bab iv hasil dan pembahasan 4.1 penelitian pendahuluan...

20
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan 4.1.1 Kultur Bakteri Vibrio harveyi Isolat bakteri Vibrio harveyi murni diperoleh dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara (BBPBAP Jepara) diperbanyak menggunakan media padat menggunakan media TSA (Tryptic Soy Agar). Hal ini sesuai menurut pernyataan Edigius (1987) bahwa bakteri Vibrio dapat tumbuh di medium TGY (Tryptone Glucise Yeast), medium BHI (Broth Heart Infusion), TSA (Tryptic Soy Agar) dan NA (Nutrient Agar). Bakteri Vibrio harveyi yang digunakan adalah bakteri yang memiliki umur 24 jam setelah kultur dilakukan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Frazier dan Westhoff (1981) bahwa faktor yang mempengaruhi aktivitas mikroba adalah umur dan asal usul isolat bakteri. Perbanyakan isolat murni Vibrio harveyi bisa dilakukan dengan menginokulasi isolat tersebut ke dalam petridisk berisi medium agar dengan metode gores. Hasil kultur dengan metode gores berada pada agar di petridisk sebanyak 3 buah (Gambar 6). Perlakuan yang dilakukan untuk memperoleh memperoleh kepadatan bakteri 1,1 x 10 9 cfu diperoleh dari 3 petridisk yang kemudian diinkubasi pada suhu 32 o C.untuk kultur tersebut. Gambar 6. Hasil Kultur Vibrio harveyi Menggunakan Media (agar) Padat 1

Upload: nguyenhuong

Post on 03-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090025_4_8618.pdf · stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penelitian Pendahuluan

4.1.1 Kultur Bakteri Vibrio harveyi

Isolat bakteri Vibrio harveyi murni diperoleh dari Balai Besar Pengembangan

Budidaya Air Payau Jepara (BBPBAP Jepara) diperbanyak menggunakan media

padat menggunakan media TSA (Tryptic Soy Agar). Hal ini sesuai menurut

pernyataan Edigius (1987) bahwa bakteri Vibrio dapat tumbuh di medium TGY

(Tryptone Glucise Yeast), medium BHI (Broth Heart Infusion), TSA (Tryptic Soy

Agar) dan NA (Nutrient Agar). Bakteri Vibrio harveyi yang digunakan adalah bakteri

yang memiliki umur 24 jam setelah kultur dilakukan. Hal tersebut sesuai dengan

pernyataan Frazier dan Westhoff (1981) bahwa faktor yang mempengaruhi aktivitas

mikroba adalah umur dan asal usul isolat bakteri. Perbanyakan isolat murni Vibrio

harveyi bisa dilakukan dengan menginokulasi isolat tersebut ke dalam petridisk berisi

medium agar dengan metode gores.

Hasil kultur dengan metode gores berada pada agar di petridisk sebanyak 3

buah (Gambar 6). Perlakuan yang dilakukan untuk memperoleh memperoleh

kepadatan bakteri 1,1 x 109 cfu diperoleh dari 3 petridisk yang kemudian diinkubasi

pada suhu 32oC.untuk kultur tersebut.

Gambar 6. Hasil Kultur Vibrio harveyi Menggunakan Media (agar) Padat

1

Page 2: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090025_4_8618.pdf · stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh

2

Pertumbuhan koloni bakteri harus dipertahankan dan untuk ini diperlukan

stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh dari hasil kultur

biakan bakteri Holt and Krieg (1984) bahwa Vibrio harveyi mampu tumbuh optimal

pada suhu 30o – 32o C. Bakteri Vibrio harveyi memiliki kemampuan luminescent

dimana menurut Rheinheimer (1991) sebagian besar bakteri luminescent terjadi

proses metabolisme pada konsentrasi garam 0 – 4 %. Penggunaan air laut dalam

pembuatan media kultur dilakukan berdasarkan lingkungan optimum bakteri Vibrio

harveyi dapat tumbuh dengan optimum. BBPBAP Jepara (2013) berpendapat bahwa

bakteri Vibrio harveyi ini akan mengalami kehilangan kemampuannya untuk

menghasilkan luminescent apabila stadia umur nya melebihi 24 jam setelah kultur

serta cahaya yang dihasilkan akan meredup apabila sudah berpindah media (dari

media kultur ke media air).

4.1.2 Uji Zona Bening (in vitro)

Tujuan uji zona bening adalah untuk mengetahui efektifitas antibakteri yang

terkandung dalam ekstrak daun nimba terhadap bakteri Vibrio harveyi. Keberadaan

senyawa antibakteri dapat diketahui dari zona bening yang dihasilkan di sekitar kertas

cakram yang telah diberikan ekstrak daun nimba.

Page 3: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090025_4_8618.pdf · stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh

3

Gambar 7. Prosedur Uji Zona Hambat atau Bening

Hasil zona bening yang terbentuk dari perlakuan konsentrasi ekstrak daun

nimba 0, 10, 100, 1.000, 10.000, dan 100.000 ppm menghasilkan hasil zona hambat

terbesar pada konsentrasi 10 ppm dan 100.000 ppm masing-masing sebesar 11,32 mm

dan 12,70 mm (Lampiran 2). Hasil ini juga lebih mempertegas pendapat Nursal et al.

(1998) bahwa dengan konsentrasi ekstrak yang semakin tinggi maka kemampuan

antibakterial juga semakin besar.

Dari hasil uji fitokimia yang telah dilakukan sebelumnya didapatkan bahwa

pada ekstrak daun nimba terdapat senyawa flavonoid dan saponin. Hasil positif uji

flavonoid dibuktikan dengan adanya dua lapisan pada saat akhir penambahan reagen

yaitu terbentuk dua lapisan cairan yang berwarna bening dan kuning. Uji positif

saponin dibuktikan oleh adanya busa yang stabil dan tidak langsung hilang pada saat

perendaman dalam penangas air. Menurut Robinson (1995) adanya busa yang

terbentuk dari hasil uji saponin dikarenakan pembentukan senyawa adisi yang tidak

larut dalam air disebabkan pemberian sumber kolesterol.

Page 4: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090025_4_8618.pdf · stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh

4

Zona hambat tersebut membuktikan bahwa dalam ekstrak daun nimba

terkandung antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan dan membunuh bakteri

Vibrio harveyi. Antimikroba pada ekstrak daun nimba terdapat flavonoid dan tanin

yang berfungsi sebagai antibakteri. Menurut Naim (2004) senyawa flavonoid dapat

merusak membran sitoplasma sel sehingga tidak berlangsungnya transport senyawa

dan ion kedalam sel bakteri sehingga bakteri mengalami kekurangan nutrisi yang

diperlukan bagi pertumbuhannya dan akhirnya bakteri akan mati. Tanin yang

merupakan senyawa fenol yang memiliki kemampuan berikatan dengan atom H dari

protein sehingga protein terdenaturasi dan mengakibatkan terganggunya proses

metabolisme serta pertumbuhan sel bakteri sehingga menyebabkan sel mati. Hal

tersebut sesuai dengan pernyataan Katzung 1989 (dalam Sipahutar 2000) bahwa ada

beberapa mekanisme kerja senyawa antimikroba yakni penghambatan sintesis

dinding sel, perubahan transpor aktif melalui membran sel, penghambatan sintesis

protein dan penghambatan sintesis asam nukleat.

Gambar 8. Hasil Zona Bening Ekstrak Daun Nimba pada konsentrasi 10 ppm.

Terbentuknya zona hambat bebas bakteri di sekitar kertas cakram,

membuktikan adanya daya kerja antimikrobial (Lay 1994). Uji antibakteri ini juga

dilakukan oleh Effendi dan Suhardi (1998) melalui antibaktreial mangrove

Rhizophora aapiculata, Avicenia alba, Brugulera gymnorrhiza, dan Nypa fructicans

terhadap Vibrio harveyi dan Vibrio parahaemolyticus.

Page 5: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090025_4_8618.pdf · stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh

5

Ada beberapa mekanisme kerja senyawa antimikroba yakni : penghambatan

sintesis dinding sel, perubahan transpor aktif melalui membran sel, penghambatan

sintesis protein yaitu penghambatan penerjemahan dan transkripsi material genetik,

dan penghambatan sintesis asam nukleat. Membran sel yang tersusun dari protein dan

lipid rentan terhadap zat kimia yang dapat menurunkan tegangan permukaan.

Kerusakan membran sel menyebabkan tidak berlangsungnya transport senyawa dan

ion ke dalam sel bakteri sehingga bakteri mengalami kekurangan nutrisi yang

diperlukan bagi pertumbuhannya dan mati (Katzung 1989 dalam Sipahutar 2000).

4.1.3 Hasil Uji LC50 Ekstrak Daun Nimba Terhadap Udang Galah

Uji LC50 dilakukan untuk mengetahui sejauh mana ekstrak daun nimba

menyebabkan 50 % kematian pada hewan uji, yakni udang galah (Tabel 1). Berikut

hasil uji LC50-48 jam ekstrak daun nimba terhadap udang galah :

Tabel 1. Hasil Uji LC50-48 jamKonsentrasi Mortalitas Pada Jam Ke- Total Total

0 612 18 24 30 36 42 48 Mortalitas Hewan Uji

10 ppm 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2050 ppm 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 20

100 ppm 0 0 0 0 0 2 1 1 0 4 20300 ppm 0 0 0 2 3 3 3 2 3 16 20

Page 6: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090025_4_8618.pdf · stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh

6

Pada konsentrasi 10 dan 50 ppm tidak terdapat kematian udang galah akibat

ekstrak yang ada di perairan. Hal ini menunjukan bahwa udang galah masih dapat

mentoleransi kandungan zat toksik yang terkadung dalam ekstrak daun nimba pada

konsentrasi 10 dan 50 ppm. Selain itu, pada pemberian konsentrasi 10 dan 50 ppm ke

dalam media hidup udang galah tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan

warna air, pH, DO serta tidak berpengaruh terhadap tingkat nafsu makan.

Pada pemberian konsentrasi 100 ppm ke dalam air, mortalitas mulai terjadi

pada saat 30 jam perendaman. Hal tersebut diduga zat toksik yang ada pada daun

nimba mulai menyebabkan kondisi air pada media hidup berubah. Perubahan yang

terjadi karena kandungan saponin yang mengalami pengaerasian yang cukup lama

dan karena aerasi yang cukup besar. Najib (2009) mengatakan bahwa saponin

umumnya berasa pahit dan dapat membentuk buih saat dikocok dengan air. Selain itu

juga dalam konsentrasi tertentu saponin bersifat beracun untuk beberapa hewan.

Kandungan saponin yang terdapat dalam air ditandakan oleh adanya busa yang

terdapat di permukaan air. Selain terdapat kandungan saponin, juga terjadi perubahan

warna air menjadi kuning kehijauan, tapi tidak merubah pH dan DO. Kematian yang

terjadi pada pemberian konsentrasi 100 ppm ini tidak menyebabkan kematian masal.

Toksisitas dari saponin dapat merendahkan tegangan permukaan dengan hidrolisis

lengkap akan dihasilkan sapogenin (Kim 1989). Kematian yang terjadi hingga waktu

48 jam perendamaan hanya mengakibatkan kematian sebanyak 20% dari total hewan

uji.

Pada konsentrasi 300 ppm terjadi kematian sebanyak 80% dari total hewan

uji, yakni sebanyak 16 ekor udang mati dari 20 ekor udang yang diuji. Hal tersebut

dikarenakan jumlah zat toksik yang ada di perairan sudah melebihi batas aman bagi

udang sehingga udang tidak mampu mentoleransi zat toksik yang ada di perairan

sehingga menyebabkan udang tersebut mati.

Page 7: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090025_4_8618.pdf · stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh

7

Berdasarkan hasil uji toksik yang telah dilakukan, didapat hasil bahwa

konsentrasi 100 ppm masih dapat ditoleransi oleh udang yakni mampu bertahan dan

bersisa 80% dari total hewan uji dan pada konsentrasi 300 ppm udang hanya mampu

bertahan dan bersisa 20% dari total hewan uji. Kenyataan ini membuktikan bahwa

konsentrasi yang dapat membunuh hewan uji sebanyak 50% (Lc-50) berada diantara

100 ppm hingga 300 ppm. Untuk mendapatkan presisi yang lebih tepat digunakan

software Epa Probit (Tabel 2)

Tabel 2. Analisis Epa Probit Ekstrak Daun Nimba Terhadap Udang Galah

Exposure 95% Confidence Limits

Point Conc. Lower UpperLC/EC 1.00 45.275 8.48 77.24

LC/EC 5.00 67.559 20.379 103.573LC/EC 10.00 83.629 32.066 122.836

LC/EC 15.00 96.584 43.089 139.273LC/EC 50.00 177.537 120.377 295.547

LC/EC 85.00 326.34 217.355 970.372

LC/EC 90.00 376.895 243.0091322.37

5LC/EC 95.00 466.548 284.475 2108.04

LC/EC 99.00 696.176 376.8315128.11

9

Data diatas menunjukan hasil LC50 sebesar 177,537 ppm, yang artinya bahwa

ekstrak daun nimba dapat menyebabkan kematian sebesar 50% dari total udang galah

yang di uji yaitu pada konsetrasi 177 ppm.

4.2 Tingkat Kelangsungan Hidup

Page 8: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090025_4_8618.pdf · stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh

8

4.2.1 Rata-rata Kelangsungan hidup

Tingkat kelangsungan hidup merupakan total organisme yang mampu hidup

hingga waktu yang ditentukan dalam suatu percobaan atau penelitian. Menurut

Mudjiman (1998), tingkat kelangsungan hidup dapat dipengaruhi oleh berbagai

faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor

yang berhubungan dengan ikan itu sendiri seperti umur dan genetika yang meliputi

keturunan, kemampuan untuk memanfaatkan makanan dan ketahanan terhadap

penyakit. Faktor eksternal merupakan faktor yang berkaitan dengan lingkungan

tempat hidup yang meliputi sifat fisika dan kimia air, ruang gerak dan ketersediaan

makanan dari segi kualitas dan kuantitas.

Pengaruh inokulasi bakteri Vibrio harveyi 105 cfu/ml pada media pemeliharaan

terhadap tingkat kelangsungan hidup larva udang galah yang telah diberikan pakan

komersil yang dicampur dengan ekstrak daun nimba dengan konsentrasi yang

berbeda yakni 30 ppm, 60 ppm, 90 ppm, 120 ppm dan kontrol telah memberikan hasil

uji statistik pada selang kepercayaan 95% menunjukan bahwa terdapat perbedaan

yang nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup antara kontrol dengan perlakuan.

Hasil dari uji statistik menunjukan bahwa pemberian ekstrak dengan konsentrasi 90

ppm dan 120 ppm menghasilkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi (Tabel 3).

Tabel 3. Rata-rata Kelangsungan Hidup Benih Udang Galah Setelah Diinfeksi Vibrio harveyi pada Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Nimba.

Perlakuan

Perlakuan Rata-rata Kelangsungan Hidup(mg/Kg pakan) (%)

A Kontrol (0 mg) 25.55 aB 30 mg/kg 41.11 bC 60 mg/kg 57.78 cD 90 mg/kg 65.56 cE 120 mg/kg 61.11 c

Page 9: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090025_4_8618.pdf · stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh

9

Perlakuan A (kontrol) adalah perlakuan untuk udang galah yang tidak

diberikan ekstrak daun nimba memberikan angka kelangsungan hidup terendah

sebesar 25,55%. Kwang (1996) dalam Salfira (1998) menyebutkan bahwa sistem

kekebalan tubuh udang masih sederhana, dimana udang tidak mempunyai sistem

pertahanan yang berperan dalam mekanisme tubuh yang berfungsi sebagai anti

bakteri yang masuk atau menyerang udang dari dalam. Pakan udang yang tidak diberi

ekstrak menyebabkan udang lebih mudah terinfeksi bakteri Vibrio harveyi

dibandingkan dengan udang yang diberi pakan dengan campuran ekstrak daun nimba.

Pada perlakuan B yakni pada pemberian ekstrak daun nimba dengan dosis 30

mg/kg pakan didapatkan hasil kelangsungan hidup sebesar 41,11%. Persentase

tersebut berbeda lebih tinggi dari angka kelangsungan hidup pada perlakuan A tanpa

pemberian ekstrak ke dalam pakan. Lee dan Soderhall (2002) menyatakan bahwa

udang mempunyai sistem ketahanan alami yang cepat dan efisien sebagai pelindung

dari mikroorganisme penyerang dimana jumlah dan tingkat respon terhadap patogen

yang masuk masih terbatas. Lebih lanjut lagi pemberian pakan dengan campuran

ekstrak sebanyak 30 mg/kg pakan mulai memberikan ketahanan terhadap udang galah

dari serangan bakteri Vibrio harveyi dilihat dari menurunnya tingkat kematian pada

udang yang diberikan ekstrak dengan yang tidak diberi ekstrak pada pakan yang

diberikan.

Pada perlakuan C persentase kelangsungan hidup mengalami peningkatan

sebanding dengan peningkatan ekstrak yang di berikan yakni pada konsentrasi

pemberian 60 mg/kg ekstrak daun nimba. Terdapat perbedaan persentase tingkat

kelangsungan hidup antara perlakuan A dan perlakuan C sehingga bisa dikatakan

bahwa perlakuan C memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan A.

Persentase pada perlakuan C sebesar 57,78% menunjukan bahwa konsentrasi ekstrak

yang lebih banyak diberikan daripada perlakuan B memberikan kelangsungan hidup

terhadap infeksi bakteri Vibrio harveyi lebih tinggi.

Page 10: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090025_4_8618.pdf · stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh

10

Perlakuan D dan E memberikan kelangsungan hidup rata-rata masing-masing

sebesar 65,56% dan 61,11% dimana perlakuan D tidak memberikan pengaruh yang

berbeda dengan perlakuan E. Hal ini diduga pada konsentrasi 90 dan 120 mg, ekstrak

daun nimba telah mampu membunuh Vibrio harveyi dengan cara merusak dinding sel

Vibrio harveyi. Perlakuan D memberikan angka kelangsungan hidup yang lebih tinggi

dibandingkan dengan perlakuan yang lain, diduga karena konsentrasi ekstrak daun

nimba yang semakin tinggi maka kandungan antibakteri dari ekstrak pun akan

semakin tinggi pula. Namun, pada kisaran konsentrasi antara 90 hingga 120 ppm

terjadi penurunan angka tingkat kelangsungan hidup. Hal tersebut diduga karena

pakan tidak seluruhnya dimakan oleh udang dan terbukti dari sisa pakan yang

mengendap pada toples perlakuan konsentrasi E yang lebih banyak daripada

perlakuan lainnya. Terlebih lagi karena konsentrasi yang tinggi menyebabkan

toleransi udang galah dalam menyerap kandungan zat aktif yang terdapat dalam

pakan terbatas, sehingga pada konsentrasi yang lebih besar dari 90 ppm menyebabkan

menurunnya tingkat kelangsungan hidup. Sebagaimana dikatakan oleh Lorenzon et

al. (1999) bahwa udang memiliki ketahanan yang terbatas dan ketahanan udang dapat

dilihat berdasarkan respon yang dihasilkan akibat adanya gangguan dari luar yang

bisa berupa perubahan kualitas air.

Pemberian ekstrak sebesar 90 mg/kg pakan mampu meningkatkan

kelangsungan hidup udang yang terinfeksi Vibrio harveyi, namun belum mampu

memberikan kelangsungan hidup yang maksimal. Diduga, untuk menghambat Vibrio

harveyi yang menyerang udang diperlukan konsentrasi ekstrak yang lebih tepat

karena terdapat hubungan langsung antara ekstrak dengan bakteri, karena pemberian

ekstrak yang dengan cara penyemprotan memiliki fungsi ganda. Sebagian ekstrak

menyerap ke dalam pakan yang nantinya dimakan oleh udang sehingga menambah

tingkat ketahanan udang dari dalam tubuh. Sedangkan sebagian lagi ekstrak yang

tidak menyerap secara sempurna lepas dan larut dalam air sehingga asumsinya dapat

menghambat perkembangan dan penginfeksian Vibrio harveyi pada udang yang sehat.

(Gambar 9)

Page 11: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090025_4_8618.pdf · stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh

11

Gambar 9. Udang yang mati bukan karena Vibrio harveyi

4.2.2 Kelangsungan Hidup pada Masa Kohabitasi

Kematian udang galah mulai dari proses kohabitasi dengan udang yang telah

di infeksikan dengan Vibrio harveyi mulai mengalami kematian sejak hari pertama.

Udang yang mati bertambah setiap harinya (Tabel 4). Pengamatan angka

kelangsungan hidup dilakukan selama 3 hari. Tabel 4. Mortalitas Udang Galah

Selama Masa Kohabitasi

PerlakuanMortalitas Total Mortalitas

24 Jam 48 jam 72 jam (ekor)A1 11 6 5 22A2 13 4 9 22A3 18 1 4 23B1 15 2 2 19B2 11 2 2 15B3 17 0 1 18C1 9 2 1 12C2 12 1 1 14C3 10 1 1 12D1 9 0 1 10D2 6 1 3 10D3 7 2 2 11E1 5 2 4 11E2 2 4 4 10E3 10 2 2 14

Page 12: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090025_4_8618.pdf · stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh

12

Menurut Rukyani (1992) penyakit yang diakibatkan Vibrio harveyi bersifat

sangat akut dan ganas karena dapat mematikan populasi benih udang yang terserang

dalam waktu 1 sampai 3 hari sejak awal dampak. Pengamatan penginfeksian udang

galah dilakukan selama 3 hari dan selama 5 hari setelah masa pemeliharaan tidak

didapatkan angka mortalitas yang disebabkan oleh Vibrio harveyi yang masih tersisa.

Pada perlakuan A terdapat kematian yang tinggi setelah kohabitasi selama

24jam berlangsung. Kematian tertinggi diduga pada udang yang telah di infeksikan

terlebih dahulu dan juga sebagian lagi merupakan kematian dari udang hasil

perlakuan pemberian pakan. Udang yang telah dikohabitasi sebelumnya selama 48

jam di tempat terpisah mampu menginfeksi udang yang ada di wadah perlakuan A

sehingga udang banyak mengalami kematian pada waktu 24 jam dibandingkan

dengan perlakuan yang lain. Setelah kohabitasi selama 48 jam di toples perlakuan,

masih terdapat kematian yang cukup banyak dari sisa udang yang masih hidup

sebelumnya. Kematian yang tertinggi terdapat pada perlakuan A1 yakni sebanyak 8

ekor udang. Hal tersebut diduga pada waktu 48 jam tersebut, bakteri Vibrio harveyi

sudah mulai menyerang udang galah sehingga sudah dapat menyebabkan kematian

karena tidak ada penanganan atau pengobatan di perlakuan A (Gambar 10). Kematian

setelah kohabitasi selama 72 jam masih terjadi dengan jumlah yang banyak dilihat

dari sisa udang yang masih tersisa di hari sebelumnya.

Gambar 10. Udang yang mati karena Vibrio harveyi

Page 13: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090025_4_8618.pdf · stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh

13

Pada perlakuan 30 ppm terdapat kematian yang lebih rendah dibandingkan

dengan perlakuan A. Pada waktu kohabitasi 24 jam pertama terjadi kematian yang

cukup tinggi dari setiap perlakuan pemberian ekstrak dalam pakan sebanyak 30

mg/kg ini. Kematian diduga berasal dari udang yang ditambahkan ke wadah-wadah

perlakuan B, penyebab kematian itu sendiri diduga karena udang yang terinfeksi

sudah mengalami penurunan tingkat nafsu makan apabila dilihat dari lambung udang

yang terlihat transparan. Setelah 48 jam kohabitasi kematian udang mengalami

penurunan bila dibandingkan dengan pada saat kohabitasi selama 24 jam. Hal

tersebut diduga karena ekstrak daun nimba yang ada di dalam tubuh udang sudah

mampu mengatasi infeksi bakteri Vibrio harveyi sehingga udang masih dapat

bertahan hidup walaupun terdapat bakteri di media hidupnya. Pada kohabitasi jam ke-

72 hanya terdapat 1 – 3 ekor udang saja yang mati, hal tersebut diduga ekstrak yang

ada di dalam tubuh udang dan di media hidup udang sudah mampu mengurangi

keberadaan bakteri Vibrio harveyi sehingga udang sudah mampu hidup dan

beregenerasi kembali.

Kematian yang terjadi pada waktu kohabitasi selama 24 jam di perlakuan 60

ppm masih terjadi paling tinggi 12 ekor pada perlakuan C2. Pada perlakuan ini

ekstrak yang dimakan oleh udang sudah mampu menghambat infeksi bakteri

walaupun masih belum maksimal, bahkan udang yang telah terinfeksi sebelumnya

tidak langsung mati pada saat di kohabitasikan ke dalam toples perlakuan. Hal

tersebut diduga bahwa sebagian ekstrak yang terlarut dalam air memiliki peran

sebagai zat antibakteri sehingga udang yang telah terjangkit sebelumnya bisa

bertahan hidup. Pada masa kohabitasi 48 jam dan 72 jam kematian udang hanya

maksimal 2 ekor setiap harinya. Hal tersebut diduga konsentrasi ekstrak yang

terkandung di dalam pakan dan sebagian ekstrak yang terlarut sudah mampu

menghambat pertumbuhan Vibrio harveyi namun belum mampu menghilangkan

keberadaan bakteri tersebut sepenuhnya. Terbukti bahwa masih adanya udang yang

Page 14: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090025_4_8618.pdf · stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh

14

mati diduga karena serangan bakteri Vibrio harveyi masih terjadi dan masih terdapat

di media pemeliharaan.

Pada perlakuan 90 ppm dan 120 ppm terdapat jumlah kematian yang paling

sedikit dibandingkan dengan perlakuan lain. Pada masa kohabitasi selama 24 jam

pertama, udang yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi tidak mengalami kematian

seluruhnya. Hal tersebut terbukti apabila dilihat dari jumlah udang yang telah

terinfeksi sebanyak 15 ekor yang dimasukan ke dalam toples perlakuan D dan E tidak

semuanya mati. Konsentrasi sebanyak 90 dan 120 ppm terserap sebagian ke dalam

pakan dan sebagian ekstrak yang terlarut dalam air menyebabkan zat anti bakteri

spesifik terhadap Vibrio harvey sehingga udang yang terinfeksi sebelumnya diduga

pulih dan terobati oleh ekstrak yang ada di air. Sikka (2009) menyebutkan bahwa

kandungan azadirachtin memiliki efek terhadap bakteri menghasilkan stimulan

spesifik berupa reseptor kimia (chemoreseptor) pada bagian mulut (mouth part) yang

bekerja bersama-samadengan reseptor kimia yang mengganggu persepsi rangsangan

untuk makan (phagostimulant). Lebih lanjut efek imunostimulan tersebut dapat

menghentikan proses metabolisme bakteri sehingga bakteri tersebut mati.

Udang galah yang mati karena serangan bakteri Vibrio harveyi tidak dimakan

oleh udang lainnya (Gambar 9). Udang yang mati karena bakteri akan mengendap di

dasar wadah hingga berubah warna menjadi putih susu dan kemudian kemerahan

(Gambar 10). Berbeda dengan udang yang mati bukan karena bakteri akan memiliki

warna yang lebih gelap dan kusam dibandingkan dengan udang yang hidup. Udang

yang hidup akan terlihat transparan.

Sebagian ekstrak dapat terlarut dalam air karena terdapat sisa pakan yang

cukup banyak pada formulasi pakan 90 dan 120 ppm. Ekstrak yang terlarut dalam air

ini justru menjadi obat bagi udang yang sudah terinfeksi bakteri. Akan tetapi pada

masa kohabitasi 72 jam terdapat peningkatan jumlah kematian dari masa kohabitasi

48 jam. Hal tersebut diduga bahwa semakin banyak ekstrak yang terdapat di air dan

semakin lama waktu kohabitasi atau waktu perlakuan akan menyebabkan kandungan

zat aktif ekstrak daun nimba yaitu saponin menjadi terakumulasi di dalam air,

Page 15: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090025_4_8618.pdf · stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh

15

sehingga saponin dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan toksisitas pada

udang. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Lukistyowati (2011) bahwa saponin

merupakan golongan senyawa glikosida yang dapat menimbulkan busa bila dikocok

dalam air dan dapat menyebabkan hemolisis eritrosit dan dapat bersifat racun pada

hewan akuatik/ikan. Saponin masuk ke dalam peredaran darah melalui insang, ketika

mengambil oksigen dari air, saponin masuk ke dalam tubuh dan mengikat

hemoglobin sehingga menyebabkan ikan kekurangan darah dan dapat menyebabkan

kematian (Gambar 11).

Gambar 11. Udang yang mati karena Vibrio harveyi dan mati bukan karena bakteri

4.3 Pengamatan Abnormalitas

4.3.1 Reaksi Terhadap Pakan

Perubahan kebiasaan udang galah dengan lingkungan baru ataupun dengan

penggantian/penambahan bahan lain ke dalam pakan sedikit banyak akan merubah

kebiasaan udang. Udang akan melakukan adaptasi terhadap lingkungan nya yang baru

dan juga akan beradaptasi dengan sumber makanan yang tersedia di lingkungannya

yang baru tersebut. Menurut Effendi (2006), kelangsungan hidup sangat ditentukan

oleh ketersediaan makanan (Tabel 5). Berikut adalah tabel respon udang galah

terhadap pakan dilihat dari respon pada saat pemberian pakan.

Page 16: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090025_4_8618.pdf · stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh

16

Tabel 5. Skoring Respon Udang Galah Terhadap Pakan yang Diberikan

PerlakuanRespon Terhadap Pakan (hari ke-)

1 2 3A1 (0 mg/kg) +++ +++ +++

A2 +++ +++ +++A3 +++ +++ +++

B1 (30 mg/kg) +++ +++ +++B2 +++ +++ +++B3 +++ +++ +++

C1 (60 mg/kg) ++ ++ ++C2 ++ ++ ++C3 ++ ++ ++

D1 (90 mg/kg) ++ ++ ++D2 ++ ++ ++D3 ++ ++ ++

E1 (120 mg/kg) + + +E2 + + +E3 + + +

Ket :

+++ = Sangat responsif, udang langsung mendekati pakan.

++ = Responsif, udang mendekati pakan beberapa saat setelah diberikan.

+ = Kurang responsif, udang tidak langsung mendekati pakan.

Pada perlakuan tanpa pemberian ekstrak dan pemberian konsentrasi 30 mg/kg

ke dalam pakan, respon udang sangat responsif pada saat pakan diberikan. Pakan

yang diberikan pada pukul 08.00, 14.00, dan pukul 20.00. Udang paling responsif

pada interval pemberian pakan terjauh yakni pada saat pemberian pakan pukul 08.00.

Page 17: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090025_4_8618.pdf · stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh

17

Pada dosis pemberian 30 mg/kg pakan tidak memberikan pengaruh terlalu besar

terhadap rasa sehingga udang masih menyukai dan memakan pakan.

Respon udang galah terhadap pakan dipengaruhi oleh kadar tanin yang

terkandung dalam daun nimba. Senyawa tanin menyebabkan rasa pahit dan sepat

pada pakan yang diberi ekstrak. Kenyataan tersebut sesuai dengan pernyataan Beihl

(1984) bahwa terdapat kelompok senyawa kimia yang tidak mudah menguap sebagai

penyebab rasa pahit dan sepat diantaranya theibromin, kafein dan tannin.

Perlakuan 60 dan 90 mg/kg ekstrak ke dalam pakan memberikan hasil respon

udang menjadi berkurang terhadap pakan yang diberikan. Pakan yang diberikan tidak

langsung dimakan oleh udang, tetapi pakan baru dimakan beberapa saat setelah

pemberian pakan. Hal tersebut diduga bahwa pemberian dengan dosis 60 dan 90 ini

dinilai sudah berpengaruh terhadap rasa ataupun aroma khas dari pakan yang

diberikan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Makkar (1993) dalam Sujarnoko

bahwa terdapat kandungan tanin yang menimbulkan perubahan terhadap rasa bahan

campuran pakan sehingga mengurangi napsu makan udang. Kenyataan ini ditunjukan

dari respon udang yang lambat terhadap pakan akibat menurunnya napsu makan

udang.

Terjadi penurunan respon udang terhadap pakan pada konsentrasi 120 mg/kg

pakan. Selama 1 hingga 2 jam setelah pemberian pakan, udang masih belum bergerak

ataupun terlihat sedang makan. Akan tetapi hepatopankreas udang tetap berwarna

cokelat pada saat pemberian pakan yang berikutnya. Warna cokelat tersebut sesuai

dengan warna pakan yang di berikan, artinya walaupun pakan tidak langsung

dimakan udang tersebut tetap memakan pakan yang diberikan.

4.3.2 Perubahan Fisik dan Pergerakan

Page 18: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090025_4_8618.pdf · stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh

18

Pemberian atau penginfeksian bakteri Vibrio harveyi terhadap udang galah

memberikan beberapa perubahan yang terlihat. Diantaranya dari perut atau

temboloknya berwarna transparan karena nafsu makan udang tersebut menjadi

berkurang. Udang yang terlihat tidak makan akan terus berada di dasar dan respon

terhadap reaksi kaget pun tidak sereaktif udang yang sehat atau tidak terjangkit

bakteri. Pada malam hari hanya sedikit pergerakan mencari makan. Udang tetap

berdiam di tempatnya walaupun sudah diganggu.

Terdapat beberapa pergerakan yang tidak biasa dari beberapa udang yang

terinfeksi bakteri. Diantaranya udang yang berenang berputar, tidak dapat berenang

lurus ke depan. Beberapa udang yang berenang berputar terlihat ada luka di bagian

pangkal ekor sehingga udang tidak dapat menstabilkan diri pada saat berenang.

Sehingga beberapa udang yang terserang tidak dapat mencari makan di kolom badan

air dan hanya bisa memperoleh makanan yang tersedia di dasar akuarium.

Udang yang diambil dari akuarium stok untuk di infeksikan bakteri Vibrio

harveyi mengalami kematian total pada hari ke-4 setelah bakteri dimasukan. Pusat

Penelitian Budidaya Udang di Probolinggo (dalam Agus 2003) mengatakan bahwa

udang yang terserang bakteri pathogen disertai kematian massal maupun parsial,

selalu ditemukan bakteri Vibrio harveyi dengan kepadatan 105 sel/ml. Sesuai

pernyataan tersebut bakteri yang dimasukan dalam 10 liter air yang berisi udang

adalah sebanyak 100ml dengan kepadatan 1,03 x 109menyebabkan kematian masal.

4.4 Kualitas Air

4.4.1 Suhu

Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkungannya.

Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan dan

Page 19: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090025_4_8618.pdf · stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh

19

kelangsungan hidup ikan (Effendi 2004). Selama penelitian dilakukan pengukuran

beberapa parameter kualitas air yaitu salah satunya suhu.

Suhu selama penelitian berkisar antara 29 - 310C masih berada dalam tingkat

kelayakan untuk pemeliharaan udang galah. Kisaran suhu tersebut masih optimum

bagi udang karena pada kisaran suhu tersebut metabolisme udang dapat berlangsung

dengan baik. Udang galah dapat hidup pada kisaran suhu yang lebar yaitu 28 - 330C.

Suhu optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan berada pada kisaran 29 -

300C.

4.4.2 pH

Faktor kualitas air lain yang mempengaruhi adalah derajat keasaman (pH) air.

Nilai pH selama penelitian berkisar antara 7,00-7,90. Nilai kisaran pH tersebut masih

layak bagi pertumbuhan udang galah. New MB (1985) menyatakan pH optimum bagi

udang galah berkisar 7,0-8,5. Kordi (2001) dalam Aliatunnisa (2008), menyatakan

bahwa perairan dengan pH rendah dapat mengakibatkan aktifitas tubuh menurun atau

ikan menjadi lemah, lebih mudah terkena infeksi dan biasanya di ikuti dengan tingkat

mortalitas tinggi.

4.4.3 Oksigen Terlarut (DO)

Kandungan oksigen terlarut selama penelitian berkisar antara 4,56 - 5,91

mg/L. Kandungan oksigen tersebut layak untuk kelangsungan hidup dan

pertumbuhan udang galah. Menurut New MB (2002) kandungan oksigen terlarut

yang optimal untuk udang galah berkisar 3-7 mg/liter, dan menimbulkan stress jika di

bawah 2 mg/liter. Menurut Mulyanto (1992) dalam Pertiwi (2011), jika kandungan

oksigen terlalu rendah, maka berakibat turunnya nafsu makan, dan jika nilainya

sangat rendah dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan konsumsi pakan

dan pertumbuhan terhenti.

4.4.4 Amonia

Page 20: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090025_4_8618.pdf · stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh

20

Kandungan amonia dalam media hidup udang galah selama penelitian

berkisar antara 0 – 0,25 ppm. Kadar amonia pada minggu pertama penelitian adalah 0

ppm. Terjadi peningkatan kadar amonia pada minggu ke-2 menjadi 0,25 ppm pada

seluruh media hidup udang galah. Namun, pada minggu ke-3 tidak terjadi

peningkatan kadar amonia dalam air. Peningkatan kadar amonia terjadi karena tidak

adanya pergantian air secara total pada saat penyiponan. Penyiponan hanya

menggantikan sekitar 10% dari seluruh total air yang ada. Sehingga terjadi akumulasi

amonia di dalam media hidup udang pada saat penelitian. Menurut New MB (2002)

menyatakan bahwa kandungan amonia yang optimal bagi budidaya udang galah

adalah < 0.3 ppm.