bab ii kajian teori 2.1. struktur sosial -...

30
17 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Struktur Sosial Istilah struktur sosial sebagaimana ungkapan Redcliffe Brown adalah sebagai pengaturan kontinu atas orang-orang dalam kaitan hubungan yang ditentukan atau dikendalikan oleh institusi, yakni norma atau pola perilaku yang dimapankan secara sosial 10 . Dalam memberikan pengertiannya Redcliffe Brown 11 mengemukakan bahwa struktur sosial adalah suatu rangkaian kompleks dari relasi-relasi sosial yang berwujud dalam suatu masyarakat. Teori lain telah melakukan konseptualisasi tentang struktur sosial secara berbeda, seperti Evans Pritchard mengemukakan bahwa struktur sosial adalah konfigurasi kelompok-kelompok yang mantap; dan menurut Talcot Parsons, suatu sistem harapan atau ekspektasi normatif (normative expectations); Leach menga- takannya sebagai seperangkat norma atau aturan ideal; sedangkan Levi-Strauss berpendapat bahwa struktur sosial adalah model 12 . H. P. Fairchild (1975) mengemukakan bahwa struktur sosial diartikan sebagai pola yang mapan dari organisasi internal setiap kelompok sosial. Struktur sosial sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Eratnya dua fenomena ini digambarkan J. B. A. F. Mayor Polak (1966) lewat pendapat bahwa antara kebudayaan dan struktur dalam suatu masyarakat terjadi keadaan saling mendukung dan membenarkan. Ini berarti bahwa apabila terjadi perubahan dalam 10 Kaplan dan Manner. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2000 Hal.139 11 Garna, Judistira K. Ilmu-Ilmu Sosial: Dasar-Konsep-Posisi, Bandung: Universitas Padjadjaran. 1996 Hal :150 12 Kaplan Dan Manner. loc. cit. hal 139

Upload: duongnhi

Post on 02-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

17

BAB II KAJIAN TEORI

2.1. Struktur Sosial

Istilah struktur sosial sebagaimana ungkapan Redcliffe Brown adalah

sebagai pengaturan kontinu atas orang-orang dalam kaitan hubungan yang

ditentukan atau dikendalikan oleh institusi, yakni norma atau pola perilaku yang

dimapankan secara sosial10. Dalam memberikan pengertiannya Redcliffe Brown11

mengemukakan bahwa struktur sosial adalah suatu rangkaian kompleks dari

relasi-relasi sosial yang berwujud dalam suatu masyarakat.

Teori lain telah melakukan konseptualisasi tentang struktur sosial secara

berbeda, seperti Evans Pritchard mengemukakan bahwa struktur sosial adalah

konfigurasi kelompok-kelompok yang mantap; dan menurut Talcot Parsons, suatu

sistem harapan atau ekspektasi normatif (normative expectations); Leach menga-

takannya sebagai seperangkat norma atau aturan ideal; sedangkan Levi-Strauss

berpendapat bahwa struktur sosial adalah model12. H. P. Fairchild (1975)

mengemukakan bahwa struktur sosial diartikan sebagai pola yang mapan dari

organisasi internal setiap kelompok sosial.

Struktur sosial sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Eratnya dua

fenomena ini digambarkan J. B. A. F. Mayor Polak (1966) lewat pendapat bahwa

antara kebudayaan dan struktur dalam suatu masyarakat terjadi keadaan saling

mendukung dan membenarkan. Ini berarti bahwa apabila terjadi perubahan dalam

10 Kaplan dan Manner. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2000 Hal.139 11 Garna, Judistira K. Ilmu-Ilmu Sosial: Dasar-Konsep-Posisi, Bandung: Universitas Padjadjaran.

1996 Hal :150 12 Kaplan Dan Manner. loc. cit. hal 139

18

kebudayaan juga akan diikuti oleh perubahan dalam struktur masyarakat,

demikian pula sebaliknya.

Beberapa strukturalis-sosial berupaya menjelaskan struktur

kemasyarakatan dengan merumuskan beberapa kaidah tertentu yang menjadi

landasan organisasi. Redcliffe Brown mengajukan beberapa prinsip struktural

untuk menyoroti beberapa hal dalam sistem kekerabatan adalah kaidah

ekuivalensi saudara sekandung, kaidah solidaritas garis keturunan, dan seterusnya,

Kesemuanya tersebut adalah suatu sistem yang berlaku dalam masyarakat.

Pengertian konsep struktur sosial dapat bersifat kompleks dan abstrak

sekali. Namun, dapat pula lebih bersifat sederhana dan konkrit. Mengingat sasaran

pembahasan tentang struktur sosial dalam penelitian ini adalah masyarakat desa

yang relatif bersahaja, maka konsep yang akan digunakan sebagai instrumen

pembahasan adalah yang termasuk bersahaja pula. Betapapun beragamnya

pandangan tentang struktur sosial ini, banyak diantara yang disebut sebagai teori

struktur sosial dalam kenyataannya mempermasalahkan cara yang bermanfaat

dalam membeda-bedakan serta mengkonseptualisasikan berbagai bagian dari

suatu sistem sosial dan hubungan antara bagian-bagian itu. Ide yang mendasar

dalam struktur sosial sebagaimana dikemukakan oleh Beattie13 adalah bagian-

bagian, atau unsur-unsur dalam masyarakat itu yang tersusun secara teratur guna

membentuk suatu kesatuan yang sistematik.

13 Garna, Judistira K.op. cit. hal :150

19

Garna14 mengemukakan bahwa konsep struktur sosial merupakan dasar

atau teras bagi pendekatan struktural-fungsional, yang diajukan oleh para

antropolog Inggris. Aliran struktural fungsional dalam antropologi yang

dikembangkan oleh A.R. Radcliffe Brown, mengembangkan aliran ini dengan pra

anggapan bahwa masyarakat analogi dengan organisme yang bekerja secara

mekanik. Menurut Radcliffe Brown15, bahwa masyarakat itu semacam organisme

yang bagian-bagiannya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga

memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas dan kelestarian hidup organisme

itu. Dengan demikian masyarakat itu mempunyai syarat-syarat fungsional tertentu

untuk memungkinkan eksistensinya. Syarat-syarat tersebut adalah:

1) Jaminan adanya hubungan yang memadai dengan lingkungan dan adanya

rekruitmen seksual;

2) Diferensiasi peran dan pemberian peran;

3) Komunikasi;

4) Perangkat tujuan yang jelas dan disangga bersama;

5) Pengaturan normatif atas sarana-sarana;

6) Pengaturan ungkapan efektif;

7) Sosialisasi; dan

8) Kontrol efektif atas perilaku disruptif.

Menurut Koentjaraningrat16 bahwa Radcliffe Brown dalam

mengembangkan konsep-konsep pendekatan struktural fungsionalnya banyak

dipengaruhi oleh pemikiran Emile Durkheim dan Mauss. Salah satu konsep yang 14 Garna, Judistira K. loc. Cit. hal 150 15 Kaplan dan Manner. op.cit. hal. 77-78 16 Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi Jilid I dan II. Jakarta: UI-Press. 1987 hal. 172

20

dikembangkan oleh Durkheim tentang struktural fungsionalisme yang cukup

mewarnai pemikiran Brown adalah dasar berpikir analogi organik, yang melihat

masyarakat sebagai satu kesatuan orgamisme. Durkheim melihat masyarakat

sebagai keseluruhan organisme yang memiliki realitas tersendiri, artinya

keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan dan fungsi-fungsi tertentu

yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar keadaan

tetap normal. Apabila fungsi itu tidak dipenuhi maka akan berkembang keadaan

patologis. Konsep Mauss yang mempengaruhi Radcliffe Brown salah satunya

adalah konsep tentang morfologi sosial dalam integrasi masyarakat. Mauss dan

Beuchat mengembangkan konsep ini berdasarkan deskripsi atas gejala-gejala

pengelompokkan dan pola aktivitas sosial yang menyertainya dalam masyarkat

Eskimo dalam rangka mengikuti siklus dan ritme alam. Pandangan akhir mereka

tentang morfologi sosial (pembentukan kelompok dan pola-pola aktivitas secara

kebudyaan dalam konteks tuntutan lingkungan alam), adalah pasangan antara

alam dan kebudayaan ternyata tidak selamanya berada dalam ritme yang

konsisten. Tidak selamanya perubahan dalam usur-unsur alam atau unsur-unsur

yang berkaitan dengan alam mengakibatkan perubahan yang sama pada bentuk-

bentuk pengelompokkan (morfologi sosial) serta pola-pola aktivitasnya17.

Konsep Durkheim dan Mauss yang lain yang mempengaruhi pemikiran

Brown adalah konsep tentang klasifikasi primitif yang menyoroti cara-cara serta

prosedur manusia menggolong-golongkan segala hal dan kejadian serta benda-

benda ke dalam kategori tertentu dan logika yang melatarbelakanginya. Konsep 17 Martodirdjo, Haryo S. Orang Tugutil Di Halmahera Struktur Dan Dinamika Sosial Masyarakat

Penghuni Hutan. Bandung: Disertasi: Program Pascasarjana Unpad. 1991 hal. 41

21

ini didasari oleh sebuah logika berpikir bahwa kondisi atau kategori-kategori

sosial, dalam konteks kehidupan masyarakat sehubungan dengan adanya

kecenderungan pembawaan manusia untuk selalu membedakan memisahkan

mengelompokkan dan kemudian menginterpretasikan. Lebih lanjut Martodirdjo18

mengungkapkan bahwa berdasarkan beberapa konsep dasar dari Durkheim dan

Mauss itulah Brown mengembangkan konsep-konsep dan teori-teori struktur

sosialnya yang diwarnai oleh prinsip fungsional. Prinsip ini memandang bahwa

tiap-tiap bagian atau elemen kehidupan masyarakat ditempatkan berada dalam

suatu keseluruhan yang terintegrasi.

Dalam struktural fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi

suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni diktum metodologis bahwa

kita harus mengekplorasi ciri sistemik budaya, artinya harus mengetahui

bagaimana perkaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu

masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat. Karena itu, memahami

struktur sosial suatu masyarakat menjadi sangat penting, sebab masyarakat tidak

bisa lepas dari keberadaan strukturnya sebagai jaringan kerjasama anatar individu

yang terorganisasikan secara teratur dan idividu-individu tersebut sadar bahwa

mereka adalah suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang jelas19.

Struktur sosial memang bersifat abstrak, karena hal tersebut merupakan

suatu gagasan atau bentuk pikiran-pikiran dari agregat individu dalam suatu

kesatuan sosial. Konsepsi atau pemikiran-pemikiran tersebut terbentuk atas dasar

18 Martodirdjo, Haryo S. Op. cit. hal. 42 19 Linton, R. The Study of Man. New York: Century Company. 1936 hal. 118

22

kepentingan bersama anggota masyarakat yang pada gilirannya terorganisir

sebagai kesadaran kolektif. Mekanisme kerja dari struktur sosial hanya dapat

diabstrasikan berdasarkan kemampuan logika melalui hubungan sebab akibat dari

aspek-aspek nyata yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Martodirdjo20

menyatakan bahwa, struktur sosial itu bersifat abstrak, tetapi keberadaannya

selalu dirasakan langsung atau tidak langsung oleh warga masyarakat yang

bersangkutan, karena struktur sosial merupakan faktor pengarah dan pengendali

seluruh kehidupan sutu masyarakat. Sepadan dengan itu, Spencer 21mengatakan

bahwa struktur sosial suatu masyarakat dibangun untuk memungkinkan anggota-

anggotanya memenuhi kebutuhan individualnya, sebab masyarakat dibentuk

sebagai hasil persetujuan kontraktual yang dirembuk oleh orang-orang yang

mereka masing-masing berusaha mengejar kebutuhannya sendiri serta

kepentingannya sendiri secara rasional. Masyarakat menjadi lebih memikirkan

kebutuhan individu masing-masing.

Menurut Garna22, dasar penting dalam struktur sosial adalah relasi-relasi

sosial yang apabila relasi-relasi tersebut tidak dilakukan maka masyarakat itu

tidak akan berwujud lagi. Lebih lanjut Garna menyatakan bahwa struktur sosial

juga dapat ditinjau dari segi status, peranan, nilai-nilai, norma-norma dan institusi

sosial dalam suatu sistem relasi. Brown23 menyatakan bahwa struktur sosial

adalah keseluruhan relasi sosial yang terwujud dalam suatu masyarakat. Brown

20 Martodirdjo, Haryo S. op. cit. hal. 23 21 Dalam Johnson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik Dan Modern Jilid I dan II. Alih Bahasa:

Robert M. Z. Lawang. Jakarta: Gramedia. 1986 hal 56 22 Garna, Judistira K. Op. cit. hal. 151 23 Dalam Baal, J. Van. Sejarah Pertumbuhan Antropologi Budaya Jilid I. Alih Bahasa: J. Piry, Jakarta: Gramedia. 1988 hal. 91

23

menganalogikan struktur sosial dengan organisme biologis yang memiliki

kesatuan yang sungguh ada yang dipersatukan oleh seperangkat relasi. Masing-

masing dari kesatuan itu mempunyai fungsi membantu agar keseluruhannya tetap

terpelihara sebagaimana adanya, seperti alat-alat tubuh yang berfungsi turut

memelihara tubuh. Dalam perkembangan lebih lanjut Brown menamakan struktur

sosial :

“an actually exsisting concrete reality to be directly observerd” yang

terdiri dari: (1) all social relations of person to person, (2) the

differentions of individual and classes by their social role24.

Masyarakat adalah suatu kesatuan yang fungsional. Karena itu Fortes

memandang struktur sosial sebagai jaringan hubungan antara bagin-bagian dalam

suatu masyarakat yang memelihara azas-azasnya untuk jangka waktu yang

sekontinyu mungkin, di dalamnya terjadi dinamika kehidupan individu yang

konkret dari satu angkatan ke angkatan berikutnya25. Selain itu, Bouman26

mengatakan struktur sosial merupakan jaringan abstrak yang mengatur hubungan

orang dengan orang lain dalam kehidupan masyarakat dalam suatu sistem sosial

tertentu. Soekanto27 mengemukakan bahwa struktur sosial adalah suatu jaringan

dari pada unsur-unsur yang pokok dalam suatu masyarakat. Unsur-unsur pokok

tersebut adalah kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi sosial

24 Baal, J. Van. Op. cit. hal. 92 25 Koentjaraningrat. Op. cit. hal. 198 26Bouman, B.J. Sosiologi, Penegertian dan Masalah. Yogyakarta: Kanisius. 1982 hal 36 27Soekanto, Soerjono. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Rajawali Press. 1987

hal 230

24

serta wewenang dan kekuasaan. Di dalam tiap-tiap masyarakat ada cara berbuat,

merasa dan berpikir yang hidup dalam kesadaran anggota masyarakat itu,

sehingga dalam kehidupan bermasyarakat dikenal suatu sistem umum dari aksi

manusia yang mencakup empat sub sistem, yaitu organisme, kepribadian, sistem

sosial dan kebudayaan. Subsistem tersebut merupakan perangkat mekanisme yang

saling berkaitan yang mengendalikan aksi manusia, karena itu, menurut Soekanto

bahwa kebutuhan fisiologi, motivasi psikologis, norma-norma sosial dan nilai-

nilai budaya membimbing dan mengendalikan aksi manusia.

Dalam upaya memahami struktur sosial suatu masyarakat, maka pengung-

kapan gejala organisasi sosial merupakan salah satu langka yang relevan. Antara

organisasi sosial dan struktur sosial terdapat hubungan pengertian dan hubungan

substansial yang sangat erat, keduanya saling menjelaskan dan saling melengkapi.

Struktur merupakan aspek pokok yang statis, organisasi sosial merupakan aspek

yang dinamis dalam struktur sosial. Firth28, menjelaskan hubungan anatara

struktur sosial dan organisasi sosial adalah sebagai berikut:

… struktur sosial merupakan kontinuitas, perangkat hubungan yang

mengukuhkan harapan (ekspektasi), mensahkan pengalaman masa

sebelumnya, dalam kaitan dengan pengalaman serupa dalam masa berikut.

… Organisasi sosial merupakan penataan yang sistematis terhadap

hubungan sosial melalui pilihan dan putusan … . Bentuk-bentuk

struktural memberikan preseden dan membatasi alternatif yang mungkin;

bidang yang memungkinkan pelaksaan sesuatu yang kelihatan sebagai

pilihan bebas seringkali sangat sempit. Akan tetapi kemungkinan adanya

alternatiflah yang menimbulkan variabilitas. Secara sadar atau kurang

sadar orang menjatuhkan pilihan arah yang hendak ditempuhnya. Dan 28 Kaplan dan Manner. op. cit. hal.142

25

pilihan itu akan mempengaruhi pemihakkan strukturalnya di masa depan.

Kaidah kontinuitas masyarakat hendaknya dicari dalam struktur sosial,

sedang pada segi organisasi sosial ini memungkinkan adanya evaluasi

situasi serta campur tangan individual.

Hal yang paling esensial dalam organisasi sosial adalah proses pemben-

tukan kelompok sosial serta sistem dan fungsi interelasi yang terkandung di

dalamnya. Organisasi sosial adalah penyusunan dari aktivitas dari dua orang atau

lebih yang disesuaikan untuk menghasilkan kesatuan aktivitas yang merupakan

satu kerjasama. Garna29 menjabarkan organisasi sosial sebagai:

1) Suatu tindakan yang tertata melalui aktivitas sosial, tindakan itu terkait

satu sama lainnya;

2) Susunan kerja suatu masyarakat atau dapat dikatan proses penyusunan

suatu tindakan dan hubungannya menurut tujuan sosial yang dapat

diterima oleh umum atau masyarakat; dan

3) Aspek kerjasama yang mendasar yang menggerakkan tingkah laku

individu pada tujuan sosial dan ekonomi tertentu.

Eksperimen tentang pembentukan kelompok ataupun sejarah pembentukan

kelompok-kelompok sendiri menunjukkan, bahwa perasaan untuk masuk

golongan bersama dan relasi antara peserta suatu kebersamaan yang lebih dari

kebetulan tidak dapat dielakkan menjadi interelasi yang teratur antar individu

dalam kebersamaan itu. Kebersamaan itu menumbuhkan dirinya menjadi suatu

kelompok sosial dengan suatu organisasi dan dengan sendirinya menjadi sutu

29 Garna, Judistira K. Op. cit. hal. 149

26

struktur. Menurut Alisjahbana 30, organisasi sosial yang mengubah kelakuan

individu menjadi kelakuan sosial yang tidak saja membatasi, mendesak dan

memaksa tetapi juga mengajarkan, mendorong dan membentuk kelakuan

anggotanya. Soekanto31 menyatakan bahwa setiap kelompok sosial biasanya

memiliki pola-pola kelakuan tertentu untuk memenuhi kebutuhannya. Kalau tidak,

maka tidak mungkin manusia dapat bertahan dalam kehidupannya. Apabila pola-

pola tersebut kurang serasi, maka kelompok sosial akan menghadapi masalah

disorganisasi yang mengakibatkan ketimpangan struktur sosial. Pendapat

Soekanto tersebut tampaknya semakin memperkuat tesis Kohen yang menyatakan

bahwa struktur sosial merupakan cerminan dari pola-pola aksi dan interelasi sosial

anggotanya dalam berbagai bidang kehidupan.

Hasil analisa Levis Straus mengenai pola-pola umum tingkah laku suatu

masyarakat menunjukkan bahwa sistem pertukaran merupakan unsur dasar

terbentuknya struktur sosial. Dalam pertukaran ini setiap anggota masyarakat

saling memberi dan menerima sesuatu yang berguna bagi mereka. Tujuan

pertukaran itu menurut Levis Straus bukanlah semata-mata memenuhi kebutuhan

individualnya, tetapi pertukaran itu mengandung makna ungkapan komitmen

moral individu terhadap kelompoknya32. Sejalan dengan itu, Dalton menyatakan

bahwa dalam studi antropologi ekonomi, pertukaran dilihat sebagai gejala

kebudayaan yang keberadaanya berdimensi luas, tidak sekedar berdimensi

ekonomi, tetapi juga agama, teknologi, ekologi, politik dan organisasi sosial33.

30 Johnson, Doyle Paul. Op. cit. hal 107 31 Soekanto, Soerjono. op. cit. hal 231 32 Johnson, Doyle Paul. Op. cit. hal. 57-58 33 Sairin, S, dkk. Pengantar Antropologi Ekonomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002 hal 39

27

Pertukaran timbal-balik dalam kehidupan suatu masyarakat dapat

berfungsi efektif mengintensifkan hubungan sosial yang ada, sedangkan hubungan

sosial menjadi landasan penting bagi keberlangsungan pertukaran sumber daya.

Menurut Malinowski34 sistem tukar-menukar kewajiban dan benda dalam banyak

lapangan kehidupan masyarakat, melalui pertukaran tenaga dan benda dalam

lapangan produksi dan ekonomi, baik pertukaran mas kawin antara dua pihak

keluarga pada waktu perkawinan, maupun penukaran kewajiban pada waktu

upacara-upacara keagamaan merupakan daya pengikat dan daya gerak dari

masyarakat, demikian pula penukaran dalam melaksanakan pekerjaan seseorang

atau suatu keluarga.

Pada umumnya pertukaran timbal-balik mengambil bentuk yang bersifat

umum dan seimbang. Morais35 mengatakan bahwa bentuk sumber daya yang

selalu dipertukarkan dapat berupa uang, barang dan jasa, waktu keahlian atau

dukungan emosional. Berkaitan dengan tukar-menukar sumber daya dan

hubungan sosial, dalam kehidupan masyarakat tradisional dikenal tiga macam

kewajiban yaitu kewajiban memberi, kewajiban menerima dan kewajiban

membayar kembali. Ketiga macam kewajiban tersebut dilaksanakan berdasarkan

norma-norma dan sanksi sosial budaya yang telah disepakati bersama36.

Rangkaian pola-pola berpikir dan bertingkah laku suatu masyarakat seperti yang

telah diuraikan di atas, merupakan suatu jaringan hubungan timbal-balik yang

telah terinternalisasi dalam suatu struktur sosial.

34 Dalam Koentjaraningrat. Op. cit. hal. 172 35Kusnadi. Nelayan: Strategi Adaptasi Dan Jaringan Sosial. Bandung: HUP. 2000 hal. 23 36Mauss, Marcel. Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia. 1992 hal 56

28

2.2. Konsep Hubungan Sosial

Max Weber37 mengemukakan bahwa pengertian hubungan sosial

dipergunakan untuk menggambarkan suatu keadaan dalam mana dua orang atau

lebih terlibat dalam suatu proses perilaku. Proses perilaku tersebut terjadi

berdasarkan tingkah laku para pihak yang masing-masing memperhitungkan

perilaku pihak lain dengan cara yang mengandung arti bagi masing-masing.

Dengan demikian, maka hubungan sosial berisikan kemungkinan bahwa para

pribadi yang terlihat dalamnya akan berprilaku dengan cara yang mengandung arti

serta ditetapkan terlebih dahulu.

Suatu hubungan sosial mempunyai derajat keteraturan yang berbeda-beda

artinya, mungkin terdapat pengulangan perilaku yang terkait dengan arti subyek-

tifnya sehingga memang diharapkan. Di lain pihak, hubungan sosial berisi tentang

kemungkinan menyangkut pemenuhan suatu kebutuhan, pengelakan terhadap

kewajiban, ketegasan agar mentaati perjanjian dan seterusnya. Menurut Weber38

bahwa batasan hubungan sosial tidak berisikan informasi mengenai taraf

solidaritas (atau gejala yang merupakan lawannya) yang menjadi ciri pihak-pihak

yang terlibat dalam perilaku tertentu. H.P. Secher39 berpendapat bahwa:

“it is always a case, if used in this context, of the meaning imputed to those individuals involved in a given concrete situation, either on the average or in a theoretically constructed pure type-but it is never a case of normatively “correct” or “metaphysically” “true” meaning”. Secara obyektif dapatlah dikatakan bahwa suatu hubungan hanya ada

kalau dalam pengharapan-pengharapan terhadap hubungan tersebut ada persama- 37Dalam Soekanto, Soerjono. Max Weber: Konsep-Konsep Dasar Dalam Sosiologi, Seri

Pengenalan Sosiologi I, Jakarta: CV. Rajawali. 1985 hal. 53 38 Soekanto, Soerjono. Op. cit hal. 54 39 Soekanto, Soerjono. loc. cit hal. 54

29

an pengartian mengenai sifat hubungan tersebut, misalnya sikap aktual seorang

anak terhadap ayahnya mungkin adalah sesuai dengan apa yang diharapkan sang

ayah. Suatu hubungan sosial dapat disepakati atas dasar persetujuan mutual.

Artinya, para pihak yang terlibat dalam suatu hubungan membuat perjanjian

mengenai perilaku di masa depan. Setiap pihak dalam keadaan normal dan selama

dia berprilaku rasional, akan dianuti oleh pihak lain dengan siapa dia berhubungan

dan akan menyesuaikan diri dengan pemahamannya terhadap kesepakatan yang

telah ada. Dengan demikian maka untuk sebagian perilaku berorientasi pada

tujuan dan dia ingin berpegang pada orientasi tersebut.

Selanjutnya, Soekanto40 mengemukakan bahwa hubungan sosial

mengandung faktor-faktor komunalisasi dan agregasi. Komunalisasi hubungan

sosial terjadi, apabila proses sosial itu didasarkan pada rasa solidaritas yang

merupakan hasil keterikatan secara emosional atau tradisional. Agregasi

hubungan sosial merupakan hasil rekonsiliasi dan keseimbangan kepentingan-

kepentingan yang dimotivasikan oleh penilaian secara rasional atau kebiasaan.

Kebiasaan dalam suatu masyarakat menurut pandangan ini adalah hasil

dari rekonsiliasi dan keseimbangan atas kepentingan-kepentingan yang ada dalam

masyarakat tersebut. Dalam hal demikian, maka perilaku agregatif berorientasi

pada nilai, atau pada tujuan yang masing-masing dilandaskan pada kepercayaan

terhadap keterikatan yang harus dipatuhi serta harapan bahwa pihak lain akan

menyesuaikan diri. Komunalisasi yang terjadi dalam hubungan sosial didasarkan

pada setiap bentuk hubungan emosional, efektif maupun tradisional. Tipe hubung-

40 Soekanto, Soerjono. loc. cit. hal. 61

30

an ini lazimnya dijumpai pada hubungan kekeluargaan atau kekerabatan. Jadi,

kebanyakan hubungan sosial mengandung faktor-faktor komunal dan agregatif.

Bentuk-bentuk hubungan agregatif yang paling murni menurut Soekanto dapat

ditemukan pada:

1. Kompromi antara kepentingan yang bertentangan, namun bersifat komple-

menter;

2. Perserikatan sukarela yang murni yang didasarkan pada kepentingan diri yang

tujuannya adalah meningkatkan kepentingan material tertentu;

3. Perserikatan sukarela yang didasarkan pada nilai-nilai ideologi yang mutlak.

Komuniti bahasa misalnya, timbul sebagai akibat persamaan tradisi

melalui keluarga dan lingkungan sosial, mempermudah pemahaman mutual dan

mendorong kearah terjadinya derajat paling tinggi dari hubungan sosial. Bahasa

sendiri tidak cukup untuk menimbulkan komunalisasi. Fungsinya hanya memper-

mudah komunikasi sehingga menimbulkan peningkatan taraf agregatif. Hal ini

terjadi dengan adanya kontak antar individu, bukan karena mempergunakan

bahasa yang sama, akan tetapi oleh karena terjadi penyerasian antara kepentingan

yang berbeda. Menurut Weber41 bahwa:

“Is is only the emergence of conscious differences vis-a-vis other persons, that the fact of two individuals speaking a different language and in this respect sharing a common situation can lead them to experience a feeling of community and create modes of social organization that are consciously based on the sharing of a common language”.

41 Dalam Soekanto, Soerjono. Op. cit. hal. 64

31

Hubungan sosial adalah identik dengan interaksi sosial. Sebagaimana

dikemukakan oleh Syani42 bahwa interaksi sosial adalah identik dengan hubungan

sosial, karena dengan adanya hubungan tersebut berarti ia sudah sekaligus sudah

merupakan interaksi sosial. Dikatakan demikian karena dalam interaksi sosial

terdapat saling hubungan antara satu sama lainnya dengan saling memberi dan

menerima, yang akan berwujud sebagai suatu kerja sama atau mungkin bisa

terjadi suatu perselisihan. Syarat terjadinya hubungan sosial yang baik adalah

apabila komponen-komponen dalam suatu masyarakat tersebut dapat berinteraksi

dengan baik, dan interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya akitivitas-

aktivitas sosial, karena merupakan hubungan dinamis yang menyangkut hubungan

antara individu dengan individu maupun individu dengan kelompok. Interaksi

sosial dapat juga disebut sebagai bentuk umum dari proses sosial.

Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktifitas sosial karena

merupakan proses dinamis yang menyangkut hubungan individu dengan individu

maupun individu dengan kelompok. Interaksi sosial dapat juga disebut sebagai

bentuk dari proses-proses sosial. Sehubungan dengan hal itu, Syani43

mengemukakan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis

menyangkut hubungan antara orang perorang, antar kelompok, dan antara orang

dengan kelompok. Dalam interaksi sosial tersebut terdapat berbagai tantangan

dimana orang-orang dapat menguji kemampuan dalam memenuhi berbagai

kepentingan, baik kepentingan kelompok maupun kepentingan perorangan.

42Syani. Abdul. Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial, Jakarta: Fajar Agung. 1987 hal. 31 43 Syani. Abdul. Op. cit. hal. 37

32

Manusia sebagai mahluk sosial dalam kehidupan sehari-hari terlibat

langsung dengan berbagai kegiatan interaksi. Mereka melakukan interaksi sosial

antara individu dengan individu lain, maupun anatara individu dengan kelompok

dalam upaya menciptakan hubungan yang baik diantara mereka. Hubungan sosial

dipergunakan untuk menggambarkan suatu keadaan dalam dua orang atau lebih

terlibat dalam suatu proses perilaku. Proses perilaku tersebut terjadi berdasarkan

tingkah laku para pihak yang masing-masing memperhitungkan perilaku pihak

lain dengan cara yang mengandung arti bagi masing-masing.

Dalam penelitian ini, yang akan dibahas adalah tentang pola hubungan

antara Pakua lo Bohito dan masayarakat umum dalam kehidupan pada masyarakat

Desa Momala di Kecamatan Bongomeme, Kabupaten Gorontalo. Banyak teori

sosiologi yang membahas tentang manusia dan masyarakat yang satu sama

lainnya berbeda dalam pandangannya, antaranya adalah “interaksi-simbolis” yang

dikembangkan oleh George Herbert Mead. George Herbert Mead adalah seorang

filosof Amerika awal abad ke sembilan belas yang sering dianggap sebagai

sesepuh paling berpengaruh dari perspektif ini. Mead mengembangkan suatu

kerangka yang menekankan arti penting perilaku terbuka (overt) atau obyektif,

dan tertutup (covert) atau subyektif. Menurut Mead orang tak hanya menyadari

orang lain tetapi juga mampu menyadari dirinya sendiri. Dengan demikian orang

tidak hanya berinteraksi dengan orang lain, tetapi secara simbolis dia juga

berinteraksi dengan dirinya sendiri44. Bagi Mead, subject matter sosiologi adalah

44Paloma, Margaret M. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2000 Hal. 255

33

interaksi para aktor yang terorganisir dan terpola di dalam berbagai situasi-situasi

sosial yang saling berinteraksi antara satu dengan lainnya.

Di zaman kejayaan aliran fungsional tekanan yang diberikan dalam hal

kelompok sosial (bukan individual) dan pada realitas obyektif (bukan subyektif).

Hanya Herbert Blumer seorang murid Mead yang tetap menghidupkan konsep

yang dikembangkan oleh Mead. Blumer45 mengemukakan bahwa

interaksionisme-simbolik bertumpu pada tiga premis, yaitu:

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasar makna-makna yang ada pada

sesuatu itu bagi mereka

2. Makna tersebut berasal dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”

3. Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial

berlangsung

Selanjutnya Blumer46 mengemukakan bahwa interaksionisme-simbolik

mengandung sejumlah ide-ide dasar yang diringkas oleh Paloma sebagai berikut:

1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai oraganisasi atau struktur sosial.

2. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi-interaksi nonsimbolis mencakup stimulus respon yang sederhana. Interaksi simbolis mencakup “penafsiran tindakan”.

3. Obyek-obyek tidak mempunyai makna yang intrinsik; makna lebih merupakan produk interaksi simbolis. Obyek-obyek dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yang luas: (a) obyek fisik, obyek sosial, dan (c) obyek abstrak berupa nilai-nilai, hak dan peraturan.

4. Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai obyek. Pandangan terhadap diri sendiri ini,

45 Paloma, Margaret M. loc. cit. hal. 258 46 Paloma, Margaret M. loc. cit. hal. 264-266

34

sebagaimana dengan semua obyek, lahir di saat proses interaksi simbolis.

5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Blumer menulis, pada dasarnya tindakan manusia terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan melahirkan serangkaian kelakuan atas dasar bagaimana mereka menafsirkan hal tersebut. Hal-hal yang dipertimbangkan itu mencakup berbagai masalah seperti keinginan dan kemauan, tujuan dan sarana yang tersedia untuk mencapainya, serta tindakan yang diharapkan dari orang lain.

6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok; hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai, “organisasi sosial dari perilaku tindakan-tindakan berbagai manusia”.

Jadi, interaksi sosial antara kelompok-kelompok orang bisa juga terjadi

pada kehidupan dalam masyarakat pada umumnya, yang sekaligus di dalamnya

terkandung berbagai tantangan, yang orang-orang tersebut dapat menguji kemam-

puannya dalam memenuhi berbagai kepentingan, baik kepentingan kelompok

ataupun kepentingan bagi perorangan. Dalam aktivitas yang dilakukan dapat

menimbulkan keseimbangan sosial dan dapat pula menimbulkan goncangan

sosial. Dikatakan goncangan sosial, apabila dalam aktivitas interaksinya dalam

upaya pemenuhan kepentingannya dirasakan tidak sesuai dengan norma-norma,

nilai-nilai dan aturan-aturan kemasyarakatan yang berlaku. Dikatakan keseim-

bangan sosial, jika dalam aktivitas interaksinya dalam upaya memenuhi kepen-

tingannya mengalami kesesuaian dengan norma-norma, nilai-nilai dan aturan-

aturan kemasyarakatan yang berlaku.

2.3. Struktural-Fungsional

Pendekatan teori struktural-fungsional, mengatakan bahwa masyarakat

merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen

yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang

35

terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula pada bagian yang lain.

Asumsi dasarnya bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap

yang lain. Sebaliknya, kalau tidak fungsional struktur itu tidak akan ada atau akan

hilang dengan sendirinya47.

Perspektif struktural-fungsional yang berkembang pada beberapa dakade

terakhir ini, sebenarnya dipengaruhi dari pengembangan teori oleh sosiolog dan

antropolog terdahulu. Tokoh-tokoh sosiolog diantaranya Auguste Comte (1798-

1857), Herbert Spencer (1820-1903), dan Emile Durkheim (1858-1917). Tokoh

antropolog yang menyumbangkan pemikirannya untuk bidang sosiologi adalah

Malinowski (1884-1942) dan Radcliffe-Brown (1881-1955)48.

Auguste Comte yang mencurahkan perhatiannya pada ketertiban dan

keharmonisan masyarakat mengatakan bahwa sosiologi studi tentang statika

(struktur) atau strata sosial dan dinamika sosial (proses/fungsi). Dalam membahas

struktur masyarakat, Comte menerima premis bahwa masyarakat laksana

organisme hidup. Perspektif organik Comte, memperlakukan atau

mengembangkan hukum-hukum sosial sebagaimana halnya suatu organisme

hidup. Studi tentang statika sosial (struktur) dari sosiologi adalah penyelidikan

hukum-hukum tindakan dan reaksi yang berbeda dari bagian sistem Sosial.

Dinamika sosial adalah mempelajari gerakan perubahan masyarakat. Pernyataan

Comte tentang statika sosial (struktur) memberikan inspirasi pada teori struktural-

fungsional. Hal ini dipertegas oleh Veeger49, bahwa statika sosial melandasi dan

47Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Alih Bahasa Alimandan,

Jakarta: Rajawali Pers. 1992 hal. 25 48 Paloma, Margaret M. op. cit. hal. 23-26 49 Paloma, Margaret M. op. cit. hal. 25

36

menunjang orde, tertib, dan kestabilan masyarakat. Antara lain sistem

perundangan, struktur organisasi, nilai-nilai keyakinan, kaidah dan kewajiban

yang kesemuanya memberi bentuk yang kongkrit dan mantap kepada kehidupan

bersama.

Herbert Spencer seorang ahli sosiologi Inggris menganggap bahwa

masyarakat sama dengan organisme hidup, mereka sama-sama tumbuh dalam

proses evaluasi dengan ciri-ciri khas mereka50. Analisis Spencer mengenai

perbedaan dan kesamaan antara organisme biologis dan sistem sosial, dengan

hati-hati menegaskan bahwa hanya merupakan sebuah analogi atau model yang

tidak seharusnya diterima begitu saja. Hal ini, masyarakat tidak benar-benar

mirip dengan organisme hidup; di antara keduanya terdapat sebuah perbedaan

yang sangat penting. Dalam organisme, mempunyai saling ketergantungan antara

bagian-bagian atau saling terkait dalam suatu hubungan yang intim. Sedangkan

dalam sistem sosial hubungan yang sangat dekat seperti bagian-bagian organisme

tidak begitu jelas terlihat; bagian-bagian yang kadang-kadang sangat terpisah.

Makna saling ketergantungan dalam sistem sosial mempunyai arti relatif; banyak

variabel-variabel sosial lainnya yang terlibat di dalamnya. Tiap bagian yang

tumbuh di dalam tubuh organisme biologis maupun dalam sistem sosial memiliki

fungsi dan tujuan tertentu. Dalam sistem oragnisme maupun sistem sosial, bila

terjadi perubahan pada bagian lain dan pada akhirnya akan terjadi perubahan

dalam sistem secara keseluruhan. Pemikiran Comte dan Spencer tersebut

mempertegas asumsi dasar sosiologi, bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai

50 Paloma, Margaret M. loc. cit. hal. 25

37

suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung satu sama

lain51.

Lahirnya aliran struktural-fungsional dalam sosiologi memperoleh

dorongan yang kuat melalui karya-karya Emile Durkheim. Durkheim memandang

masyarakat modern adalah merupakan keseluruhan organis yang memiliki realitas

tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-

fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggota

agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Keadaan normal menunjuk pada

keseimbangan (equilibrium) atau sebagai suatu sistem yang seimbang. Bila

kebutuhan tertentu tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang

bersifat “patologis” (ketidakseimbangan atau perubahan sosial)52. Sumbangan

pemikiran Durkheim terhadap aliran struktural-fungsional cukup besar, dengan

menekankan kepada konsep; kesatuan moral dan keseimbangan sistem sosial serta

fungsi dari fakta sosial.

Sumber utama analisis Durkheim adalah mengenai tipe-tipe yang berbeda

dalam solidaritas dan sumber-sumber struktur sosial. Durkheim menggunakan

istilah solidaritas mekanik dan organik untuk menganalisa masyarakat

keseluruhannya. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu keadaan kolektif

bersama, kepercayaan, sentimen-sentimen bersama, ruang lingkup dan kerasnya

hukum-hukum yang bersifat menekan (repressive). Keadaan tersebut terjadi pada

masyarakat yang homogen yang merupakan ciri khas solidaritas mekanik.

Sedangkan solidaritas organis adalah merupakan hasil evolusi dari solidaritas

51 Paloma, Margaret M. op. cit. hal. 25 52 Paloma, Margaret M. Op. cit. hal. 25-26

38

mekanis. Di dalam solidaritas organis, bahwa setiap anggota masyarakat

merasakan adanya saling ketergantungan kompleks, saling ketergantungan

fungsional, menganut nilai dan norma umum bersama serta ruang lingkup hukum

yang bersifat memulihkan (restitutive)53.

Sumbangan pemikiran aliran struktural fungsional Durkheim tetap

dipertahankan dan dikembangkan oleh dua orang antropolog, yaitu Bronislaw

Malinoswki dan A.R. Radciffe-Brown. Malinoswki menggunakan pengertian

fungsi untuk pendekatan konsensus. Masyarakat dapat dikatakan sebagai sistem

sosial, unsur-unsur yang saling berhubungan timbul dari kebutuhan dasar setiap

manusia. Dasar pemikirannya dari kebutuhan dasar manusia dan respon budaya

yang terintegrasi, berkembang dalam kesatuan fungsi. Radcliffe-Brown

memberikan konsep mendasar tentang fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial.

Menurut Radcliffe-Brown, fungsi dari setiap kegiatan yang selalu berulang,

seperti menghukum kejahatan atau upacara penguburan, merupakan bagian yang

dilakukan dalam kehidupan sosial. Hal ini merupakan sumbangan atau fungsi bagi

pemeliharaan kelangsungan struktural54.

Perspektif struktural-fungsional dalam membahas struktur, Parsons

menggunakan konsep sistem (sistem sosial). Sistem ialah organisasi dari

keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung. Sistem sosial ialah struktur

atau bagian yang saling berhubungan, atau posisi-posisi yang saling dihubungkan

oleh peranan timbal-balik yang diharapkan55. Karya Parsons, pada awalnya

dimaksudkan untuk mengembangkan suatu model tindakan sosial yang bersifat 53 Johnson, Doyle Paul. Op. cit. hal. 181-188 54 Paloma, Margaret M. loc. cit. hal. 26 55 Paloma, Margaret M. Op. cit. hal. 28

39

voluntaristik yang didasarkan pada sintesanya dari teori Alfred Marshall, Vilfredo

Pareto, Emile Durkheim, dan Max Weber56. Konsepsi sistem yang dipergunakan

untuk menganalisa masyarakat sebagai sistem sosial, yang di dalamnya terdapat

tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan tertentu, baik secara individu maupun

secara kolektif dalam suatu kelompok, lembaga dan masyarakat.

Perspektif fungsional Parsons mengenai sistem sosial didasarkan pada

teori tindakan sosial dalam sistem sosial sebagai unit analisis. Konsep masyarakat

sebagai sistem sosial digunakan oleh Talcot Parsons dan pengikut-pengikutnya

melalui pendekatan struktural-fungsional, memberikan pengertian tentang sistem

sosial, ialah proses interaksi diantara pelaku sosial (actor), sedangkan yang

merupakan struktur sistem sosial adalah struktur relasi antara pelaku sebagaimana

yang terlibat dalam proses interaksi. Sistem sosial dapat diartikan sebagai suatu

perangkat peran sosial yang berinteraksi atau kelompok sosial yang memiliki

nilai, norma, dan tujuan yang sama57.

Keluarga yang merupakan lembaga paling kecil dalam masyarakat

mempunyai prinsip-prinsip serupa sebagaimana menurut pandangan aliran

struktural-fungsional. Parsons yang mengembangkan pendekatan struktural-

fungsional dalam kehidupan keluarga, mengakui adanya keragaman dalam

kehidupan sosial. Parsons menjelaskan pula bahwa satuan utama dari sistem sosial

terdiri atas kolektivitas dan peranan58.

56 Johnson, Doyle Paul. Op. cit. hal. 106 57 Garna, Judistira K. Op. cit. hal :145 58 Garna, Judistira K. loc. cit. hal :146

40

Martin Roderick 59 menguraikan, pendekatan sistem beranjak dari asumsi

bahwa masyarakat secara keseluruhan sedikit banyak saling tergantung dan

lembaga-lembaga sosial berusaha untuk memenuhi fungsi-fungsi yang penting

sama menjamin kelangsungan hidup mereka. Selain itu, pendekatan sistem yaitu

mengnalisa masyarakat dari sudut struktur, fungsi, peranan,dan prosesnya.

Sedangkan pendekatan tindakan sosial secara langsung atau tidak melihat

lembaga-lembaga sosial sebagai sarana bagi individu untuk mencapai, baik tujuan

individu maupun tujuan kelompok. Pendekatan tindakan sosial menganalisa

masyarakat dari segi pelakunya. Nasikun60 menjelaskan bahwa sistem sosial pada

dasarnya tidak lain adalah suatu sistem daripada tindakan-tindakan yang terbentuk

dari interaksi sosial yang terjadi diantara berbagai individu yang tumbuh dan

berkembang di atas standar penilaian umum yang disepakati bersama oleh para

anggota masyarakat. Berbagai standar penilaian umum tersebut adalah norma-

norma sosial dan adanya hubungan sosial yang dinamis antara bagian-bagian itu

yang sesungguhnya akan membentuk struktur sosial. Max Weber dalam

Jonhson61, menekankan pada pemahaman subyektif (verstehen) sebagai metoda

untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-arti subyektif tindakan

sosial. Weber menjelaskan, bahwa tidak hanya mengamati obyek, tetapi juga

mengerti menafsirkan tindakan sosial dan melalui tindakan tersebut dapat

menjelaskan terjadinya dan dampaknya atau akibat. Prinsip pemahaman subyektif

dari Weber ialah menunjuk pada upaya memahami suatu perilaku dengan

mencoba menjelaskan fenomena tersebut untuk menangkap hubungan di antara 59 Lauer, Robert H. Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Rineka Cipta. 1993 hal 43 60 Paloma, Margaret M. Op. cit. hal. 12-13 61 Johnson, Doyle Paul. Op. cit. hal. 214-216

41

perasaan, motivasi, dan pikiran seseorang dengan tindakannya dalam lingkup

situasi.

Perspektif Parsons yang bersifat fungsional itu mengatakan bahwa

tindakan-tindakan individu harus memenuhi persyaratan-persyaratan fungsional.

Pada bagian ini, Parsons menekankan pentingnya pemahaman orientasi individu

yang bersifat subyektif, termasuk definisi situasi serta kebutuhan dan tujuan

individu. Setiap pola perilaku yang sesuai atau menyimpang, setiap kebiasaan atau

norma, setiap keputusan kebijaksanaan yang besar dan setiap nilai budaya dapat

dianalisa dengan kerangka fungsional62. Weber yang menggunakan rasionalitas

sebagai konsep dasar dalam mengkalisifikasi mengenai tipe-tipe tindakan sosial,

dibedakan antara tindakan rasional dan nonrasional. Tindakan rasional menurut

Weber meliputi pertimbangan yang sadar dan pilihan yang berhubungan dengan

tujuan tindakan itu dan alat yang digunakan untuk mencapainya. Tindakan

diarahkan secara rasional ke suatu sistem dari tujuan-tujuan individu yang

memiliki sifat-sifatnya sendiri, apabila tujuan itu, alat dan akibat-akibat

sekundernya diperhitungkan dan dipertimbangkan semuanya secara rasional. Hal

ini mencakup pertimbangan rasional atas alat alternatif untuk mencapai tujuan itu,

pertimbangan mengenai hubungan-hubungan tujuan itu dengan hasil-hasil yang

mungkin dari penggunaan alat tertentu apa saja, dan akhirnya pertimbangan

mengenai pentingnya tujuan-tujuan yang mungkin berbeda secara relatif63.

Individu atau masyarakat memiliki bermacam-macam tujuan, akan tetapi sangat

tergantung pada kondisi atau situasi lingkungan untuk menentukan pilihan dengan

62 Johnson, Doyle Paul. Op. cit. hal. 100-101 63 Johnson, Doyle Paul. loc. cit. hal. 220

42

pertimbangan yang sadar untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Untuk

mencapai tujuan individu selalu menilai alat yang mungkin dapat digunakan,

dilakukannya melalui pengumpulan informasi, atau bahkan telah dicobanya,

kemungkinan hambatan-hambatan dalam lingkungan.

Parsons mengatakan bahwa tindakan manusia dipengaruhi oleh dua

macam orientasi, yaitu orientasi motivasional dan orientasi nilai-nilai. Kedua

macam orientasi itu sama-sama menunjuk pada pencapaian kebutuhan-kebutuhan

atau tujuan-tujuan. Akan tetapi keduanya mempunyai perbedaan di mana orientasi

motivasional lebih bersifat individual dan orientasi nilai lebih bersifat sosial.

Orientasi motivasional menunjuk pada keinginan individu yang bertindak itu

untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan. Orientasi nilai

menunjuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan individu

(alat dan tujuan) dan prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan

dan tujuan-tujuan yang berbeda. Hal ini mengandung pengertian bahwa tindakan

seseorang dipengaruhi oleh kehendak pribadinya dan sekaligus dikontrol oleh

nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat64.

Untuk menganalisis persyaratan-persyaratan suatu sistem sosial, Parsons65

menggunakan karangka: adaptation (I), goal attainment (G), integration (I), dan

latent pattern maintenance (L). Ke empat persyaratan fungsional ini merupakan

subsistem-subsistem dari sistem yang ada, akan bekerja sama secara normal

64 Johnson, Doyle Paul. Op. cit. hal. 114 65 Skema pertukaran atau hubungan timbal-balik antara subsistem-subsistem secara fungsional

dalam sistem sosial menurut Talcot Parsons. Sumber: Johnson, Doyle Paul. loc. cit hal.

133.

43

apabila memiliki empat kondisi dasar sebagai alternatif. Parsons menyebutkan

kondisi atau persyaratan fungsional atau kewajiban fungsinal.

Gambar 2.1

Menurut Parsons, tindakan manusia dalam sistem sosial memiliki empat

elemen sistem atau subsistem, yaitu: subsistem budaya, subsistem sosial,

subsistem kepribadian (personality), dan subsistem perilaku organisme individu66.

Ke empat subsistem tersebut berada dalam suatu hubungan hirarki yang berfungsi

untuk adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pertahanan pola tingkah laku.

Akan tetapi ke empat subsistem atau sistem aksi tersebut berada dalam hubungan

timbal-balik yang saling melengkapi untuk mencapai tujuan-tujuan67.

Subsistem budaya merupakan orientasi nilai dasar dan pola normatif yang

dilembagakan dalam sistem sosial dan diinternalisasikan dalam struktur

kepribadian para anggotanya. Kebudayaan secara informasional membatasi sistem

sosial, sistem sosial mengatur sistem kepribadian, dan sistem kepribadian

66 Johnson, Doyle Paul. Op. cit. hal. 134 dan Soekanto, Soerjono. Op. cit. hal 47 67 Soekanto, Soerjono. loc. cit. hal 48-51

Adaptation (A)

Subsistem Organisme Individu

Goal Attainment (G)

Subsistem Kepribadian

Latent Pattern Maintenance (L)

Subsistem Kebudayaan

Integration (I)

Subsistem Sosial

44

mengatur sistem perilaku organisme individu. Unsur-unsur subsistem budaya

seperti nilai norma, falsafah, dan kaidah-kaidah sosial biasanya diwujudkan dalam

pandangan hidup yang mengarah pada tujuan yang ingin dicapai yang didasarkan

pada pemeliharaan tapal batas, sehingga membentuk suatu ketahanan (latency)

pola tingkah laku. Norma yang diwujudkan dalam peran-peran tertentu dalam

sistem sosial dan juga disatukan dalam struktur kepribadian anggota sistem.

Kaidah-kaidah sosial yang merupakan harapan-hrapan para pelaku yang

memainkan peranan, hal ini dapat dipandang sebagai pembatasan terhadap

berbagai motif serta pengambilan keputusan dalam sistem-sistem kepribadian68 .

Subsistem sosial berfungsi untuk kehidupan bersama secara integrasi.

Artinya integrasi berfungsi untuk mempertahankan keteraturan hidup dalam

sistem sosial yang diciptakan oleh unsur-unsur dari subsistem sosial. Integrasi

menunjuk pada kebutuhan untuk menjamin bahwa ikatan emosional yang cukup

untuk menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk bekerja sama dikembangkan

dan dipertahankan. Masalah integrasi berhubungan interelasi antara berbagai

satuan dalam sistem sosial. Sektor integratif dalam sistem sosial mengandalkan

pengaruh atau kekuasaan, yakni kemampuan untuk mengajak dan keadaan laten

mempergunakan keterikatan, yaitu kemampuan untuk setia69. Menurut Bertrand

(1974), bahwa dalam subsistem sosial, pola-pola tingkah laku diaplikasikan

pada unsur-unsurnya seperti status dan peranan individu dalam kepangkatan

sosial (social rank) yang disertai dengan kekuasaan (kemampuan untuk

68 Johnson, Doyle Paul. Op. cit. hal. 134 dan Soekanto, Soerjono. loc. cit. hal 48 69 Johnson, Doyle Paul. Op. cit. hal. 130 dan Soekanto, Soerjono. Op. cit. hal 51

45

mendorong terjadinya kepatuhan) dan sangsi-sangsi sosial tertentu (reward and

punishment) serta ditunjang oleh fasilitas yang tersedia.

Subsistem kepribadian individu ialah menyangkut aspek-aspek

kepribadian manusia yang dapat mempengaruhi organisme individu untuk

mengadaptasikan perilakunya pada perilaku sosial yang telah menjadi

kepribadiannya. Subsistem kepribadian individu dalam sistem sosial juga

distimulasi dan dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma dalam subsistem

budaya dan oleh pola-pola bertindak dalam sistem sosial yang telah diinternalisasi

melalui proses sosialisasi. Hal ini dapat berfungsi sebagai sumber motivasional

dari tindakan sosialnya. Pencapaian tujuan (Goal attainment) dalam subsistem

kepribadian ialah menyangkut pengambilan keputusan terhadap pencapaian tujuan

dari individu dalam menetapkan prioritas dari sekian banyak tujuan. Persyaratan

fungsional untuk pencapaian tujuan oleh individu sehubungan dengan

pengambilan keputusan itu akan mendorong individu untuk menetapkan orientasi

motivasional dan orientasi nilai yang telah dibentuk oleh sistem budaya dan

sistem sosial70 .

Subsistem organisme individu ialah menyangkut sifat-sifat biologis

individu sebagai organisme yang berperilaku dengan persyaratan biologis yang

harus dipenuhi oleh mereka untuk bertahan hidup. Penyesuaian atau adaptasi

(adaptation) sifat-sifat biologis individu terhadap lingkungan turut menentukan

kepribadian individu, pola-pola tingkah lakunya serta gagasan-gagasan yang

dicetusnya untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya. Manusia sebagai

70 Johnson, Doyle Paul. loc. cit. hal. 130

46

organisme selalu berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan, baik

lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya dalam upaya pemenuhan

kebutuhan biologis. Pemenuhan kebutuhan biologis dasar individu sebagai

organisme, berfungsi untuk pengolahan kebutuhan kepribadian dalam suatu

proses adaptasi serta melibatkan proses interaksi sosial budaya, sehingga

melembagakan ketiga subsistem tersebut di atas.

Dari empat persyaratan fungsional Parsons sebagaimana diuraikan di atas

menunjukkan bahwa sistem sosial sebagai satu keseluruhan berada dalam

hubungan timbal-balik dengan lingkungan yang terdiri dari lingkungan fisik,

sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem perilaku organisme individu.