bab iv analisis terhadap pemikiran imam syafi'i...
TRANSCRIPT
45
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I
TENTANG IZIN MEMBUKA TANAH MATI
A. Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafi’i Tentang Izin Kepemilikan
Tanah
Secara etimologi, kata ihya berarti menjadikan sesuatu menjadi hidup
dan al-mawat berarti sesuatu yang tidak bernyawa atau tanah yang tidak
dimiliki seseorang dan belum digarap. Pembahasan tentang ihya al-mawat
berkaitan dengan persoalan tanah kosong yang belum digarap dan belum
dimiliki seseorang.
Secara terminologi, ihya al-mawat adalah penggarapan lahan yang
belum dimiliki dan digarap oleh orang lain karena ketiadaan irigasi serta jauh
dari pemukiman. Atau pengertian lain yaitu penggarapan lahan yang belum
digarap orang, baik lahan itu jauh dari pemukiman maupun dekat..
Ihya al-mawat bertujuan agar lahan-lahan yang gersang, tidak
produktif menjadi produktif, baik sebagai lahan pertanian maupun untuk
bangunan. Sebidang lahan dikatakan sebagai produktif apabila menghasilkan
dan memberi manfaat bagi umat manusia. Indikasi yang menunjukkan kepada
ihya al-mawat itu adalah dengan menggarap lahan itu. Misalnya jika lahan itu
ditujukan untuk pertanian, digarap dengan mencangkul lahannya, membuat
saluran air (irigasi), memagar dan mendirikan bangunan di atasnya.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa menurut Imam
Syafi’i untuk membuka tanah mati atau dengan kata lain untuk memiliki tanah
46
yang mati tidak perlu izin dengan Imam atau pemerintah. Dalam pandangan
Syafi’i bahwa izin dalam ihyaul mawat adalah bukan syarat, sebab yang
dinamakan izin dalam hal ini ialah pemerintah wajib menyerahkan setelah
tanah kosong itu dihidupkan oleh orang yang pertama kali membangun,
sedang untuk membangun, maka siapa saja (orang Islam) bebas untuk
menguasai sesuai dengan kemampuannya:
1هفهذا معن قطبع مأ دون فيه ال فمن منهى عن
Artinya: Maka inilah makna penyerahan yang diijinkan, bukan
penjagaan yang dilarang”. Maksud dari perkataan Imam Syafi’i di atas, bahwa terhadap tanah
yang masih kosong, orang Islam tanpa terkecuali bebas untuk memilikinya,
sedangkan bila dikemudian hari terjadi sengketa, maka penguasa wajib dengan
se-izinnya memberikan kepada pihak yang pertama menjaga/membangun,
sedangkan untuk membangun atau menguasai tanah kosong tersebut tidak
memerlukan izin.
Setelah tanah tersebut dikuasai, maka orang boleh mengajukan
permohonan izin kepada pemerintah, dan pemerintah pun wajib memberikan
izinnya. Apabila ada pihak lain (yang terkemudian) mengaku berhak pula,
maka wajib dihalangi oleh pemerintah. Karena bila pihak lain setelah ada
orang yang pertama membangun juga diberikan, maka yang demikian itu
adalah dzalim:
1Al-Imam Abi Abdilah Muhammad ibn Idris Syafi’i, al-Umm, Juz 3, Dar al-Kutub
Ijtima'iayah, Beirut Libanon: tth, hlm. 43
47
قال الشافعى ومجاع العرق الظامل كل ما خفر او غرس وبت ظلما شحق
Artinya: Imam Syafi’i berkata: mengumpulkan keringat orang zalim ialah setiap apa yang digali atau ditanam atau dibangun dengan zalim pada hak seseorang; dengan tidak keluarnya orang itu dari haknya"
Penegasan Imam Syafi’i, bahwa dalam ihyaul mawat tidak perlu
adanya syarat izin imam seperti tersebut di atas, ditegaskan kembali oleh
Sayyid Abi Nashr Al-Husaini bahwa :
بن حسن والشافعى وامحد ابن حنبل ان رأ ابو يوسف وحممد ا
ملك املوات يعترب باالحيأ دون اذن اال مام
Artinya : Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan dan Syafi’i serta Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa sesungguhnya pemilikan harta melalui ihyaul mawat itu cukup (hanya) dengan mengolahnya saja tanpa harus izin dari imam terlebih dahulu.
Ditinjau dari alasannya, bahwa konsep Imam Syafi’i yang perlu
digaris-bawahi di antaranya soal tidak perlunya izin dari pemerintah atau
imam dalam membuka tanah mati. Dengan kata lain dalam perspektif Imam
Syafi’i kedaulatan rakyat berada di atas segalanya, suara rakyat merupakan
suara Tuhan. Dalam visi Imam Syafi’i, hidup matinya negara dan
terbentuknya suatu pemerintahan adalah karena rakyat.
Adapun hukum Islam mensyaratkan bahwa yang berhak membuka
tanah/menghidupkan tanah mati adalah muslim (orang yang beragama Islam
48
saja).2 Sedangkan kafir zimmi,3 kafir mu'ahad4 dan kafir musta'man5 sama
sekali tidak diperbolehkan menggarap tanah liar walaupun pemerintah
mengizinkan mereka. 6
Pengkhususan ini memiliki tujuan, sebagai berikut :
1. Mencapai kemakmuran dan kekuatan Islam.
Di masa awal perkembangan Islam, kaum muslimin sangat
membutuhkan sokongan ekonomi dan dana yang cukup besar untuk dapat
berperan aktif memajukan Islam. Oleh karenanya Islam menyerukan untuk
menghidupkan tanah-tanah yang tandus agar mereka dapat berkembang di
tengah-tengah kesuburan dan menyebar di berbagai pelosok wilayah
kekuasaan Islam. Dengan cara ini dapat menambah kekayaan dan
kemakmuran sehingga pada gilirannya menambah kekuatan Islam.
2. Menumbuhkan kecintaan terhadap Islam.
2Ahmad bin al-Husain asy-Syahir dan Abi Syuja', "Fath al-Qarib al-Mujib", dalam
Asy-Syaikh Muhammad bin al-Qasim al-Gazi, Syarah Fath al-Qarib al-Mujib, Sinqafurah, Jeddah : al-Haramain li at-Taba'ah wa an-Nasyr wa. at-Tauzi', tt, hlm. 38.
3Kafir zimmi atau ahlu az-zimmah ialah golongan non Islam yang telah tunduk kepada peraturan-peraturan negara Islam dan berjanji memenuhi kewajiban-kewajiban yang berlaku atasnya kecuali tentang masalah aqidah. Terhadap golongan ini, Islam member! perlindungan atau jaminan keamanan yang tidak terbatas atas jiwa dan hartanya.... Adapun dalam hal kekeluargaan, seperti : perkawinan, perceraian dan lain-lain, penguasa Islam membolehkan mereka menjalankan peraturan menurut agamanya masing-masing....(Lihat M. Abdul Mujieb, dkk., Kamus Istilah Figh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, hlm, 151.
4Kafir mu'ahad yaitu orang-orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam Bahwa mereka tidak akan menyerang atau bermusuhan selama waktu perjanjian tersebut, baik di wilayah yang telah diduduki oleh umat Islam ataupun yang tidak diduduki umat Islam.
5Kafir musta'man adalah orang kafir yang diberi keamanan atau seorang non muslim yang masuk ke negara Islam dengan tidak bermaksud berdiam selamanya, tetapi terbatas dalam waktu tertentu.... Ulama sepakat bahwa dalam masalah muamalat, kenegaraan, undang-undang Islam berlaku bagi musta'roan,
6Asy-Syaikh Muhammad bin al-Qasim al-Gazi, Syarah Fath al-Qarib al-Mujib, hlm. 39.
49
Dengan adanya anjuran dari Rasulullah SAW untuk menyuburkan
tanah tandus, maka bila anjuran ini diindahkan berakibat langsung pada
meningkatnya taraf perekonomian rakyat yang akan berimbas pada
semakin tingginya kecintaan mereka terhadap Islam. Adalah suatu hal
yang wajar bila seseorang yang diberi beberapa kebaikan merasa dekat dan
cinta dengan si pemberi kebaikan sebagai ungkapan rasa syukur dan
terima kasih atas berkah yang diperoleh.
Akan tetapi kalau menengok pada konstitusi negara Islam modern,
maka pengkhususan ini dalam bidang muamalat seperti ini tidak akan kita
temui. Dalam negara Islam modern, seluruh warga negara (baik muslim
maupun kafir zimmi dianggap memiliki hak dan kewajiban yang sama di
depan hukum kecuali tentunya dalam hal aqidah, perkawinan dan
semacamnya.
Di dalam banyak ayat al-Qur'an dijumpai penegasan yang menyatakan
bahwa alam semesta beserta isinya adalah ciptaan Allah SWT yang
diperuntukkan bagi segenap makhluk-Nya. Dalam waktu yang sama al-Qur'an
menegaskan bahwa Allah SWT telah melimpahkan kepada manusia sebagai
khalifah di muka bumi yang berfungsi untuk memakmurkan kehidupan di
bumi ini. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur'an surat al-An’am:
163 sebagai berikut:
وهو الذي جعلكم خالئف األرض ورفع بعضكم فوق بعض درجات
اكما آتفي م كملوب165: االنعام ...( لي (
50
Artinya: Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu….( al-An’am (6): 165)
Untuk menjalankan fungsi itu, oleh Allah SWT manusia dibekali
dengan berbagai macam kekuatan dan keahlian baik secara naluriah,
jasmaniah maupun akal budi. Dari sekian banyak kemampuan yang dimiliki
itu, naluri untuk mempertahankan eksistensi secara perorangan itulah yang
menonjol. Hal ini dicerminkan lewat keinginan untuk menguasai dan memiliki
apa saja yang menjadi kebutuhan hidupnya.
Sekalipun manusia memiliki kecenderungan sebagai makhluk
individual, ternyata lebih besar kecenderungannya sebagai makhluk sosial
yang membutuhkan interaksi dengan sesama manusia. Pada tahap ini manusia
membutuhkan seorang pemimpin yang dapat dijadikan panutan dan tempat
mengadukan segala permasalahannya baik pribadi maupun kolektif. Dalam
masyarakat modern para pemimpin ini lazim disebut pemerintah. Merekalah
(pemerintah) yang diberi kewenangan mengorganisir perbaikan dan
peruntukan kebutuhan dan pemilikan tiap- tiap individu dalam masyarakat.
Sebagaimana telah disinggung di atas, manusia sebagai yang memikul
tanggung jawab untuk memakmurkan bumi berfungsi terhadap alamnya yaitu
mengambil potensi alam untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Diantara
jalan untuk memperoleh manfaat terhadap potensi dan kekayaan alam adalah
dengan cara menghidupkan tanah mati yang ada di wilayah kekuasaan
pemerintahnya.
51
Untuk menghidupkan tanah mati diperlukan izin dari imam, demikian
pendapat ulama-ulama mazhab Hanafi. Hal ini sejalan dengan yang berlaku di
negara kita atas dasar penegasan Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3
bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara dan diperuntukkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.7
Negara Indonesia secara legal formal memang bukan negara yang
berdasarkan agama, tetapi mengakui dan memberi kesempatan agama untuk
hidup dan tumbuh subur di negara ini. Sila pertama dari Pancasila jelas
menggambarkan pengakuan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. Maka logika agama Islam yang didefinisikan di atas, sama diakui di
negara ini bahwa bumi dan segala isinya adalah karunia Tuhan Yang Maha
Esa. Dalam hal ini negara memiliki kewenangan mengurusi kepentingan
rakyat khususnya yang bertalian dengan izin pemilikan tanah. Kiranya hingga
di sini, logika yang digunakan hukum agraria nasional dan Imam Syafi'i
memiliki pandangan yang berbeda tentang perlunya campur tangan
pemerintah terhadap pemilikan tanah demi menjamin ketertiban dan kepastian
hukum bagi tiap-tiap warga negara.
Dalam hukum Islam pemahaman tentang tanah yang diterlantarkan
dapat kita lihat dari paradigma yang dituangkan oleh Umar bin Khattab
menjadi suatu kebijakan sebagaimana yang diilustrasikan dalam
pengambilalihan tanah Bilal ibn al-Haris oleh Umar bin Khattab (pemerintah)
menggambarkan bahwa hukum Islam mengedepankan kesanggupan
7Ahmad Azhar Basjir, Garis Besar Hukum Islam, edisi revisi, Yogyakarta: BPFE,
1987, hlm. 55.
52
menggarap lahan atau tanah yang dimiliki. Kelebihan tanah yang tidak mampu
dikelola dan dimanfaatkan untuk kemudian diambil oleh negara menunjukkan
bahwa tanah dalam fungsi sosialnya berperan penting dengan satu
konsekwensi apabila. tanah itu tidak tergarap atau dibiarkan terlantar maka
resiko terbesar yang ditanggung. Pemiliknya akan kehilangan kepemilikan
atas tanah tersebut.
Islam secara tegas memberikan batasan waktu bagi tanah yang
ditinggalkan atau diterlantarkan oleh pemiliknya yakni 3 (tiga) tahun sebelum
tanah itu dinyatakan boleh dimiliki orang lain yang menyuburkan tanah
tersebut. Bahkan Khalifah Umar bin Khattab mempraktekkannya dengan tidak
harus atau tidak perlu memberikan batas waktu selama tiga tahun, sebab jika
lahan itu sekedar dimiliki tanpa ada upaya memperbaikinya/menggarapnya
maka tidak sepantasnya menuntut untuk memiliki lahan tersebut.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum agraria nasional
tidak mengatur secara tegas limit waktu tanah yang diterlantarkan untuk
kemudian dikuasai kembali oleh negara atau oleh orang lain yang menggarap
tanah tersebut, kecuali dengan jalan daluwarsa sebagaimana yang tercantum
dalam KUH Perdata yakni selama 20 (dua puluh) tahun jika tanah itu
ditempati oleh orang lain dengan suatu hak selain hak milik atau selama 30
(tiga puluh) tahun jika tanah itu ditempati tanpa suatu alas hak. Sebaliknya
dalam hukum Islam telah diatur" secara tegas, di mana bagi yang
menelantarkan tanahnya selama 3 (tiga) tahun maka tanah tersebut hapus hak
kepemilikannya dari pemilik sebelumnya.
53
Dari keterangan di atas tampaklah bahwa konsep Imam Syafi’i berbeda
dengan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 tahun 1960. Perbedaannya
yaitu dalam UUPA untuk memiliki tanah harus mendapat izin dari pemerintah.
Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 22 Undang-undang Pokok
Agraria yang berbunyi:
(1). Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan
pemerintah.
(2). Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, hak
milik terjadi karena:
a. Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang
ditetapkan dengan peraturan pemerintah;
b. Ketentuan Undang-undang
Memori penjelasan Undang-undang Nomor 5. tahun 1960 terhadap
pasal 22 ditegaskan:
“Sebagai misal dari cara terjadinya hak milik menurut hukum adat
ialah pembukaan tanah. Cara-cara itu akan diatur supaya tidak terjadi hal-hal
yang merugikan kepentingan umum dan negara”.
Hukum agraria nasional mensyaratkan bahwa yang berhak membuka
tanah hanya warga negara Indonesia saja. Sejak berlakunya Undang-undang
nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA),
maka secara de jure (hukum) hak kepemilikan mengalami konversi dan hanya
warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya
dengan bumi, air dan ruang angkasa. Adapun bagi warga negara asing atau
54
seorang yang memiliki dua kewarganegaraan tidak dibolehkan mempunyai
hak milik dan jika terjadi karenanya batal demi hukum, sebagaimana yang
disebutkan dalam UUPA sebagai berikut:
"Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat 2 adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima Oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.8
Sebagaimana diketahui bahwa sebelum berlakunya UUPA, hak
eigendom warga negara asing dan seorang yang memiliki identitas
kewarganegaraan ganda masih diakui oleh hukum agraria Indonesia akan
tetapi semenjak diberlakukannya UUPA ini hak eigendom tersebut menjadi
hak guna bangunan dengan jangka waktu pemanfaatan selama 20 tahun.
Dalam hal ini UUPA meletakkan suatu asas yang disebut asas
kebangsaan di mana hanya warga negara Indonesia saja yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah. Demikian halnya dengan hak membuka
tanah yang hanya dapat dimiliki haknya oleh warga negara Indonesia saja,
karena pada dasarnya hak membuka tanah adalah salah satu upaya untuk
memperoleh hak milik. Logikanya, bila suatu hak dilarang untuk dimiliki
maka upaya yang mengarah pada pemilikan suatu hak tetap tidak dibolehkan.
Hukum agraria nasional mengatur bahwa yang membuka tanah tidak
otomatis sebagai pemiliknya, kecuali telah menunjukkan kesungguhannya
8Undang-undang nomor 5 tahun I960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(UUPA), pasal 26 ayat 2.
55
untuk memiliki tanah tersebut. Di dalam penjelasan Peraturan Menteri Dalam
Negeri nomor 6 tahun 1972 pasal 6 ditegaskan bahwa tanah tersebut harus
digarap selam kurang lebih 3 (tiga) tahun berturut-turut atau diusahakan secara
layak selama waktu tersebut. Sebaliknya hukum Islam mengatur bahwa bagi
yang membuka tanah secara otomatis menjadi pemilik tanah yang dibuka,
tentunya dengan memperhatikan ada tidaknya hak orang lain atas tanah
tersebut..
Pada permulaan agama Islam didakwahkan di tengah-tengah bangsa
Arab yang mayoritas taraf kehidupan ekonominya masih terbilang rendah,
dakwah Islam membutuhkan biaya yang besar karena ketika itu menghadapi
rintangan dan intimidasi dari kaum kafir. Seringkali rintangan dan halangan
itu dalam bentuk tekanan kekuatan bersenjata yang tentunya dalam
menghadapinya membutuhkan energi dan dana yang amat besar dari
masyarakat Islam. Saat-saat ini dibutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit
dari kaum muslim baik harta maupun jiwa. Sebaliknya. dalam tiap-tiap
kemenangan yang dicapai Islam memberi kesempatan kepada tiap muslim
yang berpartisipasi dalam peperangan memperoleh bagian dari rampasan
perang. Harta tersebut bisa berupa barang berharga yang bergerak atau harta
yang tidak bergerak yang ditinggalkan oleh pihak musuh. Biasanya terhadap
benda tak bergerak ini Rasulullah SAW memiliki kebijakan yakni membagi-
bagikan kepada mereka yang berjasa besar dalam memajukan dakwah Islam.
Rasulullah pernah memberikan sebidang tanah kepada Abu Bakar dan
Umar sebagai tanda jasa yang telah diberikan untuk kepentingan agama dan
56
umat Islam. Para Khalifah sesudahnya pun mengikuti jejak beliau, tetapi
dalam batas-batas yang amat sempit dan terbatas pada tanah-tanah yang tidak
ada pemiliknya sama sekali.9
Siapapun memandang bahwa memiliki sesuatu merupakan pembawaan
naluriah manusia dan hal itu adalah hak alami, hak kodrati dan hak asassi
manusia yang wajib dihormati dan dilindungi. Tapi dalam kaitannya dengan
harta, agama Islam memberi batasan-batasan bagi setiap keinginan memiliki
harta yang melampaui batas, terlebih lagi dalam hitungan di luar
kesanggupannya.
Pemilikan tanah juga demikian, walaupun Islam tidak memberikan
batasan dalam hitungan meter tapi Islam sebagai sebuah aturan normatif,
cukup dengan memberikan batasan secara moral dan kemanusiaan. Maka
dalam konteks ini tepat apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab terhadap
tanah lebih yang dimiliki oleh Bilal ibn al-Haris, seperti yang diilustrasikan
oleh Muhammad Abdul Mannan, sebagai berikut :
"Setelah mengambil kembali beberapa tanah yang diberikan Nabi kepada Bilal ibn al-Haris, Umar berkata kepada Bilal : " Rasulullah tidak memberikan kepadamu (semata-mata) supaya kamu (menahannya) dari penguasaan orang lain. Dia (Nabi SAW) memberikannya kepadamu agar kamu dapat menggunakannya, dengan demikian kamu hanya boleh mengambil apa yang kamu manfaatkan dan tinggalkan sisanya”.10
Lebih jauh dari kejadian di atas menggambarkan bahwa batas luas
kepemilikan tanah di dalam Islam lebih mengedepankan kesanggupan dan
kemampuan menggarap tanah tersebut secara mandiri. Islam tidak
9Ibid, hlm. 59. 10Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, alih bahasa Drs. M.
Mastangin, edisi lisensi, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1993, hlm. 99.
57
menginginkan terjadinya sistem tuan tanah di mana segelintir orang
menguasai tanah secara berlebih-lebihan sehingga orang kebanyakan yang
tidak memiliki sebidang tanah dan hanya menjadi buruh pada lahan tuan
tanah. Dengan demikian jelas tergambar bahwa sekalipun Islam tidak
mengatur secara transparan batas luas minimum dan maksimun pemilikan
tanah, tapi lewat kekuatan moral, Islam menganjurkan hidup secara
berkecukupan namun tidak berlebihan. Hal ini jelas tersurat dari beberapa
peristiwa yang salah satunya diilustrasikan kembali oleh Muhammad Abdul
Mannan sebagai berikut:
"Walaupun Nabi Muhammad SAW telah membagi-bagikan tanah kepada kaum muslim umpamanya tanah Khaibar, namun luas tanah-tanah ini begitu kecil sehingga tidak terdapat bahaya sedikitpun akan terjadinya sistem tuan tanah. . . .”11
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) sebagaimana yang kita
mafhumi bermaksud meniadakan hukum agraria yang masih berlaku pada saat
itu dimana sebagian tersusun dan dipengaruhi oleh tujuan dan sendi-sendi
pemerintahan jajahan sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan
negara dalam mewujudkan keadilan sosial, Sebaliknya UUPA saat ini masih
banyak dipengaruhi oleh hukum adat tentang tanah dengan tidak mengabaikan
anasir-anasir nilai agamis dan hukum agama.
Satu-satunya cacat dalam UUPA adalah indikasi adanya ajaran
komunis yang sengaja dimasukkan ke dalam beberapa pasal UUPA melalui
jargon-jargon seperti : "...tidak bertentangan dengan kepentingan nasional"
11Ibid.
58
"...kepentingan negara"
"...sosialisme Indonesia"
“…persatuan bangsa"
".,.tidak merugikan kepentingan umum"
Ini terlihat antara lain dalam pasal 2 ayat 4, pasal 5, 7, pasal 11 ayat 2,
pasal 14 dan 18,12 lebih lanjut Sri Bintang pamungkas menjelaskan bahwa
sebagai negara demokrasi dimana kekuasaan di tangan rakyat segala sesuatu
mestinya adalah "demi rakyat" atau "untuk kepentingan rakyat".13
Ke semua anasir-anasir yang mempengaruhi isi UUPA ini tergambar
dalam kalimat demi kalimat yang tertuang di dalamnya. Salah satu contohnya
adalah ungkapan yang tertuang dalam penjelasan Undang-undang nomor 56
PRP tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, sebagai berikut :
"Bahwa ada orang-orang yang mempunyai tanah yang berlebih-lebihan, sedang yang sebagian besar lainnya tidak mempunyai atau tidak cukup tanahnya adalah terang bertentangan dengan asas sosialisme Indonesia, yang menghendaki pembagian merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah itu, agar ada pembagian yang adil dan merata pula dari tanah-tanah tersebut. Dikuasainya tanah-tanah yang luas di tangan sebagian kecil para petani itu membuka pula kemungkinan dilakukannya praktek-praktek pemerasan dalam segala bentuk (gadai, bagi hasil dan lain-lainnya) hal mana bertentangan dengan prinsip sosialisme Indonesia." 14
Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa hukum
agraria nasional melalui UU No. 56 PRP tahun 1960 mengatur secara tegas
dan jelas batas luas minimum dan maksimum tanah hak milik. Dengan
harapan agar petani mendapatkan hasil yang cukup untuk hidup secara layak
12Sri Bintang Pamungkas, "UUPA dan Masalah Pertanahan", dalam Masdar F.
Mas'udi (ed.), Teologi Tanah, cet. I, Jakarta: P3M dan YAPIKA, 1994, hlm. 81 13Ibid, hlm. 82 14Penjelasan Umum Undang-undang nomer 56 PRP tahun 1960 tentang Penetapan
Luas Tanah Pertanian, nomor 2.
59
dan bersahaja serta tidak terjadi penumpukan tanah di tangan segelintir orang-
orang tertentu saja. Lebih lanjut dalam pasal 10 ayat 1 UU No. 56 PRP tahun
1960 mengatur tentang pidana dan atau denda. bagi pemilik yang melanggar
ketentuan tentang pemecahan luas pemilikan tanah. Sebaliknya hukum Islam
tidak mengatur secara tegas dan jelas tentang batas luas minimum dan
maksimum tanah hak milik kecuali beberapa asas yang ditetapkan dalam
Islam bahwa tidak seorangpun diberi bantuan berupa tanah secara berlebih-
lebihan atau secara kuantitatif tidak sepadan dengan kebutuhan ekonomi orang
atau keluarga yang diberikan tanah.
Demikian urgennya masalah pemilikan tanah oleh individu-individu
baik sendiri maupun dalam satu lingkup keluarga, maka adalah suatu
kewajiban bila pemerintah dalam menerapkan hukum agraria nasional ini
mengikut sertakan wujud sangsi bagi mereka yang menelantarkan tanahnya.
Tanah yang dengan sengaja tidak dimanfaatkan dan difungsikan sesuai
keadaan atau sifat-sifat dan tujuan daripada haknya jelas bertentangan dengan
usaha untuk menambah produksi hasil pertanian. Oleh karenanya hukum
agraria nasional menyatakan bahwa salah satu sebab hapusnya hak milik tanah
adalah karena diterlantarkan. Sayangnya kebijakan ini tidak diikuti oleh
penetapan jangka waktu tanah yang diterlantarkan tersebut dianggap hapus
hak pemilikan atasnya.
Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi bila kita sedikit menengok kondisi
yang ada di seputar masa penetapan UUPA ini. Pemerintah (Orde Lama) baru
memasuki sebuah masa transisi di mana pemerintah baru mengusahakan
60
setahap demi setahap terciptanya kondisi yang ideal setelah selama ini rakyat
Indonesia hidup dalam kondisi hukum yang diwariskan oleh penjajah. Maka
wajar kiranya bila UUPA hanya member! semacam moral of punishment di
mana dalam pasal 15 UUPA disebutkan :
"Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya. adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah." 15 Adapun terhadap permasalahan apabila seseorang menempati tanah
yang bukan miliknya, kita dapat mempergunakan Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, buku keempat, khususnya tentang Daluarsa. Pada bagian
kedua tentang daluarsa Dipandang Sebagai Suatu Alat Untuk Memperoleh
Sesuatu, disebutkan sebagai berikut :
"Siapa yang dengan itikad baik dan berdasarkan suatu alas hak yang sah, memperoleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan daluwarsa dengan suatu penguasaan selama 20 (dua puluh) tahun. Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama 30 (tiga puluh) tahun, memperoleh hak milik dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukkan alas haknya."16 Penetapan jangka waktu beralihnya hak milik dari seseorang ke orang
lain dengan daluwarsa jelas hanya termaktub dalam undang-undang warisan
penjajah (KUH Perdata) yang oleh pemerintah saat itu hingga saat ini
menganggap ketentuan tersebut masih memiliki relevansi hukum dengan
situasi bangsa Indonesia. Oleh karenanya terhadap tanah yang ditinggalkan
oleh pemiliknya dan kemudian ditempati oleh orang lain selama 30 (tiga-
15UU nomor 5 tahun 1960, pasal 15. 16Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal 1963.
61
puluh) tahun maka tanah tersebut menjadi miliknya dengan jalan daluwarsa.
B. Analisis Terhadap Metode Istinbath Hukum Imam Syafi’i
Posisi "tengah" Imam Syafi’i terlihat dalam dasar-dasar mazhabnya.
Dalam buku metodologisnya, al-Risalah, ia menjelaskan kerangka dan dasar-
dasar mazhabnya dan beberapa contoh bagaimana merumuskan hukum-hukum
far'iyyah dengan menggunakan dasar-dasar tadi. Baginya, Al-Qur'an dan
Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu-kesatuan
sumber syariat Islam. Sedangkan teori-teori istidlal seperti qiyas, istihsan,
istishab dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan
menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi.
Pemahaman integral Al-Qur'an-Sunnah ini merupakan karakteristik
menarik dari pemikiran fiqih Syafi’i. Menurut Syafi’i, kedudukan Sunnah,
dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas dari
Al-Qur'an, memerinci yang global, mengkhususkan yang umum, dan bahkan
membuat hukum tersendiri yang tidak ada dalam Al-Qur'an. Karenanya,
Sunnah Nabi saw. tidak berdiri sendiri, tetapi punya keterkaitan erat dengan
Al-Qur'an. Hal itu dapat dipahami karena Al-Qur'an dan Sunnah adalah
Kalamullah; Nabi Muhammad saw. tidak berbicara dengan hawa nafsu, semua
ucapannya adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah.
Hipotesa menarik lainnya dalam pemikiran metodologis Syafi’i adalah
pernyataannya, "Setiap persoalan yang muncul akan ditemukan ketentuan
hukumnya dalam Al-Qur'an." Untuk membuktikan hipotesanya itu Syafi’i
menyebut empat cara Al-Qur'an dalam menerangkan suatu hukum.
62
Pertama, Al-Qur'an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash
hukum yang jelas, seperti nash yang mewajibkan salat, zakat, puasa dan haji,
atau nash yang mengharamkan zina, minum khamar, makan bangkai, darah
dan lainnya.
Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam Al-Qur'an dan
dirinci dalam Sunnah Nabi. Misalnya, jumlah rakaat salat, waktu
pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa dan berapa kadar yang harus
dikeluarkan. Semua itu hanya disebut global dalam Al-Qur'an dan Nabilah
yang menerangkan secara terinci.
Ketiga, Nabi Muhammad saw. juga sering menentukan suatu hukum
yang tidak ada nash hukumnya dalam Al-Qur'an. Bentuk penjelasan Al-Qur'an
untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada perintah Nabi dan
menjauhi larangannya. Dalam Al-Qur'an disebutkan: "Barangsiapa yang taat
kepada Rasul, berarti ia taat kepada Allah." Dengan demikian, suatu hukum
yang ditetapkan oleh Sunnah berarti juga ditetapkan oleh Al-Qur'an, karena
Al-Qur'an memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi
menjauhi yang dilarang.
Keempat, Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad
terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-
Qur'an dan hadis. Penjelasan Al-Qur'an terhadap masalah seperti ini yaitu
dengan membolehkan ijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas
pemahaman terhadap maqashid al-Syari'ah (tujuan-tujuan umum syariat),
63
misalnya dengan qiyas atau penalaran analogis. Dalam Al-Qur'an disebutkan,
yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan
orang-orang yang mempunyai kekuasaan di antara kamu. Maka apabila kamu
berselisih tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rasul."
Menurut Imam Syafi’i, "Kembalikanlah kepada Allah dan Rasul",
artinya kembalikan pada Al-Qur'an dan Sunnah. Dan pengembalian itu hanya
dapat dilakukan dengan qiyas. Dengan landasan ayat ini, dan ayat- ayat
lainnya, ia ingin menyebutkan bahwa ijtihad merupakan perintah Al-Qur'an itu
sendiri dan bukan merekayasa hukum.
Dari keterangan di atas dapat diketahui "posisi tengah" pemikiran
metodologis Syafi’i. la begitu teguh dalam berpegang pada Al-Qur'an dan
Sunnah dan pada saat yang sama memandang penting penggunaan rasio dan
ijtihad.
Menurut Syafi’i, struktur hukum Islam dibangun di atas empat dasar
yang disebut "sumber-sumber hukum". Sumber-sumber hukum tersebut
adalah Al-Qur'an, Sunnah, ijma' dan qiyas. Meskipun ulama sebelumnya juga
menggunakan keempat dasar di atas, tetapi rumusan Syafi’i punya nuansa dan
paradigma baru. Penggunaan ijma', misalnya, tidak sepenuhnya mencaplok
rumusan Imam Malik yang sangat umum dan tanpa batas yang jelas.
Bagi Syafi’i, ijma' merupakan metode dan prinsip, dan karenanya, ia
tidak memandang konsensus orang-orang umum sebagai ijma', sebagaimana
dinyatakan oleh Imam Malik dan ulama-ulama Madinah. Ini dengan jelas
64
terlihat dalam percakapan dengan sekelompok ahli hukum Madinah dalam
bukunya Al-Umm dan dikutip lengkap oleh Fazlur Rahman:
Al-Syafi’i:
"Akankah kita katakan bahwa anda menganggap, misalnya Ibnu
Musayyib sebagai ulama yang otoritatif di Madinah, Atha' yang otoritatif di
Mekkah, Hasan di Bashrah dan Sya'bi di Kufah semuanya dari generasi
tabi'ien dan memandang apa yang mereka sepakati sebagai ijma'?"
Lawan: "Ya."
Al-Syafi’i:
"Tetapi anda menyatakan bahwa mereka tidak pernah bertemu dalam
pertemuan mana pun yang anda ketahui. Karena itu, anda menyimpulkan ijma'
mereka dari laporan-laporan tentang mereka, dan, sesungguhnya, karena anda
telah melihat bahwa ulama-ulama tersebut membuat pernyataan-pernyataan
mengenai masalah-masalah yang tidak anda temui pembahasannya dalam Al-
Qur'an dan Sunnah, maka anda menyimpulkan bahwa mereka telah melakukan
qiyas terhadap masalah-masalah tersebut dan anda berargumentasi bahwa
qiyas adalah kumpulan pengetahuan yang benar dan mapan yang disepakati
oleh para ulama."
Lawan: "Itulah yang kami katakan. Pengetahuan datang dalam
beberapa bentuk.
Pertama, apa yang dituturkan oleh seluruh masyarakat dari seluruh
masyarakat generasi-generasi yang telah lalu (pengetahuan yang dibentuk)
dengan kepastian yang dapat saya sumpahkan dengan nama Allah dan Rasul-
65
Nya. Contoh dari pengetahuan semacam ini adalah kewajiban-kewajiban
agama.
Kedua, bagian dari Al-Qur'an yang mengakui perbedaan-perbedaan
penafsiran haruslah diterima dalam artinya yang langsung dan sesuai dengan
akal sehat: ia tidak bisa diberi "batiniyah" dan allegoris walaupun ia mungkin
dapat menerima arti seperti itu kecuali bila hal itu menjadi konsensus
masyarakat.
Ketiga, pengetahuan yang disepakati oleh kaum Muslimin dan mereka
telah menyatakan persetujuan sebelumnya terhadapnya. Bahkan apabila yang
disebut terakhir ini mungkin tidak datang dari Al-Qur'an ataupun Sunnah, bagi
saya ia memiliki kedudukan yang sama dengan Sunnah yang telah disepakati.
Ini disebabkan karena kesepakatan kaum Muslimin tidak dapat dicapai
semata-mata dengan pendapat-pendapat pribadi (tapi hanya dengan melalui
qiyas), karena pendapat-pendapat pribadi hanya membawa pada perselisihan.
Keempat, pengetahuan para ahli yang merupakan argumen yang
konklusif kecuali bila disampaikan dengan cara kebal terhadap kekeliruan.
Terakhir, qiyas. Tidak ada perselisihan yang dapat memasuki
pengetahuan dalam bentuk-bentuk yang telah saya uraikan tadi, dan segala
sesuatu akan tetap berakar pada prinsip-prinsipnya kecuali bila masyarakat
umum setuju untuk melepaskannya dari prinsip-prinsipnya. Ijma' adalah
argumen final mengenai segala sesuatu, karena ia kebal terhadap kekeliruan."
Al-Syafi’i: Mengenai jenis pengetahuan yang pertama yang anda
jelaskan tadi, yakni transmisi dari seluruh masyarakat generasi sebelumnya,
66
memang dapat diterima. Tapi apakah anda tahu, dan dapatkah anda
menjelaskan pengetahuan jenis kedua yang sehubungan dengannya, dimana
anda mengatakan bahwa seluruh masyarakat bersepakat atasnya dan
mentransmisikan kesepakatan umum yang sama mengenai hal itu pada
generasi-generasi sebelumnya? Dan apa yang anda maksud dengan seluruh
masyarakat itu? Apakah ia meliputi baik ulama maupun non-ulama...?
Lawan: "Ini adalah ijma' para ulama saja ... karena hanya merekalah
orang- orang yang dapat mengetahui dan bersepakat pendapat tentang masalah
itu. Jadi, ketika mereka bersepakat pendapat, maka hal ini menjadi otoritatif
bagi mereka yang tidak mengetahuinya (yakni bagi non-ulama); tetapi jika
mereka tidak bersepakat pendapat, maka pendapat-pendapat mereka tidak
mempunyai otoritas bagi siapa pun, dan masalah-masalah seperti itu harus
dirujuk pada suatu qiyas (penalaran analogis) yang baru berdasarkan apa yang
telah disepakati bersama ... Tidaklah penting apakah ijma' didasarkan pada
sebuah hadis verbal yang mereka riwayatkan ataukah tanpa sebuah hadis pun
..., dan bahkan bila mereka berselisih, tidaklah penting apakah hadis verbal
yang sesuai dengan pendapat sebagian dari mereka ataukah tidak ada. Karena
saya tidak menerima sesuatu hadits pun ..., dan bahkan bila mereka berselisih,
tidaklah penting apakah ada hadits verbal yang sesuai dengan sebagian dari
mereka ataukah tidak ada. Karena saya tidak menerima sesuatu hadis pun
kecuali ada kesepakatan pendapat atasnya ..."
Selanjutnya, pada periode ini, interaksi antara qiyas dan ijma'
dipandang tidak sebagai sebuah prinsip yang statis, tapi sebagai suatu proses
67
asimilasi, interpretasi dan adaptasi yang dinamis dan wajar. Hal ini terlihat
dengan jelas dalam bagian lain dari tulisan Syafi’i yang, walaupun agak
berkepanjangan, adalah yang paling komprehensif mengenai masalah tersebut
dan mengungkapkan sikap sebenarnya dan yang serba meliputi dari ijma'.
Nuansa dan paradigma pemikiran Syafi’i itu selalu terlihat dalam
pemikiran-pemikirannya yang dibangun di atas pemikiran-pemikiran ulama
sebelumnya. Penalaran analogis (qiyas) Imam Syafi’i, juga, menawarkan
pernahaman baru. Apa yang dirumuskan oleh ulama-ulama sebelumnya oleh
Syafi’i disebut qiyas bilfuru', penalaran analogis terhadap masalah-masalah
partikular dengan berpijak pada suatu prinsip tertentu yang terkandung dalam
suatu preseden.
Sebuah kasus yang baru dapat dimasukkan ke dalam prinsip ini, atau
disamakan dengan preseden tersebut dengan kekuatan suatu sifat esensial
umum yang disebut 'illat. Sedangkan metode-metode yang lain, seperti
istihsan, istishab, sadd al-zarai' dan metode lainnya dimasukkan ke dalam
qiyas bil qawa'id (penalaran analogis terhadap prinsip umum yang terkandung
dalam suatu preseden itu sendiri).
Dalam hubungannya dengan menghidupkan tanah mati, bahwa dalam
perspektif Imam Syafi’i bahwa untuk menghidupkan tanah mati tidak perlu
ada izin dari pemerintah. Dalam hal ini metode istinbath hukumnya Imam
Syafi’i didasarkan pada makna zhahir di samping qias, yaitu qias antara tanah
kosong dengan air, di mana semua orang sangat membutuhkan tanah dan air
tersebut. Tanah dan air merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi
68
kehidupan manusia, karena itu Imam Syafi’i menganggap ini bukan kekuasaan
pemerintah melainkan kekuasaan masyarakat yang bermukim di tempat itu.17
Di samping itu dalam metode istinbathnya, mendasarkan kepada hadits-hadits
yang telah disebutkan sebelumnya yang pada intinya nabi tidak
memerintahkan izin dari pemerintah untuk membuka tanah mati. Namun
demikian, oleh karena permasalahan tanah yang dijadikan sebagai obyek atas
syari’at ihya al-mawat itu menyangkut hubungan langsung antara manusia
satu dengan lainnya, atau menyangkut permasalahan keduniawian, maka agar
tidak terjadi sengketa antara orang yang satu dengan lainnya membutuhkan
peraturan perundang-undangan untuk mengaturnya kepastian hukum.
Dari sini sebenarnya istinbath dengan hanya menggunakan
pengambilan makna zhahir saja kurang cukup. Meskipun izin imam/
pemerintah itu tidak menjadi syarat dalam membuka tanah mati tapi di sisi
lain kiranya penting adanya peraturan perundang-undangan untuk menentukan
mana pemilik yang sah dan mana yang tidak. Karena itu Undang-undang
Pokok Agraria lebih tepat diterapkan saat ini ketimbang konsep Imam Syafi’i.
Ini tidak berarti konsep Imam Syafi’i salah, kita menyadari dan mengakui
bahwa konsep Imam Syafi’i sangat sesuai dengan zamannya di mana ketika
itu jumlah penduduk tidak sebesar saat ini, persoalannya pun tidak serumit
dewasa ini.
17TM Hasbi ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam: Tinjauan antar
Mazhab,Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2004, hlm. 434-437