bab iv hasil dan pembahasan 4.1 penelitian pendahuluan...
TRANSCRIPT
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Pendahuluan
4.1.1 Kultur Bakteri Vibrio harveyi
Isolat bakteri Vibrio harveyi murni diperoleh dari Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau Jepara (BBPBAP Jepara) diperbanyak menggunakan media
padat menggunakan media TSA (Tryptic Soy Agar). Hal ini sesuai menurut
pernyataan Edigius (1987) bahwa bakteri Vibrio dapat tumbuh di medium TGY
(Tryptone Glucise Yeast), medium BHI (Broth Heart Infusion), TSA (Tryptic Soy
Agar) dan NA (Nutrient Agar). Bakteri Vibrio harveyi yang digunakan adalah bakteri
yang memiliki umur 24 jam setelah kultur dilakukan. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Frazier dan Westhoff (1981) bahwa faktor yang mempengaruhi aktivitas
mikroba adalah umur dan asal usul isolat bakteri. Perbanyakan isolat murni Vibrio
harveyi bisa dilakukan dengan menginokulasi isolat tersebut ke dalam petridisk berisi
medium agar dengan metode gores.
Hasil kultur dengan metode gores berada pada agar di petridisk sebanyak 3
buah (Gambar 6). Perlakuan yang dilakukan untuk memperoleh memperoleh
kepadatan bakteri 1,1 x 109 cfu diperoleh dari 3 petridisk yang kemudian diinkubasi
pada suhu 32oC.untuk kultur tersebut.
Gambar 6. Hasil Kultur Vibrio harveyi Menggunakan Media (agar) Padat
1
2
Pertumbuhan koloni bakteri harus dipertahankan dan untuk ini diperlukan
stabilitas suhu dalam kisaran 32oC seperti yang telah diperoleh dari hasil kultur
biakan bakteri Holt and Krieg (1984) bahwa Vibrio harveyi mampu tumbuh optimal
pada suhu 30o – 32o C. Bakteri Vibrio harveyi memiliki kemampuan luminescent
dimana menurut Rheinheimer (1991) sebagian besar bakteri luminescent terjadi
proses metabolisme pada konsentrasi garam 0 – 4 %. Penggunaan air laut dalam
pembuatan media kultur dilakukan berdasarkan lingkungan optimum bakteri Vibrio
harveyi dapat tumbuh dengan optimum. BBPBAP Jepara (2013) berpendapat bahwa
bakteri Vibrio harveyi ini akan mengalami kehilangan kemampuannya untuk
menghasilkan luminescent apabila stadia umur nya melebihi 24 jam setelah kultur
serta cahaya yang dihasilkan akan meredup apabila sudah berpindah media (dari
media kultur ke media air).
4.1.2 Uji Zona Bening (in vitro)
Tujuan uji zona bening adalah untuk mengetahui efektifitas antibakteri yang
terkandung dalam ekstrak daun nimba terhadap bakteri Vibrio harveyi. Keberadaan
senyawa antibakteri dapat diketahui dari zona bening yang dihasilkan di sekitar kertas
cakram yang telah diberikan ekstrak daun nimba.
3
Gambar 7. Prosedur Uji Zona Hambat atau Bening
Hasil zona bening yang terbentuk dari perlakuan konsentrasi ekstrak daun
nimba 0, 10, 100, 1.000, 10.000, dan 100.000 ppm menghasilkan hasil zona hambat
terbesar pada konsentrasi 10 ppm dan 100.000 ppm masing-masing sebesar 11,32 mm
dan 12,70 mm (Lampiran 2). Hasil ini juga lebih mempertegas pendapat Nursal et al.
(1998) bahwa dengan konsentrasi ekstrak yang semakin tinggi maka kemampuan
antibakterial juga semakin besar.
Dari hasil uji fitokimia yang telah dilakukan sebelumnya didapatkan bahwa
pada ekstrak daun nimba terdapat senyawa flavonoid dan saponin. Hasil positif uji
flavonoid dibuktikan dengan adanya dua lapisan pada saat akhir penambahan reagen
yaitu terbentuk dua lapisan cairan yang berwarna bening dan kuning. Uji positif
saponin dibuktikan oleh adanya busa yang stabil dan tidak langsung hilang pada saat
perendaman dalam penangas air. Menurut Robinson (1995) adanya busa yang
terbentuk dari hasil uji saponin dikarenakan pembentukan senyawa adisi yang tidak
larut dalam air disebabkan pemberian sumber kolesterol.
4
Zona hambat tersebut membuktikan bahwa dalam ekstrak daun nimba
terkandung antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan dan membunuh bakteri
Vibrio harveyi. Antimikroba pada ekstrak daun nimba terdapat flavonoid dan tanin
yang berfungsi sebagai antibakteri. Menurut Naim (2004) senyawa flavonoid dapat
merusak membran sitoplasma sel sehingga tidak berlangsungnya transport senyawa
dan ion kedalam sel bakteri sehingga bakteri mengalami kekurangan nutrisi yang
diperlukan bagi pertumbuhannya dan akhirnya bakteri akan mati. Tanin yang
merupakan senyawa fenol yang memiliki kemampuan berikatan dengan atom H dari
protein sehingga protein terdenaturasi dan mengakibatkan terganggunya proses
metabolisme serta pertumbuhan sel bakteri sehingga menyebabkan sel mati. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Katzung 1989 (dalam Sipahutar 2000) bahwa ada
beberapa mekanisme kerja senyawa antimikroba yakni penghambatan sintesis
dinding sel, perubahan transpor aktif melalui membran sel, penghambatan sintesis
protein dan penghambatan sintesis asam nukleat.
Gambar 8. Hasil Zona Bening Ekstrak Daun Nimba pada konsentrasi 10 ppm.
Terbentuknya zona hambat bebas bakteri di sekitar kertas cakram,
membuktikan adanya daya kerja antimikrobial (Lay 1994). Uji antibakteri ini juga
dilakukan oleh Effendi dan Suhardi (1998) melalui antibaktreial mangrove
Rhizophora aapiculata, Avicenia alba, Brugulera gymnorrhiza, dan Nypa fructicans
terhadap Vibrio harveyi dan Vibrio parahaemolyticus.
5
Ada beberapa mekanisme kerja senyawa antimikroba yakni : penghambatan
sintesis dinding sel, perubahan transpor aktif melalui membran sel, penghambatan
sintesis protein yaitu penghambatan penerjemahan dan transkripsi material genetik,
dan penghambatan sintesis asam nukleat. Membran sel yang tersusun dari protein dan
lipid rentan terhadap zat kimia yang dapat menurunkan tegangan permukaan.
Kerusakan membran sel menyebabkan tidak berlangsungnya transport senyawa dan
ion ke dalam sel bakteri sehingga bakteri mengalami kekurangan nutrisi yang
diperlukan bagi pertumbuhannya dan mati (Katzung 1989 dalam Sipahutar 2000).
4.1.3 Hasil Uji LC50 Ekstrak Daun Nimba Terhadap Udang Galah
Uji LC50 dilakukan untuk mengetahui sejauh mana ekstrak daun nimba
menyebabkan 50 % kematian pada hewan uji, yakni udang galah (Tabel 1). Berikut
hasil uji LC50-48 jam ekstrak daun nimba terhadap udang galah :
Tabel 1. Hasil Uji LC50-48 jamKonsentrasi Mortalitas Pada Jam Ke- Total Total
0 612 18 24 30 36 42 48 Mortalitas Hewan Uji
10 ppm 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2050 ppm 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 20
100 ppm 0 0 0 0 0 2 1 1 0 4 20300 ppm 0 0 0 2 3 3 3 2 3 16 20
6
Pada konsentrasi 10 dan 50 ppm tidak terdapat kematian udang galah akibat
ekstrak yang ada di perairan. Hal ini menunjukan bahwa udang galah masih dapat
mentoleransi kandungan zat toksik yang terkadung dalam ekstrak daun nimba pada
konsentrasi 10 dan 50 ppm. Selain itu, pada pemberian konsentrasi 10 dan 50 ppm ke
dalam media hidup udang galah tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan
warna air, pH, DO serta tidak berpengaruh terhadap tingkat nafsu makan.
Pada pemberian konsentrasi 100 ppm ke dalam air, mortalitas mulai terjadi
pada saat 30 jam perendaman. Hal tersebut diduga zat toksik yang ada pada daun
nimba mulai menyebabkan kondisi air pada media hidup berubah. Perubahan yang
terjadi karena kandungan saponin yang mengalami pengaerasian yang cukup lama
dan karena aerasi yang cukup besar. Najib (2009) mengatakan bahwa saponin
umumnya berasa pahit dan dapat membentuk buih saat dikocok dengan air. Selain itu
juga dalam konsentrasi tertentu saponin bersifat beracun untuk beberapa hewan.
Kandungan saponin yang terdapat dalam air ditandakan oleh adanya busa yang
terdapat di permukaan air. Selain terdapat kandungan saponin, juga terjadi perubahan
warna air menjadi kuning kehijauan, tapi tidak merubah pH dan DO. Kematian yang
terjadi pada pemberian konsentrasi 100 ppm ini tidak menyebabkan kematian masal.
Toksisitas dari saponin dapat merendahkan tegangan permukaan dengan hidrolisis
lengkap akan dihasilkan sapogenin (Kim 1989). Kematian yang terjadi hingga waktu
48 jam perendamaan hanya mengakibatkan kematian sebanyak 20% dari total hewan
uji.
Pada konsentrasi 300 ppm terjadi kematian sebanyak 80% dari total hewan
uji, yakni sebanyak 16 ekor udang mati dari 20 ekor udang yang diuji. Hal tersebut
dikarenakan jumlah zat toksik yang ada di perairan sudah melebihi batas aman bagi
udang sehingga udang tidak mampu mentoleransi zat toksik yang ada di perairan
sehingga menyebabkan udang tersebut mati.
7
Berdasarkan hasil uji toksik yang telah dilakukan, didapat hasil bahwa
konsentrasi 100 ppm masih dapat ditoleransi oleh udang yakni mampu bertahan dan
bersisa 80% dari total hewan uji dan pada konsentrasi 300 ppm udang hanya mampu
bertahan dan bersisa 20% dari total hewan uji. Kenyataan ini membuktikan bahwa
konsentrasi yang dapat membunuh hewan uji sebanyak 50% (Lc-50) berada diantara
100 ppm hingga 300 ppm. Untuk mendapatkan presisi yang lebih tepat digunakan
software Epa Probit (Tabel 2)
Tabel 2. Analisis Epa Probit Ekstrak Daun Nimba Terhadap Udang Galah
Exposure 95% Confidence Limits
Point Conc. Lower UpperLC/EC 1.00 45.275 8.48 77.24
LC/EC 5.00 67.559 20.379 103.573LC/EC 10.00 83.629 32.066 122.836
LC/EC 15.00 96.584 43.089 139.273LC/EC 50.00 177.537 120.377 295.547
LC/EC 85.00 326.34 217.355 970.372
LC/EC 90.00 376.895 243.0091322.37
5LC/EC 95.00 466.548 284.475 2108.04
LC/EC 99.00 696.176 376.8315128.11
9
Data diatas menunjukan hasil LC50 sebesar 177,537 ppm, yang artinya bahwa
ekstrak daun nimba dapat menyebabkan kematian sebesar 50% dari total udang galah
yang di uji yaitu pada konsetrasi 177 ppm.
4.2 Tingkat Kelangsungan Hidup
8
4.2.1 Rata-rata Kelangsungan hidup
Tingkat kelangsungan hidup merupakan total organisme yang mampu hidup
hingga waktu yang ditentukan dalam suatu percobaan atau penelitian. Menurut
Mudjiman (1998), tingkat kelangsungan hidup dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor
yang berhubungan dengan ikan itu sendiri seperti umur dan genetika yang meliputi
keturunan, kemampuan untuk memanfaatkan makanan dan ketahanan terhadap
penyakit. Faktor eksternal merupakan faktor yang berkaitan dengan lingkungan
tempat hidup yang meliputi sifat fisika dan kimia air, ruang gerak dan ketersediaan
makanan dari segi kualitas dan kuantitas.
Pengaruh inokulasi bakteri Vibrio harveyi 105 cfu/ml pada media pemeliharaan
terhadap tingkat kelangsungan hidup larva udang galah yang telah diberikan pakan
komersil yang dicampur dengan ekstrak daun nimba dengan konsentrasi yang
berbeda yakni 30 ppm, 60 ppm, 90 ppm, 120 ppm dan kontrol telah memberikan hasil
uji statistik pada selang kepercayaan 95% menunjukan bahwa terdapat perbedaan
yang nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup antara kontrol dengan perlakuan.
Hasil dari uji statistik menunjukan bahwa pemberian ekstrak dengan konsentrasi 90
ppm dan 120 ppm menghasilkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi (Tabel 3).
Tabel 3. Rata-rata Kelangsungan Hidup Benih Udang Galah Setelah Diinfeksi Vibrio harveyi pada Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Nimba.
Perlakuan
Perlakuan Rata-rata Kelangsungan Hidup(mg/Kg pakan) (%)
A Kontrol (0 mg) 25.55 aB 30 mg/kg 41.11 bC 60 mg/kg 57.78 cD 90 mg/kg 65.56 cE 120 mg/kg 61.11 c
9
Perlakuan A (kontrol) adalah perlakuan untuk udang galah yang tidak
diberikan ekstrak daun nimba memberikan angka kelangsungan hidup terendah
sebesar 25,55%. Kwang (1996) dalam Salfira (1998) menyebutkan bahwa sistem
kekebalan tubuh udang masih sederhana, dimana udang tidak mempunyai sistem
pertahanan yang berperan dalam mekanisme tubuh yang berfungsi sebagai anti
bakteri yang masuk atau menyerang udang dari dalam. Pakan udang yang tidak diberi
ekstrak menyebabkan udang lebih mudah terinfeksi bakteri Vibrio harveyi
dibandingkan dengan udang yang diberi pakan dengan campuran ekstrak daun nimba.
Pada perlakuan B yakni pada pemberian ekstrak daun nimba dengan dosis 30
mg/kg pakan didapatkan hasil kelangsungan hidup sebesar 41,11%. Persentase
tersebut berbeda lebih tinggi dari angka kelangsungan hidup pada perlakuan A tanpa
pemberian ekstrak ke dalam pakan. Lee dan Soderhall (2002) menyatakan bahwa
udang mempunyai sistem ketahanan alami yang cepat dan efisien sebagai pelindung
dari mikroorganisme penyerang dimana jumlah dan tingkat respon terhadap patogen
yang masuk masih terbatas. Lebih lanjut lagi pemberian pakan dengan campuran
ekstrak sebanyak 30 mg/kg pakan mulai memberikan ketahanan terhadap udang galah
dari serangan bakteri Vibrio harveyi dilihat dari menurunnya tingkat kematian pada
udang yang diberikan ekstrak dengan yang tidak diberi ekstrak pada pakan yang
diberikan.
Pada perlakuan C persentase kelangsungan hidup mengalami peningkatan
sebanding dengan peningkatan ekstrak yang di berikan yakni pada konsentrasi
pemberian 60 mg/kg ekstrak daun nimba. Terdapat perbedaan persentase tingkat
kelangsungan hidup antara perlakuan A dan perlakuan C sehingga bisa dikatakan
bahwa perlakuan C memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan A.
Persentase pada perlakuan C sebesar 57,78% menunjukan bahwa konsentrasi ekstrak
yang lebih banyak diberikan daripada perlakuan B memberikan kelangsungan hidup
terhadap infeksi bakteri Vibrio harveyi lebih tinggi.
10
Perlakuan D dan E memberikan kelangsungan hidup rata-rata masing-masing
sebesar 65,56% dan 61,11% dimana perlakuan D tidak memberikan pengaruh yang
berbeda dengan perlakuan E. Hal ini diduga pada konsentrasi 90 dan 120 mg, ekstrak
daun nimba telah mampu membunuh Vibrio harveyi dengan cara merusak dinding sel
Vibrio harveyi. Perlakuan D memberikan angka kelangsungan hidup yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan yang lain, diduga karena konsentrasi ekstrak daun
nimba yang semakin tinggi maka kandungan antibakteri dari ekstrak pun akan
semakin tinggi pula. Namun, pada kisaran konsentrasi antara 90 hingga 120 ppm
terjadi penurunan angka tingkat kelangsungan hidup. Hal tersebut diduga karena
pakan tidak seluruhnya dimakan oleh udang dan terbukti dari sisa pakan yang
mengendap pada toples perlakuan konsentrasi E yang lebih banyak daripada
perlakuan lainnya. Terlebih lagi karena konsentrasi yang tinggi menyebabkan
toleransi udang galah dalam menyerap kandungan zat aktif yang terdapat dalam
pakan terbatas, sehingga pada konsentrasi yang lebih besar dari 90 ppm menyebabkan
menurunnya tingkat kelangsungan hidup. Sebagaimana dikatakan oleh Lorenzon et
al. (1999) bahwa udang memiliki ketahanan yang terbatas dan ketahanan udang dapat
dilihat berdasarkan respon yang dihasilkan akibat adanya gangguan dari luar yang
bisa berupa perubahan kualitas air.
Pemberian ekstrak sebesar 90 mg/kg pakan mampu meningkatkan
kelangsungan hidup udang yang terinfeksi Vibrio harveyi, namun belum mampu
memberikan kelangsungan hidup yang maksimal. Diduga, untuk menghambat Vibrio
harveyi yang menyerang udang diperlukan konsentrasi ekstrak yang lebih tepat
karena terdapat hubungan langsung antara ekstrak dengan bakteri, karena pemberian
ekstrak yang dengan cara penyemprotan memiliki fungsi ganda. Sebagian ekstrak
menyerap ke dalam pakan yang nantinya dimakan oleh udang sehingga menambah
tingkat ketahanan udang dari dalam tubuh. Sedangkan sebagian lagi ekstrak yang
tidak menyerap secara sempurna lepas dan larut dalam air sehingga asumsinya dapat
menghambat perkembangan dan penginfeksian Vibrio harveyi pada udang yang sehat.
(Gambar 9)
11
Gambar 9. Udang yang mati bukan karena Vibrio harveyi
4.2.2 Kelangsungan Hidup pada Masa Kohabitasi
Kematian udang galah mulai dari proses kohabitasi dengan udang yang telah
di infeksikan dengan Vibrio harveyi mulai mengalami kematian sejak hari pertama.
Udang yang mati bertambah setiap harinya (Tabel 4). Pengamatan angka
kelangsungan hidup dilakukan selama 3 hari. Tabel 4. Mortalitas Udang Galah
Selama Masa Kohabitasi
PerlakuanMortalitas Total Mortalitas
24 Jam 48 jam 72 jam (ekor)A1 11 6 5 22A2 13 4 9 22A3 18 1 4 23B1 15 2 2 19B2 11 2 2 15B3 17 0 1 18C1 9 2 1 12C2 12 1 1 14C3 10 1 1 12D1 9 0 1 10D2 6 1 3 10D3 7 2 2 11E1 5 2 4 11E2 2 4 4 10E3 10 2 2 14
12
Menurut Rukyani (1992) penyakit yang diakibatkan Vibrio harveyi bersifat
sangat akut dan ganas karena dapat mematikan populasi benih udang yang terserang
dalam waktu 1 sampai 3 hari sejak awal dampak. Pengamatan penginfeksian udang
galah dilakukan selama 3 hari dan selama 5 hari setelah masa pemeliharaan tidak
didapatkan angka mortalitas yang disebabkan oleh Vibrio harveyi yang masih tersisa.
Pada perlakuan A terdapat kematian yang tinggi setelah kohabitasi selama
24jam berlangsung. Kematian tertinggi diduga pada udang yang telah di infeksikan
terlebih dahulu dan juga sebagian lagi merupakan kematian dari udang hasil
perlakuan pemberian pakan. Udang yang telah dikohabitasi sebelumnya selama 48
jam di tempat terpisah mampu menginfeksi udang yang ada di wadah perlakuan A
sehingga udang banyak mengalami kematian pada waktu 24 jam dibandingkan
dengan perlakuan yang lain. Setelah kohabitasi selama 48 jam di toples perlakuan,
masih terdapat kematian yang cukup banyak dari sisa udang yang masih hidup
sebelumnya. Kematian yang tertinggi terdapat pada perlakuan A1 yakni sebanyak 8
ekor udang. Hal tersebut diduga pada waktu 48 jam tersebut, bakteri Vibrio harveyi
sudah mulai menyerang udang galah sehingga sudah dapat menyebabkan kematian
karena tidak ada penanganan atau pengobatan di perlakuan A (Gambar 10). Kematian
setelah kohabitasi selama 72 jam masih terjadi dengan jumlah yang banyak dilihat
dari sisa udang yang masih tersisa di hari sebelumnya.
Gambar 10. Udang yang mati karena Vibrio harveyi
13
Pada perlakuan 30 ppm terdapat kematian yang lebih rendah dibandingkan
dengan perlakuan A. Pada waktu kohabitasi 24 jam pertama terjadi kematian yang
cukup tinggi dari setiap perlakuan pemberian ekstrak dalam pakan sebanyak 30
mg/kg ini. Kematian diduga berasal dari udang yang ditambahkan ke wadah-wadah
perlakuan B, penyebab kematian itu sendiri diduga karena udang yang terinfeksi
sudah mengalami penurunan tingkat nafsu makan apabila dilihat dari lambung udang
yang terlihat transparan. Setelah 48 jam kohabitasi kematian udang mengalami
penurunan bila dibandingkan dengan pada saat kohabitasi selama 24 jam. Hal
tersebut diduga karena ekstrak daun nimba yang ada di dalam tubuh udang sudah
mampu mengatasi infeksi bakteri Vibrio harveyi sehingga udang masih dapat
bertahan hidup walaupun terdapat bakteri di media hidupnya. Pada kohabitasi jam ke-
72 hanya terdapat 1 – 3 ekor udang saja yang mati, hal tersebut diduga ekstrak yang
ada di dalam tubuh udang dan di media hidup udang sudah mampu mengurangi
keberadaan bakteri Vibrio harveyi sehingga udang sudah mampu hidup dan
beregenerasi kembali.
Kematian yang terjadi pada waktu kohabitasi selama 24 jam di perlakuan 60
ppm masih terjadi paling tinggi 12 ekor pada perlakuan C2. Pada perlakuan ini
ekstrak yang dimakan oleh udang sudah mampu menghambat infeksi bakteri
walaupun masih belum maksimal, bahkan udang yang telah terinfeksi sebelumnya
tidak langsung mati pada saat di kohabitasikan ke dalam toples perlakuan. Hal
tersebut diduga bahwa sebagian ekstrak yang terlarut dalam air memiliki peran
sebagai zat antibakteri sehingga udang yang telah terjangkit sebelumnya bisa
bertahan hidup. Pada masa kohabitasi 48 jam dan 72 jam kematian udang hanya
maksimal 2 ekor setiap harinya. Hal tersebut diduga konsentrasi ekstrak yang
terkandung di dalam pakan dan sebagian ekstrak yang terlarut sudah mampu
menghambat pertumbuhan Vibrio harveyi namun belum mampu menghilangkan
keberadaan bakteri tersebut sepenuhnya. Terbukti bahwa masih adanya udang yang
14
mati diduga karena serangan bakteri Vibrio harveyi masih terjadi dan masih terdapat
di media pemeliharaan.
Pada perlakuan 90 ppm dan 120 ppm terdapat jumlah kematian yang paling
sedikit dibandingkan dengan perlakuan lain. Pada masa kohabitasi selama 24 jam
pertama, udang yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi tidak mengalami kematian
seluruhnya. Hal tersebut terbukti apabila dilihat dari jumlah udang yang telah
terinfeksi sebanyak 15 ekor yang dimasukan ke dalam toples perlakuan D dan E tidak
semuanya mati. Konsentrasi sebanyak 90 dan 120 ppm terserap sebagian ke dalam
pakan dan sebagian ekstrak yang terlarut dalam air menyebabkan zat anti bakteri
spesifik terhadap Vibrio harvey sehingga udang yang terinfeksi sebelumnya diduga
pulih dan terobati oleh ekstrak yang ada di air. Sikka (2009) menyebutkan bahwa
kandungan azadirachtin memiliki efek terhadap bakteri menghasilkan stimulan
spesifik berupa reseptor kimia (chemoreseptor) pada bagian mulut (mouth part) yang
bekerja bersama-samadengan reseptor kimia yang mengganggu persepsi rangsangan
untuk makan (phagostimulant). Lebih lanjut efek imunostimulan tersebut dapat
menghentikan proses metabolisme bakteri sehingga bakteri tersebut mati.
Udang galah yang mati karena serangan bakteri Vibrio harveyi tidak dimakan
oleh udang lainnya (Gambar 9). Udang yang mati karena bakteri akan mengendap di
dasar wadah hingga berubah warna menjadi putih susu dan kemudian kemerahan
(Gambar 10). Berbeda dengan udang yang mati bukan karena bakteri akan memiliki
warna yang lebih gelap dan kusam dibandingkan dengan udang yang hidup. Udang
yang hidup akan terlihat transparan.
Sebagian ekstrak dapat terlarut dalam air karena terdapat sisa pakan yang
cukup banyak pada formulasi pakan 90 dan 120 ppm. Ekstrak yang terlarut dalam air
ini justru menjadi obat bagi udang yang sudah terinfeksi bakteri. Akan tetapi pada
masa kohabitasi 72 jam terdapat peningkatan jumlah kematian dari masa kohabitasi
48 jam. Hal tersebut diduga bahwa semakin banyak ekstrak yang terdapat di air dan
semakin lama waktu kohabitasi atau waktu perlakuan akan menyebabkan kandungan
zat aktif ekstrak daun nimba yaitu saponin menjadi terakumulasi di dalam air,
15
sehingga saponin dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan toksisitas pada
udang. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Lukistyowati (2011) bahwa saponin
merupakan golongan senyawa glikosida yang dapat menimbulkan busa bila dikocok
dalam air dan dapat menyebabkan hemolisis eritrosit dan dapat bersifat racun pada
hewan akuatik/ikan. Saponin masuk ke dalam peredaran darah melalui insang, ketika
mengambil oksigen dari air, saponin masuk ke dalam tubuh dan mengikat
hemoglobin sehingga menyebabkan ikan kekurangan darah dan dapat menyebabkan
kematian (Gambar 11).
Gambar 11. Udang yang mati karena Vibrio harveyi dan mati bukan karena bakteri
4.3 Pengamatan Abnormalitas
4.3.1 Reaksi Terhadap Pakan
Perubahan kebiasaan udang galah dengan lingkungan baru ataupun dengan
penggantian/penambahan bahan lain ke dalam pakan sedikit banyak akan merubah
kebiasaan udang. Udang akan melakukan adaptasi terhadap lingkungan nya yang baru
dan juga akan beradaptasi dengan sumber makanan yang tersedia di lingkungannya
yang baru tersebut. Menurut Effendi (2006), kelangsungan hidup sangat ditentukan
oleh ketersediaan makanan (Tabel 5). Berikut adalah tabel respon udang galah
terhadap pakan dilihat dari respon pada saat pemberian pakan.
16
Tabel 5. Skoring Respon Udang Galah Terhadap Pakan yang Diberikan
PerlakuanRespon Terhadap Pakan (hari ke-)
1 2 3A1 (0 mg/kg) +++ +++ +++
A2 +++ +++ +++A3 +++ +++ +++
B1 (30 mg/kg) +++ +++ +++B2 +++ +++ +++B3 +++ +++ +++
C1 (60 mg/kg) ++ ++ ++C2 ++ ++ ++C3 ++ ++ ++
D1 (90 mg/kg) ++ ++ ++D2 ++ ++ ++D3 ++ ++ ++
E1 (120 mg/kg) + + +E2 + + +E3 + + +
Ket :
+++ = Sangat responsif, udang langsung mendekati pakan.
++ = Responsif, udang mendekati pakan beberapa saat setelah diberikan.
+ = Kurang responsif, udang tidak langsung mendekati pakan.
Pada perlakuan tanpa pemberian ekstrak dan pemberian konsentrasi 30 mg/kg
ke dalam pakan, respon udang sangat responsif pada saat pakan diberikan. Pakan
yang diberikan pada pukul 08.00, 14.00, dan pukul 20.00. Udang paling responsif
pada interval pemberian pakan terjauh yakni pada saat pemberian pakan pukul 08.00.
17
Pada dosis pemberian 30 mg/kg pakan tidak memberikan pengaruh terlalu besar
terhadap rasa sehingga udang masih menyukai dan memakan pakan.
Respon udang galah terhadap pakan dipengaruhi oleh kadar tanin yang
terkandung dalam daun nimba. Senyawa tanin menyebabkan rasa pahit dan sepat
pada pakan yang diberi ekstrak. Kenyataan tersebut sesuai dengan pernyataan Beihl
(1984) bahwa terdapat kelompok senyawa kimia yang tidak mudah menguap sebagai
penyebab rasa pahit dan sepat diantaranya theibromin, kafein dan tannin.
Perlakuan 60 dan 90 mg/kg ekstrak ke dalam pakan memberikan hasil respon
udang menjadi berkurang terhadap pakan yang diberikan. Pakan yang diberikan tidak
langsung dimakan oleh udang, tetapi pakan baru dimakan beberapa saat setelah
pemberian pakan. Hal tersebut diduga bahwa pemberian dengan dosis 60 dan 90 ini
dinilai sudah berpengaruh terhadap rasa ataupun aroma khas dari pakan yang
diberikan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Makkar (1993) dalam Sujarnoko
bahwa terdapat kandungan tanin yang menimbulkan perubahan terhadap rasa bahan
campuran pakan sehingga mengurangi napsu makan udang. Kenyataan ini ditunjukan
dari respon udang yang lambat terhadap pakan akibat menurunnya napsu makan
udang.
Terjadi penurunan respon udang terhadap pakan pada konsentrasi 120 mg/kg
pakan. Selama 1 hingga 2 jam setelah pemberian pakan, udang masih belum bergerak
ataupun terlihat sedang makan. Akan tetapi hepatopankreas udang tetap berwarna
cokelat pada saat pemberian pakan yang berikutnya. Warna cokelat tersebut sesuai
dengan warna pakan yang di berikan, artinya walaupun pakan tidak langsung
dimakan udang tersebut tetap memakan pakan yang diberikan.
4.3.2 Perubahan Fisik dan Pergerakan
18
Pemberian atau penginfeksian bakteri Vibrio harveyi terhadap udang galah
memberikan beberapa perubahan yang terlihat. Diantaranya dari perut atau
temboloknya berwarna transparan karena nafsu makan udang tersebut menjadi
berkurang. Udang yang terlihat tidak makan akan terus berada di dasar dan respon
terhadap reaksi kaget pun tidak sereaktif udang yang sehat atau tidak terjangkit
bakteri. Pada malam hari hanya sedikit pergerakan mencari makan. Udang tetap
berdiam di tempatnya walaupun sudah diganggu.
Terdapat beberapa pergerakan yang tidak biasa dari beberapa udang yang
terinfeksi bakteri. Diantaranya udang yang berenang berputar, tidak dapat berenang
lurus ke depan. Beberapa udang yang berenang berputar terlihat ada luka di bagian
pangkal ekor sehingga udang tidak dapat menstabilkan diri pada saat berenang.
Sehingga beberapa udang yang terserang tidak dapat mencari makan di kolom badan
air dan hanya bisa memperoleh makanan yang tersedia di dasar akuarium.
Udang yang diambil dari akuarium stok untuk di infeksikan bakteri Vibrio
harveyi mengalami kematian total pada hari ke-4 setelah bakteri dimasukan. Pusat
Penelitian Budidaya Udang di Probolinggo (dalam Agus 2003) mengatakan bahwa
udang yang terserang bakteri pathogen disertai kematian massal maupun parsial,
selalu ditemukan bakteri Vibrio harveyi dengan kepadatan 105 sel/ml. Sesuai
pernyataan tersebut bakteri yang dimasukan dalam 10 liter air yang berisi udang
adalah sebanyak 100ml dengan kepadatan 1,03 x 109menyebabkan kematian masal.
4.4 Kualitas Air
4.4.1 Suhu
Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkungannya.
Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan dan
19
kelangsungan hidup ikan (Effendi 2004). Selama penelitian dilakukan pengukuran
beberapa parameter kualitas air yaitu salah satunya suhu.
Suhu selama penelitian berkisar antara 29 - 310C masih berada dalam tingkat
kelayakan untuk pemeliharaan udang galah. Kisaran suhu tersebut masih optimum
bagi udang karena pada kisaran suhu tersebut metabolisme udang dapat berlangsung
dengan baik. Udang galah dapat hidup pada kisaran suhu yang lebar yaitu 28 - 330C.
Suhu optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan berada pada kisaran 29 -
300C.
4.4.2 pH
Faktor kualitas air lain yang mempengaruhi adalah derajat keasaman (pH) air.
Nilai pH selama penelitian berkisar antara 7,00-7,90. Nilai kisaran pH tersebut masih
layak bagi pertumbuhan udang galah. New MB (1985) menyatakan pH optimum bagi
udang galah berkisar 7,0-8,5. Kordi (2001) dalam Aliatunnisa (2008), menyatakan
bahwa perairan dengan pH rendah dapat mengakibatkan aktifitas tubuh menurun atau
ikan menjadi lemah, lebih mudah terkena infeksi dan biasanya di ikuti dengan tingkat
mortalitas tinggi.
4.4.3 Oksigen Terlarut (DO)
Kandungan oksigen terlarut selama penelitian berkisar antara 4,56 - 5,91
mg/L. Kandungan oksigen tersebut layak untuk kelangsungan hidup dan
pertumbuhan udang galah. Menurut New MB (2002) kandungan oksigen terlarut
yang optimal untuk udang galah berkisar 3-7 mg/liter, dan menimbulkan stress jika di
bawah 2 mg/liter. Menurut Mulyanto (1992) dalam Pertiwi (2011), jika kandungan
oksigen terlalu rendah, maka berakibat turunnya nafsu makan, dan jika nilainya
sangat rendah dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan konsumsi pakan
dan pertumbuhan terhenti.
4.4.4 Amonia
20
Kandungan amonia dalam media hidup udang galah selama penelitian
berkisar antara 0 – 0,25 ppm. Kadar amonia pada minggu pertama penelitian adalah 0
ppm. Terjadi peningkatan kadar amonia pada minggu ke-2 menjadi 0,25 ppm pada
seluruh media hidup udang galah. Namun, pada minggu ke-3 tidak terjadi
peningkatan kadar amonia dalam air. Peningkatan kadar amonia terjadi karena tidak
adanya pergantian air secara total pada saat penyiponan. Penyiponan hanya
menggantikan sekitar 10% dari seluruh total air yang ada. Sehingga terjadi akumulasi
amonia di dalam media hidup udang pada saat penelitian. Menurut New MB (2002)
menyatakan bahwa kandungan amonia yang optimal bagi budidaya udang galah
adalah < 0.3 ppm.