bab iv
DESCRIPTION
hegdshjtjyrjTRANSCRIPT
BAB IV
KAITAN PANDANGAN ANTARA ILMU KEDOKTERAN DAN AGAMA
ISLAM TERHADAP INTRAVITALITAS LUKA TUSUK DENGAN
PEMERIKSAAN MIKROSKOPIK FVIIIra, CD15, DAN TRYPTASE
Berdasarkan uraian di atas, didapatkan kaitan antara pandangan Ilmu Kedokteran
dan Agama Islam, yaitu sebagai berikut:
Menurut kedokteran, memaparkan pengetahuan mengenai intravitalitas luka tusuk
yang dialami oleh korban luka tusuk dapat diperoleh dengan mengamati perubahan
mikroskopik FVIIIra, CD15, dan tryptase yang terkandung dalam intravital tubuh
mayat. Spesimen yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan tersebut dengan
cara menyayatan dari tubuh mayat yang terdapat luka tusuk dan telah diformalin
selama ± 48 jam. Sayatan terbaik pada tubuh mayat diambil di bagian dada.
Penyayatan untuk sampel diambil sedalam 2 cm. Sampel yang dibutuhkan untuk
setiap luka tusuk pada tubuh mayat adalah 4 sampel, yaitu sebagai kontrol, standar,
pembusukan, dan autolisis. Sampel kontrol disayat pada bagian seberang dari luka
tusuk, sehingga sampel kontrol berbeda dengan sampel lainnya. Setiap sayatan
dilakukan penyatan-penyatan lebih tipis lagi, dimulai dari superfisial dermis sampai
subkutan jaringan lemak. Selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan mikroskopik
dengan paraffin 5 µm agar dapat memperlihatkan FVIIIra, CD15, dan tryptase pada
setiap sampel yang diperiksa.
44
Menurut pandangan agama Islam, asal hukum bedah mayat adalah haram, karena
tindakan tersebut berarti menistakan manusia yang sangat dimuliakan Allah SWT,
karena dalam masalah organ manusia yang diambil untuk kepentingan penelitian,
bahkan pada mayat yang sudah dikubur dilakukan penggalian kembali yang mana
akan mengganggu ketentraman mayat itu sendiri. Ulama yang mengharamkan yaitu
Syekh Muhammad Bukhait Al-Muthi’i Al-Arabi Bu’iyad Al Thabkhi, Syekh
Muhammad Burhan Al-Din Al-Sambuhli, dll. Dalil-dalil yang digunakan antara lain
ayat al Quran yang mengharuskan menghormati Bani Adam dan hadits tentang
larangan mematahkan tulang belulang mayat. Oleh kelompok tersebut, ayat dan
hadits tersebut dimaknai secara hakiki, sehingga kecenderungan pendapatnya kepada
pengharaman karena zatnya. Namun untuk tujuan kemaslahatan yang lebih luas,
ulama Asy-Syinqiti cenderung menghalalkan bedah mayat karena didasari atas
darurat dan satu-satunya cara saat ini yang mampu untuk menentukan dan menjawab
kebutuhan, untuk keilmuan, untuk keadilan dalam pengadilan dalam menentukan
sebuah kebenaran. Berdasarkan pendapat ulama klasik tentang bedah mayat, hal
tersebut sesuai dengan larangan dalam hadits yang melarang memecahkan tulang
belulang mayat karena sama haramnya dengan mematahkan tulang manusia hidup
namun untuk tujuan kemaslahatan umat, ulama cenderung membolehkan bedah
mayat, seperti dijelaskan oleh sebagian pendapat ulama klasik yang lainnya dan
ulama kontemporer. Tindakan ini dilakukan untuk membuktikan suatu kebenaran
pada peristiwa yang masih diragukan kebenarannya. Telah dijelaskan pada surat An-
Nisa’(4): 58, bedah mayat untuk membuktikan kebenaran suatu fakta juga dapat
dibenarkan, sebab alat bukti merupakan salah satu unsur perkara pengadilan yang
dibenarkan menurut syarak. Ketidakbolehan mematahkan tulang sebagai mana
45
dimaksudkan dalam hadits dimaksudkan jika tidak ada tujuan yang bermanfaat
namun demikian, dalam batasan darurat. Dikatakan dharurat jika satu-satunya
metode ini yang terbaik saat ini untuk dijadikan acuan kebenaran. Namun jika suatu
saat nanti ditemukan metode lain yang lebih baik dimana tidak perlu dilakukan
penyayatan pada tubuh korban luka tusuk untuk sampel penelitin, maka metode ini
dianggap gugur dalam hukum daruratnya, sehingga hukumnya menjadi haram.
Alasan darurat ini menolak mafsadah lebih didahulukan dari pada menarik maslahah,
dan lebih mendahulukan kepentingan orang hidup dari pada kemaslahatan mayat.
Karena kebolehannya semata-mata darurat, maka dalam praktik penelitian ini,
pembedahan mayat harus dilakukan hanya sebatas yang diperlukan, tidak berlebihan,
dan tetap dalam koridor menghormatinya. Setelah selesai, jika jenazahnya muslim,
kewajiban bagi orang muslim adalah merawat sesuai dengan ketetapan dan batasan
syairat Islam, seperti memandikan, mengafani, menyembahyangkan,
menguburkannya. Jika jenazah non-muslim, maka di kafani dan dikuburkan saja.
Kedokteran dan Islam sependapat bahwa pembedahan mayat yang ditujukan
dalam memenuhi kebutuhan pemeriksaan FVIIIra, CD15, dan tryptase dengan cara
menyayat korban luka tusuk untuk mencari kebenaran yang belum terungkap dengan
melakukan percobaan dalam berbagai hal tentang ilmu kedokteran guna penyidikan
sebab-sebab kematian manusia yang dirasakan tidak wajar dengan membedah dan
meneliti bagian tubuh mayat tersebut dimana kebolehannya semata-mata darurat,
maka dalam praktik penelitian ini, pembedahan mayat harus dilakukan hanya sebatas
yang diperlukan, dan tidak berlebihan.
46