pdrb hijau karangasem

Upload: oktavian-ramadhani

Post on 22-Jul-2015

929 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Kata Pengantar

Sejalan dengan Peraturan Presiden RI No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 yang menetapkan penyusunan PDB Hijau sebagai kegiatan dalam Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi SDA dan LH, maka kegiatan sosialisasi dan penyempurnaan penghitungan PDRB Hijau perlu dilaksanakan. Menyikapi keputusan tersebut Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan Republik Indonesia menyambut positif dengan melakukan ujicoba penghitungan kontribusi hijau sektor kehutanan terhadap PDRB. Ujicoba penghitungan kontribusi hijau sektor kehutanan kali ini dilakukan di Pulau Bali yaitu Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Berbagai pihak telah menyadari bahwa hutan memiliki peranan yang sangat penting bagi keberhasilan pembangunan baik secara nasional maupun pembangunan di daerah. Oleh sebab itu keberadaan hutan memerlukan adanya penilaian yang lebih lengkap serta menyeluruh terhadap semua produk dan jasa atau manfaat yang dihasilkannya. Berbagai upaya telah dirintis oleh banyak pihak untuk memulai memperhitungkan dimensi lingkungan dalam aktifitas kegiatan pembangunan sebagai dasar bagi keberhasilan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan mengintegrasikan nilai-nilai depresiasi yang mencakup nilai deplesi dan degradasi lingkungan sektor kehutanan pada nilai kontribusi sektor kehutanan secara menyeluruh termasuk industri kayu dan hasil hutan lainnya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kajian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi jajaran Departemen Kehutanan maupun Dinas/instansi Kehutanan di tingkat Provinsi, maupun Kabupaten, untuk menghitung nilai kontribusi hijau sektor kehutanan dalam arti luas dalam pembentukan PDRB di daerahnya masing-masing. Terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan khususnya kepada Tim Penyusun yang dikoordinir oleh Prof. DR. I Wayan Sudirman. SE, SU.dari Universitas Udayana. Kritik dan saran perbaikan akan kami terima dengan senang hati dan kami ucapkan terima kasih

Denpasar, Desember 2007 Kepala Balai,

Ir. AGUS NURHAYAT, MM. NIP. 710016597 .

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i Daftar Isi .......................................................................................... Daftar Tabel ...................................................................................... Daftar Gambar .................................................................................. Daftar Istilah .....................................................................................

Halaman ................................................................................. ii iv vi vii

BAB 1

PENDAHULUAN 1.1. Peran Sektor Kehutanan .............................................. 1.2. Kondisi Sektor Kehutanan pada Umumnya .................... 1.3. Pengertian PDRB ......................................................... 1.4. Tujuan dan Manfaat .................................................... 1.4.1. Tujuan ............................................................. 1.4.2. Manfaat ............................................................ 1.5. 1.6. 1.7. 1.8. Lokasi Studi ................................................................ Sasaran ...................................................................... Tahapan Penyelesaian Studi ........................................ Sistematika Pelaporan .................................................

1 2 7 8 8 9 9 11 11 12

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Manfaat PDB dan PDRB ............................................... 2.2. Munculnya PDRB Hijau ................................................ 2.3. Pengalaman di Beberapa Kabupaten ............................ 2.3.1. PDRB Kabupaten Kutai Kartanegara ................... 2.3.2. PDRB Hijau Karawang ....................................... 2.3.3. PDRB Hijau Kabupaten Bandung ........................ 2.3.4. Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan pada PDRB Kabupaten Berau ..................................... METODOLOGI PENYUSUNAN KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANAN 3.1. Cara Menghitung PDRB ............................................... 3.2. Cara Menghitung PDRB Semi Hijau .............................. 3.3. Cara menghitung PDRB Hijau ...................................... 3.4. Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan ............................... 3.5. Penghitungan Deplesi Sumberdana Hutan .................... 3.5.1. Prakiraan volume deplesi ................................... 3.5.2 Prakiraan nilai degradasi .................................... 3.5.3 Penghitungan kontribusi hijau sektor kehutanan ....

15 17 18 19 21 23 24

BAB 3

28 29 30 30 32 32 34 35 .

Halaman 3.6. Menghitung Unit Rent ................................................. 3.7. Menghitung Degradasi Sektor Kehutanan ..................... 3.8. Aplikasi Penghitungan Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan .................................................................. 3.8.1. Konsep penghitungan ....................................... 3.8.2. Data yang diperlukan ........................................ BAB 4 GAMBARAN PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN KABUPATEN KARANGASEM 4.1. Keadaan Umum ........................................................... 4.2. Penduduk ................................................................... 4.3. Kondisi Perekonomian ................................................. 4.4. Sektor Kehutanan Kabupaten Karangasem .................. KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANAN PADA PDRB 5.1. Nilai Tambah Sektor Kehutanan ................................... 5.2. Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB Coklat ............ 5.3. Deplesi Sumberdaya Hutan .......................................... 5.4. Degradasi Sumberdaya Hutan ...................................... 5.5. Total Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan pada PDRB Kabupaten Karangasem Provinsi Bali ............................ KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1. Kesimpulan ................................................................. 6.2. Implikasi Kebijakan ..................................................... 36 37 38 38 40

41 42 43 49

BAB 5

53 55 56 58 62

BAB 6

.

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1. Nilai Deplesi Empat Sumberdaya Alam Kabupaten Kutai Kertanegara Tahun 1999-2000 (Rp. Juta) ................................................................... 2.2. PDRB dan Pendapatan Regional Semi Hijau di Kabupaten Kutai Kertanegara ...................................... 2.3. PDRB Hijau Kabupaten Kutai Kertanegara Tahun 2000-2001 (Rp. Milyar) ..................................... 2.4. Produk Domestik Regional Bruto Semi Hijau Kabupaten Karawang Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2001 (Jutaan Rupiah) ............................. 2.5. PDRB Hijau Kabupaten Bandung Tahun 2003 ...............

19

Tabel

19

Tabel

20

Tabel

22 24

Tabel Tabel

2.6. Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan pada PDRB Hijau Kabupaten Berau Tahun 2000-2003 (Rp. Milyar) ........... 3.1. Forest Value of Goods and Services Loss Due to Timber Cutting (US $/Ha) ........................................ 3.2. Persentase dan Nilai Jasa Hutan ..................................

25

Tabel

33 35

Tabel Tabel

4.1. Luas dan Jumlah penduduk menurut Kecamatan Di Kabupaten Karangasem Tahun 2006 ........................ 4.2. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Karangasem Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2004-2006 (Jutaan Rupiah) ................................ 4.3. Distribusi Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Karangasem Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku dalam Persentase (%) Tahun 2004-2006 ......... 4.4. Kontribusi Kelompok Sektor terhadap PDRB Kabupaten Karangasem Menurut dalam Persentase (%) Tahun 2004-2006 .......................................................

43

Tabel

44

Tabel

46

Tabel

47

.

Halaman Tabel 4.5. Luas Areal Hutan Berdasarkan Fungsinya di Kabupaten Karangasem ............................................................... 4.6. Laju Pertumbuhan Sub Sektor Pertanian pada PDRB Kabupaten Karangasem Tahun 2004-2006 (%) ............. 5.1. PDRB Kabupaten Karangasem Atas Dasar Harga Berlaku 2004-2006 (jutaan) ..................................................... 5.2. Perhitungan Unit Rent Kabupaten Karangasem 2000-2006 (Rp/m3) ..................................................................... 5.3. Nilai Deplesi Sektor Kehutanan Akibat Kebakaran dan Pencurian Kayu Hutan di Kabupaten Karangasem 2000-2006 (Rp) .......................................................................... 5.4. Luas Kebakaran Hutan dan Pencurian Kayu Kabupaten Karangasem 2000-2006 (Ha) ....................................... 5.5. Nilai Jasa Hutan ..........................................................

50

Tabel

51

Tabel

54

Tabel

57

Tabel

57

Tabel

59 60

Tabel Tabel

5.6. Rata-rata Kurs Dolar terhadap Rupiah Tahun 2000 2006 ............................................................... 5.7. Nilai Degradasi Hutan di Kabupaten Karangasem Tahun 2000 2006 (Rp. 000) ................................................ 5.8. PDRB Coklat, Deplesi dan Degradasi akibat Kebakaran dan Pencurian Kayu serta PDRB Hijau di Kabupaten Karangasem 2000-2006 (Rp. 000,-) .............................

61

Tabel

61

Tabel

62

.

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar Gambar 1.1. Peta Kabupaten Karangasem Provinsi Bali .................... 10

3.1. Perhitungan Kontribusi Sektor Kegiatan Ekonomi Terhadap PDRB .......................................................... 3.2. Perhitungan Kontribusi Sektor Kegiatan Ekonomi Terhadap PDRB Semi Hijau ......................................... 3.3. Perhitungan Kontribusi Sektor Kegiatan Ekonomi Terhadap PDRB Hijau ................................................... 3.4. Perhitungan Unit Rent .................................................

28

Gambar

29

Gambar

30 37

Gambar Gambar

4.1. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Karangasem Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku .... 4.2. Distribusi Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Karangasem Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku ...................................................................... 4.3. Distribusi PDRB Kabupaten Karangasem Menurut Kelompok Sektor Atas Dasar Harga Berlaku ................... 4.4. Laju Pertumbuhan Sub Sektor Pertanian pada PDRB Kabupaten Karangasem .............................................. 5.1. Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB Coklat Kabupaten Karangasem Tahun 2004-2006 (persen)

45

Gambar

46

Gambar

48

Gambar

51

Gambar

......

58

.

DAFTAR ISTILAH

BALAS JASA INVESTASI : Jumlah uang yang dinyatakan dalam persentase terhadap jumlah dana yang diinvestasikan atau biaya yang dikeluarkan untuk produksi barang yang bersangkutan. Umumnya diperkirakan sebesar tingkat suku bunga yang berlaku di pasar (lihat laba layak). CONTINGENT VALUATION : Metode valuasi ekonomi terhadap jasa lingkungan yang diberikan oleh suatu ekosistem dan tidak dijual belikan di pasar. Metode ini biasanya melibatkan survei terhadap responden tentang kesediaannya melakukan pembayaran (contingent variation = CV) atau kesediaannya menerima pembayaran (equivalent variation = EV). DEGRADASI : Kerusakan lingkungan yang merupakan penurunan kualitas lingkungan alami. Contoh : penurunan kesuburan tanah, rusaknya tata air, dsb. DEPLESI : Menunjuk pada produksi, pengambilan, pengurasan, pengurangan volume atau jumlah sumberdaya alam. Contoh : volume penebangan kayu, jumlah batu bara yang ditambang.

HARGA PASAR : Harga barang dan jasa yang timbul karena transaksi permintaan dan penawaran di pasar. Pasar adalah pertemuan antara pembeli dan penjual.

IDENTIFIKASI : Merupakan kegiatan meneliti dan mengamati macam sumberdaya alam yang dieksploitasi atau dideplesi, maupun sumberdaya alam dan lingkungan yang rusak atau terdegradasi. INPUT ANTARA (Intermediate Inputs) : Bahan atau masukan atau input yang digunakan dalam proses produksi suatu barang sehingga menjadi produk baru. Contoh : Untuk menghasilkan kayu lapis diperlukan bahan mentah kayu bulat, bahan pembantu lem, kanji tapioka, dan obat pengawet. Semua bahan mentah dan bahan pembantu yang digunakan disebut dengan input antara. JASA BIOLOGI : Jasa suatu habitat, misalnya hutan, terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, danau, sungai, dan sebagainya, yang berupa pelayanan bagi hidup dan berkembangnya keanekaragaman hayati termasuk flora dan fauna. .

JASA LINGKUNGAN : Jasa yang diberikan oleh suatu habitat seperti hutan terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, danau, sungai dan sebagainya, yang berupa pelayanan seperti menyerap karbon, menaham banjir, menjaga cadangan air, mempengaruhi tata air, dan sebagainya. KESEDIAAN MEMBAYAR (Willingness to Pay) : Metode untuk menentukan nilai suatu lingkungan dengan menanyakannya kepada responden tentang kesediaannya memberikan kontribusi dipertahankannya suatu proyek atau untuk ditolaknya suatu proyek. KESEDIAAN MENERIMA PEMBAYARAN (Willingness to Accept) : Metode valuasi untuk suatu lingkungan dengan menanyakannya kepada responden tentang kesediaannya menerima ganti rugi untuk dipertahankannya suatu proyek atau ditolaknya suatu proyek. KONTRIBUSI KEHUTANAN : Kontribusi atau sumbangan atau share sektor kehutanan dalam pembentukan PDRB Konvensional atau PDRB Hijau. KUANTIFIKASI : Suatu langkah dalam penilaian ekonomi setelah dampak dari suatu proyek diidentifikasi, kemudian ingin diketahui berapa besar volume atau luasnya dampak tersebut. LABA LAYAK : Jumlah atau persentase laba atau balas jasa yang layak diterima oleh seorang pengusaha karena menanamkan uangnya pada usaha tertentu. Biasanya besarnya persentase tersebut disamakan dengan tingginya suku bunga bank yang berlaku di pasar. NILAI EKONOMI TOTAL : Jumlah seluruh nilai sumberdaya alam dan lingkungan yang terdiri dari nilai atas penggunaan (use value) dan nilai tanpa penggunaan (non-use value). NILAI KEBERADAAN : Nilai sumberdaya alam dan lingkungan tanpa harus adanya kontak antara seseorang dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang dimaksud. NILAI PILIHAN : Nilai sumberdaya alam dan lingkungan yang timbul karena orang memilih untuk tidak menggunakannya sekarang dan lebih senang menggunakannya di waktu nyang akan datang. NILAI PRODUKSI : Jumlah produk dan atau jasa yang dihasilkan oleh suatu kegiatan dikalikan dengan harganya di pasar. Contoh : jumlah kayu yang ditebang dalam m3 dikalikan dengan harga kayu per m3 di pasar atau di toko kayu. .

NILAI TAMBAH : Harga produk atau jasa di pasar atau di toko dikurangi dengan nilai semua input antara. Contoh : Harga kayu gergajian di perusahaan penggergajian kayu Rp. 800.000/m3. Harga kayu bulat Rp. 400.000/m3, maka nilai tambahnya adalah Rp. 800.000 Rp. 400.000 = Rp. 400.000,NON-USE VALUE : Nilai lingkungan tanpa harus menggunakan atau kontak langsung dengan orang yang memberikan penilaian. Contoh : nilai badak bercula satu di Ujung Kulon; nilai air terjun di Tawang Mangu dan nilai hutan lindung. PDB : Produk Domestik Bruto untuk tingkat nasional PDRB : Produk Domestik Regional Bruto adalah PDB untuk tingkat daerah provinsi, kabupaten, atau kota. PDRB COKLAT : Produk Domestik Regional Bruto yang dihitung secara konvensional belum memasukan nilai deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan. PDRB HIJAU : Produk Domestik Regional Bruto yang dihitung dengan memasukan nilai deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan atau nilai PDRB Coklat dikurangi dengan nilai deplesi sumberdaya alam dan nilai degradasi lingkunga. PDRB HIJAU KEHUTANAN : Nilai tambah yang diciptakan sektor kehutanan dengan memasukan unsur deplesi sumberdaya hutan dan degradasi lingkungan di sektor kehutanan. PDRB KONVENSIONAL : Sama dengan PDRB Coklat. PDRB SEMI HIJAU : Produk Domestik Regional Bruto yang dihitung dengan mengurangi nilai PDRB Coklat dengan nilai deplesi sumberdaya alam saja. PDRB PADA HARGA BERLAKU : PDRB yang nilainya dihitung menurut hargaharga pada tahun yang bersangkutan. PDRB HARGA KONSTAN : PDRB yang dihitung berdasarkan pada harga tahun tertentu. Contoh : PDRB pada harga konstan tahun 2000. PENDAPATAN NASIONAL : Nilai PDB dikurangi penyusutan dan pajak tidak langsung, kemudian dikurangi lagi dengan aliran pendapatan dari faktor produksi yang ditanam atau dipekerjakan orang asing di Indonesia, ditambah dengan aliran pendapatan dari faktor produksi yang ditanam atau dipekerjakan orang Indonesia di luar negeri. .

PENDAPATAN REGIONAL : Pendapatan yang diciptakan oleh faktor-faktor produksi di dalam suatu daerah. Nilai pendapatan regional sama dengan nilai PDRB dikurangi nilai penyusutan dan nilai pajak tidak langsung. PRODUK EKSTRAKTIF : Produk yang dapat diambil langsung dari hutan. Contoh : kayu, madu, rotan. PRODUK NON EKSTRAKTIF : Produk atau jasa yang dapat dinikmati tanpa harus diambil dari hutan. Contoh : rekreasi, pendidikan, penelitian, keindahan. RENTE EKONOMI : Economic Rent, yaitu nilai sumberdaya alam semasa masih di tempatnya. Nilai rente ekonomi disebut juga dengan nilai penggunaan (user cost), (royalty). Contoh : nilai kayu tegakan (stumpage value), nilai bahan tambang tatkala masih di dalam tanah. TRAVEL COST METHOD : Metode valuasi ekonomi dengan menghitung biaya perjalanan seperti biaya financial dan biaya waktu, serta total pengeluaran selama di lokasi yang dituju. Biasanya digunakan untuk menilai taman rekreasi. UNIT RENT : adalah rata-rata nilai rente ekonomi per unit produk atau nilai rente ekonomi total dibagi dengan jumlah produk yang dihasilkan atau dideplesi. USE VALUE : Nilai ekonomi terhadap produk-produk ekstraktif sumberdaya alam. Contoh : nilai kayu, nilai ikan, nilai timah yang diekstraksi. VALUASI EKONOMI : Metode penghitungan nilai ekonomi untuk sumberdaya alam dan lingkungan. WTP (WILLINGNESS TO PAY) : kesediaan membayar oleh seseorang untuk mendapatkan lingkungan yang bersih. WTA (WILLINGNESS TO ACCEPT) : kesediaan seseorang menerima pembayaran agar tetap bersedia menerima pencemaran.

.

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Peran Sektor Kehutanan Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan terluas nomor 3 (tiga)

di dunia setelah Brazil dan Kongo. Pada tahun 1977 luas tutupan hutan Indonesia diperkirakan sekitar 100 juta hektar. Perkiraan rendah (modest

estimate) ada sekitar 20 juta orang yang mengandalkan kehidupannya langsungpada hutan. Sektor kehutanan juga merupakan penghasil devisa negara nomor 2 (dua) setelah minyak bumi dan gas alam pada periode tahun 1970-1980-an 1. Lebih dari itu sektor kehutanan merupakan sektor yang memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan baik nasional maupun daerah. Hutan di samping menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya seperti damar, rotan, bahan obat-obatan, hutan juga memberikan jasa lingkungan seperti menampung air, menahan banjir, mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keanekaragaman hayati dan menyerap karbon sehingga mengurangi pencemaran udara. Oleh

karena itu, hutan sangat bermanfaat untuk mendukung kehidupan dan perkembangan semua sektor-sektor ekonomi yang lain seperti sektor pertanian, perkebunan dan perikanan, sektor industri, sektor perhubungan, sektor pariwisata, sektor pemukiman, dan sektor- sektor lainnya.

Krystop Obidzinki and Christopher Barr, The Effects of Decentralization on Forest and Forest Industries in Berau District, East Kalimantan, CIFOR, Jakarta, 2003.

1

.

1.2

Kondisi Sektor Kehutanan pada Umumnya Kondisi hutan saat ini sangat memprihatinkan karena tingkat deforestasi

hutan sangat tinggi yaitu sekitar 1,6 juta Ha/tahun antara 1985-1997, meningkat menjadi 2,1 Ha/tahun antara 1997-2001, dan meningkat menjadi 2,8 juta Ha/tahun antara 2001-20042

. Sebagian besar kawasan hutan yang

dinyatakan sebagai hutan lindung dan hutan konservasi justru banyak yang ditebang, sedangkan hutan produksi dan hutan konversi karena sudah menipis cadangan kayunya boleh dikatakan hanya sebagian kecil saja yang diusahakan. Di samping itu ada motivasi lain bahwa para pemegang hak UPK yang akan mengkonversi hutan menjadi lahan perkebunan lebih senang memanen kayu hutan daripada memulai usaha perkebunan. Hasil diskusi dalam Rapat

Koordinasi Departemen Kahutanan di Palangkaraya mencatat bahwa ada sekitar 600 ijin pembukaan hu- tan yang akan dikonversikan menjadi kebun kelapa sawit. Sementara baru ada sekitar 8 ijin yang merealisasikan pembukaan kebun kelapa sawit tersebut 5). Penebangan liar (illegal logging) semakin marak pula. Salah satu sebab dari penebangan liar tersebut adalah adanya kelebihan kapasitas industri pengelohan kayu di atas produksi kayu yang legal. Sampai dengan pertengahan tahun 1990-an industri kayu gergajian, industri kayu lapis dan induistri bubur kayu bersama-sama diperkirakan mengkonsumsi 60-80 juta m3 kayu bulan per tahun. Sedangkan berdasarkan pengelolaan hutan berkelanjutan yang dicanangkan Pemerintah Indonesia produksi kayu hutan hanya sebesar 25 m3 per tahun. Permintaan akan kayu bulat yang lebih tinggi dibandingkan

penawaran kayu legal, mau tidak mau akan dipenuhi dari penebangan liar. Belum lagi ada sejumlah besar kayu bulat yang diekspor secara ilegal, misalnya ke Serawak melalui pelabuhan Entikong yang diperkirakan cukup besar jumlahnya 3.2

Bahan Pidato Kenegaraan Presiden Sektor Kehutanan (Draft Masukan Pusrentikhut) tak diterbitkan, 2004, hal 3; dan Dedi M. Riyadi, Sumberdaya Alam & Lingkungan Hidup Indonesia : Antara Krisis dan peluang, BAPPENAS, 2004, halaman 5.

3

Tesis Tidak Diterbitkan, kajian Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Jakarta, 2003.

.

Data Departemen Kehutanan menunjukan bahwa volume kayu bulat dari pemanfaatan Hutan Alam Produksi yang diijinkan untuk ditebang dibatasi hanya 6.892.000 m3, sementara itu kebutuhan kayu bulat untuk industri diperkirakan lebih dari 80 juta m3, termasuk 20 juta m3 untuk kayu lapis, 4 juta m3 untuk kayu gergajian dan 15 juta m3 untuk bubur kertas (pulp). Penyelundupan kayu illegal ke Jepang sebanyak 3 juta m3, Eropa 3 juta m3, Cina 2 juta m3, serta Asia dan Australia 1,5 juta m3 4. Sekali lagi ditegaskan bahwa peranan hutan dalam perekonomian sangatlah besar yaitu di samping menghasilkan kayu dan hasil ikutan lainnya sebagai produk primer kehutanan, hutan juga memberikan jasa lingkungan seperti menampung air, menahan banjir, mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keanekaragaman hayati dan hutan juga menyerap karbon sehingga mengurangi pencemaran udara. Oleh karena itu hutan sangat bermanfaat untuk mendukung kehidupan dan perkembangan semua sektor-sektor ekonomi lainnya mulai dari sektor pertanian, perkebunan dan perikanan, sektor industri, sektor perhubungan, sektor pariwisata, sektor pemukiman, dan bahkan sektor jasa sekalipun. Walaupun demikian peranan atau kontribusi sektor kehutanan masih tampak sangat kecil bila dinilai dengan kontribusinya pada nilai PDB Indonesia (sekitar 1,3%) maupun dalam nilai PDRB (misalnya berkisar antara 0,01% di Karawang, 7,25% di Kabupaten Sikka (1999) dan 6,37% di Kabupaten Kutai Kartanagara (2000), dan 12,52% di Kabupaten Berau (2003)5

.

Untuk

Kabupaten Kutai Kartanagara di mana sektor pertambangan dan sektor kehutanan tampak dominan dalam menyumbang pada penciptaan devisa negara, sektor pertanian hanya mencatat sumbangan setinggi 11,21% dari PDRB dengan migas pada tahun 1999 dan turun menjadi 10,50% pada tahun 2001.

4 5

Sumber : Status Lingkungan Hidup Indonesia 2004. M. Suparmoko dkk, Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam di Kabupaten Sikka dalam M Suparmoko editor, Neraca Sumberdaya Alam (Natural Resources Accounting), BPFE Yogyakarta, 2005 halaman 129; Emma Rahmawaty dkk, Panduan Penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, 2004.

.

Sektor

kehutanan

disini telah

mencakup

sub-sektor

hutan

yang

menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya dan sub-sektor industri pengolahan hasil hutan. Kontribusi sub-sektor hutan dihitung dari kontribusinya terhadap pembentukan PDB atau PDRB karena PDB dan PDRB berdasarkan nilai produksi yang dihasilkan. Nilai kontribusi sektor kehutanan pada PDB dan PDRB tersebut sama dengan nilai tambah (value added) dari sektor hutan. Nilai tambah itu merupakan jumlah semua jenis penghasilan (upah, gaji, sewa, bunga, laba) yang diciptakan dalam setiap kegiatan eksploitasi hasil hutan. Perhitungan kontribusi pada PDB dan PDRB yang diterapkan bagi sektor-sektor yang mengelola sumberdaya alam sebenarnya kurang tepat dan bersifat misleading dalam penghitungan kontribusinya bagi pembangunan nasional karena nilai sumberdaya alam yang di ekstraksi maupun kerusakan lingkungan yang ditimbulkan tidak diperhitungkan dalam penilaian PDB ataupun PDRB. Nilai tambah sektor kehutanan (kontribusi pada PDB) terjadi bila terdapat penebangan hutan, pengambilan rotan, damar, madu, hewan liar, bungabungaan dan pengambilan produk-pruduk kehutanan lainnya yang selanjutnya diolah oleh sektor industri pengolahan produk primer hutan. Sebenarnya dapat pula nilai tambah sektor kehutanan tercipta jika terjadi reboisasi, penghijauan lahan kristis, dan sebagainya. Jika sektor kehutanan ingin meningkatkan kontribusinya kepada PDB Indonesia, harus ada kegiatan penebangan hutan, ekstraksi sumberdaya hutan lainnya maupun kegiatan reboisasi serta penghijauan lahan kritis, atau peningkatan dalam kegiatan pengolahan hasil hutan di sektor industri. Namun besar atau kecilnya nilai PDB tidak hanya berasal dari nilai tambah yang diciptakan oleh produk sektor kehutanan (hutan dan industri pengolahan hasil

hutan) melainkan lebih banyak yang berasal dari luar sektor kehutanan dandihitung sebagai kontribusi sektor-sektor non kehutanan. Jadi nilai tambah tersebut dicatat sebagai kontribusi sektor lain diluar sektor kehutanan terhadap PDB Indonesia.

.

Sebagai contoh perhitungan nilai tambah sektor kehutanan saat ini hanya terbatas pada kegiatan di hutan dan pengolahan bahan primer hasil hutan saja. Padahal seperti industri kertas, industri kapal, industri mebel, industri rumah dan bangunan, industri transportasi darat (truk, kereta api, maupun transportasi air) banyak menggunakan bahan dari kayu. Industri farmasi dan obat-obatan banyak menggunakan produk hasil hutan seperti daun-daunan, akar-akaran, biantang liar dan sebagainya. Demikian juga industri perdagangan dan perhotelan tidak mungkin tidak menggunakan produk hutan seperti kayu, rotan, bunga-bungaan dan lain sebagainya. Tetapi semua nilai tambah dari kegiatan yang menggunakan bahan hasil hutan tidak dihitung sebagian atau seluruhnya sebagai nilai tambah masing-masing sektor yang melakukan kegiatan yang memanfaatkan hasil produksi kehutanan tersebut. Jadi dalam menilai kontribusi sektor kehutanan bagi pembangunan

nasional tidak dapat dilihat dari kontribusinya pada PDB dan PDRB saja. Apabila kita dapat menghargai nilai dan jasa lingkungan hutan seperti kemampuannya menyediakan udara bersih, menyerap karbon, mengatur tata air, mencegah banjir, menahan erosi, mengurangi sedimentasi, sebagai habitat flora dan fauna, dan sebagainya, maka keberadaan hutan harus diprioritaskan. Walaupun dikatakan bahwa kontribusi sektor kehutanan secara relatif (dalam persentase) menurun terus sejak 1998, dalam arti absolut nilai kontribusi hutan pada PDB Indonesia menurut harga yang berlaku tampak terus meningkat sejalan dengan perkembangan nilai PDB Indonesia. Nilai PDB Indonesia (tanpa Migas) menurut harga berlaku meningkat dengan laju 21,90% per tahun antara tahun 1993 sampai dengan tahun 2004. Tingkat inflasi antara tahun 1993 sampai dengan tahun 2004 rata-rata mencapai 14,23% per tahun. Dengan demikian secara riil pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diukur dengan PDB meningkat dengan 7,67% per tahun6. Jadi secara riil ekonomi Indonesia menurut hitungan PDB Konvensional tumbuh setinggi 7,67% per tahun antara 1993-2004. Menurut harga berlaku sektor kehutanan (hutan dan6

Cara perhitungannya : nilai pertumbuhan nominal dikurangi laju inflasi sama dengan nilai pertumbuhan riil atau (21,90% - 14,23% = 7,67%).

.

industri pengolahan hasil hutan) kontribusi dalam arti absolut (rupiah) terusmeningkat dengan laju pertumbuhan rata- rata setinggi 18,73% per tahun. Laju pertumbuhan setinggi itu terbentuk dari laju pertumbuhan sektor hutan

murni setinggi 13,29% per tahun dan laju pertumbuhan sektor industri pengolah hasil hutan setinggi 28,36% per tahun. Dengan pertumbuhan lajuinflasi rata-rata setinggi 14,23% per tahun antara 1993 sampai dengan 2004, maka dapat diperkirakan sektor kehutanan murni tanpa industri pengolahan hasil hutan mengalami laju pertumbuhan negatif (-0,94% per tahun) untuk

periode waktu yang sama. Sektor industri pengolahan hasil hutan secara riil mengalami pertumbuhan sebesar 14,23% per tahun untuk periode waktu 1993 2004. Secara keseluruhan untuk sektor kehutanan (hutan dan industri pengolah

hasil hutan) mengalami pertumbuhan riil setinggi 4,5% per tahun antara tahun1993-2004. Peningkatan kontribusi sektor kehutanan pada PDB Indonesia hanya akan terjadi bila nilai tambah sektor kehutanan meningkat lebih cepat daripada peningkatan nilai tambah sektor-sektor lain, karena sektor-sektor lain juga berusaha meningkatkan produksinya. Oleh karena itu kontribusi (share) dalam arti persentase tidak harus meningkat karena meningkatnya kontribusi suatu sektor (dalam %) akan selalu diimbangi oleh menurunnya kontribusi (dalam %) oleh sektor-sektor lain. Kontribusi sektor kehutanan tidak boleh hanya dihitung dari kontribusinya terhadap pembentukan PDRB saja, karena PDRB merupakan suatu konsep yang hanya menghitung nilai produksi yang dihasilkan oleh semua kegiatan dalam suatu perekonomian secara regional. Seperti telah diketahui bersama bahwa kontribusi sektor kehutanan yang mencakup produksi hasil-hasil hutan dan industri pengolahan produk primer kehutanan relatif kecil dan mulai menurun dari tahun ke tahun sejak 1998. Sejalan dengan komitmen pemerintah untuk melaksanakan pembangunan di bidang lingkungan hidup yang tertuang dalam PP No.7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, khusus nya dalam kerangka Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi SDA dan LH, telah diarahkan untuk disusun dan .

diterapkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau sebagai salah satu instrumen perencanaan. Penghitungan kontribusi hijau sektor kehutanan (sektor produksi kayu

dan hasil hutan lainnya serta industri pengolahan hasil hutan primer) terhadapPDRB sebelumnya telah diujicobakan di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Hasilnya menunjukan bahwa kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB di Kabupaten Berau adalah negatip. Hal ini terjadi karena Kabupaten Berau masih memiliki hutan alam yang cukup luas dengan tingkat penebangan hutan yang tinggi pula. Namun bila dinilai dari besarnya kontribusi sektor kehutanan pada pembangunan daerah dan pembangunan nasional maka nilai yang dihasilkan positip dan cukup besar yaitu berupa nilai tambah yang diciptkan seperti yang tercantum dalam laporan PDRB. Perhitungan kontribusi hijau sektor kehutanan yang dilakukan di Kabupaten Berau belum tentu sama dengan kontribusi hijau sektor kehutanan yang terjadi di daerah atau kabupaten lain. Oleh karena itu untuk

mendapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai kontribusi sektor kehutanan kepada pembangunan daerah pada umumnya, dilakukan

penghitungan kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB di beberapa daerah atau kabupaten lain. Untuk mempermudah para peminat atau petugas untuk menyusun Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan dalam PDRB di daerah, telah disusun sebuah panduan dalam bentuk Buku Pedoman Penyusunan PDRB Hijau Sektor Kehutanan 7.

1.3

Pengertian PDRB Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) disusun tiap tahun dan

diterapkan untuk tingkat regional atau daerah, seperti Provinsi, Kabupaten dan Kota. PDRB yang selama ini dihitung atau disebut sebagai PDRB Konvensional (Coklat) karena hanya mengukur hasil kegiatan ekonomi tanpa memasukanToni Suhartono, dkk, Buku Pedoman Penyusunan PDRB Hijau Sektor Kehutanan, Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, 2005. 7

.

dimensi lingkungan didalamnya.

Oleh karena itu, PDRB harus dikembangkan

dengan memasukan nilai deplesi dan degradasi lingkungan agar diperoleh nilai PDRB yang baru atau disebut sebagai PDRB Hijau karena PDRB Hijau menampilkan indikator kegiatan ekonomi dan sekaligus menampilkan nilai deplesi dan degradasi lingkungan sehingga struktur perekonomian dapat dilihat secara lebih realistis. PDRB Hijau dapat dimanfaatkan sebagai perangkat

perencanaan pembangunan sektoral dan regional yang lebih baik karena menampilkan hasil atau kinerja perekonomian setiap tahunnya secara lebih lengkap. Kesadaran atas perlunya pemahaman tentang PDRB Hijau telah mendorong Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan Departemen Kehutanan Republik Indonesia untuk menghitung secara lengkap kontribusi sektor kehutanan pada nilai PDRB di beberapa kabupaten sehingga peranan dan kontribusi sektor kehutanan pada pembangunan daerah dan pembangunan nasional akan tampak lebih realistis. Selanjutnya hasil perkiraan nilai kontribusi hijau yang lengkap itu dapat dimanfaatkan sebagai salah satu instrumen perencanaan pengelolaan dan pengembangan sektor kehutanan dengan lebih baik dan sempurna.

1.4

Tujuan dan Manfaat 1.4.1 Tujuan Kegiatan studi yang akan dilakukan adalah menghitung secara lengkap kontribusi sektor kehutanan pada nilai PDRB di Kabupaten Karangasem, dengan harapan agar peranan dan kontribusi sektor kehutanan pada pembangunan daerah di Kabupaten tersebut akan tampak lebih realistis sehingga perencanaan serta pelaksanaan

pembangunan daerah yang bersangkutan akan dapat tewrlaksana dengan baik dan berkelanjutan.

.

1.4.2 Manfaat Manfaat dari studi ini adalah pemahaman dan penyempurnaan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya hutan, tidak hanya bagi para pengelola di sektor kehutanan, tetapi juga bagi para pelaksana pemerintahan maupun anggota DPRD yang bersangkutan.

1.5

Lokasi Studi Lokasi sebagai penerapan studi mengenai kontribusi hijau oleh sektor

kehutanan pada PDRB telah ditentukan yaitu di Kabupaten Karangasem Provinsi Bali secara purposive sampling. Untuk jelasnya dapat ditunjukan dengan peta berikut.

.

Gambar 1.1 Peta Kabupaten Karangasem Provinsi Bali

.

1.6

Sasaran a. Diterbitkannya Laporan Penyusunan Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB Kabupaten Karangasem Provinsi Bali sebagai salah satu acuan dalam penyusunan rencana pengelolaan dan pengembangan sektor kehutanan daerah tersebut. b. Meningkatkan Karangasem kapasitas Provinsi Bali sumberdaya dalam manusia di Kabupaten dan

menyusun

perencanaan

pengelolaan sumberdaya kehutanan guna mendukung pembangunan daerah yang berkelanjutan.

1.7

Tahapan Penyelesaian Studi Dalam melakukan studi ini ditempuh tahapan kerja sebagai berikut : a. Review literatur tentang PDRB Hijau dan berbagai buku pedoman penyusunan PDRB Hijau yang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup maupun buku pedoman penyusunan PDRB Hijau Sektor Kehutanan. b. Review laporan PDRB kabupaten yang bersangkutan atau daerah yang dijadikan lokasi studi. c. Pengumpulan data sekunder dari berbagai laporan daerah, PDRB Daerah Kabupaten atau Provinsi, Kabupaten Dalam Angka, Laporan Dinas-Dinas Perdagangan, sebagainya. d. Melakukan kunjungan lapangan di daerah lokasi studi (Kabupaten Karangasem Provinsi Bali) dan mengumpulkan data primer. e. Mengidentifikasikan macam produk sumberdaya hutan yang diplesi. f. Menghitung volume deplesi sumberdaya hutan. g. Memvaluasi deplesi sumberdaya hutan. h. Menghitung kontribusi semi hijau sektor kehutanan kehutanan. i. Menghitung degradasi lingkungan sektor kehutanan. . terkait; Kehutanan, Dinas Perkebunan, Pendapatan Pertambangan, Daerah, dan

Perindustrian,

j. Menghitung kontribusi hijau sektor kehutanan dan peranan sektor kehutanan dalam pembangunan berkelanjutan.

1.8

Sistematika Pelaporan Bab 1 Pendahuluan membicarakan latar belakang dan kondisi kehutanan

di Indonesia termasuk kerusakan hutan yang terjadi, atau tinjauan pustaka, Bab 3

Bab 2 menyajikan telaah

menyajikan metodologi penyusunan kontribusi

hijau sektor kehutanan. Bab 4 mengulas gambaran secara umum dan gambaran khusus mengenai keberadaan sektor kehutanan di daerah penelitian. Bab 5 menguraikan depresiasi yang terjadi berkenaan dengan nilai kontribusi hijau sektor kehutanan terhadap PDRB dan pembangunan daerah di Kabupaten Karangasem. Bab 6 digunakan untuk menyampaikan simpulan hasil

pembahasan beserta implikasi kebijakannya.

.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

Produk Domestik Regional Bruto Hijau (PDRB Hijau) merupakan pengembangan dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang konvensional atau yang sering disebut dengan Produk Domestik Regional Bruto Coklat. PDRB Hijau dikenal juga sebagai PDRB ramah lingkungan yaitu dengan mengurangkan nilai deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan ke dalam PDRB yang konvensional tersebut. PDRB sesungguhnya sama dengan Produk Domestik Bruto (PDB) yang diterapkan untuk tingkat regional atau daerah seperti provinsi dan kabupaten atau kota, sedangkan PDB diterapkan untuk tingkat nasional (seluruh negara). Jadi PDRB yang kemudian merupakan konsep penghitungan pendapatan regional sesungguhnya merupakan pengembangan dari konsep pendapatan nasional yang ditunjukan oleh Produk Domestik Bruto. PDB itu sendiri merupakan jumlah seluruh nilai tambah (value added) yang diciptakan dalam suatu perekonomian dalam suatu negara yang dihitung untuk masa satu tahun. Nilai tambah ini merupakan selisih antara seluruh nilai produksi dengan seluruh biaya input antara (intermediate input). Dengan kata lain nilai tambah mencerminkan balas jasa atau pendapatan dari setiap pemilik faktor produksi. Dengan mengetahui tinggi rendahnya nilai tambah atau PDB suatu negara, akan dapat diketahui tinggi rendahnya kemajuan suatu perekonomian negara yang bersangkutan 88

Paul A. Samuelson and William D. Nordhaus, Economics, McGraw-Hill, Inc. International Edition, Fifteenth Edition, 1995, Chapter 22, Halaman 402-420.

.

Penyusunan PDRB Konvensional (PDRB Coklat) baru dimulai di Indonesia pada pertengahan tahun 1970 dimana pada waktu itu ada beberapa universitas seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Andalas dan instansi pemerintah seperti Bappenas, Biro Pusat Statistik yang sekarang disebut Badan Pusat Statistik, dan juga Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), bersama-sama belajar menyusun PDRB untuk beberapa provinsi seperti DKI Jaya, Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, dan provinsi Sumatera Barat. Dalam rangka belajar tersebut, tim penyusun

mendapat tenaga konsultan dari Australia bernama Prof Alex Kerr. Dalam perkembangannya sampai dengan saat ini (2006), semua provinsi dan semua kabupaten maupun kota di Indonesia telah memiliki PDRB konvensional atau Coklat. Bahkan penyusunan PDRB ini telah merupakan

kegiatan rutin Bappeda yang biasanya dibantu oleh Kantor BPS di daerah. Struktur sektoral dalam PDRB disesuaikan dengan struktur Neraca Pendapatan Nasional Indonesia. Oleh karena itu pembagian perekonomian menurut sektor ekonomi atau kegiatan usaha untuk PDRB di Indonesia juga disesuaikan dengan pembagian sektor-sektor dalam Neraca Nasional atau Produk Domestik Bruto Indonesia 9. PDB dan PDRB sebenarnya lebih merupakan informasi makro ekonomi yang menunjukan sumbangan setiap sektor ekonomi atau setiap kegiatan usaha dalam seluruh perekonomian di suatu daerah. Pada mulanya kegiatan perekono mian dibedakan menjadi 11 sektor perekonomian 1. Sektor pertanian, 2. Sektor pertambangan dan penggalian, 3. Sektor perindustrian, 4. Sektor bangunan (konstruksi), 5. Listrik, gas, dan air minum,9

Pendapatan

10

yaitu :

BPS, Pedoman Praktis Penghitungan PDRB Kabupaten/Kota : Tatacara Penghitungan menurut Lapangan Usaha, Jakarta, November 2000. 10 Suparmoko, Lampiran tentang Sistem Penghitungan Pendapatan Nasional Indonesia pada tahun 1970, dalam Pengantar Ekonomika Makro Edisi Ketiga, BPFE, Yogyakarta, 1997.

.

6. Sektor transportasi dan komunikasi, 7. Sektor perdagangan besar dan eceran, 8. Sektor bank dan lembaga keuangan lainnya, 9. Sektor sewa rumah, 10. Sektor pemerintahan, 11. Sektor jasa.

Setelah dilakukan penyusunan PDRB dalam beberapa tahun, terjadi perubahan dalam pembagian sektoral baik dalam neraca nasional dan penghitungan pendapatan nasional maupun dalam penghitungan PDRB di daerah. Jumlah sektor-sektor perekonomian yang baru dalam penghitungan PDRB saat ini tidak lagi 11 sektor tetapi hanya 9 sektor atau 9 lapangan usaha dengan pengelompokan sebagai berikut11

:

1. Sektor pertanian termasuk didalamnya sektor tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan dan kehutanan, 2. Sektor pertambangan dan penggalian, 3. Sektor industri pengolahan, 4. Sektor listrik, gas, dan air minum, 5. Sektor bangunan, 6. Sektor perdagangan, hotel dan restauran, 7. Sektor angkutan dan komunikasi, 8. Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, 9. Sektor jasa-jasa.

2.1

Manfaat PDB dan PDRB Badan Pusat Statistik menggunakan angka-angka PDB 2001 untuk

menganalisis perekonomian secara makro.

Berdasarkan angka PDB 2001

diketahui bahwa laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2001 menjadi lebih baik dibanding dengan tahun 2000.11

Untuk melihat pertumbuhan

BPS, Statistik Indonesia 2001, Jakarta, Indonesia, Juli 2002, halaman 529 -535, Bab 11 mengenai Neraca Nasional dan Pendapatan Regional.

.

ekonomi biasanya didasarkan pada nilai PDB pada harga konstan.

PDB atas

dasar harga konstan adalah PDB yang dinilai menurut harga pada tahun tertentu. Misalkan dengan menggunakan PDB pada harga konstan tahun 1993 laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2001 ditemukan sebesar 3,32%. Nilai PDB atas dasar harga konstan tahun 1993 untuk tahun 2000 dan untuk tahun 2001 diperkirakan mencapai Rp. 80.080 Kemudian pada tahun 2002 mencapai

Rp.397,9 trilyun

trilyun pada harga konstan tahun 2000.

Rp. 84.469,8 trilyun, dan meningkat lagi menjadi Rp. 90.103 trilyun pada tahun 2003, dan akhirnya menjadi Rp. 97.466,6 trilyun pada tahun 2004. Dengan melihat sektor-sektor ekonomi dalam perekonomian Indonesia dengan perhitungan PDB, pada tahun 2001 tercatat ada 8 sektor ekonomi yang mempunyai laju pertumbuhan positip. Sektor listrik, gas dan air minum

mempunyai laju pertumbuhan tertinggi (8,43%), sedangkan laju pertumbuhan terendah ditempati oleh sektor pertanian (0,63%). Sektor pertambangan dan penggalian memiliki laju pertumbuhan negatip yaitu (-0,64%). Kegunaan yang lain adalah dengan melihat distribusi atau sumbangan masing-masing sektor terhadap pembentukan PDB Indonesia pada tahun 2001, ada 4 sektor utama yang menyumbang pada pembentukan PDB Indonesia tahun 2001 yaitu sektor industri pengolahan (26,11%), sektor pertanian

(16,39%), sektor perdagangan , restauran dan hotel (16,09%), dan sektor pertambangan dan penggalian (13,59%). Lima sektor lainnya menyumbang

hanya kurang dari 10% dan sektor yang terkecil sumbangannya adalah sektor listrik, gas dan air bersih yaitu sebesar 1,16%. Selanjutnya untuk angka-angka PDRB karena sudah dibuat untuk setiap propinsi dan kabupaten serta kota diseluruh Indonesia, maka nilainya dapat dibandingkan satu sama lainnya untuk melihat propinsi manakah yang memiliki sumbangan terbesar pada PDB Indonesia, karena logikanya jumlah PDRB dari semua propinsi atau semua kabupaten dan kota harus sama dengan nilai PDB Indonesia. Data-data PDRB disetiap provoinsi, kabupaten maupun kota, selama ini telah dimanfaatkan seperti halnya angka-angka PDB ditingkat nasional yaitu .

sebagai dasar perencanaan pembangunan di setiap daerah provinsi, kabupaten maupun kota. Pada umumnya angka-angka PDRB yang ditampilkan adalah nilai absolut PDRB disetiap daerah provinsi, kabupaten dan kota, kemudian juga angka PDRB per kapita dan pendapatan perkapita di masing-masing provinsi, kabupaten dan kota. Demikian juga ditampilkan PDRB dan pendapatan regional, maupun pendapatan per kapita di masing-masing provinsi, kabupaten dan kota 12.

2.2

Munculnya PDRB Hijau Seperti telah diketahui bahwa menipisnya sumberdaya alam dan

rusaknya lingkungan telah menjadi perhatian banyak pemimpin negara seperti tampak dalam KTT BUMI di Rio de Janeiro pada tahun 1991. Meningkatnya pendapatan nasional hampir disemua negara di planet bumi ini telah mendorong terkurasnya sumberdaya alam dan rusaknya lingkungan. Sebelumnya telah diperingatkan pula oleh kelompok Roma bahwa pertumbuhan ekonomi akan mengalami hambatan karena menipisnya sumberdaya alam, terutama kalau pola konsumsi penduduk dunia tidak mau berubah dari trendnya yang sekarang ini13

. Untuk menghindari dampak pembangunan yang semakin parah terhadap

sumberdaya alam dan lingkungan, perlu dianut suatu paradigma baru yaitu bahwa pembangunan harus berwawasan lingkungan, sehingga pembangunan itu dapat bersifat berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Karena paradigma pembangunan akan berubah kearah pembangunan yang berkelanjutan, maka indikator pembangunan juga semestinya diubah, tidak lagi menggunakan PDB yang dihitung atas dasar System of National

Account (SNA), tetapi didasarkan pada PDB Hijau (Green Gross Domestic Product atau Green GDP) yang dihitung atas dasar konsep Sistem Penghitungan12 13

BPS, Statistik Indonesia 2001, Jakarta, Indonesia, Juli 2002, halaman 564-572. Donella H. Meadows and Denis L. Meadows, The Limits to Growth, New American Library, New York, 1972.

.

Terpadu antara lingkungan dan ekonomi (System of Integrated Environmental

and Economic Account) 14Kemudian BPS Indonesia dalam rangka mengantisipasi rekomendasi PBB bahwa setiap negara harus mengembangkan sistem statistik pendapatan nasional yang berwawasan lingkungan, sejak tahun 1995/96 telah melakukan studi kasus menyusun neraca ekonomi yang memulai memasukan elemen penyusunan sumberdaya alam kedalam sistem perhitungan pendapatan nasional. Publikasi Sitem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi

Indonesia 1990-1995 telah melibatkan 7 komoditi sumberdaya alam seperti batubara, minyak bumi, gas alam, bauksit, emas, perak, dan hutan kedalam penghitungan neraca terpadu tersebut. Sejauh ini belum pernah ada elemen15

degradasi yang telah dimasukan dalam perhitungan

.

Apabila dalam

penghitungan PDB sudah dimasukan unsure deplesi sumberdaya alam, maka hasil penghitungannya disebut dengan Environmentally Adjusted Doemstic

Product I yang disebut juga sebagai EDP-I. Kemudian jika nilai degradasilingkungan sudah diperhitungkan maka diperoleh Environmentally Adjusted

Doemstic Product II yang disebut juga sebagai EDP-II.Sejalan dengan pemikiran pembangunan berkelanjutan itu, Suparmoko mengusulkan hendaknya disusun pula PDRB Hijau (Green PDRB) untuk tingkat daerah baik itu provinsi, kabupaten maupun kota yang sebelum masa reformasi disebut sebagai Daerah Tingkat I dan daerah Tingkat II16

.

2.3

Pengalaman di Beberapa Kabupaten Pada bagian ini disajikan beberapa pengalaman hasil penghitungan PDRB

Hijau di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Berau.

14 1516

United Nationas Statistical Devision, Handbook of Integrated Environmental and Economic Accounting, New York, 1993. BPS, Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi Indonesia, 1990-1995 (laporan Hasil Studi), Jakarta, 1997. Suparmoko, Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, BPFE, Yogyakarta, Edisi Ketiga, 1997, halaman 359-360.

.

2.3.1 PDRB Hijau Kabupaten Kutai Kartanegara Pada tahun anggaran 2002, Kementerian Lingkungan Hidup membuat ujicoba untuk menyusun Buku Pedoman dan Penghitungan PDRB Hijau Kabupaten Kutai Partanegara. Dalam ujicoba tersebut metode yang digunakan hanya memasukan nilai deplesi sektor hutan, sumber daya pertambangan batubara dan minyak bumi serta

sumberdaya ikan ke dalam penghitungan PDRB Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 1999 dan 2000. Hasilnya ialah dapat diketahui nilai

deplesi 4 macam sumberdaya alam tersebut seperti dalam Tabel 2.1Tabel 2.1 Nilai Deplesi Empat Sumberdaya Alam Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 1999-2000 (Rp.juta) Batubara Minyak Bumi Hutan dan Gas Alam 3.390.583 2.029.967 128.175 1.065.974 2.362.169 64.229

Tahun 1999 2000

Ikan 484.000 432.500

Sumber : Laporan Penghitungan Pendapatan Regional Hijau ; Studi Kasus : Kabupaten Kutai Kartanegara, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, 2002.

Dalam studi tersebut sebenarnya belum diperoleh nilai PDRB Hijau, karena baru memperhitungkan nilai deplesi 4 sektor sumberdaya alam saja. Sehingga nilai yang didapatkan baru mencerminkan nilai PDRB Semi Hijau karena belum menghitung nilai degradasi lingkungan seperti terlihat pada Tabel 2.2Tabel 2.2 PDRB dan Pendapatan Regional Semi Hijau di Kabupaten Kutai Kartanegara

UraianPDRB Bruto (Rp Milyar) Penyusutan (Rp Milyar) PDR Neto (Rp Milyar) Pajak Tak Langsung (Rp Milyar) Pendapatan Regional Coklat (Rp Milyar) Pendapatan Regional Coklat per kapita (Rp Juta) Penyusutan SDA (Rp Milyar) Pendapatan Regional Semi Hijau (Rp Milyar) Pendapatan Regional Semi Hijau per kapita (Rp Juta) Jumlah PendudukSumber : data diolah

1999

2000

14.954,2 18.380,0 867,3 1.066,0 14.086,9 17.314,0 2.676,8 3.266,8 11.410,0 14.047,2 24,6 32,3 6.067,3 3.200,0 5.342,8 10.847,2 11,5 24,9 463.440,0 434.759,0

.

Pada tahun anggaran 2003 usaha penghitungan PDRB Hijau Kabupaten Kutai Kartanegara dilanjutkan lagi dengan melihat unsur kerusakan yang ditimbulkan oleh eksploitasi sumberdaya alam utama yaitu hutan, ikan, minyak bumi dan gas alam serta batubara. Dengan memasukan nilai deplesi yang dikurangkan dari Produk Domestik Regional Bruto Coklat didapatkan nilai Produk Domestik Regional Bruto Semi Hijau. Selanjutnya untuk mendapatkan nilai Produk Domestik Regikonal Bruto Hijau harus dimasukan unsur degradasi

lingkungan untuk dikurangkan dari nilai Produk Domestik Regional Bruto Semi Hijau. Tabel 3 menampilkan nilai PDRB Hijau hanya dengan memasukan nilai degradasi karena penebangan, kerusakan dan

kebakaran hutan di Kabupaten Kutai Kartanegara. Selanjutnya adanya penurunan Produk Domestik Regional Bruto Hijau secara drastis dari tahun 2000 hingga 2001 yaitu sebesar 283% dikarenakan terjadinya bencana alam kebakaran hutan di Kabupaten Kutai Kartanegara. Untuk perhitungan pendapatan regional hijau di Kabupaten Kutai Kartanegara lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.3

Tabel 2.3 PDRB Hijau Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2000-2001 (Rp Milyar) No 1 2 3 4 5 Uraian DPRB Deplesi SDA PDRB Semi Hijau Degradasi lingkungan kehutanan PDRB Hijau 2000 18.380,00 3.924,90 14.455,10 166.770,11 a) -152.315,01

200118.489,00 4.275,51 14.213,49 610.271,55 b) 102.540,64 c)-596.058,06 d) -88.327,15 e)

oleh

sektor

Sumber : data diolah Catatan : a) Tidak termasuk degradasi akibat kebakaran hutan b) Termasuk degradasi akibat kebakaran hutan c) Tidak termasuk degradasi akibat kebakaran hutan d) PDRB Hijau setelah dikurangkan nilai degradasi lingkungan termasuk terbakarnya hutan e) PDRB Hijau setelah dikurangkan nilai degradasi lingkungan tidak termasuk terbakarnya hutan

.

2.3.2 PDRB Hijau Kabupaten Karawang Selanjutnya pada tahun anggaran 2003, Kementerian Lingkungan Hidup membuat ujicoba untuk menyusun Buku Pedoman dan Ujicoba Penghitungan PDRB Hijau Kabupaten Karawang. Dalam ujicoba tersebut metode yang digunakan hanya memasukan nilai deplesi sumberdaya alam pada sektor-sektor usaha yang dihitung dalam penghitungan PDRB. Dalam mencari nilai deplesi sumberdaya alam, terlebih dahulu diiden-tifikasi sumberdaya apa saja yang dipakai atau dideplesi oleh sektor-sektor dan sub-sub sektor kegiatan ekonomi. Dalam identifikasi tersebut ternyata semua sektor dan sub-sektor kegiatan ekonomi tidak luput dari penggunaan atau deplisi sumberdaya air. Dalam identifikasi juga ditemukan sektor penggalian dan pertambangan tambang. disamping Didaerah

menggunakan

atau

mendeplisi

bahan-bahan

Kabupaten Karawang tercatat adanya penambangan pasir, sirtu, dan batu andalit. Memang di Karawang terdapat pengilangan minyak, tetapi hal tersebut tidak tercatat mendeplisi sumberdaya mineral minyak bumi, melainkan hanya mengolah minyak mentah menjadi minyak jadi. Jadi dalam hal ini tidak ada delisi minyak bumi di kabupaten Karawang. Setelah diketahui nilai sumberdaya alam yang dideplisi oleh masing-masing sektor perekonomian, maka nilai-nilai deplisi tersebut

dimasukan dalam tabel nilai sumbangan terhadap PDRB Konvensional yang telah ada, kemudian nilai sumbangan masing-masing sub-sektor dan nilai sumbangan sektor yang bersangkutan pada PDRB dikurangi dengan nilai-nilai deplisi. Hasil pengurangan tersebut disebut nilai PDRB Semi Hijau seperti tampak pada Tabel 2.4. nilai-nilai sumbangan masing-masing Walaupun secara absolut tampak lebih kecil

sektor

dibandingkan dengan tanpa pengurangan nilai deplisi sumberdaya alam, namun secara persentase peranan sektor industri masih tampak dominan, disusul perdagangan, hotel dan restoran dan kemudian sektor pertanian. .

Tabel 2.4 Produk Domestik Regional Bruto Semi Hijau Kabupaten Karawang Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2001 (Jutaan Rupiah)No 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 2 2.1 2.2 2.3 3 3.1 3.2 4 4.1 4.2 4.3 5 6 6.1 6.2 6.3 7 7.1 7.1.1 7.1.2 7.1.3 7.1.4 7.1.5 7.1.6 7.2 8 8.1 8.2 8.3 8.4 9 9.1 9.2 9.2.1 9.2.2 9.2.3 Lapangan Usaha PERTANIAN Tanaman Bahan Makanan Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan PERTAMBANGAN&PENGGALIAN Minyak dan Gas Bumi Pertambangan tanpa Minyak Penggalian INDUSTRI PENGOLAHAN Industri Migas Industri Non Migas LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH Listrik Gas Kota Air bersih BANGUNAN PERDAG., HOTEL DAN REST. Perdagangan Besar dan Eceran Hotel Restoran ANGKUTAN DAN KOMUNIKASI Angkutan Angkutan Kereta Api Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Angkutan Sungai dan Penyeberang Angkutan Udara Jasa Penunjuang Angkutan Komunikasi KEUANGAN, PERSEWAAN DAN JASA PERUSAHAAN Bank Lembaga Keuangan Lain Sewa Bangunan Jasa Perusahaan JASA-JASA Pemerintahan Umum Swasta Jasa Sosial Kemasyarakatan Jasa Hiburan dan Rekreasi Jasa Perseorangan+Rumah Tangga PDRB dengan Migas PDRB tanpa Migas PDRB 1.700.918,0 1.471.085,00 4.303,00 108.322,00 902,00 116.306,00 659.637,00 622.057,00 0,00 37.580,00 3.060.027,00 0,00 3.060.027,00 204.771,00 200.088,00 0,00 4.683,00 256.505,00 2.595.864,00 2.475.435,00 3.414,00 117.015,00 518.698,00 509.171,00 13.394,00 488.031,00 0,00 0,00 0,00 7.746,00 9.527,00 116.769,00 30.707,00 16.547,00 67.077,00 2.438,00 556.728,00 454.928,00 101.800,00 34.556,00 996,00 66.248,00 9.669.917,00 9.047.860,00 Deplisi 10.134,64 8.470,54 0,00 1.254,05 0,00 410,05 6.605,82 0,00 0,00 6.605,82 50.549,55 83,81 50.465,74 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 80,13 69,34 10,79 0,00 114,09 114.09 0,00 114,09 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 97,74 0,00 97,74 43,04 54,69 0,00 67.581,97 0,00 PDRB Semi Hijau 1.690.783,36 1.462.614,46 4.303,00 107.067,95 902,00 115.895,95 653.031,18 622.057,00 0,00 30.974,18 3.009.477,45 -83,81 3.009.561,26 204.771,00 200.088,00 0,00 4.683,00 256.505,00 2.595.783,87 2.475.365,65 3.403,21 117.015,00 518.583,91 509.056,91 13.394,00 487.916,91 0,00 0,00 0,00 7.746,00 9.527,00 116.769,00 30.707,00 16.547,00 67.077,00 2.438,00 556.630,26 454.928,00 101.702,26 34.512,96 941,31 66.248,00 9.602.335,03 8.980.278,03

.

2.3.3 PDRB Hijau Kabupaten Bandung Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa nilai-nilai dalam PDRB Hijau adalah hasil pengurangan nilai PDRB Coklat dengan nilai deplisi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan. Perlu dikemukakan bahwa hasil perhitungan nilai PDRB Hijau Kabupaten Bandung kali ini belum sempurna karena belum memasukan semua unsur deplisi dan degradasi yang benar-benar terjadi, berhubung dengan keterbatasan data. Oleh

karena itu boleh dikatakan bahwa angka-angka yang ada masih dapat diperbaiki apabila tersedia data yang lebih lengkap dikemudian hari. Untuk sementara nilai PDRB Hijau Kabupaten Bandung pada tahun 2003 dapat ditampilkan sebagaimana tampak pada Tabel 2.5 Pada Tebl 2.5 dapat dilihat bahwa nilai PDRB Hijau lebih kecil daripada nilai PDRB Coklat. Hal ini wajar karena semua kegiatan

ekonomi umumnya menggunakan kapital dalam melakukan kegiatannya. Salah satu kapital atau modal yang digunakan adalah modal alami (natural capital) disamping modal-modal lainnya yaitu modal buatan manusia (man-made capital), dan modal sumberdaya manusia itu sendiri (SDM= human Capital). Bahkan sekarang masih dikenal satu jenis

kapital lagi yaitu kapital sosial (social capital). Tabel 2.5 mengikhtisarkan hasil-hasil perhitungan pada bagian dan bab sebelumnya. Ditunjukan bahwa nilai PDRB Coklat Kabupaten Kemudian

Bandung sebesar Rp.23.832,10 milyar pada tahun 2003.

dengan adanya deplisi sumberdaya alam pada tahun yang sama mengubah PDRB Coklat menjadi PDRB Semi Hijau dengan nilai sebesar Rp. 23.763,99 milyar. Dengan adanya degradasi lingkungan sebesar dihitung nilai PDRB Hijau sebesar

Rp.5.373,01 milyar maka dapat Rp.18.390,98 milyar.

.

Tabel 2.5 PDRB Hijau Kabupaten Bandung Tahun 2003 No 1 2 3 4 5 6 7 Uraian PDRB Coklat (milyar rupiah) Deplisi SDA (milyar rupiah) PDRB Semi Hijau (milyar rupiah) Degradasi lingkungan (milyar rupiah) PDRB Hijau (milyar rupiah) PDRB Coklat per kapita (juta rupiah) PDRB Hijau per kapita (juta rupiah) 2003 23.832,10 68,11 23.763,99 5.373,01 18.390,98 5.931.951,11 4.577.624,05

Sumber : Bandung dalam angka 2004, Data diolah. Catatan : Jumlah penduduk Kabupaten bandung tahun 2003 sebesar 4.017.582 jiwa.

Dengan diketahuinya penduduk Kabupaten Bandung sebanyak 4.017.582 orang, dapat dihitung PDRB Coklat per kapita Kabupaten Bandung adalah sebesar Rp.5.931.951,11 dan nilai PDRB Hijau per kapita adalah sebesar Rp. 4.577.624,05. Nilai PDRB Hjau per kapita inilah yang menunjukan

nilai kesejahteraan yang sebenarnya karena pendapatan yang diciptakan dalam bentuk PDRB Hijau sudah dikurangi dengan penyusutan atau depresiasi modal alami (SDA dan lingkungan) guna menciptakan PDRB Coklat per kapita. Kalau PDRB Coklat sudah pula dikurangkan nilai penyusutan modal buatan manusia dan pajak tidak langsung, maka didapatkan angka pendapatan regional Kabupaten Bandung. Kemudian dengan membagi nilai pendapatan regional tersebut diperoleh nilai pendapatan per kapita yang hijau.

2.3.4 Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan pada PDRB Kabupaten Berau Dari hasil perhitungan nilai deplesi sumberdaya hutan dan degradasi lingkungan dan kemudian mengurangkan dari nilai kontribusi sektor kehutanan kepada PDRB Coklat, didapatkan nilai Kontribusi Hijau sektor kehutanan pada PDRB (perhatikan Tabel 2.6).

.

Tabel 2.6 Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan pada PDRB Hijau Kabupaten Berau Tahun 2000-2003 (Rp Milyar) KeteranganKontribusi sektor Kehutanan pada *) Deplesi sumberdaya hutan Kontribusi semi hijau sektor kehutan an pada PDRB Degradasi SDH Kontribusi hijau sektor kehutanan pa da PDRB Nilai tambah sektor kehutanan

2000374,79 232,56 142,23 543,31 -401,08 1.150,65

2001373,25 298,71 74,54 620,12 -545,58 1.292,08

2002376,89 193,07 183,82 370,23 -186,41 940,19

2003381,03 155,14 225,88 260,15 -34,27 796,32

Sumber : data diolah Catatan : *) Sektor Kehutanan termasuk didalamnya nilai kontribusi industri pengolahan kayu pada PDRB.

Dengan nilai deplesi sumberdaya hutan dan nilai degradasi lingkungan yang positip jumlahnya dan nilai kontribusi coklat sektor kehutanan pada PDRB yang lebih kecil dibanding dengan nilai deplesi ditambah nilai degradasinya, diperoleh nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB yang negatip (-Rp.34,27 milyar pada tahun 2003). Angka ini

dapat diartikan sebagai hasil neto kinerja sektor kehutanan yang memberikan konteribusi coklat pada PDRB sebesar Rp. 381,03 milyar oada tahun 2003, tetapi dengan mengorbankan aset dibidang kehutanan sebesar Rp. 155,14 milyar dalam bentuk deplesi sumberdaya alam hutan dan degradasi lingkungan sebesar Rp. 260,15 milayr dalam bentuk degradasi lingkungan. Namun hendaknya kita sangat hati-hati dalam menginterpretasikan angka-angka tersebut. Berapa sesungguhnya

kontribusi sektor kehutanan dalam pembangunan nasional yang diukur dengan nilai PDB Indonesia?, jawabnya ialah bahwa kontribusi sektor kehutanan terhadap pembangunan nasional (PDB Coklat) adalah seluruh nilai tambah yang berupa kontribusi yang telah dihitung dalam PDB Coklat ditambah nilai deplesi sumberdaya alam ditambah lagi dengan nilai degradasi lingkungan. Nilai kontribusi ini sebesar Rp. 796,32 milyar untuk tahun 2003. Dalam kasus ini nilai kontribusi sektor kehutanan lebih 2 kali lipat daripada nilainya yang telah dihitung dalam PDB Coklat. .

BAB 3METODOLOGI PENYUSUNAN KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANANSecara konvensional PDRB merupakan ukuran keberhasilan kinerja pembangunan suatu daerah baik itu kabupaten, kota maupun provinsi. Karena

PDRB sudah menjadi wacana nasional dan perwilayahan sejak pemerintahan orde baru, maka setiap daerah tingkat satu dan tingkat dua pada waktu itu sudah mampu secara rutin menyajikan data atau hasil perhitungan PDRB untuk setiap tahunnya. Kegiatan itu terus berlanjut sampai sekarang baik untuk

daerah kabupaten, kota maupun provinsi. Pada dasarnya PDRB merupakan seluruh jumlah barang dan jasa akhir (final product) yang dihasilkan oleh suatu kegiatan perekonomian atau pembangunan regional (daerah) baik kabupaten, kota maupun provinsi, dalam waktu satu tahun yang dinyatakan dalam nilai rupiah. Karena dalam konsep

PDRB yang konvensional ini tidak diperhitungkan dimensi lingkungan, artinya hilangnya nilai sumberdaya alam dan lingkungan tidak diperhitungkan sebagai bagian dari angka penyusutan modal, maka nilai PDRB yang diperoleh hanya mencerminkan hasil kegiatan ekonomi suatu kabupaten, kota atau provinsi tertentu. PDRB yang konvensional disebut dengan istilah PDRB Coklat karena dalam penghitungannya belum memasukan penyusutan nilai modal alami yaitu sumberdaya alam dan lingkungan. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau merupakan

pengembangan dari PDRB Coklat atau kovensional.

PDRB Coklat sendiri

merupakan catatan tentang jumlah nilai rupiah dari barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu daerah (provinsi/Kabupaten/Kota) dalam waktu satu .

tahun.

Nilai PDRB suatu daerah sebenarnya adalah nilai tambah yang

diciptakan oleh semua sektor usaha didaerah tersebut. Untuk keperluan analisis ekonomi serta perencanaan pembangunan di daerah, PDRB dan pendapatan regional ekonomi atau lapangan usaha.17

ditampilkan menurut sektor kegiatan

PDRB banyak digunakan sebagai instrumen

untuk menilai keberhasilan pembangunan di daerah yang bersangkutan. Dengan mengetahui kontribusi maupun laju pertumbuhan masing-masing sektor terhadap PDRB, maka hasil-hasil pembangunan per sektor dapat diketahui dengan jelas dan oleh sebab itu rencana pembangunan daerah dapat disusun secara lebih akurat. Penghitungan PDRB yang sudah dilakukan hingga saat ini baru menghitung nilai total barang dan jasa (final product) yang dihasilkan selama satu tahun dan dinyatakan dalam nilai rupiah. Nilai yang dihasilkan seolah-olah memberikan gambaran tentang struktur perekonomian dan pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh suatu daerah, baik secara total maupun secara sektoral, sehingga dianggap mencerminkan kondisi perekonomian daerah yang bersangkutan. Tetapi sesungguhnya tidak demikian karena nilai sumberdaya yang hilang (dieksploitasi) dan kerusakan (degradasi) lingkungan akibat kegiatan eksploitasi itu sendiri belum diperhitungkan sebagai nilai kehilangan dan kerusakan yang seharusnya dibayar, sehingga nilai-nilai yang tercantum dalam PDRB yang konvensional itu belum menunjukan nilai kemajuan pembangunan atau kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya 18 Untuk membuat agar nilai-nilai yang ada didalam PDRB mencerminkan nilai kesejahteraan yang sebenarnya dari hasil kegiatan perekonomian atau pembangunan suatu daerah, maka perlu dilakukan penghitungan PDRB yang disesuaikan (adjusted gross regional domestic bruto/ GRDP) yang disebut juga sebagai PDRB Hijau yaitu dengan memasukan kedalam penghitungan PDRB

17

18

Yang dimaksud dengan pendapatan regional adalah nilai PDRB setelah dikurangi dengan nilai penyusutan barang modal dan nilai pajak tak langsung. Yang dimaksud dengan pajak tidak langsung adalah pajak yang beban pajaknya dapat digeserkan pada pihak lain seperti PPN, pajak penjualan barang mewah, maupun cukai. PDRB yang sekarang ada disusun secara konvensional yang disebut dengan PDRB Coklat. Istilah PDRB Coklat sebenarnya karena disejajarkan dengan adanya istilah Green GDP dan Brown yang dikeluarkan oleh United Nations Statistic Office (UNSO), System of Integrated Economic and Environment, New York, 1993.

.

(Coklat) nilai deplesi sumberdaya alam dan kerusakan (degradasi) lingkungan yang ditimbulkan sebagai produk yang tidak diinginkan (undisirable outputs). Dengan demikian nilai PDRB yang telah disesuaikan tersebut dapat dijadikan acuan dasar yang lebih komprehensif bagi perencanaan pembangunan yang berkelanjutan dan lingkungan disamping faktor-faktor lainnya.

3.1

Cara menghitung PDRB

Tiga pendekatan utama dalam menghitung PDRB, yaitu : a. Menjumlahkan seluruh nilai tambah dari setiap sektor kegiatan ekonomi, b. Menjumlahkan semua jenis pendapatan yang diperoleh oleh para pemilik faktor produksi seperti tenaga kerja, modal, alat,

perlengkapan dan sumberdaya alam serta keahlian. c. Menjumlahkan seluruh pengeluaran setiap kegiatan di masing-masing sektor.

Dalam kaitannya dengan sumberdaya alam, maka lebih banyak digunakan pendekatan nilai tambah atau pendekatan produksi. Untuk setiap sektor kegiatan ekonomi dihitung sumbangannya terhadap angka PDRB dengan cara seperti pada Gambar 3.1

Nilai produksi Intermediate Inputs (bahan-bahan) Nilai tambah (PDRB) Coklat

Rp. ................. Rp. ................. Rp. .................

Gambar 3.1 Perhitungan Kontribusi Sektor Kegiatan Ekonomi terhadap PDRB

.

Yang dimaksud dengan intermediate inputs adalah semua bahan yang digunakan dalam proses produksi, tidak termasuk tenaga kerja. Kalau suatu

sektor tidak memiliki produk yang dapat dijual di pasar seperti sektor pemerintahan dan pendidikan, biasanya dipakai pendekatan pendapatan yaitu balas jasa terhadap faktor produksi dalam bentuk upah/gaji, sewa, bunga, dan laba. Kalau pendekatan ini yang dipakai, angka atau nilai yang diperoleh Untuk sampai pada nilai PDRB

bukannya PDRB, tetapi Pendapatan Nasional.

Hijau harus ditambahkan penyusutan barang modal buatan manusia, baru kemudian dikurangi dengan nilai deplesi dan nilai degradasi lingkungan.

3.2

Penghitungan PDRB Semi Hijau PDRB Semi Hijau adalah hasil pengembangan PDRB Coklat dengan

memasukan dimensi lingkungan (deplesi SDA dan kerusakan lingkungan) kedalam perhitungan PDRB Konvensional. PDRB Konvensional yang disebut

juga dengan PDRB Coklat dikurangi dengan nilai deplesi dari sektor kehutanan sehingga hasil yang didapatkan adalah PDRB Semi Hijau. 3.2 di bawah ini. Perhatikan Gambar

Nilai produksi hutan Intermediate Inputs (bahan-bahan) Nilai tambah (PDRB) Coklat Deplesi SDA PDRB Semi Hijau

Rp. ................. Rp. ................. Rp. ................. Rp. .................. Rp. ..................

Gambar 3.2 Perhitungan Kontribusi Sektor Kegiatan Ekonomi terhadap PDRB Semi Hijau

.

3.3

Penghitungan PDRB Hijau Untuk sampai pada nilai PDRB Hijau, terhadap nilai-nilai pada PDRB Semi

Hijau masih harus dikurangi lagi nilai kerusakan atau degradasi lingkungan, sehingga akhirnya diperoleh nilai PDRB Hijau yang sebenarnya. dikembangkan menjadi PDRB Hijau langkah Jadi untuk adalah

perhitungannya

sebagaimana tampak pada Gambar 3.3 di bawah ini.

PDRB Semi Hijau Degradasi lingkungan PDRB Hijau

Rp. ................. Rp. ................. Rp. .................

Gambar 3.3 Kontribusi Sektor Kegiatan Ekonomi pada PDRB Hijau

3.4

Penyusunan Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan Sebagai langkah awal dalam penyusunan kontribusi hijau sektor

kehutanan, ditentukan ruang lingkup studi khususnya berkaitannya dengan wilayah studi, yakni Kabupaten Karangasem Provinsi Bali. Kabupaten ini dipilih

karena dalam studi ini menitik beratkan kajian pada kontribusi hijau sektor kehutanan di wilayah tersebut dimana Kabupaten Karangsem masih memiliki kawasan hutan yang cukup luas. Oleh karenanya dalam meninjau laporan

PDRB Kabupaten Karangasem, sektor yang menjadi perhatian dalam studi ini adalah sub sektor kehutanan, sektor pertanian dan industri pengolahan hasil hutan pada sub sektor industri pengolahan non migas, sektor industri pengolahan. Dengan semikian, secara singkat tahapan studi ini meliputi : a. Mengkaji sektor yang berkaitan dengan sektor kehutanan (sub sektor kehutanan dan industri pengolahan hasil hutan) yang memberikan kontribusi pada PDRB Kabupaten Karangasem.

.

b. Mengidentifikasi semua jenis dan volume sumberdaya hutan baik kayu maupun non kayu yang digunakan dan diambil baik secara langsung maupun tidak langsung dan memiliki nilai ekonomi di wilayah tersebut. Untuk ini informasi dapat diperoleh dari Dinas Perindustrian dan juga Kantor badan Statistik Daerah, serta wawancara langsung dengan beberapa perusahaan dan industri sampel. c. Melakukan valuasi ekonomi terhadap sumberdaya hutan yang digunakan atau yang diekstrak dari hutan. Valuasi dilakukan dengan pendekatan nilai pasar untuk produk-produk yang memiliki nilai pasar dan dipasarkan atau menggunakan nilai barang pengganti dan barang pelengkapnya, atau dengan contingent valuation yaitu kesediaan membayar atau kesediaan menerima pembayaran untuk produk yang tidak memiliki nilai pasar atau untuk menaksir nilai kerusakan lingkungan. Data harga diperoleh dari data sekunder ataupun data primer dari perusahaan yang terlibat dalam proses produksi dan penggunaan sumberdaya alam. d. Menghitung volume kerusakan akibat deplesi sumberdaya hutan dan menghitung pula dampak negatif yang ditimbulkan akibat adanya proses produksi industri hasil hutan. Khusus dalam menghitung dampak negatif yang timbul akibat pengolahan industri hasil hutan ini digunakan berbagai metode yang paling mendekatai angka degradasi, misalnya dengan metode prevention cost yaitu dengan menginternalkan biaya

biaya pengolahan limbah pada hasil akhir industri pengolahan. Selain itu, metode lain yang digunakan adalah metode observasi langsung dan metode perkiraan dengan menggunakan benefit transfer. Kemudian valuasi ekonominya dapat menggunakan metode biaya pengganti (replacement costs) dan metode pendapatan yang hilang (forgone

income).e. Setelah nilai deplesi, degradasi lingkungan dan degradasi industri pengolahan hasil hutan dapat dihitung, selanjutnya nilai-nilai tersebut dikurangkan dari kontribusi sektor kehutanan sehingga akan diperoleh nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB. .

f. Kontribusi riil sektor kehutanan pada pembangunan diperoleh dengan jalan menjumlahkan kontribusi sektor kehutanan dengan depresiasi lingkungan kemudian dikurangi dengan degradasi industri pengolahan hasil hutan.

3.5

Penghitungan Deplesi Sumberdaya Hutan Hal yang sangat krusial dalam kaitannya dengan penghitungan PDRB

Semi Hijau adalah penentuan produk sumberdaya hutan yang mengalami deplesi dalam suatu perekonomian di daerah dalam waktu tertentu dalam satu tahun. Setelah diketahui sumberdaya hutan yang dideplesi, selanjutnya

dilakukan kuantifikasi berkaitan dengan kuantitas sumberdaya hutan yang dideplesi dalam tahun tersebut dan kemudian dicari atau dihitung nilai ekonominya. Untuk sumberdaya hutan yang ekstraktif sifatnya, sebaiknya

digunakan harga pasar sebagai pendekatan untuk menghitung unit rent dari masing-masing jenis sumberdaya hutan yang mengalami deplesi di daerah kabupaten/kota atau provinsi yang bersangkutan. Untuk mendapatkan nilai

PDRB Semi Hijau adalah nilai deplesi sumberdaya hutan yang telah dihitung kemudian dikurangkan dari nilai kontribusi sektor kehutanan pada PDRB Coklat.

3.5.1 Prakiraan Volume Deplesi a). Luas areal hutang yang ditebang dan yang rusak atau yang terbakar (A). Luas arela hutang yang ditebang dan yang terbakar umumnya dapat diketaui dari data yang disajikan oleh Dinas Kehutanan setempat. Sedangkan luas hutan yang rusak terutama sebagai akibat dari cara penebangan hutan yang salah dapat diperkirakan dengan menggunakan hasil estimasi Simangunsong seperti ditampilkan pada Tabel 3.1 berikut :

.

Tabel 3.1 Forest Value of Goods and Services Loss Due to Timber Cutting (US $/Ha) Services US $/Ha Non Timber 8.59 Residual Stand damage 79.41 Soil and water conservation service loss 1.33 Carbon sink service 113.01 Flood protection service 1.18 The option value 0.41 The existence value 1.41 Total loss 205.34Sumber : Bintang Simangonsong

b). Rata-rata volume kayu yang dideplesi (ditebang dan terbakar) = (Qk). Volume kayu yang ditebang dan terbakar diestimasi dengan menggunakan rumus di bawah ini, tersedia dalam volume kayu : Qk = (A) x (k) Dimana Qk = volume kayu total A = luas areal hitan ditebang K = volume kayu per hektar c). Volume produk lain yang hilang : rotan damar, madu, sarang burung, dsb (Q1) : Q1 = (A) x (1) Dimana Q1= volume produk hutan lainnya 1 = volume produk lain perhektar d). Memberikan valuasi ekonomi deplesi sumberdaya hutan. Adapun kecuali bila datanya langsung

untuk perhitungan deplesi sumberdaya hutan digunakan rumus sebagai berikut : Vk = (Qk) x (Pk) Dimana : Vk = nilai deplesi kayu Pk = unit rent kayu

V1 = (Q1) x (P1) Dimana : V1 = nilai deplesi produk lain P1 = unit rent produk lain. .

3.5.2 Prakiraan Nilai Degradasi a). Mengidentifikasi dan mengkuantifikasi macam degradasi lingkungan yang terkait dengan kehutanan. penghitungan sebagai berikut : Untuk itu digunakan rumus

QE = (A) x (E) Dimana : QE = volume erosi A = luas areal hutan ditebang E = volume erosi rata-rata per hektar. Qc = (PH) x (C) Dimana : Qc = volume penyerapan karbon PH = jumlah pohon yang tertebang C = volume penyerapan karbon perhektar

Qs = (A) x (S) Dimana : Qs = volume sedimentasi A = luas arela yang ditebang S = volume sedimentasi perhektar hutang ditebang. b). Memvaluasi semua macam degradasi lingkungan yang telah teridentifikasi sehingga diperoleh VE, Vc, Vs, VK, Vp, yaitu nilai-nilai erosi, penyerap karbon, sedimentasi, nilai keberadaan dan nilai pilihan. c). Dalam melakukan degradasi lingkungan digunakan pendekatan dengan menggunakan asumsi bahwa 1 hektar hutan menghasilkan 40m3 kayu dan besarnya dana reboisasi (DR) sebesar US$ 16/m3 kayu, maka DR yang terkumpul per hektar hutan adalah US$ 640/ha Apabila DR diasumsikan setara dengan pajak penghasilan sebesar 15%, maka nilai total kayu hutan yang dihasilkan adalah sebesar US$ 4,266.6 (lihat Tabel 3.2). Studi ini menggunakan angka yang

dihasilkan oleh NRM untuk mengetahui persentase sumbangan nilai

.

masing-masing fungsi hutan dan mengalikannya dengan angka yang sudah disesuaikan berdasarkan penghitungan dana reboisasi (DR).

Tabel 3.2 Persentase dan Nilai Jasa HutanJenis Nilai Jasa yang dihasilkan * Atas dasar penggunaan - Nilai penggunaan langsung Kayu Kayu bakar Produk hutan non kayu Konsumsi air - Nilai penggunaan tak langsung Konservasi air dan tanah Penyerap karbon Pencegah banjir Transportasi air Keanekaragaman hayati * Atas dasar bukan penggunaan Nilai opsi Nilai keberadaan Nilai Ekonomi Total Persentase (%) 95,42 52,39 29,11 0,08 23,00 0,20 43,03 19,85 3,14 12,33 2,90 4,94 4,58 1,62 2,95 ----100 Nilai (US$/ha/thn) 4.071,26 2.235,44 1.242,14 3,20 981,43 8,66 1.835,83 847,12 133,85 525,92 123,81 210,79 195,34 69,28 126,05 -------4.266,60

Sumber : NRM dan Suparmoko. atatan: Nilai degradasi ditunjukan oleh nilai penggunaan tak langsung dan nilai atas dasar bukan penggunaan. Nilai ekonomi tersebut dengan asumsi bahwa penebangan kayu dihutan berakibat pada rusak atau hilangnya fungsi hutan seperti tersebut diatas.

Secara ringkas asumsi-asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut :

Asumsi : 1 hektar hutan menghasilkan 40 m3 kayu Dana reboisasi US$ 16/m3 diasumsikan setara dengan tarif pajak 15 % Pajak kehutanan/ha = 40m3 x US$ 16 = US$ 640/ha Nilai Ekonomi Hutan Total = (100/15) x US$ 640 = US$ 4,266.6 Hasil perhitungan NRM untuk nilai ekonomi hutan di Indonesia digunakan sebagai dasar penghitungan persentase sumbangan masing-masing nilai terhadap nilai total ekonomi dengan persentase seperti tampak pada Tabel 3.2 Nilai jasa hutan diperoleh dengan mengalikan persentase masing- masing fungsi dengan nilai total ekonomi hutan

-

3.5.3 Penghitungan kontribusi hijau sektor kehutanan a) Menghitung kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB Kabupaten/ Daerah :

KH = Hckl (VK+VL) (VE+VC+VS) (VK+Vp) .

Dimana : KH Kckl VK VL VE VC VK Vp = kontribusi hijau = kontribusi coklat = nilai deplisi kayu = nilai deplisi produk hutan lainnya = nilai erosi = nilai sedimentasi = nilai keberadaan = nilai pilihan

b) Menghitung kontribusi sektor kehutanan pada pembangunan daerah yaitu : Kpemb = Kckl + (VK+VL) + (VE+VC+VS) + (VK+Vp) Dimana : Kpemb = kontribusi pada pembangunan daerah

c) Menyusun kesimpulan studi d) Menyusun implikasi kebijakan atau rekomendasi untuk pengelolaan dan pengembangan sektor kehutanan.

3.6

Menghitung Unit Rent Sehubungan dengan kebutuhan dalam menentukan nilai deplesi

sumberdaya hutan, dibutuhkan nilai unit rent untuk masing-masing jenis produk sumberdaya hutan. Cara menghitung unit rent adalah dengan mengurangkan seluruh biaya produksi dari nilai penerimaan hasil pengambilan sumberdaya hutan itu. Dari perhitungan ini diperoleh nilai laba kotor. Untuk sampai pada perhitungan nilai unit rent, terhadap nilai laba kotor itu harus dikurangkan lagi Adapun nilai laba yang layak

nilai laba yang layak diterima oleh si pengusaha.

diterima pengusaha dianggap sama dengan tingkat bunga pinjaman di bank sebagai alternatif cost dari modal yang ditanam untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya hutan di kabupaten/kota atau propinsi yang bersangkutan. Uraian ini diringkas seperti pada Gambar 3.4 :

.

Harga per unit Biaya produksi per unit (bahan, tenaga kerja, sewa, dsb) Laba kotor per unit Laba layak (balas jasa investasi) (suku bunga SBI x total biaya produksi) Unit Rent Gambar 3.4 Perhitungan Unit Rent 3.7

Rp. .................. Rp. .................. (-) Rp. .................. Rp. .................. (-) Rp. ..................

Penghitungan Degradasi Sektor Kehutanan Perhitungan nilai degradasi lingkungan lebih kompleks, karena perlu

menggunakan berbagai perkiraan sesuai dengan jenis sumberdaya alam dan lingkungan yang terdegradasi. Sebagai misal dengan adanya penebangan

hutan, ekan terjadi erosi sumberdaya tanah, sehingga lapisan tanah yang subur (stop soil) akan hilang. Dalam hal ini terjadi degradasi sumberdaya lahan. Selanjutnya kalau tanah yang terbawa erosi itu terbawa melalui sungai akan terjadi pendangkalan sungai dan menambah kekeruhan air sungai. Dalam hal ini terjadi degradasi sumberdaya air, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Kalau tanah yang terbawa erosi itu diendapkan dimuara sungai dan pantai, maka akan terjadi degradasi pantai yang dapat mengakibatkan terganggunya kegiatan rekreasi atau wisata pantai di pantai tersebut. Untuk menilai degradasi tersebut perlu diadakan penelitian pendahuluan mengenai sumberdaya alam dan komponen lingkungan yang mana yang mengalami degradasi pada tahun yang bersangkutan. Langkah ini merupakan langkah identifikasi. Kemudian

langkah berikutnya adalah langkah mengkuantifikasi besaran atau luasan degradasi yang bersangkutan. Akhirnya terhadap lauasan degradasi tersebut

dapat diperkirakan besarnya nilai degradasi yang bersangkutan. Bagaimana cara menilainya ? Untuk hal-hal yang ada kaitannya dengan sumberdaya ekstraktif dapat didekati dengan menggunakan harga pasar dan unit rent. Selanjutnya untuk hal-hal yang merupakan jasa lingkungan dan jasa

keanekaragaman hayati penilaiannya harus didekati dengan menggunakan nilai .

biaya pengganti, nilai kesenangan (hedonik) atau biaya perjalanan (travel cost), maupun dengan cara survey (contingent valuation) dengan meneliti tentang kesediaan membayar (willingnes to pay) atau kesediaan untuik menerima ganti rugi (willingnes to accept). Degradasi lain yang sangat mungkin terjadi adalah degradasi di sektor industri pengolahan hasil hutan, dimana kegiatan ini juga menghasilkan limbah yang dapat mendegradasi fungsi lingkungan. Dalam hal ini, peneliti menganalisa dengan pendekatan metode prevention cost yaitu pihak perusahaan melakukan pengolahan limbah sebelum dibuang ke badan sungai. Sehingga nilai

degradasi ini dapat didekati dengan melihat besarnya biaya pengolahan limbah termasuk didalamnya tenaga kerja, bahan-bahan kimia yang dibutuhkan dan harga penyusutan alat pengolah limbah per tahun. Biaya keseluruhan kegiatan pengolahan limbah inilah yang nantinya digunakan sebagai angka degradasi pada industri pengolahan hasil hutan.

3.8

Aplikasi Penghitungan Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan 3.8.1 Konsep Penghitungan Sebagai ilustrasi diambil contoh produk kayu bulat yang ditebang dari hutan. Perhitungan nilai tambahnya adalah :

Nilai tambah = Nilai produk kayu - nilai lahan

NTk = Hk Ni

Dimana NTk = nilai tambah kayu di hutan Hk = harga kayu (stumpage value) Ni = nilai input untuk menghasilkan kayu Harga kayu tegakan atau stumpage value adalah nilai rente kayu per unit (unit rent) yang merupakan nilai tambah yang dihasilkan oleh hutan atau sektor kehutanan. Karena intermediate input sektor kehutanan

tidak perlu diberikan oleh manusia melalui usaha-usaha tertentu atau .

dengan kata lain alam hutan itu sendiri yang memberikan intermediate inputnya, maka boleh dikatakan bahwa nilai intermediate input sama dengan nol. Oleh karena itu nilai tambah yang diciptakan sama dengan harga kayu tegakan itu sendiri. Konsep ini berlaku pula untuk semua

jenis sumberdaya alam yang tidak perlu dibudidayakan oleh manusia. Karena itu nilai tambah sektor kehutanan yang ditampilkan dalam PDRB maupun PDB sebarang ini harus ditambah dengan nilai deplesi sumberdaya hutan. Yang menjadi pertanyaan kemana nilai uang yang Nilai uang dari nilai tambah

ditimbulkan dari nilai tambah tersebut ?

hutan diantaranya sudah dicerminkan dalam bentuk pajak atau pngutan yang berkaitan dengan kegiatan penebangan hutan dalam bentuk IHH, PSDH, IHPH dan Dana Reboisasi Hutan. Tetapi apabila data yang

tersedia adalah harga atau nilai kayu setelah sampai ke tempat penimbunan kayu saja, maka contoh berikut dapat disimak :

Contoh penghitungan Nilai rente ekonomi kayu bulat tahun 1989 Nilai produksi Biaya produksi : - Biaya umum Rp.48.605 - Biaya pemeliharaan Rp.26.561 - Biaya eksploitasi Rp.49.416 - Biaya pemasaran Rp. 9.392 - Biaya lain-lain Rp. 1.730 + Laba kotor Laba perusahaan (balas jasa investasi) (suku bunga SBI = 15% x total biaya produksi) Rente ekonomi Rp.252.905

Rp.130.704 (-) Rp.122.201 Rp. 19.606 (-) Rp.102.594

Catatan : Untuk sampai pada nilai Unit Rent maka Rente Ekonomi dibagi dengan volume produksi. Sumber : Suparmoko dan Maria Ratnaningsih, M. Asta, Harlini Kahar, Forest Resource Accounting dalam M Suparmoko, Editor, Neraca Sumberdaya Alam (Natural Resource Accounting), BPFE Yogyakarta, 2005.

Kasus diatas menunjukan bahwa sumbangan sector kehutanan untuk PDRB adalah nilai tambah yang diciptakan di sector tersebut yang terdiri dari laba perusahaan dotambah dengan nilai rente ekonomi kayu dan .

produk ekstraktif kainnya yang sesungguhnya adalah sama dengan laba kotor. Laba kotor adalah nilai produksi kayu bulat dan produk ekstraktif lainnya yang dihasilkan dari hutan ditambah dengan nilai rente ekonomi. Secara teoritis nilai rente ekonomi harus sama dengan nilai pungutan pemerintah dari sektor kehutanan seperti PSDH, Dana Reboisasi, IHH, IHPH, dan sebagainya.

3.8.2 Data yang diperlukan Dalam rangka menyusun kontribusi hijau sektor kehutanan terhadap PDRB suatu daerah, tentunya diperlukan data atau informasi mengenai : a. Macam dan jumlah produk kehutanan yang diekstrak dari hutan (kayu, damar, rotan, dsb) di daerah yang bersangkutan pada tahun tertentu. b. Biaya pengambilan atau biaya produksi masing-masing jenis produk hutan tersebut (kayu, damar, ritan, dsb). c. Harga masing-masing jenis produk industri yang menggunakan bahan mentah produk hutan (kayu gergajian, kayu lapis, perabot rumah tangga, dsb). d. Biaya produksi masing-masing jenis produk industri berbasis produk hutan (kayu gergajian, kayu lapis, perabot rumah tangga dsb). e. Tingkat bunga bank yang berlaku di daerah bersangkutan untuk investasi di kehutanan. f. Data yang berkenaan dengan besarnya biaya pengolahan limbah oleh perusahaan-perusahaan pengolahan industri kehutanan. g. Data lain terkait atau yang diperlukan dalam pendugaan nilai kerusakan lingkungan (misal debit air, biaya pengerukan, laju dan besar sedimentasi, pembuatan tanggul, teknik penanganan

pencemaran, dsb).

.

BAB 4GAMBARAN PEREKONOMIAN DAN SEKTOR KEHUTANAN KABUPATEN KARANGASEM4.1 Keadaan Umum Kabupaten Karangasem merupakan kabupaten yang paling timur di Provinsi Bali dan secara geografis kabupaten Karangasem terletak diantara 08O0000 08O4137.8 lintang selatan dan 115O359.8 115O5489 bujur timur, memiliki luas daerah sebesar 83.954 ha atau sekitar 14,90% luas wilayah Provinsi Bali. Wilayah administrasi Kabupaten Karangasem dibagi atas 8 kecamatan dan 77 desa. Wilayah kecamatan terluas terdapat di Kecamatan Kubu yaitu 23.472 Ha dan terkecil yaitu Kecamatan Sidemen seluas 3.515 Ha Wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Karangasem meliputi : Sebelah utara dengan Laut Jawa Sebelah selatan dengan Selat Badung, Samudera Indonesia Sebelah timur dengan Selat Lombok Sebelah barat dengan Kabupaten Klungkung, Bangli, dan Kabupaten Buleleng

Kabupaten Karangasem memiliki iklim yang hampir sama dengan sebagian besar wilayah di Indonesia, yang dikenal dengan 2 musim yaitu musim penghujan yang biasanya terjadi antara bulan Oktober hingga Maret karena angin bertiup dari Asia dan Samudera Pasifik yang banyak mengandung uap air, .

sedangkan musim kemarau biasa terjadi pada bulan Juni sampai September karena angin bertiup dari Australia yang tidak mengandung uap air. Kondisi pergantian musim ini berganti setiap tahun melewati masa-masa peralihan yaitu pada bulan April Mei dan Oktober- Nopember. Kabupaten Karangasem terletak pada ketinggian 300 meter diatas permukaan laut dengan suhu udara berkisar antara 21,8 OC 36,1 OC dengan kelembaban udara antara 68 - 94%

4.2

Penduduk Jumlah penduduk di Kabupaten Karangasem pada tahun 2005 adalah

404.594 jiwa dengan jumlah laki-laki 201.456 jiwa dan perempuan 203.138 jiwa. Jumlah KK tercatat 102.830 KK dengan rata-rata anggota 4 orang.

Penduduk mayoritas di Kabupaten Karangasem adalah penduduk Bali dan sisanya dari Cina, Lombok, dan lainnya. Distribusi penduduk di Kabupaten

Karangasem memiliki tingkat kepadatan 482 jiwa/km2. Untuk lebih jelasnya distribusi penduduk di Kabupaten Karangasem berdasarkan kecamatan

ditampilkan seperti pada Tabel 4.1. Potensi sektor kehutanan tidak menjadi andalan bagi pendapatan daerah dan juga bukan merupakan sumber kehidupan bagi sebagian terbesar penduduk Kabupaten Karangasem karena sektor kehutanan bukan merupakan hutan produktif. Walaupun demikian, sektor kehutanan di Kabupataen Karangasem

memberikan jasa lingkungan yang menjadi pendukung kesejahteraan kehidupan masyarakat Kabupaten Karangasem, seperti jasa pariwisata, jasa tempat rekreasi, dan lain sebagainya.

.

Tabel 4.1 Luas dan Jumlah Penduduk menurut Kecamatan di Kabupaten Karangasem Tahun 2006

Kecamatan 1. Rendang 2. Sidemen 3. Manggis 4. Karangasem 5. Abang 6. Bebandem 7. Selat 8. Kubu Kab. KarangasemSumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem

Luas (km2) 109,7 35,15 69,83 94,23 134,05 81,51 80,35 234,72 839,54

Jumlah Penduduk (jiwa) 35.241 33.004 46.235 74.195 68.311 42.631 37.418 67.559 404.594

4.3

Kondisi Perekonomian Sebagai salah satu indikator makro tentang kondisi perekonomian di

Kabupaten Karangasem dibutuhkan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berl