bab iv keanekaragaman spesies kutukebul pada … · siklus hidup kutukebul cenderung menjadi...
TRANSCRIPT
49
BAB IV
KEANEKARAGAMAN SPESIES KUTUKEBUL PADA TANAMAN PERTANIAN DENGAN KETINGGIAN TEMPAT
BERBEDA DI JAWA BARAT
Abstrak Kutukebul sering terbawa melalui material tanaman pada kegiatan
perdagangan antar wilayah maupun antar negara sehingga menyebabkan penyebarannya semakin luas. Sejak tahun 1980-an, beberapa spesies kutukebul baru masuk ke indonesia dan menyebabkan gangguan pada tanaman pertanian. Penelitian ini bertujuan mempelajari keanekaragaman spesies kutukebul pada tanaman pertanian dengan kisaran ketinggian tempat yang berbeda. Kutukebul dikoleksi dari tanaman hortikultura, pangan, serta beberapa jenis tanaman obat dan rempah di lima wilayah di Jawa Barat, yaitu Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, dan Garut. Tempat pengambilan sampel dikelompokkan menjadi tiga kisaran ketinggian, yaitu dataran rendah (0-500 m di atas permukaan laut (dpl)), sedang (501-1000 m dpl), dan tinggi (1001-1500 m dpl). Data jumlah spesies dan individu kutukebul dianalisis menggunakan indeks keanekaragaman Shannon (H’), Simpson (1/D), dan Sorenson (C). Jumlah spesies kutukebul terbanyak ditemukan di dataran rendah, yaitu sebanyak 32 spesies. Keanekaragaman spesies kutukebul tertinggi juga terdapat di dataran rendah (H’ = 2.14 dan 1/D = 5.53). Sebaliknya, dominasi spesies kutukebul terjadi di dataran tinggi (D = 0.54) meskipun nilainya relatif tidak berbeda jauh dengan di dataran sedang (D = 0.48). Spesies kutukebul yang mendominasi di semua kelompok ketinggian tempat adalah Aleurodicus dispersus dan Aleurodicus dugesii. Analisis dengan indeks Sorenson menunjukkan bahwa terdapat kemiripan wilayah antara dataran rendah dengan sedang sebesar 64% berdasarkan jumlah spesies kutukebul yang ditemukan. Dua spesies kutukebul yang menjadi vektor virus penyebab penyakit tanaman adalah Bemisia tabaci dan Trialeurodes vaporariorum. Musuh alami kutukebul yang ditemukan adalah Coccinellidae, Mantidae, Drosophilidae, Aphelinidae, dan Encyrtidae. A. dispersus, A. dugesii, dan B. tabaci merupakan spesies kutukebul yang bersifat invasif di Indonesia. Kata kunci: ketinggian tempat, indeks keanekaragaman, serangga vektor, musuh
alami, spesies invasif
Pendahuluan
Status serangga sebagai hama dipengaruhi oleh kelimpahan populasi dan
gangguan pada tanaman akibat aktivitas makan serangga. Gangguan tersebut
dapat mempengaruhi fisiologi tanaman sehingga menyebabkan terjadinya
50
kehilangan hasil tanaman, baik secara kualitas maupun kuantitas (Gullan dan
Cranston 2000). Kondisi cuaca saat ini yang semakin sulit diprediksi
menyebabkan terjadinya perubahan pola tanam dan pergeseran musim tanam. Hal
ini mempengaruhi permasalahan hama di pertanaman. Suhu lingkungan yang
relatif mengalami peningkatan saat ini dapat mempengaruhi populasi kutukebul di
pertanaman. Siklus hidup kutukebul cenderung menjadi semakin pendek seiring
dengan meningkatnya suhu lingkungan, sehingga dapat menghasilkan banyak
generasi dalam satu tahun. Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa
siklus hidup kutukebul Bemisia tabaci berlangsung lebih cepat pada suhu 29°C
dibandingkan pada suhu 23 dan 26°C (Purbosari 2008). Dalam hal ini, kenaikan
suhu memiliki pengaruh yang nyata terhadap siklus hidup B. tabaci.
Berdasarkan kisaran tanaman inangnya, serangga herbivora sering
dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu monofag, oligofag, dan polifag.
Pengelompokkan serangga berdasarkan kisaran tanaman inang sering pula
dibedakan menjadi kelompok serangga spesialis (mencakup serangga monofag
dan oligofag) dan generalis (polifag). Secara umum, serangga dari subordo
Sternorrhyncha dan Auchenorrhyncha memiliki kisaran inang yang cenderung
bersifat spesialis, meskipun ada beberapa spesies yang generalis. Sebagai contoh,
sebagian besar kutu daun bersifat spesialis dan hanya 6% yang bersifat generalis.
Begitu juga halnya dengan wereng-werengan yang sebagian besar bersifat
spesialis (Schoonhoven et al. 1998).
Serangga pradewasa kutukebul sering dimangsa oleh serangga predator
yang secara spesifik memakan mangsa yang memiliki tubuh lunak yang umumnya
melekat pada daun. Serangga predator tersebut di antaranya larva dan imago
kumbang Coccinellidae (Coleoptera), larva Chrysopidae (Neuroptera),
Dermaptera, beberapa jenis larva lalat Syrphidae, Cecidomyiidae, dan
Chamaemyiidae. Imago kutukebul sering dimangsa oleh serangga predator yang
bersayap, seperti lalat Dolichopodidae dan Asilidae (Watson 2007). Musuh alami
yang penting bagi kutukebul adalah serangga parasitoid, terutama dari famili
Aphelinidae, di antaranya dari genus Eretmocerus, Encarsia, dan Ablerus (Begum
et al. 2011). Selain itu, kutukebul juga sering terserang oleh cendawan patogen, di
51
antaranya Aschersonia aleyrodis, Paecilomyces fumosoroseus, dan Verticillium
lecanii (Watson 2007).
Salah satu aspek untuk melihat adanya perbedaan suhu lingkungan adalah
dari ketinggian tempat. Pada dataran rendah, suhu lingkungan relatif lebih tinggi
daripada dataran tinggi. Salah satu representasi dari kondisi tersebut dapat dilihat
dari keanekaragaman spesies organisme yang menghuni ketinggian tempat
tertentu. Salah satu organisme yang menjadi objek penelitian ini adalah kutukebul.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman spesies
kutukebul pada tanaman pertanian di beberapa daerah di Jawa Barat berdasarkan
ketinggian tempat yang berbeda. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai keanekaragaman kutukebul berdasarkan ketinggian tempat,
sehingga dapat menjadi pengetahuan dasar dalam upaya pengendalian hama di
pertanaman.
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel Kutukebul di Lapangan
Pengumpulan sampel kutukebul dilakukan di lima wilayah di Jawa Barat, di
antaranya Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Cirebon, dan Garut sejak Juni
2011 sampai dengan April 2012. Tempat pengambilan sampel disajikan dalam
bentuk peta dengan menggunakan program Quantum GIS 1.7.3-Wroclaw (QGIS
2012) (Gambar 4.1). Posisi geografi dan ketinggian tempat pengambilan sampel
diukur dengan menggunakan aplikasi GPS (global positioning system) dari Pocket
PC Mio P550. Tempat pengambilan sampel dikelompokkan menjadi tiga kisaran
ketinggian, yaitu dataran rendah (0-500 m dpl), dataran sedang (501-1000 m dpl),
dan dataran tinggi (1001-1500 m dpl).
Sampel diambil dari berbagai jenis tanaman, di antaranya dari tanaman
hortikultura (sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias), pangan, serta beberapa
jenis tanaman obat dan rempah. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode
pengambilan secara langsung (purposive sampling). Pupa atau eksuvia kutukebul
yang terdapat pada daun tanaman diambil, kemudian ditutupi dengan kertas tisu,
lalu dimasukkan ke dalam kantung plastik bening, dan diberi label. Selanjutnya
52
sampel dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Sebelum diidentifikasi,
eksuvia kutukebul dibuat menjadi preparat mikroskop dengan menggunakan
metode pada Watson (2007) yang dimodifikasi.
Gambar 4.1 Titik-titik tempat pengambilan sampel kutukebul
Pengukuran Keanekaragaman Kutukebul
Data jumlah spesies dan individu kutukebul yang diperoleh pada ketiga
kelompok ketinggian dianalisis dengan menggunakan indeks keanekaragaman
Shannon, Simpson dan Sorenson. Indeks Shannon digunakan untuk melihat
kekayaan spesies (species richness) pada suatu wilayah; indeks Simpson
digunakan untuk mengetahui dan membandingkan keanekaragaman dan dominasi
spesies antar wilayah; sedangkan indeks Sorenson digunakan untuk mengetahui
kemiripan wilayah berdasarkan jumlah spesies dan individu kutukebul yang
diperoleh (Magurran 1988). Rumus dari indeks Shannon, Simpson, dan Sorenson
adalah sebagai berikut:
1. Indeks Shannon (H’) = - Σ pi (ln pi), dimana pi = ni/N
2. Indeks Simpson (D) = Σ
Indeks keanekaragaman Simpson = 1−D Simpson’s reciprocal index = 1/D
3. Indeks Sorenson: C = 2j/(a+b)
ni (ni-1) N (N-1)
53
Keterangan: pi = proporsi individu spesies ke-i ni = jumlah individu spesies ke-i N = total jumlah individu a = jumlah individu pada wilayah A b = jumlah individu pada wilayah B j = jumlah individu yang terendah yang terdapat pada perbandingan antara
wilayah A dan B
Identifikasi Musuh Alami kutukebul
Musuh alami kutukebul yang ditemukan di lapangan di identifikasi dengan
menggunakan kunci identifikasi, di antaranya Grissell dan Schauff (1990), Goulet
dan Huber (1993), dan informasi dari media elektronik (internet).
Hasil Penelitian
Analisis Keanekaragaman Kutukebul
Berdasarkan hasil pengambilan sampel kutukebul pada kisaran ketinggian
tempat yang berbeda, diperoleh sebanyak 38 spesies kutukebul dari berbagai jenis
tanaman pertanian dan sebanyak 10 spesies di antaranya belum teridentifikasi
(Lampiran 3). Jumlah spesies kutukebul yang terbanyak ditemukan pada dataran
rendah, yaitu sebanyak 32 spesies, sedangkan pada dataran tinggi hanya
ditemukan 9 spesies kutukebul (Tabel 4.1). Sebanyak 14 spesies di antaranya
relatif sering ditemukan, sedangkan 24 spesies lain umumnya hanya ditemukan
sebanyak 1-2 kali pada saat pengambilan sampel. Dari 14 spesies kutukebul
tersebut di atas, sebanyak 6 spesies ditemukan pada tanaman sayuran (Lampiran
4). Sebanyak 4 spesies di antaranya merupakan spesies kutukebul yang telah
diketahui sering menimbulkan permasalahan di pertanaman, yaitu A. dispersus, A.
dugesii, B. tabaci, dan T. vaporariorum. Jumlah individu A. dispersus dan A.
dugesii ditemukan cukup banyak dan mendominasi di semua kisaran ketinggian
tempat. Kedua spesies tersebut merupakan spesies yang bersifat kosmopolitan dan
memiliki kisaran tanaman inang yang luas. A. dispersus dapat ditemukan pada
tanaman sayuran, buah-buahan, tanaman hias, dan tanaman pangan; sedangkan A.
dugesii ditemukan pada tanaman sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias.
54
Tabel 4.1 Jumlah individu kutukebul yang ditemukan pada tiga kisaran ketinggian tempat di Jawa Barat dan hasil analisis dengan indeks Shannon dan Simpson
No. Spesies kutukebul Kisaran ketinggian (m dpl)
Dataran rendah (0−500)
Dataran sedang (501−1000)
Dataran tinggi (1001-1500)
Subfamili Aleurodicinae: 1. Aleuroctarthrus destructor 24 0 0 2. Aleurodicus dispersus 1803 1983 3994 3. Aleurodicus dugesii 2856 4490 11739 4. Paraleyrodes minei 109 18 0
Subfamili Aleyrodinae: 5. Aleurocanthus citriperdus 547 71 118 6. Aleurocanthus spiniferus 85 0 31 7. Aleurocanthus woglumi 0 24 0 8. Aleuroclava aucubae 0 4 0 9. Aleuroclava canangae 18 0 0
10. Aleuroclava jasmini 178 0 0 11. Aleuroclava psidii 14 0 0 12. Aleurolobus marlatti 25 0 0 13. Aleurotrachelus sp.1 52 0 0 14. Aleurotrachelus sp.2 2 0 0 15. Aleurotrachelus sp.3 10 0 0 16. Asiothrixus antidesmae 625 0 0 17. Bemisia tabaci 78 45 0 18. Cockerelliella psidii 62 31 7 19. Cockerelliella sp. 1 60 0 0 20. Cockerelliella sp. 2 31 11 0 21. Dialeurodes kirkaldyi 1 0 0 22. Dialeurodes sp. 8 47 0 23. Dialeuropora decempuncta 354 187 32 24. Lipaleyrodes sp. 325 0 0 25. Minutaleyrodes minuta 19 0 0 26. Orchamoplatus mammaeferus 171 0 67 27. Rusostigma sp. 1234 79 194 28. Trialeurodes vaporariorum 0 104 736 29. Spesies 1 0 1 0 30. Spesies 2 0 5 0 31. Spesies 3 0 2 0 32. Spesies 4 5 0 0 33. Spesies 5 2 0 0 34. Spesies 6 54 0 0 35. Spesies 7 3 0 0 36. Spesies 8 17 0 0 37. Spesies 9 4 0 0 38. Spesies 10 10 7 0
Jumlah individu (N) 8786 7109 16918 Jumlah spesies (S) 32 17 9
Indeks Shannon (H’) 2.14 1.05 0.87 Indeks Simpson (D) 0.18 0.48 0.54 Indeks keanekaragaman Simpson (1-D) 0.82 0.52 0.46 Simpson’s reciprocal index (1/D) 5.53 2.09 1.85
55
Hasil analisis keanekaragaman dengan menggunakan indeks Shannon (H’)
menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies tertinggi terdapat di daerah dataran
rendah dengan nilai indeks keanekaragaman sebesar 2.14 (Tabel 4.1). Hasil yang
diperoleh pada indeks Shannon sejalan dengan hasil analisis dengan menggunakan
indeks Simpson (Tabel 4.1). Keanekaragaman spesies tertinggi terdapat di dataran
rendah dengan nilai indeks sebesar 0.82 dan nilai 1/D = 5.53. Nilai indeks
keanekaragaman Simpson berbanding terbalik dengan nilai indeks dominasinya,
sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat keanekaragaman spesies
di suatu wilayah, maka dominasi spesies akan semakin rendah (Magurran 1988).
Dalam hal ini, dominasi spesies terjadi di dataran tinggi dengan nilai indeks
sebesar 0.54. Nilai indeks dominasi pada dataran tinggi sebenarnya relatif tidak
berbeda jauh dengan nilai indeks pada dataran sedang (D = 0.48). Pada Tabel 4.1
dapat dilihat bahwa pada kedua kisaran ketinggian tersebut, jumlah individu
kutukebul yang ditemukan didominasi oleh spesies A. dispersus dan A. dugesii.
Berdasarkan hasil analisis kemiripan wilayah dengan menggunakan indeks
Sorenson, nilai indeks tertinggi terdapat pada perbandingan antara dataran rendah
dengan dataran sedang yaitu sebesar 0.64 (Tabel 4.2). Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat kemiripan wilayah sebesar 64% antara dataran rendah dengan dataran
sedang berdasarkan jumlah spesies dan individu kutukebul yang ditemukan pada
masing-masing kisaran ketinggian. Hal ini dapat disebabkan oleh jenis tanaman
yang dominan yang terdapat pada masing-masing ketinggian tempat (Idris et al.
2002). Pada dataran tinggi, komoditas tanaman umumnya didominasi oleh
tanaman sayuran, khususnya jenis sayuran dataran tinggi, seperti kubis-kubisan
(brokoli dan kembang kol), wortel, bawang daun, dan sebagainya yang sebagian
besar bukan merupakan tanaman inang dari kutukebul. Pada dataran tinggi,
kutukebul khususnya dapat ditemukan pada tanaman sayuran dari famili
Solanaceae, seperti tomat, cabai, dan terung. Tanaman-tanaman tersebut dapat
pula ditemukan pada dataran rendah maupun dataran sedang. Spesies-spesies
kutukebul yang ditemukan pada tanaman sayuran dapat dilihat pada Lampiran 4.
Pada dataran rendah banyak ditemukan tanaman buah-buahan, baik berupa
tanaman pekarangan rumah, tanaman pinggir, maupun dalam suatu areal
pertanaman, sebagai contoh jambu biji, jambu bol, lengkeng, jeruk, dan
56
sebagainya. Hal serupa juga dapat dijumpai di dataran sedang. Pada dataran
rendah dan sedang dapat dijumpai pula beberapa jenis komoditas sayuran, seperti
tomat, cabai, terung, kacang panjang, dan sebagainya. Hal inilah yang mendukung
ditemukannya spesies kutukebul yang lebih banyak pada dataran rendah dan
sedang daripada dataran tinggi.
Tabel 4.2 Perbandingan kemiripan spesies kutukebul antar wilayah pengambilan
sampel pada tiga kisaran ketinggian dengan indeks Sorenson
Dataran rendah Dataran sedang Dataran tinggi
Dataran rendah − 0.64 0.40
Dataran sedang − 0.56 Dataran tinggi −
Keterangan: Dataran rendah (0−500 m dpl), dataran sedang (500−1000 m dpl), dan dataran tinggi (1001-1500 m dpl).
Tanaman Inang Kutukebul
Spesies kutukebul banyak ditemukan pada komoditas tanaman buah-buahan,
yaitu sebanyak 31 spesies (Gambar 4.2).
Gambar 4.2 Jumlah spesies kutukebul yang ditemukan pada lima jenis komoditas
tanaman pertanian
0
10
20
30
40
sayuran buah-buahan tanaman hias pangan dan palawija
obat dan rempah
Jum
lah
spes
ies
kutu
kebu
l
Komoditas tanaman inang
57
Musuh Alami Kutukebul
Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung di lapangan maupun
pengamatan di laboratorium, terdapat musuh alami yang ditemukan berasosiasi
dengan beberapa spesies kutukebul, di antaranya termasuk ke dalam kelompok
serangga predator dan parasitoid. Serangga predator yang ditemukan antara lain
kumbang Menochilus sexmaculatus, Harmonia axyridis, Coccinella transversalis,
Verania lineata (Coleoptera: Coccinellidae), belalang sembah Hierodula ovata
(Mantodea: Mantidae), dan lalat Acletoxenus indicus (Diptera: Drosophilidae)
(Gambar 4.3).
Gambar 4.3 Serangga predator yang ditemukan di sekitar koloni kutukebul di lapangan
Selain serangga predator, ditemukan pula parasitoid yang memarasit
kutukebul yang merupakan famili Aphelinidae (Eretmocerus) dan Encyrtidae
(Gambar 4.4).
Gambar 4.4 Serangga parasitoid yang ditemukan memarasit kutukebul
58
Pembahasan
Keanekaragaman Kutukebul Berdasarkan Ketinggian Tempat
Keanekaragaman spesies kutukebul pada dataran rendah lebih tinggi
daripada dataran tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian Idris et al. (2002) yang
menyatakan bahwa keanekaragaman serangga pada ketinggian 1100 m dpl lebih
rendah daripada keanekaragaman serangga pada dataran kurang dari 1000 m dpl.
Indeks Shannon menilai keanekaragaman spesies berdasarkan kekayaan spesies
(species richness), sehingga hasilnya secara langsung berkaitan dengan jumlah
spesies kutukebul yang yang ditemukan pada masing-masing kisaran ketinggian
tempat. Kekayaan spesies pada tumbuhan biasanya akan mengalami peningkatan
dari dataran tinggi ke dataran rendah (Magurran 1998). Berdasarkan analisis
dengan menggunakan indeks Sorenson, diperoleh nilai terendah pada
perbandingan antara dataran rendah dengan dataran tinggi. Faktor yang
membedakan antara dataran rendah dengan dataran tinggi di antaranya adalah
adanya perbedaan dalam hal suhu lingkungan, presipitasi, tekanan gas atmosfer,
kecepatan angin, radiasi ultraviolet (UV), dan sebagainya yang secara langsung
dapat mempengaruhi keberadaan serangga pada masing-masing tempat tersebut
(Hodkinson 2005).
Serangga sangat dipengaruhi oleh iklim mikro dari tempat hidupnya, dalam
hal ini vegetasi tanaman. Suhu lingkungan mengalami penurunan seiring dengan
peningkatan ketinggian tempat. Secara umum hal ini dapat menyebabkan
pertumbuhan dan perkembangan serangga di dataran tinggi berlangsung lebih
lambat dibandingkan dengan dataran rendah. Selain suhu lingkungan yang relatif
rendah, kadar oksigen pada dataran tinggi juga lebih rendah daripada dataran
rendah. Serangga-serangga yang ada di dataran tinggi harus meningkatkan
kapasitas sistem pernafasannya melalui trakea. Dalam hal ini, terjadi kompensasi
terhadap kondisi kadar oksigen yang rendah sehingga akan mempengaruhi alokasi
energi yang digunakan untuk pertumbuhan (Hodkinson 2005).
59
Gangguan Kutukebul pada Tanaman
Gangguan kutukebul secara langsung pada tanaman umumnya sering
disebabkan oleh kutukebul dari subfamli Aleurodicinae, di antaranya Aleurodicus
dispersus dan Aleurodicus dugesii. Kedua spesies tersebut umumnya sering
ditemukan dalam koloni yang dapat menutupi seluruh permukaan bawah daun.
Akibat aktivitas makan dari serangga tersebut, biasanya tanaman dapat kehilangan
cairan nutrisi yang cukup berarti sehingga tanaman menjadi layu dan mengering.
Selain itu, embun madu yang dihasilkan kutukebul dapat merangsang
pertumbuhan cendawan jelaga yang dapat menutupi permukaan atas daun.
Cendawan jelaga tersebut dapat mengganggu proses fotosintesis dan respirasi,
serta menurunkan produksi tanaman (Martin 2008).
Spesies kutukebul lainnya, B. tabaci dan T. vaporariorum, dapat
menyebabkan gangguan secara tidak langsung pada tanaman. Kedua spesies
tersebut secara spesifik dapat ditemukan pada tanaman sayuran, di antaranya
tomat, cabai, terung, kacang panjang, dan sebagainya. B. tabaci dan T.
vaporariorum bersifat spesifik dalam hal ketinggian tempat hidupnya. B. tabaci
umumnya dapat ditemukan pada tanaman sayuran dataran rendah hingga sedang,
sedangkan T. vaporariorum dapat ditemukan pada tanaman sayuran di dataran
sedang hingga tinggi. B. tabaci dan T. vaporariorum dapat berperan sebagai
serangga vektor virus penyebab penyakit tanaman. Lapidot dan Polston (2010)
menyatakan bahwa B. tabaci dapat menjadi vektor virus di antaranya genus
Begomovirus dan Crinivirus, sedangkan T. vaporariorum di antaranya dapat
menjadi vektor dari Crinivirus. Pada dataran sedang dapat ditemukan individu
atau populasi B. tabaci dan T. vaporariorum pada satu tanaman maupun
pertanaman yang sama. Adanya kekhususan dalam hal ketinggian tempat hidup
ini kemungkinan dapat mempengaruhi penyebaran penyakit yang disebabkan oleh
masing-masing virus yang dibawa oleh kedua spesies kutukebul tersebut.
Kutukebul dan Tanaman Inangnya
Berdasarkan hasil pengambilan sampel, kutukebul lebih banyak ditemukan
pada tanaman buah-buahan daripada kelompok tanaman lainnya. Hal ini
disebabkan tanaman buah-buahan memiliki ukuran yang besar dan kompleks
60
sehingga dapat menyediakan ruang hidup yang luas bagi berbagai jenis organisme,
termasuk kutukebul. Lawton (1983) menyatakan bahwa terdapat peningkatan
jumlah spesies herbivora seiring dengan peningkatan ukuran dan kompleksitas
tanaman. Selain itu, struktur tanaman yang kompleks dapat melindungi serangga
dari musuh alaminya. Sebagian besar tanaman buah-buahan termasuk ke dalam
tanaman dikotil. Dubey dan Ko (2006) melaporkan terdapat sebanyak 136 spesies
kutukebul yang ditemukan pada tanaman dikotil, sedangkan sebanyak 17 spesies
ditemukan pada tanaman monokotil. Kelompok tanaman buah-buahan juga
umumnya merupakan jenis tanaman tahunan yang dapat menyediakan sumber
makanan dan tempat hidup yang lebih lama bagi kutukebul. Oleh karena itu,
kutukebul lebih banyak ditemukan pada tanaman berkayu (pepohonan) daripada
tanaman sayuran, tanaman hias, dan tanaman-tanaman lain yang memiliki struktur
yang sederhana.
Tanaman yang memiliki struktur sederhana, seperti tanaman hias dan
sayuran biasanya dihuni oleh 1−2 spesies kutukebul. Tanaman dengan struktur
kompleks, seperti pohon buah-buahan atau jenis pohon berkayu lain biasanya
merupakan kelompok tanaman tahunan yang memiliki struktur kompleks
sehingga sering ditemukan 3−4 spesies kutukebul, baik dalam satu pohon maupun
satu daun. Adanya beberapa spesies kutukebul yang memanfaatkan tanaman yang
sama sebagai tempat hidupnya menyebabkan terjadinya populasi campuran pada
satu tanaman tersebut. Sebagai contoh, populasi kutukebul campuran yang terjadi
pada tanaman jeruk, yaitu antara A. citriperdus dengan P. minei atau antara P.
minei dengan A. dispersus, dan sebagainya.
Kutukebul dan Musuh Alaminya
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kutukebul merupakan salah satu
kelompok serangga yang dapat menghasilkan embun madu. Embun madu terdiri
dari komponen-komponen gula seperti fruktosa, glukosa, sukrosa, trehalose dan
melezitose, serta beberapa senyawa asam amino. Pada dasarnya sekresi embun
madu ditujukan bagi semut yang berada di sekitar tanaman untuk melindungi
serangga dari musuh alaminya. Namun kadang-kadang embun madu tidak
mengandung protein yang dibutuhkan oleh semut untuk makanannya (terutama
61
bagi keturunannya) sehingga pada akhirnya semut akan memangsa kutu tanaman
penghasil embun madu tersebut. Selain itu, embun madu juga dapat menjadi salah
satu sumber makanan bagi serangga lain, di antaranya serangga-serangga predator
seperti Chrysopidae, Coccinellidae, Cantharidae, Tachinidae, Syrphidae, dan
berbagai jenis Hymenoptera parasitoid (Schoonhoven et al. 1998). Pernyataan-
pernyataan di atas menjelaskan bahwa terdapat hubungan tritrofik antara tanaman
inang, serangga herbivora, dan musuh alaminya. Hal inilah yang dapat menjadi
salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan dan kelimpahan populasi
kutukebul di lapangan.
Coccinellidae merupakan serangga predator yang bersifat generalis dalam
memilih mangsanya. Sebagai contoh, kumbang M. sexmaculatus yang pada
kenyataannya memiliki preferensi yang lebih tinggi terhadap kutu daun daripada
kutukebul. Preferensi makan M. sexmaculatus terhadap kutu daun adalah
sebanyak 29.36 individu/daun, diikuti oleh kutukebul (20.16 individu/daun), dan
trips (17.08 individu/daun) (Mari dan Lohar 2012). Meskipun demikian, peranan
kumbang Coccinellidae dinilai cukup penting sebagai agens pengendali hayati.
Hal ini dikarenakan larva dan imago Coccinellidae berperan sebagai predator
serangga, khususnya kelompok kutu tanaman.
Selain Coccinellidae, ditemukan pula belalang sembah H. ovata di sekitar
koloni kutukebul. Belalang sembah terutama memangsa imago kutukebul yang
berterbangan disekitar koloninya. Ditemukan pula lalat A. indicus yang termasuk
ke dalam famili Drosophilidae yang merupakan lalat berukuran kecil yang
berwarna kekuningan dan memiliki mata berwarna merah. Beberapa spesies larva
lalat Drosophilidae memakan bahan organik seperti buah-buahan yang membusuk
dan cendawan. Ada pula yang menjadi pengorok daun, dan beberapa spesies
lainnya menjadi predator serangga famili Coccidae (kutu tempurung) dan
Aleyrodidae (kutukebul). A. indicus terutama memangsa kutukebul Trialeurodes
ricini, Siphoninus phyllireae, dan Aleurocanthus spiniferus (Ananthakrishnan
2004). Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Yu et al. (2012) yang
menyatakan bahwa larva A. indicus diketahui merupakan predator dari kutukebul
A. dispersus dan Aleurocanthus sp.
62
Selain serangga predator, parasitoid kutukebul juga berperan penting dalam
mengendalikan populasi kutukebul di lapangan. Parasitoid kutukebul yang sering
ditemukan adalah Eretmocerus (Aphelinidae). Kutukebul ini memang sering
digunakan untuk mengendalikan kutukebul di tanaman pertanian (Begum et al.
2011). Namun keberadaan populasi parasitoid di lapangan dapat dipengaruhi oleh
adanya penggunaan insektisida yang intensif (Gullan dan Cranston 2000).
Spesies Kutukebul Invasif
Kutukebul dapat berpindah tempat, baik secara aktif maupun pasif.
Perpindahan secara aktif dilakukan dengan cara terbang dari satu tanaman ke
tanaman lain atau dari satu pertanaman ke pertanaman lainnya. Saat ini
perpindahan tempat kutukebul lebih sering terjadi secara pasif melalui
perpindahan material tanaman yang terjadi pada kegiatan perdagangan produk-
produk pertanian secara internasional sehingga penyebarannya semakin meluas.
Pada akhirnya kutukebul dapat menyebabkan permasalahan pada pertanaman di
tempat yang baru. Hal ini biasanya terjadi pada spesies-spesies kutukebul yang
mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan, terutama iklim, di tempat yang
baru yang kemungkinan mirip dengan kondisi di daerah asalnya.
A. dipersus dan A. dugesii merupakan contoh spesies kutukebul yang
bersifat invasif di Indonesia. Kedua spesies tersebut merupakan serangga asli dari
kawasan Amerika Selatan, Amerika bagian tengah, dan kepulauan Karibia (Gullan
dan Martin 2003). Keberadaan A. dispersus di Indonesia dilaporkan pertama kali
pada tahun 1991 (Kajita et al. 1991). A. dugesii juga merupakan spesies kutukebul
yang relatif baru diketahui di Indonesia. Spesies ini pertama kali diketahui di
Bogor pada tahun 2007 (Hidayat dan Watson 2008). Hingga saat ini, A. dugesii
sudah menyebar luas di beberapa daerah di Jawa Barat. Selain A. dugesii, spesies
kutukebul yang berstatus sebagai spesies invasif di beberapa negara adalah
Paraleyrodes minei Iaccarino. Spesies ini baru diketahui keberadaannya di
Indonesia pada tahun 2011 adalah P. minei (Nurulalia et al. 2012). Spesies ini
memiliki kisaran tanaman inang yang relatif spesifik. Berdasarkan hasil
pengambilan sampel, P. minei ditemukan pada tanaman jeruk, alpukat, dan jambu
air. P. minei merupakan serangga asli di kawasan Amerika bagian tengah yang
63
menyerang tanaman jeruk dan menyebabkan kerugian secara ekonomi.
Selanjutnya kutukebul ini dilaporkan menjadi spesies invasif di pertanaman jeruk
di Syria (CDFA 1991). Pada tahun 2009, IITA juga menetapkan status kutukebul
ini sebagai spesies invasif di Afrika. Menurut Martin (2011, komunikasi pribadi),
saat ini P. minei menyebar dengan cepat di berbagai wilayah di Asia, di antaranya
Hongkong dan Malaysia. Menyikapi hal tersebut, diperlukan kewaspadaan dan
upaya identifikasi yang akurat untuk mencegah masuknya spesies-spesies
serangga baru ke Indonesia.
Seringkali data-data yang ada di pihak karantina tidak diperbaharui secara
terjadwal, sehingga spesies-spesies baru yang masuk ke suatu negara dapat luput
dari pengawasan. Sebagai contoh, kutukebul Bemisia argentifolii tidak termasuk
ke dalam daftar hama karantina sehingga dapat lolos dalam proses karantina,
sedangkan spesies ini sebenarnya adalah Bemisia tabaci biotipe-B yang dapat
menularkan penyakit tanaman (Watson 2007). Oleh karena itu, pengetahuan
mengenai deskripsi dan identifikasi yang akurat sangat diperlukan untuk
meningkatkan kewaspadaan terhadap masuknya spesies-spesies hama baru ke
suatu negara (Martin 2008).
Kesimpulan
Jumlah spesies kutukebul terbanyak ditemukan di dataran rendah yang
berbanding lurus dengan indeks keanekaragamannya. Keanekaragaman spesies
kutukebul tertinggi terdapat pada dataran rendah, sebaliknya dominasi spesies
kutukebul terjadi pada dataran tinggi. Spesies kutukebul yang mendominasi
adalah A. dispersus dan A. dugesii yang dapat ditemukan pada semua kisaran
ketinggian tempat. Berdasarkan jumlah spesies kutukebul yang ditemukan,
ternyata wilayah pengambilan sampel pada dataran rendah mirip dengan dataran
sedang sebesar 64%. Pada tanaman buah-buahan yang memiliki struktur tanaman
yang kompleks ditemukan lebih banyak spesies kutukebul dibandingkan dengan
tanaman yang memiliki struktur sederhana. Musuh alami kutukebul yang
ditemukan diantaranya berasal dari famili Coccinellidae, Mantidae, Drosophilidae,
Aphelinidae, dan Encyrtidae.
64
Daftar Pustaka Ananthakrishnan TN. 2004. General Applied Entomology. 2nd ed. New Delhi
(IN): Tata McGraw Hill Publishing Company Ltd. Begum S, Anis SB, Farooqi MK, rehmat T, Fatma J. 2011. Aphelinid parasitoids
(Hymenoptera: Aphelinidae) od whiteflies (Homoptera: Aleyrodidae) from India). Biology and Medicine 3(2):222-231.
[CDFA] California Department of Food and Agriculture. 1991. California Pest Plant and Disease Report [internet], [diunduh 2011 Des 12]; 10(1-2):1-29. Tersedia pada: http://www.cdfa.ca.gov/plant/ppd/PDF/CPPDR_1991_10_1-2.pdf.
Dubey AK, Ko CC. 2006. Toward an understanding of host plant associations of whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae): an evolutionary approach. Formosan Entomol. [internet], [diunduh 2012 Ags 29]; 26: 197-201. Tersedia pada: http://140.112.100.38/chinese/publication/journal/pdf/t2602/26-2-09.pdf.
Goulet H, Huber JT. 1993. Hymenoptera of The World: An Identification Guide to Families. Canada: Canada Communication Group.
Gullan PJ, Cranston PS. 2000. The Insect: An Outline of Entomology. 2nd Ed. London (UK): Blackwell Science Ltd.
Gullan PJ, Martin JH. 2003. Sternorrhyncha (Jumping Plant Lice, Whiteflies, Aphids, and Scale Insects). Resh VH, Carde RT. 2003. Encyclopedia of Insect. US: Elsevier Inc.
Grissell EE, Schauff ME. 1990. A Handbook of The Families of Nearctic Chalcidoidea (Hymenoptera). Washington (US): The Entomological Society of Washington.
Hidayat P, Watson GW. 2008. Recognition of Giant Whitefly, Aleurodicus dugesii Cockerell (Hemiptera: Aleyrodidae), a Potential Pest Newly Introduced to Indonesia. Poster Seminar Nasional V Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI), Cabang Bogor: Pemberdayaan Keanekaragaman Serangga untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. LIPI Cibinong, Bogor, 2008 Mar 2008.
Hodkinson ID. 2005. Terrestrial insects along elevation gradients: species and community responses to altitude. Biol. Rev. 80:489-513. Doi: ....
Idris AB, Nor SM, Rohaida R. 2002. Study on diversity of insect communities at different altitudes of Gunung Nuang in Selangor, Malaysia. J of Biological Sciences [internet], [diunduh 2012 Jul 10]; 2(7):505-507. Tersedia pada: http://docsdrive.com/pdfs/ansinet/jbs/2002/505-507.pdf.
Kajita H, Samudra IM, Naito A. 1991. Discovery of the spiraling whitefly Aleurodicus dispersus Russell (Homoptera: Aleyrodidae) from Indonesia, with notes on its host plants and natural enemies. Japanese Society of Applied Entomology and Zoology [internet], [diunduh 2011 Jun 23]; 26:397-400. Tersedia pada: http://ci.nii.ac.jp/els/110001105211.pdf?id=ART0001 268496&type=pdf&lang=en&host=cinii&order_no=&ppv_type=0&lang_sw=&no=1308798020&cp=
Lapidot M, Polston JE. 2010. Biology and Epidemiology of Bemisia-Vectored Viruses. Di dalam: Stansly PA, Naranjo SE, editor. Bemisia: Bionomics and Management of a Global Pest. New York (US): Springer. hlm 227-231.
65
Lawton JH. 1983. Plant architecture and the diversity of phytophagous insects. Annual Review of Entomology 28:23-39. DOI: 10.1146/annurev.en. 28.010183.000323.
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey (US): Princeton University Press.
Mari JM, Lohar MK. 2012. Interrelationship between zigzag beetle (Menochilus sexmaculatus)) with sucking insect pests in chili ecosystem. Minia International Conference for Agriculture and Irrigation in the Nile Basin Countries, 26th -29th March 2012, El-Minia, Egypt.
Martin JH. 2008. A revision of Aleurodicus Douglas (Sternorrhyncha, Aleyrodidae), with two new genera proposed for palaeotropical natives and an identification guide to world genera of Aleurodicinae. Zootaxa 1835:1-100.
Martin JH. 2011. Komunikasi Pribadi [15 Desember 2011]. Nurulalia L, Hidayat P, Buchori D. 2012. Hama baru kutukebul Paraleyrodes
minei Iaccarino (Hemiptera: Aleyrodidae) di Jawa. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI); 2012 Jan 24-25; Bogor. Bogor (ID): PEI. hlm 110.
Purbosari S. 2008. Neraca Kehidupan Kutukebul Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae) pada Suhu 23, Ruang, dan 29°C [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
[QGIS] Quantum Geographic Information Systems. 2012. Versi: 1.7.3-Wroclaw. Tersedia pada: http://qgis.org/.
Schoonhoven LM, Jermy T, van Loon JJA. 1998. Insect-Plant Biology: From Physiology to Evolution. London (UK): Chapman and Hall.
Watson GW. 2007. Identification of whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae). APEC Re-entry Workshop on Whiteflies and Mealybugs, Kuala Lumpur, Malaysia, 2007 Apr 16-26. Institute of Biological Sciences, University Malaya.
Yu G, Wu L, Lu J, Chen H. 2012. Discovery of a predaceous drosophilid Acletoxenus indicus Malloch in South China, with descriptions of the taxonomic, ecological and molecular characters (Diptera: Drosophilidae) [abstrak]. Journal of Natural History [internet]; 46(5-6). Tersedia pada: http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00222933.2011.639466.