bab iv hasil dan pembahasan -...

19
34 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelimpahan Sel Chlorella sp. Hasil penelitian menunjukan bahwa kultur Chlorella yang diberi pupuk berupa ekstrak etanol bayam mengalami peningkatan kelimpahan sel yang tinggi dibanding dengan kelimpahan sel Chlorella yang diberi pupuk anorganik (pupuk urea, pupuk ZA dan pupuk TSP). Hal tersebut menandakan bahwa media perlakuan yang diberi ekstrak etanol bayam sebagai substitusi pupuk anorganik lebih baik dalam menghasilkan kelimpahan sel Chlorella. Rerata kelimpahan sel Chlorella selama penelitian pada masing-masing pemberian pupuk perlakuan dapat dilihat pada Gambar 8. (data lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11). Rerata kelimpahan sel Chlorella dengan pemberian ekstrak etanol bayam sebesar 2 mg/l, 5 mg/l dan 8 mg/l terus meningkat hingga hari ke tujuh selama kultur, sedangkan rerata kelimpahan sel Chlorella dengan pemberian ekstrak etanol bayam sebesar 11 mg/l hanya dapat mencapai puncak populasi hingga hari ke enam selama kultur dan untuk perlakuan kontrol, sel Chlorella dapat mencapai puncak populasi hingga hari ke delapan. Gambar 8. Kelimpahan Sel Chlorella Selama Kultur 63,6 x 10 5 41,1 x 10 5 40,1 x 10 5 30,3 x 10 5 26,3 x 10 5

Upload: phamthuan

Post on 21-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

34

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kelimpahan Sel Chlorella sp.

Hasil penelitian menunjukan bahwa kultur Chlorella yang diberi pupuk

berupa ekstrak etanol bayam mengalami peningkatan kelimpahan sel yang tinggi

dibanding dengan kelimpahan sel Chlorella yang diberi pupuk anorganik (pupuk

urea, pupuk ZA dan pupuk TSP). Hal tersebut menandakan bahwa media

perlakuan yang diberi ekstrak etanol bayam sebagai substitusi pupuk anorganik

lebih baik dalam menghasilkan kelimpahan sel Chlorella. Rerata kelimpahan sel

Chlorella selama penelitian pada masing-masing pemberian pupuk perlakuan

dapat dilihat pada Gambar 8. (data lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11).

Rerata kelimpahan sel Chlorella dengan pemberian ekstrak etanol bayam

sebesar 2 mg/l, 5 mg/l dan 8 mg/l terus meningkat hingga hari ke tujuh selama

kultur, sedangkan rerata kelimpahan sel Chlorella dengan pemberian ekstrak

etanol bayam sebesar 11 mg/l hanya dapat mencapai puncak populasi hingga hari

ke enam selama kultur dan untuk perlakuan kontrol, sel Chlorella dapat mencapai

puncak populasi hingga hari ke delapan.

Gambar 8. Kelimpahan Sel Chlorella Selama Kultur

63,6 x 105

41,1 x 105

40,1 x 105

30,3 x 105

26,3 x 105

35

Pencapaian puncak populasi pada perlakuan kontrol lebih lama disebabkan

kandungan unsur hara makro yang terdapat dalam perlakuan kontrol kurang dapat

dioptimalkan dengan baik oleh sel-sel Chlorella untuk melakukan proses

pembelahan sel dan disisi lain, pupuk kontrol (pupuk urea, pupuk ZA dan pupuk

TSP) tidak mengandung unsur hara mikro yang dapat menunjang proses

pembelahan sel Chlorella, sehingga perlakuan kontrol mencapai waktu puncak

populasi yang lebih lama dibandingkan dengan 4 perlakuan yang diberi ekstrak

etanol bayam.

Pada media kultur yang diberi perlakuan ekstrak etanol bayam dapat

mencapai puncak populasi lebih cepat dibandingkan perlakuan kontrol yang diberi

perlakuan pupuk anorgaik, hal ini dikarenakan ekstrak etanol bayam mengandung

unsur hara mikro seperti unsur Fe, Zn dan Mn sebagai penunjang proses

pembelahan sel Chlorella. Emerson dan Lewis (1939) melaporkan bahwa Mn dan

Zn yang terdapat dalam media kultur akan mengefektifkan fotosintesis pada strain

Chlorella sorokiniana. Menurut Bassham (1965), proses fotosintesis yang

berlangsung efektif akan mempengaruhi produk yang dihasilkan, dengan hasil

produk akhir fotosintesis berupa oksigen, glukosa, ATP dan sel-sel baru

Chlorella.

Dalam ekstrak etanol bayam terdapat beberapa vitamin seperti vitamin B1

(thiamin), vitamin B7 (biotin), vitamin B12 (kobalamin), dan vitamin C. Vitamin

berperan penting sebagai stimulan dalam laju perkembangbiakan fitoplankton.

Berdasarkan penelitian Droop (1962), menyatakan bahwa vitamin esensial yang

dibutuhkan bagi perkembangbiakan fitoplankton antara lain yakni vitamin

B1 (thiamin), vitamin B7 (biotin) dan vitamin B12 (kobalamin). Vitamin thiamin

berfungsi dalam reaksi -dekarboksilase dan reaksi transketolase pada proses

katabolisme, dimana proses katabolisme merupakan reaksi penguraian senyawa

kompleks (unsur hara makro) menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan

tujuan untuk menghasilkan ATP (energi) yang digunakan organisme untuk proses

metabolisme sel atau proses pembelahan sel (Campbell 2003). Vitamin biotin

berfungsi dalam sintesis asam lemak dan fiksasi karbondioksida dan vitamin

kobalamin berfungsi untuk sintesis deoksiribosa atau sintesis senyawa protein.

36

Betawati (2007) menjelaskan mengenai mekanisme sintesis protein. Pada tahap

awal protein diuraikan menjadi monomer-monomer penyusunnya, pada akhirnya

akan menjadi asetil Koenzim-A (KoA). Selanjutnya, asetil KoA masuk ke dalam

siklus Krebs, dilanjutkan dengan rantai transpor elektron yang akan menghasilkan

ATP. Energi yang terkandung dalam ATP tersebut digunakan untuk pertumbuhan

dan pembelahan sel Chlorella.

Pada media kultur yang diberi perlakuan ekstrak etanol bayam dengan

konsentrasi sebesar 11 mg/l, memiliki waktu yang lebih cepat untuk memasuki

puncak populasi dibandingkan oleh 3 perlakuan yang diberikan konsentrasi

ekstrak etanol bayam sebesar 2 mg/l, 5mg/l dan 8 mg/l. Puncak populasi dengan

waktu yang lebih cepat tidak selalu dianggap bagus, hal ini dapat diterangkan

dengan rerata kelimpahan sel Chlorella yang diberi ekstrak etanol bayam dengan

konsentrasi sebesar 11 mg/l memiliki rerata kelimpahan sel paling rendah

dibandingkan dengan perlakuan ekstrak etanol bayam dengan konsentrasi 2 mg/l,

5 mg/l dan 8 mg/l, serta kelimpahan sel Chlorella pada perlakuan D ini lebih kecil

dibandingkan dengan rerata kelimpahan sel Chlorella perlakuan kontrol. Hal ini

diduga, ekstrak etanol bayam dengan konsentrasi sebesar 11 mg/l, mengandung

unsur fosfor yang cukup tinggi. Effendie (2003), menyatakan bahwa kelebihan

unsur seperti unsur fosfor menyebabkan penyerapan unsur hara mikro seperti

unsur Fe, Cu dan Zn dapat terganggu. Dengan dilakukannya perhitungan

konsentrasi ekstrak etanol bayam sebesar 11 mg/l (Lampiran 12), didapatkan

estimasi nilai fosfor yang melebihi ambang batas optimum untuk proses

perkembangbiakan sel Chlorella. Menurut Mackentum (1969), konsentrasi fosfor

yang optimum dalam perkembangbiakan fitoplankton adalah 0,27-5,51 mg/l.

Rendahnya rerata kelimpahan sel Chlorella rendah pada perlakuan D juga

diakibatkan ekstrak etanol bayam (EEB) dengan konsentrasi sebesar 11 mg/l,

mengandung senyawa saponin (senyawa fitokimia yang terdapat dalam bayam)

yang cukup tinggi. Hal ini pun diperkuat dengan adanya pernyataan dari Lipkin

(1995), konsentrasi saponin yang tinggi menyebabkan penurunan kandungan lipid

pada Chlorella, dimana fungsi lipid itu sendiri pada Chlorella berfungsi untuk

penyimpanan ATP bagi proses perkembangbiakan sel Chlorella. Kandungan

37

senyawa saponin yang terdapat pada perlakuan D (11 mg/l) sudah melebihi

ambang batas toleran sel Chlorella, sehingga rerata kelimpahan sel Chlorella pada

perlakuan D ketika mencapai puncak populasi menjadi rendah.

Pada media kultur yang diberi perlakuan ekstrak etanol bayam sebesar 2

mg/l dan 11 mg/l menghasilkan kelimpahan sel Chlorella terendah. Rerata

kelimpahan biakan sel Chlorella rendah pada perlakuan A, diakibatkan

konsentrasi ekstrak etanol bayam sebesar 2 mg/l semakin berkurang akibat adanya

proses pengenceran. Berdasarkan pernyataan dari O’Kelley (1968), kekurangan

unsur hara makro nutrien seperti unsur hara N (unsur nitrogen) mempengaruhi

pembentukan klorofil. Sementara itu, kekurangan unsur mikro nutrien seperti

unsur Mn dapat mempengaruhi proses fotosintesis karena unsur Mn merupakan

aktivator enzim pada reaksi terang fotosintesis. Hal tersebut akan mempengaruhi

laju fotosintesis. Laju fotosintesis menentukan kuantitas produk (karbohidrat)

yang dihasilkan. Karbohidrat hasil fotosintesis oleh fitoplankton selain digunakan

untuk perkembangbiakan juga digunakan untuk respirasi seluler. Apabila hasil

fotosintesis berkurang, maka karbohidrat yang tersisa setelah sebagian digunakan

dalam proses respirasi tidak mencukupi untuk perkembangbiakan bagi sel

Chlorella.

Peningkatan rerata kelimpahan sel Chlorella dapat dilihat dari perubahan

warna kultur. Warna kultur fitoplankton merupakan warna pigmen utama yang

terdapat dalam sitoplasma sel, yaitu klorofil. Pada pengamatan hari pertama

(saat inokulasi), kultur Chlorella yang ditumbuhkan dengan menggunakan ekstrak

etanol bayam terlihat bening (Gambar 9).

Gambar 9. Warna Media Kultur Chlorella Hari Pertama

38

Kondisi tersebut disebabkan karena jumlah sel inokulum Chlorella belum

sebanding dengan volume media. Selain itu, perbandingan antara volume media

dengan konsentrasi klorofil belum dapat memberikan warna pada media kultur.

Pada pengamatan hari ketujuh (Gambar 10), kultur dengan pemberian ekstrak

etanol bayam dengan konsentrasi 2 mg/l dan 11 mg/l dan perlakuan kontrol

berwarna hijau muda, kultur dengan pemberian ekstrak etanol bayam dengan

konsentrasi 5 mg/l berwarna hijau apel, dan kultur dengan pemberian esktrak

etanol bayam dengan konsentrasi 8 mg/l berwarna hijau tembaga. Perubahan

warna hijau kultur mulai dari hijau muda hingga hijau tembaga menunjukkan

bahwa populasi sel meningkat seiring dengan bertambahnya umur kultur.

Gambar 10. Warna Media Kultur Chlorella Hari Ketujuh

Setelah mencapai puncak populasi, rerata kelimpahan sel Chlorella pada

perlakuan C (8 mg/l), perlakuan B (5 mg/l) dan perlakuan A (2 mg/l) pada hari ke

delapan mulai menurun, sedangkan perlakuan D (11 mg/l) mulai memasuki fase

stationer pada hari ke tujuh dan perlakuan kontrol mulai memasuki fase stationer

ketika hari ke sembilan (Lampiran 11). Fase stationer ini disebabkan oleh

berkurangnya mikronutrien sebagai faktor pembatas karena telah banyak

dimanfaatkan selama fase logaritmik, adanya toksik yang dihasilkan oleh

Chlorella itu sendiri sebagai hasil dari metabolisme yang meracuni Chlorella itu

sendiri dan berkurangnya fotosintesis akibat bertambahnya jumlah sel, sehingga

hanya bagian permukaan kultur saja yang memperoleh cahaya (Pelczar 2005).

39

Pada hari kultur ke sepuluh, perlakuan C, perlakuan K, perlakuan B,

perlakuan A dan perlakuan D telah memasuki fase deklinasi dengan kelimpahan

sel akhir yakni pada perlakuan C dengan kelimpahan sel akhir sebesar 43,3 x 105

sel/ml, perlakuan K dengan kelimpahan sel akhir sebesar 28,1 x 105 sel/ml,

perlakuan B dengan kelimpahan sel akhir sebesar 27,6 x 105 sel/ml, perlakuan A

dengan kelimpahan sel akhir sebesar 19 x 105 sel/ml sedangkan untuk perlakuan

D dengan kelimpahan sel akhir sebesar 16,5 x 105 sel/ml. Pada fase deklinasi ini

sel menjadi mati lebih cepat dari pada terbentuknya sel-sel yang baru, laju

kematian mengalami percepatan menjadi eksponensial bergantung pada

spesiesnya, semua sel mati dalam waktu beberapa hari atau beberapa bulan.

Penyebab utama kematian adalah autolisis sel dan penurunan energi seluler

(Purwoko 2007). Pengaruh pemberian pupuk perlakuan dan pupuk kontrol

terhadap kelimpahan sel Chlorella dibuktikan dengan uji statistik Duncan 95%

dapat dilihat pada Lampiran 13.

4.2 Laju Perkembangbiakan Spesifik Chlorella sp.

Hasil penelitian menunjukan, pemberian ekstrak etanol bayam sebagai

substitusi pupuk untuk kultur Chlorella memberikan laju perkembangbiakan

spesifik tertinggi dibandingkan dengan pemberian pupuk anorganik seperti pupuk

urea, pupuk ZA dan pupuk TSP (Lampiran 14). Perlakuan B memiliki laju

perkembangbiakan spesifik tertinggi ketika hari kedua kultur, hal ini diduga

kandungan unsur hara makro dan unsur hara mikro yang terdapat dalam ekstrak

etanol bayam sesuai dengan permeabilitas sel Chlorella. Permeabilitas merupakan

kemampuan yang dimiliki oleh membran sel Chlorella dalam menyaring partikel-

partikel yang akan melalui membran sel, sehingga kandungan unsur hara makro

dan unsur hara mikro yang berasal dari ekstrak etanol bayam dapat dioptimalkan

oleh sel Chlorella dalam proses pembelahan sel yang berfungsi untuk

perbanyakan jumlah koloni sel-sel Chlorella. Ditambahkan oleh Suminto dan

Hirayama (1996), dalam penelitiannya menyatakan bahwa nilai laju

perkembangbiakan spesifik yang lebih besar mempunyai arti bahwa pada proses

40

pembelahan sel Chlorella menjadi lebih cepat, sehingga pertambahan sel per

satuan waktu akan lebih besar dari pada pertambahan waktu itu sendiri.

Perlakuan A pada hari kultur kedua mempunyai laju perkembangbiakan

spesifik yang sangat rendah dibandingkan dengan perlakuan D, perlakuan K,

perlakuan B dan perlakuan C (Gambar 11). Hal ini diduga pada perlakuan A,

konsentrasi unsur hara makro yang terlalu sedikit (Lampiran 15). Kekurangan

unsur hara makro seperti unsur nitrat (NO3-) dan unsur ortofosfat (PO4

3-) ini

berperan penting dalam proses sintesis protein (Isnansetyo dan Kurniastuti 1995).

Menurut penelitian Mackentum (1969) mengenai konsentrasi nitrat yang optimum

dalam perkembangbiakan fitoplankton adalah 0,9-3,5 mg/l, sedangkan untuk

konsentrasi ortofosfat yang optimum dalam perkembangbiakan fitoplankton

adalah 0,27-5,51 mg/l. Dalam penelitian ini, didapatkan perhitungan konsentrasi

nitrat dan ortofosfat pada Lampiran 15, didapatkan konsentrasi nitrat pada

perlakuan A sebesar 0,852 mg/l dan konsentrasi ortofosfat sebesar 1,1 mg/l.

Dengan meninjau estimasi perhitungan konsentrasi unsur N dan unsur P pada

perlakuan A, dapat ditarik pernyataan, konsentrasi unsur N (unsur nitrat) dibawah

0,9 mg/l dan unsur P (unsur ortofosfat) sebesar 1,1 mg/l merupakan konsentrasi

minimum bagi proses perkembangbiakan sel Chlorella.

Gambar 11. Laju Perkembangbiakan Spesifik Chlorella Selama Kultur

41

Laju perkembangbiakan spesifik sel Chlorella tertinggi pada saat puncak

populasi terdapat pada perlakuan C, yakni sebesar 0,74. Hal ini diduga pada

perlakuan C dengan penambahan konsentrasi ekstrak etanol bayam sebesar 8 mg/l

memiliki kandungan vitamin B12 (kobalamin) yang sesuai dengan membran sel

Chlorella. Vitamin B12 (kobalamin) ini berfungsi untuk sintesis deoksiribosa atau

sintesis protein. Hal ini diperkuat oleh penelitian Droop (1968), mengenai kinetika

keterbatasan vitamin B12 (kobalamin) pada suatu spesies fitoplankton seperti

Monochrysis lutheri dengan menghubungkan laju perkembangbiakan spesifik dari

fitoplankton tersebut. Dari percobaan tersebut kemudian diperoleh bahwa laju

perkembangbiakan spesifik sel fitoplankton dengan vitamin B12 memiliki

hubungan yang erat. Pengaruh pemberian pupuk perlakuan dan pupuk kontrol

terhadap laju perkembangbiakan spesifik sel Chlorella juga dibuktikan dengan uji

statistik Duncan 95% dapat dilihat pada Lampiran 16.

4.3 Waktu Lag Phase Sel Chlorella sp.

Hasil penelitian menunjukan, waktu lag phase sel Chlorella tercepat pada

perlakuan A dan perlakuan K, kemudian diikuti oleh perlakuan B, perlakuan C

dan perlakuan D (Lampiran 17). Waktu lag phase menunjukan lamanya adaptasi

Chlorella dengan media barunya. Perbedaan lamanya masa adaptasi diduga

karena adanya perbedaan kepekatan antara media kultur dengan cairan sel

Chlorella, dalam masa adaptasi sel-sel memulihkan enzim dan konsentrasi

substrat ke tingkat yang diperlukan untuk pertumbuhan serta masukya unsur hara

ke dalam sel Chlorella terjadi melalui proses difusi sebagai akibat perbedaan

konsentrasi antara media kultur dengan cairan sel.

Pada fase ini tidak ada pertambahan populasi. Sel mengalami perubahan

dalam komposisi kimiawi dan bertambah ukurannya, substansi interaseluler

bertambah (Perclazar 2005). Proses adaptasi meliputi sintesis enzim baru yang

sesuai dengan medianya dan pemulihan terhadap metabolit yang bersifat toksik

(misalnya asam, alkohol, dan basa) pada waktu media lama (Purwoko 2007).

Semakin tinggi konsentrasi ekstrak etanol bayam akan mempengaruhi kenaikan

konsentrasi unsur-unsur hara makro dan unsur hara mikro, dimana unsur-unsur

42

hara makro dan mikro ini bersifat asam maupun basa, sehingga semakin besar

kandungan unsur hara makro dan unsur hara mikro akan mempengaruhi lamanya

waktu lag phase sel Chlorella.

Perlakuan dengan menggunakan pupuk perlakuan dan pupuk kontrol

(pupuk anorganik) memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada waktu lag

phase dapat dilihat pada Lampiran 18, dengan perlakuan terbaik adalah perlakuan

A dan perlakuan Kontrol, dimana perlakuan A memberikan waktu lag phase yakni

2,56 jam dan diikuti oleh perlakuan K memberikan waktu lag phase yakni

2,6 jam. Perlakuan A dan perlakuan K (Gambar 12) memberikan waktu phase

yang terbaik dikarenakan kepekatan antara media kultur dengan cairan sel hampir

sama sehingga masa adaptasinya lebih cepat. Sedangkan pada perlakuan B

memberikan waktu lag phase yakni 3,84 jam, perlakuan C memberikan waktu lag

phase yakni 5,36 jam dan perlakuan D memberikan waktu lag phase terlama yakni

13,68 jam, hal ini disebabkan karena kepekatan antara cairan sel dengan media

barunya berbeda, sehingga masa adaptasi sedikit lebih lama dibandingkan dengan

perlakuan A dan perlakuan K.

Gambar 12. Waktu Lag Phase Sel Chlorella Dengan Berbagai Perlakuan

Menurut Surawiria (1987), Chlorella sp. mempunyai waktu generasi yang

sangat cepat. Oleh karena itu dalam waktu yang relatif singkat, perbanyakan sel

akan terjadi sangat cepat, terutama jika tersedia cahaya sebagai sumber energi,

walaupun dalam jumlah minimal. Pada umumnya perbanyakan sel terjadi dalam

43

kurun waktu 4-14 jam, tergantung pada lingkungan pendukungnya dan kesesuaian

nutrisi bagi perkembangbiakan sel-sel Chlorella tersebut.

4.4 Klorofil-a

Hasil pengukuran nilai klorofil-a pada akhir penelitian menunjukan bahwa

kultur Chlorella yang diberi pupuk kontrol (pupuk anorganik) memiliki nilai

klorofil-a akhir yang lebih tinggi dibandingkan ke empat perlakuan pupuk

substitusi ekstrak etanol bayam. Hasil pengukuran klorofil-a (Lampiran 19) pada

perlakuan kontrol dan perlakuan A termasuk dalam kategori klorofil-a dengan

nilai sedang, sedangkan untuk perlakuan B, perlakuan D dan perlakuan C

termasuk dalam kategori klorofil-a dengan nilai rendah. Menurut Hatta (2002),

konsentrasi klorofil-a < 0,07 mg/m3 termasuk kedalam kategori klorofil-a dengan

nilai sedang, konsentrasi klorofil-a dengan rentang nilai sebesar 0,07-0,14 mg/m3

termasuk kedalam kategori klorofil-a dengan nilai sedang dan konsentrasi

klorofil-a dengan nilai > 0,14 mg/m3 termasuk kedalam kategori klorofil-a dengan

nilai besar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan sel Chlorella dengan

pemberian ekstrak etanol bayam tidak sebanding dengan kadar klorofil-a yang

dikandung oleh sel Chlorella. Kelimpahan sel yang tinggi tidak diikuti dengan

kadar klorofil-a yang tinggi pula. Hal yang sama juga terjadi pada penelitian

Rachmayanti (2004), yaitu kelimpahan sel yang tinggi tidak selalu menghasilkan

klorofil-a yang tinggi. Nontji (1973) menyatakan bahwa kandungan klorofil

sangat dipengaruhi oleh pH, oksigen, cahaya, enzimatik, unsur nitrogen, unsur

magnesium, unsur besi dan unsur air. Tidak adanya salah satu faktor tersebut akan

mencegah terjadinya sintesa klorofil yang disebut chlorosis. Rendahnya nilai

klorofil-a pada perlakuan C (EEB 8 mg/l), perlakuan D (EEB 11 mg/l) dan

perlakuan B (EEB 5 mg/l) diduga kuat dikarenakan pada akhir penelitian, media

kultur ketiga perlakuan tersebut (perlakuan C, perlakuan D dan perlakuan B)

dalam kondisi pH akhir yang bersifat asam (Lampiran 20). pH asam dalam media

kultur perlakuan C, perlakuan D dan perlakuan B pada akhir penelitian diduga

kuat dapat mengaktifkan enzim klorofillase pada Chlorella tersebut. Diungkapkan

44

oleh Bogorad (1962), enzim klorofilase merupakan sebuah esterase dimana secara

in vitro dapat mengkatalis pemecahan gugus phytol (C20H39OH). Phytol adalah

alkohol primer jenuh yang mempunyai daya afinitas yang kuat terhadap O2 dalam

proses reduksi klorofil dan pada tahap akhir klorofil akan merubah phytol menjadi

chlorophyllidac (Gambar 13) dan kemudian unsur Mg akan tergeser oleh 2

molekul atom H bila dalam suasana asam, sehingga membentuk suatu

persenyawaan yang disebut phaeophytin, selanjutnya proses degradasi atau proses

perombakan phaeophytin oleh enzim klorofillase akan membentuk senyawa

phaeophorbide. Tidak liniernya konsentrasi klorofil-a dengan kelimpahan sel

dikarenakan pengujian klorofil-a dilakukan pada akhir penelitian, sehingga sel

Chlorella sudah memasuki fase deklinasi, dimana sel Chlorella menghasilkan

produk degradasi klorofil-a berupa phaeophytin.

Gambar 13. Skema Proses Dekomposisi Pada Klorofil-a(Sumber : Nontji 1973)

Terlepasnya unsur Mg pada phaeophorbide menyebabkan terjadinya

perubahan warna kultur Chlorella dari hijau menjadi kecoklatan (Gambar 14).

Reaksi ini bersifat irreversible dalam larutan cair (larutan ekstrak etanol bayam).

Gambar 14. Warna Media Kultur Chlorella pada pH Asam

45

Penurunan nilai klorofil-a pada perlakuan C, perlakuan D dan perlakuan B

juga diduga disebabkan telah habisnya unsur hara makro, seperti penurunan unsur

nitrogen (N), unsur magnesium (Mg) dan unsur hara mikro, seperti unsur besi (Fe)

dan unsur air (H2O) dalam media kultur. Menurut Odum (1994) dalam

Susana (2004), nitrogen merupakan bagian dari molekul klorofil, maka tidak

mengherankan bila defisiensi unsur ini akan menghambat pembentukan klorofil.

Unsur magnesium (Mg) adalah satu-satunya unsur logam yang merupakan

komponen utama, karena merupakan atom pusat dari klorofil dan defisiensinya

akan menghambat. Menurut Parsons et al. (1984), unsur besi (Fe) merupakan

unsur yang esensial untuk pembentukan klorofil meskipun besi sendiri tidak

merupakan bagian dari molekul klorofil (sebagai katalisator). Nontji (1973)

menyatakan, berkurangnya kadar air dalam fitoplankton tidak saja menghambat

pembentukan klorofil, tetapi juga dapat mempercepat perombakan (dekomposisi)

klorofil yang telah ada. Ketiadaan unsur air, fitoplankton tidak dapat hidup hal ini

dikarenakan untuk melakukan proses fotosintesis diperlukan adanya unsur air.

Pengaruh pemberian pupuk perlakuan dan pupuk kontrol terhadap nilai klorofil-a

Chlorella juga dibuktikan dengan uji statistik Duncan taraf 95% dapat dilihat pada

Lampiran 21.

4.5 Kualitas Air

Suhu

Hasil penelitian menunjukan, parameter suhu sangat berfluktuatif pada

berbagai macam perlakuan (Lampiran 22). Suhu mempengaruhi proses-proses

fisik, kimiawi dan biologis yang berlangsung dalam sel fitoplankton. Suhu di

bawah 160C dapat menyebabkan kecepatan perkembangbiakan Chlorella sp.

turun, sedangkan suhu diatas 360C dapat menyebabkan kematian (Taw 1990).

Perubahan suhu rata-rata media kultur Chlorella dapat dilihat pada Gambar 15.

Perubahan suhu tersebut diduga dipengaruhi oleh jumlah sel Chlorella dalam

media kultur. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) dan Taw (1990) kisaran

suhu tersebut masih berada dalam kisaran suhu optimal bagi pertumbuhan

Chlorella sp. untuk kultur di ruangan yaitu 25-300C.

46

Pada saat mencapai puncak populasi, suhu media kultur pada perlakuan C

lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan A, perlakuan B, perlakuan D dan

perlakuan K, hal ini dapat disebabkan pada saat memasuki puncak populasi, sel

Chlorella pada perlakuan C (8 mg/l) memiliki kelimpahan sel tertinggi, dengan

kelimpahan sel sebesar 6.360.000 sel/ml. Tingginya kelimpahan sel Chlorella

pada perlakuan C mengindikasikan bahwa sel Chlorella dapat memanfaatkan

suhu media kultur secara optimum untuk proses perkembangbiakannya. Menurut

penelitian Sachlan (1982), peningkatan suhu hingga batas tertentu akan

merangsang aktifitas molekul, meningkatnya laju difusi dan juga laju fotosintesis.

Dapat ditarik pernyataan bahwa suhu yang optimum bagi perkembangbiakan sel

Chlorella adalah pada suhu 26,70C (Lampiran 22). Pada saat memasuki puncak

populasi ini pun, suhu berimplikasi positif dengan kenaikan oksigen terlarut pada

media kultur (Lampiran 23).

Gambar 15. Suhu Media Selama Kultur

Pada hari terakhir kultur, media kultur Chlorella pada perlakuan C

mengalami peningkatan secara drastis dibandingkan dengan perlakuan A,

perlakuan B dan perlakuan K. Hal ini mengindikasikan kelimpahan sel Chlorella

pada media perlakuan C telah memasuki fase deklinasi. Dengan semakin

meningkatnya suhu, akan berimplikasi negatif terhadap enzim photo oksidatif

yang dimiliki oleh Chlorella. Menurut Strickland (1960), untuk sintesa klorofil

47

yang efektif umumnya diperlukan intensitas cahaya yang relatif rendah. Cahaya

yang intensitasnya terlalu kuat akan merusak klorofil dalam reaksi yang disebut

photo oxidation. Diperjelas lebih lanjut melalui penelitian Tomasick et al. (1997),

mengenai suhu bagi fitoplankton, secara umum laju fotosintesis fitoplankton akan

menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik suhu tertentu. Hal ini

disebabkan setiap spesies fitoplankton selalu beradaptasi terhadap suatu kisaran

suhu tertentu.

Derajat Keasaman (pH)

Hasil penelitian menunjukan, perlakuan C memberikan nilai pH tertinggi

pada hari kedua kultur hingga sel Chlorella mencapai puncak populasi pada hari

ketujuh, kemudian diikuti oleh perlakuan B dan perlakuan A (Gambar 16).

Sedangkan perlakuan D, peningkatan nilai pH pada hari kedua kultur hingga hari

ke enam kultur pada saat mencapai puncak populasi dan perlakuan K mengalami

peningkatan nilai pH pada hari kedua kultur hingga hari ke delapan kultur

(Lampiran 20).

Gambar 16. pH Media Selama Kultur

Peningkatan nilai pH pada hari kedua hingga hari ke tujuh kultur media

kultur pada perlakuan C, perlakuan B dan perlakuan A ini diduga adanya

penguraian protein yg terdapat dalam ekstrak etanol bayam oleh Chlorella

48

menjadi amonium, nitrat dan nitrit (unsur nitrogen). Senyawa amonium ini

bersifat basa, dikarenakan dalam reaksi pembentukan dari amoniak menjadi

amonium menghasilkan gugus OH atau gugus basa (Fessenden 1999).

Meningkatnya nilai pH disebabkan juga oleh proses fotosintesis, dikarenakan

pada saat fotosintesis, CO2 bebas merupakan jenis karbon anorganik utama yg

digunakan Chlorella sebagai bahan baku utama dalam proses fotosintesis. juga

dapat menggunakan ion karbonat (CO32-) dan ion bikarbonat (HCO3

-). Penyerapan

CO3 bebas dan ion bikarbonat menyebabkan penurunan konsentrasi CO2 terlarut

pada media kultur dan mengakibatkan peningkatan nilai pH (Sze 1993).

Secara umum, pada perlakuan A, perlakuan B, perlakuan C, perlakuan D

dan perlakuan K pada hari kedua kultur hingga mencapai puncak populasi, nilai

pH masih dalam rentang nilai pH 7 hingga 8,16 (Lampiran 20). Menurut Morel

(1983) in Zahara (2003), pada kisaran pH 7-9 terdapat dua kemungkinan

pemanfaatan nitrogen dari nutrien dalam media oleh sel Chlorella, yaitu

pemanfaatan unsur nitrogen dalam bentuk nitrat dan amonium. Adapun reaksi

biologis pemanfaatan nitrogen dalam bentuk nitrat adalah sebagai berikut:

106HCO3- + 16NO3

- + HPO42- + 16H2O + 124H Protoplasma + 138O2

Pemanfaatan senyawa nitrogen dalam bentuk amonium adalah melalui reaksi

biologis sebagai berikut:

106 HCO3- + 16 NH4

+ + HPO42- + 16H2O + 92H Protoplasma + 138O2

Berdasarkan kedua reaksi di atas maka reaksi pemanfaatan senyawa N yang dapat

terjadi selama kultur Chlorella adalah reaksi kedua, yaitu pemanfaatan amonium

(NH4+) oleh sel Chlorella. Menurut pernyataan dari Reynolds (1984), pada

lingkungan netral (kisaran pH 7), CO2 berada dalam bentuk bebas sehingga dapat

berdifusi dengan mudah ke dalam sel Chlorella. Hal tersebut menyebabkan CO2

sebagai sumber karbon utama bagi proses fotosintesis Chlorella cukup tersedia

sehingga proses metabolisme dapat berlangsung cepat dan kelimpahan sel dapat

meningkat.

Pada perlakuan D, peningkatan nilai pH hanya sampai pada hari ke enam

kultur. Cepatnya peningkatan nilai pH pada perlakuan D tidak berbanding lurus

dengan hasil kelimpahan sel Chlorella, hal ini tidak menandakan dampak yang

49

bagus. Diduga, pada perlakuan D dengan penambahan konsentrasi ekstrak etanol

bayam sebesar 11 mg/l, kandungan senyawa flavonoid yang bersifat asam

melebihi ambang batas yang tidak dapat ditolelir oleh sel Chlorella, sehingga

dengan adanya senyawa asam yang berlebih dari senyawa flavonoid ini

mengakibatkan rendahnya kelimpahan sel Chlorella pada perlakuan D. Menurut

Goldman et al. (1983) dalam Prihantini et al. (2005), karbon anorganik yg paling

banyak terdapat pada media asam adalah asam karbonat (H2CO3). Asam karbonat

pada kisaran pH tersebut umumnya berada dalam bentuk senyawa yg sangat

mudah masuk ke dalam sel Chlorella, sehingga membuat pH internal sel

Chlorella menjadi asam. Kondisi pH asam mengakibatkan proses biokimia sel

terganggu sehingga mempengaruhi pertumbuhan sel dari Chlorella itu sendiri

(Lane 1981). Pada perlakuan K, peningkatan nilai pH media kultur hingga hari ke

delapan, hal ini diduga kuat, Chlorella kurang dapat memanfaatkan secara optimal

unsur-unsur makro yang terdapat dalam pupuk anorganik.

Setelah mencapai puncak populasi, semua perlakuan (perlakuan A,

perlakuan B, perlakuan C, perlakuan D dan perlakuan K) mengalami penurunan

nilai pH secara drastis, hal ini diduga oleh telah habisnya unsur hara makro dan

unsur hara mikro dalam media kultur, sehingga kelimpahan sel Chlorella

mengalami penurunan. Degradasi sel Chlorella yang telah mati menyebabkan pH

media kultur menjadi asam, dimana komponen penyusun Chlorella tersusun oleh

protein dengan presentasi sebesar 51-58%, karbohidrat dengan presentasi 12-26%

dan lemak dengan presentasi sebesar 2-22% (Becker 1994). Degradasi yang

terjadi pada sel Chlorella terjadi secara anaerob, dimana karbohidrat yang

terkandung dalam sel Chlorella akan menghasilkan produk akhir karbondioksida

(Pelczar 2005). Penurunan nilai pH pada kelima media kultur ini pun disebabkan

oleh degradasi klorofil-a (pada pH asam, enzim klorofillase pada Chlorella akan

aktif dengan demikian nilai klorofil-a menjadi rendah). Rendahnya klorofil-a,

menyebabkan fiksasi CO2 menjadi rendah, sehingga pH pada media kultur

menjadi asam.

Beberapa penelitian Soeder (1974) yang lain memperlihatkan bahwa pH

asam mempengaruhi konsentrasi dan mobilitas logam berat dalam sel Chlorella.

50

Salah satu logam berat tersebut adalah tembaga (Cu). Kelarutan Cu meningkat

pada media yang asam, Cu terserap oleh sel dalam jumlah banyak, akibatnya Cu

dalam sel Chlorella menjadi toksik, sehingga kelimpahan sel Chlorella menjadi

berkurang secara drastis (Lampiran 11).

Nilai pH akhir pada kelima media kultur perlakuan masih dapat dikatakan

sebagai media untuk proses kelangsungan hidup Chlorella, hal ini diperkuat oleh

pernyataan dari Hladka (1971), pH pertumbuhan yang optimum bagi Chlorella

berkisar antara 4,9-7,7. Sementara Nielsan (1995) dalam Prihantini et al. (2005)

menyatakan bahwa rentang pH kultur yang terukur tersebut pada rentang pH

pertumbuhan yang baik yaitu 4,5-9,3.

Oksigen Terlarut (DO)

Hasil penelitian menunjukan, hari pertama hingga hari ke tiga kultur, DO

pada perlakuan C rendah, hal ini disebabkan karena waktu lag phase pada

perlakuan C lebih lama dari pada perlakuan A, perlakuan K dan perlakuan B. Pada

perlakuan K, nilai DO (oksigen terlarut), tidak dapat mencapai nilai DO sebesar

8 mg/l, (Lampiran 23), hal ini disebabkan komponen penyusun pupuk kontrol

tidak memiliki kandungan unsur hara mikro yang dapat menunjang sintesis

fotosintesis. Perlakuan C memberikan nilai DO tertinggi pada hari ke empat kultur

hingga sel Chlorella mencapai puncak populasi pada hari ketujuh, kemudian

diikuti oleh perlakuan B dan perlakuan A (Gambar 17).

Gambar 17. DO Media Selama Kultur

51

Perlakuan D memiliki nilai DO yang lebih rendah dibandingkan ke empat

perlakuan, hal ini disebabkan oleh tidak terserapnya unsur hara mikro sebagai

faktor penunjang dalam proses fotosintesis.

Kandungan DO (oksigen terlarut) pada akhir perlakuan C adalah

perlakuan dengan kandungan DO paling rendah diantara empat perlakuan, hal ini

diduga adanya reduksi klorofil-a oleh enzim klorofillase, dengan demikian

klorofil-a akan terhidrolisa, sehingga akan didapatkan gugus alkohol yang disebut

phytol. Gugus phytol membentuk sepertiga dari molekul klorofil dan mempunyai

afinitas yang kuat terhadap oksigen, sehingga kandungan DO menjadi rendah

(Prezelin 1981). Penurunan DO terjadi setelah memasuki puncak populasi, pada

tahap ini sel Chlorella sudah mati sehingga proses fotosintesis untuk

menghasilkan produk akhir oksigen terlarut menjadi rendah.

4.6 Korelasi Antara pH dan DO Dengan Klorofil-a

Hasil penelitian menunjukan adanya kaitan antara pH (derajat keasaman),

DO (oksigen terlarut) dengan nilai klorofil-a yang terkandung dalam sel Chlorella

(Lampiran 24). Semakin tinggi nilai klorofil-a, maka akan semakin tinggi pula

nilai oksigen terlarut dalam media kultur, dikarenakan klorofil-a merupakan

komponen penyusun dalam proses fotosintesis, yang mana produk akhir dari

proses fotosintesis ini adalah oksigen terlarut (Prezelin 1981). Hasil uji korelasi

didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara nilai klorofil-a dengan DO

dengan persamaan regresi linier sebagai berikut :

y = a + bx

DO = 6,383 + 4,756 x Klorofil-a

r = 0,688

Dari hasil perhitungan uji korelasi, didapatkan bahwa sebesar 68,8%, kandungan

DO dipengaruhi oleh klorofil-a dan 31,2% dipengaruhi oleh parameter lain seperti

kekuatan aerasi pada media kultur.

52

Semakin tinggi nilai klorofil-a yang dikandung oleh sel Chlorella, maka

semakin tinggi pula nilai pH pada media kultur, hal ini dikarenakan adanya

penguraian protein dari ekstrak etanol bayam oleh sel Chlorella menjadi senyawa

amonium (senyawa basa) dalam proses pembentukan klorofil-a. Hasil uji korelasi

didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara nilai klorofil-a dengan pH

dengan persamaan regresi linier sebagai berikut :

y = a + bx

pH = 7,057 + 3,082 x Klorofil-a

r = 0,680

Dari hasil perhitungan uji korelasi, didapatkan bahwa sebesar 68%, kandungan pH

dipengaruhi oleh klorofil-a dan 32% dipengaruhi oleh parameter lain, seperti

kandungan CO2 pada media kultur dan degradasi sel Chlorella sp. pada media

kultur.

.