bab iv analisis terhadap pemikiran imam syafi'i...

24
45 BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I TENTANG IZIN MEMBUKA TANAH MATI A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafi’i Tentang Izin Kepemilikan Tanah Secara etimologi, kata ihya berarti menjadikan sesuatu menjadi hidup dan al-mawat berarti sesuatu yang tidak bernyawa atau tanah yang tidak dimiliki seseorang dan belum digarap. Pembahasan tentang ihya al-mawat berkaitan dengan persoalan tanah kosong yang belum digarap dan belum dimiliki seseorang. Secara terminologi, ihya al-mawat adalah penggarapan lahan yang belum dimiliki dan digarap oleh orang lain karena ketiadaan irigasi serta jauh dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang belum digarap orang, baik lahan itu jauh dari pemukiman maupun dekat.. Ihya al-mawat bertujuan agar lahan-lahan yang gersang, tidak produktif menjadi produktif, baik sebagai lahan pertanian maupun untuk bangunan. Sebidang lahan dikatakan sebagai produktif apabila menghasilkan dan memberi manfaat bagi umat manusia. Indikasi yang menunjukkan kepada ihya al-mawat itu adalah dengan menggarap lahan itu. Misalnya jika lahan itu ditujukan untuk pertanian, digarap dengan mencangkul lahannya, membuat saluran air (irigasi), memagar dan mendirikan bangunan di atasnya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa menurut Imam Syafi’i untuk membuka tanah mati atau dengan kata lain untuk memiliki tanah

Upload: ngodiep

Post on 13-Apr-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

45

BAB IV

ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I

TENTANG IZIN MEMBUKA TANAH MATI

A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafi’i Tentang Izin Kepemilikan

Tanah

Secara etimologi, kata ihya berarti menjadikan sesuatu menjadi hidup

dan al-mawat berarti sesuatu yang tidak bernyawa atau tanah yang tidak

dimiliki seseorang dan belum digarap. Pembahasan tentang ihya al-mawat

berkaitan dengan persoalan tanah kosong yang belum digarap dan belum

dimiliki seseorang.

Secara terminologi, ihya al-mawat adalah penggarapan lahan yang

belum dimiliki dan digarap oleh orang lain karena ketiadaan irigasi serta jauh

dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang belum

digarap orang, baik lahan itu jauh dari pemukiman maupun dekat..

Ihya al-mawat bertujuan agar lahan-lahan yang gersang, tidak

produktif menjadi produktif, baik sebagai lahan pertanian maupun untuk

bangunan. Sebidang lahan dikatakan sebagai produktif apabila menghasilkan

dan memberi manfaat bagi umat manusia. Indikasi yang menunjukkan kepada

ihya al-mawat itu adalah dengan menggarap lahan itu. Misalnya jika lahan itu

ditujukan untuk pertanian, digarap dengan mencangkul lahannya, membuat

saluran air (irigasi), memagar dan mendirikan bangunan di atasnya.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa menurut Imam

Syafi’i untuk membuka tanah mati atau dengan kata lain untuk memiliki tanah

Page 2: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

46

yang mati tidak perlu izin dengan Imam atau pemerintah. Dalam pandangan

Syafi’i bahwa izin dalam ihyaul mawat adalah bukan syarat, sebab yang

dinamakan izin dalam hal ini ialah pemerintah wajib menyerahkan setelah

tanah kosong itu dihidupkan oleh orang yang pertama kali membangun,

sedang untuk membangun, maka siapa saja (orang Islam) bebas untuk

menguasai sesuai dengan kemampuannya:

1هفهذا معن قطبع مأ دون فيه ال فمن منهى عن

Artinya: Maka inilah makna penyerahan yang diijinkan, bukan

penjagaan yang dilarang”. Maksud dari perkataan Imam Syafi’i di atas, bahwa terhadap tanah

yang masih kosong, orang Islam tanpa terkecuali bebas untuk memilikinya,

sedangkan bila dikemudian hari terjadi sengketa, maka penguasa wajib dengan

se-izinnya memberikan kepada pihak yang pertama menjaga/membangun,

sedangkan untuk membangun atau menguasai tanah kosong tersebut tidak

memerlukan izin.

Setelah tanah tersebut dikuasai, maka orang boleh mengajukan

permohonan izin kepada pemerintah, dan pemerintah pun wajib memberikan

izinnya. Apabila ada pihak lain (yang terkemudian) mengaku berhak pula,

maka wajib dihalangi oleh pemerintah. Karena bila pihak lain setelah ada

orang yang pertama membangun juga diberikan, maka yang demikian itu

adalah dzalim:

1Al-Imam Abi Abdilah Muhammad ibn Idris Syafi’i, al-Umm, Juz 3, Dar al-Kutub

Ijtima'iayah, Beirut Libanon: tth, hlm. 43

Page 3: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

47

قال الشافعى ومجاع العرق الظامل كل ما خفر او غرس وبت ظلما شحق

Artinya: Imam Syafi’i berkata: mengumpulkan keringat orang zalim ialah setiap apa yang digali atau ditanam atau dibangun dengan zalim pada hak seseorang; dengan tidak keluarnya orang itu dari haknya"

Penegasan Imam Syafi’i, bahwa dalam ihyaul mawat tidak perlu

adanya syarat izin imam seperti tersebut di atas, ditegaskan kembali oleh

Sayyid Abi Nashr Al-Husaini bahwa :

بن حسن والشافعى وامحد ابن حنبل ان رأ ابو يوسف وحممد ا

ملك املوات يعترب باالحيأ دون اذن اال مام

Artinya : Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan dan Syafi’i serta Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa sesungguhnya pemilikan harta melalui ihyaul mawat itu cukup (hanya) dengan mengolahnya saja tanpa harus izin dari imam terlebih dahulu.

Ditinjau dari alasannya, bahwa konsep Imam Syafi’i yang perlu

digaris-bawahi di antaranya soal tidak perlunya izin dari pemerintah atau

imam dalam membuka tanah mati. Dengan kata lain dalam perspektif Imam

Syafi’i kedaulatan rakyat berada di atas segalanya, suara rakyat merupakan

suara Tuhan. Dalam visi Imam Syafi’i, hidup matinya negara dan

terbentuknya suatu pemerintahan adalah karena rakyat.

Adapun hukum Islam mensyaratkan bahwa yang berhak membuka

tanah/menghidupkan tanah mati adalah muslim (orang yang beragama Islam

Page 4: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

48

saja).2 Sedangkan kafir zimmi,3 kafir mu'ahad4 dan kafir musta'man5 sama

sekali tidak diperbolehkan menggarap tanah liar walaupun pemerintah

mengizinkan mereka. 6

Pengkhususan ini memiliki tujuan, sebagai berikut :

1. Mencapai kemakmuran dan kekuatan Islam.

Di masa awal perkembangan Islam, kaum muslimin sangat

membutuhkan sokongan ekonomi dan dana yang cukup besar untuk dapat

berperan aktif memajukan Islam. Oleh karenanya Islam menyerukan untuk

menghidupkan tanah-tanah yang tandus agar mereka dapat berkembang di

tengah-tengah kesuburan dan menyebar di berbagai pelosok wilayah

kekuasaan Islam. Dengan cara ini dapat menambah kekayaan dan

kemakmuran sehingga pada gilirannya menambah kekuatan Islam.

2. Menumbuhkan kecintaan terhadap Islam.

2Ahmad bin al-Husain asy-Syahir dan Abi Syuja', "Fath al-Qarib al-Mujib", dalam

Asy-Syaikh Muhammad bin al-Qasim al-Gazi, Syarah Fath al-Qarib al-Mujib, Sinqafurah, Jeddah : al-Haramain li at-Taba'ah wa an-Nasyr wa. at-Tauzi', tt, hlm. 38.

3Kafir zimmi atau ahlu az-zimmah ialah golongan non Islam yang telah tunduk kepada peraturan-peraturan negara Islam dan berjanji memenuhi kewajiban-kewajiban yang berlaku atasnya kecuali tentang masalah aqidah. Terhadap golongan ini, Islam member! perlindungan atau jaminan keamanan yang tidak terbatas atas jiwa dan hartanya.... Adapun dalam hal kekeluargaan, seperti : perkawinan, perceraian dan lain-lain, penguasa Islam membolehkan mereka menjalankan peraturan menurut agamanya masing-masing....(Lihat M. Abdul Mujieb, dkk., Kamus Istilah Figh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, hlm, 151.

4Kafir mu'ahad yaitu orang-orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam Bahwa mereka tidak akan menyerang atau bermusuhan selama waktu perjanjian tersebut, baik di wilayah yang telah diduduki oleh umat Islam ataupun yang tidak diduduki umat Islam.

5Kafir musta'man adalah orang kafir yang diberi keamanan atau seorang non muslim yang masuk ke negara Islam dengan tidak bermaksud berdiam selamanya, tetapi terbatas dalam waktu tertentu.... Ulama sepakat bahwa dalam masalah muamalat, kenegaraan, undang-undang Islam berlaku bagi musta'roan,

6Asy-Syaikh Muhammad bin al-Qasim al-Gazi, Syarah Fath al-Qarib al-Mujib, hlm. 39.

Page 5: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

49

Dengan adanya anjuran dari Rasulullah SAW untuk menyuburkan

tanah tandus, maka bila anjuran ini diindahkan berakibat langsung pada

meningkatnya taraf perekonomian rakyat yang akan berimbas pada

semakin tingginya kecintaan mereka terhadap Islam. Adalah suatu hal

yang wajar bila seseorang yang diberi beberapa kebaikan merasa dekat dan

cinta dengan si pemberi kebaikan sebagai ungkapan rasa syukur dan

terima kasih atas berkah yang diperoleh.

Akan tetapi kalau menengok pada konstitusi negara Islam modern,

maka pengkhususan ini dalam bidang muamalat seperti ini tidak akan kita

temui. Dalam negara Islam modern, seluruh warga negara (baik muslim

maupun kafir zimmi dianggap memiliki hak dan kewajiban yang sama di

depan hukum kecuali tentunya dalam hal aqidah, perkawinan dan

semacamnya.

Di dalam banyak ayat al-Qur'an dijumpai penegasan yang menyatakan

bahwa alam semesta beserta isinya adalah ciptaan Allah SWT yang

diperuntukkan bagi segenap makhluk-Nya. Dalam waktu yang sama al-Qur'an

menegaskan bahwa Allah SWT telah melimpahkan kepada manusia sebagai

khalifah di muka bumi yang berfungsi untuk memakmurkan kehidupan di

bumi ini. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur'an surat al-An’am:

163 sebagai berikut:

وهو الذي جعلكم خالئف األرض ورفع بعضكم فوق بعض درجات

اكما آتفي م كملوب165: االنعام ...( لي (

Page 6: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

50

Artinya: Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu….( al-An’am (6): 165)

Untuk menjalankan fungsi itu, oleh Allah SWT manusia dibekali

dengan berbagai macam kekuatan dan keahlian baik secara naluriah,

jasmaniah maupun akal budi. Dari sekian banyak kemampuan yang dimiliki

itu, naluri untuk mempertahankan eksistensi secara perorangan itulah yang

menonjol. Hal ini dicerminkan lewat keinginan untuk menguasai dan memiliki

apa saja yang menjadi kebutuhan hidupnya.

Sekalipun manusia memiliki kecenderungan sebagai makhluk

individual, ternyata lebih besar kecenderungannya sebagai makhluk sosial

yang membutuhkan interaksi dengan sesama manusia. Pada tahap ini manusia

membutuhkan seorang pemimpin yang dapat dijadikan panutan dan tempat

mengadukan segala permasalahannya baik pribadi maupun kolektif. Dalam

masyarakat modern para pemimpin ini lazim disebut pemerintah. Merekalah

(pemerintah) yang diberi kewenangan mengorganisir perbaikan dan

peruntukan kebutuhan dan pemilikan tiap- tiap individu dalam masyarakat.

Sebagaimana telah disinggung di atas, manusia sebagai yang memikul

tanggung jawab untuk memakmurkan bumi berfungsi terhadap alamnya yaitu

mengambil potensi alam untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Diantara

jalan untuk memperoleh manfaat terhadap potensi dan kekayaan alam adalah

dengan cara menghidupkan tanah mati yang ada di wilayah kekuasaan

pemerintahnya.

Page 7: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

51

Untuk menghidupkan tanah mati diperlukan izin dari imam, demikian

pendapat ulama-ulama mazhab Hanafi. Hal ini sejalan dengan yang berlaku di

negara kita atas dasar penegasan Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3

bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai

oleh negara dan diperuntukkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.7

Negara Indonesia secara legal formal memang bukan negara yang

berdasarkan agama, tetapi mengakui dan memberi kesempatan agama untuk

hidup dan tumbuh subur di negara ini. Sila pertama dari Pancasila jelas

menggambarkan pengakuan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha

Esa. Maka logika agama Islam yang didefinisikan di atas, sama diakui di

negara ini bahwa bumi dan segala isinya adalah karunia Tuhan Yang Maha

Esa. Dalam hal ini negara memiliki kewenangan mengurusi kepentingan

rakyat khususnya yang bertalian dengan izin pemilikan tanah. Kiranya hingga

di sini, logika yang digunakan hukum agraria nasional dan Imam Syafi'i

memiliki pandangan yang berbeda tentang perlunya campur tangan

pemerintah terhadap pemilikan tanah demi menjamin ketertiban dan kepastian

hukum bagi tiap-tiap warga negara.

Dalam hukum Islam pemahaman tentang tanah yang diterlantarkan

dapat kita lihat dari paradigma yang dituangkan oleh Umar bin Khattab

menjadi suatu kebijakan sebagaimana yang diilustrasikan dalam

pengambilalihan tanah Bilal ibn al-Haris oleh Umar bin Khattab (pemerintah)

menggambarkan bahwa hukum Islam mengedepankan kesanggupan

7Ahmad Azhar Basjir, Garis Besar Hukum Islam, edisi revisi, Yogyakarta: BPFE,

1987, hlm. 55.

Page 8: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

52

menggarap lahan atau tanah yang dimiliki. Kelebihan tanah yang tidak mampu

dikelola dan dimanfaatkan untuk kemudian diambil oleh negara menunjukkan

bahwa tanah dalam fungsi sosialnya berperan penting dengan satu

konsekwensi apabila. tanah itu tidak tergarap atau dibiarkan terlantar maka

resiko terbesar yang ditanggung. Pemiliknya akan kehilangan kepemilikan

atas tanah tersebut.

Islam secara tegas memberikan batasan waktu bagi tanah yang

ditinggalkan atau diterlantarkan oleh pemiliknya yakni 3 (tiga) tahun sebelum

tanah itu dinyatakan boleh dimiliki orang lain yang menyuburkan tanah

tersebut. Bahkan Khalifah Umar bin Khattab mempraktekkannya dengan tidak

harus atau tidak perlu memberikan batas waktu selama tiga tahun, sebab jika

lahan itu sekedar dimiliki tanpa ada upaya memperbaikinya/menggarapnya

maka tidak sepantasnya menuntut untuk memiliki lahan tersebut.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum agraria nasional

tidak mengatur secara tegas limit waktu tanah yang diterlantarkan untuk

kemudian dikuasai kembali oleh negara atau oleh orang lain yang menggarap

tanah tersebut, kecuali dengan jalan daluwarsa sebagaimana yang tercantum

dalam KUH Perdata yakni selama 20 (dua puluh) tahun jika tanah itu

ditempati oleh orang lain dengan suatu hak selain hak milik atau selama 30

(tiga puluh) tahun jika tanah itu ditempati tanpa suatu alas hak. Sebaliknya

dalam hukum Islam telah diatur" secara tegas, di mana bagi yang

menelantarkan tanahnya selama 3 (tiga) tahun maka tanah tersebut hapus hak

kepemilikannya dari pemilik sebelumnya.

Page 9: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

53

Dari keterangan di atas tampaklah bahwa konsep Imam Syafi’i berbeda

dengan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 tahun 1960. Perbedaannya

yaitu dalam UUPA untuk memiliki tanah harus mendapat izin dari pemerintah.

Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 22 Undang-undang Pokok

Agraria yang berbunyi:

(1). Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan

pemerintah.

(2). Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, hak

milik terjadi karena:

a. Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang

ditetapkan dengan peraturan pemerintah;

b. Ketentuan Undang-undang

Memori penjelasan Undang-undang Nomor 5. tahun 1960 terhadap

pasal 22 ditegaskan:

“Sebagai misal dari cara terjadinya hak milik menurut hukum adat

ialah pembukaan tanah. Cara-cara itu akan diatur supaya tidak terjadi hal-hal

yang merugikan kepentingan umum dan negara”.

Hukum agraria nasional mensyaratkan bahwa yang berhak membuka

tanah hanya warga negara Indonesia saja. Sejak berlakunya Undang-undang

nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA),

maka secara de jure (hukum) hak kepemilikan mengalami konversi dan hanya

warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya

dengan bumi, air dan ruang angkasa. Adapun bagi warga negara asing atau

Page 10: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

54

seorang yang memiliki dua kewarganegaraan tidak dibolehkan mempunyai

hak milik dan jika terjadi karenanya batal demi hukum, sebagaimana yang

disebutkan dalam UUPA sebagai berikut:

"Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat 2 adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima Oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.8

Sebagaimana diketahui bahwa sebelum berlakunya UUPA, hak

eigendom warga negara asing dan seorang yang memiliki identitas

kewarganegaraan ganda masih diakui oleh hukum agraria Indonesia akan

tetapi semenjak diberlakukannya UUPA ini hak eigendom tersebut menjadi

hak guna bangunan dengan jangka waktu pemanfaatan selama 20 tahun.

Dalam hal ini UUPA meletakkan suatu asas yang disebut asas

kebangsaan di mana hanya warga negara Indonesia saja yang dapat

mempunyai hak milik atas tanah. Demikian halnya dengan hak membuka

tanah yang hanya dapat dimiliki haknya oleh warga negara Indonesia saja,

karena pada dasarnya hak membuka tanah adalah salah satu upaya untuk

memperoleh hak milik. Logikanya, bila suatu hak dilarang untuk dimiliki

maka upaya yang mengarah pada pemilikan suatu hak tetap tidak dibolehkan.

Hukum agraria nasional mengatur bahwa yang membuka tanah tidak

otomatis sebagai pemiliknya, kecuali telah menunjukkan kesungguhannya

8Undang-undang nomor 5 tahun I960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

(UUPA), pasal 26 ayat 2.

Page 11: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

55

untuk memiliki tanah tersebut. Di dalam penjelasan Peraturan Menteri Dalam

Negeri nomor 6 tahun 1972 pasal 6 ditegaskan bahwa tanah tersebut harus

digarap selam kurang lebih 3 (tiga) tahun berturut-turut atau diusahakan secara

layak selama waktu tersebut. Sebaliknya hukum Islam mengatur bahwa bagi

yang membuka tanah secara otomatis menjadi pemilik tanah yang dibuka,

tentunya dengan memperhatikan ada tidaknya hak orang lain atas tanah

tersebut..

Pada permulaan agama Islam didakwahkan di tengah-tengah bangsa

Arab yang mayoritas taraf kehidupan ekonominya masih terbilang rendah,

dakwah Islam membutuhkan biaya yang besar karena ketika itu menghadapi

rintangan dan intimidasi dari kaum kafir. Seringkali rintangan dan halangan

itu dalam bentuk tekanan kekuatan bersenjata yang tentunya dalam

menghadapinya membutuhkan energi dan dana yang amat besar dari

masyarakat Islam. Saat-saat ini dibutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit

dari kaum muslim baik harta maupun jiwa. Sebaliknya. dalam tiap-tiap

kemenangan yang dicapai Islam memberi kesempatan kepada tiap muslim

yang berpartisipasi dalam peperangan memperoleh bagian dari rampasan

perang. Harta tersebut bisa berupa barang berharga yang bergerak atau harta

yang tidak bergerak yang ditinggalkan oleh pihak musuh. Biasanya terhadap

benda tak bergerak ini Rasulullah SAW memiliki kebijakan yakni membagi-

bagikan kepada mereka yang berjasa besar dalam memajukan dakwah Islam.

Rasulullah pernah memberikan sebidang tanah kepada Abu Bakar dan

Umar sebagai tanda jasa yang telah diberikan untuk kepentingan agama dan

Page 12: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

56

umat Islam. Para Khalifah sesudahnya pun mengikuti jejak beliau, tetapi

dalam batas-batas yang amat sempit dan terbatas pada tanah-tanah yang tidak

ada pemiliknya sama sekali.9

Siapapun memandang bahwa memiliki sesuatu merupakan pembawaan

naluriah manusia dan hal itu adalah hak alami, hak kodrati dan hak asassi

manusia yang wajib dihormati dan dilindungi. Tapi dalam kaitannya dengan

harta, agama Islam memberi batasan-batasan bagi setiap keinginan memiliki

harta yang melampaui batas, terlebih lagi dalam hitungan di luar

kesanggupannya.

Pemilikan tanah juga demikian, walaupun Islam tidak memberikan

batasan dalam hitungan meter tapi Islam sebagai sebuah aturan normatif,

cukup dengan memberikan batasan secara moral dan kemanusiaan. Maka

dalam konteks ini tepat apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab terhadap

tanah lebih yang dimiliki oleh Bilal ibn al-Haris, seperti yang diilustrasikan

oleh Muhammad Abdul Mannan, sebagai berikut :

"Setelah mengambil kembali beberapa tanah yang diberikan Nabi kepada Bilal ibn al-Haris, Umar berkata kepada Bilal : " Rasulullah tidak memberikan kepadamu (semata-mata) supaya kamu (menahannya) dari penguasaan orang lain. Dia (Nabi SAW) memberikannya kepadamu agar kamu dapat menggunakannya, dengan demikian kamu hanya boleh mengambil apa yang kamu manfaatkan dan tinggalkan sisanya”.10

Lebih jauh dari kejadian di atas menggambarkan bahwa batas luas

kepemilikan tanah di dalam Islam lebih mengedepankan kesanggupan dan

kemampuan menggarap tanah tersebut secara mandiri. Islam tidak

9Ibid, hlm. 59. 10Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, alih bahasa Drs. M.

Mastangin, edisi lisensi, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1993, hlm. 99.

Page 13: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

57

menginginkan terjadinya sistem tuan tanah di mana segelintir orang

menguasai tanah secara berlebih-lebihan sehingga orang kebanyakan yang

tidak memiliki sebidang tanah dan hanya menjadi buruh pada lahan tuan

tanah. Dengan demikian jelas tergambar bahwa sekalipun Islam tidak

mengatur secara transparan batas luas minimum dan maksimun pemilikan

tanah, tapi lewat kekuatan moral, Islam menganjurkan hidup secara

berkecukupan namun tidak berlebihan. Hal ini jelas tersurat dari beberapa

peristiwa yang salah satunya diilustrasikan kembali oleh Muhammad Abdul

Mannan sebagai berikut:

"Walaupun Nabi Muhammad SAW telah membagi-bagikan tanah kepada kaum muslim umpamanya tanah Khaibar, namun luas tanah-tanah ini begitu kecil sehingga tidak terdapat bahaya sedikitpun akan terjadinya sistem tuan tanah. . . .”11

Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) sebagaimana yang kita

mafhumi bermaksud meniadakan hukum agraria yang masih berlaku pada saat

itu dimana sebagian tersusun dan dipengaruhi oleh tujuan dan sendi-sendi

pemerintahan jajahan sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan

negara dalam mewujudkan keadilan sosial, Sebaliknya UUPA saat ini masih

banyak dipengaruhi oleh hukum adat tentang tanah dengan tidak mengabaikan

anasir-anasir nilai agamis dan hukum agama.

Satu-satunya cacat dalam UUPA adalah indikasi adanya ajaran

komunis yang sengaja dimasukkan ke dalam beberapa pasal UUPA melalui

jargon-jargon seperti : "...tidak bertentangan dengan kepentingan nasional"

11Ibid.

Page 14: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

58

"...kepentingan negara"

"...sosialisme Indonesia"

“…persatuan bangsa"

".,.tidak merugikan kepentingan umum"

Ini terlihat antara lain dalam pasal 2 ayat 4, pasal 5, 7, pasal 11 ayat 2,

pasal 14 dan 18,12 lebih lanjut Sri Bintang pamungkas menjelaskan bahwa

sebagai negara demokrasi dimana kekuasaan di tangan rakyat segala sesuatu

mestinya adalah "demi rakyat" atau "untuk kepentingan rakyat".13

Ke semua anasir-anasir yang mempengaruhi isi UUPA ini tergambar

dalam kalimat demi kalimat yang tertuang di dalamnya. Salah satu contohnya

adalah ungkapan yang tertuang dalam penjelasan Undang-undang nomor 56

PRP tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, sebagai berikut :

"Bahwa ada orang-orang yang mempunyai tanah yang berlebih-lebihan, sedang yang sebagian besar lainnya tidak mempunyai atau tidak cukup tanahnya adalah terang bertentangan dengan asas sosialisme Indonesia, yang menghendaki pembagian merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah itu, agar ada pembagian yang adil dan merata pula dari tanah-tanah tersebut. Dikuasainya tanah-tanah yang luas di tangan sebagian kecil para petani itu membuka pula kemungkinan dilakukannya praktek-praktek pemerasan dalam segala bentuk (gadai, bagi hasil dan lain-lainnya) hal mana bertentangan dengan prinsip sosialisme Indonesia." 14

Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa hukum

agraria nasional melalui UU No. 56 PRP tahun 1960 mengatur secara tegas

dan jelas batas luas minimum dan maksimum tanah hak milik. Dengan

harapan agar petani mendapatkan hasil yang cukup untuk hidup secara layak

12Sri Bintang Pamungkas, "UUPA dan Masalah Pertanahan", dalam Masdar F.

Mas'udi (ed.), Teologi Tanah, cet. I, Jakarta: P3M dan YAPIKA, 1994, hlm. 81 13Ibid, hlm. 82 14Penjelasan Umum Undang-undang nomer 56 PRP tahun 1960 tentang Penetapan

Luas Tanah Pertanian, nomor 2.

Page 15: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

59

dan bersahaja serta tidak terjadi penumpukan tanah di tangan segelintir orang-

orang tertentu saja. Lebih lanjut dalam pasal 10 ayat 1 UU No. 56 PRP tahun

1960 mengatur tentang pidana dan atau denda. bagi pemilik yang melanggar

ketentuan tentang pemecahan luas pemilikan tanah. Sebaliknya hukum Islam

tidak mengatur secara tegas dan jelas tentang batas luas minimum dan

maksimum tanah hak milik kecuali beberapa asas yang ditetapkan dalam

Islam bahwa tidak seorangpun diberi bantuan berupa tanah secara berlebih-

lebihan atau secara kuantitatif tidak sepadan dengan kebutuhan ekonomi orang

atau keluarga yang diberikan tanah.

Demikian urgennya masalah pemilikan tanah oleh individu-individu

baik sendiri maupun dalam satu lingkup keluarga, maka adalah suatu

kewajiban bila pemerintah dalam menerapkan hukum agraria nasional ini

mengikut sertakan wujud sangsi bagi mereka yang menelantarkan tanahnya.

Tanah yang dengan sengaja tidak dimanfaatkan dan difungsikan sesuai

keadaan atau sifat-sifat dan tujuan daripada haknya jelas bertentangan dengan

usaha untuk menambah produksi hasil pertanian. Oleh karenanya hukum

agraria nasional menyatakan bahwa salah satu sebab hapusnya hak milik tanah

adalah karena diterlantarkan. Sayangnya kebijakan ini tidak diikuti oleh

penetapan jangka waktu tanah yang diterlantarkan tersebut dianggap hapus

hak pemilikan atasnya.

Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi bila kita sedikit menengok kondisi

yang ada di seputar masa penetapan UUPA ini. Pemerintah (Orde Lama) baru

memasuki sebuah masa transisi di mana pemerintah baru mengusahakan

Page 16: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

60

setahap demi setahap terciptanya kondisi yang ideal setelah selama ini rakyat

Indonesia hidup dalam kondisi hukum yang diwariskan oleh penjajah. Maka

wajar kiranya bila UUPA hanya member! semacam moral of punishment di

mana dalam pasal 15 UUPA disebutkan :

"Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya. adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah." 15 Adapun terhadap permasalahan apabila seseorang menempati tanah

yang bukan miliknya, kita dapat mempergunakan Kitab Undang-undang

Hukum Perdata, buku keempat, khususnya tentang Daluarsa. Pada bagian

kedua tentang daluarsa Dipandang Sebagai Suatu Alat Untuk Memperoleh

Sesuatu, disebutkan sebagai berikut :

"Siapa yang dengan itikad baik dan berdasarkan suatu alas hak yang sah, memperoleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan daluwarsa dengan suatu penguasaan selama 20 (dua puluh) tahun. Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama 30 (tiga puluh) tahun, memperoleh hak milik dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukkan alas haknya."16 Penetapan jangka waktu beralihnya hak milik dari seseorang ke orang

lain dengan daluwarsa jelas hanya termaktub dalam undang-undang warisan

penjajah (KUH Perdata) yang oleh pemerintah saat itu hingga saat ini

menganggap ketentuan tersebut masih memiliki relevansi hukum dengan

situasi bangsa Indonesia. Oleh karenanya terhadap tanah yang ditinggalkan

oleh pemiliknya dan kemudian ditempati oleh orang lain selama 30 (tiga-

15UU nomor 5 tahun 1960, pasal 15. 16Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal 1963.

Page 17: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

61

puluh) tahun maka tanah tersebut menjadi miliknya dengan jalan daluwarsa.

B. Analisis Terhadap Metode Istinbath Hukum Imam Syafi’i

Posisi "tengah" Imam Syafi’i terlihat dalam dasar-dasar mazhabnya.

Dalam buku metodologisnya, al-Risalah, ia menjelaskan kerangka dan dasar-

dasar mazhabnya dan beberapa contoh bagaimana merumuskan hukum-hukum

far'iyyah dengan menggunakan dasar-dasar tadi. Baginya, Al-Qur'an dan

Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu-kesatuan

sumber syariat Islam. Sedangkan teori-teori istidlal seperti qiyas, istihsan,

istishab dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan

menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi.

Pemahaman integral Al-Qur'an-Sunnah ini merupakan karakteristik

menarik dari pemikiran fiqih Syafi’i. Menurut Syafi’i, kedudukan Sunnah,

dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas dari

Al-Qur'an, memerinci yang global, mengkhususkan yang umum, dan bahkan

membuat hukum tersendiri yang tidak ada dalam Al-Qur'an. Karenanya,

Sunnah Nabi saw. tidak berdiri sendiri, tetapi punya keterkaitan erat dengan

Al-Qur'an. Hal itu dapat dipahami karena Al-Qur'an dan Sunnah adalah

Kalamullah; Nabi Muhammad saw. tidak berbicara dengan hawa nafsu, semua

ucapannya adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah.

Hipotesa menarik lainnya dalam pemikiran metodologis Syafi’i adalah

pernyataannya, "Setiap persoalan yang muncul akan ditemukan ketentuan

hukumnya dalam Al-Qur'an." Untuk membuktikan hipotesanya itu Syafi’i

menyebut empat cara Al-Qur'an dalam menerangkan suatu hukum.

Page 18: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

62

Pertama, Al-Qur'an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash

hukum yang jelas, seperti nash yang mewajibkan salat, zakat, puasa dan haji,

atau nash yang mengharamkan zina, minum khamar, makan bangkai, darah

dan lainnya.

Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam Al-Qur'an dan

dirinci dalam Sunnah Nabi. Misalnya, jumlah rakaat salat, waktu

pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa dan berapa kadar yang harus

dikeluarkan. Semua itu hanya disebut global dalam Al-Qur'an dan Nabilah

yang menerangkan secara terinci.

Ketiga, Nabi Muhammad saw. juga sering menentukan suatu hukum

yang tidak ada nash hukumnya dalam Al-Qur'an. Bentuk penjelasan Al-Qur'an

untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada perintah Nabi dan

menjauhi larangannya. Dalam Al-Qur'an disebutkan: "Barangsiapa yang taat

kepada Rasul, berarti ia taat kepada Allah." Dengan demikian, suatu hukum

yang ditetapkan oleh Sunnah berarti juga ditetapkan oleh Al-Qur'an, karena

Al-Qur'an memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi

menjauhi yang dilarang.

Keempat, Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad

terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-

Qur'an dan hadis. Penjelasan Al-Qur'an terhadap masalah seperti ini yaitu

dengan membolehkan ijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas

pemahaman terhadap maqashid al-Syari'ah (tujuan-tujuan umum syariat),

Page 19: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

63

misalnya dengan qiyas atau penalaran analogis. Dalam Al-Qur'an disebutkan,

yang artinya:

"Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan

orang-orang yang mempunyai kekuasaan di antara kamu. Maka apabila kamu

berselisih tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rasul."

Menurut Imam Syafi’i, "Kembalikanlah kepada Allah dan Rasul",

artinya kembalikan pada Al-Qur'an dan Sunnah. Dan pengembalian itu hanya

dapat dilakukan dengan qiyas. Dengan landasan ayat ini, dan ayat- ayat

lainnya, ia ingin menyebutkan bahwa ijtihad merupakan perintah Al-Qur'an itu

sendiri dan bukan merekayasa hukum.

Dari keterangan di atas dapat diketahui "posisi tengah" pemikiran

metodologis Syafi’i. la begitu teguh dalam berpegang pada Al-Qur'an dan

Sunnah dan pada saat yang sama memandang penting penggunaan rasio dan

ijtihad.

Menurut Syafi’i, struktur hukum Islam dibangun di atas empat dasar

yang disebut "sumber-sumber hukum". Sumber-sumber hukum tersebut

adalah Al-Qur'an, Sunnah, ijma' dan qiyas. Meskipun ulama sebelumnya juga

menggunakan keempat dasar di atas, tetapi rumusan Syafi’i punya nuansa dan

paradigma baru. Penggunaan ijma', misalnya, tidak sepenuhnya mencaplok

rumusan Imam Malik yang sangat umum dan tanpa batas yang jelas.

Bagi Syafi’i, ijma' merupakan metode dan prinsip, dan karenanya, ia

tidak memandang konsensus orang-orang umum sebagai ijma', sebagaimana

dinyatakan oleh Imam Malik dan ulama-ulama Madinah. Ini dengan jelas

Page 20: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

64

terlihat dalam percakapan dengan sekelompok ahli hukum Madinah dalam

bukunya Al-Umm dan dikutip lengkap oleh Fazlur Rahman:

Al-Syafi’i:

"Akankah kita katakan bahwa anda menganggap, misalnya Ibnu

Musayyib sebagai ulama yang otoritatif di Madinah, Atha' yang otoritatif di

Mekkah, Hasan di Bashrah dan Sya'bi di Kufah semuanya dari generasi

tabi'ien dan memandang apa yang mereka sepakati sebagai ijma'?"

Lawan: "Ya."

Al-Syafi’i:

"Tetapi anda menyatakan bahwa mereka tidak pernah bertemu dalam

pertemuan mana pun yang anda ketahui. Karena itu, anda menyimpulkan ijma'

mereka dari laporan-laporan tentang mereka, dan, sesungguhnya, karena anda

telah melihat bahwa ulama-ulama tersebut membuat pernyataan-pernyataan

mengenai masalah-masalah yang tidak anda temui pembahasannya dalam Al-

Qur'an dan Sunnah, maka anda menyimpulkan bahwa mereka telah melakukan

qiyas terhadap masalah-masalah tersebut dan anda berargumentasi bahwa

qiyas adalah kumpulan pengetahuan yang benar dan mapan yang disepakati

oleh para ulama."

Lawan: "Itulah yang kami katakan. Pengetahuan datang dalam

beberapa bentuk.

Pertama, apa yang dituturkan oleh seluruh masyarakat dari seluruh

masyarakat generasi-generasi yang telah lalu (pengetahuan yang dibentuk)

dengan kepastian yang dapat saya sumpahkan dengan nama Allah dan Rasul-

Page 21: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

65

Nya. Contoh dari pengetahuan semacam ini adalah kewajiban-kewajiban

agama.

Kedua, bagian dari Al-Qur'an yang mengakui perbedaan-perbedaan

penafsiran haruslah diterima dalam artinya yang langsung dan sesuai dengan

akal sehat: ia tidak bisa diberi "batiniyah" dan allegoris walaupun ia mungkin

dapat menerima arti seperti itu kecuali bila hal itu menjadi konsensus

masyarakat.

Ketiga, pengetahuan yang disepakati oleh kaum Muslimin dan mereka

telah menyatakan persetujuan sebelumnya terhadapnya. Bahkan apabila yang

disebut terakhir ini mungkin tidak datang dari Al-Qur'an ataupun Sunnah, bagi

saya ia memiliki kedudukan yang sama dengan Sunnah yang telah disepakati.

Ini disebabkan karena kesepakatan kaum Muslimin tidak dapat dicapai

semata-mata dengan pendapat-pendapat pribadi (tapi hanya dengan melalui

qiyas), karena pendapat-pendapat pribadi hanya membawa pada perselisihan.

Keempat, pengetahuan para ahli yang merupakan argumen yang

konklusif kecuali bila disampaikan dengan cara kebal terhadap kekeliruan.

Terakhir, qiyas. Tidak ada perselisihan yang dapat memasuki

pengetahuan dalam bentuk-bentuk yang telah saya uraikan tadi, dan segala

sesuatu akan tetap berakar pada prinsip-prinsipnya kecuali bila masyarakat

umum setuju untuk melepaskannya dari prinsip-prinsipnya. Ijma' adalah

argumen final mengenai segala sesuatu, karena ia kebal terhadap kekeliruan."

Al-Syafi’i: Mengenai jenis pengetahuan yang pertama yang anda

jelaskan tadi, yakni transmisi dari seluruh masyarakat generasi sebelumnya,

Page 22: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

66

memang dapat diterima. Tapi apakah anda tahu, dan dapatkah anda

menjelaskan pengetahuan jenis kedua yang sehubungan dengannya, dimana

anda mengatakan bahwa seluruh masyarakat bersepakat atasnya dan

mentransmisikan kesepakatan umum yang sama mengenai hal itu pada

generasi-generasi sebelumnya? Dan apa yang anda maksud dengan seluruh

masyarakat itu? Apakah ia meliputi baik ulama maupun non-ulama...?

Lawan: "Ini adalah ijma' para ulama saja ... karena hanya merekalah

orang- orang yang dapat mengetahui dan bersepakat pendapat tentang masalah

itu. Jadi, ketika mereka bersepakat pendapat, maka hal ini menjadi otoritatif

bagi mereka yang tidak mengetahuinya (yakni bagi non-ulama); tetapi jika

mereka tidak bersepakat pendapat, maka pendapat-pendapat mereka tidak

mempunyai otoritas bagi siapa pun, dan masalah-masalah seperti itu harus

dirujuk pada suatu qiyas (penalaran analogis) yang baru berdasarkan apa yang

telah disepakati bersama ... Tidaklah penting apakah ijma' didasarkan pada

sebuah hadis verbal yang mereka riwayatkan ataukah tanpa sebuah hadis pun

..., dan bahkan bila mereka berselisih, tidaklah penting apakah hadis verbal

yang sesuai dengan pendapat sebagian dari mereka ataukah tidak ada. Karena

saya tidak menerima sesuatu hadits pun ..., dan bahkan bila mereka berselisih,

tidaklah penting apakah ada hadits verbal yang sesuai dengan sebagian dari

mereka ataukah tidak ada. Karena saya tidak menerima sesuatu hadis pun

kecuali ada kesepakatan pendapat atasnya ..."

Selanjutnya, pada periode ini, interaksi antara qiyas dan ijma'

dipandang tidak sebagai sebuah prinsip yang statis, tapi sebagai suatu proses

Page 23: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

67

asimilasi, interpretasi dan adaptasi yang dinamis dan wajar. Hal ini terlihat

dengan jelas dalam bagian lain dari tulisan Syafi’i yang, walaupun agak

berkepanjangan, adalah yang paling komprehensif mengenai masalah tersebut

dan mengungkapkan sikap sebenarnya dan yang serba meliputi dari ijma'.

Nuansa dan paradigma pemikiran Syafi’i itu selalu terlihat dalam

pemikiran-pemikirannya yang dibangun di atas pemikiran-pemikiran ulama

sebelumnya. Penalaran analogis (qiyas) Imam Syafi’i, juga, menawarkan

pernahaman baru. Apa yang dirumuskan oleh ulama-ulama sebelumnya oleh

Syafi’i disebut qiyas bilfuru', penalaran analogis terhadap masalah-masalah

partikular dengan berpijak pada suatu prinsip tertentu yang terkandung dalam

suatu preseden.

Sebuah kasus yang baru dapat dimasukkan ke dalam prinsip ini, atau

disamakan dengan preseden tersebut dengan kekuatan suatu sifat esensial

umum yang disebut 'illat. Sedangkan metode-metode yang lain, seperti

istihsan, istishab, sadd al-zarai' dan metode lainnya dimasukkan ke dalam

qiyas bil qawa'id (penalaran analogis terhadap prinsip umum yang terkandung

dalam suatu preseden itu sendiri).

Dalam hubungannya dengan menghidupkan tanah mati, bahwa dalam

perspektif Imam Syafi’i bahwa untuk menghidupkan tanah mati tidak perlu

ada izin dari pemerintah. Dalam hal ini metode istinbath hukumnya Imam

Syafi’i didasarkan pada makna zhahir di samping qias, yaitu qias antara tanah

kosong dengan air, di mana semua orang sangat membutuhkan tanah dan air

tersebut. Tanah dan air merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi

Page 24: BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/17/jtptiain-gdl-s1...dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang

68

kehidupan manusia, karena itu Imam Syafi’i menganggap ini bukan kekuasaan

pemerintah melainkan kekuasaan masyarakat yang bermukim di tempat itu.17

Di samping itu dalam metode istinbathnya, mendasarkan kepada hadits-hadits

yang telah disebutkan sebelumnya yang pada intinya nabi tidak

memerintahkan izin dari pemerintah untuk membuka tanah mati. Namun

demikian, oleh karena permasalahan tanah yang dijadikan sebagai obyek atas

syari’at ihya al-mawat itu menyangkut hubungan langsung antara manusia

satu dengan lainnya, atau menyangkut permasalahan keduniawian, maka agar

tidak terjadi sengketa antara orang yang satu dengan lainnya membutuhkan

peraturan perundang-undangan untuk mengaturnya kepastian hukum.

Dari sini sebenarnya istinbath dengan hanya menggunakan

pengambilan makna zhahir saja kurang cukup. Meskipun izin imam/

pemerintah itu tidak menjadi syarat dalam membuka tanah mati tapi di sisi

lain kiranya penting adanya peraturan perundang-undangan untuk menentukan

mana pemilik yang sah dan mana yang tidak. Karena itu Undang-undang

Pokok Agraria lebih tepat diterapkan saat ini ketimbang konsep Imam Syafi’i.

Ini tidak berarti konsep Imam Syafi’i salah, kita menyadari dan mengakui

bahwa konsep Imam Syafi’i sangat sesuai dengan zamannya di mana ketika

itu jumlah penduduk tidak sebesar saat ini, persoalannya pun tidak serumit

dewasa ini.

17TM Hasbi ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam: Tinjauan antar

Mazhab,Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2004, hlm. 434-437