bab iv hasil penelitian dan...
TRANSCRIPT
81
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Hasil Penelitian
4.1.1 Perkembangan Pertumbuhan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi suatu Negara dapat diukur melalui pendapatan
nasional yang ditunjukan dengan menggunakan tingkat pertambahan PDB yang
dihasilakn oleh Negara tersebut dalam suatu periode tertentu, untuk mengukur
sejauh mana keberhasilan kinerja perekonomian Jawa Barat, maka dibuat
indikator makro yang biasa digunakan sebagai penilaian kinerja perekonomian.
Indikator makro yang ada salah satunya adalah Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB).
PDRB ini dapat menggambarkan pertumbuhan ekonomi dalam kurun
waktu tertentu dan juga dapat menggambarkan struktur ekonominya serta dapat
pula menggambarkan analisisnya terhadap kinerja sektor perekonomian, dalam
mendorong pertumbuhan ekonmi Daerah lebih menekankan pada peningkatan
PDRB yang diperoleh dalam jangka panjang dan berbagai sektor produktif yang
dimilikinya.
PDRB yang semakin tinggi bukan berarti serta merta daerah tersebut telah
berhasil melaksanakan pembangunan ekonominya. Selain PDRB yang mengalami
peningkatan, jumlah penduduk pun akan terus bertambah seiring jangka waktu
82
tertentu. Sehingga sebagian pertambahan hasil kegiatan ekonomi tersebut harus
digunakan untuk mempertinggi kesejahteraan ekonomi masyarakat. Pertumbuhan
ekonomi akan sama atau semakin menurun jika pertambahan PDRB sama atau
rendah dari pada tingkat pertambahan penduduk.
Stabilitas indikator ekonomi makro nasional berimplikasi positif bagi
kelanjutan pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat. Secara umum, perekonomian
Jawa Barat mengalami pertumbuhan 6.41% lebih tinggi bila dibandingkan
dengan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6.2%. Untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah tentunya pemerintah terus mengusahakan
peningkatan PDRB dari tahun ke tahun, berikut adalah laju pertumbuhan ekonomi
Propinsi Jawa Barat dari tahun 1989 sampai 2007 dapat dilihat pada tabel 4.1 :
Tabel 4.1
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%.) di Provinsi Jawa Barat
Tahun LPE
1988 5.5 1989 5.45 1990 6.88 1991 6.89 1992 7.01 1993 6.89 1994 7.04 1995 7.9 1996 9.21 1997 4.87 1998 -19.02 1999 -7.79 2000 4.15 2001 3.89 2002 3.94 2003 4.67 2004 4.77 2005 5.6 2006* 6.02 2007* 6.41
Sumber : BPS , data diolah *)angka sementara
83
Di dalam tabel kita dapat melihat bahwa pertumbuhan ekonomi di Jawa
Barat mengalami fluktuasi setiap tahunya. Tingkat pertumbuhan ekonomi dari
tahun 1989 sampai tahun 1997 perkembangannya cukup stabil walaupun
kenaikanya rendah. Sebaliknya pada tahun 1998 terjadi penurunan yang sangat
drastis yakni -19.02, keadaan ini disebabkan oleh krisis moneter yang diikuti oleh
krisis ekonomi mulai terjadi pada pertenghan tahun. Penurunan ini pun terjadi di
berbagai propinsi yang lain di Indonesia, tetapi salah satunya mengalami
keparahan adalah di Provinsi Jawa Barat yang kebanyakan sebagai kawasan
industri, hal ini berpengaruh karena daerah pertanian sudah sedikit dan daerah
Jawa Barat tidak memiliki sumber daya alam yang memadai untuk di jadikan
bahan baku pada perindustian sehingga menggunakan barang-barang impor.
Dalam periode 2000 sampai sekarang telah dlakukan berbagai upaya
pemulihan ekonomi di Jawa Barat . walaupun upaya pemuliah ekonomi ini
berjalan lambat, namun masih terlihat adanya indikasi perbaikan kondisi ekonomi
daerah yang terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi yang telah mencapai 6,41 dan
setidaknya dapat mendekati keadaan sebelum krisis terjadi, walaupun belum dapat
mengembalikan kondisi ekonomi daerah seperti periode sebelum terjadinya krisis.
84
Gambar 4.1
Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia (1989-2007) Sumber: Biro Pusat Statistik, data diolah
Jika kita lihat grafik diatas pada tahun 2000 sudah mulai ada perbaikan
kondisi pertumbuhan ekonomi menjadi 4.15, kemudian pada tahun 2001 turun
kembali menjadi 3.89. Dan pada tahun 2002 pertumbuhan ekonomi mencapai
3.94 naik 0.05% dari tahun sebelumnya. Jika kita lihat ada tambahan kenaikan
yang lebih besar dibanding tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2003 pertumbuhan
ekonomi bergerak di 4.67, maka besarnya kenaikan yaitu 0.7%. pada tahun 2004
pertumbuhan ekonomi mencapai 0.1%, sedangkan pada tahun 2005 mencapai
0.85% kenaikan pada tahun ini adalah yang tertinggi di antara periode setelah
terjadi krisis.
Secara keseluruhan perekonomian berkembang menuju kondisi yang lebih
baik meskipun masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang bersumber
85
baik dari sisi global maupun domestik. Dari sisi global atau sisi eksternal, dampak
kenaikan harga minyak dan krisis subprime mortgage di AS dapat diminimalkan
sehingga stabilitas nilai tukar rupiah, inflasi, dan deficit fiskal tetap terjaga.
Terciptanya stabilitas makroekonomi di dalam negeri serta perbaikan daya beli
masyarakat memberikan landasan yang kokoh dan kondusif bagi penguatan
pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya, untuk melengkapi analisis tentang pertumbuhan ekonomi
daerah, dirasakan perlu untuk melihat rincian laju pertumbuhan ekonomi di daerah
Jawa Barat menurut kabupaten dan kota untuk periode 1989-2007. Hal ini perlu
dilakukan untuk dapat melihat struktur pertumbuhan ekonomi daerah Jawa Barat
dalam kaitannya dengan kabupaten dan kota. berikut adalah laju pertumbuhan
ekonomi kabupaten dan kota di Propinsi Jawa Barat dari tahun 1989 sampai 2007
dapat dilihat pada tabel 4.2 :
86
Tabel 4.2
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat Periode (1988-2000)
No. Kabupaten/Kota 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 1 Kab. Bogor 10.62 2.33 8.56 9.08 7.97 6.5 9.93 8.63 11.7 4.77 -18 1.6 1,59 2 Kab. Sukabumi 15.9 -3.89 3.56 4.51 7.22 7.82 7.15 7.21 8.67 3.2 -10.8 1.65 12.49 3 Kab. Cianjur 6.03 1.7 4.75 6.74 6.16 7.87 5.53 6.8 6.99 3.67 -6.55 2.14 3.23 4 Kab. Bandung 5.34 6.47 8.36 4.53 5.42 9.41 8.83 9.28 10.53 4.93 -19.6 2.99 5.23 5 Kab. Garut 8.22 10.82 6.52 4.53 8.22 7.25 7.26 7.51 6.82 3.03 -11.6 2.52 3.89 6 Kab. Tasikmalaya 3.62 8.74 3.24 5.67 6.9 5.74 6.06 7.31 7.64 3.62 -13.1 9.35 3.47 7 Kab. Ciamis 6.16 0.12 6.33 3.12 5.02 6.99 5.43 7.71 6.79 3.69 -9.45 2.39 3.32 8 Kab. Kuningan 2.37 5.25 -0.7 5.63 5.88 5.55 5.89 6.49 7.01 3.46 -5.66 -23.5 36.02 9 Kab. Cirebon 1.4 4.68 4.72 6.93 8.63 7.09 7.24 8.05 7.4 3.37 -20.8 3.81 4.38 10 Kab. Majalengka 5.15 4.51 4.7 10.31 6.92 8.21 12.9 7.76 11.29 5.11 -9.16 3.54 4.08 11 Kab. Sumedang 8.64 7.1 4.13 4.87 5.24 5.47 6.33 6.95 7.52 2.88 -11.8 2.22 0.4 12 Kab. Indramayu -2.42 2.75 8.08 2.88 4.46 0.65 -3.79 -0.25 31.35 -6.65 -5.39 -10.7 0.4 13 Kab. Subang 5.99 11.24 0.45 4.09 3.03 4.03 5.46 6.84 7.39 3.28 0.18 0.29 3.71 14 Kab. Purwakarta 5.74 4.6 3.07 9.27 5.89 7.93 12.6 7.53 7.7 2.09 -11.7 115 2.59 15 Kab. Karawang 4.15 3.44 2.23 6.67 6.68 9.51 9.21 8.06 9.11 4.52 -19.8 7.78 10.51 16 Kab. Bekasi 8.33 5.65 9.53 7.17 15.6 16.05 15.5 14.4 5.07 6.93 -21.4 2.34 5.58 17 Kota Bogor 6.22 6.55 3.07 8.29 7.1 7.2 6.86 10.06 11.2 5.09 -16.7 19.6 4.6 18 Kota Sukabumi 15.9 -3.89 3.56 5.2 6.65 6.71 7.64 7.8 7.27 3.86 -17.2 3.2 4.28 19 Kota Bandung 7.24 10.52 9.05 10.77 11.18 12.52 10.1 12.32 9.31 4.47 -19.7 2.8 5.14 20 Kota Cirebon 7.67 8.53 3.26 6.44 6.8 8.02 7.34 8.32 51.92 6.64 -5.28 2.29 3.56
Sumber : BPS {data diolah}
Tabel 4.3
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat Periode (2001-2007)
No. Kabupaten/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1 Kab. Bogor 3.94 4.42 4.84 5.58 5.85 5.95 6.04 2 Kab. Sukabumi 10.22 7.97 3.74 3.96 4.35 3.92 4.19 3 Kab. Cianjur 3.69 3.74 3.68 3.97 3.82 3.34 4.22 4 Kab. Bandung 4.78 4.78 4.99 5.61 5.55 5.62 5.92 5 Kab. Garut 3.62 3.96 2.7 4.01 4.16 4.11 4.76 6 Kab. Tasikmalaya 3.14 3.53 3.44 3.52 3.83 4.01 4.33 7 Kab. Ciamis 2.93 4.18 4.08 4.36 4.58 3.84 5.01 8 Kab. Kuningan 4.3 3.58 3.54 4.04 4.08 4.13 4.22 9 Kab. Cirebon 4.88 4.12 4.04 4.67 5.06 5.14 5.37 10 Kab. Majalengka 4.89 3.31 3.24 4.08 4.46 4.18 4.87 11 Kab. Sumedang 3.44 3.98 3.86 4.31 4.52 4.17 4.64 12 Kab. Indramayu -9 0.54 31.35 4.65 -7.82 2.42 2.62 13 Kab. Subang 1.67 12.79 7 7.17 6.97 3.75 5.09 14 Kab. Purwakarta 3.5 4 3.01 3.72 3.51 3.87 3.9 15 Kab. Karawang 15.48 2.46 4.58 10.78 7.87 7.52 7.11 16 Kab. Bekasi 4.75 5.22 4.75 6.11 6.01 5.99 6.14 17 Kota Bogor 5.68 5.79 6.07 6.1 6.12 6.03 6.09 18 Kota Sukabumi 5.08 5.34 5.39 5.77 5.95 6.23 6.51 19 Kota Bandung 7.54 7.13 7.34 7.49 7.53 7.83 8.24 20 Kota Cirebon 3.57 4.17 4.29 4.66 4.89 5.54 6.17
Sumber : BPS {data diolah}
87
Secara grafik pergerakannya dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 4.2
Laju Pertumbuhan Kabupaten dan Kota dalam Propinsi Jawa Barat periode 1989-2007.
Sumber: Biro Pusat Statistik, data diolah
Kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun dalam PDRB dapat
dikatakan sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi. Jika melihat
pertumbuhan ekonomi sebagaimana tergambar dalam Laju Pertumbuhan ekonomi
Kabupaten dan Kota di Jawa Barat periode 1989-2007 mengalami kecenderungan
yang berfluktuasi dan bervariasi.
Tingkat pertumbuhan ekonomi di Kabupaten dan Kota setiap tahunnya,
Seluruh Kabupaten dan Kota yang ada di Provinsi Jawa Barat setiap tahunnya
Kabupaten dan Kota di Jawa Barat mengalami pertumbuhan ekonomi yang
berbeda dengan Kabupaten dan Kota di lainnya . Sumber daya alam yang tinggi
merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan sumber pertumbuhan
88
ekonomi.
Sedangkan keadaan terrendah pada Periode 1997 berada di 4.87
peningkatan pertumbuhan ekonomi cukup mandeg setiap tahunnya. Secara umum
pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mengalami sedikit demi sedikit peningkatan
setelah tahun 2002, meskipun tidak terlalu signifikan pada sebelum krisis, namun
setidaknya mengalami pertumbuhan yang tidak negetif, dibandingkan terjadi yang
di alami seperti pada tahun 1998 yang mencapai PDRB setiap tahunnya tidak
mengalami peningkatan yang cukup signifikan di tahun, namun apabila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 9.21. Mengalami
peningkatn tren pada tahun 1999 yakni laju pertumbuhannya sebesar -7.79 persen,
meskipun rendah, namun setidaknya lebih tinggi di bandingkan dengan tahun
sebelumnya.
Setelah krisis pada tahun 1999-2002 pertumbuhan PDRB kembali
mengalami peningkatan secara fluktuatif dan cenderung meningkat. ditemui pula
berbagai masalah dan tantangan yang perlu diselesaikan dalam pembangunan
daerah kedepan, dengan memperhatikan modal dasar yang dimiliki Provinsi Jawa
Barat.
Pada tahun 1997 Kabupaten Bekasi memperoleh pertumbuhan ekonomi
tertinggi di banding kabupaten dan kota .lainnya di Jawa Barat. Laju
Pertumbuhan Ekonomi (LPE) yang dicapai kabupaten Bekasi pada kondisi
terakhir sebesar 6.93 per tahun mengalami peningkatan sebesar 26.84 persen dari
tahun 1996 hal itu dikarenakan kabupaten bekasi memiliki potensi unggulan yang
89
berupa daerah industri pengolahan yang di dalammnya mencakup industri migas
dan industri tanpa migas.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak hanya di peroleh oleh Kabupaten
Indramayu, Karawang,Bekasi dan Kota Cirebon yang memiliki sumber daya yang
baik, namun juga dicapai oleh hampir semua kabupaten dan kota, seperti Kota
Bandung tahun 2002 mencapai pertumbuhan yang cukup tinggi yakni sebesar
7.13, tahun 2003 mencapai tren 7.34, tahun 2004 mencapai tren 7.49 dan tahun
2005 mencapai pertumbuhan sebesar 7.53.
Seperti terlihat pada Gambar 4.2, daerah yang mempunyai laju
pertumbuhan relative cepat adalah Kota Bandung dimana pada periode setelah
tahun 1999 yaitu 2.8 % mengalami pergerakan yang tinggi sampai pada tahun
2007 mencapai 8.24 % per tahunnya.
4.1.2 Perkembangan Sumber Daya Alam
Kebijakan Desentralisasi fiskal ini, penyusunan anggaran daerah menjadi
urusan strategis bagi daerah. Hal ini berbeda keadaannya jika dibandingkan pada
masa sebelumnya, dimana otoritas penyusunan anggaran dipegang secara
sentralistik oleh pemerintah pusat. Keadaaan ini memang tidak terlepas dari UU
No. 5 Tahun 1974 yang berlaku saat itu, di mana pemerintah pusat menguasai dan
mengontrol hamper semua sumber pendapatan daerah yang ditetapkan sebagai
penerimaan Negara, termasuk pendapatan dari hasil sumber daya alam (SDA),
90
seperti dari sektor-sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan
perikanan/kelautan. Akibatnya, selama berlakunya sistem sentralistik tersebut
daerah-daerah yang kaya SDA tidak meniknati kekayaan alamnya secara
proporsional, sehingga hasil yang diterima daerah lebih rendah darii ekonominya.
Kekayaan sumber daya alam Jawa Barat yang cukup melimpah merupakan
anugrah yang dapat dijadikan sumber penerimaan pendapatan daerah, sehingga
dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah. Pada tahun 2006 memiliki
lahan sawah ber-irigasi teknis seluas 380.996 ha, sementara sawah ber irigasi
setengah teknis 116,443 ha, dan sawah ber irigasi non teknis seluas 428.461 ha.
Total saluran irigasi di Jawa Barat sepanjang 9.488.623 km, Sawah-sawah inilah
yang pada 2006 menghasilkan 9.418.882 ton padi, terdiri atas 9,103.800 ton padi
sawah clan 315.082 ton padi ladang.
Di antara tanaman palawija, pada 2006 ketela pohon menempati urutan
pertama. produksi palawija, mencapai 2.044.674 ton dengan produktivitas 179,28
kuintal per ha, Kendati demikian, luas tanam terluas adalah untuk komoditas
jagung yang mencapai 148.505 ha, Jawa Barat juga menghasilkan hortikultura
terdiri dari 2.938.624 ton sayur mayur, 3.193.744 ton buah buahan, dan 159.871
ton tanaman obat/biofarmaka.
Pertanian di Provinsi Jawa Barat secara umum sudah ada dan tumbuh di
masyarakat, memiliki potensi yang besar dan variatif, dan didukung oleh kondisi
agroekosistem yang cocok untuk pengembangan komoditas pertanian dalam arti
luas (tanaman, ternak, ikan, dan hutan). Kondisi tersebut mendukung Jawa Barat
91
sebagai produsen terbesar untuk 40 (empatpuluh) komoditas agribisnis di
Indonesia khususnya komoditas padi yang memberikan kontribusi terbesar
terhadap produksi padi nasional. Sektor pertanian juga memiliki tingkat
penyerapan tenaga kerja yang tinggi yaitu sebesar 29.65 persen dari jumlah
penduduk bekerja. Namun hubungan antar subsistem pertanian belum sepenuhnya
menunjukkan keharmonisan baik pada skala lokal, regional, dan nasional. Cara
pandang sektoral yang belum terintegrasi pada sistem pertanian serta ketidaksiapan
dalam menghadapi persaingan global merupakan kendala yang masih dihadapi
sektor pertanian
Selain itu, di Jawa Barat juga terdapat potensi hutan alam dan hutan
tanaman yang belum dimanfaatkan sepenuhnya, meskipun potensi itu tidak sebesar
daerah Sumatra dan Kalimantan. Hutan di Jawa Barat juga luas, mencapai
764.387,59 ha atau 20,62% dari total luas provinsi, terdiri dari hutan produksi
seluas 362.980.40 ha (9,79%), hutan lindung seluas 228.727,11 ha (6,17%), dan
hutan konservasi seluas 172.680 ha (4,63%). Pemerintah juga menaruh perhatian
serius pada hutan mangrove yang mencapai 40.129,89 ha, tersebar di 10 kabupaten
yang mempunyai pantai. Selain itu semua, ada lagi satu hutan lindung seluas
32.313,59 ha yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit III jawa Barat dan Banten.
Dari hutan produksi yang dimilikinya, pada 2006 Jawa Barat memetik hasil
200.675 m³ kayu, meskipun kebutuhan kayu di provinsi ini setiap tahun sekitar 4
juta m³. Sampai 2006, luas hutan rakyat 214.892 ha dengan produksi kayu sekitar
893.851,75 m³. Jawa Barat juga menghasilkan hasil hutan non kayu cukup
92
potensial dikembangkan sebagai aneka usaha kehutanan, antara lain sutera alat
jamur, pinus, gerah damar, kayu putih, rotan, bambu, dan sarang burung walet.
Di sektor perikanan, komoditas unggulan adalah ikan mas, nila, bandeng,
lele, udang windu, kerang hijau, gurame, patin, rumput laut dan udang vaname. Di
tahun 2006, provinsi ini memanen 560,000 ton ikan hasil budidaya perikanan dan
payau, atau 63,63% dari total produksi perikanan Jawa Barat. Budidaya perikanan
di Jawa Barat berupa perikanan laut dan darat yang didukung oleh perikanan air
tawar di waduk Saguling, Jatiluhur, Cirata, dan sungai-sungai serta budi daya
udang sampai sekarang belum sepenuhnya dikembangkan secara optimal. terdapat
perbedaan di antara masing-masing Kabupaten dan Kota terpilih di Jawa Barat, di
mana hampir setiap Kota memiliki sektor unggulan yang lebih banyak
dibandingkan Kabupatennya.
Di bidang peternakan, sapi perah, domba, ayam buras, dan itik adalah
komoditas unggulan di Jawa Barat. Data 2006 menyebutkan kini tersedia 96.796
sapi perah (25% populasi nasional), 4.249.670 domba, 28.652.493 ayam buras
5.596.882 itik (16% populasi nasional). Kini hanya tersedia 245.994 sapi potong di
jawa Barat (3% populasi nasional), Jawa Barat membagi kawasan pengembangan
andalan peternakan ke dalam tiga wilayah, yaitu:
1. Jawa Barat Bagian Utara Untuk Peternakan Itik.
2. Jawa Barat Bagian Tengah Untuk Sapi Perah, Ayam Ras, Dan Domba; Serta
3. Jawa Barat Bagian Selatan untuk domba dan sapi potong,
Provinsi Jawa Barat memiliki banyak objek unggulan di bidang
93
perkebunan, antara lain teh, cengkeh, kelapa, karet, kakao, tembakau, kopi, tebu,
dan akar wangi. Dari semua jenis komoditas itu, cengkeh, kelapa, karet, kakao,
tembakau, dan kopi merupakan komoditas unggulan nasional asal Jawa Barat. Dari
sisi lahan, produktivitas terbaiknya, yakni luas areal tanam sama dengan Iuas
tanaman yang menghasilkan, adalah komoditas tembakau dan tebu. Dari sisi
produksi, produktivitas terbanyak adalah kelapa sawit (6,5 ton per ha)dan tebu (5,5
ton per).
Dalam Indonesia Tanah Airku tahun 2007 mengungkapkan Jawa Barat juga
menghasilkan produksi tambang unggulan. Pada 2006, berhasil dieksplorasi 5.284 ton
zeolit, 47.978 ton bentonit, serta pasir besi, semen pozolan, felspar dan barn
permata/gemstone. Potensi pertambangan batu mulia umumnya banyak terdapat di daerah
Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Kuningan, dan Sukabumi. Keanekargaman Flora Di Jawa
Barat terdapat 3 Daerah Jawa Barat mempunyai berbagai potensi bahan tambang dan
galian, seperti minyak dan gas bumi di daerah Cirebon dan Indramayu, tambang emas di
Gunung Pongkor, Gunung Limbung, dan Purwakarta. Kontribusi industri cukup menonjol
bagi perekonomian nasional, termasuk bagi daerah Jawa Barat.
Berikut adalah kondisi provinsi Jawa Barat dalam bentuk gambar yang berupa peta :
Gambar 4.3
Peta Provinsi Jawa Barat
Sumber : BAPPENAS
94
Jawa Barat merupakan salah satu Propinsi di Indonesia yang memiliki
alam dan pemandangan yang indah serta memiliki berbagai potensi yang dapat
diberdayakan, antara lain menyangkut Sumber Daya Air, Sumber Daya Alam dan
Pemanfaatan Lahan, Sumber Daya Hutan, Sumber Daya Pesisir dan Laut serta
Sumber Daya Perekonomian.
Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5°50' - 7°50' LS dan
104°48' - 104°48 BT dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan
dengan Laut Jawa bagian barat dan DKI Jakarta di utara, sebelah timur berbatasan
dengan Propinsi Jawa Tengah, antara Samudra Indonesia di Selatan dan Selat
Sunda di barat. Dengan daratan dan pulau-pulau kecil (48 Pulau di Samudera
Indonesia, 4 Pulau di Laut Jawa, 14 Pulau di Teluk Banten dan 20 Pulau di Selat
Sunda); luas wilayah Jawa Barat 44.354,61 Km2 atau 4.435.461 Ha.
Kondisi geografis yang strategis ini merupakan keuntungan bagi daerah
Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kawasan utara
merupakan daerah berdatar rendah, sedangkan kawasan selatan berbukit-bukit
dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergunung-gunung ada di kawasan
tengah.
Dengan ditetapkannya Wilayah Banten menjadi Propinsi Banten, maka
luas wilayah Jawa Barat saat ini menjadi 35.746,26 Km2. Ciri utama daratan Jawa
Barat adalah bagian dari busur kepulauan gunung api (aktif dan tidak aktif) yang
membentang dari ujung utara Pulau Sumatera hingga ujung utara Pulau Sulawesi.
Daratan dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam di selatan dengan
95
ketinggian lebih dari 1.500 m di atas permukaan laut, wilayah lereng bukit yang
landai di tengah ketinggian 100 1.500 m dpl, wilayah dataran luas di utara
ketinggian 0 . 10 m dpl, dan wilayah aliran sungai. Iklim di Jawa Barat adalah
tropis, dengan suhu 9 0 C di Puncak Gunung Pangrango dan 34 0 C di Pantai
Utara, curah hujan rata-rata 2.000 mm per tahun, namun di beberapa daerah
pegunungan antara 3.000 sampai 5.000 mm per tahun.
Jawa Barat memiliki potensi pembangunan ekonomi kelautan dan
perikanan terutama dalam pengembangan usaha perikanan tangkap, usaha
budidaya laut, bioteknologi kelautan, serta berbagai macam jasa lingkungan
kelautan. Sayangnya, kondisi dan potensi sumber daya perikanan dan lautan yang
besar ini tidak diikuti dengan perkembangan bisnis dan usaha perikanan dan
kelautan yang baik. Terbukti dengan masih rendahnya tingkat investasi dan
produksi sumber daya perikanan dan kelautan yang masih jauh dari potensi yang
ada serta lemahnya kondisi pembudidaya dan nelayan sebagai produsen. Iklim
investasi di Jawa Barat
Sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran penting dalam
keberlanjutan pembangunan Jawa Barat. Namun demikian, peran penting ini
belum dioptimalkan hingga saat ini. Fenomena yang terjadi justru menunjukkan
bahwa kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup Jawa Barat berada pada
tingkat cukup mengkhawatirkan. Dampak negatif dari fenomena ini diantaranya
adalah semakin berkembangnya penyakit-penyakit berbasis lingkungan dan
munculnya konflik sosial antara pencemar dan yang tercemar, serta konflik
pemanfaat sumber daya alam dan lingkungan di hulu dan hilir. Faktor-faktor
96
dominan yang menyebabkan penurunan daya dukung lingkungan dalam kurun
waktu sepuluh tahun ini antara lain, masih tingginya tingkat alih fungsi lahan
berfungsi lindung menjadi budidaya, kerusakan dan berkurangnya luasan
mangrove dan terumbu karang, pencemaran udara perkotaan, pengrusakan dan
kebakaran hutan, pencemaran dan sedimentasi sungai serta waduk, penambangan
yang merusak lingkungan, dan pengambilan sumber daya air yang kurang
terkendali, di samping meningkatnya frekuensi kejadian bencana alam. Hal
tersebut diperparah dengan perilaku dan budaya yang belum ramah lingkungan,
baik dari sisi perilaku membangun maupun perilaku individu masyarakatnya.
Upaya pengelolaan lingkungan saat ini masih belum mampu menahan laju
kerusakan dan pencemaran yang terjadi.
Daerah Jawa Barat mempunyai berbagai potensi bahan tambang dan
galian, seperti minyak dan gas bumi di daerah Cirebon dan Indramayu, tambang
emas di Gunung Pongkor, Gunung Limbung, dan Purwakarta. Selain itu, Jawa
Barat juga memiliki bahan galian marmer di daerah Tasikmalaya, Bandung, dan
Sukabumi. Batu kwarsa banyak terdapat di Bogor, Sukabumi, Bekasi dan
Cirebon, fosfat banyak terdapat di daerah Ciamis dan Sukabumi, serta bentonit,
zeloit dan gips tersebar di beberapa daerah.Produksi bahan galian golongan C di
Jawa Barat tahun 1997 adalah sebagai berikut: batu kapur 12.650.408 ton, pasir
1.487.630 ton, pasir kuarsa 144.710 ton, sirtu 2.158.126 ton, tanah liat 2.074.489
ton, dan tanah urug 1.623.186 ton; andesit 4.620.641 ton; bentonit 41.591 ton;
fosfat 9.454 ton; kaolin 2.623 ton; trass 768.280 ton; dan zeolit 2.553 ton.Hasil
produksi bahan galian tahun 1998 menunjukkan data berikut: andesit 1.342.321
97
ton; batu kapur 3.481.841 ton; bentonit 43.576 ton; diatom 19.361 ton; feldspar
5.457 ton; gipsum 1.648 ton; marmer 103 ton; sirtu 274.474 ton; pasir 48.626 ton;
pasir kuarsa 126.286 ton; tanah liat 85.182 ton; trass 42.936 ton; zeolit 1.452 ton;
dan yarosit 324 ton.
Di era selama otonomi, Kabupaten Bandung unggul pada 3 (tiga) sektor
sedangkan Kota Bandung unggul di 7 (tujuh) sektor ekonomi. Baik di era sebelum
maupun selama otonomi, Kabupaten Bekasi hanya unggul di sektor industri
pengolahan; Kota Bekasi di era sebelum otonomi unggul pada 4 (empat) sektor
dan 6 (enam) sektor di era selama otonomi daerah. Kabupaten Bogor, memiliki 3
(tiga) sektor unggulan di era sebelum dan selama otonomi daerah; Kota Bogor
pada era selama otonomi daerah unggul di 6 (enam) sektor. Berbeda dengan yang
lain, Kabupaten Cirebon memiliki sektor unggulan yang lebih banyak
dibandingkan kotanya, di mana di era sebelum otonomi memiliki 7 (tujuh) sektor
unggulan dan 6 (enam) sektor di era selama otonomi daerah; sedangkan Kota
Cirebon unggul hanya di 3 (tiga) sektor ekonomi pada era sebelum otonomi dan 5
(lima) sektor di era pelaksanaan otonomi daerah. Baik pada era sebelum maupun
selama otonomi daerah, Kabupaten Sukabumi unggul di 4 (empat) sektor;
sedangkan Kota Sukabumi memiliki 5 (lima sektor unggulan baik di era sebelum
maupun selama pelaksanaan otonomi daerah.
Di era sebelum otonomi hanya sektor pertanian yang unggul di Kabupaten
Tasikmalaya, namun pada era selama otonomi daerah terdapat 5 (lima) sektor
unggulan. Di Kota Tasikmalaya era selama otonomi daerah 5 (lima) sektor
menjadi unggulan. dapat melakukan perencanaan pembangunan yang sesuai
98
dengan kondisi dan potensi daerah masing-masing dan selanjutnya diharapkan
dapat memacu pertumbuhan ekonomi daerah.
Demikian pula dalam persoalan dana perimbangan. Pada sisi kebijakan
bagi hasil, pola bagi hasil masih dilakukan basis per basis pajak dan belum
mencakup setiap sumber pendapatan pusat yang ada di daerah. Penekanan lebih
besar pada bagi hasil sumberdaya alam (SDA), dinilai lebih menguntungkan
daerah yang kaya SDA dan tidak menguntungkan daerah yang bukan penghasil
kekayaan alam tersebut (Pratikno, 2002:66).
Data di atas menunjukkan bahwa kapasitas fiskal Jawa Barat masih belum
optimal. Dari sisi potensi pajak, retribusi, dan lain-lain pendapatan daerah yang
sah masih belum optimal karena sejumlah kendala, antara lain belum terdatanya
semua obyek dan wajib pajak daerah, retribusi daerah, serta lain-lain pendapatan
daerah yang sah. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan dan
perkuatan BUMD antara lain belum optimalnya pihak manajemen perusahaan
dalam mengimplementasikan pengelolaan perusahaan yang baik, termasuk
pengembangan aset BUMD. Dalam hal optimalisasi penerimaan dari dana
perimbangan, permasalahan yang dihadapi antara lain masih belum akuratnya data
obyek dan subyek PBB, BPHTB, dan PPh Perseorangan. Dalam kaitannya dengan
departemen terkait, belum tercapai kesepakatan dalam perhitungan data produksi
dan lifting migas. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral belum
sepenuhnya melibatkan daerah penghasil migas. Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral belum sepenuhnya melibatkan daerah penghasil migas dalam
moonitoring produksi migas sebagai dasar perhitungan
99
Sedangkan sumberdana alokasi umum, meskipun didasarkan formula yang
lebih obyektif dan transparan, tetapi cenderung lebih mengutamakan pemerataan
dan kurang memperhatikan sisi keadilan. Bahkan cenderung bersifat disinsentif
karena tidak memperhitungkan kontribusi daerah kepada pendapatan pusat.
Demikian pula pendekatan 25% dari pendapatan dalam negeri, belum
dikembangkan untuk mencapai sufficiency pembiayaan daerah (Soekarwo, 2002).
Dengan ketersediaan aksesibilitas terhadap upaya pemberdayaan ekonomi
masyarakat yang terbilang masih terbatas. Akibatnya, potensi alam dan sumber
daya manusia tidak tereksplorasi dengan efektif. Dengan demikian, kawasan Jabar
Selatan tidak saja dihadapkan pada persoalan kemiskinan, melainkan juga
persoalan kelebihan tenaga kerja. Hal ini dapat di atasi dengan optimalisasi
penerimaan bagi hasil migas dan pertambangan umum, peningkatan dana alokasi
umum melalui penyampaian aspirasi dau kepada DPR RI dan DPD asal pemilihan
provinsi jawa Barat.(BAPPENAS)
Pemerintah daerah umumnya melihat adanya hubungan positif antara
peningkatan produksi sumber daya alam dengan penerimaan bagi hasil,
sekurangnya untuk kurun waktu dekat. Peran bagi hasil terutama bagi hasil
sumber daya alam yang akan di bagi-hasilkan adalah penerimaan Negara bukan
pajak dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam.
Penerimaan bagi hasi yang diterima oleh kabupaten/kota penghasil adalah
3.2% dari Net Operating Income [NOI] untuk minyak bumi dan 3.22% dari NOI
untuk gas alam. Yang perlu di perhatikan pada dua operasi penambangan yang
100
berbeda, operasi penambangan yang menghasikan +produksi lebih banyak belum
tentu menghasilkan NOI yang lebih besar, arena tergantung dari besarnya biaya
produksi di kedua operasi penambangan tersebut. Ada kemungkinan untuk suatu
penambangan [walaupun sudah di produksi], basarnya NOi sama dengan nol
untuk satu tahun. Hal ini dapat terjadi pada operasi penambangan yang relative
baru atau pada operasi penembangan yang nilai ekonomisnya rendah.
Berbeda dengan migas, penerimaan Negara bukan pajak yang akan dibagi-
hasilkan dengan pemerintah daerah dari sektor pertambangan umum terdiri dari
royalty dan iuran tetap sewa tanah [land rent] . adapun besarnya tariff royalty
berbeda-beda untuk setiap jenis dan kualitas bahan galian antara 2-7%
[BAPPENAS].
Dengan demikian penermaan bagi hasil royalty pertambangan umum yang
akan diterima kabupaten/kota penghasil adalah sekitar 0.64 sampai 2.24% dari
pendapatan kotor di daerahnya.walaupun belum berproduksi, pemerintah sudah
menerima pendapatan dari suatu kegiatan penambangan. Begitu suatu operasi
penambangan mulai berproduksi, maka penerimaan pemerintah akan naik sesuai
dengan naiknya tingkat produksi .
101
Untuk mengetahui perkembangan Sumber Daya Alam di Provinsi Jawa
Barat, dapat dilihat pada gambar 4.4 dibawah ini:
Tabel 4.4
Sumber Daya Alam di Jawa Barat periode 2001-2007
[dalam juta rupiah]
Sumber Daya Alam
No Kabupaten
Dan kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
1 Kab. Bogor 319,354.67 314,219.48 340,063.42 314,553.30 282,74.39 307,414.98 312,423.76
2 Kab. Sukabumi 445,188.09 469,879.35 372,655.96 342,624.79 362,693.75 365,039.13 378,452.02
3 Kab. Cianjur 6,893.90 7,197.20 7,525.05 7,879.30 8,262.63 8,678.05 9,129.16
4 Kab. Bandung 195,647.68 217,115.22 234,475.15 216,746.78 224,656.93 234,570.64 245,205.26
5 Kab. Garut 10,510.53 10,557.19 10,606.52 10,665.92 10,842,97 11,479.99 12,644.15
6 Kab. Tasikmalaya 6,307.79 6,332.12 7,002.64 10,725.52 10,788.56 11,253.29 11,826.03
7 Kab. Ciamis 18,732.54 19,348.84 20,186.64 20,911.35 21,815.20 22,699.03 23,434.81
8 Kab. Kuningan 24,688.78 25,003.99 25,034.77 25,112.47 25,137.58 25,579.80 26,032.73
9 Kab. Cirebon 21,551.08 22,510.10 23,766.02 24,921.98 26,236.75 27,882.58 30,157.80
10 Kab. Majalengka 115,462.92 129,961.37 142,839.35 141,788.32 146,408.36 150,590.75 159,586.22
11 Kab. Sumedang 3,594.14 3,882.16 4,272.92 4,632.79 5,059.51 5,572.44 5,925.79
12 Kab. Indramayu 13,499,397.37 13,188,253.18 8,163,923.32 5,177,20.11 4,207,725.19 4,182,823.23 4,251,005.51
13 Kab. Subang 893,822.23 1,353,571.88 488,513.42 623,780.35 754,057.21 714,489.38 749,955.13
14 Kab. Purwakarta 8,765.40 9,091.40 8,903.96 9,202.51 9,603.73 10,034.68 10,067.79
15 Kab. Karawang 1,086,075.10 880,312.06 613,876.00 656,627.65 765,288.00 818,156.00 780,931.53
16 Kab. Bekasi 300,607.33 497,863.01 502,348.78 482,680.71 574,372.90 596,695.49 580,274.39
17 Kota Bogor 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
18 Kota Sukabumi 132.47 120.53 120.63 122.83 125.49 122.31 114.36
19 Kota Bandung 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
20 Kota Cirebon 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Sumber : BPS [data diolah]
102
Secara grafik pergerakannya dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 4.4
Sumber Daya Alam Kabupaten dan Kota dalam Propinsi Jawa Barat periode 2001-2007.
Sumber : BPS [data diolah]
Perkembangan sumber daya alam yang ada di kabupaten dan kota pada
provinsi jawa barat pada dasarnya tidak mengalami perkembangan yang
berfluktuasi, malah mengalami hal yang sebaliknya yaitu hanya bertahan pada
posisi stabil dari tahun ke tahunya dalam periode 2001 sampai 2007.
Jika kita lihat pada gambar diatas kondisi berbeda terjadi pada tahun
Kabupaten Indramayu, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Bogor yang mengalami
pergerakan berfluktuasi dan lebih banyak pergerakannya dalam keadaan yang
mengarah pada penurunan. Walaupun Kabupaten Indramayu yang mempunyai
sumber daya alam yang ter tinggi diantara kabupaten dan kota lainnya di Jawa
103
Barat.
Stagnasi sumber daya alam rata-rata terjadi di kabupaten dan kota pada
Provinsi Jawa Barat, hal ini dapat terjadi karena sumber daya alam berupa hasil
pertambangan yang ada semakin lama akan semakin berkurang dalam hal
eksploitasinya. Berbeda dengan kabupaten yang memiliki sumber daya
sedangkangkan wilayah kota hasil yang ada sebesar nol karena sesungguhnya
wilayah kota tidak memiliki sumber daya alam yang berupa hasil pertambangan.
Jika kita lihat pada gambar, telah tercermin bahwa terdapat tiga lavel
kemampuan suatu kabupaten dan kota di Jawa Barat yaitu level yang pertama
adalah kabupaten yang memiliki banyak hasil sumber daya alam, diantara
kabupaten yng ada pada level ini diantaranya adalah Kabupaten Indramayu, pada
level ke dua yaitu di duduki oleh Kabupaten Karawang, Bekasi,Subang,
Majalengka, Sukaumi, Bogor, Bandung. Sedangkan pada level di bawahnya
adalah baupaten dan kota yang ter sisa, dan yang terrendah adalah wilayah kota
yang tidak mempunyai sumber daya alam dari pertambangan.
Kabupaten Indramayu mengalami penurunan sangat rendah yang terjadi
pada tahun 2004 yaitu sebesar Rp. 4,182,823.23 dibandingkan dengan periode
tahun 2001 sampai 2007. Walaupun demikian Kabupaten Indramayu merupakan
wilayah yang paling tinngi hasil sumber daya yang ada di bandingkan dengan
kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat. Secara umum pada periode tahun
2001 sampai 2007 rata-rata sumber daya alam di Kabupaten Indramayu
mengalami penurunan, tetapi pada dua tahun terakhir ada kenaikan, walaupun
104
sangat sedikit yaitu sebesar 0.068% dari Rp. 4,182,823.23 menjadi Rp.
4,251,005.51.
4.1.3 Perkembangan Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan kewenangan di bidang fiskal
(penerimaan dn pengeluaran) dari level pemerintah yang lebih tinggi kepada level
pemerintah yang lebih rendah.
Dengan diimplementasikannya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25
tahun 1999, pada bulan Januari tahun 2001 Indonesia telah melakukan trasformasi
tata pemerintahan dari sentralisasi menuju desentralisasi. Kedua bentuk undang-
undang yang lebih dikenal sebagai undang-undang Otonomi Daerah ini menjadi
pijakan dalam penentuan kebijakan yang berhubungan dengan masalah
desentralisasi fiskal di Indonesia. Dengan ditetapkannya undang-undang No.22
tahun 1999, maka akan terjadi perluasan wewenang pemerintah daerah tingkat II,
dan dengan undang-undang No.25 tahun 1999 akan tercipta peningkatan
kemampuan keuangan daerah. Oleh karena itu, desentralisasi fiskal diharapkan
bisa menjadi formula terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal
melalui formula terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal
melalui berbagai efek multiplier yang diharapkan bisa terwujud.
Undang-undang No. 22 tahun 1999 secara tegas menyerahkan fungsi,
personil, dan asset dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi, kabupaten,
dan kota. Hal ini bermakna bahwa tambahan kekuasaan dan tanggungjawab
diserahkan kepada pemerintah daerah telah melahirkan era desentralisasi yang
105
lebih luas dan bertanggung jawab. Pada masa lalu, tata pemerintahan di Indonesia
lebih menitikberatkan pada sistem dekonsentrasi dan koadministrasi.
Undang-undangNo.22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah telah
mengubah persepsi, cara pandang, dan pola pikir pemerintah pusat dan
pemerintah daerah serta masyarakat dalam mengembangkan kebijakan
pembangunan di semua bidang, yang sebelumnya lebih bersifat sentralistik dan
demokratis. Pembangunan yang semula seolah-olah menjadi tugas dan wewenang
pemerintah saja, kemudian menjadi milik dan kewajiban bersama pemerintah dan
masyarakat, sehingga harus didiskusikan, dirumuskan, direncanakan,
dilaksanakan, diawasi, dan dievaluasi bersama.
Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan
kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab di daerah secara
proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan
sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pemerintah
pusat dan daerah. Kewenangan untuk menyelenggarakan seluruh fungsi
pemerintahan, kecuali kewenangan pemeritahan dalam bidang pertahanan
keamanan, politik luar negeri, yustisi, moneter, dan fiscal nasional serta
agama.dengan pembagian kewenangan atau fungsi tersebut, pelaksanaan
pemerintahan didaerah dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, asas
dekonsentrasi, dan tugas pembantua. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam
undang-undang tersebut antara lain sebagai berikut :
106
1. Dijelaskan daftar tugas, baik untuk provinsi maupun kabupeten dan kota
2. Memuat daftar urusan wajib untuk provinsi dan kabupaten dan kota
3. Departeman Dalam Negeri menentukan daerah penghasil sumber daya
berdasarkan pada pertimbangan dengan menteri teknis
4. Memuat pembagian hasil sumber daya alam antara provinsi dan
kabupaten dan kota
5. Dearah tidak dapat secara langsung mengajukan pinjaman hutang luar
negeri, tetapi daerah dapat melakukan pinjman dari pemerintah daerah
lain.
6. Mengatur tentang pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala
daerah.
Secara yuridis formal, desentralisasi fiskal sebenarnya telah diterapkan di
Indonesia sejak tahun 1974 dengan menerapkan UU No.5 tahun 1974 tentang
prinsip dasar administrasi di daerah. UU ini dimunculkan sebagai suatu bentuk
penyesuaian atas UU No.18 tahun 1965, mengenai prinsip dasar administrasi
regional,yang mana sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan
Indonesia pada waktu itu. Menurut Undang-undang No.5 tahun 1974,
desentralisasi adalah suatu perpindahan jasa administrasi dari pemerintah pusat
atau dari suatu pemerintah daerah yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah
yang lebih rendah untuk menjadi jasa regional.
Implepentasi pada masa rezim orde baru mengembangkan suatu sistem
pemerintahan yang sangat terpusat dimana hampir semua proses pengambilan
keputusan penting pemerintah termasuk kontrol terhadap sumber daya negara
selalu berada di pusat.
107
Sejalan dengan keinginan masyarakat, maka kekuatan demokratis yang
baru di Indonesia menurut suatu perubahan pemerintah pusat agar memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya sendiri
termasuk pembagian keuangan antara pemerintah pusat agar memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya sendiri
termasuk pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan
keinginan masyarakat agar kehidupannya lebih baik terutama didukung oleh fakta
di masa lalu, banyak praktek kekuasaan yang tidak adil dilakukan oleh pemerintah
pusat, yaitu dalam pembagian kekayaan yang diperoleh pemerintah pusat dari
daerah. Oleh karena itu, pada tahun 1999 lahirlah undang-undang yang
merupakan payung hukum baru bagi proses desentralisasi di Indonesia, yaitu
undang-undang no.22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan uandang-undang
N0.25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kemudian dilakukanlah penyempurnaan undang-udang yaitu pada tahun
2004 dengan melahirkan undang-undang no.23 tahun 2004 tentang pemerintah
daerah dan undang-undang no.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan diterapkannya undang-
undang tersebut daerah diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan seluruh
fungsi pemerintahan, kecuali kewenangan pemerintah dalam bidang pertahaa
keamanan, politik luar negeri, pernahanan, keamanan, kebijakan moneter, fiskal
nasional, dan agama. Dengan pembagian kewenanan tersebut, peaksanaan
pemerintahan di daerah dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, asas
dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
108
Implikasi langsung dari keweangan yang diserahkan kepada daerah sesuai
undang-undang otonomi daerah yang baru adalah kebutuhan dana yang cukup
besar. Untuk itu, perlu diatur hubungan keuagan antara puat dan daerah yang
dimaksudkan untuk membiayai pelaksanaan fungsi yang menjadi kewenangannya.
Dari sisi keuangan Negara kebijakan pelaksanaan desentralisasi fiskal telah
membawa konsekuensi kepada peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar.
Sesuai dengan undang-undang No.23 tahun 2004 bahwa perimbagan
keuangan pusat dan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal
mengandung pengertia bahwa kepada daerah diberikan kewenangan untuk
memanfaatkan sumber keuangan sendiri dan didukung dengan perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah. Hubungan keuangan antara pusat dan daerah
perlu diberikan pengaturan agar kebutuhan pembangunan daerah dapat di biayai
dari sumber penerimaan yang ada. Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan
berdasarkan asas desentralisasi dilakukan atas beban APBD. Sumber-sumber
pembiayaan daerah yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal
adalah pendapatan asli daerah (PAD), pinjaman daerah, serta Dana perimbangan
yang diantaranya meliputi dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus
(DAK).
Penjelasan dalam teori-teori yang telah mengemuka bahwa desentralisasi
fiskal dapat menimbulkan efek positif terhadap efisiensi ekonomi sektor public,
pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, hal
tersebut dapat dibuktikan di Jawa Barat. Hal ini menunjukan bahwa efek
desentralisasi fiskal tersebut konsisten dengan teori desentralisasi yang ada.
109
Namun dari sisi penerimaan, daerah kabupaten dan kaota di Jawa Barat dalam
kemampuan keuangan daerah dalam menopang pembangunan daerah masih
sangat rendah, walaupun peranan dana perimbangan yang berasal dari pusat
sangat besar.
Pembagian sumber-sumber daya yang seimbang diantara berbagai
tingkatan pemerintahan akan menjamin bahwa daerah-daerah yang kaya akan
sumber daya akan memperoleh pembagian yang adil dari pendapatan yang
dihasilkan.
Melalui undang-undang yang ada pemerintah mencoba untuk mengurangi
ketimpangan dan ketidakadilan dalam alokasi keuangan baru untuk daerah yang
dinamakan dengan dana perimbangan yang terdiri dari tiga bagian untuk daerah
dari hasil pemasukan dari pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), Dana Alokasi
Umum{DAU} dan Dana Alokasi Khusus {DAK}.
4.1.3.1 Perkembangan Dana Alokasi Umum
Secara faktanya subsidi daerah otonom dan dana inpres yang
biberlakukan dahulu dihapuskan dan diganti dengan DAU, hal ini bertujuan untuk
mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah (horizontal
imbalance). Jumlah DAU yang dibagikan minimal 26% dari penerimaan dalam
negeri dan akan dibagikan kepada seluruh provinsi dan kabupaten dan kota
menurut suatu rumusan. Dalam undang-undang No. Tahun 2004 secara eksplisit
disebutkan bahwa kriteria DAU didasarkan pada dua faktor penting, yakni
110
kebutuhan daerah dan kemampuan perekonomian daerah. Kemampuan fiskal
merupakan kemampuan anggaran pemerintah dalam membiayai aktivitas
pemerintahannya. Sedangkan besarnya kebutuhan daerah dilihat dari jumlah
penduduk,luas wilayah, keadaan geografis, dan tingkat kemakmuran masyarakat .
Kebutuhan DAU suatu daerah dapat di tentukan atas konsep fiskal gap, yaitu
selisih antara kapasitas dan kebutuhan daerah dengan kata lain DAU digunakan
untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah lebih besar dari
kemampuan penerimaan daerah yang ada.
Distribusi DAU akan lebih kecil kepada daerah-daerah yang memiliki
kemampuan fiskal relative besar. Sebaliknya, perolehan DAU yang lebih besar
akan diberikan kepadan daerah-daerah dengan kemmpuan fiskal reltif kecil.
Dengan adanya konsep ini, beberapa daerah khususnya daerah yang kaya sumber
daya alam dapat memperoleh DAU yang negetif.
Untuk menghindari adanya penurunan kemampuan daerah dalam
membiayai beban pengeluaran, menggunakan faktor penyeimbang, pertama yang
berasal dari sejumlah proporsi DAU yang akan dibagikan secara merata kepada
seluruh daerah yang besarnya tergantung pada kemampuan keuaangan negara,
kedua transfer pemerintah pusat yang dialokasikan secara proporsional dari
kebutuhan gaji pegawai masing-masing daerah.
Untuk mengetahui perkembangan Dana Alokasi Umum di Provinsi Jawa
Barat setiap Kabupaten dan Kota , dapat dilihat pada gambar 4.5 dibawah ini:
111
Tabel 4.5
Dana Alokasi Umum di Jawa Barat periode 2001-2007
[dalam juta rupiah]
Dana Alokasi Umum
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
kab. Bogor 479,574,013 521,753,720 511,453,507.40 591,852,182.00 627,953,000.00 806,990,000.00 962196000.00
kab. Sukabumi 302,054,930 328,030,000 0 418,183,000.00 446,400.00 684,475,000.00 759683000.00
kab. Cianjur 296,188,193 335,620,000 389,850,000.00 411,220,000.00 443,536,200.00 675,881,000.00 757052000.00
kab. Bandung 734,074,827 659,036,306 726,240,000.00 757,285,000.00 802,830,000.00 1,168,636,000.00 1351912000.00
kab. Garut 370,108,072 401,240,000 468,170,000.00 490,611,000.00 520,630,992.00 830,714,900.00 911801000.00
kab. Tasikmalaya 382,120,225 338,880,000 375,630,000.00 387,801,000.00 411,220,000.00 648,149,000.00 718561000.00
kab. Ciamis 307,370,712 316,760 438,200,000.00 409,150,000.00 432,351,996.00 708,553,000.00 775730000.00
kab. Kuningan 184,986,767 241,430,000 282,600,000.00 293,534,000.00 308,582,000.00 485,246,000.00 550002396.00
kab. Cirebon 296,182,030 324,510,000 384,660,000.00 407,416,000.00 455,088,000.00 653,606,000.00 730885992.00
kab. Majalengka 233,941,752 228,748,729 295,270,000.00 308,162,000.00 328,468,000.00 508,346,000.00 555540000.00
kab. Sumedang 197,085,048 250,270,000 291,220,000.00 301,089,000.00 316,698,000.00 500,020,000.00 551711000.00
kab. Indramayu 230,339,505 275,510,000 320,800,000.00 333,712,000.00 350,810,000.00 548,042,000.00 610890996.00
kab. Subang 232,666,149 258,938,908 331,157,101.00 335,259,147.00 329,954,000.00 502,000,000.00 560645000.00
kab. Purwakarta 123,954,876 163,180,000 0 199,592,822.00 209,379,000.00 311,847,999.00 370015255.00
kab. Karawang 219,926,980 273,316,913 354,509,061.00 331,684,539.75 344,919,600.00 532,137,960.00 622602000.00
kab. Bekasi 198,609,142 230,880,000 231,240,000.00 251,093,753.00 284,953,999.20 284,954,000.00 430417000.00
kota Bogor 145,936,042 165,870,000 0 205,937,147.00 214,806,000.00 302,515,000.00 359576513.60
kota Sukabumi 81,330,556 109,779,572 124,630,000.00 126,824,000.00 134,188,000.00 216,741,000.00 285095000.00
kota Bandung 341,618,150 388,260,000 416,680,000.00 439,689,469.00 458,072,000.00 632,379,000.00 828294700.00
kota Cirebon 92,395,128 128,269,706 0 149,752,243.00 143,039,000.00 259,312,992.00 304470000.00
Sumber : BPS [data diolah]
Secara grafik pergerakannya dapat digambarkan sebagai berikut :
112
Sumber : BPS [data diolah]
Gambar 4.5
Dana Alokasi Umum Kabupaten dan Kota dalam Propinsi Jawa Barat periode 2001-2007.
Pergerakan Dana alokasi umum Provinsi Jawa Barat yang terdapat pada
gambar di atas mencerminkan kenaikan yang cukup tinggi pada periode 2001-
2007 di setiap kabupaten dan kota. Khususnya loncatan yang tinggi sebesar
Rp.7,117,928,192.00 pada tahun 2005 menjadi sebesar Rp.12,997,082,860.00,
artinya terjadi kenaikan 45.2% pada 2007. Dapat di ambil contoh pada Kabupaten
Bandung tahun 2005 dana alokasi umumnya sebesar Rp.802,830,000.00 dan pada
tahun 2007 sebesar 40.6 % menjadi Rp1,351,912,000.00.
Kabupatem Bandung merupakan kabupaten yang tertinggi dalam
pemberian dana alokasi umum di bandingkan dengan kabupaten dan kota lain di
Jawa Barat. Dapat terlihat pada setiap tahunnya menempati posisi tertinggi dalam
penerimaan dana alokasi umum dari pemerintah pusat. Serendah-rendahnya dana
113
yang pernah di terima oleh kabupaten bandung adalah pada tahun 2002 sebesar
Rp. 659,036,306.00, jika dibandingkan dengan kabupaten dan kota liannya pada
tahun yang sama maka terlihat bahwa anggka penerimaan dana alokasi umum
Kabupaten Bandung masih tergolong tinggi. Dan dana alokasi umu tertinggi yang
pernah di terima oleh kabupaten bandung adalah sebesar Rp.1,351,912,000.00
pada tahun 2007.
Berbeda sebaliknnya dengan Kota Sukabumi dan Kota Cirebon. Kedua
wilayah ini memduduki peringkat terrendah dalam penerimaan dana alokasi
umum di Jawa Barat. Tetapi penerimaan terendah di Jawa Barat dari pemerintah
pusat adalah Kota Cirebon, hal ini di indikasikan dengan keadaan tahun 2003
yang tidak sepeserpun dana alokasi umum mengalir ke pemerintah Kota Cirebon.
Dengan demikian Kota Cirebon dapat di artikan pada tahun tersebut telah lakukan
operasional pemerintahan dengan sumber daya lokal yang ada, dan tidak
menggantungkan diri kepada pemerintah pusat dalam menjalankan
pemerintahaannya.
Kota Cirebon jika kita bandingkan penerimaannya dengan Kabupaten
Bandung sangat jauh ketimpangannya, hal ini terlihat pada tahun 2007 Kota
Cirebon menerima dana alokasi umum yaitu sebesar Rp. 304,470,000.00
sedangkan Kabupaten Bandung menerima dana alokasi umum sebesar Rp.
1,351,912,000.00, oleh karena itu jarak perbedaannya sebesar Rp.
10,47,442,000.00.
114
4.1.3.2 Perkembangan Dana Alokasi Khusus
DAK dimaksudkan utuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus
di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas
nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan
dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong
percepatan pembangunan daerah.
Dana alokasi khusus dialokasikan kepada daerah tertentu untuk menandai
kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi priorotas
nasional yang urusannya berada di daerah. Kegiatan khusus yang ditetapkan oleh
pemerintah mengutamakan kegiatan pembangunan dan pengadaan atau
peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat
dengan umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadan sarana fisik penunjang.
Untuk mengetahui perkembangan Dana Alokasi Khusus di Provinsi Jawa
Barat, dapat dilihat pada gambar 4.5 dibawah ini:
115
Tabel 4.6
Dana Alokasi Khusus di Jawa Barat periode 2001-2007
[dalam juta rupiah]
Dana Alokasi Khusus 2001 2002 2003 3004 2005 2006 2007 Kab. Bogor 0 0 999,965.00 4,979,930.00 0 22,710,000.00 10289000.00
Kab. Sukabumi 0 0 0 0 0 38,050,000.00 72215800.00
Kab. Cianjur 0 0 1,000,000.00 0 0 36,390,000.00 67674000.00
Kab. Bandung 0 0 1,000,000.00 0 4,000,000.00 18,080,000.00 11012000.00
Kab. Garut 2,518,230 0 1,000,000.00 2,500,000.00 16,990,000.00 38,749,900.00 71319041.03
Kab. Tasikmalaya 0 0 1,000,000.00 5,000,000.00 0 49,160,000.00 69774000.00
Kab. Ciamis 0 0 9,100,000.00 9,250,000.00 0 52,900,000.00 73344000.00
Kab. Kuningan 0 0 7,800,000.00 7,420,000.00 13,530,000.00 57,518,302.28 49743000.00
Kab. Cirebon 0 0 28,327,425.27 0.00 0.00 40,931,529.00 9964013.01
Kab. Majalengka 0 0 7,300,000.00 9,180,000.00 13,310,000.00 35,020,000.00 49512000.00
Kab. Sumedang 0 0 8,600,000.00 7,210,000.00 13,240,000.00 31,910,000.00 43785000.00
Kab. Indramayu 0 0 11,600,000.00 13,490,000.00 16,460,000.00 38,680,000.00 12396600.00
Kab. Subang 0 0 12,000,000.00 8,500,000.00 0.00 35,380,000.00 63679000.00
Kab. Purwakarta 5,787,225 5,577,623 0 8,950,000.00 0.00 27,504,918.00 32648000.00
Kab. Karawang 0 0 0.00 0.00 0.00 28,370,000.00 9491000.00
Kab. Bekasi 1,398,000 0 1,000,000.00 0.00 0.00 18,280,000.00 8979400.00
Kota Bogor 0 0 0 5,500,000.00 4,000,000.00 7,620,000.00 7587700.00
Kota Sukabumi 0 0 6,100,000.00 5,500,000.00 7,290,000.00 17,270,000.00 21715000.00
Kota Bandung 0 0 0 6,600,000.00 0 148,700,000.00 12491398.16
Kota Cirebon 0 0 0 5,530,000.00 7,210,000.00 17,830,000.00 29207000.00
Sumber : BPS [data diolah]
Secara grafik pergerakannya dapat digambarkan sebagai berikut :
116
Gambar 4.6
Dana Alokasi Khusus Kabupaten dan Kota dalam Propinsi Jawa Barat periode 2001-2007.
Sumber : BPS [data diolah]
Pada tahun 2001 hanya beberapa kabupaten dan kota di provinsi jawabarat
yang mendapatkan dana aokasi khusus diantaranya adalah Kabupaten Garut,
Kabupaten Purwarkarta, dan Kabupaten Bekasi dengan angka sebagai berikut
untuk masing-masing wilayah Rp.2,518,230.00, Rp.5,787,225.00
Rp.1,398,000.00. Kondisi ini hampir sama dengan tahun 2002 bahkan Kabupaten
Garut dan Kabupaten Bekasi tidak menerima dana alokasi khusus, oleh karena itu
pada tahun 2002 yang menerima dana alokasi khusus adalah Kabupaten
Purwakarta saja.
DAK pada periode 2004 sampai dengan 2007 mengalami perkembangan
yang fluktuatif cenderung meningkat. DAK terbesar diterima oleh Kota Bandung,
pada tahun 2004 perolehan DAK di Kabupaten Indramayu sebesar
117
Rp.13,490,000.00. Pada tahun 2005 sebesar Rp. 16,990,000.00. Pada tahun 2006.
Sampai dengan 2005, proporsi alokasi DAK tidak seluruh kabupaten dan
kota di Jawa Barat memperoleh dana alokasi khusus, paling tidak ada wilayah
yang mendapatkan dana alokasi khusus bertambah menjadi sembilan wilayah.
Sedangkan pada tahun 2006 mengalami kemajuan yaitu seluruh kabupaten dan
kota di Jawa Barat menerima dana alokasi khusus dan jumlahnya berfariasi
tergantung kepada kepemtngan pembiayaan prioritas pemerintah daerah dan
pemerinttah pusat. Dalam tahun 2006 dan tahun 2007 Kabupaten Bogor memiliki
dana alokasi khusus sebesar Rp. 7,620,000.00 dan Rp. 7,587,700.00. sedangkan
pada tahun 2006 wilayah yang terbanyak dana alokasi khususnya adalah Kota
Bandung dan pada tahun 2007 di tempati oleh Kabupaten Ciamis.
Pada tahun2005-2006 semuanya kecenderungan naik, tapi pada tahun 2007
bervariasi sebagian kabupaten dan kota naik dan sebagian lagi turun. Yang
mengalami kenaikan adalah Kabupaten Ciamis, Kabupaten Tasik, Kabupaten
Garut, Kabupaten Subang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Majalengka, Kabupaten
Sumedang, Kabupaten Purwakarta, Kota Cirebon, Kota Sukabumi masing-masing
besarannya yaitu Rp. 73344000.00, Rp. 69774000.00, Rp. 71319041.03, Rp.
63679000.00, Rp. 67674000.00, Rp. 49512000.00, Rp. 43785000.00, Rp.
32648000.00, Rp. 9964013.01, Rp. 72215800.00.
Yang mengalami penurunan adalah Kabupaten Kuningan, Kabupaten
Indramayu, Kabupaten Bagor, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kota
Cirebon, Kota Bandung untuk masing-masing besarannya yaitu Rp. 49743000.00,
Rp. 12396600.00, Rp. 10289000.00, Rp. 9491000.00, Rp. 9491000.00, Rp.
118
8979400.00, Rp. 9964013.01, Rp, 11012000.00.
Yang beda sendiri yaitu Kota Bandung yang pada tahun 2006 kenaikannya
sangat drastis sebesar Rp.148,700,000.00 dan penurunannya sangat drastis bila
pada tahun setelahnya yaitu tahun 2007 ke posisi Rp. 12491398.16, dapat
dikatakan 91.6% kenaikan yang di milikinya.
4.2 Analisis Data Dan Pengujian Hipotesis
4.2.1 Pengujian Model Penelitian
Analisis data dalam penelitian yang berjudul “Dampak Desentralisasi
Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Barat Periode 1989-
2007”, menggunakan EViews (Econometric Views) 5.1, data yang diperoleh dari
hasil pengujian EViews adalah sebagai berikut:
a) Uji Hausman
Uji hausman merupakan cara Untuk mengetahui teknik estimasi yang tepat
dalam penelitian ini, antara model Fixed Effect dan Random Effect yang akan
dilakukan. Adapun kriterianya, jika nilai statistik Hausman > Nilai Chi-Square
maka model yang tepat adalah model Fixed Effect sedangkan sebaliknya jika nilai
statistik Hausman < Nilai Chi-Square maka model yang tepat adalah model
Random Effect. Setelah dilakukan pengujian dengan menggunakan alat bantu
program Eviews 5.1 untuk menghitungnya, maka diperoleh hasilnya sebagai
berikut:
119
Tabel 4.7 Matriks Uji Hausman
Statistik Hausman Kriteria Chi Squares (5%)
dan (1%) Keputusan
17.502867 > 7, 81473 dan
11,3449 Fixed Effect
Sedangkan nilai kritis chi-squares dengan df sebesar 6 pada %5=α dan
%1=α masing-masing sebesar 4,81473 dan 11,3449. Karena nilai statistic
Hausman lebih kecil dari nilai statistic chi-squares maka model yang tepat untuk
menganalisis Pertumbuhan Ekonomi sebelum dan setelah kebijakan desentralisasi
fiskal adalah Model Fixed Effect.
b) Uji Fixed Effect
Teknik estimasi data untuk menghasilkan analisis dalam Pengujian Fixed
Effect menggunakan EViews (Econometric Views) 5.1, data yang diperoleh dari
hasil pengujian EViews adalah sebagai berikut:
Tabel 4.8 Pengujian Model Penelitian dengan Fixed Effect
Dependent Variable: LPE? Method: Pooled Least Squares
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 1999.668 2.281835 876.3418 0.0000 SDA? 3.013037 0.44792 6.727038 0.0137 DAU? 5.136782 0.341896 15.02438 0.0285 DAK? 4.097236 0.809789 5.059632 0.0473
DUMMY? 3.262102 1.081881 3.015213 0.0209
R-squared 0.682509 F-statistic 18.06828
Sumber: Pengujian model EViews
120
Dengan Pengujian menggunakan pendekatan Fixed Effect diperoleh
persamaan sebagai berikut:
LPE = 1999,668 + 3,013037 SDA + 5,136782 DAU + 4,097236 DAK +
3,262102 DUMMY
t = (876,3418) (6,727038) (15,02438) (5,059632) (3,015213)
R2= 0,682509 F= 18,06828
Berdasarkan hasil pengujian pada model Fixed Effect, nilai koefisien
determinasi (R2) sebesar 0,682509 atau 68,2509%. Koefisien determinasi dapat
digunakan untuk melihat kualitas model, selain itu dapat digunakan untuk melihat
masalah multikolinearitas. Untuk hasil estimasi di atas diduga model penelitian
tidak terkena multikolinearitas karena nilai R2-nya tidak terlalu tinggi, karena
kolineritas diduga ketika R2 tinggi (misalnya, antara 0.7 dan 1) , sedangkan
seluruh variabel bebas di dalam model berpengaruh secara signifikan . Untuk
menyatakan bahwa model regresi yang dihasilkan adalah baik, salah satunya
dengan menggunakan kriteria ekonometrika (multikolinearitas,
heteroskedastisitas dan autokorelasi). Melalui kriteria ekonomi (uji asumsi klasik
tersebut) dapat terlihat model regresi yang dihasilkan memenuhi persyaratan Best
Linear Unbiased Estimation (BLUE) atau tidak.
4.2.2 Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi berguna untuk mengetahui berapa persen perubahan
variasi variabel dependen dapat dijelaskan oleh variasi variabel independen, nilai
121
R2 berada diantara 0 (nol) dan 1 (satu) semakin mendekati 1 berarti model
penelitian semakin baik. Dari hasil penelitian ini diperoleh nilai Koefisien
determinasi (R2) sebesar 0,682509 atau 68,2509. Nilai R2 sebesar 0,682509
menunjukkan bahwa pengaruh variabel-variabel Sumber Daya Alam terhadap
pertumbuhan ekonomi sebesar nilai R2 hanya 0,682509 atau 68,2509%, dan
sisanya 0,317491% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukan
ke dalam persamaan regresi.
4.2.3 Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini yaitu dengan pengujian satu sisi
(one side) atau satu ujung (one tail), hal ini dilakukan karena pengaruh variabel
bebas terhadap variabel terikat sudah ditetapkan. Tingkat keyakinan yang
digunakan sebesar 95% atau residu sebesar 5% (α = 5%). Pengujian hipotesis
sebelah kanan dengan kriteria t hitung > t tabel H0 ditolak dan H1 diterima
4.2.3.1 Pengujian Hipotesis Secara Parsial (Uji t)
Pengujian hipotesis secara parsial (uji t) dilakukan untuk mengetahui pengaruh
dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. Berdasarkan hasil
pengujian diperoleh nilai t hitung untuk masing-masing variabel bebas adalah
sebagai berikut:
122
Tabel 4.9 Pengujian Hipotesis Secara Parsial (Uji t)
Variabel t hitung t table Keputusan Pengaruh
SDA 6,727038 > 2,015 Menolak
H0 Signifikan
DAU 15,02438 > 2,015 Menolak
H0 Signifikan
DAK 5,059632 > 2,015 Menolak
H0 Signifikan
DUMMY 3,015213 > 2,015 Menolak
H0 Signifikan
Sumber: Hasil pengujian model Eviews
Variabel Sumber daya Alam (SDA) memiliki nilai thitung sebesar 6,727038
dan nilai t tabel = 2,015, maka thitung > ttabel. Hipotesis ini menerima H0 dan
menolak H1 , berarti sumber daya alam berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi, hal ini terbukti dengan tingkat probabilitasnya sebesar
0,0137 atau tingkat ketidak yakinan sebesar 1%.
Untuk thitung Dana Alokasi Umum ( DAU ) sebesar 15,02438 dan ttabel = 2,015,
maka thitung > ttabel. Hipotesis ini menerima H0 dan menolak H1 yang berarti Dana
Alokasi Umum berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, terbukti
dengan nilai probabilitasnya sebesar 0,0285 atau tingkat ketidak yakinan sebesar
2%. Untuk nilai thitung Dana Alokasi Khusus ( DAK ) sebesar 5,059632 dan nilai
t tabel = 2,015, maka thitung > ttabel. Hipotesis ini menerima H0 dan menolak H1 ,
berarti Dana Alokasi Khusus berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi, hal ini terbukti dengan tingkat probabilitasnya sebesar 0,0473 atau
tingkat ketidak yakinan sebesar 4%. Untuk nilai thitung Dummy Waktu (DUMMY)
sebesar dan nilai 3,015213 dan nilai t tabel = 2,015, maka thitung > ttabel. Hipotesis
123
ini menerima H0 dan menolak H1, berarti Dana Alokasi Khusus berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, hal ini terbukti dengan tingkat
probabilitasnya sebesar 0,0209 atau tingkat ketidak yakinan sebesar 2%.
4.2.3.2 Pengujian Hipotesis Secara Simultan (Uji F)
Uji F ini digunakan untuk menguji variabel independen secara keseluruhan
berpengaruh terhadap variabel bebas. Kriteria pengujian uji F adalah jika nilai
Fhitung > Ftabel dengan taraf keyakinan 95%, maka H0 ditolak dan H1 diterima yang
berarti ada pengaruh secara serempak atau secara bersama-sama dari keseluruhan
variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen; begitupun
sebaliknya jika Fhitung < Ftabel dengan taraf keyakinan 95%, maka H0 diterima dan
H1 ditolak yang berarti tidak ada pengaruh secara serempak atau secara bersama-
sama dari keseluruhan variabel independen berpengruh terhadap variabel
dependen.
Tabel 4.10 Pengujian Hipotesis Secara Simultan (Uji F)
F hitung F tabel Keputusan Pengaruh
18,06828 > 5,19 Menolak H0 Berpengaruh secara
simultan
Sumber: Hasil pengujian model Eviews
Berdasarkan hasil pengujian pada tabel 4.18 sebelumnya, diperoleh nilai
Fhitung sebesar 18,06828 dan untuk nilai Ftabel = 5,19 dari df pembilang 4, penyebut
5, dengan tingkat signifikan α = 5%. Dapat disimpulkan bahwa Fhitung > Ftabel
berarti H0 ditolak dan H1 diterima, yang menunjukan bahwa variabel bebas secara
bersama-sama berpengaruh terhadap variabel Pertumbuhan ekonomi.
124
4.2.4 Pengujian Asumsi Klasik
4.2.4.1 Uji Multikolinearitas (Multicollinearity Test)
Multikolinaritas berarti adanya hubungan yang sempurna atau pasti,
diantara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi
Dalam Pengujian multikoliniearitas dilakukan dengan regresi auxiliary yaitu
dengan melihat hubungan secara individual antara satu variabel independen
dengan satu variabel independen yang lain.
Keputusan ada tidaknya multikolinearitas yaitu dengan membandingkan
nilai F hitung dengan nilai F kritis. Jika nilai hitung F lebih besar dari nilai kritis
F dengan tingkat signifikasi dan derajat kebebasan tertentu maka dapat
disimpulkan model mengandung unsur multikolinearitas. Sebaliknya jika nilai F
hitung lebih kecil dari nilai F kritis maka dapat dipastikan model tidak
mengandung unsur multkolinearitas. Untuk mengetahui model mengandung
unsure multikolinearitas maka dilakukan regresi auxiliary sebagai berikut:
Berdasarkan perhitungan pada regresi auxiliary (terlampir), maka dapat
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
125
Tabel 4.11 Uji Multikolinearitas Dengan Regresi Auxiliary Regresi F hitung Kriteria F tabel Keputusan
SDA dengan DAU, DAK DUMMY
2,347547 < 6,00 Tidak terdapat
Multikolinearitas
DAU dengan SDA, DAK DUMMY
5,647469 < 6,00 Tidak terdapat
Multikolinearitas
DAK dengan SDA, DAU, DUMMY
0,894257 < 6,00 Tidak terdapat
Multikolinearitas
DUMMY dengan SDA, DAU, DAK
5,810428 < 6,00
Tidak terdapat Multikolinearitas
Keterangan:
SDA=Sumber Daya Alam (SDA)
DAU=Dana Alokasi Umum (DAU)
DAK= Dana Alokasi Khusus (DAK)
DUMMY = Dummy Waktu
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa dengan regresi auxiliary
model pertumbuhan ekonomi sebelum dan setelah kebijakan desentralisasi fiskal
tidak mengandung unsur multikolinearitas karena Fhitung<Fkritis pada %5=α
dengan df 4,9=6,00, untuk regresi SDA dengan DAU, DAK, dan Dummy adalah
sebesar 2,347547 < 6,00 maka pada regresi SDA dengan DAU, DAK, dan
DUMMY tidak terdapat multikolinearitas.
Untuk DAU dengan SDA,DAK, dan DUMMY sebesar 5,647469 <6,00
maka pada regresi DAU dengan SDA, DAK, dan DUMMY tidak terdapat
multikolinearitas. Untuk DAK dengan SDA, DAU, dan DUMMY adalah sebesar
126
0,894257 < 6,00 maka pada regresi DAK dengan SDA, DAU, dan DUMMY
tidak terdapat multikolinearitas.
Untuk DUMMY dengan SDA, DAU, DAK sebesar 5,810428 < 6,00
maka pada regresi DUMMY dengan SDA, DAU, DAK tidak terdapat
multikolinearitas. Setelah dilakukan regresi pada semua variabel independen,
maka dapat dipastikan persamaan tidak mengandung multikolinearitas
4.2.4.2 Uji Heteroskedastisitas
Asumsi penting lain dari model linier Klasik adalah bahwa gangguan
(disturbance) yang muncul dalam fungsi regresi populasi adalah
homoskedastik; yaitu semua gangguan tadi mempunyai varians yang sama.
Heteroskedastisitas terjadi jika gangguan muncul dalam fungsi regresi yang
mempunyai varians yang tidak sama.
Dalam pendeteksian masalah heteroskedastisitas digunakan metode
GoldFeld-Quandt yaitu dengan membagi dua data dan mengurutkannya sesuai
dengan nilai X, dimulai dari nilai yang paling kecil hingga yang paling besar, serta
melakukan regresi pada setiap kelompok secara terpisah.
Dengan ketentuan apabila Fhitung lebih besar dari Ftabel maka hasil regresi
mengandung heteroskedastisitas, tetapi sebaliknya apabila Fhitung lebih kecil dari
Ftabel maka dapat disimpulkan mahwa data tidak mengandung heteroskedastisitas
(homoskedastisitas) Diketahui RSS (Sum Squared Residual) dari observasi
127
pertama yakni sebesar: RSS= 5,64 X 108 dan RSS (Sum Squared Residual) dari
observasi kedua sebesar: RSS2= 1,57X 1010 sehingga dapat diketahui nilai statistic
Fhitung yakni sebagai berikut:
283394.06/1064.5
6/X10 1.578
10
==X
φ
Tabel 4.12 Matrix uji heteroskedastisitas
F hitung Kriteria F kritis Keputusan
0,283394 < 4,95 Tidak mengandung heteroskedastisitas
Sedangkan nilai kritis statistic F dengan df sebanyak 6 untuk numerator
dan 5 untuk denumerator pada %5=α adalah 4,95. maka menerima Hipotesis nol
karena nilai Fhitung (φ ) lebih kecil dari nilai kritis Fstatistic. Maka dapat disimpulkan
bahwa hasil regresi tidak mengandung masalah heteroskedastisitas.
4.2.4.3 Uji AutoKorelasi
Berdasarkan hasil regresi dengan menggunakan model Fixed Effect
diketahui hasil estimasi, angka durbin Watson dalam penelitian ini sebesar 1.248
dengan k= 4 dan n=18 dari tabel statistik Durbin Watson pada tingkat penting
diperoleh dL=0.820 dan dU=1.872. Untuk mendeteksi masalah autokorelasi
dilakukan uji Durbin-Watson (DW) sebagai berikut:
128
Tabel 4.13 Statistik Durbin-Watson (DW)
0 dL du 2 4-du 4-dL
0 0,820 1,248 1,872 2,128 3,180
Berdasarkan uji estimasi angka Durbin Watson sebesar 1.248 berarti nilai
Durbin Watson pada model tersebut terletak di darah keragu-raguan atau tidak
dapat dipastikan ada auotokorelasi positif atau negatif. Karena kriterianya yaitu
dL ≤ d ≤ dU dan 0,820 ≤ 1,248 ≤ 1,872 maka dapat disimpulkan bahwa model
terletak di daerah keragu-raguan positif; tidak ada keputusan.
Setelah dilakukan pengujian asumsi klasik dapat diketahui bahwa hasil
regresi fixed effect tidak mengandung unsur multikolinearitas, heteroskedastisitas
dan autokorelasi. Melalui kriteria ekonomi (uji asumsi klasik tersebut) dapat
terlihat model regresi yang dihasilkan memenuhi persyaratan Best Linear
Unbiased Estimation (BLUE).
Tolak H0
berarti ada
autokorelasi
positif
idak dapat
diputuskan
Tidak menolak H0
berarti tidak ada
autokorelasi
Tidak dapat
diputuskan
Tolak H0
berarti ada
autokorelasi
negatif
129
4.3 Pembahasan
Berdasarkan pengujian model penelitian dengan menggunakan model regresi
data panel dengan teknik estimasi Fixed Effect diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 4.14 Pengujian Model Penelitian dengan Fixed Effect
Dependent Variable: LPE? Method: Pooled Least Squares
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 1999.668 2.281835 876.3418 0.0000 SDA? 3.013037 0.44792 6.727038 0.0137 DAU? 5.136782 0.341896 15.02438 0.0285 DAK? 4.097236 0.809789 5.059632 0.0473
DUMMY? 3.262102 1.081881 3.015213 0.0209
R-squared 0.682509 F-statistic 18.06828
Sumber: Pengujian model EViews
Dengan Pengujian menggunakan pendekatan Fixed Effect diperoleh
persamaan sebagai berikut:
LPE = 1999,668 + 3,013037 SDA + 5,136782 DAU + 4,097236 DAK +
3,262102 DUMMY
t = (876,3418) (6,727038) (15,02438) (5,059632) (3,015213)
R2= 0,682509 F= 18,06828
130
Tabel 4.15 Besarnya Intersep pada 26 Propinsi PROVINSI INTERSEP
_KBBGR--C 0,059071
_KBSKBM--C 1,213757
_KBCNJR--C -0,029789
_KBBNDNG--C 0,622246
_KBGRT--C -0,207255
_KBTSK--C 0,012853
_KBCMS--C 0,545884
_KBKNNGN--C 0,502737
_KBCRBN--C -0,125958
_KBMJLNGK--C -0,249348
_KBSMDNG--C -0,216579
_KBINDRMY--C 0,208059
_KBSBNG--C -0,304395
_KBPRWKRT--C -0,791884
_KBKRWNG--C 0,861925
_KBBKS--C -0,280840
_KTBGR--C 0,463986
_KTSKBM--C -1,036103
_KTBNDNG--C 0,092247
_KTCRBN--C 0,040170
_KBBGR--C 0,059071
_KBSKBM--C 1,213757
_KBCNJR--C -0,029789
_KBBNDNG--C 0,622246
_KBGRT--C -0,207255 Sumber: Pengujian model EViews
Model penelitian diatas menunjukan bahwa seluruh variabel bebas
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, Untuk koefisien Sumber
Daya Alam (SDA) sebesar 3,013037; hal ini menunjukan bahwa jika Sumber
Daya Alam meningkat 1%, maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar
3,013037%. untuk koefisien regresi variabel Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar
5,136782; hal ini menunjukan bahwa jika Dana Alokasi Umum naik Rp. 1 juta,
maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 5,136782 % Untuk Dana
Alokasi Khusus sebesar (DAK ) sebesar 4,097236; hal ini menunjukan bahwa
131
Dana Alokasi Khusus meningkat RP. 1 juta , maka pertumbuhan ekonomi akan
meningkat sebesar 4,097236%.
Untuk koefisien Dummy Waktu (DUMMY) sebesar 3,262102 Koefisien
tersebut menunjukan bahwa setelah kebijakan desentralisasi fiskal diberlakukan,
maka pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar 3,262102 %; Sementara untuk
koefisien 0β (konstanta) menunjukan jika Pertumbuhan ekonomi tidak
dipengaruhi oleh sumber daya alam, dana alokasi umum dan serta dana alokasi
khusus maka nilai pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 1999,668 %.
Dari hasil penelitian ini diperoleh nilai Koefisien determinasi (R2) sebesar
0,682509 atau 68,2509% .
Dengan didukung oleh uji asumsi klasik (multikolinieritas,
heteroskedastis, dan autokorelasi) dan memenuhi unsur BLUE (Best Linier
Unbiased Estimator). Maka dapat diindikasikan bahwa model regresi yang dibuat
sudah baik dan tepat digunakan untuk memprediksikan (forecasting) faktor-faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia . nilai R2 sebesar
0,682509 menunjukkan bahwa pengaruh variabel-variabel Sumber Daya Alam
terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar nilai R2 hanya 0,682509 atau
0,682509%, dan sisanya 0,317491% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang
tidak dimasukan ke dalam persamaan regresi.
Intersep masing-masing Kabupaten dan Kota mengandung arti bahwa jika
tidak ada pengaruh dari Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi
Khusus, dan Desentralisasi Fiskal atau semua variable independen tersebut
132
dianggap nol, maka Pertumbuhan PDRB setiap Kabupaten dan Kota adalah
senilai masing-masing intersep daerah tersebut. Apabila dilihat dari dari intersep
masing-masing Propinsi yang memiliki nilai berbeda, dapat kita simpulkan bahwa
setiap propinsi yang dilakukan penelitian memiliki karakteristik yang berbeda satu
sama lain.
4.3.1 Pengaruh Sumber Daya Alam terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan di atas, dapat diketahui
bahwa sumber daya alam memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Besarnya nilai koefisien sumber daya alam (SDA) sebesar 3,01337, hal
ini menunjukkan bahwa sumber daya alam meningkat Rp. 1 juta, maka
pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 3,013037 %.
Hal ini sejalan dengan pendapat dari Adam Smith yang menyatakan bahwa
pertumbuhan output total dipengaruhi oleh tuga aspek yang salah satunya adalah
sumber-sumber daya alam yang tersedia seperti faktor produksi tanah dan lain-
lain. Dari perkembangannya sumber daya alam yang dimiliki oleh Kabupaten dan
Kota di Provinsi Jawa Barat mengindikasikan dengan seluruh sumber daya yang
ada mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat.
Sumber daya alam memiliki peranan yang sangat penting menurut Lewis,
karena tersebarnya sumber daya alam yang melimpah di suatu daerah merupakan
suatu daerah yang kekurangan sumber daya alam tidak akan membangun dengan
cepat. Dengan sumber daya alam dapat dipergunakan baik untuk pembangunan
133
dibandingkan dengan daerah yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam.
Keunggulan adanya sumber daya alam yang ada di Jawa Barat dapat
menguntungkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi karena modal yang ada dalam
pembangunan telah ada dan akan menambah kemampuan daerah untuk
melakukan pembangunan sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
suatu daerah, maka pemerintah akan mengoptimalkan sumber daya alam yang
ada dimsing-masing daerahnya sesuai jumlah ketersediaan sumber daya alam
yang ada. Semakin banyak atau besar keunggulan sumber daya alamnya maka
semakin besar pula pertumbuhan ekonomi yang akan terjadi di daerah tersebut.
4.3.2 Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Pertumbuhuan Ekonomi
Berdasarkan data yang telah di perlihatkan pada perkembangan di atas
terlihat bahwa peranan dana alokasi umum dalam mendukung pertumbuhan
ekonomi masih sangat besar, baik sesaat setelah penerapan desentralisasi fiskal,
bahkan setelah beberapa tahun lamanya desentralisasi fiskal dilaksanakan masih
menunjukan nilai yang sangat besar yaitu sebesar 5,137. Jika DAU mengalami
kenaiksn sebesar Rp. 1 Juta, maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar
5,137 %.
Semakin besar DAU artinya semakin besar juga pertumbuhan ekonomi
karena menurut Hendrik Van Berg (Nurasyiah:2006) menyatakan bahwa
kesejahteraan tidak ditentukan banyaknya emas dalam tabungan pemerintah atau
besarnya kekuatan tentaranya atau kemajuan industri suatu negara, tetapi lebih
pada berapa banyak barang yang dapat diakses dan dikonsumsi oleh masyarakat.
134
Hal ini mengindikasikan konsumsi yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi maka untuk memenuhi konsumsi tersebut atau fiskal gap tersebut DAU
di besarkan dan diberikan oleh karena itu semakin besar DAU semakin besar pula
pertumbuhan ekonomi.
Begitu pula di dukung dari penelitian yang di lakukan oleh Abdullah dan
Halim dalam penelitiaanya yang berjudul pengaruh DAU dan PAD terhadap
belanja pemerintah daerah. Studi kasus di Kabupaten dan Kota di Jawa dan Bali,
memalui penelitiannya dapat di buktikan bahwa pengrauh DAU terhadap belanja
daerah sangat berpengaruh signifikan.
Berdasarkan konsep Fiskal gap, Dana Alokasi Umum digunakan untuk
menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah lebih besar dari penerimaan
daerah yang didapat. Ketika dana alokasi umum diberikan lebih kecil kepada
daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiskal relatif besar. Begitu sebaliknya
DAU akan lebih besar diberikan kepada daerah-daerah yang kemampuan
fiskalnya relatif kecil.
Oleh karena itu DAU sangat berperan besar dalam terciptanya
pertumbuhan ekonomi daerah terutama di daerah yang mendapatkan Dana
Alokasi Umun yang lebih besar. Contohnya seperti kabupaten bandung dan kota
bandung pada tahun terakhir laju pertumbuhan ekonominya berada di atas rata-
rata kabupaten dan kota yang ada di Jawa Barat, yaitu sebesar 5,92 dan 8,24,
sedangkan dana alokasi umum yang di peroleh pada tahun terakhir masing-masing
adalah Rp.1.351.912.000,- dan Rp.828.294.700,-
135
4.3.3 Pengaruh Dana Alokasi Khusus terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Dana Alokasi khusus merupakan penerimaan daerah untuk kepentingan
pembangunan suatu daerah yang merupakan program khusus dari pemerintah
pusat, maka ketika semakin besar DAK maka semakin besar pula pertumbuhan
ekonomi yang akan terjadi pada daerah yang mendapatkan kucuran dana alokasi
khusus ini.
Berdasarkan pengujian diketahui bahwa Dana Alokasi Khusus memiliki
pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. besarnya nilai koefisien
Dana Alokasi Khusus sebesar (DAK ) sebesar 4,097236 hal ini menunjukan
bahwa Dana Alokasi Khusus meningkat RP. 1 juta , maka pertumbuhan ekonomi
akan meningkat sebesar 4,097236 %.
Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana yang berasal dari APBN dan
dialokasikan kepada daerah yang dimaksudkan untuk membantu membiayai
kegiatan khusus daerah dan sesuai dengan prioritas
nasional.(Ahmad.E.Yustika:2007)
Dana Alokasi Khusus (DAK) bertujuan untuk membantu mendanai kegiatan
khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Di
samping itu tujuan pemberian DAK adalah untuk mengurangi permasalahan yang
timbul sebagai akibat dari pelayanan publik (inter-jurisdictional spillovers), dan
meningkatkan penyediaan barang publik di daerah (Mahi, 2002 (c) dalam Joko
Waluyo). Dalam perspektif peningkatan pemerataan pendapatan maka peranan
DAK sangat penting untuk mempercepat konvergensi antar daerah, karena dana
diberikan sesuai dengan prioritas nasional, misalnya DAK untuk bantuan keluarga
136
miskin. Dalam jangka panjang dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan
yang merupakan bagian dari anggaran kementerian negara/lembaga yang
digunakan untuk melaksanakan urusan yang menurut peraturan perundang-
undangan menjadi urusan daerah akan dialihkan menjadi DAK (Pasal 107 UU No.
33 tahun 2000).
Berdasarkan hasil pengujian DAU memiliki pengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi, hal itu menunjukkan jika Pendapatan Daerah dalam hal ini
Dana Alokasi Khusus (DAK) mengalami peningkatan maka pertumbuhan
ekonomi suatu daerah akan mengalami peningkatan. penggunaan DAK (spesific
grants) telah ditentukan oleh pemerintah pusat dengan kewajiban daerah penerima
harus menyediakan 10% dana pendamping. Sehingga tidak memungkinkan suatu
daerah untuk mempergunakan DAK dengan tidak semestinya. (Isdijoso dan
Wibowo, 2002)
4.3.4 Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Dalam penelitian ini ternyata desentralisasi fiskal memberikan efek positif
terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat, hal ini dapat dilihat dari hasil
pengujian dengan model fixed effect yaitu setiap kenaikan desentralisasi fiskal
sebesar 1 % , maka Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat akan naik sebesar
1999,668. Artinya Desentralisai Fiskal memberikan pengaruh yang positif
terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Nobui Akai dan Masayo Sakata (2002) yang melakukan penelitian
di China, dan hasil yang diperolehnya yaitu bahwa desentralisasi fiskal
137
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Selain Akai Sakata, penelitian yang menyatakan bahwa desentralisasi
fiskal memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi adalah Davoodi
dan Zhou (1998). Menurut Davoodi dan Zou, pertumbuhan ekonomi meningkat
karena dua alasan, yaitu: (1) Menstimulasi pertumbuhan ekonomi adalah sasaran
dari desentralisasi fiskal. (2) Hal yang penting bagi pemerintah adalah
mengimplementasikan kebijakan yang dapat menjamin peningkatan tetap pada
pendapatan perkapita. Pada konteks ini adalah hal yang penting bagi pemerintah
daerah menunjukkan seberapa besar kontribusi mereka terhadap pertumbuhan
ekonomi. Diharapkan pelayanan publik seperti infrastruktur dan pendidikan akan
lebih efektif jika ditangani oleh pemerintah daerah karena lebih menghayati
keinginan masyarakatnya meliputi pertimbangan geografis. Hal ini diharapkan
efektif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Sebagai hasilnya, ceteris
paribus dalam sistem desentralisasi fiskal dimana pemerintah daerah memainkan
peranan yang predominan dalam pertumbuhan ekonomi.
Beberapa daerah menunjukkan perkembangan perekonomian yang
signifikan dengan pemberlakuan otonomi dan desentralisasi, ditandai dengan
Pertumbuhan ekonomi yang meningkat, Meskipun secara makro kebijakan
desentralisasi fiskal menunjukkan dampak yang positif, namun ada sebagian
daerah tingkat II justru memperoleh dampak negetif dari kebijakan tersebut.
Penurunan atau peningkatan kinerja perekonomian di masing-masing daerah
tingkat II akibat kebijakan desentralisasi disebabkan oleh beberapa variabel
internal masing-masing daerah tingkat II Seperti potensi fiskal, varaibel sumber
138
daya manusia, ketersediaan modal, infrastruktur ekonomi, potensi sumber daya
alam dan energy, dan tingkat kegiatan ekonomi di daerah tersebut sebelum
diberlakukannya kebijakan desentralisasi fiskal.
Sejak desentralisasi fiskal di Indonesia, kemampuan anggaran daerah
semakin besar, namun jika tidak dikelola dengan baik justru akan menciptakan
ketidak efisienan dan pemborosan terhadap dana publik tersebut. Walaupun dalam
pelaksanaannya banyak mengalami kendala dan permasalahan di lapangan,
nampaknya terlalu dini mengatakan bahwa desentralisasi fiskal di Indonesia
mengalami kegagalan. Namun, bukan pula berarti mengalami kesuksesan.
Nampaknya masih diperlukan kerja keras dan komitmen semua pihak dalam
mengawal proses desentralisasi di Indonesia.
Oleh karena itu, ada beberapa prinsip-prinsip utama desentralisasi fiskal
yang harus diperhatikan agar berhasil, yaitu: perencanaan pertisipatif, peningkatan
alternatif sumber-sumber keuangan baru, penerapan prinsip keadilan dalam
pembagian dama perimbangan, penentuan prinsip-prinsip pengeluaran, penerapan
good governance dalam pemerintah, penerapan standar pelayanan minimal,
penerapan insentif dalam desain pembagian dana perimbangan, mengumumkan
secara rutin kinerja pelayanan pemerintah daerah.
4.4 Implikasi Pendidikan
Secara teoritis ada salah satu pendekatan yang menerangkan hubungan antara
pendidikan dan pertumbuhan ekonomi yaitu teori modal manusia. Teori modal
139
manusia menjelaskan proses dimana pendidikan memiliki pengaruh positif pada
pertumbuhan ekonomi. Argumen yang disampaikan pendukung teori ini adalah
manusia yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, yang diukur juga dengan
lamanya waktu sekolah, akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik
dibanding yang pendidikannya lebih rendah. Apabila upah mencerminkan
produktivitas, maka semakin banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi,
semakin tinggi produktivitas dan hasilnya ekonomi nasional akan bertumbuh lebih
tinggi.
Menurut Romer (1991) dalam Tobing (2010), modal manusia merujuk pada
stok pengetahuan dan keterampilan berproduksi seseorang. Pendidikan adalah
satu cara dimana individu meningkatkan modal manusianya. Semakin tinggi
pendidikan seseorang, diharapkan stok modal manusianya semakin tinggi. Hal ini
di dukung oleh Derin, 2009 dalam penelitiannya yaitu yang mengungkapkan
bahwa modal manusia memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi
,maka implikasi pendidikan juga memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan
ekonomi.
Dengan diterimanya dana yang berasal dari pemerintah pusat kepada
kabupaten / kota yang diberikan dalam era desentralisasi fiskal ini, seharusnya
dengan dana yang telah ada dikelola dengan cara yang benar dan profesional tentu
akan memberikan manfaat yang besar bagimasyarakat daerah. Aspek yang
penting dalam pengelolaan tersebut adalah pada penggunaan dana yang
seharusnya di alokasiikan untuk sektor-sektor strategis yang berkaitan langsung
dengan pelayanan publik.
140
Di era desentralisasi fiskal ini oleh karena itu pemerintah harus bekerja keras
untuk menyediakan pelayanan publik terhadap kebutuhan dasar masyarakat yaitu
masalah pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar dan pelayanan administrasi.
pemerintah daerah seharusnya mampu menyediakan fasilitas pendidikan dan
kesehatan yang murah, mudah terjangkau dan merata. indikator keberhasilan lain
adalah kecikupan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, sistem
perlindungan kesehatan bagi masyarakat dan ketersediaan serta komitmen
anggaran publik untuk sektor strategis tersebut.
Khususnya pada pemenuhan kebutuhan dalam pendidikan, karena dengan
penyediaan sektor pendidikan yang murah, mudah terjangkau akan semakin
banyak dan tinggi pendidikan masyarakat , sehingga stok modal manusia semakin
tinggi dan akan mengakibatkan hubungan positif pula terhadap pertumbuhan
ekonom.
Litvack et. al dalam Khusaini (2006) yang mengatakan bahwa pelayanan
publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang
memiliki kontrol grafis yang paling rendah tingkat birokrasi (hierarkinya).
Efisiensi tersebut verangkat dari pemikiran di mana dengan desentralisasi fiskal
membuat pemerintah daerah lebih mampu memahami apa yang menjadi
kebutuhan masyarakatnya sehingga akan membuat pemerintah daerah lebih tepat
dalam mengalokasikan sumber daya yang ada. Peningkatan efisiensi ini bisa
didefinisikan sebagai peningkatan kesejahteraan konsumen atas sumber daya yang
ada.
141
Penyediaan kebutuhan di bidang pendidikan,penelitian dan pengembangan
oleh pemerintah dilakukan setiap tahun pemerintah telah meningkatkan anggaran
sektor pendidikan. tetapi angka na peningkatan ini secara absolut relatif sangat
kecil, sehingga masih jauh bila dibanding negara-negara tetangga yang sangat
serius dalam pengembangan sumberdaya manusia. Tetapi komitmen anggaran
pemerintah daerah terhadap sektor pendidikan masih kecil jika dilihat dari
persentase alokasi anggaran pendidikan sekitar 12 persen dari total anggaran
pemerintah.
Jika dilihat dari rasio alokasi APBD terhadap PDRB menunjukan
kecenderungan yang semakin besar dari waktu-kewaktu. Artinya, dari sisi fiskal
kemampuan daerah (public money) dalam menopang pembangunan yang semakin
baik. Data yang ada menunjukan bahwa rata-rata alokasi anggaran daerah
terhadap sektor pendidikan hanya sebesar Rp. 43,489 trilyun (12 %) dari total
APBD di kabupaten dan Kota di Jawa Barat. Keadaan ini sangat memprihatinkan,
apalagi menurut undang-undang dasar 1945 hasil amandemen dan undang-undang
No. 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang secara
tegas menjelaskan bahwa alokasi anggaran untuk sektor pendidikan minimal
sebesar 20% dari APBN dan APBD.
Bahkan di dalam undang-undang Sisdiknas dinyatakan bahwa alokasi
anggaran pendidikan tersebut tidak termasuk gaji guru dan pendidikan kedinasan.
Hal ini tentu sangat bertolak belaksng dengan fakta yang ada. Pemerintah
mempunyai komitmen anggaran minimal 20,1% tersebut akan dipenuhi pada
tahun 2009. Namun demikian, komitmen tersebut rasanya sulit terealisasi . pada
142
tahun 2006, angaran pendidikan baru mencapai 12% dari APBD.
Jika kita lihat di Amerika Serikat, sekolah dasar dan sekolah menengah
pemerintah merupakan ytanggungjawab utama pemerintah daerah dan negara
bagian. Pemerintah federal hanya membiayai sekitar 6% dari total biaya
penyelenggara sekolah dasar dan menengah dan sebagian besar pengeluaran
pemerintah federal untuk pendidikan dasar dan menengah ditujukan untuk
program peninhkatan keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan.
Disamping itu, pemerintah federal juga membiayai penelitian dan program
pengembangan untuk mendorong reformasi dan pembaharuan sistem pendidikan.
Pengeluaran untuk pendidikan dasar dan menengah mencapai 40% dari total
anggarn pemerintah daerah dan negara bagian. Hal ini merupakan pengeluaran
terbesar dari pemerintah negara bagian dan pemerintah daerah. Di beberapa
negara bagian, tanggung jawab utama terhadap pembiayaan sekolan dasar dan
menengah terletak pada pemerintah daerah yang ditujukan umtuk pendidikan bagi
masyarakat lokal. Sistem penyediaan atas barang publik tersebut mempunyai
dampak yang cukup besar terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dan dapat
menjamin pendidikan bagi anak-anak mereka. Peranan pemerintah negara bagian
dalam membiayai pendidikan melalui subsidi kepada pemerintah daerah baru
berkembang pada pertengahan abad ke dua puluh. Sementara, peranan pemerintah
pusat dalam pendidikan sepanjang sejarah selalu sangat kecil.