bab iv hasil dan pebahasan 4.1 gambaran umum lokasi...
TRANSCRIPT
BAB IV
HASIL DAN PEBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1 Kondisi Geografis
`Desa Banuroja adalah sebuah desa yang terbentuk dari hasil Pemekaran
Desa Manungggal Karya pada Tahun 2003.Desa Banuroja terletak di dijalur Jalan
Trans Sulawesi menuju Kecamatan Taluditi dengan topografi daerah hunian
berupa dataran, sedangkan lahan pertanian berupa dataran dan perbukitan. Sebelah
barat desa ini berbatasan dengan Desa Sarimurni, Sebelah Timur berbatasan
dengan Desa Manunggal Karya, Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Patuhu
dan Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Sarimurni. Jarak desa ini dari ibukota
kecamatan 4 Km, dan dengan Ibu Kota Kabupaten berjarak 30 Km dengan waktu
tempuh 45 menit.Curah hujan rata-rata 0,15 mm dengan suhu rata-rata 320C.
Jumlah penduduk desa Banuroja sampai tahun 2011 adalah 974 Jiwa jika
presentasi sesuai kepala keluarga (KK) maka jumlahnya sekitar 286 kepala
keluarga(KK). Jumlah penduduk laki-laki 519 jiwa dan perempuan 455 jiwa.
Mata pencaharian utama masyarakat adalah bertani. (Sumber: Laporan
Keterangan PertanggungJawaban (LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa
JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011).
4.1.2 Kondisi Demografi Desa
4.1.2.1 Keadaan Penduduk Desa
Tabel. 1
Keadaan Penduduk
No Uraian
Jumlah
Thn 2006 Thn
2007
Thn
2008
Thn
2009
Thn
2010
Thn
2011
1 Jumlah Penduduk Desa (Jiwa) 865 881 1014 953 948 974
2 Jumlah Kepala Keluarga (KK) 248 252 262 275 278 286
3 Jumlah Penduduk Laki-Laki
(Jiwa)
453 461 562 496 500 519
4 Jumlah Penduduk Perempuan
(Jiwa)
412 420 452 457 448 455
5 Jumlah Petani/Ternak 246 246 238 235 253 235
6 Jumlah Nelayan - - - - - -
7 Jumlah Pertukangan 2 2 3 3 3 3
8 Jumlah Usaha Jasa/UKM/IKM 1 1 2 3 4 4
9 Jumlah PNS 12 12 16 22 28 28
10 Jumlah Pegawai Swasta - - - - - -
11 Jumlah ABRI + Polisi - 1 1 1 1 1
12 Jumlah Penganggur
13 Jumlah Warga Miskin 161 143 143 116 97 97
14 Jumlah Mahayani dibangun 3 4 3 3 3 3
15 Jumlah Fakir Miskin (Lansia,
Yatim Piatu dan Cacat)
Dari tabel di atas, terlihat bahwa jumlah penduduk pada tahun 2006 hingga
2008 mengalami perubahan yang cukup signifikan, dimana jumlah penduduk pada
tahun 2006 tercatat 865 (jiwa), kemudian pada tahun 2007 meningkat 881 (jiwa),
dan tahun 2008 tercatat 1014 (jiwa). Sedangkan pada tahun 2009, 2010,
jumlahnya menurun. Pada tahun 2009 tercatat 953 (jiwa) dan 2010 tercatat 948
(jiwa). Pada tahun 2011 mengalami perubahan lagi untuk jumlah penduduk
sekitar 974 (jiwa). Untuk jumlah kepala keluarga (KK), setiap tahun meningkat
mulai dari tahun 2006 sekitar 248 jiwa, hingga 2011 berjumlah 286. Begitu juga
dengan poin-poin yang lainnya, setiap tahunnya meningkat mulai dari tahun 2006
hingga 2011. Kecuali ada beberapa poin yang setiap tahunnya mnurun misalnya,
jumlah petani ternak dan jumlah warga miskin. Berbeda dengan jumlah Abri +
Polisi dan jumlah mahayani yang dibangun tidak mengalami perubahan yang
signifikan. (Sumber : Laporan Keterangan PertanggungJawaban (LKPJ) Kepala
Desa Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011)
4.1.2.2 Keadaan Pendidikan
Pendidikan merupakan instrumen utama dalam peningkatan daya saing,
dan mengkonstruksi kapasitas sumber daya manusia yang produktif. Sebuah
pendidikan dapat menghasilkan generasi insani yang menjadi kompas peradaban
suatu bangsa dalam menentukan arah dan tujuan. Olehnya itu, penyelenggaraan
pendidikan dianggap penting dan sangat esensial dalam proses penyadaran sikap
dan tinggkah laku generasi. Keadaan pendidikan di Banuroja disajikan dalam
tabel berikut.
Tabel. 2
Keadaan Pendidikan
No Uraian
Jumlah
Thn
2006
Thn
2007
Thn
2008
Thn
2009
Thn
2010
Thn
2011
1 Jumlah Warga Buta Huruf 69 69 67 65 65 63
2 Tidak Tamat SD 66 78 70 66 73
3 Tidak tamat SMP
4 Tidak Tamat SMA
5 Tamat S1 16 16 19 28 37
6 Jumlah Sekolah TK - - - - 1
7 Jumlah Sekolah SD/Ibtidaiyah 2 2 2 2 2
8 Jumlah Guru SD 6 6 6 8 11 11
9 Jumlah Guru SMP/MTs 3 3 5 7 7 7
10 Jumlah Guru TK - - - - - 2
Dari table diatas, terlihat bahwa, terjadi penurunan angka buta huruf sejak
tahun 2006 berjumlah 69 jiwa, kemudian pada 2011 menurun menjadi 63 jiwa.
Masyarakat yang buta huruf tersebut, adalah masyarakat yang sudah lanjut usia
yang berasal dari daerah asal seperti dari Bali,NTB dan Jawa yang datang sejak
penempatan Transmigrasi.Namun saat ini hampir seluruh masyarakat Banuroja
yang masuk dalam usia sekolah, telah bersekolah.Halini karena sarana pendidikan
di Desa banuroja sudah cukup memadai seperti adanya TK,SD dan Pondok
Pesantren yang memiliki fasilitas pendidikan yang sudah cukup baik.Dalam hal
ini, dukungan Pemerintah masih sangat diharapkan terutama membantu
memberikan Beasiswa bagi masyarakat yang kurang mampu dan bagi yang
berprestasi untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
(Sumber:(LKPJ) Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011)
4.1.2.3 Keadaan Kesehatan
Tabel. 3
Keadaan Kesehatan
No Uraian
Jumlah
Thn
2006
Thn
2007
Thn
2008
Thn
2009
Thn
2010
Thn
2011
1 Jumlah kasus gizi buruk - - - - - -
2 Jumlah Kasus Gizi
kurang
7 5 5 3 2 2
3 Jumlah Posyandu 1 1 1 1 1 1
4 Jumlah Polindes - - - - 1 1
5 Jumlah Pustu - - - 1 1 1
6 Jumlah Bidan 1 1 1 1 1 1
7 Jumlah Dukun Anak - - - - - -
Dari table diatas,merupakan perkembangan yang sangat meng-
gembirakan, jumlah kekurangan gizi memperlihatkan penurunan yang cukup
signifikan, pada tahun 2006 berjumlah 7 jiwa, terjadi perubahan pada tahun-tahun
berikutnya hingga 2011 menurun menjadi 2 jiwa yang kekurangan gizi.Nampak
bahwa sarana dan prasaran kesehatan seperti posyandu dan pustu cukup
membantu masyaakat di Desa Banuroja, sehingga pelayanan kesehatan terutama
untuk ibu hamil dan balita sudah cukup baik,hal ini juga berkat peran aktif kader-
kader kesehatan yang ada di Desa Banuroja cukup aktif, namun hal ini masih
perlu dukungan yang kontinu dari pihak-pihak yang berkaitan. (Sumber : Laporan
Keterangan PertanggungJawaban (LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa
JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011)
4.1.2.4 Agama
Tabel. 4
Pemetaan Agama di Banuroja
NO JENIS AGAMA JUMLAH PEMELUK JML TEMPAT IBADAH
1 Islam 548 4
2 Kristiani 15 2
4 Hindu 411 2
Berdasarkan table tersebut, nampak warga Desa Banuroja terdiri dari
masyarakat dengan keyakinan yang beragam.Namun, sampai saat ini seluruh
masyarakat Desa Banuroja dapat hidup berdampingan dengan rukun dan damai.
(Sumber : Laporan Keterangan PertanggungJawaban (LKPJ) Kepala Desa
Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011)
4.1.2.5 Etnik
Tabel 5
Pemetaan Etnik di Banuroja
NO Jenis Etnik Jumlah Penduduk
1 Bali 110 KK
2 Nusa Tenggara (Lombok) 74 KK
3 Gorontalo 2 KK
4 Jawa 95 KK
5 Minahasa 5 KK
(Sumber :Kantor Desa Banuroja 2006 S/D Tahun 2013)
Berdasarkan table di atas, nampak warga Desa Banuroja memiliki
keragaman etnik, hal tersebut merupakan salah satu bukti nyata dari sederetan
realitas heterogenitas masyarakat Indonesia. Dari tabel tersebut, terlihat jumlah
KK etnis Gorontalo cukup sedikit jumlahnya sekitar 2 KK, tetapi dari hasil
wawancara, jika dihitung/jiwa, masyarakat Gorontalo berjumlah sekitar 10 jiwa,
mereka telah melakukan pernikahan campur, baik dengan masyarakat Bali
maupun Lombok. dari hasil wawancara yang dilakukan, sekitar tahun 1981 hingga
2003 akhir, masyarakat dari etnis Gorontalo cukup banyak (tidak diketahui
dengan pasti jumlahnya) menempati wilyah tersebut. Ada yang berasal dari
Kecamatan Lemito, Popayato, Marisa, dan Patilanggio. Bahkan ada juga yang
berasal dari luar Kabupaten Pohuwato, misalnya dari Batudaa. Tetapi semakin
bergulirnya waktu, banyak masyarakat Gorontalo yang pulang ke kampung
asalnya, salah satu alasannya adalah Desa Banuroja sangat kekurangan
air.Masyarakat yang bermukim di Desa Banuroja terdiri dari masyarakat dengan
etnis yang beragam. Namun, sampai saat ini seluruh masyarakat Desa Banuroja
dapat hidup berdampingan dengan rukun dan damai.
4.1.2.6 Kelembagaan Desa
Tabel. 6
Kelembagaan Desa
JENIS
KELEMBAGAAN
DESA
JUMLAH PENGURUS Peran dan Fungsi di
Masyarakat Aktif Tdk Aktif
Pemdes 9 Pelayanan publik
BPD 5 Mitra Pemdes
LPM 5 Pemberdayaan
Karang Taruna 2 Wadah pemuda
Desa Banuroja telah memiliki kelembagaan yang cukup lengkap dengan
adanya pemerintahan desa, BPD, LPM dan Karang taruna. Masing-masing
lembaga ini memiliki pengurus yang aktif dalam memberikan peran dan fungsinya
kepada masyarakat desa Banuroja.(Sumber : Laporan Keterangan Pertanggung-
Jawaban (LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D
Tahun 2011)
4.1.2.7 Keadaan Fisik dan Prasarana Desa
a. Sarana dan Prasarana Ekonomi
Tabel. 7
Sarana dan Prasarana ekonomi
No Jenis Sarana dan
Prasarana ekonomi
Jumlah
Thn
2006
Thn
2007
Thn
2008
Thn
2009
Thn
2010
Thn
2011
1 Perbankan - - - - - -
2 Koperasi Pondok
Pesantren
1 1 1 1 1 1
3 Sentra pembuatan
Pupuk Organik
- - - - - 1
Desa Banuroja memiliki koperasi Pondok Pesantren sejumlah 1 unit, dan
tidak bertambah lagi jumlahnya di tahun-tahun berikutnya. Dan, untuk sentra
pembuatan pupuk organik, nanti pada tahun 2011 baru dibentuk. Sedangkan
perbankan belum dibentuk dari tahun 2006 hingga 2011. (Sumber : Laporan
Keterangan Pertanggung-Jawaban (LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa
JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011)
b. Sarana dan Prasarana Pemerintahan Desa
Tabel. 8
Sarana dan Prasarana pemerintahan
No Uraian
Jumlah
Thn
2006
Thn
2007
Thn
2008
Thn
2009
Thn
2010
Thn
2011
1 Kantor desa
(Ada/Belum ada)
1 1 1 1 1 1
2 Kantor BPD
(Ada/Belum ada)
- - - - - -
3 Kantor LPM
(Ada/Belum ada)
- - - - - -
4 Jumlah aparatur desa 9 9 9 9 9 9
Dari gambaran tabel di atas, menunjukan bahwa untuk bangunan kantor
desa tidak bertambah jumlahnya sejak 2006 hingga 2011, Begitu juga dengan
jumlah aparatur desa. Untuk kantor BPD dan LPM belum memiliki bangunan
yang digunakan untuk melakukan aktivitas, tetapi dalam menjalankan aktivitasnya
sehari-hari masih berkantor (numpang) di Kantor Desa Banuroja(Sumber : (LKPJ)
Kepala Desa Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011)
4.1.2.8 Pemerintahan Desa
a. Penerapan Good Governance
Sejak tahun 2007, Desa Banuroja telah mengelolaan Alokasi Dana
Desa (ADD) yang saat itu berjumlah 100 Juta, kemudian tahun 2008
meningkat menjadi 150 juta. Adanya ADD ini maka pemerintah desa
wajib mengelola dengan baik dengan prinsip Koordinasi, Transpransi,
Akuntabilitas dan Partisipatif. Koordinasi dilaksanakan dalam upaya
memastikan bahwa pengelolaan ADD berjalan sesuai dengan regulasi
yang ada. Transparansi dilaksanakan sebagai upaya membuka ruang bagi
masyarakat untuk mengetahui APBDes Banuroja yang dilaksanakan
setiap tahun. Akuntabilitas diarahkan pada seluruh kegiatan yang
dilaksanakan dapat dipertanggungjawabkan dengan baik serta partisipatif
diarahkan pada bagaimana seluruh perencanaan, pengawasan dan
pelaksanaan kegiatan di desa dalam melibatkan masyarakat, baik
bersumber dari APBDes maupun dari lembaga lain.Guna menjalankan
Pemerintahan Desa, maka jumlah aparatur desa Banuroja saat ini profilny
adalah sebagai berikut :
Tabel. 9
Profil Aparatur Desa Banuroja
No Nama Aparatur Jenis Kelamin Umur
(tahun) Pendidikan
Lama
menjabat
A PEMERINTAH DESA
1 KADES RONNY
KOYANSOW
38 SMA 6 Thn
2 SEKDES FEBRI YAHYA 33 D1 2 Thn
3 KAUR PEMERINTAHAN I NYOMAN
SUARDANA
SLTP 6 Thn
4 KAUR PEMBANGUNAN I DEWA
NAMARUPA
SLTP 6 Thn
5 KAUR UMUM MOH.AZWAR STM 6 Thn
6 KADUS I I NYOMAN
PASEK
SLTP 2 Thn
KADUS II I WAYAN
SUARTA
SLTP 6 Thn
KADUS III MOH.ZAKPAN SLTP 6 Thn
KADUS IV KUSRI SLTP 6 Thn
B PENGURUS BPD
1 KETUA I MADE
SUARDANA
SPGA 6 Thn
2 WAKIL KETUA NURCO
MAKSUD
S1 2 Thn
3 SEKRETARIS UMIYATI SLTP 6 Thn
4 ANGGOTA I MADE JAMAN SLTP 6 Thn
5 ANGGOTA AKMALUDIN MA 6 Thn
C
PENGURUS LPM
1 KETUA I WAYAN
ADHA
SLTP
2 SEKRETARIS TURMUJI SLTP
3 ANGGOTA KHUDZAIFAH
AZIS
SLTA
4 ANGGOTA HANO LIHAWA SD
5 ANGGOTA ABDUL
DJALAL
SLTP
Dari gambaran tabel di atas, terlihat bahwa semua aparatur desa berasal
dari suku dan agama yang brbeda. Presentasi lulusan, aparatur yang lulusan
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) jumlahnya sekitar 12 orang, Sekolah
Dasar 1 orang, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/se-derajat berjumlah 3 orang,
Sarjana berjumlah satu orang, dan juga untuk Diploma berjumlah satu orang.
Kemudian, dalam hal lamanya aparatur menjabat rata-rata paling lama enam
tahun.(Sumber : Laporan Keterangan Pertanggung-Jawaban (LKPJ) Kepala Desa
Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011)
b. Demokrasi Desa
Berlakunya otonomi daerah, juga berimplikasi pada sistem
pemerintahan desa yang telah diatur melalui PP Nomor 72 tahun 2005.
Desa yang memiliki otonomi sendiri seperti tingkat Kabupaten, juga
wajib menyelenggarakan Pemilihan Kepala Desa (PILKADES) untuk
jangka waktu 6 tahun. Memenuhi hal tersebut, maka Desa Banuroja pada
tahun 2005 lalu telah melakukan Pilkades yang berlangsung secara tertib
dan aman, dilantik pada bulan Januari 2006, dengan terpilihnya kepala
desa saat itu yakni Bapak Ronny Koyansow. (Sumber : (LKPJ) Kepala
Desa Banuroja Akhir Masa Jabatan Tahun 2006 S/D Tahun 2011)
4.1.3 Kondisi Ekonomi
4.1.3.1 Potensi unggulan Desa
4.1.3.1.1 Kawasan Pertanian
1. Potensi Lahan Pertanian
Potensi lahan pertanian (ladang/tegalan) seluas 378,2 Ha dan rawa
seluas 69 Ha. Potensi lahan tersebut di desa Banuroja dimanfaatkan untuk
hal-hal sebagai berikut :
Tabel. 10
Potensi Lahan Pertanian
No Jenis Lahan Luas Lahan Termanfaatkan
(Hektar)
1 Lahan Pekarangan (Ha) 56,90
2 Lahan Tegalan (Ha) 30
3 Padang Rumput (Ha) -
4 Ladang (Ha) 348,2
5 Rawa (Ha) 69
6 Tambak (Ha) -
Dari perbandingan data potensi tersebut diatas, lahan pertanian
yang sudah dimanfaatkan sekitar 80 %.Namun, tingkat kesuburan tanah di
Desa Banuroja sangat rendah.Sehingga, produksi pertanianpun sangat
minim. Adapula lahan tegalan yang merupakan lahan sawah tadah hujan
yang juga pemanfaatanya tidak maksimal karena hanya mengharapkan
curah hujan untuk dapat memanfaatkanya. (Sumber : Laporan Keterangan
PertanggungJawaban (LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa
JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011).
a. Potensi Lahan Perkebunan
Komoditi perkebunan di desa Banuroja tidak dapat menjadi andalan
sebagai sumber penghasilan masayarakat karena kondisi dan struktur tanah
desa banuroja kurang cocok untuk tanaman perkebunan,hal tersebut
disebabkan karena jenis tanahnya yang yang merupakan tanah liat,
sedangkan sebagian lagi berupa perbukitan dengan jenis tanah yang
bercadas/berkerikil
b. Produksi Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura
Komoditi tanaman pangan dan hortikultura yang berkembang baik di
Desa Banuroja adalah jangung dan kedelai
Tabel. 11
Komoditi Tanaman Pangan dan Hortikultura
No
Jenis
Komoditi
Tanaman
Pangan dan
Holtikultura
Tahun 2010
Tahun 2011
Luas
Tanam
(ha)
Luas
Panen
(Ha)
Produksi
(Ton)
Luas
Tanam
(ha)
Luas
Panen
(Ha)
Produksi
(Ton)
Jagung 185 185 740 170 170 680
Kedelai 20 20 35 25 25 40
(Sumber : Laporan Keterangan PertanggungJawaban (LKPJ) Kepala Desa
Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011)
Melihat kondisi tanah yang cukup memprihatinkan, Pada proses
penanaman jagung di Desa Banuroja, para petani melakukan perawatan
yang cukup intensif. Secara teknis, sesuai anjuran Tim penyuluh pertanian
Kabupaten, Provinsi, maupun Pusat, untuk mendapatkan hasil lebih dan
cukup, petani dianjurkan untuk melakukan perawatan secara intensif.
Yakni, petani harus melakukan pemupukan sebanyak tiga kali. Pemupukan
awal, jagung berumur sekitar 21 hingga 25 hari. Pemupukan kedua, jagung
berumur satu setengah bulan (45 hari). Pemupukan ketiga, jagung berumur
60 hingga 65 hari. Hal tersebut sering dipraktekan oleh masyarakat
Banuroja yang notabenenya adalah petani, demi mendapatkan hasil yang
memuaskan. Selain dari perawatan, petani juga dianjurkan melihat musim
yakni, musim tahunan (Taua) berkisar pada bulan oktober-desember,
kemudian musim pertengahan tahun (hulita) berkisar antara bulan april-
juni
c. Sarana dan Prasarana Pertanian
Mata pencaharian utamamasyarakat Desa Banuroja adalah
pertanian dengan usaha pendukung yakni, memelihara ternak. Adapun
sarana dan prasarana pendukung pengambangan pertanian yang ada didesa
seperti pada table berikut ini.
Tabel. 12
Sarana dan Prasarana Pertanian
No Jenis Alat Mesin Pertanian
dan Prasarana Pertanian
Jumlah saat
ini
Kodisi
(baik/rusak)
1 Handtraktor 5 2 Rusak
2 Perontok jagung 4 Baik
3 Mesin Perontok /padi 2 Baik
4 Embung 1 Baik
5 Mesin penghisap air 1 Baiik
6 Kandang koloni 4 Baik
7 Unit Pengolahan Pupuk Organik
(UPPPO)
1 Baik
Dari table tersebut,nampak bahwa peralatan pertanian yang ada di
Desa Banuroja masih sangat minim, terutama, alat pertanian untuk
pengolahan tanah, sehingga hal ini sangat mempengaruhi kemampuan
masyarakat dalam rangka perluasan areal tanam. Selamaini, masyarakat
hanya maengandalkan bantuan ternak sapi untuk pengolahan tanah.
Kedepan alsintan dan lantai jemur masih dibutuhkan dalam rangka
meningkat produksi dan kualitasnya. (Sumber :(LKPJ) Kepala Desa
Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011).
d. Kelembagaan Pertanian
Salah satu faktor kunci dalam keberhasilan usaha Pertanian adalah
berkelompok. Secara alamiah, hal ini sudah terjadi dimasyarakat, namun
ada pula kelompok-kelompok yang dibentuk atas anjuran pemerintah.
Adapun perkembangan kelompok tani di Desa Banuroja seperti disajikan
pada table berikut ini :
Tabel. 13
Kelembagaan Pertanian
No Jenis
Kelembagaan
Jumlah
Thn
2006
Jumlah
Thn
2007
Jumlah
Thn
2008
Jumlah
Thn
2009
Jumlah
Thn
2010
Jumlah
Thn
2011
1 Jumlah Kelompok
Tani Jagung (Klp)
4 6 6 7 7 7
2 Jumlah Kelompok
Padi (klp)
1 1 1 1 1 1
3 Jumlah Kelompok
Kedelai (klp)
1 1 2 2 2 2
4 Jumlah Gapoktan
(Klp)
- - 1 1 1 1
5 Koperasi Pertanian
(Unit)
- - - - - -
6 Jumlah Kelompok
Ternak (klp)
1 1 2 3 4 4
5 Jumlah Kelompok
Tani Perkebunan
- - - - - -
Bersdasarkan table tersebut, nampak kelompok tani yang ada,
sudah mengakomodir sebagian besar petani yang ada didesa,sedangkan
untuk kelompok padi hanya ada 1 kelompok karena areal sawah yang ada
hanya sekitar 30 Ha saja.kelompok perkebunan belum ada karena di desa
Banuroa memang tidak memiliki areal perkebunan.Namun demikian,
kelompok-kelompok pertanian ini belum ditunjang dengan alat pertanian
yang memadai serta manajemen kelompok yang masih sederhana dan
tradisional. (Sumber : Laporan Keterangan Pertanggung-Jawaban (LKPJ)
Kepala Desa Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011)
4.1.3.1.2 Kawasan Perikanan dan Kelautan
1. Potensi Perikanan
Desa Banuroja adalah desa yang tidak terletak dipesisir pantai, sehingga
Desa Banuroja tidak memiliki potensi perikanan yang besar,namun sejak
pertengahan Tahun 2011 masyarakat mulai membudidayakan perikanan air
tawar seperti ikan lele dan Nila. Saatini terdapat sekitar 120 kolam ikan air
tawar yang tersebar dipekarangan rumah penduduk dengan berbagai ukuran
yang bervariasi.Harapan masyarakat dikemudian hari uasaha budidaya ini
selain dapat memenuhi kebutuhan Gizi keluarga tetapi juga dapat memberikan
penghasilan tambahan untuk keluarga.
4.1.3.1.3 Kawasan Peternakan
1. Sarana dan Prasarana serta Populasi Ternak
Tabel. 14
Populasi Ternak
No Jenis Sarana,
Prasarana dan
Populasi ternak
Jmlh
Thn
2006
Jmlh
Thn
2007
Jmlh
Thn
2008
Jmlh
Thn
2009
Jmlh
Thn
2010
Jmlh
Thn
2011
1 Jumlah Populasi
Ternak Sapi (ekor)
1188
2 Jumlah Populasi 160
Ternak Kambing
(ekor)
3 Jumlah Populasi Ayam
Kampung (ekor)
3492
4 Jumlah Populasi itik
(ekor)
90
5 Jumlah Kelompok
Tani Ternak
3
6 Jumlah Tempat Peng-
gemukan sapi
1
Berdasarkan table diatas, nampak populasi ternak sapi, kambing, itik dan
ayam kampung meningkat setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat cocok dengan komoditi ini dan juga kondisi alam Desa Banuroja
cukup toleran dengan pengembangan peternakan ini. Untuk itu kedepan komoditi
ternak bisa menjadi andalan warga Desa Banuroja mengingat komoditi ini bisa
menjadi mata pencaharian alternatif masyarakat, selain komoditi jagung dan
kedelai, bahkan integrasi keduanya dapat memungkinkan karena saling
menguntungkan (menunjang). (Sumber : Laporan Keterangan Pertanggung-
Jawaban (LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D
Tahun 2011)
4.1.3.1.4 Kawasan Kehutanan
Letak desa Banuroja yang diapit oleh desa-desa sekitar. Sehingga, Desa
Banuroja tidak memiliki areal hutan yang dapat dijadikan potensi desa. Sebagian
besar tanah di Desa Banuroja adalah tanah milik masyarakat dari pembagian jatah
Transmigran sejak tahun 1981 yang sampai saat ini sudah terolah,namun ada juga
sebagian lahan pertanian masyarakat yang kondisinya kritis oleh masyarakat telah
ditanami dengan tanaman hutan seperti pohon jati.
4.1.3.1.5 Kawasan Pengelolaan Pertambangan
Desa Banuroja tidak memiliki potensi pertambangan karena kondisi
geografis desa yang tidak dialiri oleh sungai besar yang berpotensi mengandung
bahan material seperti pasir dan batu sungai.
4.1.3.1.6 Kawasan Parawisata
Desa Banuroja juga tidak memiliki potensi pariwisata, karena desa ini
terbentuk dari wilayah yang dibuka oleh pemerintah melalui program
Transmigrasi yang tidak memiliki daerah pantai maupun tempat-tempat yang
terdapat situs-situs sejarah lainya.
4.1.3.1.7Industri, Perdagangan dan Jasa
Tabel. 15
Industri, Perdagangan dan Jasa
No Jenis Usaha Jumlah
Thn 2006
Jumlah
Thn
2007
Jumlah
Thn
2008
Jumlah
Thn
2009
Jumlah
Thn 2010
Jumlah
Thn
2011
1 Jumlah Kios (Unit) 14 14 17 19 21 21
2 Jumlah Industri
mebel (Unit)
- - 1 1 1 1
3 Jumlah Industri
perbengkelan (Unit)
- 1 1 1 1 1
4 Jumlah Jasa Tukang
Jahit (Unit)
- - - - - -
5 Jumlah Pangkalan
Minyak (unit)
1 1 2 2 2 2
6 Jumlah Pengisian
Ulang Air Minum
(unit)
- - - - - -
7 Jumlah pembuatan
Tahu
1 2 2 1 1 1
8 Jumlah Tukang
Bangunan (Org)
8 12 12 12 15 15
9 Jumlah Penjual
Sayuran keliling
1 1 2 3 3 3
10 Jumlah Pengepul
hasil Pertanian
1 1 2 4 4 4
11 Jumlah Pedagang
ternak
1 2 2 3 3 3
12 Jumlah industri
pembuatan emping
jagung
- 1 1 1 1 1
Berdasarkan table diatas,nampak bahwa usaha kecil menengah (UKM)
yang terdapat di Desa Banuroja.Data ini menggambarkan perputaran uang di Desa
Banuroja cukup dinamis. (Sumber : Laporan Keterangan Pertanggung-Jawaban
(LKPJ) Kepala Desa Banuroja Akhir Masa JabatanTahun 2006 S/D Tahun 2011)
Keadaan ekonomi Desa
Tingkat perekonomian Desa Banuroja cukup dinamis, hal ini karena
sebagian besar warga desa ini bermata pencaharian petani dan peternak, sebagian
lagi juga bergerak dibidang usaha perdagangan,industri rumah tangga dan PNS.
4.2 Hasil
4.2.1 Banuroja, Refresentasi Identitas Dalam Sebuah Nama
Sebuah nama merupakan identitas dari suatu objek.Nama Banuroja
merupakan refresentasi dari nama-nama suku yang dominanya tinggal di desa
Banuroja, yakni: “ Suku BAli, NUsa Tenggara Barat, GoROntalo, dan Jawa.
Sehingga dirumuskan menjadi BANUROJA.
Sebelum melangkah jauh pada pembahasan nama Banuroja, mungkin,
sangat perlu untuk membahas alasan dan kapan nama tersebut disepakati menjadi
nama sebuah desa yang merefresentasi dari etnik yang dominan di wilayah
tersebut. Pada Waktu itu, tempat ini bernama Unit Pemukiman Transmigrasi
(UPT) Marisa I Sub B.Beberapa Tahun Kemudian, bersama-sama dengan UPT
Marisa I Sub A, Terbentuklah sebuah desa Defenitif Bernama Desa Manunggal
Karya. Dan Pada Tahun 2003 desa Manunggal Karya Dimekarkan Menjadi 2
(Dua) desa Wilayah, yang berada di eks UPT Marisa I Sub A Tetap bernama desa
Manunggal Karya (sampai sekarang), dan Wilayah eks UPT. Marisa I Sub B
Menjadi sebuah desa yang bernama desa BANUROJA. Pada awal perumusan dan
perundingan pemekaran, sempat beberapa atau sebagian masyarakat dari etnik
Bali tidak menyetujui perencanaan pemekaran tersebut, mengingat sumber daya
manusia di wilayah yang akan dimekarkan belum cukup
menopang.Sehingga,mereka masih ingin tetap bergabung dengan Desa
Manunggal Karya. Setelah berlangsung beberapa saat, dengan pertimbangan yang
matang akhirnya mereka menerima pemekaran tersebut.Pada waktu penentuan
nama, salah seorang Tokoh masyarakat sekaligus Tokoh Agama yakni,Ustad
Gofir mengundang semua tokoh masyarakat dari masing-masing etnis, untuk
membicarakan terkait dengan nama desa yang baru dimekarkan
itu.Masyarakatmempercayakan Ustad Gofir mengusulkan nama untuk desa ini,
akhirnya diusulkan tiga nama yakni, Banuroja, Jabalnur, Nujabar. Masing-masing
dari nama tersebut mempunyai makna yang diserap dari Bahasa Arab dan
merefresentasi dari semua etnik yang dominan.
Hasil Wawancara dengan Ustad Gofir Nawawi (Tokoh Jawa)
Mengatakan bahwa:
“Untuk rencana pemekaran pada awalnya sebagian masyarakat
Bali kurang menerima, kemudian saya sampaikan kepada semua
masyarakat di Sub B. ” jika kita hanya berada pada Sub B. Tidak akan
dapat apa-apa karena hanya yang dekat dengan sumur (baca:
pemerintahan) yang akan dapat. Setelah dipertimbangkan akhirnya mereka
mau menerima. Kemudian kami mengadakan rapat untuk pemekaran dan
penentuan nama desa. Ada beberapa nama yang sempat diusulkan antara
lain : Banuroja, Jabanuro, Nujabar. Ketiga nama tersebut merefresentasi
etnis yang dominan di wilayah tersebut, misalnya Banuroja (Bali, Nusa
tenggara, Gorontalo, Jawa), Jabanuro (Jawa, Bali, Nusa Tenggara,
Gorontalo), Nujabaro (Nusa Tenggara, Jawa, Bali, Gorontalo). Akhirnya
yang dipilih oleh semua masyarakat adalah Banuroja.Banuroja berasal
bahasa Arab yakni, Banu/Bani artinya anak, cucu, atau generasi,
sedangkan Roja artinya optimis. Jadi Banuroja dirtikan sebagai Generasi
yang Optimis. Jabanuro artinya Gunung Jabalnur, kemudian Nujabar
artinya terkabulkan.” (wawancara tgl 11/3/2013 )
Wawancara denga I Wayan Ade (Tokoh Bali) mengatakan bahwa:
“Sebelum nama Banuroja disahkan sebagai nama desa ini, semua
tokoh berkumpul. Kami memusyawarahkan dengan beberapa Tokoh etnis,
kemudian oleh Ust. Gofir nawawi mengusulakan 3 nama yakni, Jabalnur,
Banuroja, Nujabar, nama tersebut diambil dari bahasa Arab karena
mungkin desa Banuroja ini terkenal dengan pencetak sumber daya
manusia (SDM) dari pesantren Salafiyah Safiiyah. Sehingga dipilah
namaBanuroja yang mewakili etnis yang dominan yakin, Bali, Nusa
Tenggara, Gorontalo, Jawa. Kalau bicara pemaknaan nama, karena yang
hadir terlebih dahulu di wilaya UPT ini adalah Bali tgl 26 maret 81 jam 10
pagi, 3 bulan kemudian Nusa Tenggara, kemudian Jawa pada bulan Juni,
setelah itu Grtlo.” (wawancara tgl 13/3/2013)
Wawancara dengan Moh. Zakpan (Tokoh Nusa Tenggara)
mengatakan bahwa:
“Dulu dipilih 3 nama untuk wilayah marisa sub B ini yakni,
Banuroja, Jabalnur, Nujaba akhirnya yang disepakati oleh tokoh-tokoh
tersebuta nama banuroja untuk wilayah ini.Ustad Gofir yang memberikan
nama tersebut, di ambil dari bahsa Arab, sekaligus keterwakilan dari
semua eknis yang dominan di wilayah ini. Untuk masalah nama pertama
Bali,Dulu itu duluan bali yang datang ke wilayah ini sehingga nama yang
bernisial (B) yang di depan nama daerah ini kemudian etnis yang lainnya.”
(wawancara tgl 13/3/2013)
Wawancara dengan Moh. Gozali (Tokoh Nusa Tenggara) mengatakan
bahwa:
“Saya dari tahun 1981 bulan april, Dulu sebelum ada desaBanuroja
masih marisa 1 sub B, kemudian tahun sekitar 2000-an ada pemekaran.
Hasil pemekaran tersebut diberi nama Banuroja, nama ini diambil dari
nama kelompok “Bali, Nusa Tenggara, GoROntalo, Jawa. Filosofi dari
nama tersebut, sampai huruf petama adalah inisial Ba (Bali), karena Bali
yg pertama datang ke wilayah sub b ini, kemudian, NTB (lombok),
Gorontalo, Jawa.Bali masuk ke wilayah ini tahun 81, kemudian suku yg
lain juga masuk 81 tetapi berbeda pada bulan. NTB tiba bulan 4, tgl 4.”
(wawancara 12/3/2013)
Keterwakilanidentitas dari masing-masing etnis dalam sebuah nama,
merupakan salah satu antusias masyarakat dalam menciptakan sebuah kerukunan,
sehingga tidak menimbulkan sifat iri hati, karena nama Banuroja tersebut
merefresentasi dari masing-masing identitas etnis yang dominan, sebuah tindakan
yang sangat progres dan bijaksana, ketika keberagaman identitas dirajut menjadi
sebuah nama. Denganrajutan itu, tak ada etnis yang merasa lebih tinggi derajatnya
dibanding dengan etnis lain, masing-masing merasa memiliki dan bertanggung
jawab atas keharmonisan desa tersebut, integrasi lebih diutamakan daripada
disintegrasi.
4.2.2 Gejolak YangTerjadiPada Masyarakat
Masyarakat Banuroja hidup rukun dan saling toleransi antar sesama
masyarakat,dalam sebuah tatanan masyarakat yang heterogen, tidak dapat
dipungkiriakanterjadi suatu gesekan dan gejolak yang diakibatkan oleh perbedaan
pendapat maupun faktor lainya.Meskipungejolak tersebut tidak sampai merambah
pada konflik sosial.Terutama,pada masyarakat Banuroja yang didiami oleh
beragam macam suku dan agama. Masyarakat Banuroja, yang kehidupannya
rukun dan damai, juga sering mengalami gejolak dan gesekan dalam perjalanan
mengarungi samudera kehidupan bermasyarakat. Gejolak tersebut terjadi, baik
yang diakibatkan olehpermasalahan antar generasi muda yang berbeda etnis dan
agama, masalah kecemburuan sosial antar etnis, masalah penyebaran agama,
bahkan pernah terjadi masalah sengketa tanah yang dihibakan untuk Unit
Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang sampai hari ini permasalahan tersebut
belum selesai tetapi masih redam.
Wawancara dengan Moh. Gozali (Tokoh Lombok) mengatakan
bahwa:
“Dulu pernah ada masalah antara Lombok dan Bali,dibalik
permasalahan ini ada orang yg bikin fitnah dari salah satu agama yang ada
di desa tersebut, dasarnya orang ini tidak rukun dengan Bali, Lombok, dan
Jawa. Kebetulan org tersebutbekerja sebagai pembantusama orang Bali,
kemudian dia bikin fitnah di sana, kalau tidak salah masih masuk tahun
84-85.PakWayan ade kepala desa definitif dulu di Manunggal Karya, yang
buat fitnah tersebut berasal dari flores, dan alhamdulillah permasalahan
tidak sempat menciptakan konflik sosial di antara masyarakat, orang yang
tadi rencana akan dibunuh oleh masyarakat, waktu itu masyarakat ribut.
tapi saya sempat atasi permasalahan, saya waktu itu di bidang keamanan
desa. Saya undang yang bermasalah secara kekeluargaan untuk
menyelesaikan masalah tersebut.” Wawancara tgl 12/3/2013
Gejolak yang terjadi seperti dijelaskana di atas, merupakan adanya rasa iri
hati dari salah seorang masyarakat yang melihat betapa rukunnya masyarakat Bali
dan Lombok dalam kehidupan sehari-hari.Sehingga, orang tersebut punya
keinginan untuk menghancurkan persahabatan antara dua etnis itu. Permasalahan
mengenai apa yang membuat orang tersebut tidak senang dengan kerukunan
antara kedua etnis itu, tidak diketahui lebih jelas oleh masyarakat setempat,
berhubung orang yang menyebarkan fitnah tadi sudah pindah tanpa ada kejelasan
ke mana Ia pindah. Fitnah seperti yang terjadi di atas sangat potensial dalam
memicu konflik sosial antara masyarakat, sehingga perlu kewaspadaan dan
kelapangan hati untuk menerima setiap isu yang digemborkan oleh oknum-oknum
yang menginginkan disintegrasi pada suatu masyarakat yang rukun. Dalam
masyarakat multietnik dan multiagama, bukanlah merupakan masalah yang baru
jika dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan yang krusial seperti di atas,
hanya saja, bagaimana sikap kita untuk menepis permasalahan
tersebut.Inilahtantangan yang amat besar dalam menjaga keharmonisan, karena
tak dapat dipungkiri, tantangan tersebut bisa saja datang dari luar bahkan juga dari
dalam masyarakat itu sendiri. Modal utama dalam hidup bermasyarakat, terutama
dalam masyarakat heterogen adalah jangan cepat terpengaruh oleh isu-isu negatif
yang datangnnya dari dalam maupun luar.
Wawancara dengan Ust. Gofir (Jawa), beliau mengatakan bahwa:
“Untuk jauh dari konflik antar masyarakat yang berbeda suku dan
agama, kita harus menghindari perbuatan seperti: menghina, mencela,
buruk sangka, pandang enteng, mencemarkan nama baik. Karena hal-hal
tersebut yang memicu konflik sosial.” Wawancara tgl 11/3/2013
DesaBanuroja, sering dihadang oleh badai disintegrasi, tetapi dengan
semangat persatuan mereka mampu mengkonstruksi harmonisasi di tengah-tengah
lautan multikulturalisme. Gejolak yang terjadi di desa ini bukan hanya
permasalahan fitnah tapi juga sempat terjadi masalah mengenai penyebaran
agama. Seperti yang di sampaikan oleh beberapa tokoh masyarakat di bawah ini.
Wawancara dengan Ust. Gofir Nawawi mengatakan bahwa:
“Dulu terjadi penyebaran agama yang dilakukan oleh misionaris
pada masyarakat yang ada di Banuroja, kalau saya tidak diutus oleh
Menteri Agama ke desa ini, mungkin semuamasyarakat sudah masuk ke
dalam agama tersebut, hal tersebut terjadi karena pada waktu itu pernah
terjadi musim kemarau panjang selama 9 bulan, banyak orang-orang islam
yang tergoda oleh bujukan tersebut, karena dikasih uang dan makanan
juga pakaian sehingga sebagian dari mereka tergoda untuk masuk salah
satu agama yang disebarkan oleh misionaris, hal tersebut mengundang
kemarahan sebagian dari kalangan Umat Islam, sehingga dengan perlahan
para misionaris tersebut kembali ke tempat asal mereka masing-masing.
Mereka sebenarnya berasal dari salah satu daerah yang ada di Sulawesi
tetapi mengakunya dari Jawa dan DKI. Bukan hanya itu saja, dulu juga
sempat ada gesekan antara anak-anak muda dari masing-masing etnis yang
dipicu karena mabuk. Tetapikita bendung dan kita bina anak-anak tersebut
tentang ruginya berkelahi, Masing-masing tokoh saya undang agar
memberi nasehat kepada masing-masing kelompoknya.” Wawancara tgl
11/3/2013
Wawancara dengan I Wayan Ade dan Dewa Sudana
“Kami dulu memang ada gejolak biasanya melalui khotbah-
khotbah tapi kami tidak berikan kesempatan mereka untuk masuk.”
Wawancara tgl 13/32013
Dari penuturan kedua tokoh masyarakat di atas mengenai gejolak pada
waktu itu, merupakan sebuah misi keagamaan untuk menyebarluaskan berita-
berita tentang suatu kebenaran pada akhir kehidupan.Agar, masyarakat dapat
berpegang teguh pada ajaran yang mereka (missionaris)bawa. Secara kebetulan,
pada waktu itu terjadi musim kemarau panjang selama sembilan bulan lamanya,
sehingga menyebabkan kekeringan yang berkepanjangan, semua masyarakat
mengalami krisis pangan dan krisis lainya. Dengan adanya suatu kebutuhan yang
semakin meningkat, membuat masyarakat menyandarkan pilihannya untuk
mengikuti ajakan mereka.Denganiming-iming (baca: janji) yang cukup
menggiurkan, yakni akan diberikan bahan-bahan untuk keperluan kehidupan
sehari-hari, seperti: beras, mie instan dan bahan pokok lainnya. Dari hasil
wawancara penulis dengan beberapa informan, bahwa yang sempat terbujuk oleh
rayuan para missionaris tersebut cukup banyak, untuk penentuan berapa banyak
tidak diketahui dengan jelas oleh para informan, karena tidak sempat di
data.Kejadian tersebut sempat kacau, sebagian masyarakat yang tetap teguh pada
agamanya protes dan mengamuk. Pada saat gejolak tersebut terjadi, Ust. Gofir
Nawawi (biasa disapa dengan Abah Gofir) diutus oleh Menteri Agama RI ke
Banuroja, dengan hadirnya beliau di desa itu, membuat permasalahan pada waktu
itu dapat diatasi, dan para misionaris pindah dari desa tersebut. Sebagian
masyarakat ada yang kembali pada agama sebelumnya, ada juga yang tetap
bertahan. Hal tersebut juga sempat terjadi di beberapa wilayah, seperti yang
dijelaskan di bawah ini.
Seperti diketahui, keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam
kedeta berdarah yang gagal pada tahun 1965 menyebabkan partai ini dibubarkan.
Karena PKI adalah partai komunis yang dipandang atheis, maka para anggotanya
diharuskan memeluk salah satu agama resmi yang ada di Indonesia, karena tidak
ada lagi ruang bagi orang-orang atheis untuk hidup di Indonesia. Mereka ibarat
barang tak bertuan yang dapat diperebutkan, dan para penyebar agama, khususnya
Kristen/Khatolik tidak mau melewatkan kesempatan yang sangat berharga ini.
Lalu, digerakkanlah penginjilan dengan gencar dan agresif. Mula-mula mereka
memang menunjukan penyiaran agamanya kepada para anggota dan keluarga PKI
yang telah dibubarkan. Tetapi, dalam perkembangan selanjutnya mereka
meningkatkan aktivitas mereka dengan dengan menyebarkan agama di kalangan
pemeluk lain, khususnya Islam. Dengan berani mereka melakukan penetrasi ke
wilayah-wilayah yang selama ini dikenal sebagai “Daerah Islam” seperti Aceh,
Sumatra Barat, dan Sulawesi Selatan. Mereka mendirikan rumah sakit, Gereja,
dan Sekolah di tempat-tempat strategis yang penghuninya mayoritas beragama
Islam, melakukan kunjungan dari rumah ke rumah, memberikan bantuan ke
orang-orang miskin, dan cara-cara lain menyinggung perasaan orang Islam1.
Dengankondisi kehidupan yang mencekam pada waktu itu, mendesak
masyarakat untuk tetap survive sekalipun taruhannya adalah murtad (keluar dari
agama yang diyakini sebagai petunjuk). Hal ini, sangat mungkin menimbulkan
kegalauan yang menyelimuti setiap pikiran manusia. Sehingga, kerelaanuntuk
keluar dari agama yang bertahun-tahun dijadikan petunjuk, sangat mungkin
terjadi. Semua orang kemungkinan akan men-judge negatif ketika menyaksikan
fenomena tersebut. Tetapi, itulah pilihan yang mungkin diambil dengan banyak
pertimbangan-pertimbangan positif.
Hasil yang dicapai oleh kegiatan Kristen/Khatolik dengan berbagai macam
cara tersebut, memang sangat spektakuler. Pada awal tahun 1970, masyarakat
Muslim Indonesia sangat dikejutkan oleh pesatnya peningkatan jumlah gereja di
Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tetapi yang lebih mengagetkan
lagi adalah hanya dalam waktu lima tahun setelah 1965, missionaris Kristen
berhasil membaptis 2.000.000 orang Muslim/Jawa menjadi Kristen. Suatu jumlah
yang menurut perhitungan mereka sendiri bisa disamakan dengan kegiatan
missionaris 50 tahun ditempat lain. Kegiatan ini memicu sikap permusushan yang
dalam pada diri umat Islam terhadap Kristen. Sikap saling memusuhi ini berujung
pada konflik sosial yang keras, berupa perusakan tempat-tempat ibadah. Di
beberapa Kota di Jawa Tengah, Aceh, dan Makassar terjadi perusakan beberapa
1 Lihat Afif Muhammad, (2013). Agama dan Konflik Sosial (Studi Pengalaman Indonesia)
Penerbit MARJA: Bandung. Hlm, 109-110
gereja oleh para pemuda Muslim. Sebaliknya, di Sulawesi Utara dan Ambon
terjadi pembakaran mesjid oleh para penganut Kristen Protestan2.
Dengan demikian, jika kemudian terjadi konflik dengan umat Islam akibat
dari penyiaran agama yang mereka lakukan, sebenarnya hal itu sudah mereka
perhitungkan sebelumnya. Selain melakukan penetrasi ke wilayah-wilayah yang
menjadi basis Islam, misi Kristen/Khatolik juga menjadikan orang-orang Islam
lapisan bawah menjadi sasarannya. Dengan dalil membantu orang-orang miskin,
mereka memberikan bantuan berupa bahan makanan dan obat-obatan. tetapi
bantuan ini harus disertai paksaan terhadap orang-orang miskin untuk memeluk
agama mereka. Banyak contoh dapat diketemukan tentang kegiatan bujukan
golongan Kristen/Khatolik kepada pemeluk Islam yang lemah seperti kasus di
Desa Cigugur, Kuningan, yang menjadikan para petani sebagai sasarannya. Para
petani itu dibantu bulgur 15 kg, tetapi dengan imbalan harus membubuhkan tanda
tangan dalam formulir keanggotaan petani Pancasila, Ormas Tani Khatolik. Hal
yang sama terjadi di Surabaya (Jawa Timur) ketika terjadi banjir di daerah ini,
Pati (Jawa Tengah), Pulau Banda, dan berbagai daerah lainnya. Melalui cara ini
banyak dari kalangan miskin beralih agama3.
Masalah demi masalah sering dihadapi oleh mesayarakat di Banuroja. Hal
tersebut merupakan sederetan kisah yang terjadi pada masyarakat multietnik dan
multiagama. Di sisi lain, dari hasil temuan penulis di lapangan, ternyata sempat
terjadi juga sengketa tanah yang sudah dihibakan oleh pemerintah untuk Unit
Pemukiman Transmigrasi tersebut. Sengketa tersebutsampai hari ini tidak
2 Afif Muhammad. Op.cit
3 Afif Muhammad. Ibid. Hlm, 115-116
menemukan titik temu, akhirnya dengan berjalannya waktu, permasalahan
tersebut dengan sendirinya redam. Permasalahan sengketa tanah, saat ini sangat
marak di beberapa daerah, bahkan sampai menimbulkan perpecahan di kalangan
masyarakat. Sengketa tanah di Banuroja, pasalnya berawal dari datangnya
beberapa masyarakat yang notabenenya adalah masyarakat lokal Gorontalo.
Mereka menuntut hak kepemilikan atas tanah tersebut. Tanahyang dihibakan oleh
pemerintah untuk Unit Pemukiman Transmigrasi, ada sebidang tanah yang
mereka klaim sebagai tanah warisan dari Nenek Moyang mereka (baca: leluhur).
Asumsi yang muncul pada waktu itu, tanah tersebut milik orang tua mereka pada
waktu sebelum dibukanya Unit Pemukiman Transmigrasi, tetapi belum sempat
mereka garap. Menurut informasi dari para informan, mereka datang setiap hari
untuk membicarakan permasaahan tanah tersebut. Tetapi, masyarakat Banuroja
tidak tinggal diam dalam menanggapi permasalahan yang terjadi di UPT tersebut,
mereka juga punya dasar kuat, bahwa tanah yang sudah hibakan untuk UPT
tersebut dan dibuktikan dengan sertifikat tanah yang diberikan oleh pemerintah
sewaktu pemberangkatan dari tempat asal, secara otomatis tanah tersebut sudah
terlepas dari permasalahan kepemilikan. Hal yang terjadi di atas, lebih tepat
disebut dengan merebaknya politik identitas. Politik identitas sering terjadi pada
masyarakat yang heterogen, hal tersebut muncul ketika ada salah satu kelompok
etnis yang merasa diri memiliki dalam segala hal, dengan asumsi adalah
peninggalan leluhur, salah satu contoh dalam hal agraria, alasannya karena tanah
tersebut sudah bertahun-tahun dimiliki oleh nenek moyang (baca: leluhur),
sehingga ada rasa kepemilikan secara kuat karena turun-temurun menjadi haknya.
Terutama pada masyarakat yang akrab disapa dengan pribumi.
Masyarakat yang mengklaim tanah tersebut ternyata bukan merupakan
penduduk asli Banuroja, tetapi mereka berasal dari Kecamatan Lemito Kabupaten
Pohuwato. Mereka datang dengan segudang argumen demi mendapatkan tanah
tersebut. Hal demikian,sering membuat resah warga setempat. Timbul rasa ke-
tidak-nyamanan pada masyarakat Banuroja, karena orang-orang tadi datang setiap
hari hanya untuk mendapatkan kembali tanah yang mereka klaim
tersebut.Sehinggamemancing emosi masyarakat dan tak dapat dipungkiri
ketidaknyamanan itu akan berimbas pada kemarahan warga, bisa jadi semua
masyarakat transmigrasi akanterpancing emosinya dan siap menyerang orang-
orang yang datang mengklaim tanah hibah tersebut. Hal ini, diakibatkan oleh rasa
ketidaknyamanan masyarakat dengan klaim-klaim dari para penggugat. Tapi
sampai saat ini, belum terjadi konflik. Sengketa tanah bisa menjadi bom waktu
yang kapan saja akan meledak. Sebagaimana yang ditegaskan dalam wawancara
dengan Ust. Gofir Nawawi, beliau menyampaikan dalam wawancaranya sebagai
berikut:
“Tanah yang sudah ditransmigrasikan malah orang Gorontalo
menggugatnya, tetapi mereka etnis Gorontalo yang di Lemito, karena
melihat orang-orang di sini berhasil semua sehingga mereka iri, bahkan
pemerintah (tidak disebut namanya) membantu mereka padahal tanah ini
sudah ditransmigrasikan kepada kami, bahkan keluar dari mulut mereka
bahwa orang jawa itu adalah “penjajah”. Sampai hari ini permasalahannya
belum selesai, permasalahan tersebut terjadi pada tahun 1990-an. Pada
waktu itu semua masyarakat transmigrasi sudah siap perang dan mengusir
orang-orangGorontalo yang berasal dari Lemito tersebut, tetapi saya cepat
mengambil tindakan untuk mengumpulkan semua tokoh agar mereka tidak
terpancing.”Wawancara tgl 13/3/2013
Permasalahan terkait tanah, sudah menjadi masalah yang fenomenal di
kalangan masyarakat. Bukan hanya di Banuroja, tetapi di berbagai daerah banyak
kasus-kasus tentang sengketa tanah sering mewarnai setiap etafe perjalanan
sejarah Bangsa Indonesia, hal ini juga sudah dipraktekan sejak Bangsa Belanda
menjajah bengsa kita. Sehingga, sudah tidak asing lagi, namun sampai saat ini
belum ada desain solusi efektif. Permasalahan tanah tersebut, sangat berpotensi
besar dalam menimbulkan konflik sosial, jika dari masing-masing yang
bersengketa tidak menemukan solusi yang progres. Permasalahan tanah di
Banuroja tidak pernah menemukan solusi, dari hasil informasi yang ditemukan,
permasalahan tersebut saat ini masih redam, orang-orang yang sering datang
menggugat tanah tersebut, tidak terlihat lagi di Unit Pemukiman Transmigrasi.
Siapa sebenarnya yang menciptakan istilah politik identitas itu pertama
kali masih kabur sampai hari ini. Tetapi secara substantif, politik identitas
dikaitkan dengan kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang
merasa diperas dan tersingkir oleh dominasi arus besar dalam sebuah bangsa atau
negara. Di sinilah ide tentang keadilan untuk semua menjadi sangat relevan. Di
Amerika Serikat, para penggagas teori politik identitas berdalil bahwa praktik
pemerasanlah yang membangun kesadaran golongan yang diperas, khususnya
masyarakat kulit hitam, masyarakat yang berbahasa Spanyol, dan etnis-etnis
lainnya yang merasa terpinggirkan oleh roda kapitalisme yang berpihak kepada
pemilik modal yang umumnya dikuasai golongan kulit putih tertentu. Bentuk
ekstrem politik identitas adalah mencuatnya sampai batas-batas tertentu, gagasan
tentang separatisme. Ini terlihat misalnya di Quebeck, yang berbahasa dan
berbudaya Perancis, yang ingin memisahkan diri dari bangsa Kanada yang
berbahasa Inggris4.
Politik identitas adalah tindakan politis untuk mengedepankan
kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki
kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender,
atau keagamaan. Politik identitas merupakan rumusan lain dari politik perbedaan.
Dalam percaturan politik di negeri ini, masalah identitas kerap dijadikan salah
satu cara untuk menjelekkan atau menjatuhkan, lawan politiknya. Masih jelas di
ingatan kita, Pemilu 2004, yang lalu. Bagaimana identitas salah satu calon
presiden dikritisi dan dibongkar. Katakanlah, presiden SBY. Oleh lawan
politiknya, SBY diidentikkan sebagai calon presiden yang tidak agamis. Atau,
istrinya, Kristina, juga mendapat pukulan dengan isu yang sama. Kristina
dianggap sebagai pemeluk agama Kristen. Toh, akhirnya masyarakat juga tahu,
bahwa hal itu hanya sebuah isu yang coba dihembuskan, untuk menjatuhkan dan
menurunkan kredibilitasnya.Namun, dalam perjalanan berikutnya, politik identitas
justru dibajak dan direngkuh kelompok mayoritas untuk memapankan dominasi
kekuasaan. Penggunaan politik identitas untuk meraih kekuasaan, yang justru
semakin mengeraskan perbedaan dan mendorong pertikaian itu, bukan berarti
tidak menuai kritik tajam. Politik identitas seakan-akan meneguhkan adanya
keutuhan yang bersifat esensialistik tentang keberadaan kelompok sosial tertentu
berdasarkan identifikasi primordialitas5.
4 Lihat Ahmad Syafii Maarif dkk, 2012. Politik Identitas Dan Masa Depan Pluralisme Kita.
Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi. Hlm, 4-5 5 Sumber: http://assignmentfilzaty.blogspot.com/2011/11/politik-identitas.html.
Pendapat di atas merupakan contoh kecil dari merebaknya politik identitas
yang terjadi di masyarakat Indonesia dewasa ini, dalam hal percaturan politik.
Lain halnya dengan yang terjadi di Desa Banuroja, politik identitas lebih
merambah pada masalah agraria yakni, kepemilikan tanah. Ada beberapa kasus
sengketa tanah yang terjadi pada masyarakat Transmigrasi dengan penduduk lokal
(baca: pribumi), salah satunya yang dibahas sebelumnya mengenai gejolak
masyarakat. Kemudian juga, menurut beberapa informan yang berasal dari etnik
Lombok, bahwa selain masalah tanah yang ada di sekitar lahan Banuroja, ada juga
lahan yang sempat menjadi sengketa antara masyarakat Lombok dengan
masyarakat lokal yakni, di lahan dua yang ukurannya sekitar dua hektar.
Lahandua yang status kepemilikannya dimiliki oleh etnik Lombok, juga digugat
oleh masyarakat lokal. Pasalanya, tanah tersebut diklaim oleh masyarakat
Gorontalo sebagai warisan Nenek Moyang mereka, pada waktu itu sempat datang
Tim yang mengelola Program Transmigrasi dari Jakarta untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Tim tersebut dikawal oleh TNI, setelah permasalahan
sengketa tersebut redam, Tim kembali ke Jakarta. Selang beberapa hari,
masyarakat Pribumi (baca: penduduk asli) kembali lagi ke lahan tersebut untuk
mengkalim bahwa tanah tersebut tetap menjadi milik mereka dengan berbagai
macam argumen. Akhirnya, untuk menjaga agar tidak terjadi permasalahan yang
lebih runyam (baca: rumit) lagi, pemerintah menawarkan solusi dengan jalan
menukar lahan dua milik etnik Lombok tersebut dengan Sapi. Akhirnya,
permasalahan tersebut menemui titik klimaks, masyarakat Lombok demi menjaga
agar tidak terjadi keributan, mereka menerima tawaran dari pemerintah tersebut.
berikut wawancara dengan masyarakat dari etnis Lombok.
Wawancara dengan Basarudin, salah satu masyarakat Lombok
“Lahan dua juga bermasalah, letaknya tepat di dekat Desa
Manunggal Karya, kalau tidak salah di jalan Bonda. Kami mendapat jatah
dua hektar tanah di situ, tapi orang Gorontalo mengklaim bahwa itu tanah
Nenek Moyang mereka. Saya bingung kalau memang itu tanah nenek
moyang mereka kenapa tidak dari dulu mereka garap. Kami kan pada
waktu program transmigrasi ada, sudah dibagi lahannya untuk etnis ini
sekian, untuk kami sekian. Tidak mungkin orang trans mengambil tanah
begitu saja, karena kami juga tidak mau bermasalah dengan siapapun.
Kami dikirim ke sini untuk kerja bukan cari masalah. Pada saat
permasalahan sengketa tersebut kami dari NTB mundur mengalah,
kemudian turun yang dari pusat, akhirnya ditukar denga sapi.” Wawancara
tgl 2/7/2013
Hal tersebut di atas, merupakan masalah yang cukup rumit karena
permasalahan tersebut dapat merambah ke konflik sosial jika tidak dapat
dibendung dan ditemukan konsepsi dan konstruksi solusi untuk ditawarkan. Isu
politik identitas, terlihat seakan memberi ruang gerak bagi penduduk asli dalam
permasalahan, baik politik maupun hal-hal lain, terutama masalaha sengketa tanah
di Banuroja yang bisa diibaratkan seperti bom waktu, kapan saja bisa meledak.
Sebaliknya dengan adanya praktek politik identitas, tidak dapat memberi ruang
bagi warga pendatang dalam hal kepemilikan, terutama seperti yang terjadi di
Banuroja. Status sebagai pendatang seakan membatasi ruang gerak mereka untuk
melakukan elaborasi dalam kepemilikan lahan.
Wawancara dengan ayahanda Banuroja yakni Bapak Abdul Wahid
(Etnik Lombok) mengaakan bahwa:
“Dulu mereka datang ke saya untuk minta membuatkan surat
pelegalan tanah yang jadi sengketa tersebut, tapi sampai hari ini saya tidak
pernah buatkan suratnya. Karena, saya berfikir ketika saya membuatkan
surat maka status tanah tersebut tidak akan bisa dimanfaatkan oleh orang
lain lagi. Karena sekarang lahan yang menjadi sengketa tersebut sering
dimanfaatkan oleh semua orang baik masyarakat pribumi maupun
masyarakat Transmigrasi. Banyak yang mengambil sagu (jenis tumbuhan
yang dapat dijadikan makanan)di lahan tersebut. olehnya itu, saya tidak
membuatkan suratnya karena ketika sudah menjadi milik seseorang maka
yang lainnya sudah tidak dapat memanfaatkannya lagi.” Wawancara
tanggal 2 Juli 2013
Indonesia memberikan perhatian yang besar terhadap masalah integrasi.
Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari kondisi keragaman masyarakat yang
terjadi di Indonesia. Bahkan sebagai dampak dari keragamannya tersebut,
masyarakat Indonesia disebut masyarakat “super majemuk”.Kemajemukan
tersebut memiliki dua implikasi yang kontradiktif, di satu sisi kemajemukan
tersebut menjadi karakteristik dan daya tarik tersendiri bagi bangsa Indonesia.
Namun di sisi lain, ia menjadi sebuah ancaman bagi integrasi bangsa yang
mendorong pada disintegrasi. Sehingga patut disyukuri jika sampai hari ini,
kurang lebih 67 tahun lamanya, bangsa Indonesia masih mampu mempertahankan
persatuan NKRI, walaupun harus ditempuh dengan berbagai perjuangan dan
pengorbanan yang tidak mudah. Karena proklamasi yang yang dikumandangkan
pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak menjamin bangsa Indonesia akan terbebas
dari segala bentuk ancaman terhadap keutuhan bangsa, justru ancaman dengan
berbagai modus operandi datang untuk merongrong persatuan dan kesatuan
bangsa, salah satunya dewasa ini kita temui fenomena politik identitas. Pola
Operasionalisasi Politik Identitas ini dapat kita jumpai pada realitas yang terjadi
di masyarakat ditunjukkan dengan banyaknya perbenturan kepentingan dan
fenomena ego sektoral, antara lain: Pertama, operasionalisasi politik identitas
dimainkan peranannya secara optimal melalui roda pemerintahan. Hal ini sejalan
dengan bergeseranya pola sentralisasi menjadi desentralisasi, dimana pemerintah
daerah diberi kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri dan
pengakuan politik dalam pemilihan kepala daerah oleh konstituen di daerah
masing-masing. Politik Identitas ini ditampakkan dengan maraknya isu etnisitas
dan gejala primordialisme yang diusung melalui isu “putra daerah” dalam
menduduki jabatan publik, isu etnis asli dan anti pendatang, dan isu etnis
mayoritas dan minoritas. Kedua, wilayah agama sebagai lahan beroperasinya
politik identitas. Dalam konteks Indonesia politik identitas itu dilakukan oleh
kelompok mainstream, yaitu kelompok agama mayoritas, dengan niat
”menyingkirkan” kaum minoritas yang dianggapnya ”menyimpang” atau
”menyeleweng”. Ketiga adalah wilayah hukum. Ini merupakan wilayah paduan
antara wilayah negara dan agama, karena masing-masing memiliki aturannya
sendiri. Pada sisi ini, politik identitas beroperasi dengan cara pembagian
kekuasaan, di mana identitas kelompok akan memasukkan kepentingan
identitasnya secara partikular. Kemungkinan modus kita akan menjadi dasar bagi
hubungan politik identitas yang dibangun sangatlah besar. Namun demikian, hal
ini tidak akan terjadi seandainya kepentingan dari politik identitas etnis yang
bersifat minoritas tidak terjembatani melalui pengakuan hak-haknya untuk
berpartisipasi di wilayah pembuatan keputusan hukum secara bersama6.
Merebaknya isu politik identitas dalam hal sengketa tanah, tidak hanya
terjadi di wilayah Transmigrasi Banuroja, tetapi, hal tersebut merambah sampai ke
6 Sumber: http://lembagailmiah.blogspot.com/2012/11/menguatnya-politik-identitas.html
desa tetangga yakni, Desa Manunggal Karya. Dari hasil wawancara lapangan
yang telah dilakaukan, ternyata maasyarakat yang ada di wilayah Transmigrasi
Desa Manunggal Karya juga mengalami hal yang sama dengan permasalahan
yang dialami oleh masyarakat Trans di Desa Banuroja. Permasalahannya juga
sama mengenai sengketa tanah, beberapa masyarakat pribumi (baca: penduduk
asli) datang ke lahan milik masyarakat Transmigrasi menuntut hak kepemilikan
atas tanah tersebut. asumsi yang sering menjadi tameng (baca:
pelindung/penguatan) dari masyarakat pribumi adalah tanah tersebut sudah
warisan Nenek Moyang sejak dahulu hingga sekarang. Sehingga, mereka
memiliki alasan yang kuat untuk memilikinya kembali. Permasalahan tersebut
menimbulkan kerisauan dalam diri masyarakat Transmigrasi, kepastian hukum
dan ketegasan dari pemerintah pun tidak jelas arahnya, sehingga menambah
kebingungan dalam diri masyarakat. Dinamika tersebut menuai kegelisahan yang
begitu besar bagi masyarakat Transmigrasi, karena ketika setiap jengkal tanah
akan diklaim oleh penduduk asli, hal tersebut dikhawatirkan mengundang
kemarahan yang berpotensi konflik antar suku.
Wawancara dengan Kepala Desa Manunggal Karya yakni Bapak
Suyanto (Etnik Jawa). Beliau mengatakan bahwa:
“Memang di Banuroja ada tanah yang dipermasalahkan oleh
penduduk asli sini, tapi di dalam surat mereka itu tidak dijelaskan secara
jelas, Cuma batas gunung saja. Pemerintah pun tidak secara tegas untuk
meberikan kepastian hukum, mereka hanya mengatakan bahwa tanah ini
sudah sah milik transmigrasi tapi penyelesaiannya itu tidak ada. Bahkan
ada juga tanah yang dipermasalahkan di perbatasan Marisa dua sana yang
dekat dengan jalan Trans Taluditi. Bahkan di Manunggal Karya pun sering
terjadi permasalahan mengenai sengketa tanah, yang seprti dialami oleh
masyarakat Banuroja. Orang-orang pribumi yang sering menggugat bahwa
tanah tersebut milik nenek moyang mereka. Dari pemerintah pun tidak
pernah ada kepastian hukum.”
Di sisi lain, sebagaimana yang dijelaskan pada penelitian Tri Yudha
Handoko (2009) tentang Politik Identitas Etnis Cina Di Indonesia, menjelaskan
bahwa, ketika Republik Indonesia didirikan pada Agustus 1945, secara yuridis
formal semua warga yang berada di wilayah Republik Indonesia secara politis
menjadi seorang warga negara Republik Indonesia, baik dia keturunan asli, indo,
timur asing maupun asal-usul jenis ras, suku, agama, daerah, atau lingkungan adat
tertentu. Namun, di luar jangkauan tekad politik atau yuridis formal, kehidupan
warga negara Indonesia “keturunan” (Tionghoa, Arab, Indo-Eropa atau “non-
pribumi lainnya) tetap menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Kenyataan kehidupan sehari-hari bahwa sebagian dari mereka menghadapi
perlakuan diskriminasi yang dirasakan menyakitkan. Hal ini tampak pada praktek-
praktek diskriminatif di bidang administratif. Pemerintah Indonesia menerapkan
berbagai kebijakan diskriminatif (banyak yang tidak tertulis) terhadap warga etnis
Cina dalam aspek kehidupan dan kegiatan lain. Otoritas pemerintah Indonesia
juga mempersulit warga etnis Cina secara administratif, seperti memperoleh Surat
Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), Kartu Tanda Penduduk
(KTP), paspor, akta lahir, izin menikah, dan sebagainya kecuali bila melakukan
pembayaran “di balik pintu”.Padahal Undang-Undang Republik Indonesia tahun
2008 mempertegas dan memperluas penghapusan diskriminasi ras dan etnis, yang
dilaksanakan berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan dan nilai-nilai
universal dan diselenggarakan dengan memperhatikannilai-nilai agama, sosial
budaya dan hukum yang berlaku di Republik Indonesia7.
Kondisi seperti yang dijelaskan di atas, hampir memiliki persamaan
dengan yang terjadi di Bali. Isu mengenai pendatang dan penduduk asal, tetapi,
permasalahan yang terjadi agak sedikit berbeda dengan yang terjadi di tanah
Dewata tersebut. Ada ungkapan yang sempta muncul “ tanah yang dibutuhkan,
sedangkan manusianya yang menempati tanah tersebut tidak pernah dibutuhkan.”
Bukti lainnya paling tidak menurut pandangan masyarakat Bali sekarang adalah
bahwa sehubungan dengan perkembangan hotel berbintang di “Nusa Dewata” ini,
banyak buruh yang dari jawa yang didatangkan oleh para investor. Banyak orang
Bali mengeluhkan para pendatang dari Jawa yang tidak diberi tiket untuk pulang
kembali ke Jawa. Pendatang tersebut akan mebanjiri pasar kerja di Bali,
sebaliknya orang Bali sendiri harus melakukan Transmigrasi ke daerah lain di luar
tempat asalnya. Menurut pandangan sebagian besar orang Bali, masyarakat lokal
sering tidak diberi kesempatan untuk bekerja dalam pembangunan pariwisata
karena para pendatang rela menerima upah yang lebih rendah dari pada penduduk
lokal. Namun, perlu dicatat juga bahwa sering terdengar dari manejer-manejer
yang bukan orang Bali bahwa orang Bali jarang bersedia mencari pekerjaan kasar
dan mereka suka berlibur8. Dinamika yang terjadi pada masyarakat Bali sebagai
penduduk asli dan Jawa sebagai pendatang, sangat berbeda dengan yang terjadi di
Banuroja, dalam hal kondisi yang dialami pendatang pada saat berada di tengah-
7Lihat Skripsi Tri Y. Handoko, 2009. Politik Identitas Etnis Cina Di Indonesia. Medan.Hlm, 3
8 Lihat dalam Martin Ramsted dan Fadjar Ibnu Thufail (editor), 2011. Kegalauan Identitas:
Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan Pada Masa Pasca-Orde Baru. PT Gramedia
Widiasrama Indonesia: Jakarta
tengah penduduk asli. Di Bali, malah penduduk asli yang merasa tertekan karena
tekanan dari pendatang. Sedangkan, di Banuroja masyarakat pendatang yang
merasa terusik dengan adanya klaim-klaim yang datang dari penduduk asli.
4.2.3 Toleransi, Sebuah Rajutan Dalam Keragaman Identitas
Istilah budaya toleransi (culture of tolerance) tampaknya belum banyak
dikenal dalam wacana sosial-politik Indonesia, karena selama masa otoriter Orde
Baru, toleransi menjadi salah satu nilai yang dimobilisasikan dan diintroduksikan
secara represif dalam paket ideologi uniformitas Pancasila. Dalam alam
militeristik tersebut, setiap gerakan yang berbau keagamaan, kedaerahan, ataupun
kesukuan yang eksklusif cenderung dianggap sebagai pembangkangan SARA,
dan biasanya ditindak dengan tegas oleh aparat negara. Karena itu, toleransi lebih
banyak dipahami sebagai ideologi kaum penguasa dan bukan bagian dari proses
kebudayaan masyarakat bangsa. Dalam alam reformasi ini, issu-issu mengenai
toleransi, identitas, dan pluralitas menjadi persoalan masyarakat dan bukan lagi
tanggungjawab 'ideologis' negara. Akan tetapi, perubahan tersebut berlangsung
dengan sangat cepat, sehingga banyak pengamat budaya Indonesia meng-
khawatirkan bakal hilangnya rantai pemersatu bangsa (chain ofnational unity).
Barangkali belum terlalu disadari bahwa harga sosial yang harus dibayar karena
hilangnya rantai pemersatu itu sangat mahal. Beberapa pakar kebudayaan
mengungkapkan bahwa nilai toleransi bukanlah sebuah nilai yang hadir pada
dirinya sendiri. Kadar toleransi bersumber dari adanya nilai empati yang secara
inherent sudah ada dalam hati setiap manusia. Empati merupakan kemampuan
hati nurani manusia untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain;
kemampuan untuk ikut bergembira ataupun berduka dengan kegembiraan dan
kedukaan orang lain. Semakin tinggi kadar empati seseorang, semakin tinggi pula
kemampuan orang itu membangun nilai toleransi, yaitu kemampuan untuk
menerima dan menghargai adanya perbedaan. Nilai toleransi, merupakan salah
satu nilai dalam khazanah budaya berpikir positif9.
Sikap toleransi sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat yang
mempunyai keragaman etnis dan agama. Potret konflik yang terjadi dibebarapa
daerah, merupakan bukti nyata dari gejolak yang terjadi pada masyarakat
heterogen.Entah, diakibatkan oleh perbedaan pendapat ataupun diakibatkan oleh
kurangnya sikap toleran antar masyarakat. Isu etnis, merupakan suatu kajian yang
sangat urgen untuk ditemukan suatu solusi produktif, yang mampu dijadikan
konstruksi ide untuk menyatukan pendapat.Demitercapainya suatu kerukunan dan
kehidupan yang tentram.Isu keragaman etnis, seakan telah menjadi wacana
nasional yang sampai saat ini hampir tidak ditemukan solusi dan desain progres,
bahkan isu ini sering hadir dalam bayang-bayang kehidupan masyarakat yang
berada pada suatu masyarakat heterogen.
Salah satu problem besar yang dihadapi bangsa Indonesia belakangan ini
adalah muncul beragam masalah yang menjurus kepada disintegrasi bangsa, di
mana salah satu faktor pemicunya adalah konflik bernuansa agama. Setiap agama,
baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, atau yang lain pada dasarnya tidak pernah
mengajarkan umatnya berbuat aniaya terhadap umat lain. Tapi sayangnya, agama
9 Yoseph Yapi Taum, (2006). Masalah-Masalah Sosial Dalam Masyarakat Multietnik. Makalah
dibawakan dalam Focus Group Discussion (FGD) “Identifikasi Isu-isu Strategis yang
Berkaitan dengan Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa” , dilaksanakan oleh Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 10 Oktober 2006. hlm, 5-6
yang mengajarkan perdamaian tidak jarang dijadikan legitimasi untuk
mengganggu, memusuhi bahkan memusnahkan umat lain. Di Indonesia konflik
antar umat beragama seperti yang terjadi di Ambon dan Poso adalah salah satu
bukti nyata bahwa ajaran agama dijadikan sebagai alat pembenar bagi
pemeluknya untuk melakukan tindakan permusuhan dan pembunuhan atas nama
agama. Kenyataan ini jelas sangat bertentangan secara diametral dengan esensi
ajaran agama itu sendiri yang selalu mengajarkan cinta kasih dan perdamaian.
Contoh konflik bernuansa agama, yakni antara Islam dan Kristen yang terjadi di
Ambon dan Poso bagi bangsa Indonesia, tidak menutup kemungkinan bisa terjadi
pada agama-agama yang lain, seperti antara Islam dan Hindu, Islam dan Budha,
serta Kristen dengan Hindu atau Kristen dengan Budha. Hal ini bisa dipahami
mengingat bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk dengan
pemeluk agama yang beragam. Belum lagi perbedaan suku dan ras, bisa jadi
faktor ini juga berpotensi memperkeruh suasana konflik agama. Namun demikian,
kemungkinan di atas bisa jadi tidak terwujud apabila masyarakat dan bangsa
Indonesia mampu menumbuhkan sikap toleran di antara umat beragama10
.
Masyarakat Banuroja yang menjadi objek dari penelitian ini, telah
mempraktekan dalam kehidupan sehari-hari mereka sikap toleransi tersebut, baik
toleransi dalam kehidupan antar-etnis maupun dalam kehidupan antar umat
beragama. Sehingga, masyarakat yang mempunyai latarbelakang etnis dan agama
yang berbeda merasakan ada rasa saling menghargai dan menghormati dari
10
Lihat dalam Ahmad Munjin Nasih dan Dewa Agung Gede Agung (2011), Harmoni Relasi
Sosial Umat Muslim dan Hindu di Malang Raya. Jurnal, Volume 24, Nomor 2, Hal: 142-150
Tahun 2011,
masyarakat yang berbeda tersebut, sehingga, konflik antar agama dan etnis daapat
dibendung. Sikap toleransi tersebut, dapat dijadikan sebagai pegangan hidup dan
harus dijaga oleh masyarakat yang hidup dalam suatu wilayah multikulturalisme.
Sehingga, dapat memungkinkan kita untuk bisa hidup harmonis dan saling
mengisi dalam setiap kekurangan dan perbedaan yang ada. Sebagaimana hasil
wawancara dengan beberapa tokoh dari masing-masing etnis, salah satunya Kyai
Gofir, beliau mengatakan:
Wawancara dengan Ust. Gofir (Tokoh Jawa), mengatakan bahwa:
“Masyarakat di desa ini memegang prinsip “Bali, Jawa,
Lombok, sama-sama pendatang jadi lebih baik mengutamakan kerja
sama dari pada mencari masalah yang hanya merugikan semua dan
tidak ada untungnya.” Begitu pun dalam kehidupan beragama untuk
menyiarkan agamamelalui ceramah dan berdakwah kami tidak
melakukan cara dakwah islami tetapi dakwah dengan metode
nasionalisme, sehingga tidak mengganggu hubungan keagamaan yang
telah kami jalin puluhan tahun. Bahkan pada waktu pembangunan
pesantren pun orang-orang bali ikut bekerja membangun, bahkan
pelatih sepak bola di pesantren adalah pendeta gereja. Ketika pesantren
mengadakan majelis ta’lim,masyarakat yang berasal dari etnis dan
agama berbeda kami undang statusnya hanya
mendengarkan.”(Wawancara tgl 13/3/2013)
Hal tersebut di atas,merupakan manifestasi rasa dari kesaksian bersama
bahwa sudah sepantasnyalah perjalanan kehidupan ini berlangsung seirama, serasi
dan sekeyakinan, agar kehidupan rukun yang telah dipelihara selama puluhan
tahun akan tetap awet dalam bingkai kesatuan Negara Republik Indonesia.
Sebagaimana cita-cita dan amanat Bhineka Tunggal Ika. Gejolak yang sering
terjadi dalam mewarnai kehidupan masyarakat di Banuroja dapat diatasi dengan
baik tanpa harus melalui konflik yang berkepanjangan seperti yang terjadi di
berbagai daerah.
Indonesia ibarat sebuah taman yang ditumbuhi aneka bunga berwarna-
warni. Akan tetapi, jika keragaman itu tidak dikelola dengan baik, konflik akan
mudah pecah. Futurolog terkemuka seperti John Naisbitt dan Alfin Toffler juga
memprediksikan tentang menguatnya kesadaran etnik (ethnic consciousnes) di
banyak negara pada abad ke-21. Berbagai peristiwa pada dua dasawarsa terkahir
abad ke-20 memang perlawanan terhadap dominasi negara ataupun kelompok-
kelompok etnik lain. Berjuta-juta nyawa telah melayang dan banyak orang
menderita akibat pertarungan-pertarungan itu. Samuel Huntington merupakan
futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal munculnya perbenturan antar
masyarakat "di masa depan" yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan
peradaban “clash of civilisation.” Sentimen ideologis yang selama ini dominan
dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya. Blok-blok
dunia juga akan banyak ditentukan oleh kepemihakan terhadap agama dan
kebudayaan. Kutipan pernyataan para futurolog ini hanya untuk mengingatkan
bahwa kebudayaan tidak jarang membangun blok-blok yang dapat menimbulkan
ketegangan dan bahkan peperangan. Masyarakat terutama yang mempunyai
karakter multi-etnis dan multi-agama perlu senantiasa menggali wawasan
kebangsaannya untuk menghindari ketegangan-ketegangan baru. Konflik
horisontal antar kelompok masyarakat tertentu di Indonesia (Ambon, Kupang,
Sambas, Palangkaraya, Sampit, Papua, Poso, Lombok, Tasikmalaya, Jakarta,
Solo, Surabaya, dll) seharusnya menggugah bangsa ini untuk kembali merenungi
pertanyaan-pertanyaan mendasar11
.
Potret masyarakat multikulturalisme di Indonesia, penting sekali untuk
dicarikan sebuah desain spesifik, yang mampu mentransformasi pola pikir klasik
dari masyarakat yang melihat kemajukan sebagai suatu hambatan, sehingga tidak
dapat dipungkuri dari sikap dan pola pikir klasik itulah yang dapat melahirkan
egosentrisme dan dapat menyebabkan konflik seperti diberbagai daerah. Bangsa
ini butuh generasi yang produktif, dalam meng-integrasikan kepentingan dan
tekad bersama dalam kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia. hal ini
sangat esensialdan perlu ada keseriusan bersama dalam mewujudkan keragaman
yang saling menyapa.
4.2.4 Potret Kerukunan Dalam Masyarakat Multietnikdi Banuroja
Kerukunan dalam sebuah tatanan masyarakat yang beragam suku, agama,
ras, dan budaya sangat sulit ditemukan. Banuroja merupakan kompas dari
konstruksi keharmonisan masyarakat multietnik dan realitas keragaman yang
saling menyapa. Desa ini mempunyai keunikan tersendiri, karena dalam wilayah
tersebut didiami oleh empat etnis yang dominan dan tiga agama yang saling
menyapa. Wilayah tersebut juga merupakan potret dari keragaman masyarakat
Indonesia, yang mampu mengkonstruksi subuah keragaman identitas menjadi
suatu kehidupan yang harmonis dan mampu menciptakan solusi bagi setiap
gejolak yang terjadi dalam masyarakat tersebut.
11
Yoseph Yapi Taum. Ibid. hlm, 1
Di sisi lain, Negara kita menganut multikulturalisme yang tercermin dalam
simbol yang telah disepakati bersama, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka
Tunggal Ika merupakan suatu pengakuan terhadap heterogenitas etnik, budaya,
agama, ras, dan gender, namun menuntut adanya persatuan dalam komitmen
politik membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bhinneka
Tunggal Ika sebagai symbol yang seharusnya dapat difungsikan sebagai roh
penggerak perilaku masyarakat Indonesia, di dalam kenyataan belum secara
sungguh-sungguh dijadikan kekuatan untuk membangun bangsa dan negara.
Bahkan pada beberapa tempat, kemajemukan masih dianggap sebagai sumber
permasalahn bahkan konflik, yang membuktikan bahwa realitas heterogenitas
belum dipahami dan diakui oleh seluruh lapisan masyarakat. Multikulturalisme
menjadi suatu kebutuhan bersama apabila kita mengakui realitas heterogenitas
dalam masyarakat. Dalam konteks inilah, peran serta masyarakat memainkan
peran yang sangat penting untuk mendorong agar kemajemukan di Indonesia
dapat tampil sebagai suatu kekuatan untuk membangun bangsa dan negara. Salah
satu kelompok masyarakat dapat berperan penting dalam mewujudkan Indonesia
ke depan yang lebih baik adalah kelompok perempuan. Dengan jumlah yang
cukup besar (49,86%, menurut Sensus penduduk tahun 2000), kaum perempuan
sebagai pendidik dalam keluarga dan masyarakat dapat menjadi agen perubahan
yang handal menuju masyarakat Indonesia yang egaliter berlandaskan pada
semangat multikultural12
.
12
Kata Sambutan oleh Prof. Dr. Meutia F. Hatta Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia, dalam Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. II•No. 1•April
2006
Sangat penting bagi semua wilayah yang rawan konflik, untuk berkaca
pada keharmonisan masyarakat Banuroja tersebut.Demi menemukan desain yang
spesifik untuk mendamaikan daerah-daerah yang rawan dengan konflik sosial,
baik yang disebabkan oleh masyarakat multietnik maupun masyarakat
multiagama, karena setiap agama dan etnis mempunyai sikap egosentrisme
masing-masing yang begitukuat, sehingga perlu desain yang mampu
mengintegrasikan perbedaan tersebut. Masyarakat Banuroja mampu
mengkonstruksi kerukunan dalam masyarakat yang beragam demi terciptanya
integrasi sosial. Hal yang paling prinsip adalah kesadaran dirilah sebagai seorang
pendatang (Baca; perantau) yang membuat mereka hidup berdampingan antar satu
dan yang lainnya. Sangat jarang ditemukan dalam tatanan kehidupan masyarakat
yang heterogen,suatu sikap toleransi dalam sebuah bahtera kehidupan yang di
dalamnya ada bermacam-macam suku dan agama. Ada beberapa contoh sikap
saling menghargai dalam masyarakat Banuroja,seperti yang disampaikan oleh
beberapa tokoh yang penulis wawancarai.
Wawancara denga Ust. Gofir (Tokoh Jawa) mengatakan bahwa:
“Pada waktu pembangunan pesantren orang-orang bali dan
etnis lain ikut bekerja membangun, tanpa melihat perbedaan dalam
diri masing-masing, bahkan pelatih sepak bola di pesantren adalah
pendeta gereja, beliau sering melati anak-anak pesantren untuk
olahraga kami hidup di wilayah inilebih mengutamakan kerja sama
dari pada individu, Ketika pesantren mengadakan majelis ta’lim orang
bali dan etnis lain diundang untuk mendengarkan, mereka sangat
antusias untuk menghadiri undangan tersebut.” (wawancara tgl
11/3/2013)
Kondisi saling membantu dalam aktivitas sehari-hari juga sering di-
praktekan pada desa ini, antusias dari masing-masing etnis dalam memajukan
daerah ini sangatlah besar, sehingga tak melihat dari mana mereka berasal, hanya
ada satu tekad yang sangat besar yakni menjadikan perbedaaan latar belakang
menjadi sebuah instrument pemersatu demi kemajuan dan tercapainya
kepentingan bersama. Perbedaan tersebut tidak menjadi penghalang bahkan tidak
menjadikan suatu kendala dalam kehidupan bermasyarakat karena kerja sama
yang mereka utamakan, bukan egosentrisme. Dalammengarungi samudera
multikulturalisme masyarakat,dengan ribuan resiko terpaan gelombang
disintegrasiyang cukupkuat menerpa setiap dinding-dinding bahtera kehidupan,
masyarakat Banuroja tidak mudah terpropokasi oleh besarnya gelombang
perpecahan tersebut. Sebagaimana juga yang disampaikan oleh beberapa tokoh
dari etnis lain.
Wawancara dengan Yaser Singon (Pendeta) mengatakan bahwa:
“Kami di sini tidak melihat perbedaan yang ada, di sini
masyarakat yang berbeda etnis sudah menjadi sekeluarga. Tahun lalu
desa ini di kunjungi langsung kementrian agama pusat dan mendapat
penghargaan, tidak mudah terpropokasi dengan isu dari
manapun.Kekeluargaan yang lebih kita utamakan dalam menjaga
kerukunan antar etnis dan agama”. (wawancara tgl 18/4/2014)
Wawancara dengan Pak Moh. Zakpan (Tokoh Nusa Tenggara)
mengatakan bahwa:
“Desa ini mendapat penghargaan pada waktu adanya Gema
Panua yang merupakan program pemerintah Kabupaten Pohuwato,
karena keruknannya terjaga, kita saling menghormati sesama etnis dan
agama, artinya kami dari islam selalu menjaga agar tidak saling
mengganggu antara satu sama lain begitu pula teman-teman yang dari
agama lain. Bahkan kami selalu di beri nasehat oleh orang-orang alim
khususnya Ustad Gofir, selalu memberikan cerama panjang lebar
tentang menjaga kerukunan dengan cara saling menghargai dan
menghormati, sehingga kami menjaga hubungan antar sesama etnis.
Kami juga saling menyapa dan menghormati antar sesama baik di
lahan pertanian maupun di jalan. Ada majelis taklim akbar disini
bergantian kadang di taluditi kadang juga dilaksanakan di pesantren
jadi saling bergiliran, semua etnis diundang sehingga komunikasi dan
interaksi berjalan dengan baik.” (wawancara tgl 14/3/2014)
Rasa saling menghormati dalam masyarakat seperti pada hasil wawancara
di atas juga merupakan modal utama dalam pengawetan dan pemeliharaan
harmonisasi dalam masyarakat heterogen. Upaya-upaya yang dilakukan oleh
masyarakat dalam pengelolaan kerukunan tersebut, bukan hanya menjadi kompas
peradaban, tetapi juga harus dijadikan sebagai bahan untuk mendamaikan
beberapa daerah yang rawan konflik sosial.
4.3 Pembahasan
4.3.1 Pola Pengelolaan Keserasian Sosial Dalam Masyarakat Multietnik di
Banuroja
Masyarakat yang berada pada suatu wilayah dengan beragam suku, etnik,
dan agama sangat rentan dengan konflik sosial baik dilakukan oleh individu
maupun oleh kelompok. Dalam menghadapi keberagaman etnik dalam suatu
wilayah, perlu adanya strategi dan pola yang harus dilakukan dalam mengelola
keharmonisan antar masyarakat multikultural tersebut.Dalam membangun suatu
keharmonisan dalam tatanan masyarakat multikultural sangatlah sulit karena
dering terjadi perbedaan pendapat yang akan menjerumuskan ke konflik sosial
antar masyarakat tersebut. Sanagatlah dibutuhkan resep dan solusi progres demi
terwujudnya perdamaian dan keserasian sosial dalam masyarakat. Resep itulah
yang sangat dibutuhkan demi menjaga keberlangsungan hidup yang penuh dengan
toleransi.
Banuroja merupakan sampel yang sangat baik untuk dijadikan kiblat
percontohan kehidupan masyarakat multietnik, karena dalam perjalanannya telah
melewati berbagai macam rintangan dan polemikdalammengarungi samudera
kehidupan masyarakat yang heterogen, yang sampai sekarang rintangan tersebut
mampu ditepis dengan kehidupan yang toleran antar sesama. Isu SARA telah
menjadi isu yang sangat urgen, karena dari berbagai daerah yang mempunyai
keragaman suku, agama, dan ras sering diwarnai dengan konflik sosial yang
berkepanjangan. Hingga kini solusi dan resep untuk masyarakat multietnik sangat
dibutuhkan dalam menjalin kehidupan yang heterogen.Berbagai macam cara dan
solusi telah dilakukan, baik dengan cara pendekatan kearifan lokal, asimilasi
budaya, akulturasi, dll. Tetap saja dalam mengarungi perjalanan kehidupan
masyarakat yang beragam tak mampu menemukan konstruksi gagasan yang ideal
untuk membendung konflik sosial tersebut.
Dari hasil penelitian yang ditemukan oleh penulis di lapangan, terdapat
beberapa konstruksi ide, gagasan, dan solusi untuk membendung konflik sosial
pada masyarakat Banuroja.Sehingga, konflik tidak muncul pada permukaan. Ada
beberapa cara yang dilakukan oleh masyarakat multietnik di Banuroja antara lain:
4.3.1.1 Modal Sosial, Suatu Desain dan Konstruksi Resolusi Terhadap
Disintegrasi
Modal sosial merupakan hasil dari hubungan sosial yang menerus yang
mampu menjembatani adanya kerja sama di dalam dan di antara kelompok-
kelompok individu. Modal sosial sebagai jembatan kerjasama tersebut mengacu
pada aspek utama organisasi, seperti kepercayaan (trust) dan jejaring sosial
(networks), dalam bentuk tindakan efisien yang terkoordinasi13
.
Menilai Modal sosial dari sisi lain bahwa modal sosial dibentuk dan
ditransmisikan melalui mekanisme kultural, seperti agama, tradisi, dan kebiasaan-
kebiasaan historis. Mekanisme kultural tersebut mampu membentuk nilai-nilai
bersama dalam menghadapi masalah bersama dalam komunitas. Namun demikian,
sebagai modal utama terbentuknya modal sosial tersebut adalah kejujuran antar
individu yang terus menerus sehingga menimbulkan ikatan kepentingan dalam
komunitas. Selanjutnya akan membentuk ikatan kelompok sosial berdasarkan
norma-norma yang disepakati sebagai konsekuensi dari ikatan tersebut14
.
Penjelasan di atas, memberi gambaran mengenai pentingnya suatu modal
sosial dalam lingkungan masyarakat. Seperti halnya di Banuroja, adanya suatu
konstruksi modal sosial (social capital) yang mereka jadikan sebagai suatu desain
spesifik untuk melahirkan suatu konstruksi resolusi dari berbagai permasalahn
yang terjadi di masyarakat multikultural misalnya, kepercayaan (trust). Dalam
masyarakat Banuroja tumbuh berkembang selama bertahun-tahun rasa percaya
antar masyarakat yang dibangun dengan saling jujur antara satu sama lain.
Kejujuran juga merupakan modal sosial yang paling esensial dan harus diterapkan
dalam kehidupan masyarakat yang beragam agar tercipta rasa saling percaya
13
Lihat Adams dan Someshwar (1999) dalam Triyono dan Ahmad Arief (2003). Modal
sosial sebagai mainstream pengembangan masyarakat pesisir, sebuah pendekatan sosial
untuk mendukung pembangunan lokal tipologi masyarakat pesisir. Prosiding lokakarya
nasional menuju pengelolaan sumberdaya wilayah berbasis ekosistem untuk mereduksi
potensi konflik antar daerah. Fakultas geografi ugm, 30 agustus 2003. Hlm, 417 14
Triyono dan Ahmad Arief . Ibid. Hlm, 418
antara satu sama lain. Ketika suatu rasa percaya kepada orang lain hilang di antara
masyarakat, maka hal tersebut bukan hanya menimbulkan pikiran negatif terhadap
orang lain melainkan, hal ini akan menimbulkan gejolak yang merambah ke
konflik sosial. Dan, setiap individu mudah diombang-ambingkan oleh isu-isu
yang dapat merusak integrasi suatu komunitas yang beragam. Modal sosial yang
dijadikan instrumen perekat pada masyarakat yang heterogen, Bukan hanya pada
rasa percaya antara sesama saja, tetapi gotong royong juga terjalin dengan dengan
baik di desa ini. Pada masyarakat Gorontalo sendiri, ada yang dikenal dengan
“Huyula” (kerja sama) atau bahasa trennya gotong royong. Praktek kerja sama
tersebut masih kental pada masyarakat Banuroja, misalnya dalam kegiatan kerja
bakti yang dilakukan di kantor desa Banuroja yang melibatkan semua unsur etnis
dan agama. Bahkan hasil wawancara yang saya temukan di lapangan, ada salah
satu norma yang terbangun dalam masyarakat Bali, ketika ada himbauan untuk
kerja bakti lalu kemudian ada salah satu dari masyarakat Bali yang tida ikut maka
akan dikenakan sanksi Rp.1000, berikut hasil wawancara I Wayan Adha, beliau
mengatakan bahwa:
Ada norma yang kami jadikan pegangan dalam hal gotong royong.
Ketika orang tidak ikut kerja bakti misalnya di kantor desa, di Pura dll.
Mereka akan kena denda sebesar Rp.1000 tapi rasa yang sangat
ditekankan di situ, misalnya saya tidak ikut kerja bakti di denda Rp.1000
itu tak seberapa jumlahnya, saya bisa mendapatkan lebih dari itu, tetapi
bagaimana dengan perasaan. Jadi, denda itu sebenarnya hanya peringaan
atau teguran saja, tetapi rasa itu yang agak berat karena nama-nama yang
tidak ikut tersebut akan dibacakan di forum, kami punya forum sendiri,
setiap hari rabu kliwon kami mengadakan forum adat, dan akan dibacakan
siapa-siapa yang tidak hadir dalam acara kerja bakti tersebut. wawancara
13/3 2013
Kerja bakti antar etnik bukan hanya dilaksanakan di kantor desa Banuroja
saja tetapi juga pada waktu pembangunan pesantren semua etnik datang
membantu hingga berdirinya Pondok Pesantren Salafiyah Safiiyah, sebagaimana
telah di jelaskan dalam wawancara Pak Kyai Gofir pada wawancara sebelumnya.
Jadi, kebiasaan masyarakat untuk saling membantu sangat tertanam sangat kuat
dalam masing-masing individu.
Analisis modal sosial dapat mengacu pada komponen-komponen modal
sosial, antara lain, komponen mekanisme kultural, saling percaya, pranata, dan
norma-norma yang dimiliki bersama dan jaringan sosial. Mekanisme kultural :
Agama islam mewarnai konstruksi kebudayaan bahari/pesisir: terutama di wilayah
Indonesia bagian barat. Agama katolik mulai berkembang di wilayah Indonesia
bagian timur seja kedatangan bangsa portugis. Berkembangnya agama-agama di
Indonesia telah memunculkan kepercayaan masyarakat terhadap tokoh-tokoh
agama, terutama di wilayah pesisir. Bahkan kepercayaan terhadap tokoh agama
tersebut juga telah memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk
menyelesaikan berbagai masalah bersama yang berkembang. Tradisi dan
kebiasaan historis : Dalam pandangan tradisi dan kebiasaan historis, manusia
belajar dari dua macam hubungan yaitu hubungan manusia dengan alam
sekitarnya dan hubungan antar manusia satu dengan manusia lainnya. Saling
percaya, pranata dan norma-norma yang dimiliki bersama:Keterikatan saling
percaya dapat menjembatani kerekatan dalam masyarakat, atau sebaliknya,
membawa kesamaan kehendak atau kesamaan etnis dari masing-masing
individual untuk menjadi satu jalinan.Perasaan saling percaya dan saling terikat
antar individu dalam masyarakat pesisir tampak pada pembagian tugas dalam
kapal, penyerahan wewenang dalam organisasi desa, dan pelaksanaan pranata atau
norma-norma yang disepakati bersama. Ikatan trust dalam pelaksanaan pranata
atau norma masyarakat pesisir dapat berupa pelaksanaan bersama suatu kegiatan
atau sanksi bagi pelanggar norma, misalnya upacara penyerahan sesaji di pantura
jawa tengah dan pantai selatan jawa, sanksi sosial masyarakat nelayan tradisional
di pulau sekitar pangkajene sulawesi selatan atas pelaku pemerkosaan dengan
dibuang ke pulau terpencil dan larangan menyapa.Jaringan sosial yang
terbentuk: Jaringan sosial terbentuk dan tetap berjalan karena adanya kerjasama
antar anggota, solidaritas, partisipan, dan timbal balik. Dasar dari terbentuknya
jaringan sosial adalah adanya kewajiban sosial yang timbul akibat adanya
perasaan saling percaya antar individu.Jaringan sosial yang terbentuk pada
masyarakat pesisir tampak pada adanya forum-forum masyarakat desa pesisir
misalnya, arisan warga, acara syukuran, upacara kelahiran kematian yang mampu
memperteguh eksistensi masyarakat pesisir secara internal. Eksistensi masyarakat
secara eksternal diperteguh secara ekonomi, dalam bentuk pasar ataupun
hubangan-hubungan kekerabatan antar masyarakat pesisir15
Pada penjelasan di atas, mengenai jaringan sosial yang juga merupakan
modal sosial yang cukup produktif untuk membangun integrasi dalam masyarakt
multietnik, seperti pada masyarakat pesisir, juga sering dipraktekan di Banuroja
yakni Jaringan sosial yang terbentuk pada masyarakat Banuroja tampak pada
adanya forum-forum masyarakat misalnya, majelis Ta’lim akbar yang bergulir di
15
Triyono dan Ahmad Arief. Ibid. Hlm 422
beberapa desa, Tadarusa Ibu-ibu, PKK, dan Yasinan. Kegiatan tersebut juga
melibatkan seluruh etnis kecuali Tadarusan dan Yasinan hanya dilaksanakan oleh
etnis-etnis yang beragama Islam saja. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat
menciptakan komunikasi yang cukup baik di antara masyarakat ketika berkumpul
di forum-forum tersebut. sebagaimana dijelaskan pada hasil wawancara berikut
ini:
Wawancara dengan Pak Dewa Sudana (Bali), beliau mengatakan bahwa:
Silaturahmi antar etnik dan agama di sini sering terjadi dan itu
kami pelihara selama bertahun-tahun, sehingga sudah melekat dalam diri
kami silaturahmi tersebut. untuk acara-acara di Islam sendiri, saya sering
menghadiri terutama majelis Ta’lim Akbar. Apalagi ketika ada kunjungan
dari pemerintah pusat pasti semua etnik dan agama menghadiri acaranya,
biasanya di laksanakan di Pesantren. Wawancara tanggal 13/3/2013
4.3.1.2 Pesantren, Peranannya Dalam Proses Interaksi Sosial dan Sosialisasi
Pendidikan Multikultural Kepada Anak Didik
Banuroja dikenal oleh khalayak ramai bukan hanya dengan masyarakat
multietnik dan multiagama saja. Tetapi juga, dengan sebuah konstruksi
pendidikannya yang religius, yakni model pendidikan pondok pesantren. Pondok
pesantren tersebut diberi nama Salafiyah Safiiyah. Dalam menyulamselembarkain
multikultural dan mengkonstruksi suatu keharmonisan, sangat dibutuhkan peran
dari pendidikan untuk memberi suatu pengetahuan mengenai keindahan sebuah
hubungan yang terintegrasikan dalam kebersamaan. Pesantren Salafiyah Safiiyah
mempunyai peran besar dalam mensosialisasikan kepada anak didiknya untuk
memelihara sebuah kerukunan hidup antar umat beraama dan antar
etnik.Disamping pembentukan interaksi melalui pendidikan peran pesantren
bukan hanya pada proses pendidikannya saja, tetapi juga lebih pada konstruksi
harmonisasi yang dilakukan oleh pesantren dalam menjembatani proses
terbentuknya suatu interaksi pada masyarakat Banuroja, misalnya, dari hasil
wawancara dilapangan, peran pesantren dalam menjembatani proses interaksi di
antara masyarakat juga dilakukan melalui kegiatan-kegiatannya yang bersifat
integratif tanpa melihat latar belakang agama dan etnik. Contohnya, pesantren
sering melaksanakan kegiatan Majelis Ta’lim akbar, dalam kegiatan tersebut,
semua etnis yang ada di Banuroja tanpa terkecuali diundang untuk menghadiri,
undangan tersebut lebih bersifat mempererat silaturahmi antar agama dan etnik.
Semua etnik dan agama melakukan pembauran tanpa melihat latar belakang,
mereka saling berinteraksi seakan tak ada pembedaan antara satu sama lain. Inilah
konstruksi harmonisasi yang dilakukan oleh pesantren dalam proses
pengintegrasian masyarakat. Seperti dijelaskan dalam wawancara berikut
Wawancara dengan Siti Jubaidah (Etnis Jawa), mengatakan bahwa:
“Adanya silaturahmi dan saling koordinasi maka di situlah
timbullah rasa cinta antar sesama. Pesantren juga merupakan salah satu
tempat yang proses silaturahminya antar etnik dan agama berjalan,
misalnya, ketika ada kegiatan Majelis Ta’lim Akbar yang dilaksanakan
satu bulan sekali tepat pada minggu ke tiga, kemudian juga tadarus Al-
Qur’an dan Yasinan yang dilaksanakan satu bulan sekali yang dihadiri
oleh semua etnis yang beragama Islam. Dari kegiatan tersebut, terbangun
silaturahmi yang baik, sehingga interaksi antar etnik pun berjalan baik.”
Wawancara tanggal 2 Juli 2013
Wawancara Dengan Ibu Farida Umar (Etnik Gorontalo) mengatakan
bahwa:
“Pesantren sering melakukan kegiatan-kegiatan yang mempunyai
kandungan nilai persatuan antar etnik, misalnya kegitan Tadarusan,
Majelis Ta’lim Akbar, Istighosa, dan Yasinan. Kegiatan tersebut bukan
hanya dihadiri oleh satu etnik saja tetapi hampir semua etnik yang
diundang pasti hadir, kecuali Yasinan, Istighosa, dan Tadarusan hanya
dihadiri oleh etnik yang beragama Islam saja, dan untuk Majelis Ta’lim
akbar dihadiri oleh semua etnik.” Wawancara tanggal 3 Juli 2013
Dari hasil wawancara di atas, memberi gambaran tentang peran pesantren
dalam mempererat tali silaturahmi. Kondisi pesantren Salafiyah Safiiyah yang
lokasinya berada di lingkungan masyarakat yang beragam, baik agama maupun
etnik, mampu mengkonstruksi keragaman menjadi sebuah instrumen pemersatu
masyarakat melalui kegiatan-kegiatannya yang cukup produktif dalam
mempererat tali silaturahmi antar sesama. Inilah suatu kondisi yang
mencerminkan manifestasi rasa dari kebhinekaan dan penerapan dari ideologi
Pancasila. Sebuah hubungan yang baik tentu akan melahirkan suatu cinta kasih
dan toleransi di lingkungan kehidupan sosial. Bukan hanya pada proses
pengintegrasian masyarakat, tetapi juga pesantren dituntut untuk mampu
mengkolaborasikan proses interaksi di masyarakat maupun proses sosialisasi
pendidikan multikultural kepada anak didik mengenai betapa indahnya kehidupan
dalam keragaman yang saling menyapa.
Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial (yang juga dapat
dinamakan proses sosial) karena interaksi sosial juga merupakan syarat utama
terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Bentuk lain proses sosial hanya merupakan
bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-
hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan orang-orang
perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antar orang perorangan
dengan manusia. Apabila dua orang bertemu maka interaksi sosial aka dimulai
pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabatan tangan, saling berbicara atau
bahkan mungkin berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk-
bentuk interaksi sosial. Walaupun orang-orang bertemu muka tersebut tidak saling
berbicara atau tidak saling menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi,
karena masing-masing sadar adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan-
perubahan dalam perasaan maupun syaraf orang-orang yang bersangkutan, yang
disebabkan misalnya oleh bau keringat, minyak wangi, suara berjalan, dan lain
sebagainnya. Semua itu menimbulkan kesan di dalam pikiran seseorang yang
kemudian menentukan tindakan apa yang akan dilakukannya16
.
Pendidikan adalah proses membuat orang berbudaya dan
beradab.Pendidikan adalah kunci bagi pemecahan masalah-masalah sosial dan
melalui pendidikan masyarakat dapat direkonstruksi. Rekonstruksi berarti
reformasi budaya, dengan melalui pendidikan reformasi dapat dijalankan,
terutama reformasi budi pekerti, reformasi kebudayaan (keindonesiaan), dan
reformasi nasionalisme (NKRI). Pendidikan yang dinginkan masyarakat ialah
proses pendidikan yang bisa mempertahankan dan meningkatkan keselarasan
hidup dalam pergaulan manusia. Konsep sosialisasi pendidikan yang dapat
diterapkan adalah cara berhubungan antarindividu atau antarkelompok atau
individu dengan kelompok yang menimbulkan bentuk hubungan tertentu. Sekolah
dapat dijadikan sarana pembauran multietnik. Guru harus membina siswa agar
bisa memiliki kebiasaan hidup yang harmonis, bersahabat, dan akrab dengan
sesama teman dari berbagai latar belakang etnik. Proses pembelajaran di kelas
multietnik dapat menghasilkan peradaban baru sesuai dengan harapan reformasi.
16
Lihat Soerjono Soekanto, 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. PT Rajawali Persada: Jakarta
Untuk ini, dapat dipakai teori, model, strategi pengajaran multietnik sebagai
sarana menjalankan reformasi pendidikan dan kebudayaan. Implementasi strategi
pengajaran multietnik di kelas hendaklah bertujuan pembentukan peradaban
bangsa Indonesia yang mulia. Sampai saat ini, pengajaran multietnik belum
dilegalisasikan oleh pemerintah. Pengajaran bahasa daerah dilaksanakan dalam
format restorasi (menjaga bahasa/budaya dari kepunahan) dan bukan dalam
format pluralisme (mengakui perbedaan bahasa). Dengan format tersebut,
pengajaran bahasa daerah lebih terkesan otoriter dan cenderung mengabaikan
fakta keragaman etnik di dalam kelas17
.
Pesantren Salafiyah Safiiyah yang berlokasi di Banuroja, merupakan
sebuah institusi pendidikan yang membentuk sebuah pola pikir siswanya untuk
saling menghargai perbedaan dari masing-masing latar belakang etnik maupun
agama. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya banyak anak didik yang berasal
dari etnik berbeda untuk menuntut ilmu di pesantrin tersebut. Bahkan bukan
hanya siswa, tetapi Guru-gurunya juga berasal dari etnis dan agama yang berbeda.
Dalam pendirian pesantrin itupun, tidak lepas dari kontribusi masyarakat yang
berasal dari agama dan etnis yang bereda, baik kontribusi tenaga maupun pikiran.
Kehidupan para anak didik dalam keseharian mereka sangatlah rukun, meskipun
tidak dapat dipungkiri ada berbagai masalah gesekan sesama teman yang berbeda
etnik maupun sesama etnik, tetapi dapat diredam tanpa harus melalui jalan
konflik. Mereka mengutamakan sebuah kebersamaan karena terjadi pembauran.
Sebagaimana hasil wawancara yang penulis temukan dilapangan sebagai berikut:
17
Yoseph Yapi Taum. Op.cit, hlm, 6
Wawancara dengan Ust. Gofir (Tokoh Jawa) mengatakan bahwa:
“Pada tahun 1982 pesantren dirintis dan diresmikan tahun 1985
november. Pak I wayan Ade anggota yayasan pesantren, beliau dari bali
dan beragama hindu bahkan pada waktu pembangunan pesantren orang-
orang Bali ikut bekerja membangun, bahkan pelatih sepak bola di
pesantren adalah pendeta gereja. Guru2 di pesantren pun ada juga yang
beragama hindu begitu juga dengan siswa di SMK salafiyah ada yang dari
agama hindu. Anak-anak yang sekolah dipesantren berasal dari berbagai
daerah antara lain, Sulbar, luwuk, bolaangmongondow, gorontalo, jawa,
bali, mereka tinggal di asrama, hanya dipungut uang lampu, masuk
pondok gratis”. (wawancara tgl 13/3/2013)
Peryataan pada wawancara di atas juga di dukung oleh beberapa
informan salah satunya adalah Pak I Wayan Ade. Beliau mengatakan bahwa:
“Dari pendidikan juga cukup menunjang karena jika tidak ada
ajaran yang menuntun anak-anak kami kepada kerukunan untuk apa kami
menyekolahkan mereka. Teman-teman hindu ada juga yang sekolah di
SMK salafiyah safiiyah”. (wawancara tgl 13/3/2013)
Penjelasan dari wawancara di atas, merupakan bukti kerja sama dari
masing-masing agama dan etnis dalam mengkonstruksi sebuah kehidupan yang
harmonis dan juga pendidikan mempunyai peran besar dalam mendidik siswanya
untuk menjaga sebuah hubungan yang harmonis antara suku dan agama yang
berbeda. Potret keharmonisan hidup tersebut penting untuk dijadikan sebagai
cerminan dalam mengarungi lautan kehidupan masyarakat multikultural yang
badai konfliknya sangat rentan. Karena jika tak mampu dikendalikan oleh
nahkoda, maka bahtera kehidupan yang ditumpangi oleh masyarakat multikultur
dan agama tersebut akan tenggelam dalam disintegrasi, bahkan akan lapuk dalam
keegoisan kultural.
Dalam tradisi Pesantren, terdapat pemisahan antara Pesantren yang
mengajarkan pengetahuan umum dengan yang tidak atau belum, ada pula
Pesantren yang menyajikan santri-santrinya sekolah umum diluar Pesantren.
Pemisahan ini belum menimbulkan pengelompokkan atas dasar sosial keagamaan
yang berbeda dan masih sama-sama terikat sebagai umat manusia, satu bangsa
dan ada juga yang satu faham Ahlussunnah wal jama’ah. Namun secara edukatif
pemisahan tersebut telah menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam beberapa
bentuk aktivitas sosial kemasyarakatan, gaya hidup dan cara berfikir. Terlalu pagi
untuk memperkirakan arah gejala tersebut di masa depan atau, meremehkan
perpecahan yang lebih fundamental yang munkin akan terjadi. Saat ini penting
bagi umat Islam untuk menyadari, bahwa dalam usaha mengembangkan
pendidikan Pesantren yang berhasil, telah mengundang gejolak dan protes dari
warga sekitar, karena lembaga tersebut berada ditengah pluralitas agama.
Pesantren Aisyiyah telah berupaya mencairkan ekslusifitas (pemahaman agama
secara tertutup) Pesantren Aisyiyah telah mengarahkan kepada adanya persatuan
antar sesama warga masyarakat dengan batas-batas tertentu, meskipun agamanya
berbeda, karena agama adalah merupakan hak fundamental bagi pemeluk suatu
agama. Dengan seringnya pergaulan warga Pesantren dengan warga masyarakat
dalam acara-acara tidak formal dan secara rutin dilakukan secara alami telah
terjadi proses pembauran warga masyarakat dan tidak ada penghalang dalam
pergaulan walaupun memiliki agama yang berbeda18
.
Dalam konteks pendidikan, pesantren merupakan sebuah lembaga yang
hidup dan dinamis. Banyak ruang yang dapat diperbincangkan, karena ia selalu
18
Abdullah dalam Ahmad Calam, dkk. Peran Pesantren Dalam Mengembangkan Kesadaran
Kemajemukan Agama (Studi Kasus Di Pesantren Aisyiyah Kelurahan Sei Rengas Permata
Kecamatan Medan Area Kota Medan Propinsi Sumatera Utara–Indonesia). Jurnal
SAINTIKOM Vol. 11 / No. 1 / Januari 2012. Hlm, 16-17
menarik, segar dan aktual. Dinamika pesantren dan interaksinya dengan
masyarakat yang dimainkan oleh santri, kiai dan alumni pesantren semakin
memperteguh kembali bahwa pesantren merupakan bagian dari infrastruktur
masyarakat. Secara mikro maupun makro, pesantren telah berperan menyadarkan
komunitas masyarakat untuk berpegang pada idealisme, mengembangkan
kemampuan intelektual, dan perilaku mulia untuk menata serta membangun
karakter bangsa yang makmur dan berperadaban. Dilihat dari eksistensinya,
pesantren mempunyai banyak dimensi yang terkait, karakter plural, tidak seragam,
dan tidak memiliki wajah tunggal. Pesantren kelihatan berpola seragam, tapi
beragam; tampak konservatif, tetapi secara diam-diam atau terang-tarangan
mengubah diri dan mengimbangi denyut perkembangan zamannya. Ia merupakan
suatu lembaga pendidikan klasik dan mungkin paling tradisional, akan tetapi
justru semakin survive, dan bahkan dianggap sebagai lembaga pendidikan
alternatif dalam era globalisasi dan modernisasi dunia seperti sekarang ini. Seiring
dengan perkembangan dunia pendidikan, pesantren dihadapkan pada beberapa
fenomena perubahan sosial dan multikulturalisme yang tak terelakkan. Kemajuan
teknologi informasi, dinamika sosial-politik, belum lagi sejumlah perubahan yang
terbingkai dalam dinamika masyarakat. Semuanya berujung pada pertanyaan
tentang resistensi, responsibilitas, kapasitas dan kecanggihan pesantren dalam
menghadapi perubahan besar itu19
.
19
Lihat Abdurrahman Kasdi, 2012. Pendidikan Multikultural Di Pesantren:Membangun
Kesadaran Keberagamaan Yang Inklusif. Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember
2012
4.3.1.3 Tokoh, Peran dan Interpensi Dalam Mengkonsiliasi Permasalahan Di
Masyarakat Heterogen
Sosok tokoh sangat penting dalam memberi teladan, membimbing dan
mengayomi pada setiap deretan perjalanan kehidupan suatu komunitas, terutama
hidup dalam masyarakat multietnik dan multiagama. Dalam sebuah masyarakat
multietnik dan agama, terutama di Banuroja, tidak terlepas dari peran tokoh dalam
pengelolaan keharmonisan hidup bermasyarakat. Ibarat nahkoda dalam sebuah
bahtera, tokoh harus mampu mengkonstruksi gagasan dan solusi dari setiap
permasalahan yang terjadi pada masyarakat, karena dalam lautan bebas kehidupan
masyarakat yang heterogen tak terlepas dari hempasan gelombang konflik, yang
kemudian hal tersebut dapat menyeret kapal tersebut ke suatu lembah disintegrasi
sosial. Mungkin, jika kita menengok deretan sejarah panjang yang mewarnai
perjalanan hidup masyarakat yang heterogen bangsa ini, selalu dihempas oleh
gelombang konflik yang muaranya pada disintegrasi sosial, mulai dari deretan
konflik Poso, Ambon, Sampit, dan Sambas. Ini merupakan bukti nyata kehidupan
masyarakat yang selalu diwarnai oleh konflik-konflik sosial yang diakibatkan oleh
isu SARA.
Sosok tokoh yang mempunyai kepiawaian sangat penting, dalam
melahirkan solusi dari setiap permasalahan yang terjadi pada masyarakat. Agar
bahtera kehidupan mampu menggiring arus pluralisme budaya dan suku, sosok
tokoh harus mampu memahami dan mapan dalam menerjemhkan ke mana bahtera
tersebut berlabuh. Tentu, berpedoman pada wasiat leluhur yakni, Bhineka Tunggal
Ika untuk dijadikan sebagai kompas peradaban menuju integrasi nasional.
Banuroja, merupakan salah satu dari deretan daerah-daerah yang memiliki
masyarakat heterogen. Di desa ini, seorang tokoh sangat berperan dalam
mengelola keharmonisan hidup bermasyarakat. Salah satu tokoh yang mempunyai
andil dalam memecahkan permaslahan masyarakaat yakni Bapak Gofir Al
Nawawi, biasa disapa dengan Abah Gofir (bahasa Arab : Bapak/Ayah) atau Kyai
Gofir. Menurut masyarakat, beliau adalah sosok tokoh yang dihormati dan
terterima di semua kalangan baik, pada semua agama maupun etnik yang ada di
Banuroja. Karena beliau berhaluan Islam moderat, dan sangat menerima
Pluralisme. Sehingga, dalam pemberian nama desa beliau yang dipercayakan
untuk mengusulkan nama untuk desa yang baru mekar tersebut. Inilah bukti dari
kepercayaan semua masyarakat terhadap beliau.
Wawancara dengan Moh. Zakpan
“Masyarakat sering diberi nasehat oleh orang alim, seperti Ustad
Gofir Nawawi.Beliau selalu memberikan cerama panjang lebar sehingga
kami menjaga hubungan antar sesama.” Wawancara tgl 13/3/2013
Wawancara dengan I Wayan Ade dan Dewa Sudana
“Masyarakat dari Hindu, Kristiani dan masing-masing etnis sangat
mempercayai dan menghormati Ustad Gofir, Karena, masyarakat berfikir,
tidak mungkin orang tua seperti Ustad Gofir menjerumuskan kami ke hal-
hal yang tidak baik.” Wawancara tgl 13/3/2013
Seperti yang dijelaskan pada hasil wawancara di atas, bahwa Dalam hal
ceramah dan berdakwah Ustad Gofir tidak melakukan dakwah dengan metode
Islami seperti penceramah lainnya tetapi dakwah dengan metode nasionalisme,
sehingga tidak mengganggu hubungan keagamaan. Sikap moderat dari Ustad
Gofir, bukan hanya sebatas sebagai pemberi solusi terhadap permasalahan
masyarakat, tetapi juga peka terhadap permasalaha ekonomi di masyarakat.
Misalnya memberi bantuan kepada yang memerlukan, tidak memandang
latarbelakang etnik dan agama. Seperti yang beliau jelaskan dalam wawancara.
Wawancara dengan Ust. Gofir Nawawi
“Pada tahun 80-an kami pernah memberikan modal sama orang
bali berupa bibit pertanian dan kami tidak minta dikembalikan, ketika
kami mendapat rezeki lebih kami sering bagikan kepada etnik lain dan
agama.”
Hasil wawancara tgl 13/3/2013
Di samping seorang tokoh utama yang mampu memberi solusi dalam
permasalahan etnis secara umum, ada juga tokoh di masing-masing etnis dan
agama yang berperan penting dalam memberikan nasehat untuk selalu menjaga
kerukunan. Misalnya pada masyarakat Bali yakni, I Wayan Ade dan Dewa
Sudana, pada masyarakat Jawa yakni Gofir Nawawi, pada masyarakat Gorontalo
yakni Hanu Lihawa, pada masyarakat Lombok yakni Moh. Gozali dan Moh.
Zakpan.
4.3.1.4 AgamaSebagai Instrumen Perekat Dalam Mengkonstruksi Keserasian
Sosial
Bagi bangsa Indonesia, agama adalah weltanchauung dan sebagai ideologi
masyarakat dan bangsa Indonesia. Sebagai pandangan dunia (weltanchauung),
manusia dan masyarakat Indonesia menjadikan agama sebagai nilai fundamental
yang mendasari dan mengarahkan seluruh kehidupannya. Tidak mengherankan
apabila Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia menjadikan
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dan utama yang
menyinari keseluruhan sila-sila lainnya20
.
20
Lihat H.A.R. TilaarAgama, Budaya dan Pendidikan Karakter Bangsa. Jurnal Pendidikan
Penabur - No.19/Tahun ke-11/Desember 2012. Hlm, 65
Salah satu problem besar yang dihadapi bangsa Indonesia belakangan ini
adalah muncul beragam masalah yang menjurus kepada disintegrasi bangsa, di
mana salah satu faktor pemicunya adalah konflik bernuansa agama. Setiap agama,
baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, atau yang lain pada dasarnya tidak pernah
mengajarkan umatnya berbuat aniaya terhadap umat lain. Tapi sayangnya, agama
yang mengajarkan perdamaian tidak jarang dijadikan legitimasi untuk
mengganggu, memusuhi bahkan memusnahkan umat lain. Di Indonesia konflik
antar umat beragama seperti yang terjadi di Ambon dan Poso adalah salah satu
bukti nyata bahwa ajaran agama dijadikan sebagai alat pembenar bagi
pemeluknya untuk melakukan tindakan permusuhan dan pembunuhan atas nama
agama. Kenyataan ini jelas sangat bertentangan secara diametral dengan esensi
ajaran agama itu sendiri yang selalu mengajarkan cinta kasih dan perdamaian.
Contoh konflik bernuansa agama, yakni antara Islam dan Kristen yang terjadi di
Ambon dan Poso bagi bangsa Indonesia, tidak menutup kemungkinan bisa terjadi
pada agama-agama yang lain, seperti antara Islam dan Hindu, Islam dan Budha,
serta Kristen dengan Hindu atau Kristen dengan Budha. Hal ini bisa dipahami
mengingat bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk dengan
pemeluk agama yang beragam. Belum lagi perbedaan suku dan ras, bisa jadi
faktor ini juga berpotensi memperkeruh suasana konflik agama. Namun demikian,
kemungkinan di atas bisa jadi tidak terwujud apabila masyarakat dan bangsa
Indonesia mampu menumbuhkan sikap toleran di antara umat beragama21
.
21
Lihat Ahmad Munjin Nasih1 dan Dewa Agung Gede Agung (2011). Harmoni Relasi Sosial
Umat Muslim dan Hindu di Malang Raya. Jurnal. Tahun 2011, Volume 24, Nomor 2Hal, 1
Penjelasan di atas, memberikan sedikit deskriftip mengenai beberapa
daerah yang konflik sosialnya diakibatkan oleh egosentrisme agama. Konflik
agama yang sering terjadi di beberapa daerah di Indonesia merupakan bukti
realitas pemeluknya yang tidak memehami secara mendalam misi perdamaian dari
suatu agama tersebut, sehingga tidak dapat dipungkiri kesalah-pahaman di antara
pemeluknya tercipta, karena dari masing-masing mereka berada pada garis
egosentrisem dan pembenaran individu.Lain halnya pada masyarakat Banuroja,
malah sebalikanya, agama dijadikan landasan dan spirit dalam bertindak untuk
mengkonstruksi keserasian sosial dalam hidup bermasyarakat.
Sebenarnyakonflik agama di Indonesia tidak hanya antara Islam dan
Kristen, tetapi dalam masyarakat Hindu menyimpan potensi konflik yang tidak
kecil. Pasca ledakan bom Bali tahun 2002yang menghancurkan ekonomi Bali,
terdapat perkembangan yang mengkhawatirkan kehidupan beragama, yakni
tumbuhnya kelompok milisi yang disebut dengan pecalang. Kelompok ini pada
awalnya adalah polisi tradisional yang menjaga keamanan upacara adat/agama,
namun dalam perkembangannya mereka juga melakukan sweeping terhadap
orang-orang pendatang yang tidak mempunyai KTP/KIPEM/KIPP yang sah. Para
pendatang rata-rata berasal dari Jawa yang notabene beragama Islam. Kondisi
inilah yang berpotensi menciptakan konflik agama antara Islam dan Hindu.
Kekerasan atas nama agama sering mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. Entah
muncul sebagai akibat hubungan antarumat beragama yang tidak dibarengi sikap
toleran, atau sengaja diciptakan untuk mendukung kepentingan kelompok
tertentu22
.
Masyarakat Banuroja sangat menjunjung tinggi rasa saling menghargai
dan menghormati terhadap masyarakat yang berbeda agama. Spritualitas dalam
kehidupan sangatlah kental, karena masyarakat memahami misi-misi perdamaian
dalam agamanya masing-masing, sehingga egosentrisme agama tidak muncul ke
permukaan. Agama merupakan hal yang sangat esensial karena berkaitan dengan
masalah kehidupan dan kematian, bahkan semua agama pasti mempunyai ajaran
tentang rasa saling menyapa dan cinta kasih. Tetapi, jika hal tersebut disalah-
pahami dan dijadikan sebagai teori pembenaran oleh pemeluknya, maka, ini
hanyalah melahirkan sikap keangkuhan dan memandang agama orang lain adalah
kesalahan. Sehingga, melalui terowongan itulah muncul konflik yang ditunggangi
oleh kelaha-pahaman. Dalam masyarakat multi-agama di Banuroja, juga sering
menghadapi berbagai permasalahan keagamaan tetapi mereka mampu mengontrol
diri dan juga mereka bisa mengantisipasi agar konflik agama tersebut tidak akan
terjadi.
Beberapa tokoh agama di Banuroja yang telah peneliti wawancarai,
menyambut dengan positif setiap permasalahan yang terjadi, agama mereka
jadikan cermin perdamaian. Ada pendapat beberapa tokoh agama di bawah ini:
Wawancara dengan Ustad Gofir Nawawi (Tokoh dari Umat Islam)
mengatakan bahwa:
“Pada saat ini, mungkin ada gesekan tetapi, tidak sampai pada
konflik, mengenai keagamaan, yang kami jadikan pegangan atau yang
kami pakai dalam kehidupan adalah ahlusunah wal jama’ah karena
22
Op.cit.
bersifat moderat. Untuk menyelesaikan permasalahan keagaman ataupun
antar etnis biasanya di rumah saya. Dalam kehidupan bermasyarakat, rasa
persatuan dan rasa senasib yang kita tanamkan. Bahkan ketika di desa ini
ada kegiatan keagamaan maka agama yang melaksanakan acara
keagamaan tersebut mengundang teman-teman dari agama lain, tetapi
yang membuat acara tersebut sudah mempersiapkan tukang masak dan
lain2 agar yang agama lain tidak was-was. Dalam islam pun kita diajarkan
rasa saling menghargai antar etnis dan agama misalnya ada pesan dalam
alqur’an Surah al-kafirun ayat 6 yang atinya “untukmu agama-mu dan
untukku agama-ku”. (wawancara tgl 11/3/2013)
Penjelasan di atas oleh seorang tokoh dari Umat Islam tersebut sangatlah
bijak, dan di dalamnya terkandung makna anjuran untuk saling menghormati antar
sesama. Di sisi lain salah seorang Imam atau pimpinan dari umat Hindu
memberikan pendapatnya sebagai berikut:
Wawancara dengan I Wayan Ade dan Dewa Sudana (Tokoh Umat
Hindu) mengatakan bahwa:
“Justru dari peran agama yang menjaga kerukunan di Banuroja
ini.Kami di sini menjaga kerukunan ini karena kami memegang 3
sikapmembawa diri sebagai senjata ampuh dari Agama Hindu, Tri Paye
Parisudeyakni: berfikir yang baik, berbuat yang baik, berbicara yang baik,
sebenarnya penjabaran dari 3 sikap tersebut panjang sekali. Misalnya dari
pikiran muncul pembicaraan dan dari pembicaraan muncul sikap. Ada juga
yang disebut dengan“tata susila” atau tata krama. Ada juga resepnya kita
saling menghargai dan menghormati, dalam ajaran Hindu di sebutTatwam
Asi, artinya “dia adalah aku, aku adalah dia”. Jadikalau kita merasa dia
adalah aku maka dia juga akan merasa aku, ini yang kami pegang selama
ini. Itu ajaran paten kami sehingga rasa saling menghormati diantara kami
terjaga.Kami juga saling mengundang ketika ada acara keagamaan,
komunikasi di antara kami lancar dan kami saling mengunjungi, kemarin
kami mengadakan acara penyambutan nyepi banyak yang hadir pada
upacara kami dari berbagai etnis dan agama, bahkan dari wartawan juga
ada. Jadi point utamanya untuk resep yang paling anpuh hanyalah saling
menghargai tidak ada yang lain.” (wawancara tgl 13/3/2013)
Hal tersebut juga lebih diperkuat oleh pendeta dari Umat hindu, yang juga
mengajarkan rasa saling menghormati dan menghargai, penulis juga
mewawancarai Pendeta dari Umat Hindu.
Wawancara dengan Yaser Singon (Pendeta) mengatakan bahwa:
“Menjaga kehormanisan selalu dikhutbahkan pada waktu umat
Kristen sembahyang, kami sudah menganggap agama lain sebagai saudara
ataupun sahabat kita sendiri. Sering juga, kami saling mengundang ketika
ada acara keagamaan bahkan saling silaturahmi pun ada. Kalau
dalamagama Kristen, saya sering khutbahkan bahwa harus ditanamkan
rasa saling menghormati bukan membuat satu perbedaan. Karena kami
menganggap mereka sahabat, jadi sahabat pasti tidak akan melupakan satu
dan lainnya.Dalam Kitab suci yang kami imani ada pesan-pesan sebagai
berikut, “Kasihilah musuhmu berilah makan bila ia lapar”. Musuh di sini
bukan dalam arti pembunuh tapi yang berbeda agama.” (wawancara tgl
18/4/2013)
Dari penjelasan para tokoh agama dari masing-masing agama, memberi
sebuah deskriptif bahwa agama telah mereka jadikan sebagai pondasi
pengintegrasian masyarakat yang heterogen. Potret kerukunan antar umat
beragama di Banuroja merupakan suatu konstruksi perdamain yang harus menjadi
cerminan bagi masyarakat yang rawan dengan konflik sosial. Resep dan
pengelolaan keserasian melalui agama merupakan suatu desain yang spesifik dan
progres dalam membangun harmonisasi kehidupan.
Sebagaimana dikatakan, tugas mulia ummat beragama secara
bersamasama meng-interpretasi-kan ulang ajaran-ajaran agama untuk dapat
dikomunikasikan pada wilayah agama lain sehingga mengurangi tensi atau
ketegangan antara ummat beragama. Para teolog masing-masing atau juru
Dakwah (Da’i) serta Missionaris, “belajar” memahami relung-relung keber-
agama-an orang lain, bukan untuk tujuan pindah agama atau hegemoni
kultur/etnosentrisme. Dengan demikian terbuka kesempatan untuk bersifat saling
memahami dan menghormati (toleransi). Dan sikap toleran ini tidak akan
menipiskan keber-agama-an yang semula dipeluknya23
.
Tercapainya titik temu masyarakat dalam kemajemukan agama adalah
merupakan kepentingan semua pihak dan tanggung jawab bersama. Beban itu
sepenuhnya tidak dapat dipikul oleh ummat Islam atau ummat Kristiani atau
ummat agama lainnya secara sepihak. Hal demikian terjadi pada sejarahkehidupan
nabi Muhammad, terutama yang terkait langsung dengan deklarasi “Konstitusi
Madinah”24
4.3.1.5 Amalgasi (Perkawinan Campur), Upaya Pembauran Budaya Dalam
Masyarakat Multi Etnik di Banuroja
Di Banuroja perkawinan campur antar etnis sudah sering terjadi, baik
antara laki-laki Jawa dengan perempuan Gorontalo, Lombok, dan yang lain-
lainnya ataupun sebaliknya. Perkawinan campur tersebut, semakin memperkuat
tali silaturahmi antar etnik. Suatu keragaman etnik dirajut menjadi sebuah lipatan
harmonis, sehingga terbentuklah suatu bingkai integrasi yang mengutamakan
solidaritas dan kesejahteraan bersama. Bahkan perkawinan yang menyebabkan
perpindahan agama pun pernah terjadi di Banuroja, dan hal tersebut dianggap
biasa karena masyarakat lebih mengedepankan hak asasi sebagai individu yang
bebas memilih jalan kehidupannya masing-masing, selama tidak mengganggu
ketentraman masyarakat lainnya. Hal tersebut juga sering terjadi di berbagai
23
Ahmad Calam dan Mahmud Yunus Daulay. Ibid. Hlm, 15
24Op.cit.
wilayah kepulauan Indonesia, seperti yang dijelaskan pada penelitian Muhammad
Masdar sebagai berikut.
Di Wonomulyo perkawinan campuran antara perempuan Jawa dengan
laki-laki Mandar, Bugis, Makassar dan yang lain-lainya atau sebaliknya sudah
sering terjadi bahkan beberapa orang subyek penelitian dalam penelitian ini juga
merupakan pasangan nikah atau keluarga hasil perkawinan campur antara lelaki
Jawa dan Perempuan Mandar, Bugis, dan Makassar atau sebaliknya, bahkan
dengan etnis Tionghoa. Berdasarkan temuan lapangan ini dan penjelasan dari
beberapa subyek penelitian yang diwawancarai terdapat perbedaan frekuensi dan
jumlah yang cukup signifikan dalam hal perkawinan campuran tersebut. Pada
umumnya laki-laki Jawa yang menikahi perempuan Mandar, Bugis, Makassar dan
yang lainnya jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki dari kelompok etnis
tersebut di atas yang menikahi perempuan Jawa. Kemungkinan kecilnya laki-laki
Jawa untuk memperistrikan perempuan Mandar, Bugis, maupun Makassar25
.
Di sisi lain, Kawin campur antar suku berbeda dalam masyarakat
merupakan suatu kebiasaan yang kerap terjadi pada masyarakat. Seperti,
perkawinan campur dalam masyarakat perkotaan dan pedesaan hingga
perkawinan beda agama dan lintas negara. Dengan adanya kawin campur pada
suku yang berbeda akan menimbulkan terjadinya peleburan budaya, dimana
mereka saling menghargai dan menyesuaikan budayanya sendiri secara sukarela.
Dengan adanya ikatan perkawinan campur pada suatu suku yang berbeda baik atas
dasar kepentingan individu maupun kelompok, akan berpengaruh besar dalam
25
Lihat dalam disertasi Muhammad MasdarIntegrasi Sosial Pada Masyarakat Multietnik:
Studi Kasus Interaksi Antaretnik di Kecamatan Wonomulyo Sulawesi Barat”
Pascasarjana Universitas Negeri Makassar tahun 2011. Hlm, 5
mendorong terjalinnya hubungan yang mengarah kepada penyatuan pada
masyarakat plural. Perkawinan campur yang terjadi antara suku Kerinci, suku
Jawa dan suku Minang di Kecamatan Batang Merangin sudah terjadi dalam tempo
waktu lama, sehingga budaya dan norma-norma sosial yang sudah terbangun pun
juga sama-sama mengalami peleburan atas budaya-budaya yang berbeda
tersebut26
.
Perkawinan campur merupakan salah satu langkah progres dalam
mengkonstruksi kehidupan yang harmonis, karena timbul rasa saling memiliki dan
menghormati budaya masing-masing diantara sepasang suami istri yang berbeda
etnis maupun agama.DiBanuroja terjadinya perkawinan campur, salah satunya
karena faktor pembauran etnis pada suatu tempat yang memiliki berbagai macam
etnis. Sehingga, menimbulkan kecocokan antara satu sama lain. Dan, karena
perasaan yang timbul dalam jiwa seseorang yang merasa bahwa dirinya sudah
cukup matang dalam mengarungi hidup berkeluarga. Mereka merasa bahwa jodoh
tak memilih latar belakang apapun. Untuk permasalahan adat perkawinan pun
dimusyawarahkan secara kekeluargaan, apakah melaksanakan dengan adat A atau
adat B,
26
Lihat dalam Skripsi Pepizon, 2008.Relasi Amalgamasi Dalam Masyarakat Multikultural
di Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga: Yogyakarta