bab iv 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab4/2007-1-00006-ak-bab 4.pdf40 bab iv analisa...
TRANSCRIPT
40
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG
IV.1.1 Keadaan Perekonomian Indonesia Pada Saat Krisis Ekonomi
Keterbukaan perekonomian dengan sistem devisa bebas dan berbagai
langkah deregulasi yang ditempuh pemerintah Indonesia, telah memberikan
manfaat yang besar bagi perkembangan perekonomian domestik. Hingga dalam
beberapa tahun belakangan ini dinamisme perekonomian cukup tinggi dengan
laju inflasi yang menurun dan surplus neraca pembayaran yang cukup besar.
Perkembangan makroekonomi yang mantap tersebut memberikan keyakinan
kepada investor atas prospek perekonomian sehingga mendorong masuknya arus
modal dan semakin memperdalam integrasi perekonomian nasional kedalam
perekonomian internasional. Akan tetapi dinamisme perekonomian tersebut tidak
sepenuhnya disertai dengan upaya menata pengelolaan dunia usaha dan
menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sehingga tercermin
kurangnya transparansi dan konsistensi pelaksanaan kebijakan. Bersamaan
dengan itu, kelemahan informasi yang diterima semakin memperburuk kualitas
keputusan yang diambil oleh dunia usaha dan pemerintahan. Hal inilah yang
memperlemah kondisi fundamental ekonomi sehingga meningkatkan kerentanan
perekonomian terhadap guncangan eksternal.
Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997 nilai tukar baht Thailand terhadap dolar
AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil
keputusan “jual”. Mereka mengambil sikap demikian karena tidak percaya lagi
41
terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk jangka
pendek. Untuk mempertahankan nilai tukar Baht agar tidak jatuh terus,
pemerintah Thailand melakukan intervensi dan didukung oleh intervensi yang
dilakukan oleh bank sentral Singapura. Akan tetapi, pada hari Rabu, 2 Juli 1997,
bank sentral Thailand terpaksa mengumumkan bahwa nilai tukar Baht
dibebaskan dari ikatan dengan dolar AS. Sejak itu nasibnya diserahkan
sepenuhnya kepada kepada pasar. Hari itu juga pemerintah Thailand meminta
bantuan IMF. Pengumuman itu mendepresikan nilai tukar Baht sekitar 15%
hingga 20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28.20 Bath per dolar AS. Apa
yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara
Asia lainnya, awal dari krisis keuangan di Asia.
Rupiah Indonesia mulai terasa goyang sekitar bulan Juli 1997, dari
Rp.2,500,- menjadi Rp.2,650,- per dolar AS. Sejak saat itu, posisi Rupiah mulai
tidak stabil. Menanggapi perkembangan itu, pada bulan Juli 1997 Bank
Indonesia melakukan empat (4) kali intervensi, yakni memperlebar rentang
intervensi. Akan tetapi pengaruhnya tidak banyak, nilai rupiah dalam dolar AS
terus tertekan, dan tanggal 13 Agustus 1997 Rupiah mencapai rekor terendah
dalam sejarah, yakni Rp.2,682,- per dolar AS sebelum akhirnya ditutup
Rp.2,655,- per dolar AS. Dalam aksinya, pertama-tama BI memperluas rentang
intervensi Rupiah dari 8% menjadi 12%, tetapi akhirnya juga menyerah dengan
melepas rentang intervensinya dan pada hari yang sama Rupiah melemah ke
Rp.2,755,- per dolar AS. Pada tanggal 14 Agustus 1997, Bank Indonesia
mengubah sistem nilai tukar dari sistem mengambang terkendali menjadi
42
mengambang bebas. Dari langkah kebijakan yang diambil pemerintah, maka
perkembangan moneter sampai awal September 1997 menjadi relatif terkendali.
Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah
mulai menggoncang perekonomian nasional. Untuk mencegah agar keadaan
tidak bertambah buruk, pemerintah orde baru mengambil beberapa langkah
konkret, di antaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 triliun dalam upaya
mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi
oleh perubahan nilai tukar Rupiah tersebut. Pada awalnya pemerintah berusaha
menangani krisis Rupiah ini dengan kekuatan sendiri. Akan tetapi, setelah
menyadari merosotnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS tidak dapat
dibendung lagi dengan kekuatan sendiri, maka pada tanggal 8 Oktober 1997
pemerintah Indonesia menyatakan secara resmi akan meminta bantuan keuangan
dari IMF.
Pada akhir bulan Oktober 1997, lembaga keuangan internasional itu
mengumumkan paket bantuan keuangannya pada Indonesia yang mencapai 40
miliar dolar AS. Sehari setelah pengumuman itu, seiring dengan paket reformasi
yang ditentukan oleh IMF, pemerintah Indonesia mengumumkan pencabutan ijin
usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat. Ini merupakan awal dari
kehancuran perekonomian Indonesia.
Pada awal krisis, komitmen pemerintah yang merupakan faktor dominan
dalam memulihkan kepercayaan investor baik domestik maupun internasional
sering dipertanyakan. Sehingga komitmen kurang mantap itu serta berbagai
masalah berat yang telah ada dalam perekonomian sebelum krisis beserta
penangannannya, seperti pada sistem perbankan yang rapuh, hutang luar negeri
43
sektor swasta, perundingan dengan IMF, ditambah dengan masalah sosial, politik
dan keamanan, semakin ikut memperparah krisis sehingga upaya
penyembuhannya pun semakin sulit.
Dalam keadaan seperti ini, sektor moneter terpaksa menanggung beban
berat serta serba dilematis, yaitu keadaan stabilisasi nilai tukar dan inflasi.
Program stabilisasi harus dibayar dengan suku bunga yang tinggi bahkan pernah
mencapai 70%, padahal dalam suatu keadaan perekonomian yang inflasioner,
suku bunga yang tinggi umumnya cukup efektif untuk meredam laju inflasi dan
memperkuat nilai tukar. Namun dalam keadaan perekonomian yang mengalami
stagflasi atau kontraksi dan hiper-inflasi akibat hilangnya kepercayaan,
kerusakan sistem produksi dan distribusi serta gangguan keamanan, efektifitas
suku bunga menjadi dipertanyakan.
IV.1.2 Keadaan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis dan Pemulihan
Ekonomi
Pemerintahan reformasi yang diawali dengan terpilihnya K.H
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai presiden RI keempat dan Megawati
Soekarno Putri sebagai Wakil Presiden pada tanggal 20 Oktober 1999, menjadi
suatu momentum yang dimana masyarakat umum, kalangan pengusaha, dan
investor asing menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan
kesungguhan pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional
dan memuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri.
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999
kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukan adanya perbaikan. Laju
44
pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun
2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju
pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan
tingkat bunga juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam
negeri sudah mulai stabil.
Nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS yang tidak stabil dan sempat
menyentuh Rp.12,000,- per dolar AS (April 2001) sangat berdampak negatif
terhadap roda perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan,
bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya terhadap
ekonomi, sosial, dan politik akan jauh lebih besar daripada krisis pertama.
Dampak negatif ini terjadi karena dua hal, yaitu: perekonomian Indonesia masih
sangat tergantung pada impor, dan utang luar negeri Indonesia dalam nilai dolar
AS (swasta dan pemerintah) sangat besar.
Pemerintah terus berusaha untuk melakukan pemulihan-pemulihan
dengan berbagai cara, misalnya: pada tahun 2001 pemerintah membuat langkah-
langkah perbaikan ekonomi dengan melakukan restrukturisasi utang usaha,
penjualan aset BPPN, perbaikan dalam gaya kepemimpinan presiden, dan
amandemen UU Bank Indonesia. Sedikit demi sedikit usaha pemerintah itu mulai
menampakkan hasil, walaupun dengan jatuh bangun. Akhirnya pada bulan Maret
2003 usaha pemerintah ini menunjukan hasil yang signifikan dimana bulan ini
menjadi titik awal Bullish Trend IHSG dan suku bunga simpanan yang stabil
dibawah 12% per tahun (untuk Deposito 1 bulan).
45
IV.1.3 Perkembangan IHSG Periode 1997 – 2005
Pasar modal merupakan pasar dimana terjadi aktivitas yang rasional dan
spekulatif. Fluktuasi IHSG tidak terlepas dari hal ini, tindakan para spekulan
yang jelas dapat membuat pasar berkembang menjadi tidak normal, artinya harga
yang terjadi tidak sesuai dengan nilai wajar saham. Hal ini yang menyebabkan
adanya Bullish Trend dan Bearish Trend yang cenderung berubah dengan cepat
dalam pergerakan IHSG.
Gambar 4.1Pergerakan IHSG Tahun 1997 - 2005
0.00
200.00
400.00
600.00
800.00
1000.00
1200.00
1400.00
Jan 97 Jul 97 Jan 98 Jul 98 Jan 99 Jul 99 Jan 00 Jul 00 Jan 01 Jul 01 Jan 02 Jul 02 Jan 03 Jul 03 Jan 04 Jul 04 Jan 05 Jul 05
Bulan
IHSG
(poi
n)
Sumber : Jurnal Pusat Referensi Pasar Modal Bursa Efek Jakarta Tahun 1997 – 2005
Jika dilihat dari Gambar 4.1, awal tahun 1997 Indeks mencapai level psikologis
700 poin, dan sampai akhirnya menembus level 700 poin hingga 721.720 poin
(Jul 1997). Hal ini disebabkan antara lain karena pencapaian laba dari emiten
yang lebih besar daripada yang diperkirakan serta membaiknya Indeks Harga
Saham Wall Street.
46
Namun memasuki Agustus 1997, gejolak nilai tukar Rupiah terhadap
dolar AS mulai mempengaruhi pasar modal sehingga mengalami penurunan yang
tajam walaupun sempat menguat pada bulan September 1997 karena pemerintah
melepas batasan bagi investor asing dalam pemilikan saham di pasar modal.
Ditambah lagi arbitrase akibat melemahnya Rupiah oleh investor asing terhadap
saham-saham dual listing seperti Telkom, Indosat, dan Tambang Timah. Namun
keadaan ini tidak berlangsung lama karena setelah itu nilai tukar Rupiah terus
terdepresiasi cukup tajam terhadap dolar AS, hingga IHSG mengalami Bearish
Trend dengan nilai 258.10 pada tanggal 21 September 1998 dengan nilai
kapitalisasi Rp. 108 Triliun. Pada periode ini, tercatat dari 289 emiten yang
mencatatkan sahamnya di BEJ, 170 diantaranya bernilai di bawah harga
nominalnya yang rata-rata Rp. 500,- per lembarnya. Dari 170 saham tersebut , 20
saham berharga Rp. 75,- per lembarnya, 13 saham berharga Rp. 50,- per
lembarnya, dan 11 saham berharga Rp. 25,- per lembarnya.
Sebaliknya, nilai perdagangan dan jumlah emiten di pasar modal
mengalami peningkatan, hal ini mengindikasikan semakin aktifnya perdagangan
saham di BEJ yang ditandai dengan bertambahnya jumlah emiten sebanyak 35
emiten yang 15 diantaranya mencatatkan sahamnya sebelum gejolak nilai tukar.
Inilah yang menyebabkan indeks terangkat sedikit pada kuartal I 1998.
Indeks mulai merangkak naik sedikit demi sedikit dari Oktober 1998
hingga mencapai range 500-600 poin pada tahun 1999, aliran dana asing yang
masuk turut berperan besar dalam peristiwa ini.
Tahun 2000 dimana keadaan politik domestik yang mengalami
ketegangan berkepanjangan, faktor keamanan yang tidak kunjung membaik,
47
pemulihan ekonomi yang berjalan lambat, IMF yang menunda kucuran dananya,
keadaan ekonomi yang tidak pasti, perkembangan bisnis yang lesu telah
membuat IHSG terpangkas hingga ke level 416.321 poin (Des 2000). Dimana
banyak pemodal asing yang mempunyai investasi jangka panjang “hengkang”
dari Indonesia, ditambah lagi dengan peristiwa runtuhnya World Trade Center
akibat aksi teroris di New York menyebabkan IHSG terus terpuruk hingga ke
sekitar level 350 poin.
Investor asing mulai masuk lagi ke BEJ pada tahun 2002, sehingga
sepanjang semester I tahun 2002, BEJ mencatat prestasi sebagai bursa yang
kinerjanya terbaik di dunia. IHSG telah menguat dari 383 poin (2 Jan 2002)
menembus level 540 poin(14 Juni 2002), naik sekitar 42% dalam waktu 6 bulan.
Nilai transaksi meningkat drastis menjadi sekitar Rp. 500 miliar hingga Rp. 600
miliar sehari.
Kemudian IHSG mulai jatuh kembali akibat peristiwa akuntansi yang
melemahkan bursa saham Amerika, krisis ekonomi Amerika, Bom Bali (Oktober
2002) dan terkuaknya kejadian-kejadian “memalukan” di pasar modal, seperti:
adanya emiten yang melakukan penggelembungan laporan keuangan, pimpinan
perusahaan sekuritas “dikirim” ke tahanan polisi, dan semakin meningkatnya
pelanggaran peraturan-peraturan pasar modal. Tetapi pada tahun ini juga BEJ
melakukan penyempurnaan sistem scriptless trading dan remote trading.
Tetapi pada Maret 2003 dimana perekonomian sudah menunjukan suatu
pemulihan dan suku bunga yang mulai stabil, BEJ mulai “diserbu” lagi oleh para
investor baik asing maupun domestik. Sehingga bulan ini menjadi awal dari
Bullish Trend IHSG yang cukup panjang, dan pada akhir tahun 2004 dibawah
48
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono IHSG berhasil menembus level 1000
poin, yang mana lebih besar dari ekspektasi optimis masyarakat.
IV.1.4 Perkembangan Laju Inflasi Periode 1997 – 2005
Memasuki tahun 1997, laju inflasi masih dapat dikatakan normal, malah
mengalami deflasi dalam bulan Maret dan Juni yaitu sebesar 0.12% dan 0.17%.
Namun setelah gejolak nilai tukar yang menimpa Indonesia, laju inflasi mulai
Gambar 4.2Pergerakan Laju Inflasi Tahun 1997 - 2005
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
Jan 97 Jul 97 Jan 98 Jul 98 Jan 99 Jul 99 Jan 00 Jul 00 Jan 01 Jul 01 Jan 02 Jul 02 Jan 03 Jul 03 Jan 04 Jul 04 Jan 05 Jul 05
Bulan
% In
flasi
(ber
dasa
rkan
IHK
)
Sumber : Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Bank Indonesia, Tahun 1997 – 2005
tidak dapat dikendalikan lagi, walaupun laju inflasi pada awal krisis masih
tergolong wajar. Kebijakan moneter untuk menekan laju inflasi tersebut
dirasakan kurang efektif lagi. Hal ini ditambah dengan tidak adanya pemasukan
modal luar negeri, maka yang seharusnya peningkatan suku bunga efektif untuk
meredam laju inflasi, namun yang terjadi adalah peningkatan suku bunga sangat
tinggi sedangkan perekonomian mengalami hiper-inflasi.
49
Oleh karena itu, selama krisis kemungkinan terjadi hubungan yang lemah
antara suku bunga dengan inflasi. Faktornya karena suku bunga yang tinggi lebih
banyak dipengaruhi oleh kelangkaan likuiditas yang dialami oleh bank-bank
yang tidak sehat secara struktural, mengandalkan sumber dana dari pasar uang
antar bank, ditambah lagi adanya rush oleh para nasabah. Oleh karena itu
penetapan suku bunga yang tinggi masih tidak dapat menahan laju inflasi
tersebut, karena penyebab dari laju inflasi yang tinggi ini bukan berasal dari
Demand Pull melainkan Cost Push.
Gambar 4.2 menunjukan mulai kapan inflasi tersebut tidak terkendali,
hingga pada akhir tahun 1998 mencapai laju inflasi yang cukup tinggi yaitu
77.63% per tahun sedangkan pada tahun sebelumnya hanya mencapai 11.05%.
Memasuki tahun 1999 inflasi sudah mulai terkendali akibat bantuan Dana
Moneter Internasional (IMF). Kemudian inflasi terus berada rata-rata di bawah
2% per bulannya.
Tahun 2004 ke depan inflasi dijaga ketat oleh BI untuk tetap berada di
kisaran 6-7% dengan mempertahankan kebijakan moneter yang cenderung ketat.
Tetapi di periode ini inflasi mengalami tekanan untuk meningkat disebabkan:
harga minyak dunia yang tinggi, ekspektasi masyarakat internasional terhadap
kemungkinan kenaikan suku bunga The Fed Amerika, peningkatan konsumsi,
dan perkembangan ekonomi di dalam negeri.
Hingga pada Oktober tahun 2005 laju inflasi melonjak hingga ke angka
8.70% disebabkan dampak kenaikan harga BBM yang sekitar 80% lebih,
mempengaruhi peningkatan harga pada semua kelompok barang dan jasa.
50
Kenaikan harga BBM ini disebabkan adanya penghapusan subsidi pemerintah
untuk BBM dan dialihkan kepada bantuan tunai untuk para fakir miskin.
IV.1.5 Perkembangan Suku Bunga Deposito Bank Umum Periode 1997 –
2005
Sampai sebelum krisis ekonomi (Juli 1997), kebijakan moneter memiliki
banyak sasaran, seperti pertumbuhan yang tinggi, stabilitas harga dan neraca
Gambar 4.3Perkembangan Tingkat Bunga Deposito 1 Bulan Bank Umum Tahun 1997 - 2005
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
Jan 97 Jul 97 Jan 98 Jul 98 Jan 99 Jul 99 Jan 00 Jul 00 Jan 01 Jul 01 Jan 02 Jul 02 Jan 03 Jul 03 Jan 04 Jul 04 Jan 05 Jul 05
Bulan
% su
ku b
unga
/bul
an
Sumber : http://www.bi.go.id
pembayaran yang mantap. Namun semenjak krisis, Bank Indonesia menetapkan
sistem nilai tukar mengambang, dan sasaran kebijakan moneter diprioritaskan
untuk menstabilkan harga dan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS. Dalam masa
krisis ini, dimana terjadi perkembangan harga yang hiper-inflasi dan depresiasi
nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS, maka bunga nominal dipertahankan tetap
tinggi. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.3 yang menunjukan tingkat bunga
51
Deposito 1 bulan yang berada di atas level 20% per tahun dari bulan Agustus
1997 sampai akhir Juni 1999.
Tingkat bunga yang tinggi secara teoritis dalam perekonomian terbuka
dengan arus lalu lintas modal yang bebas akan memperkuat nilai tukar karena
terjadi pemasukan modal dari luar negeri. Namun hal ini tidak berlaku dalam
masa krisis. Suku bunga yang tinggi tetapi nilai tukar masih tetap merosot. Hal
ini terjadi karena suku bunga tidak akan efektif untuk memperkuat nilai tukar
dan menurunkan laju inflasi apabila terdapat faktor-faktor non-ekonomis yang
mengganggu, seperti: rumor negatif, gangguan keamanan dan sosial.
Tingkat bunga yang tinggi ini akhirnya mulai mereda pada sekitar
Agustus 1999, yang disebabkan mulai meredanya juga krisis perbankan nasional.
Untuk menciptakan perekonomian yang stabil maka BI membuat kebijakan
moneter untuk menjaga stabilitas suku bunga dengan cara menyerap kelebihan
likuiditas yang terjadi di perbankan, melalui Fasilitas Simpanan Bank Indonesia
(Fasbi) dan pelaksanaan lelang SBI.
Kestabilan tingkat bunga ini membuat para pebisnis mulai melakukan
kembali kegiatannya, tetapi tidak banyak berdampak pada perkembangan IHSG.
Baru setelah suku bunga deposito rata-rata berada dibawah 12% per tahun,
aktivitas bursa mulai ramai dan IHSG melonjak hingga menembus level 1000
poin.
52
IV.2 Analisa Korelasi Tingkat Bunga dan Inflasi Terhadap IHSG
IV.2.1 Periode Tahun 1997-2005
Dalam sub-bab ini, penulis akan membahas faktor ekternal yang akan
mempengaruhi fluktuasi IHSG, yaitu laju inflasi dan tingkat bunga deposito 1
bulan pada bank umum.
Untuk menguji hipotesa, maka digunakan fungsi regresi linear berganda
dimana variabel inflasi (X1) dan variabel tingkat bunga (X2) adalah variabel
bebas (independen). Sementara variabel IHSG sebagai variabel tidak bebas
(dependen). Dengan menggunakan program Microsoft Excel, maka didapat hasil
sebagai berikut (1997-2005):
Tabel 4.1 Tabel ANOVA 1
All SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Correlation: %5=α Multiple R 0.481490262 IHSG-Inflasi -0.106610245t table :1.6449R Square 0.231832872 IHSG-Bunga -0.465897124F table :3.07 Adjusted R Square 0.217201118 Inflasi-Bunga 0.460412264 Standard Error 198.9431612 Observations 108 Stdev IHSG : 224.8557077 ANOVA
df SS MS F Regression 2 1254199.508 627099.754 15.84450227Residual 105 4155730.047 39578.3814 Total 107 5409929.555
Coefficients Standard Error t Stat Intercept 726.8915245 31.2856854 23.23399712 X Variable 1 14.99667366 10.55352629 1.421010689 X Variable 2 -105.1841232 19.16070473 -5.489574871
53
Average Min Max Rentang IHSG 592.007713 276.15 1182.301 906.151 Inflasi 1.20962963 -1.05 12.76 13.81 Tingkat bunga 1.454822531 0.49 5.15 4.66 Sumber: Hasil Data analysis Microsoft Excel
Yang berarti apabila kita memasukan hasil analisa di atas kedalam model
penelitian, maka:
IHSG = 726.8916 + 14.9967.Inflasi – 105.1841.Bunga
Dari persamaan dan analisa regresi linear di atas maka dapat
diinterpretasikan sebagai berikut:
b0 = 726.8915845 artinya bahwa jika tingkat bunga dan laju inflasi tidak
terjadi dan diabaikan atau sama dengan nol (0), maka IHSG akan berada di posisi
726.8915845 poin.
b1 = 14.99667366 artinya bahwa jika tingkat bunga diabaikan atau sama
dengan nol (0), maka setiap kenaikan 1% inflasi akan mengakibatkan kenaikan
Indeks sebesar 14.99667366 poin.
b2 = –105.1841232 artinya bahwa jika laju inflasi diabaikan atau sama
dengan nol (0), maka setiap kenaikan 1% tingkat bunga akan mengakibatkan
penurunan Indeks sebesar 105.1841232 poin.
Perhitungan di atas menunjukan nilai R-square = 0.231832872 atau
23.18% yang berarti model di atas dapat menjelaskan perilaku IHSG sebesar
23.18%(rendah). Sedangkan sisanya sebesar 76.82% tidak dapat dijelaskan oleh
model di atas.
Menurut uji statistik yang telah dilakukan didapat suatu kesimpulan
bahwa inflasi mempunyai hubungan yang tidak signifikan terhadap IHSG, hal
54
ini dapat dilihat dari nilai t-statistik yang diperoleh sebesar 1.421010689 lebih
kecil daripada nilai t-table sebesar 1.6449 (Ho diterima).
Sementara tingkat bunga mempunyai hubungan yang signifikan
terhadap IHSG, hal ini dapat dilihat dari nilai t-statistik yang diperoleh sebesar -
5.489574871 lebih kecil daripada nilai t-table sebesar -1.6449 (Ho ditolak)
05.0=α
-t 0.05 (-1.6449) t 0.05 (1.6449) Ho diterima Gambar 4.4 Kurva t-Test 1
Hubungan antara laju inflasi dan tingkat bunga deposito bank umum 1
bulan secara bersama-sama dapat tercermin dari uji F (F-test). Analisa regresi
berganda yang diperoleh sebesar 15.84450227 menujukan hasil yang lebih besar
daripada nilai F-table dengan level signifikan %5=α adalah 3.07. Sehingga Ho
ditolak, Ha diterima, yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan dari
seluruh variabel independen tersebut terhadap variabel dependen (IHSG).
05.0=α
F0.05 (3.07) Ho diterima Gambar 4.5 Kurva F-Test 1
Kemudian korelasi antar variabel dalam analisa di atas menunjukan berapa
besar hubungan suatu variabel dengan variabel lainnya. IHSG-Inflasi: -
55
0.106610245, yang berarti IHSG dengan inflasi berkorelasi negatif sebesar
0.106610245 atau 10.66%. IHSG-Bunga: -0.465897124, yang berarti IHSG
dengan tingkat bunga berkorelasi negatif sebesar 0.465897124 atau 46.59%.
Inflasi-Bunga: 0.460412264 yang berarti laju inflasi dengan tingkat bunga
berkorelasi positif sebesar 0.460412264 atau 46.04%.
Berdasarkan data bulanan selama periode 1997-2005 IHSG bergerak
sebesar 906.151 poin dengan titik terendah di level 276.15 poin dan titik tertinggi
di level 1182.301 poin dengan tingkat fluktuasi (Standar Deviasi) sebesar
224.8557077; laju inflasi bergerak sebesar 13.81 poin (bukan akumulasi) dengan
titik terendah di level -1.05% dan titik tertinggi di level 12.76%; tingkat bunga
bergerak sebesar 4.66 poin dengan titik terendah di level 0.49% dan titik
tertinggi di level 5.15%.
Dalam tahun 1997-2005 terdapat peristiwa krisis ekonomi yang melanda
bangsa Indonesia, sehingga dalam rentang periode penelitian terdapat 2 periode
yaitu: periode krisis ekonomi/moneter (Juli 1997 – Juni 1999), periode pasca
krisis dan pemulihan ekonomi Indonesia (Juli 1999 – Desember 2005). Dan
kalau kita lihat dari hasil analisa regresi berganda di atas menunjukan koefisien
determinasi yang amat kecil yaitu 0.231832872 atau 23.18%, sehingga model
tersebut tidak dapat dijadikan acuan dalam menentukan nilai IHSG periode
mendatang. Maka penulis mencoba untuk menganalisa kembali dengan cara
memisahkan analisa masing-masing periode, yaitu: analisa regresi berganda pada
saat krisis moneter (Juli 1997 – Juni 1999), dan analisa regresi berganda pada
saat pasca krisis dan pemulihan ekonomi Indonesia (Juli 1999 – Desember
2005).
56
IV.2.2 Periode Juli 1997 – Juni 1999
Dalam periode ini Indonesia dilanda suatu krisis yang luar biasa (uraian
terdapat dalam sub-bab IV.1). Sub-bab ini ingin menjelaskan analisa model
penelitian dalam peristiwa krisis moneter tersebut.
Berikut adalah hasil analisa yang diperoleh dengan program Microsoft
Excel:
Tabel 4.2 Tabel ANOVA 2
Krisis (Jul 97-Jun 99) SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Correlation %5=α Multiple R 0.687442092 IHSG-Inflasi -0.099179744 t table :1.7139R Square 0.47257663 IHSG-Bunga -0.686378348 F table :3.47 Adjusted R Square 0.422345832 Inflasi-Bunga 0.199077845 Standard Error 78.64851677 Observations 24 Stdev IHSG 103.4800384 ANOVA
df SS MS F Regression 2 116389.349 58194.67448 9.408105305Residual 21 129897.373 6185.589191 Total 23 246286.722
Coefficients Standard Error t Stat Intercept 668.4317396 51.31540264 13.02594748 X Variable 1 1.209028469 5.01213897 0.241220061 X Variable 2 -64.95317053 15.13219286 -4.292383209 Average Min Max Rentang IHSG 459.62 276.15 721.27 445.12 Inflasi 2.950416667 -0.68 12.76 13.44 Tingkat bunga 3.27 1.29 5.15 3.86 Sumber: Hasil Data analysis Microsoft Excel
Yang berarti apabila kita memasukan hasil analisa di atas kedalam model
penelitian, maka:
57
IHSG = 668.4317 + 1.2090.Inflasi – 64.9532.Bunga
Dari persamaan dan analisa regresi linear di atas maka dapat
diinterpretasikan sebagai berikut:
b0 = 668.4317396 artinya bahwa jika tingkat bunga dan laju inflasi tidak
terjadi dan diabaikan atau sama dengan nol (0), maka IHSG akan berada di posisi
668.4317396 poin.
b1 = 1.209028469 artinya bahwa jika tingkat bunga diabaikan atau sama
dengan nol (0), maka setiap kenaikan 1% inflasi akan mengakibatkan kenaikan
Indeks sebesar 1.209028469 poin.
b2 = – 64.95317053 artinya bahwa jika laju inflasi diabaikan atau sama
dengan nol (0), maka setiap kenaikan 1% tingkat bunga akan mengakibatkan
penurunan Indeks sebesar 64.95317053 poin.
Perhitungan di atas menunjukan nilai R-square = 0.47257663 atau
47.26% yang berarti model di atas dapat menjelaskan perilaku IHSG sebesar
47.26%(sedang). Sedangkan sisanya sebesar 52.74% tidak dapat dijelaskan oleh
model di atas.
Menurut uji statistik yang telah dilakukan didapat suatu kesimpulan
bahwa inflasi mempunyai hubungan yang tidak signifikan terhadap IHSG, hal
ini dapat dilihat dari nilai t-statistik yang diperoleh sebesar 0.241220061 lebih
kecil daripada nilai t-table sebesar 1.7139 (Ho diterima).
Sementara tingkat bunga mempunyai hubungan yang signifikan
terhadap IHSG, hal ini dapat dilihat dari nilai t-statistik yang diperoleh sebesar -
4.292383209 lebih kecil daripada nilai t-table sebesar -1.7139 (Ho ditolak).
58
05.0=α
-t 0.05 (-1.7139) t 0.05 (1.7139) Ho diterima Gambar 4.6 Kurva t-Test 2
Hubungan antara laju inflasi dan tingkat bunga deposito bank umum 1
bulan secara bersama-sama dapat tercermin dari uji F (F-test). Analisa regresi
berganda yang diperoleh sebesar 9.408105305 menunjukan hasil yang lebih
besar daripada nilai F-table dengan level signifikan %5=α adalah 3.47.
Sehingga Ho ditolak, Ha diterima, yang berarti terdapat pengaruh yang
signifikan dari seluruh variabel independen tersebut terhadap variabel dependen
(IHSG).
05.0=α
F0.05 (3.47) Ho diterima Gambar 4.7 Kurva F-Test 2
Kemudian korelasi antar variabel dalam analisa di atas menunjukan
berapa besar hubungan suatu variabel dengan variabel lainnya. IHSG-Inflasi: -
0.099179744, yang berarti IHSG dengan inflasi berkorelasi negatif sebesar
0.099179744 atau 9.92%. IHSG-Bunga: -0.686378348, yang berarti IHSG
dengan tingkat bunga berkorelasi negatif sebesar 0.686378348 atau 68.64%.
59
Inflasi-Bunga: 0.199077845 yang berarti laju inflasi dengan tingkat bunga
berkorelasi positif sebesar 0.199077845 atau 19.91%.
Berdasarkan data bulanan selama periode Juli 1997 – Juni 1999 IHSG
bergerak sebesar 445.12 poin dengan titik terendah di level 276.15 poin dan titik
tertinggi di level 721.27 poin dengan tingkat fluktuasi (Standar Deviasi) sebesar
103.4800384; laju inflasi bergerak sebesar 13.44 poin (bukan akumulasi) dengan
titik terendah di level -0.68% dan titik tertinggi di level 12.76%; tingkat bunga
bergerak sebesar 3.86 poin dengan titik terendah di level 1.29% dan titik
tertinggi di level 5.15%.
IV.2.3 Periode Juli 1999 – Desember 2005
Peristiwa krisis moneter yang cukup menyakiti Indonesia mulai mereda
pada periode ini. Indonesia kembali melakukan pembangunan ekonomi dan
perbaikan-perbaikan di berbagai sektor. Usaha pemerintah dan beberapa
perubahan kepepimpinan telah membawa IHSG memasuki Bullish trend yang
bahkan tidak diperkirakan oleh masyarakat sebelumnya, yaitu menembus level
1000 poin. Yang dimana level ini adalah suatu level pergerakan Indeks yang
baru yang belum pernah dicapai sebelumnya. Bahkan hingga saat tulisan ini
dibuat Indeks terus bergerak di atas level 1000 poin.
Berikut adalah hasil analisa yang diperoleh dengan program Microsoft Excel:
60
Tabel 4.3 Tabel ANOVA 3
Setelah krisis(Jul99-Des05) SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Correlation %5=α Multiple R 0.696086375 IHSG-Inflasi 0.128668339 t table :1.6449R Square 0.484536242 IHSG-Bunga -0.680665876 F table :3.15 Adjusted R Square 0.470790542 Inflasi-Bunga 0.024964003 Standard Error 177.7452579 Observations 78 Stdev IHSG 244.3341797 ANOVA
df SS MS F Regression 2 2227334.481 1113667.24 35.25002252Residual 75 2369503.253 31593.37671 Total 77 4596837.734
Coefficients Standard Error t Stat Intercept 1141.856628 69.35868164 16.46306708 X Variable 1 31.40195201 17.86684888 1.757554017 X Variable 2 -595.032582 72.10995283 -8.251739998 Average Min Max Rentang IHSG 625.32 358.23 1182.30 824.07 Inflasi 0.734487179 -1.05 8.7 9.75 Tingkat bunga 0.91 0.49 1.46 0.98 Sumber: Hasil Data analysis Microsoft Excel
Yang berarti apabila kita memasukan hasil analisa di atas kedalam model
penelitian, maka:
IHSG = 1141.8566 + 31.4020.Inflasi – 595.0326.Bunga
Dari persamaan dan analisa regresi linear di atas maka dapat
diinterpretasikan sebagai berikut:
b0 = 1141.856628 artinya bahwa jika tingkat bunga dan laju inflasi tidak
terjadi dan diabaikan atau sama dengan nol (0), maka IHSG akan berada di posisi
1141.856628 poin.
61
b1 = 31.40195201 artinya bahwa jika tingkat bunga diabaikan atau sama
dengan nol (0), maka setiap kenaikan 1% inflasi akan mengakibatkan kenaikan
Indeks sebesar 31.40195201 poin.
b2 = – 595.032582 artinya bahwa jika laju inflasi diabaikan atau sama
dengan nol (0), maka setiap kenaikan 1% tingkat bunga akan mengakibatkan
penurunan Indeks sebesar 595.032582 poin.
Perhitungan di atas menunjukan nilai R-square = 0.484536242 atau
48.45% yang berarti model di atas dapat menjelaskan perilaku IHSG sebesar
48.45%(sedang). Sedangkan sisanya sebesar 51.55% tidak dapat dijelaskan oleh
model di atas.
Menurut uji statistik yang telah dilakukan didapat suatu kesimpulan
bahwa inflasi dan tingkat bunga mempunyai hubungan yang signifikan
terhadap IHSG secara individu, hal ini dapat dilihat dari nilai t-statistik yang
diperoleh sebesar 1.757554017 untuk inflasi dan -8.251739998 untuk tingkat
bunga yang semuanya lebih besar daripada nilai t-table sebesar 1.6449 (Ho
ditolak).
05.0=α
-t 0.05 (-1.6449) t 0.05 (1.6449) Ho diterima Gambar 4.8 Kurva t-Test 3
Hubungan antara laju inflasi dan tingkat bunga deposito bank umum 1
bulan secara bersama-sama dapat tercermin dari uji F (F-test). Analisa regresi
berganda yang diperoleh sebesar 35.25002252 menunjukan hasil yang jauh lebih
62
besar daripada nilai F-table dengan level signifikan %5=α adalah 3.15.
Sehingga Ho ditolak, Ha diterima, yang berarti terdapat pengaruh yang
signifikan dari seluruh variabel independen tersebut terhadap variabel dependen
(IHSG).
05.0=α
F0.05 (3.15) Ho diterima Gambar 4.9 Kurva F-Test 3
Kemudian korelasi antar variabel dalam analisa di atas menunjukan
berapa besar hubungan suatu variabel dengan variabel lainnya. IHSG-Inflasi:
0.128668339, yang berarti IHSG dengan inflasi berkorelasi positif sebesar
0.128668339 atau 12.87%. IHSG-Bunga: -0.680665876, yang berarti IHSG
dengan tingkat bunga berkorelasi negatif sebesar 0.680665876 atau 68.07%.
Inflasi-Bunga: 0.024964003 yang berarti laju inflasi dengan tingkat bunga
berkorelasi positif sebesar 0.024964003 atau 2.496%.
Berdasarkan data bulanan selama periode Juli 1999 – Desember 2005
IHSG bergerak sebesar 824.07 poin dengan titik terendah di level 358.23 poin
dan titik tertinggi di level 1182.30 poin dengan tingkat fluktuasi (Standar
Deviasi) sebesar 244.3341797; laju inflasi bergerak sebesar 9.75 poin(bukan
akumulasi) dengan titik terendah di level -1.05% dan titik tertinggi di level 8.7%;
tingkat bunga bergerak sebesar 0.98 poin dengan titik terendah di level 0.49%
dan titik tertinggi di level 1.46%.
63
IV.2.4 Rangkuman
Berikut adalah perbandingan ketiga model penelitian yang telah dibahas:
Jan 97 – Des 05 : IHSG = 726.8916 + 14.9967.Inflasi – 105.1841.Bunga
KP = 23.18% KKLB = 48.15%
Jul 97 – Jun 99 : IHSG = 668.4317 + 1.2090.Inflasi – 64.9532.Bunga
KP = 47.26% KKLB = 68.74%
Jul 99 – Des 05 : IHSG = 1141.8566 + 31.4020.Inflasi – 595.0326.Bunga
KP = 48.45% KKLB = 69.61%
Melihat perbandingan di atas tampak bahwa model penelitian mempunyai
Koefisien Korelasi (KP) terbesar pada saat keadaan ekonomi Indonesia sedang
mengalami pemulihan dan menuju kepada kestabilan.
Dari model tersebut (setelah krisis) kita mendapat informasi bahwa
pergerakan IHSG amat sensitif terhadap tingkat bunga 1 bulan deposito bank
umum, hal ini terlihat dari nilai b2 yaitu sebesar -595.0326, yang berarti apabila
suku bunga deposito bank umum naik sebesar 1%(1 bulan) atau 12% (1 tahun),
maka IHSG akan jatuh sebesar 595.0326 poin. Dan juga bila kita
membandingkan korelasi IHSG dengan suku bunga dari ketiga periode model di
atas, kita akan melihat korelasi ini terus menerus menduduki peringkat pertama.
Dalam keadaan krisis moneter pergerakan IHSG paling banyak
dipengaruhi oleh keadaan sosial politik dan keamanan negara dibandingkan
dengan inflasi, karena inflasi yang terjadi pada saat itu bukan berarti adanya
pertumbuhan ekonomi yang baik, tetapi disebabkan karena adanya gejolak nilai
64
tukar Rupiah terhadap dolar AS yang luar biasa. Tetapi faktor tingkat bunga tetap
mempengaruhi secara signifikan.