perdagangan dan pemukiman

21
1 Determinasi Perdagangan Rempah Terhadap Mobilitas Penduduk, Pemukiman, Perkembangan Kota dan Pertahanan Masa Kolonial : Studi Kasus di Pulau Ambon dan Saparua Wuri Handoko Latar Belakang Dalam sejarah Nusantara, pengaruh Kolonial di Maluku, telah sangat dikenal. Hal ini karena lamanya pihak Kolonial bercokol di bumi rempah-rempah ini (hampir empat abad). Maluku dikenal sebagai wilayah yang memiliki sejarah panjang dalam konteks kolonisasi Eropa di Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat saat inipun, pengaruh budaya kolonial terutama Belanda, masih sangat kental. Bahkan di bidang bahasapun juga dapat diidentifikasi bentuk pengaruhnya. Antara lain banyak kalimat-kalimat serapan bahasa Belanda yang sering dipakai dalam bahasa pergaulan sehari-hari orang Maluku. Dalam bidang budaya, pengaruh itu juga dapat diamati baik budaya hidup yang masih dijalankan sehari-hari, religi maupun berdasarkan tinggalan budaya benda berbentuk bangunan monumental berciri arsitektur kolonial. Kentalnya budaya peninggalan kolonial, sehingga karakteristik budaya Maluku sangat lekat dengan budaya kolonial. Sejarah mencatat, Tahun 1596, penjelajahan Bangsa Eropa pertama dipimpin Cornelis de Houtman masuk ke Nusantara. Ekspedisi ini sekaligus menjadi titik awal rentang panjang sejarah kolonisasi Eropa di Nusantara. Mulai dari Portugis hingga Belanda. Sejarah, telah banyak menuliskan kiprah kolonial di bumi Maluku. Terutama dihubungkan dengan perluasan perdagangan dan penguasaan komoditi lokal Maluku yang sangat populer di dunia. Dalam sejarah perdagangan dunia, sejak awal masehi wilayah strategis Maluku termasuk dalam lintasan perdagangan yang disebut jalur sutera. Pada abad X jalur sutra merupakan jalur yang sangat penting untuk hubungan timbal balik baik dalam segi perdagangan, kebudayaan, agama maupun pengetahuan. Perdagangan ini tidak hanya menawarkan komoditi sutera, tetapi juga komoditi lain

Upload: wuri-handoko

Post on 30-Jun-2015

277 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perdagangan dan Pemukiman

1

Determinasi Perdagangan Rempah Terhadap Mobilitas Penduduk, Pemukiman,

Perkembangan Kota dan Pertahanan Masa Kolonial :

Studi Kasus di Pulau Ambon dan Saparua

Wuri Handoko

Latar Belakang

Dalam sejarah Nusantara, pengaruh Kolonial di Maluku, telah sangat dikenal. Hal

ini karena lamanya pihak Kolonial bercokol di bumi rempah-rempah ini (hampir empat

abad). Maluku dikenal sebagai wilayah yang memiliki sejarah panjang dalam konteks

kolonisasi Eropa di Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat saat inipun, pengaruh

budaya kolonial terutama Belanda, masih sangat kental. Bahkan di bidang bahasapun

juga dapat diidentifikasi bentuk pengaruhnya. Antara lain banyak kalimat-kalimat

serapan bahasa Belanda yang sering dipakai dalam bahasa pergaulan sehari-hari orang

Maluku. Dalam bidang budaya, pengaruh itu juga dapat diamati baik budaya hidup yang

masih dijalankan sehari-hari, religi maupun berdasarkan tinggalan budaya benda

berbentuk bangunan monumental berciri arsitektur kolonial. Kentalnya budaya

peninggalan kolonial, sehingga karakteristik budaya Maluku sangat lekat dengan budaya

kolonial. Sejarah mencatat, Tahun 1596, penjelajahan Bangsa Eropa pertama dipimpin

Cornelis de Houtman masuk ke Nusantara. Ekspedisi ini sekaligus menjadi titik awal

rentang panjang sejarah kolonisasi Eropa di Nusantara. Mulai dari Portugis hingga

Belanda.

Sejarah, telah banyak menuliskan kiprah kolonial di bumi Maluku. Terutama

dihubungkan dengan perluasan perdagangan dan penguasaan komoditi lokal Maluku

yang sangat populer di dunia. Dalam sejarah perdagangan dunia, sejak awal masehi

wilayah strategis Maluku termasuk dalam lintasan perdagangan yang disebut jalur sutera.

Pada abad X jalur sutra merupakan jalur yang sangat penting untuk hubungan timbal

balik baik dalam segi perdagangan, kebudayaan, agama maupun pengetahuan.

Perdagangan ini tidak hanya menawarkan komoditi sutera, tetapi juga komoditi lain

Page 2: Perdagangan dan Pemukiman

2

terutama rempah-rempah yang sangat dibutuhkan di Eropa. Justru karenanya belakangan

orang menyebutnya sebagai jalur rempah-rempah. Hal ini karena justru rempah-rempah

kemudian menjadi komoditi utama perdagangan dunia. (Lapian, et.al. 2001: 39).

Kepulauan Maluku sendiri merupakan surganya rempah-rempah. Wilayah ini

kemudian terkenal dengan Spice Island oleh dunia barat. Wilayah Maluku, dari segi

ekonomi merupakan wilayah penghasil rempah-rempah paling utama, yang antara lain

menyebabkan wilayah tersebut menjadi ajang potensial pertarungan kepentingan

hegemoni ekonomi, dan akhirnya bermuara pada pertarungan politik dan militer

(Meilink-Roelofsz, 1962:93-100; dalam Ambary, 1998:150).

Didorong oleh meningkatnya kebutuhan dan keuntungan besar yang diperoleh

dalam perdagangan rempah-rempah, bangsa Eropa berusaha memperoleh rempah-rempah

langsung dari tangan pertama. Dimulai oleh Portugis pada tahun 1511, yang kemudian

berhasil menguasai pusat perdagangan di Selat Malaka. Dan pada tahun berikutnya,

kapal-kapal Portugis telah tiba di bandar-bandar Maluku (Djafaar, 2006:18).

Sejak saat itu bangsa –bangsa Eropa saling bergantian untuk mengusai Maluku.

Kepulauan Maluku sebagai pusat produksi rempah-rempah terutama cengkeh dan pala

pada masanya juga menjadi ajang perebutan dan persaingan banyak negara di dunia.

Hampir seluruh negara dari berbagai belahan dunia berjejal menduduki kepulauan

Maluku. Portugis dan Belanda adalah dua negara yang paling bersaing menguasai

wilayah ini.

Sejarah Perdagangan Rempah-Rempah di Pulau Ambon dan Saparua

Tahun 1513, Bangsa Portugis mendarat di Pulau Ambon. Bangsa Portugis adalah

bangsa Eropa pertama yang menginjakkan kaki di Wilayah Maluku. Oleh Portugis,

wilayah Ambon adalah menjadi pusat aktivitas baru setelah mereka terusir dari Ternate.

Meski demikian, di Pulau Ambon, bangsa Portugis mendapat perlawanan dan diserang

oleh penduduk lokal, yakni penduduk muslim Hitu, yang sebelumnya telah berdagang

dan memiliki mata rantai religius dengan pesisir pantai utara Jawa. Namun demikian

tahun 1521 Bansga Portugis sempat mendirikan pabrik meski selalu ditentang hingga

tahun 1580. Di Pulau Ambon, bangsa Portugis tidak mendapatkan otoritas dari penduduk

lokal untuk mengendalikan perdagangan rempah-rempah.

Page 3: Perdagangan dan Pemukiman

3

Tahun 1605, giliran Belanda menguasai Pulau Ambon, Tahun itu adalah tahun

kekalahan Portugis dari Belanda. Bangsa Portugis pada tahun itu juga terusir dari Pulau

Ambon dan kedudukannya digantikan oleh Belanda. Belanda mengambil alih benteng-

benteng yang semula dibangun oleh Portugis. Oleh Belanda, Kota Ambon dijadikan

markas ( VOC) mulai dari 1610 sampai 1619. Belanda berhasil menanamkan monopoli

perdagangan rempah di Pulau Ambon. Di Kota Ambon Belanda Menjadikannya sebagai

sebagai pusat produksi dan pemasaran rempah-rempah. Sementara itu pulau-pulau di

sekitarnya diharusnya mengirim produksi komoditinya ke pulau Ambon untuk menjamin

atau mengamankan monopolinya di Ambon. Sepanjang periode Belanda, Kota Ambon

kota adalah pusat kegiatan militer Belanda yang berpusat di Benteng Victoria.

Sementara itu Pulau Saparua, adalah salah satu pulau yang terdekat dengan Pulau

Ambon. Diantara pulau-pulau Lease (Saparua, Haruku dan Nusa Laut), Pulau Saparua

adalah yang terbesar. Dalam sejarah perniagaan, Pulau Saparua merupakan salah satu

kota pemasok cengkeh terbesar di wilayah Lease. Pada masa kolonial, hampir seluruh

wilayah di Pulau Saparua mengembangkan tanaman cengkeh untuk memenuhi

kebutuhan stok (pasokan) komoditi cengkeh dari pihak Kolonial yang berpusat di Kota

Ambon.

Sejak awal abad 17 baik Portugis maupun Belanda, bergantian menduduki

Saparua. Benteng Duurstede di Kota Saparua menjadi bukti penguasaan pihak asing

tersebut. Kota Saparua sebagai pusat pemerintahan Kolonial di Pulau Saparua,

merupakan basis pertananan kolonial yang utama. Setelah Portugis terusir dari Saparua,

Belanda menjadi satu-satunya pihak asing yang menguasai Saparua, hingga meletetusnya

perang Pattimura tahun 1817. Perang itu salah satunya adalah akibat monopoli

perdagangan cengkeh oleh pihak Belanda. Pihak pribumi yang tidak menerima perlakuan

Belanda, mengangkat senjata melakukan perlawanan yang dipimpin oleh Kapitan

Pattimura.

Adat dan Tradisi Masyarakat

A.Kepemimpinan dan Kedudukan Raja

Maluku dapat dijuluki sebagai Tanah Para Raja. Wilayah Propinsi Maluku, saat

ini terdiri dari berbagai desa yang memiliki pemerintahan adat yang berlaku secara turun-

Page 4: Perdagangan dan Pemukiman

4

temurun. Sebutan desa bagi wilayah Maluku juga diganti dengan Negeri, kembali

merunut berdasasarkan adat dan sejarah pembentukannya sejak masa Kolonial. Di desa

atau negeri-negeri itu diperintah atau dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang disebut

Raja. Sejarah mencatat, wilayah Maluku pada masa lalu merupakan wilayah kerajaan-

kerajaan kecil yang berdaulat. Satu sama lain memiliki pemerintahannnya sendiri,

diantaranya merupakan persekutuan negeri yang membentuk wilayah kerajaan sendiri

yang lebih besar. Bagi wilayah persekutuan negeri dipimpin oleh raja besar yang

membawahi raja-raja kecil yang bersekutu. Beberapa raja besar itu dikenal dengan

sebutan Latu (Upu Latu) bahkan ada pula dengan sebutan Sultan. Sayangnya, catatan

sejarah sangat sedikit yang menyinggung tentang kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri

di wilayah Provinsi Maluku pada masa lampau. Di Pulau Saparua setidaknya tercatat dua

kerajaan yang berdaulat dan memiliki wilayahnya amsing-masing. Kerajaan itu adalah

Kerajaan Iha dan Kerajaan Siri Sori Islam (Kerajaan Honimoa). Kerajan Iha memiliki

wilayah kekuasaan pada negeri-negeri di semenanjung (jazirah) bagian utara yang disebut

Jazirah Hatawano, sedangkan Kerajan Siri Sori menguasai negeri-negeri di wilayah

semenanjung (jazirah) tenggara yang disebut sebagai Jazirah Ouw.

Beberapa catatan etnologis, menyebutkan simbol para raja, terutama di Pulau

Seram ditandai adanya simbol kepemilikan tongkat raja berhulu perak (Taurn, 1918). Di

wilayah Kerajaan Sahulau di Seram, tongkat raja berhulu kuningan/warna emas

(Handoko, 2006c; Tim Penelitian, 2007, Sudarmika dan Handoko, 2007). Di Kerajaan

Hitu, terdapat mahkota Raja Hitu (Sahusilawane, 1996; Handoko 2006a:), demikian pula

kerajaan-kerajan di Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo semuanya memiliki simbol

kepemimpinan raja yang juga diwariskan secara turun temurun. Selain simbol-simbol

berupa benda yang bergerak, istana dan rumah raja juga sangat menonjol menunjukkan

bukti kepempinan raja. Bukti kepemimpinan lain, menurut beberapa lisan, adanya

kepemilikan tanah dan lahan yang luas oleh raja dan pemimpin lokal lainnya seperti pati

dan orang kaya. Dalam struktur pemerintahan di daerah Maluku Raja, Pati dan orang

kaya merupakan posisi tertinggi dalam struktur masyarakat Maluku.

Page 5: Perdagangan dan Pemukiman

5

B. Berkebun Cengkeh dan Pala

Masyarakat di pulau Ambon dan Saparua pada umumnya, adalah masyarakat

yang sejak dulu mengelola kebun cengkeh sebagai komoditi utama. Beberapa toponim

menunjukkan adanya pohon-pohon cengkeh yang telah berumur sangat tua. Di desa

Itawaka, menurut sumber penduduk menyebutkan terdapat pohon cengkeh yang telah

berumur sekitar 400an tahun (pers com, 2008). Bukti lapangan menunjukkan pohon,

dengan usia ratusan tahun tersebut memiliki diameter yang sangat besar. Meskipun tidak

produktif lagi, namun sesekali masih menghasilkan bunga cengkeh. Selain itu, penduduk

pada umumnya menanam bibit cengkeh yang sejak dulu telah dikembangkan yakni jenis

cengkeh „kotok‟, walaupun belakangan bermacam-macam jenis cengkeh juga

dikembangkan.

C.Penguasaan Tanah : Tanah Datti dan Tanah Pusaka

Tanah dati adalah, tanah yang dikelola secara turun temurun yang dikelola oleh

setiap kelompok marga. Namun ketika anggota marga ada yang menikah dengan marga

lain, terutama kaum wanitanya maka yang bersangkutan tidak lagi berhak atau tidak

mendapat bagian lagi dari tanah dati. Sementara tanah pusaka, adalah tanah yang dikelola

turun temurun oleh setiap marga dan keluarga, dan dalam waktu yang terus menerus dan

tidak dapat diputuskan haknya, meskipun salah satu anggota marga menikah dengan

marga lainnya. Tanah-tanah dati dan juga tanah pusaka antar setiap marga biasanya diberi

batas-batas yang telah disepakai, biasanya berupa batas atau pagar hidup bisa pula tanda

batas lainnya yang mudah dikenali.

Yang menarik, pengaturan tanah dati itu sendiri lahir pada masa pendudukan

Kolonial tahun 1823. Berdasarkan beberapa catatan sejarah di Maluku, tahun itu

merupakan tahun peralihan atau masa transisi dari penguasaan Inggris kembali ke

penguasaan Belanda. Apakah peraturan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah

Belanda pada masa itu berhubungan dengan masa peralihan itu, tampaknya masih

membutuhkan kajian lagi. Yang jelas, pengaturan tanah datti, merupakan peraturan yang

dibuat oleh Belanda dan sampai saat ini masih diwarisi dan dipertahankan.

Kemungkinan, pengaturan tanah datti, juga dimaksudkan oleh Belanda untuk

mempermudah pengaturan dan pengawasan lahan-lahan perkebunan cengkeh. Dengan

Page 6: Perdagangan dan Pemukiman

6

pengawasan dan pengaturan yang lebih mudah, maka pihak Kolonial (Belanda) akan

semakin mudah menguasai dan memonopoli komodi dagang cengkeh tersebut.

Mobilitas Penduduk, Permukiman dan Perkembangan Kota

A. Masa Penguasaan Portugis

Kota Ambon awal, ditandai pertama kali dengan pendirian benteng Kota Laha

(masa kemudian, tepatnya masa penguasaan Belanda benteng ini berubah menjadi

Benteng Niew Victoria), sebagai cikal kota ambon. Menyusul pendirian Benteng Kota

Laha, tumbuh pemukiman-pemukiman kecil di sekitar benteng. Pemukiman-pemukiman

sederhana ini membentang di sepanjang pantai, di sisi Timur dan Barat Benteng, juga di

sebelah selatan benteng. Data sejarah dari seorang misionaris Portugis menunjukan,

jumlah rumah disekitar benteng ini pada akhir abad ke-16 adalah sekitar 500 unit

(Leirissa dkk, 2004:21; Ririmase, 2006). Pada masa itu jumlah penduduk kota ambon

pada akhir abad ke-16 adalah sekitar 1500 jiwa. Dengan jumlah rumah sekitar 500 buah

yang dibangun di sepanjang pantai, di sisi timur, barat, dan selatan benteng ‟Kota Laha‟.

Permukiman penduduk yang membentuk ‟kota‟ ini hanya dipisahkan oleh beberapa jalan

sempit dari tembok benteng. Saat itu belum dikenal penataan kota, letak rumah dan jalan

sangat tidak beraturan. Meski demikian secara berkala mulai muncul suatu pola yang

membedakan perumahan penduduk berdasarkan empat kelompok masyarakat yang

tercipta saat itu.

Leirissa dkk (2004) sebagaimana yang dituliskan kembali oleh Ririmasse (2006)

telah menguraikan kelompok penduduk pemukim Kota Ambon awal masa pendudukan

Portugis, sebagai berikut :

Kelompok pertama adalah sejumlah orang-orang Portugis dan bekas tentara

Portugis yang memilih untuk tinggal di Ambon. Kelompok masyarakat ini dikenal

sebagai casado. Menurut catatan sejarah, hingga akhir abad ke-16 diperkirakan ada

sekitar 90 rumah yang didirikan bagi kelompok ini dan beberapa di antaranya didirikan

dengan sangat indah.

Kelompok kedua adalah kelompok ”Mahardhika” atau ‟Mardika‟ yang mendiami

sisi sebelah timur benteng. Menurut keterangan orang-orang Belanda, kelompok Mardika

ini tiba di Ambon dari Ternate sekitar tahun 1575. Penelitian sejarah menunjukan bahwa

Page 7: Perdagangan dan Pemukiman

7

kelompok ini muncul dari kelompok budak yang telah dibebaskan oleh para pemiliknya.

Pada masa VOC orang-orang Belanda banyak membeli budak dari orang Portugis yang

berdiam di kota-kota pelabuhan India. Setelah dibebaskan umumnya mereka menjadi

pemeluk agama Nasrani. Di India mereka telah banyak menyerap unsur-unsur budaya

Potugis termasuk bahasa Portugis dan kebiasaan sehari-hari. Banyak wanita dari

kelompok ini yang menikah dengan orang-orang Eropa di Nusantara, termasuk beberapa

pembesar mereka.

Kelompok ketiga adalah masyarakat lokal dari berbagai negeri di Pulau Ambon.

Jumlah mereka pada akhir abad ke-16 diperkirakan sekitar 1500 jiwa. Mereka umumnya

berasal dari Hative, Tawiri dan Halong, dan menjadi tenaga andalan Portugis ketika

membangun benteng Kota Laha. Terdapat juga kelompok masyarakat yang berasal dari

Nusaniwe, Urimessing, Waai dan Soya. Mereka ini menghuni sekitar 100 unit rumah

yang sangat sederhana di daerah yang sekarang berada antara Batumerah dan Mardika

serta di wilayah timur sungai Batu Gajah.

Kelompok keempat adalah para misionaris dari Eropa. Jumlah mereka sebenarnya

tidak terlalu besar. Hanya karena keberadaan mereka selalu diikuti oleh para budak dan

pengikut mereka, maka terbentuklah suatu kelompok masyarakat baru dalam jumlah yang

cukup besar. Wilayah pelayanan mereka pada masa itu mencakup beberapa negeri seperti

Soya, Hukurila, dan Kilang. Menurut catatan sejarah, pada akhir abad ke-16 ada sekitar

empat buah gereja di kota Ambon. Gereja pertama terletak di dalam benteng Kota Laha,

dan digunakan oleh orang-orang Portugis. Tiga gereja lain terletak di luar tembok

benteng. Gereja pertama terletak di sebelah timur benteng dan digunakan oleh para

casados. Gereja kedua terletak di sebelah tenggara benteng dan dibangun tahun 1581

dengan nama Santo Jacob. Gereja ini diperuntukan bagi kaum miskin, dan dilayani oleh

para misonaris dari ordo Misicordia. Di gereja ini juga terdapat sebuah ‟rumah sakit‟

yang juga dikhususkan untuk orang miskin. Gereja ketiga terletak di sebelah barat

tembok benteng dengan nama Santo Tomas, yang digunakan oleh penduduk lokal

berbahasa Melayu.

Berdasarkan uraian diatas, tampak sekali permukiman penduduk berkembang

karena mengikuti pola mobilitas sosial masyarakat. Mobilitas penduduk ditandai oleh

masuknya kelompok sosial lain, yakni kelompok Mardika (budak yang telah dibebaskan).

Page 8: Perdagangan dan Pemukiman

8

Kemungkinan pada masa kemudian, penduduk Mardika menjadi salah satu kelompok

sosial yang paling banyak mempengaruhi perkembangan permukiman kota. Konfigurasi

sosial masyarakat yang terdiri dari empat kelompok, menandai adanya mobilitas

masyarakat lebih banyak ditimbulkan oleh faktor eksternal. Para misionaris, tentara

portugis dan para budak, merupakan kelompok eksternal yang meramaikan pertumbuhan

permukiman. Sementara itu penduduk lokal, meskipun dalam kuantitas yang besar,

merupakan kelompok yang secara internal tak banyak mendominasi pertumbuhan

permukiman.

A. Masa Penguasaan Belanda

Secara arkeologis sesungguhnya agak sulit untuk merekonstruksi tata kota Ambon.

Bila rujukannya bangunan kolonial semata. Hal ini karena sebagian besar bangunan masa

kolonial hancur rata dengan tanah akibat pemboman saat perang dunia ke-2. Bentuk Kota

Ambon yang ada pada masa Belanda, sesungguhnya adalah penyempurnaan bentuk kota

yang dibangun oleh Portugis pada 1576. Batas-batas kota tidak banyak berubah hingga

awal abad ke-20 (Ririmasse, 2006b). Memang tidak ditemukan data sejarah yang benar-

benar dapat memberikan informasi tentang masterplan yang dapat dijadikan pedoman

pembangunan fisik kota Ambon, namun dari pola tata kota dapat dilihat adanya suatu

kesinambungan perencanaan dan pembangunan yang berhasil menciptakan suatu kota

yang efisien pada jaman itu. Informasi sejarah menunjukan para gubernur VOC yang

berkuasa di Ambon pada abad ke-17 secara sistematis melanjutkan pekerjaan

pendahulunya. Hal ini sangat dibantu oleh kewajiban setiap gubernur yang meletakan

jabatan harus menulis sebuah memori serah terima jabatan yang menjadi catatan tentang

program apa saja yang sudah dilakukan serta pedoman bagi penggantinya untuk

melanjutkan pembangunan yang sudah dilakukan. Secara arkeologis sebenarnya memang

agak sukar untuk menemukan pola kota Ambon bila merujuk pada tinggalan bangunan

Kolonial, Menyikapi kondisi ini, data sejarah Kota Ambon yang ada cukup membantu

dalam memberikan gambaran bagaimana perkembangan kota Ambon masa awal (ibid).

Berangkat dari data-data sejarah Kota Ambon dimaksud, indikator arkeologis

bagaimana tata kota ambon, menandai aktifitas permukiman masa Belanda. Sebagaimana

data yang telah dituliskan Ririmasse (2006b), berikut diuraikan kembali obyek dimaksud:

Page 9: Perdagangan dan Pemukiman

9

1. Esplanade (Lapangan Merdeka)

Setelah menguasai benteng Kota Laha (Victoria) Van der Haghen segera

membentuk pemerintahan baru yang dipimpin oleh Frederick de Houtman, yang berkuasa

atas benteng dan kota Ambon serta wilayah Lease. Setelah diangkat menjadi Gubernur,

tindakan pertama yang dilakukan de Houtman adalah memerintahkan agar pemukiman

yang hampir menempel pada tembok benteng dipindahkan beberapa ratus meter ke arah

selatan. Setelah relokasi ini, terciptalah suatu ruang terbuka. Kelak pada abad ke-19

ruang terbuka ini digunakan sebagai esplanade yang saat ini dikenal sebagai Lapangan

Merdeka. Data sejarah tentang kronologi fungsi esplanade ini memang cukup minim.

Namun dengan mempertimbangkan aspek posisi lapangan yang dekat dengan pusat

pemerintahan di benteng Victoria, dapat diduga esplanade ini berfungsi sebagai ‟alun-

alun‟ kota dan memiliki fungsi cukup vital dalam konsep tata ruang.

2. Struktur Jalan Kota

Jalan-jalan utama dalam kota Ambon, sesungguhnya telah selesai dibangun pada

abad ke-17. sistem pembangunan jalan dalam tata kota dapat dilihat dalam sebuah lukisan

buatan 1728, yang terdapat dalam buku fr. Valentijn jilid II. Sistem jalan ini juga yang

menjadi batas-batas kota Ambon masa itu. Pada lukisan yang bersumber dari buku

Valentijn, nampak sistem jalan setengah melingkar yang mengelilingi kota, yang

terbentuk dari beberapa ruas jalan. Dimulai dari titik sebelah timur Hative Kecil di

seberang Wai Allat, lalu menyusur ke selatan dan balik ke barat di kaki pegunungan Soya,

daerah yang kini dikenal sebagai jalan Rijali, jalan Acmad Yani, dan Batu Gajah. Dari

titik tersebut jalan berbelok tajam lurus ke arah garis pantai yang disebut sebagai ‟de

Weg van Nusaniwe‟ jalan ini dinamakan ‟Urimesengstraat‟ dan kini dikenal sebagai jalan

Diponegoro, dan jalan A.M Sangaji ke arah pelabuhan. Dalam batas-batas jalan itulah

terdapat kota Ambon masa itu.

Jalan utama yang pertama adalah jalan yang membentang di tengah kota, yang

berawal dari depan pintu masuk benteng Victoria, dan berakhir di jalan melingkar kota di

Batu Meja. Jalan utama ini awalnya bernama ‟Heerenstraat‟ kemudian berganti

menjadi ‟Groote Olievantsraat‟ dan sekarang dikenal sebagai jalan Pattimura. Pada sisi

kiri dan kanan jalan ini dibangun gedung-gedung utama pemerintah. Jalan kedua yang

Page 10: Perdagangan dan Pemukiman

10

membentang dari pantai ke selatan arah Batu Meja adalah ‟Koningstraat‟ yang melintasi

rumah Raja Kilang dan bersambung dengan ‟Prinsenstraat‟. Kedua jalan ini kini dikenal

sebagai jalan Sultan Hairun dan Jalan Yan Paays.

Selain ketiga ruas jalan utama di atas, terdapat juga sejumlah jalan lain yang lebih

pendek dan membentang dari utara ke selatan dan dari barat ke timur. Jalan pertama yang

penting adalah ‟Chinesestraat‟ yang kini dikenal sebagai jalan A.Y Patty. Di wilayah

inilah muncul ‟Kampung Cina‟ yang meluas dari jalan tersebut ke arah pantai. Di sebelah

utara ‟Chinesestraat‟ terdapat ‟Breedestraat‟ yang menyusuri pantai dan selalu digunakan

warga kota untuk menikmati keindahan teluk Ambon. Pemerintah kolonial kemudian

membangun juga jalan yang menghubungkan ‟Urimesengstraat‟ dengan ‟Koningstraat‟

yaitu ‟Valentijnstraat‟ dan ‟Rumphiusstraat‟, yang saat ini dikenal sebagai jalan Imam

Bonjol. Ke arah selatan sejajar dengan ‟Chinesestraat‟ pemerintah kolonial membangun

tiga ruas jalan yang menghubungkan Urimessengstraat ( Weg van Nusaniwe)

dengan ‟Koningstraat‟. Dua jalan tersebut masing-masing ‟Burgerstraat‟

dan ‟Groenegeuzenstaat‟, dan ketiganya kini dikenal sebagai jalan Anthony Rebok, Jalan

Philip Latumahina, dan jalan Said Perintah. Srtruktur jalan asli kota Ambon ini tidak

banyak berubah hingga abad ke-20. Pasca kehancuran kota akibat pemboman sekutu saat

perang dunia ke-2, Ambon kembali dibangun dengan berpatokan pada sistem jalan yang

sudah ada sejak dulu.

3. Pasar

Tahun 1690 pemerintah VOC di Ambon mendirikan sebuah bangunan yang

berfungsi sebagai pasar. Lokasinya di tepi pantai tepat di sebelah barat benteng Victoria.

Menurut informasi Valentijn, ukuran gedung pasar ini lebih besar dari ukuran gedung-

gedung gereja. Valentijn bahkan menyatakan kekagumannya akan keindahan bentuk

bangunan pasar ini dan keletakannya yang begitu bagus. Bangunan pasar ini digambarkan

tidak memiliki tembok hanya berupa bangunan bergenteng yang langsung ditopang pilar-

pilar. Di pasar inilah penduduk dari berbagai negeri di Pulau Ambon datang untuk

berjualan berbagai kebutuhan sehari-hari. Keletakan pasar ini mungkin juga dipengaruhi

oleh lokasi Kampung Cina di sekitar jalan Chinesestraat yang juga merupakan kelompok

dominan pelaku ekonomi masa itu.Tentunya bukan suatu kebetulan jika pada masa yang

Page 11: Perdagangan dan Pemukiman

11

lebih kemudian lokasi pasar dan pertokoan di kota Ambon juga terletak di sebelah barat

benteng Victoria. Hal mana yang menunjukan kesinambungan wilayah itu sebagai sentra

ekonomi.

4. Toponim Pemukiman

Mirip dengan beberapa kota lain di Indonesia, di Ambon juga terdapat daerah-

daerah yang menunjukan toponim dari karakter sejarah daerah tersebut.

Daerah ‟Mardika‟ yang masih ada hingga saat ini dulunya merupakan daerah yang dihuni

kelompok masyarakat ‟Mahardika‟ yaitu golongan budak masa Portugis dan awal masa

VOC. Saat ini daerah Mardika sering disebut juga dengan ‟Halong Mardika‟ karena

dulunya memang di dekat lokasi orang-orang Mahardika memang terdapat lokasi yagn

juga dihuni oleh orang-orang dari negeri Halong. Daerah ‟Soya Kecil‟ juga sudah muncul

sejak abad ke-17 yang merupakan wilayah yang dihuni oleh orang-orang Soya ketika

melakukan ‟heerendiensten‟ (kerja wajib untuk setiap negeri). Hal yang sama berlaku

untuk daerah ‟Soa Ema‟ juga merupakan toponim untuk wilayah yang dihuni oleh orang-

orang dari Ema ketika melakukan ‟Kwartodiensten‟.

Selain lokasi-lokasi di atas sebenarnya masih banyak lokasi-lokasi lain yang

merupakan bagian sejarah perkembangan kota Ambon. Kendalanya adalah, hanya lokasi-

lokasi di atas yang secara arkeologis masih dapat dilacak saat ini. Sehingga secara

arkeologis dapat dipertanggungjawabkan pula. Telah disebutkan bahwa saat Perang

Dunia ke-2 Kota Ambon dibom sekutu hingga rata dengan tanah, termasuk

menghancurkan semua bangunan tinggalan kolonial yang ada saat itu. Kecuali benteng

Victoria yang masih berdiri hingga saat ini. Faktor lainnya adalah seringnya terjadi

gempa besar sehingga merusak sebagian besar bangunan yang ada masa itu antara lain

gempa besar tahun 1674 dan 1754.

Beberapa informasi sejarah lain juga menjadi pelengkap gambaran tata kota

Ambon masa awal. Jalan Pattimura (Heerenstraat) sejak dulu merupakan jalan utama dan

di sisi kiri kanannya banyak berdiri gedung-gedung utama pemerintah. Pada masa

Portugis juga pernah dibangun rumah Sakit Misiricordia yang kemudian diruntuhkan

karena rapuh. Gubernur jenderal Arnold de Vlaming van Oudshoorn (1647-1650)

membangun sebuah rumah sakit lagi di Burgerstraat saat itu. Setelah dibangun rumah

Page 12: Perdagangan dan Pemukiman

12

sakit baru, rumah sakit lama kemudian dijadikan kantor pengadilan, ‟Raad van Jutitie‟

(pengadilan untuk pegawai VOC dan Warga Kota) dan Landraad (Pegadilan untuk

penduduk negeri). Sekitar abad ke-18 juga telah dibangun ‟Stadhuis‟ (Balai Kota) yang

kemudian diubah juga menjadi gedung landraad.

Berdasarkan data yang diuraikan diatas, kita dapat melihat perkembangan

permukiman kota akibat pengaruh Kolonial. Persentuhan masyarakat lokal dengan pihak

Kolonial ditengah aktifitas perdagangan yang pesat memicu mobilitas sosial masyarkat

semakin tinggi. Toponim-topnim permukiman penduduk lokal juga semakin menyebar,

yang disebabkan oleh pengaruh mobilitas kerja masyarakat pribumi. Selain itu, di Ambon

interaksi dengan penduduk luar terutama kelompok Bugis Maksssar sudah dicatat sejak

Abad ke-17. Mereka ini umumnya termasuk dalam kelompok pribumi yang berasal dari

berbagai pelosok Nusantara dan menetap di Ambon. Orang-orang Makassar masa itu

tercatat sebagai kelompok pribumi yang memiliki modal, dan karena itu sering ditunjuk

sebagai pimpinan kelompok migran lokal oleh pemerintah VOC. ( Tim Penyusun 2004,

dalam Ririmasse 2006). Tentu saja, hal ini berdampak pada pesatnya pertumbuhan kota

sejurus pula dengan perkembangan permukiman penduduk. Strukutur jalan kota dan

pasar sebagai pusat transaksi jual beli, menandai pesatnya sebuah pertumbuhan penduduk.

Dengan demikian pada masa penguasaan Belanda, mobilitas penduduk semakin besar,

hal ini juga disebabkan oleh pesatnya laju perdagangan di bawah penguasaan kolonial.

Di Pulau Saparua, tampaknya Kota Saparua, yang kini menjadi ibukota

Kecamatan merupakan pusat kota kolonial di pulau ini. Kota Saparua pada masa

penguasaan Belanda, merupakan pusat pemerintahan Kolonial. Benteng Duurstede,

merupakan benteng terbesar dan termegah yang dibangun Belanda di pulau ini. Kegiatan

dalam benteng dapat diidentifikasi dengan adanya beberapa sisa bangunan turutan di

dalam benteng. Tata kota Saparua, merupakan tipikal kota Kolonial, meskipun tidak

sebesar Kota Ambon. Beberapa indikator kota kolonial, misalnya dapat diidentifikasi

antara lain oleh keberadaan benteng, lapangan di depan benteng, tugu kolonial di

samping lapangan dan beberapa bangunan-bangunan lain di luar benteng berciri kolonial.

Tidak menutup kemungkinan, jaringan jalan yang ada di kota Saparua saat ini,

merupakan perkembangan dari jaringan jalan yang dibuat Belanda pada masa lalu.

Benteng dan bangunan-bangunan lain di luar benteng di Kota Saparua, mengindikasikan

Page 13: Perdagangan dan Pemukiman

13

adanya kegiatan pemerintahan dan perekonomian yang dipusatkan di Kota Saparua oleh

pemerintahan Belanda.

Monopoli Perdagangan, Pertahanan dan Penempatan Perbentengan

Daya tarik rempah-rempah yang dihasilkan oleh dunia Timur yang kemudian

mengundang kedatangan bangsa Eropa ke nusantara untuk memperoleh rempah-rempah

langsung dari tangan pertama. Usaha tersebut kemudian berhasil dengan dikuasainya

pusat perdagangan di Selat Malaka oleh Bangsa Portugis pada tahun 1511. Dan pada

tahun berikutnya, kapal-kapal Portugis telah tiba di bandar-bandar Maluku (Djafaar,

2006:18). Hasrat ini kemudian telah mempengaruhi hubungan internasional antar bangsa

dan menjadi faktor utama perjalanan sejarah dunia sekitar abad XV hingga XX.

Berlangsungnya kolonisasi di negara Asia dan Afrika yang dulunya terdiri dari kerajaan-

kerajaan lokal menjadi salah satu buktinya. Dengan tujuan awal ekonomi, orang-orang

Eropa hanya menempatkan wakil perdagangannya di wilayah-wilayah penghasil

komoditi yang dibutuhkan. Akan tetapi, melihat keuntungan yang diperoleh dalam

perdagangan rempah-rempah yang besar maka penguasaan atas wilayah penghasil

komoditi tersebut menjadi keharusan. Hal inilah yang menjadi faktor utama

pembangunan benteng-benteng pertahanan di wilayah-wilayah yang dianggap penting.

(Mansyur, 2006).

Pembangunan benteng-benteng tersebutlah yang kemudian menjadi faktor

pendukung keberhasilan bangsa kolonial menguasai nusantara. Dengan menerapkan

strategi dan sistem pertahanan pada awal pendudukannya di setiap daerah yang mereka

anggap penting atau menguntungkan maka penguasaan tersebut dapat berlangsung

selama berabad-abad. Abbas (2005), menyebutkan bahwa faktor-faktor yang melatari

pemilihan lokasi pendirian sebuah benteng diantaranya:

1. Pentingnya suatu daerah pada masa pendirian benteng (misalnya potensi tempat

itu untuk dijadikan pusat perdagangan, adanya suplai produksi yang dibutuhkan,

dan potensi untuk digunakan sebagai pusat pemerintahan lokal).

2. Ancaman atau penolakan yang dihadapi (misalnya ancaman eksternal dari orang-

orang asing atau ancaman internal dari penguasa setempat).

Page 14: Perdagangan dan Pemukiman

14

3. Strategi yang diterapkan dalam upayanya menaklukkan suatu wilayah tertentu

untuk perluasan kekuasaan.

Benteng-benteng yang dibangun oleh bangsa Eropa khususnya Belanda dalam

usaha memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Selain itu, fokus terhadap

Belanda (termasuk VOC) dalam hal ini tidak lain dimaksudkan karena dalam perebutan

diantara negara-negara Eropa yang menginginkan penguasaan terhadap wilayah ini,

dianggap yang berhasil. Sementara itu kurun waktu selama abad XVII hingga abad XIX

merupakan perjalanan waktu yang cukup panjang dalam usaha tersebut. Dalam kurun

waktu tersebutlah bangsa Eropa membangun benteng-benteng pertahanan di Maluku

(Mansyur, 2006)

Pada masa Kolonial Belanda, masa di mana perubahan politik, sosial, ekonomi di

Maluku terjadi secara besar-besaran. Setelah hampir seluruh wilayah di Maluku bertaut

dengan budaya Islam, dalam waktu relatif cepat pengaruh Kolonial merangsek pesat

mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat Maluku. Praktis hegemoni Kolonioal

Belanda di Maluku sangat besar, baik secara politik, ekonomi, sosial maupun ideologi.

Namun demikian, proses itu bukan berarti mudah. Perlawanan terhadap penjajah Belanda

hampir dikobarkan di seluruh kepulauan Maluku. Perang demi perang berlangsung.

Segala taktik perang dilancarkan. Berbagai senjata perang di pertontonkan di medan laga.

Bukti-bukti arkeologis soal itu juga sangat berlimpah. Pada hampir seluruh situs Kolonial

di Maluku, kita bisa dapatkan benteng-benteng pertahanan berikut meriam-meriam di

lokasi sekitarnya.(Handoko:2006a)

Secara kronologis sistem pertahanan pada abad XVI didominasi oleh Portugis

dengan membangun 3 benteng pertahanan diantaranya pada tahun 1512, 1532 dan 1640

di Ternate. Sementara Belanda memutuskan untuk mulai membangun sistem

pertahanannya di Ambon dengan membangun benteng pada tahun 1599. Sistem

pertahanan yang kuat dibangun oleh Portugis sebagai langkah antisipasi terhadap

serangan pesaingnya sesama bangsa Eropa di Ternate. Sementara itu, persaingan antara

Ternate yang didukung oleh Portugis dan Tidore yang didukung oleh Spayol memberi

andil cukup besar dalam sistem pertahanan yang dibangun di wilayah ini. Di pihak lain,

Belanda yang memperkuat pertahanannya di bagian selatan terutama Ambon dan Banda

berebut pengaruh dengan Inggris. Akan tetapi, beberapa perubahan politik antara Belanda

Page 15: Perdagangan dan Pemukiman

15

dan Inggris menyebabkan kedua negara ini mengadakan perjanjian rahasia untuk

memaksa Portugis dan Spayol hengkang dari wilayah ini. Perjanjian pada tanggal 17 Juli

1619 itu berisi tentang pembagian pembiayaan untuk “proyek” tersebut, East India

Company (Inggris) menyediakan sepertiga dari tenaga manusia, biaya dan kapal

sedangkan Vereenigde Oost Indische (Belanda) menyediakan dua pertiga sisanya (Hanna,

1983:49).

Mansyur (2006) membagi (tiga) fase sejarah penguasaan VOC dan pemerintah

Belanda atas berbagai wilayah di Maluku, yaitu:

1. Pada awal kedatangannya VOC pada saat itu hanya menempatkan wakil-wakil

perdagangannya diberbagai wilayah di Maluku. Hal ini karena pada awalnya mereka

datang dengan tujuan perdagangan.

2. Fase selanjutnya dengan tujuan memonopoli perdagangan rempah-rempah dan

berbagai komoditi lainnya. Mereka kemudian membangun benteng-benteng

pertahanan untuk meredam perlawanan penguasa-penguasa lokal dan memenangkan

persaingan dengan pedagang-pedagang asing lainnya. Pada masa ini, mereka

mengatur berbagai urusan perdagangan dan hal-hal lainnya di dalam benteng

(kehidupan intra muros).

3. Dan fase terakhir berlangsung setelah keadaan mulai kondusif dan perlawanan-

perlawanan rakyat Maluku berhasil diredam. Fase ini juga ditandai dengan

pembangunan berbagai fasilitas di luar benteng oleh Pemerintah Belanda. Dengan

adanya berbagai fasilitas ini maka kehidupan kota kolonial telah dimulai. Kota-kota

yang ada di Maluku seperti Ambon, Banda, Ternate, dan Tidore bahkan kota-kota

kecil memperlihatkan hal ini. Tidak hanya itu, perusahaan-perusahaan swasta bahkan

diberikan hak oleh Pemerintah Belanda untuk mengelola perkebunan-perkebunannya.

Faktor lain yang menyebabkan keleluasaan Pemerintah Belanda di nusantara pada

umumnya adalah dengan adanya perjanjian antara negara kolonial di Eropa yang

memberikan “jatah” penguasaan di wilayah ini.

Dengan demikian, sistem pertahanan di Maluku pada abad XVII hingga XIX,

perlu dikaji sebagai usaha pemahaman terhadap sejarah tidak hanya sejarah Maluku

tetapi juga sejarah bangsa Indonesia. Selama kurun waktu tersebut perebutan wilayah

penghasil rempah-rempah terbesar di dunia tidak hanya melibatkan pedagang nusantara

Page 16: Perdagangan dan Pemukiman

16

dan pedagang-pedagang Eropa tetapi juga pedagang dari negara lain seperti Cina dan

Arab.

Pulau Ambon dan Saparua, sebagai obyek studi merupakan daerah penting

sebagai salah satu sentra penghasil komoditi cengkeh. Di Pulau Ambon dan wilayah Kota

Ambon tercatat Belanda setidaknya membangun 7 benteng pertahanan, sementara di

Saparua ada 4 benteng pertanahanan, yakni Ouw, Delf, Hollandia dan Duurstede di kota

Saparua, sebagai pusat pemerintahan kolonial pada masa itu. Hasil survei tim

memperoleh data bahwa, keletakan benteng di wilayah Ambon dan Saparua, terletak di

pesisir. Keletakan benteng di daerah pesisir memberikan asumsi bahwa fungsi benteng

dengan strategi dan taktik perang maritim. Profil wilayah Maluku yang merupakan

wilayah Kepulauan sangat tepat dengan strategi ini (Mansyur, 2006). Selain itu lokasi

benteng yang berdekatan dengan pantai mempermudah mobilitas barang dan manusia

dari dalam benteng menuju kapal. Alasan ini dengan pertimbangan bahwa lokasi benteng

berjarak relatif dekat dengan bibir pantai tentu sangat efisien dan ekonomis dalam proses

pengangkutan barang dan komoditi perdagangan dari dalam benteng ke kapal. Alasan ini

berlaku dengan catatan, opsi pemilihan lokasi berada di tangan orang-orang Eropa, atau

bila memang ada penguasa lokal masa itu, maka dapat diasumsikan orang-orang Eropa

sudah mendapat otorisasi dari penguasa lokal untuk menggunakan lokasi dimaksud

sebagai benteng.Kemungkinan kedua tentang pemilihan lokasi benteng adalah penguasa

lokal di masa itu memberikan pembatasan kepada pihak Belanda dalam mendirikan

benteng hanya bisa di lokasi pesisir (Ririmasse, 2006b)

Pada abad ke-17, sistem pertahanan didominasi oleh Belanda dengan membangun

22 benteng pertahanan. Daerah-daerah yang diperkuat oleh Belanda pada saat itu yaitu

pulau Ambon sebagai pusat aktifitas perdagangan dan pemerintahan dengan membangun

6 benteng pertahanan. Sebagian besar dari benteng tersebut ditempatkan di Hitu dengan

membangun 4 kubu pertahanan untuk meredam perlawanan rakyat Hitu (Mansyur, 2006)

Dibangunnya banyak benteng di wilayah Hitu kemungkinan berhubungan dengan posisi

dan peran Hitu dalam rantai perdagangan rempah. Schrieke (1963) menuliskan Pulau

Ambon, terutama Hitu, berperan sebagai suplay station perjalanan rempah-rempah

(cengkeh dan pala) antara Banda dan Ternate (Schireke, 1963 dalam Putuhena, 2001:64).

Pada abad 15 M, pengaruh Islam di tanah Hitu menyebar hingga ke Saparua tepatnya

Page 17: Perdagangan dan Pemukiman

17

kerajaan Iha (Syaranamual dan Pattikayhatu, 1997:30). Tak hanya sebagai pusat

penyebaran Islam, Kerajaan Hitu bahkan juga menjadi pelabuhan niaga yang penting

pada masa itu. Para pelaut dan pedagang dari seluruh kepulauan Nusantara dan Asia

Tenggara berdatangan dan menyinggahi Kerajaan Hitu.

Lebih dari itu, Hitu bahkan tercatat sebagai pusat niaga di wilayah Kepulauan

Maluku, mekipun gerak perdagangan di mulai dari Ternate. Hal ini seperti yang

diungkapkan R. Moh Ali (1963):gerak niaga dimulai di Ternate dan memusat di Hitu

(Ambon), setelah melalui bandar Gresik, Tuban, Jepara, Demak dan memusat lagi di

Malaka dan berpadu dengan niaga international. Hitu dapat memusatkan seluruh hidup

niaga Maluku dalam gerak ambil rempah-rempah dan seluruh gerak tekstil, beras,

perhiasan, senjata. Serentak dengan gerak itu agama Islam meluas di Maluku melalui

saluran perdagangan (R. Moh Ali, 1963:106-107 dalam Syaranamual dan Pattikayhatu,

1997:31)

Keterangan di atas sangat jelas memaparkan, bersamaan dengan puncak

berkembangnya Islam, seiring itu pula perdagangan juga semakin berkembang di

Kerajaan Hitu. Dengan jelas pula disebutkan, bahwa Hitu (Ambon) merupakan salah satu

pusat niaga di kepulauan Maluku.

Di Saparua, dibangun 4 kubu pertahanan diantaranya, benteng Duurstede pada

tahun 1690/1691, Hollandia pada tahun 1690, dan Hollandia dan Ouw. Salah satu

benteng tersebut menjadi kubu pertahanan dalam perang besar Belanda meredam

perlawanan rakyat Maluku dibawah kepemimpinan Kapitan Pattimura. Penempatan

Benteng itu pada umumnya di wilayah-wilayah pesisir bagian selatan Pulau Saparua.

Secara geografis, hal itu kemungkinan letaknya yang lebih mudah untuk pengawasan

distribusi cengkeh keluar dan masuk ke wilayah itu. Hal itu karena secara geografis

wilayah itu berhadapan langsung dengan Laut Banda di sebelah selatan, yang

kemungkinan digunakan sebagai jalur pendstribusian rempah dari wilayah sebelah

selatan Pulau Saparua. Secara geografis pesisir selatan Pulau Saparua juga lebih mudah

menjangkau wilayah pulau Liannya seperti Pula Ambon, haruku dan Nusa Laut.

Ambon dan Saparua merupakan dua dari beberapa wilayah strategis di Kepulauan

Maluku bagian selatan. Ambon dan Saparua merupakan salah satu sentra penghasil

cengkeh, maka wajar jika dikedua Pulau tersebut intensitas penguasaan Belanda

Page 18: Perdagangan dan Pemukiman

18

diperketat dengan pendirian benteng-benteng pertahanan. Pendirian benteng selain

pertahanan untuk mengantisipasi perlawanan penguasa dan masyarakat lokal, juga

sebagai medium pertahanan dalam persaingannya dengan pihak Eropa lainnya. Tak kalah

pentingnya, pendirian benteng juga sebagai pusat pemerintahan, sekaligus sebagai

medium untuk mengontrol atau mengawasi kegiatan perekonomian dalam hal ini

produksi dan distribusi produk lokal (cengkeh). Pulau Saparua, sebagai penghasil

cengkeh terbesar setelah di Kepualuan Lease, kemungkinan memasok cengkeh-cengkeh

dari setiap desa di wilayah Pulau itu, kemudian mendistribusikannya ke Kota Saparua,

untuk selanjutnya diseberangkan ke Kota Ambon sebagai pusat perdagangan cengkeh

Selain, membangun sistem pertahanan yang kuat dan maju, untuk menguasai

perdagangan rempah terutama cengkeh dan pala, Belanda juga melancarkan strategi yang

sistematis terhadap pola pengusaan lahan dan kebun cengkeh masyarakat lokal. Secara

sistematis, Belanda berupaya mengintervensi sistem aturan kepemilikan lahan cengkeh

milik masyarakat. Sebagai indikator adalah adanya sistem penguasaan Tanah Datti yang

merupakan sistem kebijakan penguasaan tanah yang dicetuskan oleh pemerintah Belanda.

Pada Tahun 1824, penguasaan tanah datti muncul disamping pemilikan lahan

berdasarkan aturan tanah pusaka. Belum diketahui jelas, apa keuntungan Belanda pada

penerapan kebijakan ini. Namun sejak adanya sistem tanah dati, maka pemilik (biasanya

seorang perempuan) dari marga tertentu, tidak berhak lagi memperoleh hasil lahan ketika

menikah dengan marga lain. Kemungkinan keuntungan Belanda adalah memperkecil

ruang kepemilikan lahan oleh marga, sehingga pihak Belanda akan lebih mudah

menguasai tanah atau lahan cengkeh masyarakat.

Penutup

Tak dapat dipungkiri perdagangan rempah-rempah sebagai komoditi utama di

wilayah Kepulauan Maluku, merupakan roda penggerak terhadap berbagai bentuk

perubahan masyarakatnya. Perdagangan rempah-rempah terbukti menjadi daya tarik

pihak kiolonial untuk berbondong-bondong mendudukui wilayah ini. Di lingkup internal

pribumi (masyarkat Maluku sendiri), juga dapat dianggap sebagai salah satu faktor

pemicu berkembangnya tatanan sosial penduduk. Mobilitas penduduk salah satunya

dipicu oleh perdagangan rempah yang semakin pesat. Perdagangan rempah yang semakin

Page 19: Perdagangan dan Pemukiman

19

pesat menimbulkan hadirnya berbagai komunitas penduduk baik pihak Kolonial sendiri

maupun masyarakat lokal serta masyarakat dari pulau lainnya di Nusantara untuk

membentuk kawasan-kawsan pemukiman yang tentu saja memicu pesatnya

perkembangan pemukiman menuju tata ruang kota yang lebih kompleks. Banyaknya

pembahasan tentang pweeerkembangan pemukiman dan perkembangan kota, namun

melupkan jakian perdagangan, apalagi di wilayah Maluku, sehingga tulisan ini

diharapkan dapat menambah kajian dan perluasan gagasan untuk pendalaman kajian

pemukiman dan perkembangan tata ruang kota.

Pesatnya perdagangan rempah-rempah, telah menimbulkna berbagai bentuk

persaingan antar beberapa pihak kolonial untuk dapat memonopoli perdagangan. Tentu

saja kajian perdagangan ini juga dapat menjadi bahan untuk perluasan kajian tentang

berbagai strategi pertahanan dalam upaya monopoli perdagangan.Dapat disimpulkan

maraknya pembangunan atau pendirian benteng-benteng pertahanan seiring dengan

pesatnya laju perdgangan.

Pendirian benteng selain pertahanan untuk mengantisipasi perlawanan penguasa

dan masyarakat lokal, juga sebagai medium pertahanan dalam persaingannya dengan

pihak Eropa lainnya. Tak kalah pentingnya, pendirian benteng juga sebagai pusat

pemerintahan, sekaligus sebagai medium untuk mengontrol atau mengawasi kegiatan

perekonomian dalam hal ini produksi dan distribusi produk lokal (cengkeh). Selain,

membangun sistem pertahanan yang kuat dan maju, untuk menguasai perdagangan

rempah terutama cengkeh dan pala, Belanda juga melancarkan strategi yang sistematis

terhadap pola pengusaan lahan dan kebun cengkeh masyarakat lokal. Secara sistematis,

Belanda berupaya mengintervensi sistem aturan kepemilikan lahan cengkeh milik

masyarakat.

Page 20: Perdagangan dan Pemukiman

20

Daftar Pustaka

Hanna, W.A, 1983 Kepulauan Banda dan Akibatnya di Kepulauan Pala. PT.

Gramedia. Jakarta

Handoko, Wuri 2006a Meriam Nusantara dari Negeri Elpa Putih: Tinjauan Awal atas

Tipe, Fungsi dan Daerah Asal. Kapata Arkeologi. Vol 2 Nomor 2 Juli 2006.

Balai Arkeologi Ambon.

...........................2006b Periode Awal Kerajaan Hitu Hingga Masa Surutnya.Retrospeksi

Arkeologi Sejarah. Kapata Arkeologi. Vol 2 Nomor 3 November 2006. Balai

Arkeologi Ambon.

........................, 2006c Mitos Sahulau dan Pengungkapan Data Arkeologis. Berita

Penelitian Arkeoologi (BPA) Vol. 2 Nomor 1 Juli 2006. Balai Arkeologi Ambon

Jafaar, I.A 2006. Jejak Portugis di Maluku Utara. Penerbit Ombak. Yogyakarta

Abbas, 2005, “Sistem Pertahanan di Batavia Abad XVII-XVIII”, Dalam Pertemuan

Ilmiah Arkeologi VII. Jakarta: Proyek Penelitian Arkeologi Jakarta, 1998-1999

Lapian, A.B Ternate sekitar Pertengahan Abad ke- 16 dalam Ternate : Bandar jalur

Sutera. M.J Abdurrahman (ed). Ternate: LinTas (Lembaga Informasi dan

Transformasi Sosial

Mardai, Gadis (30 January 1999). "Ambon rioting leaves 100 dead in Indonesia". World

Socialist Website. Retrieved on 2007-01-10.

Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia Since c.1300, 2nd Edition.

London: MacMillan

Mansyur, Syahruddin, 2006 Sistem Pertahanan Kolonial di Maluku Abad XVI-XIX.

Kapata Arkeologi. Vol 2 No. 3 November 2006. Balai Arkeologi Ambon

Page 21: Perdagangan dan Pemukiman

21

Putuhena, Saleh 2001 Proses perluasan Agama Islam di Maluku Utara dalam Ternate:

Bandar jalur Sutera. M.J Abdurrahman, et.al (ed). Ternate. LinTas (Lembaga

Informasi dan Transformasi Sosial)

Ririmasse NR Marlon 2006a Aspek-Aspek Kronologi Arkeologi Kolonial di Pulau Kisar.

Berita Penelitian Arkeologi. Vol. 2 Nomor 2 Juli 2006. Balai Arkeologi Ambon

........................, 2006b Tata Kota Ambon Abad XVI-XVIII. Kapata Arkeologi Vol.2

Nomr 2 Juli 2006. Balai Arkeologi Ambon.

Sahusilawane, Florence 1996, Laporan Penelitian Arkeologi Islam Maluku di

Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Balai Arkeologi Ambon.

www. wikipedia.com. The free encyclopedia