dalam jaringan lintas agama yang memiliki keluasan yang lebih besar.
Sehingga ini menjadi sebuah pilihan yang perlu dilalui secara hati-hati.
Seperti dalam contoh khasus terkait dengan rencana pendirian satu
Masjid oleh salah satu kelompok Islam yang mendapat dukungan dari
Al‟Irsyad. Dalam rencana pendirian Masjid ini, terjadi penolakan oleh
warga yang kebanyakan adalah NU di sekitar lokasi pendirian Masjid.
Jika Kyai Marzuki menolak rencana pendirian Masjid, kelompok
Al‟Irsyad bisa menyebarkan isu bahwa Kyai Marzuki merupakan orang
Murtad yang dekat dengan kelompok Kristen, misalkan. Hal ini bisa
terjadi karena beberapa waktu sebelumnya Kyai Marzuki terlibat dalam
perencanaan pengembangan sebuah gedung gereja yang berhasil
digunakan untuk ibadah walau ijin pengembangan rumah ibadahnya
belum diperoleh.
Situasi-situasi tersebut diatas menjadikan jaringan keagamaan
sangat dinamis. Jaringan keagamaan dapat memperluas jaringan untuk
kepentingan-kepentingan tertentu, tetapi juga bisa menutup perluasan
jaringan karena situasi itu juga agar akses kekuatan politik lebih besar.