bab iv
DESCRIPTION
PEMBAHASANTRANSCRIPT
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1Sejarah Puskesmas
Puskesmas Simpur berdiri sejak tahun 1958
dengan wilayah kerja 11 kelurahan dan 4 Puskesmas
pembantu, berlokasi di JL. Kartini No. 24 Kel. Tanjung
Karang. Pada tahun 1970 pindah ke JL. Batu Sangkar No.
4 Kel. Kelapa Tiga dan tahun 1982 pindah lokasi ke JL.
Tamin No. 121 Kel. Kelapa Tiga dengan 2 Puskesmas
pembantu dan 6 kelurahan wilayah kerja, pada tahun
2009 Puskesmas Simpur berubah status menjadi
Puskesmas Rawat Inap Simpur dengan 4 kelurahan
wilayah kerja tanpa puskesmas pembantu dan pada
tahun 2013 menjadi 3 kelurahan wilayah kerja.
4.1.2Gambaran Wilayah Geografis dan Demografi
1. Gambaran Wilayah Geografis
Wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Simpur seluas
238 Ha dan mempunyai 3 Kelurahan di Kecamatan
Tanjungkarang Pusat, yaitu:
1. Kelurahan kelapa Tiga
2. Kelurahan Pasir Gintung
3. Kelurahan Kaliawi Persada
54
55
Batas wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Simpur :
1. Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kelurahan
Sidodadi Kec. Kedaton
2. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kelurahan
Duria Payung Kec. Tanjungkarang Pusat
3. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kelurahan Sk
dana Ham Kec. Tanjungkarang Barat
4. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kelurahan G.
Sari Kec. Enggal
Secara Topografi merupakan dataran rendah dan
berbukit dengan aliran kali/sungai kecil.
2. Demografi
Data jumlah penduduk, jumlah KK, jumlah rumah dan
luas wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Simpur
tahun 2014.
Tabel 4.1 Data Jumlah Penduduk, Jumlah KK, Jumlah Rumah dan Luas Wilayah Per kelurahan di Wilayah Kerja
Puskesmas Rawat Inap Simpur tahun 2014
No Kelurahan
Jumlah Pendudu
kJumlah Rumah
Jumlah KK
Luas Wilaya
h123
Kelapa TigaPasir Gintung
Kaliawi
13.0807.0325.278
1.3521.006783
3.0081.7061.891
67 Ha56 Ha15 Ha
56
PersadaJumlah 25.390 3.141 6.605 238 Ha
57
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1Hasil Penelitian Univariat
Merupakan hasil persentase jawaban dari
responden yang terdiri dari distribusi frekuensi
responden dengan pemilihan alat kontrasepsi,
dukungan suami, sikap dan penghasilan keluarga.
Tabel 4.2Usia responden peserta KB aktif di Puskesmas Simpur
Kota Bandar Lampung tahun 2014
Usia (tahun) Frequency Percent18 1 0,319 1 0,320 14 4,421 7 2,222 5 1,623 8 2,524 9 2,925 20 6,326 8 2,527 15 4,828 19 6,029 20 6,330 33 10,531 19 6,032 16 5,133 17 5,434 39 12,435 64 20,3
Total 315 100
Distribusi umur responden sebagian besar adalah
responden yang berusia 35tahun sebanyak 64 orang
(20,3%), sedangkan responden yang berusia 34 tahun
sebanyak 39 orang (12,4%), usia 30 tahun sebanyak 33
orang (10,5%), usia 29 dan 25 tahun masing – masing
58
sebanyak 20 orang (6,3%), usia 28 dan 31 tahun
sebanyak 19 orang (6%), usia 33 tahun sebanyak 17
(5,4%), usia 32 tahun sebanyak 16 orang (5,1%), usia
20 tahun sebanyak 14 orang (4,4%), usia 24 tahun
sebanyak 9 orang (2,9%), usia 26 tahun sebanyak 8
orang (2,5%), usia 21 tahun sebanyak 7 orang (2,2%),
dan usia 18 dan 19 tahun masing – masing sebanyak 1
orang (0,3%).
Tabel 4.3Tingkat Pendidikan pada Peserta KB Aktif di Puskesmas
Simpur Kota Bandar Lampung
Tahun 2014
Tingkat pendidikan Frequency PercentSMP 180 57,1SMA 135 42,9Total 315 100
Tingkat pendidikan responden menunjukan sebagian
besar berpendidikan SMP yaitu sebanyak 180 orang
(57,1%), dan yang berpendidikan SMA sebanyak 135
orang (42,9%)
Tabel 4.4Pekerjaan Istri pada Peserta KB Aktif di Puskesmas Simpur
Kota Bandar Lampung Tahun 2014
59
Pekerjaan Frequency Percentwiraswasta 15 4,8
pegawai negeri/swasta 3 1,0karyawan/buruh 14 4,4
tidak bekerja/IRT 283 89,8Total 315 100
Status pekerjaan ibu, sebagian besar tidak
bekerja/IRT yaitu sebanyak 283 orang (89,8%),
wiraswasta sebanyak 15 orang (4,8%), karyawan/buruh
sebanyak 14 orang (4,4%), dan pegawai negeri/swasta
sebanyak 3 orang (1%).
60
Tabel 4.5Alat Kontrasepsi yang Digunakan pada Peserta
KB Aktif di Wilayah Kerja Puskesmas Simpur
Tahun 2014
Alat kontrasepsi Frequency PercentPil 51 16,2
Suntik 205 65,1Kondom 14 4,4Implan 29 9,2
IUD 13 4,1MOW 3 1,0Total 315 100
Penggunaan alat kontrasepsi sebagian besar
menggunakan suntik yaitu sebanyak 205 orang (65,1%),
sedangkan pil diurutan kedua yaitu sebanyak 51 orang
(16,2%), sedangkan untuk alat kontrasepsi implant
sebesar 9,2%, kondom 4,4%, IUD 4,1% dan MOW 1%.
Table 4.6Metode Kontrasepsi yang Digunakan Responden
pada Peserta KB Aktif di Puskesmas Simpur Kota Bandar Lampung Tahun 2014
Metode kontrasepsi Frequency Percentnon mkjp 270 85,7
MKJP 45 14,3Total 315 100
Proporsi responden yang menggunakan kontrasepsi
non jangka panjang sebanyak 270 orang ( 85,7%), dan
yang menggunakan kontrasepsi jangka panjang
sebanyak 45 orang (14,3%).
61
Tabel 4.7Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan
pada Peserta KB Aktif di Puskesmas Simpur Kota Bandar Lampung Tahun 2014
Tingkat pengetahuan Frequency Percentrendah 149 47,3tinggi 166 52,7Total 315 100
Proporsi pengetahuan ibu tentang MKJP sebagian
responden berpengetahuan tinggi yaitu sebanyak 166
orang (52,7%) sementara yang berpengetahuan rendah
sebanyak 149 orang (47,3%).
Tabel 4.8Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Suami
pada Peserta KB Aktif di Puskesmas Simpur Kota Bandar Lampung Tahun 2014
Dukungan suami Frequency Percentkurang mendukung 114 36,2
mendukung 201 63,8Total 315 100
Proporsi dukungan suami hampir merata. Responden
dengan dukungan suami yang kuat/mendukung
sebanyak 201 orang (63,8%) sementara untuk
dukungan suami yang lemah/kurang mendukung
sebanyak 114 orang (36,2%).
Tabel 4.9Distribusi Frekuensi Berdasarkan Sikap
Responden pada Peserta KB Aktif di Puskesmas Simpur
Kota Bandar Lampung Tahun 2014
62
Sikap Frequency Percentnegatif 156 49,5positif 159 50,5Total 315 100
Proporsi sikap ibu tentang MKJP sebagian besar
responden bersikap negative yaitu sebanyak 159 orang
(50,5%) sedangkan yang bersikap positif sebanyak 156
orang (49,5%).
Tabel 4.10Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Penghasilan Keluarga
pada Peserta KB Aktif di Puskesmas Simpur Kota Bandar Lampung Tahun 2014
Penghasilan keluarga Frequency PercentRendah 253 80,3Tinggi 62 19,7Total 315 100
Proporsi penghasilan keluarga yaitu sebanyak 253
orang (80,3%) berpenghasilan rendah sedangkan
sebanyak 62 orang (19,7%) berpenghasilan tinggi.
4.2.2Hasil Penelitian Bivariat
Tabel 4.11Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Pemilihan
Metode Kontrasepsi Jangka Panjang di Puskesmas Simpur Tahun 2014
Pengetahuan
Pemilihan MKJPTotal
P Valu
e
OR(CI
95%)
MKJP Non MKJP
n % n % n %Tinggi 135 90,
614 9,4 149 100
0, 2,214
(1,128 –
63
029 4,348)Rendah 134 81,
331 18,
7166 100
Total 270 85,7
45 14,3
315 100
Hasil analisa hubungan pengetahuan ibu tentang
metode kontrasepsi jangka panjang (MJKP) dengan
pemilihan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP)
diperoleh informasi bahwa responden yang
berpengetahuan tinggi yang menggunakan MKJP
sebesar 96,6% dan yang berpengetahuan tinggi
menggunakan non MKJP sebesar 9,4%. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p = 0,029 dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan secara signifikan
antara pengetahuan ibu tentang metode kontrasepsi
jangka panjang (MKJP) dengan pemilihan metode
kontrasepsi jangka panjang (MKJP) wanita. Uji statistik
juga diperoleh informasi nilai OR sebesar 2,2 artinya
responden yang pengetahuan tentang MKJP tinggi
memiliki peluang sebesar 2,2 kali lebih besar untuk
memilih menggunakan MKJP disbanding responden yang
pengetahuan tentang MJKP rendah dengan tingkat
kepercayaan 95% diyakini bahwa nilai OR berada
diantara 1, 128 – 4,348.
Dukungan Suami
Pemilihan MKJPTotal P
ValueMKJP Non
MKJP
64
n % n % n %Kurang
mendukung97 85,
117 14,
9114 100
0, 943mendukung 173 86,1
28 13,9
201 100
Total 270 85,7
45 14,3
315 100
Hasil analisa hubungan dukungan suami dengan pemilihan
metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) wanita diperoleh
informasi bahwa diantara responden yang dukungan suami
kuat/mendukung menggunakan MKJP sebesar 85,1% sedangkan yang
dukungan suaminya kuat/mendukung yang menggunakan non MKJP
sebesar 14,9%. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,943 dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan secara
signifikan antara dukungan suami dengan pemilihan metode
kontrasepsi jangka panjang (MKJP) wanita.
Sikap respond
en
Pemilihan MKJPTotal P
Value
OR(CI 95%)MKJP Non
MKJPn % n % n %
Negatif 143 91,7
13
8,3 156 100
0, 005
2,772(1,394 – 5,512)
Positif 127 79,9
32
20,1
159 100
Total 270 85,7
45
14,3
315 100
Hasil analisa hubungan sikap responden tentang
metode kontrasepsi jangka panjang (MJKP) dengan
pemilihan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP)
diperoleh informasi bahwa responden yang bersikap
negatif yang menggunakan MKJP sebesar 91,7% dan
65
yang bersikap negatif yang menggunakan non MKJP
sebesar 8,3%. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,005
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan secara signifikan antara sikap responden
terhadap metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP)
dengan pemilihan metode kontrasepsi jangka panjang
(MKJP) wanita. Uji statistik juga diperoleh informasi nilai
OR sebesar 2,7 artinya responden yang positif tentang
MKJP tinggi memiliki peluang sebesar 2,7 kali lebih
besar untuk memilih menggunakan MKJP dibanding
responden yang negatif tentang MJKP rendah dengan
tingkat kepercayaan 95% diyakini bahwa nilai OR
berada diantara 1, 354 – 5,512.
66
Penghasilan keluarga
Pemilihan MKJPTotal
P Value
MKJP Non MKJP
n % n % n %Rendah 219 86,6 34 13,
4253 100
0, 506Tinggi 51 82,3 11 17,
763 100
Total 270 85,7 45 14,3
315 100
Hasil analisa hubungan penghasilan keluarga dengan pemilihan
metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) wanita diperoleh
informasi bahwa diantara responden yang berpenghasilan rendah yang
menggunakan MKJP sebesar 86,6% sedangkan yang berpenghasilan
rendah menggunakan non MKJP sebesar 13,4%. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p = 0,506 dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
tidak ada hubungan secara signifikan antara dukungan suami dengan
pemilihan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) wanita.
4.3 Pembahasan
4.3.1 Univariat
4.3.1.1 Pemilihan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) wanita
hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang
menggunakan MKJP sebesar 14,3% sedangkan yang
menggunakan non MKJP sebesar 85,7% hasil penelitian ini
sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Fienalia A (2011) dengan judul “faktor – faktor yang
berhubungan dengan penggunaan metode kontrasepsi jangka
panjang (MJKP) di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas
67
Kota Depok tahun 2011” dengan hasil responden yang
menggunakan metodekontrasepsi jangka panjang sebesar 66,7%
dan yang menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang
sebesar 33,3%.
4.3.1.2 Pengetahuan tentang Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
(MKJP) hasil penelitian menunjukan bahwa responden dengan
pengetahuan tinggi sebesar 52,7% sedangkan yang
berpengetahuan rendah sebesar 47,3% hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Bernandus D, dkk (2012) dengan judul “Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi Dalam
Rahim (AKDR) Bagi Akseptor KB Di Puskesmas Jailolo”dengan
hasil responden dengan pengetahuan baik sebesar 56,3% dan
yang berpengetahuan kurang sebesar 43,8%.
4.3.1.3 Dukungan suami dengan pemilihan Metode Kontrasepsi Jangka
Panjang (MKJP) hasil penelitian menunjukan bahwa responden
dengan suami yang mendukung sebesar 63,8% sedangkan yang
kurang mendukung sebesar 36,2% hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Musdalifah,
dkk (2013) dengan judul “Faktor Yang Berhubungan Dengan
Pemilihan Kontrasepsi Hormonal Pasutri Di Wilayah Kerja
Puskesmas Lampa Kecamatan Duampanua Kabupaten Pinrang
2013” dengan hasil responden yang lebih banyak mendapat
68
dukungan dari suami sebesar 93,4% dan yang dukungannya
lemah sebesar 6,6%.
4.3.1.4 Penghasilan keluarga dengan pemilihan Metode Kontrasepsi
Jangka Panjang (MKJP) hasil penelitian menunjukan bahwa
responden dengan penghasilan rendah sebesar 80,3% sedangkan
yang penghasilan tinggi sebesar 19,7% hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wulandari I,
dkk (2013) dengan judul “Hubungan Tingkat Pendapatan
Keluarga Dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi Suntik” dengan
hasil responden yang hasil pendapatan keluarga tingkat atas atau
lebih besar 3 kali dari UMK sebesar 5,9% , mendapatan
menengah atau 2 kali dari UMK sebesar 29,4%, sedangkan yang
pendapatan bawah atau ≤ UMK sebesar 64,7%.
4.3.2 Bivariat
4.3.2.1 Analisis chi square diperoleh p value = 0,029 yang
berarti ada hubungan antara pengetahuan
dengan pemilihan Metode Kontrasepsi Jangka
Panjang (MKJP) wanita di Puskesmas Simpur Kota
Bandar Lampung tahun 2014 dengan p value < α
( 0,029 < 0,05).
Hasil perhitungan diatas juga didapat nilai
OR = 2,214 (1,128-4,348) yang berarti
pengetahuan yang tinggi berpeluang 2,2 kali lebih
69
besar untuk memilih menggunakan MKJP
dibandingkan dengan yang pengetahuan rendah.
Hasil ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Bernandus D, dkk
(2012) dengan judul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)
Bagi Akseptor KB Di Puskesmas Jailolo”dengan hasil
responden dengan pengetahuan baik sebesar 54 orang (56,3%)
dan yang berpengetahuan kurang sebesar 42 orang (43,8%).
yang berarti ada hubungan antara pengetahuan
dengan pemilihan AKDR bagi akseptor KB di
Puskesmas Jailolo dengan p value < α (0,026 <
0,05).
Hasil perhitungan diatas juga didapat nilai
OR = 2,971yang berarti pengetahuan yang
tinggi/baik 2,9 kali mempunyai peluang memilih
AKDR bagi akseptor KBdi Puskesmas Jailolo.
Dalam teori green (dalam Soekidjo 2010), bahwa
perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor
pengetahuan yang mempermudah seseorang
untuk menerima suatu objek dalam hal ini
pemilihan kontrasepsi. Pengetahuan merupakan hasil
dari tahu,dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2007).
70
Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai
hasil penggunaan panca inderanya, yang berbeda sekali dengan
kepercayaan (beliefs), takhayul (superstitions), dan penerangan
– penerangan yang keliru (misinformations) (Soekanto, 2006).
Sumber – sumber pengetahuan berupa ide, kenyataan, kegiatan
akal-budi, pengalaman, sintetis budi, atau meragukan karena
tak adanya sarana untuk mencapai pengetahuan yang pasti
( Soelaeman, 2006).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan
melihat hasil pengelolahan data tersebut menunjukkan bahwa
responden berpengetahuan tinggi dalam pemilihan metode
kontrasepsi sehingga kebanyakan responden memilih metode
kontrasepsi jangka panjang dalam memilih metode
kontrasepsi. Pengetahuan akseptor KB sangat erat kaitannya
terhadap pemilihan alat kontrasepsi, karena dengan adanya
pengetahuan yang tinggi terhadap metode kontrasepsi tertentu
akan merubah cara pandang akseptor dalam menentukan
kontrasepsi yang paling sesuai dan efektif digunakan sehingga
membuat pengguna KB lebih nyaman terhadap kontrasepsi
tersebut dan dengan pengetahuan yang tinggi dapat
menghindari kesalahan dalam pemilihan metode kontrasepsi
yang paling sesuai bagi pengguna itu sendiri. Berdasarkan
hasil wawancara peneliti dengan responden pada saat
penelitian, hal tersebut disebabkan karena responden tidak tahu
71
tentang KB selain yang digunakannya, walaupun responden
masih ada yang berpengetahuan rendah tetapi kebanyakan dari
mereka menggunakan metode kontrasepsi yang tidak efektif
(non MKJP) jadi tidak semua yang berpengetahuan tinggi tepat
dalam menggunakan metode kontrasepsi.
4.3.2.2 Analisis chi square diperoleh p value = 0,943
yang berarti tidak ada hubungan antara
dukungan suami dengan pemilihan Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) wanita di
Puskesmas Simpur Kota Bandar Lampung tahun
2014.
Dukungan sosial adalah suatu keadaan yang bermanfat bagi
individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya,
sehingga seseorang akan tahu bahwa ada orang lain yang
memperhatikan, menghargai dan mencintainya (Cohen dalam
Setiadi, 2008). Dukungan sosial keluarga adalah suatu proses
hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosial. Dalam
semua tahap, dukungan sosial keluarga menjadikan keluarga
mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal,
sehingga akan meningkatkan kesehatan dan adaptasi mereka
dalam kehidupan. Studi – studi tentang dukungan keluarga
telah mengkonseptualisasikan dukungan sosial sebagai koping
keluarga, baik dukungan – dukungan yang bersifat eksternal
maupun internal terbukti sangat bermanfaat. Dukungan sosial
72
keluarga eksternal antara lain sahabat, pekerjaan, tetangga,
sekolah, keluarga besar, kelompok sosial, kelompok rekreasi,
tempat ibadah, praktisi kesehatan. Dukungan sosial keluarga
internal antara lain dukungan dari suami atau istri, dari saudara
kandung, atau dukungan dari anak (Friedman dalam Setiadi,
2008). Dalam hal ini dukungan suami terhadap alat kontrasepsi
yang akan dipilih dan digunakan oleh istrinya.
Penelitian ini tidak mendukung penelitian
yang dilakukan oleh Musdalifah, dkk (2013) dengan judul
“Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemilihan Kontrasepsi
Hormonal Pasutri Di Wilayah Kerja Puskesmas Lampa
Kecamatan Duampanua Kabupaten Pinrang 2013”
Duampanua Kabupaten Pinrang tahun 2012. Hasil penelitian
menunjukkan ada hubungan antara dukungan suami dengan
pemilihan alat kontrasepsi dengan nilai p = 0,000.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Ayunda S (2013) menunjukan bahwa Hasil uji statistik
didapatkan nilai p value (0.099) berarti tidak ada hubungan
antara dukungan suami dengan pemilihan metode kontrasepsi
oleh PUS Di Desa
Peunyerat Kecamatan Banda Raya Banda Aceh.
Hal ini dimungkinkan karena berdasarkan wawancara
yang dilakukan terhadap responden kebanyakan dari mereka
mengatakan bahwa suami menyerahkan sepenuhnya kepada
73
responden tentang metode kontrasepsi apa yang akan mereka
gunakan, suami mendukung apa pun keputusan yang
responden ambil terkait dengan pemilihan metode kontrasepsi.
4.3.2.3 Analisis chi square pada df=1, α=0,05 diperoleh
Pvalue=0,005 yang berarti ada hubungan antara
sikap responden dengan pemilihan Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) wanita di
Puskesmas Simpur Kota Bandar Lampung tahun
2014 dengan p value < α (0,005 < 0,05).
Hasil perhitungan diatas juga didapat nilai
OR = 2,772 (1,394-5,512) yang berarti sikap
positif berpeluang 2,7 kali lebih besar untuk
memilih menggunakan MKJP dibandingkan
dengan yang sikap negatif.
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang
masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek
(Notoatmodjo, 2007). Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo,
2007. Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk
bertindak, dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu.
Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan
tetapi merupakan ‘pre-disposisi’ tindakan atau perilaku.sikap
itu masih merupakan reaksi tertutup, buka merupakan reaksi
terbuka. Sikap merupakan reaksi terhadap suatu objek di
lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.
74
Sikap (attitude) adalah istilah yang mencerminkan rasa senang,
tidak senang atau perasaan biasa – biasa saja (netral) dari
seseorang terhadap sesuatu. ‘Sesuatu’ itu bisa benda, kejadian
situasi, orang – orang atau kelompok. Kalau yang diambil
terhadap sesuatu itu adalah perasaan senang, maka disebut
sikap poritif, sedangkan kalau perasaan tidak senang, sikap
negatif. Kalau tidak timbul perasaan apa – apa berarti sikapnya
netral. Sikap dinyatakan dalam tiga domain ABC, yaitu Affect,
Behaviour, dan Cognition. Affect adalah perasaan yang timbul
(senang, tak senang), Behaviour adalah perilaku yang
mengikuti perasaan itu (mendekat, menghindar), dan Cognition
adalah penilaian terhadap objek sikap (bagus, tidak bagus).
Manusia dapat mempunyai bermacam – macam sikap terhadap
berbagai macam – macam hal (objek sikap). Karena sikap
dipelajari, maka sikap dapat berubah – ubah sesuai dengan
keadaan lingkungan di sekitar yang bersangkutan pada saat –
saat dan tempat yang berbeda – beda. Dalam sikap tersangkut
juga faktor motivasi dan perasaan. Inilah yang
membedakannya dari pengetahuan misalnya. Sikap tidak
hilang walaupun kebutuhan sudah dipenuhi. Jadi, sikap
berbeda dengan refleks atau dorongan. Sikap tidak hanya
terdiri atas satu macam saja, melainkan bermacam – macam,
sesuai dengan banyaknya objek yang dapat menjadi perhatian
orang yang bersangkutan.
75
Proses pembentukan dan perubahan sikap. Sikap dapat
terbentuk atau berubah melalui empat macam cara:
1. Adopsi adalah kejadian – kejadian dan peristiwa – peristiwa
yang terjadi berulang – ulang dan terus – menerus, lama
kelamaan secara bertahap diserap ke dalam individu dan
mempengaruhi terbentuknya suatu sikap.
2. Diferensiasi : dengan berkembangnya intelegensi,
bertambahnya pengalaman, sejalan dengan bertambahnya
usia, maka ada hal – hal yang tadinya dianggap sejenis,
sekarang dipandang tersendiri lepas dari jenisnya. Terhadap
objek tersebut dapat terbentuk sikap tersendiri pula.
3. Integrasi : pembentukan sikap di sini terjadi secara
bertahap, dimulai dengan berbagai pengalaman yang
berhubungan dengan satu hal tertentu sehingga akhirnya
terbentuk sikap mengenai hal tersebut.
4. Trauma adalah pengalaman yang tiba – tiba, mengejutkan,
yang meninggalkan kesan mendalam pada jiwa orang yang
bersangkutan. Pengalaman – pengalaman yang traumatis
dapat juga menyebabkan terbentuknya sikap.
Faktor – faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap :
1. Faktor internal : yaitu faktor – faktor yang terdapat dalam
diri orang yang bersangkutan, seperti faktor pilihan. Pilihan
ini ditentukan oleh motif – motif dan kecenderungan –
kecenderungan dalam diri kita. Karena harus memilih inilah
76
kita menyusun sikap positif terhadap satu hal dan
membentuk sikap negatif terhadap hal lainnya.
2. Faktor eksternal : selain faktor – faktor yang terdapat dalam
diri sendiri, maka pembentukan sikap ditentukan pula oleh
faktor – faktor yang ada diluar, yaitu :
a. Sifat objek, sikap itu sendiri, bagus, atau jelek dan
sebagainya.
b. Kewibawaan : orang yang mengemukaan suatu sikap.
c. Sifat orang – orang atau kelompok yang mendukung
sikap tersebut.
d. Media komunikasi yang digunakan dalam
menyampaikan sikap.
e. Situasi pada sikap itu dibentuk.
Makin banyak faktor yang ikut mempengaruhi, semakin
cepat terbentuknya sikap (Sarwono, 2013).
Ada dua pembagian kerangka pemikiran mengenai sikap
yaitu tradisional dan modern. Tiga kerangka pemikiran
secara tradisional mengenai sikap :
1. Kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli
psikologi seperti Louis Thurstone(1982), Rensis Likert
(1932), dan Charles osgood, enurut mereka, sikap adalah
suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap
seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan
mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan
77
tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable)
pada objek tersebut (Berkowitz, 1972). Secara lebih
spesifik, Thurstone sendiri memformulasikan sikap
sebagai derajat afek positif atau afek negatif terhadap
suatu objek psikologis (Edwards, 1957).
2. Kerangka pemikiran yang kedua diwakili oleh para ahli
seperti Chave (1982), Borgandus (1931), LaPierre
(1934), Mead (1934), dan Gordon Allport (1935) yang
konsepsi mereka mengenai sikap lebih kompleks.
Menurut kelompok pemikiran ini, sikap merupakan
semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek
dengan cara – cara tertentu. Dapat dikatakan bahwa
kesiapan yang dimaksudkan merupakan semacam
kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara
tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus
yang menghendaki adanya respons. LaPierre (1934)
mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku,
tendensi atau kesiapan antipatif, predisposisi untuk
menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara
sederhana, sikap adalah respons terhadap stimuli sosial
yang telah terkondisikan.
3. Kelompok pemikiran yang ketiga adalah kelompok yang
berorientasi kepada skema triadik (triadic scheme).
Menurut kerangka pemikiran ini suatu sikap merupakan
78
konstelasi komponen – komponen kognitif, afektif, dan
konatif yang saling berinteraksi dalam memahami,
merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek. Secord
dan Backman (1964), misalnya, mendefinisikan sikap
sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi),
pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi)
seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.
79
Ada dua pendekatan guna klasifikasi tentang sikap :
1. Pendekatan yang pertama adalah yang memandang
sikap sebagai kombinasi reaksi afektif, perilaku dan
kognitif sebagai suatu objek. Ketiga komponen tersebut
secara bersama mengorganisasikan sikap individu.
Pendekatan ini, yang terurai diatas dikenal dengan nama
skema triadik, disebut juga pendekatan tricomponent.
2. Pendekatan kedua timbul dikarenakan adanya
ketidakpuasan atas penjelasan mengenai inkonsistensi
yang terjadi di antara ketiga komponen kognitif, afektif,
dan perilaku dalam membentuk sikap. Oleh karena itu
pengikut pendekatan ini memandang perlu untuk
membatasi konsep sikap hanya pada aspek afektif saja
(single component). Definisi yang mereka ajukan
mengatakan bahwa sikap tidak lain adalah afek atau
penilaian – positif atau negatif – terhadap suatu objek.
Definisi Petty dan Cacioppo secara lengkap mengatakan
sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia
terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek, atau isu –
isu. Sikap merupakan suatu konstrak multidimensional
yang terdiri atas kognisi, afeksi, dan konasi (Azwar,
2013).
80
Hasil ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Asmawahyunita,
S.Kep (2010) dengan judul “Hubungan Sikap Ibu Tentang
Alat Kontrasepsi Dalam Rahim Dengan Pemilihan Alat
Kontrasepsi Dalam Rahim Di Rsia Kumalasiwi Pecangaan
Kabupaten Jepara” Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar responden bersikap mendukung sebanyak 71
responden (50.7%) dan sebagian kecil responden memilih
AKDR sebanyak 17 responden (12.1%). Ada hubungan antara
sikap ibu dengan pemilihan AKDR dengan hasil p value
0,045.
Berdasarkan hasil penelitian di dapatkan
sebagian besar responden bersikap mendukung
namun tidak memilih metode kontrasepsi jangka
panjang (MKJP). Hal ini berarti meski sikap
responden mendukung namun belum tentu
responden tersebut memilih metode kontrasepsi
jangka panjang karena mereka tidak mau tahu
alat kontrasepsi lain selain yang mereka gunakan.
4.3.2.4 Analisis chi square diperoleh p value=0,506 yang
berarti tidak ada hubungan antara penghasilan
rendah dengan pemilihan Metode Kontrasepsi
Jangka Panjang (MKJP) wanita di Puskesmas
Simpur Kota Bandar Lampung tahun 2014.
81
Penghasilan keluarga adalah segala bentuk balas karya
yang diperoleh sebagai imbalan atau balas-jasa atas
sumbangan seseorang terhadap proses produksi. Konkretnya
penghasilan keluarga dapat bersumber pada: Usaha sendiri,
misalnya berdagang (wiraswasta), bekerja pada orang lain
(misalnya karyawan atau buruh), dan hasil dari milik misalnya
punya sawah atau rumah disewakan. Penghasilan keluarga
dapat diterima dalam bentuk uang maupun dalam bentuk
barang disebut “in natura” misalnya tunjangan beras, hasil dari
sawah atau dari pekarangan sendiri atau fasilitas – fasilitas
(misalnya rumah dinas, pengobatan gratis). Selain penghasilan
(balas karya dan hasil milik dsb) mungkin masih ada
penerimaan uang masuk lain, misalnya berupa :uang pension –
bagi mereka yang sudah lanjut usia dan dulu bekerja pada
pemerintah atau instansi lain, sumbangan atau hadiah dan
pinjaman atau hutang, ini merupakan uang masuk, tetapi pada
suatu saat akan harus dikembalikan.
Gaji pokok (untuk pegawai negeri atau menurut
ketentuan PGPS), ditambah macam – macam tunjangan
merupakan gaji kotor atau bruto. Upah/gaji bruto tersebut
belum tentu semua diterima oleh yang bersangkutan sebab gaji
kotor biasanya masih dikurangi dengan bermacam-macam
potongan, misalnya untuk pajak, dana hari tua dll, yang tinggal
disebut gaji bersih atau “take home pay”. Demikian pula
82
halnya dengan laba usaha : penerimaan kotor baru merupakan
laba bersih setelah dikurangi semua ongkos- ongkos (Gilarso,
T, 2008).
Berdasarkan hasil penetapan Upah Minimum Kota
(UMK), Kota Bandar Lampung mengalami kenaikan UMK
dari yang sebelumnya pada tahun 2013 sebesar Rp1,165 juta
menjadi Rp1,550 juta di tahun 2014 tiap bulannya sehingga
besarnya pendapatan untuk penghasilan keluarganya tinggi 2
kali diatas Upah Minimum Kota (UMK)
(http://www.radarlampung.co.id, 2014).
Penelitian ini di dapatkan hasil yang berbeda
dengan penelitian Wulandari, I dkk (2013) karena
terdapat hubungan antara pendapatan keluarga
dengan pemilihan alat kontrasepsi suntik di BPM Puji Utomo
Desa Kedung Jeruk, Kecamatan Mojogedang, Kabupaten
Karanganyar.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Imron R (2010) dengan judul ““Determinan pemakaian
alat kontrasepsi IUD pada akseptor KB di wilayah kerja
Puskesmas Sidomulyo Kecamatan Sidomulyo Kabupaten
Lampung Selatan propinsi Lampung tahun 2010” diperoleh
hasil uji statistik dengan p value = 0,327, maka dapat
disimpulkan secara statistik tidak ada hubungan antara status
ekonomi dengan pemakaian IUD.
83
Hal ini dimungkinkan karena pengumpulan data
penelitian ini menggunakan pertanyaan langsung dan
tidakmenggali dengan pertanyaan secara mendalam, peneliti
hanya menanyakan hasil pendapatan rata – rata perbulannya
tanpa menanyakan pengeluaran serta penghasilan lain yang di
dapat selain pendapatan perbulan, sehingga jawaban yang
diberikan hanya berdasarkan perkiraan responden saja.