proposal pdrb hijau

34
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan dari pembangunan nasional secara umum adalah tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkesinambungan. Untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan struktur ekonomi yang diharapkan, maka sasaran dan arah pembangunan perlu direncanakan dengan baik dan hasil dari pembangunan tersebut harus terus diamati. Perencanaan dan pengamatan terhadap hasil-hasil pembangunan dapat dilakukan dengan melihat indikator ekonomi suatu daerah. Indikator ekonomi adalah data yang digunakan untuk menentukan perkembangan ekonomi suatu daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah di daerah bersangkutan. Indikator ekonomi digunakan sebagai pertanda tentang perkembangan pembangunan di masa lampau maupun untuk masa mendatang. Indikator ekonomi memberikan gambaran secara makro dan terkadang juga menjadi penentu aspek pemerataan pembangunan. Ada banyak indikator perekonomian suatu negara, antara lain Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), inflasi, dan tingkat pengangguran. Tujuan dari pembangunan nasional secara umum adalah tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkesinambungan. Pencapain tujuan pembangunan yang sesuai dengan sasaran dan arah pembangunan diperlukan Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 1

Upload: agung-nuryanto

Post on 05-Jul-2015

1.593 views

Category:

Documents


31 download

TRANSCRIPT

Page 1: Proposal PDRB Hijau

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tujuan dari pembangunan nasional secara umum adalah tercapainya

tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkesinambungan. Untuk

mencapai tingkat pertumbuhan dan struktur ekonomi yang diharapkan, maka

sasaran dan arah pembangunan perlu direncanakan dengan baik dan hasil dari

pembangunan tersebut harus terus diamati. Perencanaan dan pengamatan

terhadap hasil-hasil pembangunan dapat dilakukan dengan melihat indikator

ekonomi suatu daerah. Indikator ekonomi adalah data yang digunakan untuk

menentukan perkembangan ekonomi suatu daerah yang dikeluarkan oleh

pemerintah di daerah bersangkutan. Indikator ekonomi digunakan sebagai

pertanda tentang perkembangan pembangunan di masa lampau maupun untuk

masa mendatang. Indikator ekonomi memberikan gambaran secara makro dan

terkadang juga menjadi penentu aspek pemerataan pembangunan. Ada banyak

indikator perekonomian suatu negara, antara lain Produk Domestik Regional

Bruto (PDRB), inflasi, dan tingkat pengangguran.

Tujuan dari pembangunan nasional secara umum adalah tercapainya

tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkesinambungan.

Pencapain tujuan pembangunan yang sesuai dengan sasaran dan arah

pembangunan diperlukan perencanaan dengan memperhatikan indikator

perekonomian disuatu daerah.

Indikator ekonomi merupakan data yang digunakan untuk melihat

perkembangan di suatu daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah disuatu

daerah, pada jangka waktu tertentu. Indikator ekonomi tersebut merupakan

tanda mengenai perkembangan perekonomian disuatu daerah. Indikator

ekonomi yang dapat menunjukan perkembangan perekonomian di suatu daerah

seperti, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), Tingkat inflasi, dan

tingkat pengangguran.

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 1

Page 2: Proposal PDRB Hijau

Secara umum Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan

suatu catatan mengenai kegiatan perekonomian di suatu daerah selama satu

tahun. Catatan tersebut memberikan informasi mengenai nilai dari suatu barang

dan jasa di suatu perekonomian. Sehingga dari indikator PDRB tersebut dapat

diketahui berapa besar kesejahteraan masyarakat, sumbangan dari sektor-sektor

dalm suatu perekonomian daerah dan laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

Oleh karena itu PDRB sebagai indikator ekonomi dapat dikatakan mempunyai

peran penting dalam menilai pembangunan perekonomian disuatu daerah.

PDRB Jawa Timur menjadi salah satu indikator ekonomi Di Jawa Timur ,

selama periode lima menunjukan selalu menunjukan tren yang meningkat tiap

tahunnya (Tabel 1). Indikator PDRB Jawa Timur ini dapat digunakan sebagai

pertimbangan untuk mengambil kebijakan dalam menentukan arah

pembangunan ekonomi di Jawa Timur.

Tabel 1.

Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur

berdasarkan harga konstan tahun 2004-2008

Tahun Nilai (Jutaan Rupiah) Pertumbuhan (%)

2004 242228892.2 - 

2005 256374726.8 5.84

2006 271237674.3 5.80

2007 287814183.9 6.11

2008 304798966.4 5.90

Dari sembilan sektor perekonomian Jawa Timur selama periode 2004

hingga 2009 terdapat sektor tiga sektor yang memiliki kontribusi tertinggi

terhadap PDRB Jawa Timur yaitu sektor Industri, sektor Perdagangan, Hotel, dan

restoran serta sektor Pertanian. Rata-rata kontribusi sektor-sektor tersebut

terhadap PDRB sebesar 29%, 28% dan 17% tiap tahunya. Berdasarkan nilai

rata-rata per tahun kontribusi sektoral terhadap PDRB maka sektor industri dapat

dikatakan memiliki kontribusi yang besar diantara sektor lainya.

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 2

Page 3: Proposal PDRB Hijau

Tabel 2.

Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Sektoral Jawa Timur

berdasarkan harga konstan tahun 2004-2008

Sektor 2004 2005 2006 2007 2008Rata-rata

Pertanian/Agriculture 18% 17% 17% 17% 16% 17%Pertambangan dan Penggalian/ Mining and Quarrying 2% 2% 2% 2% 2% 2%Industri Pengolahan/ Manufacturing Industry 30% 30% 29% 29% 28% 29%Listrik, Gas, dan Air Bersih /Electricity, Gas and Water Supply 2% 2% 2% 2% 2% 2%Kontruksi / Construction 4% 4% 3% 3% 3% 3%Perdagangan, Hotel dan Restauran 27% 27% 28% 29% 29% 28%Pengangkutan dan Komunikasi 6% 6% 6% 6% 5% 5% Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 4% 5% 5% 5% 5% 5% Jasa-jasa / Services 8% 8% 8% 8% 8% 8%

Sektor industri secara rata-rata pertahun memiliki kontribusi pertumbuhan

yang cukup besar diantara sektor perekonomian lain di Jawa Timur sekitar 29%

terhadap PDRB. 16% kontribusi dari sektor industri tersebut diberikan oleh sub

sektor industri pengolahan makanan dan minuman. Industri pengolahan makanan,

minuman dan tembakau memberikan kontribusi yang cukup besar dikarenakan

memiliki keterkaitan yang cukup besar dengan sektor-sektor lain terutama

keterkaitan ke belakang (backward lingkage) dengan sektor primer (sektor

pertanian) yang juga memberikan kontribusi yang cukup besar pada PDRB Jawa

Timur.

Sub Sektor Industri 2004 2005 2006 2007 2008Rata-rata

Subsektor Industri Makanan, Minuman, Tembakau

0.54 0.56 0.56 0.55 0.55 0.16

Subsektor Industri Tekstil, Pakaian Jadi, dan Kulit

0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.01

Subsektor Industri Kayu dan Sejenisnya 0.04 0.04 0.04 0.04 0.03 0.01 Subsektor Industri Kertas, Percetakan dan Penerbitan

0.12 0.12 0.12 0.12 0.12 0.04

Subsektor Industri Kimia, Minyak Bumi Karet dan Plastik

0.08 0.08 0.08 0.08 0.08 0.02

Subsektor Industri Barang Galian non 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.01

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 3

Page 4: Proposal PDRB Hijau

Logam, Subsektor Industri Logam Dasar 0.08 0.08 0.08 0.08 0.08 0.02 Subsektor Industri Barang dari Logam, Mesin dan Peralatan

0.02 0.02 0.02 0.02 0.00 0.01

Subsektor Industri Pengolahan lainnya 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.01

Perhitungan PDRB yang sudah dilakukan hingga saat ini sebenarnya

hanya menghitung nilai total barang dan jasa akhir (final product) yang dihasilkan

selama satu tahun dan dinyatakan dalam nilai rupiah. Pada kenyataannya,

penggunaan PDRB sebagai indikator ekonomi memiliki beberapa kelemahan,

antara lain: hanya mengukur kegiatan ekonomi dan bukan kesejahteraan

ekonomi suatu daerah; struktur perekonomian bersifat semu; biaya pencegahan

kerusakan dan perbaikan lingkungan dihitung sebagai pendapatan; dan

berkurangnya sumberdaya alam dan rusaknya lingkungan tidak tampak dalam

nilai PDRB. Nilai yang dihasilkan PDRB seolah-olah memberikan gambaran

tentang pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh suatu daerah, baik secara total

maupun secara sektoral, sehingga dianggap mencerminkan kesejahteraan

daerah yang bersangkutan.

Dalam kenyataannya, nilai sumberdaya alam yang hilang dieksploitasi

(deplesi) dan kerusakan (degradasi) lingkungan belum diperhitungkan atau

dikurangkan sebagai nilai kehilangan dan kerusakan yang seharusnya dibayar;

sehingga nilai-nilai yang tercantum dalam PDRB itu belum menunjukkan nilai

kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya. Oleh karena itu, agar nilai-nilai

dalam PDRB mencerminkan nilai kesejahteraan yang sesungguhnya, maka perlu

dilakukan penghitungan PDRB yang disesuaikan dengan memasukkan nilai

sumberdaya alam yang digunakan sebagai masukan maupun kerusakan

lingkungan yang ditimbulkan sebagai produk yang tidak diinginkan dari suatu

kegiatan. Nilai PDRB yang telah disesuaikan tersebut dapat dijadikan acuan

dasar bagi perencanaan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable

development) yaitu dengan memperhatikan keberadaan faktor sumberdaya alam

dan lingkungan (pembangunan yang berwawasan lingkungan).

Dalam banyak literatur, PDRB konvensional yang tidak memasukkan

komponen lingkungan yang terdiri dari deplesi sumberdaya alam dan degradasi

lingkungan disebut dengan PDRB Coklat. Sementara itu, PDRB yang

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 4

Page 5: Proposal PDRB Hijau

disesuaikan dengan memasukkan kedua komponen lingkungan tersebut dikenal

dengan PDRB Hijau (Green GRDP ). Jika hanya deplesi sumberdaya alam yang

dimasukkan, maka dinamakan dengan PDRB Semi Hijau.

PDRB adalah catatan tentang jumlah nilai rupiah dari barang dan jasa

akhir yang dihasilkan oleh suatu perekonomian daerah (provinsi/ kabupaten/kota)

untuk waktu satu tahun lamanya. PDRB sebagai salah satu indikator ekonomi

untuk menilai keberhasilan pembangunan di suatu daerah mempunyai peranan

penting sebagai penyedia informasi yang cukup handal dalam mencapai tujuan

perencanaan dan evaluasi hasil pembangunan secara makro/nasional. Dalam

hal ini, secara umum manfaat PDRB adalah dapat mengetahui tingkat

kesejahteraan masyarakat suatu daerah, mengetahui sumbangan masing–

masing sektor kegiatan ekonomi, mengetahui laju pertumbuhan ekonomi

nasional/regional ataupun laju pertumbuhan masing-masing sektor dan untuk

menyusun rencana pembangunan regional/sektoral.

Untuk mendapatkan nilai PDRB hijau dari suatu daerah maka diperlukan

identifikasi tentang sumberdaya alam yang hilang (deplesi) dan kerusakan

lingkungan (degradasi) yang ditimbulkan oleh kegiatan perekonomian di tiap

sektor ekonomi di Jawa Timur. Kegitan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi

sumberdaya alam yang hilang (deplesi) dan kerusakan lingkungan (degradasi)

yang ditimbulkan oleh kegiatan perekonomian di tiap sektor ekonomi di Jawa

Timur sesuai dengan metode perhitungannya. Identifikasi hilangnya sumberdaya

alam (deplesi) dan kerusakan lingkungan (degradasi) diperlukan untuk

mengetahui nilai hilangnya sumberdaya alam yang digunakan di sektor

perekonomian serta nilai kerusakan lingkungan (degradasi) yang ditimbulkan

atas kegiatan perekonomian selama satu tahun di Jawa Timur. Dalam kegiatan

ini dipilih sub sektor industri pengolahan makanan dan minuman dikarenakan

beberapa alasan pertama, kontribusi sub sektor industri makanan dan minuman

cukup besar di terhadap sektor industri maupun dalam PDRB Jawa Timur jika

dibandingkan dengan sub sektor lainnya. Sub sektor industri pengolahan

makanan, minuman dan tembakau merupakan sub sektor dari industri yang

memiliki keterkaitan yang sangat besar dengan sektor pertanian Jawa Timur

yang juga memiliki kontribusi yang besar terhadap PDRB di Jawa Timur.

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 5

Page 6: Proposal PDRB Hijau

1.2 Tujuan

Bedasarkan latar belakang tersebut, Maka kegiatan ini bertujuan untuk

memberikan pandangan tentang penentuan nilai sumberdaya yang hilang dan

kerusakan lingkungan yang terdapat di tiap sektor perekonomian di Jawa Timur.

Secara khusus, tujuan dari kegiatan ini adalah untuk:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor sumberdaya alam yang hilang dan

kerusakan lingkungan di sektor-sektor perekonomian di Jawa Timur

dalam periode waktu 2004-2008.

2. Menentukan metode yang digunakan untuk menilai sumberdaya alam

yang hilang dan kerusakan lingkungan yang terjadi di sektor

perekonomian.

3. Memberikan contoh kasus identifikasi dan perhitungan PDRB hijau di sub

sektor industri pengolahan makanan, minuman dan tembakau

1.3 Manfaat

Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik langsung

maupun tidak langsung. Adapun manfaat langsung adalah:

1. Memberikan gambaran tentang potensi dan cadangan sumberdaya alam

dan lingkungan sebagai modal alami (natural capital) yang berguna bagi

perencanaan pembangunan yang lebih baik

2. Memformulasikan strategi pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam

dan lingkungan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang

berkelanjutan

3. Menentukan besarnya pungutan (pajak dan retribusi) lingkungan sebagai

salah satu sumber pendapatan daerah

4. Memberikan gambaran tentang potensi dan cadangan sumberdaya alam

dan lingkungan sebagai modal alami (natural capital) yang berguna bagi

perencanaan pembangunan yang lebih baik.

5. Memberi gambaran tentang metode analisis yang digunakan untuk

mengidentifikasi sumberdaya alam yang hilang dan kerusakan lingkungan

yang terjadi di sektor-sektor perekonomian.

Sedangkan manfaat tidak langsung adalah:

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 6

Page 7: Proposal PDRB Hijau

1. Kegiatan ini merupakan langkah awal dalam perhitungan PDRB Hijau

yang dapat digunakan sebagai panduan dalam perhitungan PDRB Hijau.

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 7

Page 8: Proposal PDRB Hijau

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan data statistik yang

menjumlahkan seluruh nilai tambah dari seluruh aktivitas ekonomi di suatu

wilayah negara pada satu periode tertentu, biasanya satu tahun. Jika aktivitas ini

dihitung di tingkat regional (provinsi atau kabupaten), maka hasil perhitungannya

dikenal dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Konsep yang mulai

diperkenalkan di Indonesia mulai tahun 1970-an ini memiliki peranan strategis

bagi perencanaan pembangunan karena dapat memberikan gambaran secara

menyeluruh tentang kondisi perekonomian suatu daerah dan dianggap sebagai

indikator kinerja perekonomian secara agregat. Selain itu, PDRB juga sering

digunakan sebagai indikator kesejahteraan penduduk suatu daerah yang diukur

dengan PDRB per kapita.

Perhitungan PDRB pada dasarnya dapat dilakukan dengan

menggunakan 3 (tiga) pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan

pendapatan dan pendekatan pengeluaran. Berikut adalah penjelasan dari dari

ketiga pendekatan tersebut.

2.1.1 Pendekatan Produksi

Pendekatan produksi dihitung dengan cara menjumlahkan nilai tambah

produksi atau nilai tambah bruto (NTB) dari seluruh sektor atau lapangan usaha

yang ada dalam ekonomi suatu daerah. Dalam perhitungan PDRB menurut

pendekatan produksi, perekonomian diklasifikasikan menjadi 9 sektor, yaitu:

pertanian; pertambangan dan penggalian; industri pengolahan; listrik, gas, dan

air bersih; konstruksi; perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan

komunikasi; keuangan, real estate dan jasa perusahaan; dan jasa-jasa.

Perhitungan PDRB menurut pendekatan produksi dapat dinotasikan:

(1)

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 8

Page 9: Proposal PDRB Hijau

dimana: NTB adalah selisih antara nilai produksi dengan nilai input antara dan i

adalah sektor ke i.

2.1.2 Pendekatan Pendapatan

Menurut pendekatan pendapatan, PDRB adalah jumlah balas jasa yang

diterima oleh faktor-faktor produksi yang terlibat di dalam proses produksi di

suatu wilayah (region) pada jangka waktu tertentu (biasanya setahun). Secara

umum kepemilikan faktor produksi diklasifikasikan menjadi: tenaga kerja, tanah,

modal, dan kewirausahaan. Faktor produksi tenaga kerja menerima balas jasa

dalam bentuk upah dan gaji (wage), pemilik tanah menerima sewa (rent), pemilik

modal menerima bunga (interest rate), sedangkan manajer dan kewirausahaan

menerima share laba (profit). Penyusutan barang modal tetap dan pajak tidak

langsung netto merupakan komponen penyusun PDRB. Perhitungan PDRB

menurut pendekatan pendapatan dapat dinotasikan:

(2)

2.1.3 Pendekatan Pengeluaran

Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB adalah jumlah semua

pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak

mencari untung (C), pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan

inventori (I), konsumsi pemerintah (G), dan ekspor netto (X-M) di suatu

wilayah/region pada suatu periode, biasanya setahun. Ekspor netto adalah

ekspor dikurangi impor. Secara sederhana, menurut pendekatan pengeluaran,

perhitungan PDRB dapat dinotasikan:

(3)

Berdasarkan perhitungannya, PDRB dapat dibagi menjadi PDRB atas

dasar harga berlaku (GRDP at market price) atau PDRB nominal dan PDRB atas

dasar harga konstan (GRDP at constant price) atau PDRB riil. PDRB yang

dihitung menurut harga yang berlaku (harga pasar) dinilai dengan menggunakan

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 9

Page 10: Proposal PDRB Hijau

harga pada tahun berjalan sedangkan PDRB atas dasar harga konstan

didasarkan kepada harga satu tahun dasar tertentu (biasanya disebut tahun

dasar). Pada umumnya, nilai PDRB atas dasar harga berlaku lebih tinggi

dibandingkan dengan PDRB atas dasar harga konstan karena pengaruh dari

kenaikan harga barang dan jasa atau faktor inflasi. Oleh karena itu, untuk melihat

pertumbuhan ekonomi secara riil, para ekonom menggunakan angka

pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan.

PDRB seringkali dianggap sebagai indikator keberhasilan pembangunan

ekonomi, sehingga langkah untuk memperbesar angka PDRB menjadi salah satu

target utama yang harus dicapai sebagai indikator kinerja pembangunan

ekonomi. Konsekuensi dari pembangunan yang terlalu berorientasi pada

pertumbuhan ekonomi dengan cara memperbesar angka PDRB adalah

terjadinya kerusakan lingkungan akibat dari eksploitasi sumberdaya alam dan

lingkungan secara besar-besaran (over exploitation). Kerusakan lingkungan yang

sering timbul sebagai dampak negatif dari pembangunan ekonomi, yaitu:

deforestasi, degradasi lahan, kekurangan air, serta polusi udara dan air (Yakin,

2007). Oleh karena itu, para pemerhati lingkungan menyindir PDB atau GDP

bukan kependekan dari Gross Domestic Product, tetapi Gross Domestic Pollution

(Samuelson, 2003).

Sheng (1995) memberikan kritik bahwa “langkah memperbesar PDB

dipandang sebagai usaha memperbanyak telur untuk memenuhi permintaan

pasar tanpa memperhatikan bagaimana memelihara dan memberi makan ayam

yang menghasilkan telur tersebut”. Pendapat tersebut mengisyaratkan

pentingnya peranan sumberdaya alam dan lingkungan dalam menjamin

pembangunan yang berkelanjutan. Kenyataan menunjukkan bahwa di negara-

negara berkembang, penggunaan sumberdaya alam memberikan kontribusi

yang tinggi terhadap PDB, yaitu sebesar 44% sedangkan di negara-negara maju

kontribusinya relatif kecil, yaitu hanya sebesar 17% (Waluyo, 2002). Dari fakta

dan data tersebut jelas bahwa lingkungan merupakan salah satu modal penting

yang menjamin keberlanjutan pembangunan ekonomi, sehingga pembangunan

yang berwawasan lingkungan merupakan prasyarat bagi pembangunan yang

berkelanjutan.

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 10

Page 11: Proposal PDRB Hijau

2.2 PDRB Hijau

2.2.1 Konsep Dasar

Walaupun dianggap sebagai salah satu penemuan atau inovasi besar

pada abad ke-20, namun PDRB (konvensional) memiliki banyak kelemahan.

Salah satunya yang merupakan kritik utama adalah tidak memasukkan aspek

lingkungan yang rusak sebagai dampak (eksternalitas) negatif dari

pembangunan ekonomi. Kerusakan lingkungan dapat menimbulkan biaya sosial

(social cost) yang besar sehingga pada akhirnya dapat menurunkan tingkat

kesejahteraan masyarakat (social welfare) sebagai tujuan akhir dari

pembangunan ekonomi.

PDRB Hijau merupakan konsep revolusioner yang mengintegrasikan

aspek lingkungan ke dalam pembangunan ekonomi dalam konteks

pembangunan yang berkelanjutan. Penghitungan PDRB Hijau memasukkan dua

komponen lingkungan, yaitu deplesi sumberdaya alam dan degradasi

lingkungan. Deplesi sumberdaya alam adalah berkurangnya jumlah sumberdaya

alam yang tersedia, sedangkan degradasi atau menurunnya kualitas lingkungan

diartikan sebagai menurunnya fungsi atau kemampuan lingkungan dalam

menyediakan barang dan jasa lingkungan. Jika hanya deplesi sumberdaya alam

yang dimasukkan ke dalam penghitungan, maka dinamakan dengan PDRB Semi

Hijau. Sementara itu, PDRB konvensional dikenal dengan nama PDRB Coklat.

Penghitungan PDRB Hijau merupakan aplikasi dari Neraca Sumberdaya

Alam dan Lingkungan atau Natural Resource and Environmental Accounting

(NREA). Sebagai koreksi terhadap kelemahan dari PDRB konvensional, PDRB

Hijau mampu menyajikan indikator kinerja perekonomian yang lebih

komprehensif dan berkualitas serta merefleksikan kesejahteraan masyarakat

yang sesungguhnya. Gambar 1 menyajikan kerangka konseptual dari PDRB

Hijau.

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 11

Page 12: Proposal PDRB Hijau

Gambar 1. Kerangka Konseptual PDRB Hijau

2.2.2 Penghitungan PDRB Hijau

Pada dasarnya PDRB Hijau merupakan penyesuaian dari PDRB Coklat

dengan penambahan komponen lingkungan berupa deplesi sumberdaya alam

dan degradasi lingkungan. Secara matematis, formula penghitungan PDRB Hijau

sebagai berikut (Suparmoko, 2005; Ratnaningsih dkk.,2006) :

Nilai produksi Rp ……….

Biaya input antara Rp ………. (-)

PDRB Coklat Rp ……….

Deplesi sumberdaya alam Rp ………. (-)

PDRB Semi Hijau Rp ……….

Degradasi lingkungan Rp ………. (-)

PDRB Hijau Rp ……….

Berdasarkan formula tersebut, maka untuk memperoleh nilai PDRB Hijau

dibutuhkan penghitungan PDRB Coklat, deplesi sumberdaya alam, dan

degradasi lingkungan.

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 12

Pembangunan Ekonomi

Pendapatan Masyarakat

Kerusakan Lingkungan

Deplesi Sumberdaya Alam

Degradasi Lingkungan

Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB)

PDRB Hijau

Kesejahteraan Masyarakat

Biaya Lingkungan

(4)

Page 13: Proposal PDRB Hijau

1.2.2.1 Penghitungan PDRB Coklat

PDRB Coklat telah disusun oleh BPS yang membagi sektor ekonomi ke

dalam 9 sektor usaha, yaitu: sektor pertanian; sektor pertambangan dan

penggalian; sektor industri pengolahan; sektor listrik, gas, dan air bersih; sektor

konstruksi; sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor pengangkutan dan

komunikasi; sektor keuangan dan jasa perusahaan; dan sektor jasa-jasa. Nilai

PDRB Coklat dihitung dari penjumlahan nilai tambah per sektor dengan

menggunakan rumus (1). Jika suatu sektor tidak memiliki produk yang dapat

dijual di pasar seperti sektor pemerintahan dan pendidikan, biasanya dipakai

pendekatan pendapatan yaitu balas jasa terhadap faktor produksi dalam bentuk

upah/gaji, sewa, bunga, dan laba.

1.2.2.2 Penghitungan deplesi sumberdaya alam

Penghitungan nilai deplesi sumberdaya alam dilakukan melalui langkah-

langkah: (1) identifikasi sumberdaya alam yang terdeplesi; (2) melakukan

kuantifikasi volume fisik sumberdaya alam yang terdeplesi; (3) melakukan valuasi

ekonomi sumberdaya alam yang terdeplesi. Nilai deplesi sumberdaya alam

diperoleh dengan mengalikan volume pengambilan masing-masing jenis

sumberdaya alam dengan unit rent atau unit net price. Nilai deplesi dapat

dinyatakan dalam persamaan:

(5)

di mana: Dx = nilai deplesi; Ux = unit rent; Qx = volume sumberdaya alam x yang

diambil.

Cara menghitung unit rent adalah dengan mengurangkan biaya

pengambilan per unit dari harga sumberdaya alam termasuk nilai laba per unit

(balas jasa pengeluaran investasi) yang layak diterima oleh si pemrakarsa. Adapun

nilai laba yang layak itu dianggap sama dengan tingkat bunga pinjaman di bank

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 13

Page 14: Proposal PDRB Hijau

sebagai biaya alternatif dari modal yang ditanam untuk mengeksploitasi

sumberdaya alam di daerah yang bersangkutan.

Penerimaan kotor Rp ………

Biaya produksi Rp ………. (-)

Laba kotor Rp ……….

Laba layak (balas jasa investasi) Rp ………. (-)

Unit Rent Rp ……….

Berdasarkan rumus tersebut, maka penghitungan PDRB Hijau memerlukan

langkah-langkah seperti yang dijabarkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram Alir Penghitungan PDRB Hijau

1.2.2.3 Penghitungan degradasi lingkungan

Langkah-langkah yang dilakukan untuk menghitung degradasi lingkungan

yaitu: (1) mengidentifikasi komponen lingkungan yang terdegradasi; (2)

melakukan kuantifikasi fisik degradasi lingkungan; dan (3) melakukan valuasi

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 14

(6)

Nilai produksi

Biaya input antara

Penghitungan Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB)

Penghitungan deplesi

sumberdaya alam

PDRB Semi Hijau

Penghitungan degradasi lingkungan

PDRB Hijau

Identifikasi sumberdaya alam terdeplesi

Kuantifikasi volume sumberdaya alam

Valuasi ekonomi sumberdaya alam

Identifikasi komponen lingkungan terdegradasi

Kuantifikasi fisik komponen lingkungan

Valuasi ekonomi degradasi lingkungan

Page 15: Proposal PDRB Hijau

ekonomi degradasi lingkungan. Penghitungan degradasi lingkungan merupakan

tahap yang paling sulit dalam penghitungan PDRB Hijau karena terkait dengan

fungsi lingkungan yang kompleks. Ratnaningsih, dkk. (2006) menyebutkan 3

(tiga) fungsi lingkungan, yaitu: menghasilkan barang sumberdaya alam (natural

resource input); mengolah limbah alami (natural assimilator); serta menyediakan

jasa lingkungan (environmental services) dan kesenangan (amenity services).

Valuasi ekonomi degradasi lingkungan merupakan kegiatan untuk menilai

barang dan jasa lingkungan yang terdegradasi dalam satuan moneter. Sebelum

melakukan valuasi ekonomi, maka perlu diketahui nilai ekonomi dari lingkungan

itu sendiri. Nilai ekonomi total dijabarkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Nilai Ekonomi Total

Nilai total ekonomi atau total economic value (TEV) terdiri dari nilai guna

atau use value (UV) dan nilai bukan guna atau non-use value (NUV). Barton

(1994) menyebut UV dengan istilah instrumental value sedangkan NUV disebut

vicarious value, sedangkan Perman (2003) menyamakan istilah NUV dengan

PUV (passive-use value). Nilai guna adalah nilai yang diperoleh dari

pemanfaatan aktual barang dan jasa lingkungan, yang terdiri dari nilai guna

langsung atau direct use value (DUV), nilai guna tidak langsung atau indirect use

value (IUV).

Nilai guna langsung adalah nilai-nilai yang diperoleh dari pemanfaatan

langsung suatu barang dan jasa lingkungan, contoh nilai guna sumberdaya hutan

adalah menghasilkan kayu. Nilai guna tidak langsung merupakan nilai

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 15

Nilai Ekonomi Total(Total Economic Value)

Nilai Guna(Use Value)

Nilai Bukan Guna(Non-Use Value)

Nilai Lansung(Direct Value)

Nilai Tidak Langsung

(Indirect Value)

Nilai Pilihan(Option Value)

Nilai Warisan(Bequest Value)

Nilai Keberadaan(Existence

Value)

Page 16: Proposal PDRB Hijau

pemanfaatan barang dan jasa lingkungan secara tidak langsung, tetapi lebih

pada fungsi perlindungan dari lingkungan tersebut untuk kegiatan-kegiatan sosial

ekonomi masyarakat. Contoh nilai guna tidak langsung hutan adalah sebagai

penampung sumberdaya air, pencegah erosi, dan sebagainya.

Nilai bukan guna (NUV) merupakan nilai yang tidak berhubungan dengan

pemanfaatan aktual dari barang dan jasa lingkungan. Jenis nilai ini sulit diukur

(intangible) karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan dari

pada pemanfaatan langsung. NUV terdiri dari nilai pilihan atau option value (OV),

nilai warisan atau bequest value (BV) dan nilai keberadaan atau existence value

(EV). Nilai pilihan merupakan potensi manfaat langsung atau tidak langsung dari

barang dan jasa lingkungan di waktu mendatang dengan asumsi sumberdaya

tersebut tidak mengalami kemusnahan atau kerusakan yang permanen; sebagai

contoh sumberdaya genetik (plasma nutfah) dari hutan tropis. Nilai warisan (BV)

berkaitan dengan perlindungan suatu sumberdaya agar dapat diwariskan kepada

generasi mendatang. Nilai tersebut ditentukan sekarang untuk mengetahui

bahwa warisan sumberdaya akan tetap ada dan digunakan di waktu yang akan

datang. Nilai keberadaan (EV) adalah nilai yang diberikan oleh masyarakat pada

kawasan konservasi atas manfaat-manfaat spiritual, estetika, dan kultural,

sehingga terkait erat dengan aspek religius dan budaya. Nilai tersebut ditafsirkan

sebagai nilai keberadaan suatu ekosistem atau spesies tertentu, terlepas dari

apakah individu menggunakannya atau tidak; sebagai contoh kemauan

membayar dari masyarakat untuk kelangsungan hidup ikan paus biru dan panda.

Pearce dan Turner (1990) menyamakan istilah nilai keberadaan ini dengan nilai

intrinsik (intrinsic value) yang mengacu pada nilai yang mempunyai karakteristik

non-antroposentris.

Dalam melakukan valuasi nilai degradasi lingkungan banyak metode yang

dapat digunakan. Para ahli mengelompokkan metode valuasi ekonomi tersebut

ke dalam kategori yang berbeda-beda. Pemilihan metode yang tepat ditentukan

oleh banyak faktor, yaitu dampak yang akan divaluasi serta ketersediaan data,

waktu, dan sumberdaya keuangan.

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 16

Page 17: Proposal PDRB Hijau

Field dan Olewiler (2002) mengidentifikasi beberapa metode yang

digunakan untuk mengestimasi kerusakan ekonomi dari sisi manfaat sebagai

berikut:

A. Metode langsung (menggunakan harga pasar), terdiri dari:

1. Perubahan produktivitas (change in productivity)

2. Biaya pemeliharaan kesehatan (health-care cost)

3. Hilangnya modal manusia (loss of human capital)

4. Biaya penggantian/pemindahan (replacemen/restoration cost)

B. Metode tidak langsung, terdiri dari

1. Pengeluaran pencegahan/mitigasi (prevention/mitigating expenditures)

2. Perkiraaan hedonik (hedonic estimation), terdiri dari nilai kekayaan

(property value) dan perbedaan upah (wages differentials)

3. Pasar pengganti (surrogate market), terdiri dari: biaya perjalanan (travel

cost) dan produk hijau (green goods)

4. Metode valuasi kontinjen atau Contingent Valuation Methods (CVM)

Metode perubahan dalam produktivitas (change in productivity) digunakan

untuk menilai barang dan jasa lingkungan yang mempunyai harga pasar. Metode

ini memperlakukan lingkungan sebagai faktor produksi, sehingga perubahan

dalam kualitas lingkungan mendorong ke arah perubahan dalam produktivitas

dan biaya produksi, yang pada gilirannya mendorong ke arah perubahan harga

dan tingkat output dapat diamati dan diukur.

Dalam metode hilangnya modal manusia (loss of human capital), modal

manusia umumnya menggunakan proxi tenaga kerja yang dianggap sebagai

faktor produksi. Perubahan produktivitas manusia dinilai sebagai ukuran nilai

ekonomi dari adanya perubahan kualitas lingkungan. Alternatif lain dari aplikasi

metode ini adalah menilai besarnya biaya pengobatan yang diperlukan untuk

mengobati penyakit yang timbul akibat adanya penurunan (degradasi) kualitas

lingkungan. Pendekatan tersebut disebut dengan metode biaya perawatan

kesehatan (health-care cost). Metode biaya penggantian (replacement cost)

menghitung biaya penggantian atau perbaikan aset yang rusak dan

menggunakan biaya tersebut sebagai manfaat dari perbaikan tersebut.

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 17

Page 18: Proposal PDRB Hijau

Metode pengeluaran pencegahan atau mitigasi didasarkan pada perilaku

pencegahan (mitigation behaviour) dari individu atau masyarakat. Metode ini

mengukur biaya kerusakan untuk mengestimasi hilangnya potensi manfaat atau

nilai lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Metode estimasi hedonik mengukur kualitas jasa lingkungan melalui

penelaahan harga barang pengganti pada kondisi lingkungan berbeda dengan

menggunakan beberapa atribut. Metode ini sangat umum digunakan untuk

mengestimasi nilai kualitas lingkungan berdasarkan perbandingan harga rumah

dengan karakteristik fisik yang sama tetapi mempunyai kualitas lingkungan yang

berbeda. Metode perbedaan upah (wage differentials) merupakan metode lain

dari pendekatan estimasi hedonik. Metode ini didasarkan pada teori bahwa upah

yang lebih tinggi diperlukan untuk menarik para pekerja agar tinggal di daerah

berpolusi atau berada dalam pekerjaan lebih penuh resiko. Perbedaan dalam

tingkat upah dapat dimodelkan sebagai fungsi dari tingkat atribut yang berbeda

dari suatu pekerjaan.

Metode biaya perjalanan (travel cost) mengestimasi nilai lingkungan

berdasarkan biaya dan waktu perjalanan dalam mengunjungi wisata tertentu,

sehingga metode ini cocok digunakan untuk menilai fungsi lingkungan sebagai

penyedia jasa rekreasi. Metode lain dalam pendekatan pasar pengganti adalah

penggunaan barang yang ramah lingkungan (green goods) sebagai respon untuk

menghindari buruknya kualitas lingkungan.

Metode valuasi kontinjen (CVM) adalah teknik valuasi yang dapat

digunakan untuk semua jenis nilai lingkungan, terutama nilai-nilai yang bersifat

tidak nyata (intangible) dan sulit diukur, seperti nilai pilihan (option value), nilai

warisan (bequest value) dan nilai keberadaan (existence value). Metode ini

berbasis survei yang berusaha untuk mengestimasi nilai barang dan jasa

lingkungan secara langsung dari responden melalui kesediaan untuk membayar

(WTP) dan kesediaan untuk menerima (WTA). Turner et al. (1994) menamakan

metode CV sebagai metode expressed preference yang bertujuan untuk

mengetahui preferensi responden terhadap perubahan hipotetik atas barang dan

jasa lingkungan.

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 18

Page 19: Proposal PDRB Hijau

Implementasi penghitungan PDRB Hijau membutuhkan beberapa

persyaratan penting, yaitu sumberdaya manusia yang memadai, data yang

kompleks, biaya yang besar, serta dukungan dari pemerintah. Waluyo (2002)

mengatakan penghitungan PDRB Hijau memerlukan langkah-langkah sebagai

berikut: (1) inventarisasi sumberdaya alam, (2) menentukan sumberdaya alam

yang akan dihitung, (3) menyusun instrumen pengumpulan data, (4)

mengumpulkan data, serta (5) mengolah dan menganalisis data.

2.2.3 Perhitungan PDRB Hijau di Indonesia

Kementerian Lingkungan Hidup telah mengembangkan konsep PDRB

Hijau sejalan dengan konsep Neraca Terpadu Lingkungan dan Ekonomi Nasional

yang dirintis oleh Biro Pusat Statistik (BPS) mulai tahun 1995. Uji coba dilakukan

di Kabupaten Kutai Kertanegara pada tahun 2002 untuk penghitungan PDRB

Semi Hijau. Selanjutnya pada tahun 2003 dikembangkan Buku Pedoman

Penyusunan PDRB Hijau dengan wilayah uji coba di Kabupaten Karawang.

Namun demikian, dalam perkembangannya tidak banyak daerah yang

melakukan penghitungan PDRB Hijau, juga terutama belum dilakukan secara

berkala dan berkelanjutan. Berikut adalah beberapa pengalaman penerapan

perhitungan PDRB Hijau di Indonesia.

Tabel 3

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 19

Page 20: Proposal PDRB Hijau

Perhitungan PDRB Hijau di Indonesia

No. Daerah Deplisi SDADegradasi

LingkunganHasil Perhitungan

1 Indonesia, tahun 1974-1988(Repetto dkk., 1989)

Hutan, minyak, dan tanah

- (Semi Hijau)

Laju pertumbuhan ekonomi rata-rata 4% per tahun bukan 7% seperti dalam perhitungan PDRB Coklat.

2 Kab. Kutai Kertanegara(Pilot project, 2002)

Kayu, batu bara

- (Semi Hijau)

- Kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Coklat tahun 1999 sebesar 11,3% dan tahun 2000 sebesar 4,9%

- Kontribusi sektor pertambangan terhadap PDRB Coklat tahun 1999 sebesar 37,5% dan tahun 2000 sebesar 14,8%

3 Kab. Karawang Tahun 2001 (2004)

Air (semua sektor); tanah liat, batu kali, dan pasir (sektor pertambangan)

Lahan kritis, hutan mangrove

- Nilai deplesi 67,58 miliar

- Nilai degradasi 728, 56 miliar per tahun

4 Kab. Berau (PDRB Sektor Kehutanan tahun 2000-2004)

Kayu Lahan PDRB Hijau sektor kehutanan bernilai negatif

Sumber: Suparmoko (2005), Ratnaningsih dkk., (2006)

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 20

Page 21: Proposal PDRB Hijau

BAB 3

METODE PENGHITUNGAN

3.1. Tahapan Kegiatan

Kegiatan perhitungan PDRB Hijau sektor industri makanan, minuman dan

tembakau dilakukan melalui beberapa tahap:

1. Persiapan, meliputi kegiatan: pembentukan tim penyusun; pembuatan

surat ijin dan kelengkapan administrasi, studi literatur dan penelusuran

data awal terkait dengan penghitungan PDRB Hijau

2. Penghitungan PDRB, meliputi tahapan kegiatan sebagai berikut:

a. Identifikasi dan inventarisasi komponen sumberdaya alam dan

lingkungan yang akan digunakan dalam penghitungan.

b. Pengumpulan data meliputi kegiatan penentuan jenis dan sumber

data serta instrumen pengumpulan data.

c. Pengolahan dan analisis data meliputi kegiatan: tabulasi dan

kompilasi data, penyajian data dalam bentuk tabel dan grafik,

serta analisis dan interpretasi data secara desktiptif.

d. Pembahasan hasil perhitungan.

3. Penyelesaian akhir, yang meliputi pembuatan laporan, revisi dan

penyempurnaan, serta pembuatan dan laporan akhir

3.2. Teknik Penghitungan

3.2.1. Deplesi Sumberdaya Alam

Hasil pengamatan terhadap data yang tersedia dapat identifikasi bahwa

sumberdaya alam yang terdeplesi di sektor industri makanan, minuman dan

tembakau.

3.2.1.1. Deplesi lahan

Pengukuran nilai deplesi lahan dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 21

Page 22: Proposal PDRB Hijau

a. Menghitung konversi lahan industri makanan, minuman dan tembakau

dengan cara mengurangi luas lahan tahun sekarang (n) dengan tahun

sebelumnya (n-1)

b. Melakukan valuasi ekonomi nilai deplesi lahan dengan metode perubahan

produktivitas sebagai berikut:

(7)

dimana Dn adalah nilai deplesi, PDn adalah produktivitas lahan, dan Hn

adalah harga beras, dan n menunjukkan tahun ke-n.

3.2.1.2. Deplesi air

Valuasi ekonomi deplesi air dilakukan dengan metode perubahan

produktivitas. Melalui penyesuaian dengan ketersediaan data, penilaian deplesi

air dilakukan dengan menggunakan rumus:

(8)

dimana Dn adalah nilai deplesi, Pn adalah jumlah produksi, dan Bn adalah biaya

pengairan, i adalah kabupaten/kota ke-i dan n menunjukkan tahun ke-n. Angka

400m3 merupakan nilai konversi kebutuhan air per 1 ton (Revelle, 1963 dalam

Nahriyanti, 2008).

3.2.2. Degradasi Lingkungan

Penghitungan degradasi lingkungan dilakukan dengan menggunakan

indikator degradasi lahan, yaitu lahan kritis. Valuasi ekonomi untuk degradasi

lahan dihitung dengan rumus:

(9)

dimana DGn adalah nilai degradasi, LKn adalah luas lahan kritis, KPn adalah

kebutuhan pupuk, Hn adalah harga pupuk, dan n adalah tahun ke-n.

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 22

Page 23: Proposal PDRB Hijau

3.3. Variabel dan Data

Tabel 4 menyajikan variabel yang digunakan dalam penghitungan PDRB

Hijau sektor pertanian sub-sektor tanaman bahan makanan. Data yang

digunakan merupakan data sekunder yang diperoleh dari publikasi berbagai

instansi. Sampel data dilakukan secara runtut waktu (time series) tahun 2002–

2007. Pengumpulan data tersebut dilakukan dengan teknik dokumentasi.

Tabel 4Variabel, Definisi Operasional dan Data

No. Variabel Definisi Operasional Sumber Data

1 PDRB Jawa Timur Penjumlahan nilai tambah produksi pada masing-masing sektor (ada sembilan sektor ekonomi) di Jawa Timur dinyatakan dalam rupiah

Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, berbagai tahun penerbitan; Bank Indonesia (BI), berbagai tahun penerbitan

2 PDRB sektor pertanian

Nilai tambah produksi pada sektor pertanian di Jawa Timur dinyatakan dalam rupiah

BPS, BI

3 PDRB sub sektor tanaman bahan makanan

Nilai tambah produksi pada sub sektor tanaman bahan makanan khusus padi di Jawa Timur dinyatakan dalam rupiah

BPS, BI

4 Luas lahan pertanian tanaman padi

Luas lahan pertanian yang ditanami padi dinyatakan dalam hektar

Dinas Pertanian

5 Harga tanah per m2 per kabupaten/kota

Harga tanah per m2 per kabupaten/kota di Jawa Timur dinyatakan dalam rupiah

BPS

6 Produksi padi/beras per hektar tanah per kabupaten

Rata-rata produksi padi sawah dalam sekali panen per kabupaten/ kota di Jawa Timur dinyatakan dalam rupiah

Dinas Pertanian

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 23

Page 24: Proposal PDRB Hijau

7 Harga beras per kg Rata-rata harga beras (lokal dan impor) per kg di masing-masing kabupaten di Jawa Timur dinyatakan dalam rupiah

BPS/ BULOG

8 Biaya pengairan Biaya pemakaian air sektor pertanian tanaman padi per hektar per kabupaten/ kota di Jawa Timur dinyatakan dalam rupiah

Dinas Pertanian

9 Lahan kritis Luas lahan kritis di luar kawasan hutan per kabupaten/kota di Jawa Timur dinyatakan dalam hektar

Dinas Pertanian

10 Kebutuhan pupuk Jumlah pupuk yang dibutuhkan per hektar lahan dinyatakan dalam satuan kilogram

Dinas Pertanian

11 Harga pupuk Harga pupuk per kg jenis urea, NPK, SP-36, dan ZA dinyatakan dalam rupiah

Dinas Pertanian, sumber pustaka lain

Proposal Kajian “Evaluasi Ekonomi Lingkungan” 24