bab iv 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab4/2007-1-00006-ak-bab 4.pdf40 bab iv analisa...

25
40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG IV.1.1 Keadaan Perekonomian Indonesia Pada Saat Krisis Ekonomi Keterbukaan perekonomian dengan sistem devisa bebas dan berbagai langkah deregulasi yang ditempuh pemerintah Indonesia, telah memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan perekonomian domestik. Hingga dalam beberapa tahun belakangan ini dinamisme perekonomian cukup tinggi dengan laju inflasi yang menurun dan surplus neraca pembayaran yang cukup besar. Perkembangan makroekonomi yang mantap tersebut memberikan keyakinan kepada investor atas prospek perekonomian sehingga mendorong masuknya arus modal dan semakin memperdalam integrasi perekonomian nasional kedalam perekonomian internasional. Akan tetapi dinamisme perekonomian tersebut tidak sepenuhnya disertai dengan upaya menata pengelolaan dunia usaha dan menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sehingga tercermin kurangnya transparansi dan konsistensi pelaksanaan kebijakan. Bersamaan dengan itu, kelemahan informasi yang diterima semakin memperburuk kualitas keputusan yang diambil oleh dunia usaha dan pemerintahan. Hal inilah yang memperlemah kondisi fundamental ekonomi sehingga meningkatkan kerentanan perekonomian terhadap guncangan eksternal. Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997 nilai tukar baht Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan “jual”. Mereka mengambil sikap demikian karena tidak percaya lagi

Upload: dangquynh

Post on 19-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

40

BAB IV

ANALISA DAN PEMBAHASAN

IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

IV.1.1 Keadaan Perekonomian Indonesia Pada Saat Krisis Ekonomi

Keterbukaan perekonomian dengan sistem devisa bebas dan berbagai

langkah deregulasi yang ditempuh pemerintah Indonesia, telah memberikan

manfaat yang besar bagi perkembangan perekonomian domestik. Hingga dalam

beberapa tahun belakangan ini dinamisme perekonomian cukup tinggi dengan

laju inflasi yang menurun dan surplus neraca pembayaran yang cukup besar.

Perkembangan makroekonomi yang mantap tersebut memberikan keyakinan

kepada investor atas prospek perekonomian sehingga mendorong masuknya arus

modal dan semakin memperdalam integrasi perekonomian nasional kedalam

perekonomian internasional. Akan tetapi dinamisme perekonomian tersebut tidak

sepenuhnya disertai dengan upaya menata pengelolaan dunia usaha dan

menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sehingga tercermin

kurangnya transparansi dan konsistensi pelaksanaan kebijakan. Bersamaan

dengan itu, kelemahan informasi yang diterima semakin memperburuk kualitas

keputusan yang diambil oleh dunia usaha dan pemerintahan. Hal inilah yang

memperlemah kondisi fundamental ekonomi sehingga meningkatkan kerentanan

perekonomian terhadap guncangan eksternal.

Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997 nilai tukar baht Thailand terhadap dolar

AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil

keputusan “jual”. Mereka mengambil sikap demikian karena tidak percaya lagi

Page 2: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

41

terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk jangka

pendek. Untuk mempertahankan nilai tukar Baht agar tidak jatuh terus,

pemerintah Thailand melakukan intervensi dan didukung oleh intervensi yang

dilakukan oleh bank sentral Singapura. Akan tetapi, pada hari Rabu, 2 Juli 1997,

bank sentral Thailand terpaksa mengumumkan bahwa nilai tukar Baht

dibebaskan dari ikatan dengan dolar AS. Sejak itu nasibnya diserahkan

sepenuhnya kepada kepada pasar. Hari itu juga pemerintah Thailand meminta

bantuan IMF. Pengumuman itu mendepresikan nilai tukar Baht sekitar 15%

hingga 20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28.20 Bath per dolar AS. Apa

yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara

Asia lainnya, awal dari krisis keuangan di Asia.

Rupiah Indonesia mulai terasa goyang sekitar bulan Juli 1997, dari

Rp.2,500,- menjadi Rp.2,650,- per dolar AS. Sejak saat itu, posisi Rupiah mulai

tidak stabil. Menanggapi perkembangan itu, pada bulan Juli 1997 Bank

Indonesia melakukan empat (4) kali intervensi, yakni memperlebar rentang

intervensi. Akan tetapi pengaruhnya tidak banyak, nilai rupiah dalam dolar AS

terus tertekan, dan tanggal 13 Agustus 1997 Rupiah mencapai rekor terendah

dalam sejarah, yakni Rp.2,682,- per dolar AS sebelum akhirnya ditutup

Rp.2,655,- per dolar AS. Dalam aksinya, pertama-tama BI memperluas rentang

intervensi Rupiah dari 8% menjadi 12%, tetapi akhirnya juga menyerah dengan

melepas rentang intervensinya dan pada hari yang sama Rupiah melemah ke

Rp.2,755,- per dolar AS. Pada tanggal 14 Agustus 1997, Bank Indonesia

mengubah sistem nilai tukar dari sistem mengambang terkendali menjadi

Page 3: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

42

mengambang bebas. Dari langkah kebijakan yang diambil pemerintah, maka

perkembangan moneter sampai awal September 1997 menjadi relatif terkendali.

Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah

mulai menggoncang perekonomian nasional. Untuk mencegah agar keadaan

tidak bertambah buruk, pemerintah orde baru mengambil beberapa langkah

konkret, di antaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 triliun dalam upaya

mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi

oleh perubahan nilai tukar Rupiah tersebut. Pada awalnya pemerintah berusaha

menangani krisis Rupiah ini dengan kekuatan sendiri. Akan tetapi, setelah

menyadari merosotnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS tidak dapat

dibendung lagi dengan kekuatan sendiri, maka pada tanggal 8 Oktober 1997

pemerintah Indonesia menyatakan secara resmi akan meminta bantuan keuangan

dari IMF.

Pada akhir bulan Oktober 1997, lembaga keuangan internasional itu

mengumumkan paket bantuan keuangannya pada Indonesia yang mencapai 40

miliar dolar AS. Sehari setelah pengumuman itu, seiring dengan paket reformasi

yang ditentukan oleh IMF, pemerintah Indonesia mengumumkan pencabutan ijin

usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat. Ini merupakan awal dari

kehancuran perekonomian Indonesia.

Pada awal krisis, komitmen pemerintah yang merupakan faktor dominan

dalam memulihkan kepercayaan investor baik domestik maupun internasional

sering dipertanyakan. Sehingga komitmen kurang mantap itu serta berbagai

masalah berat yang telah ada dalam perekonomian sebelum krisis beserta

penangannannya, seperti pada sistem perbankan yang rapuh, hutang luar negeri

Page 4: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

43

sektor swasta, perundingan dengan IMF, ditambah dengan masalah sosial, politik

dan keamanan, semakin ikut memperparah krisis sehingga upaya

penyembuhannya pun semakin sulit.

Dalam keadaan seperti ini, sektor moneter terpaksa menanggung beban

berat serta serba dilematis, yaitu keadaan stabilisasi nilai tukar dan inflasi.

Program stabilisasi harus dibayar dengan suku bunga yang tinggi bahkan pernah

mencapai 70%, padahal dalam suatu keadaan perekonomian yang inflasioner,

suku bunga yang tinggi umumnya cukup efektif untuk meredam laju inflasi dan

memperkuat nilai tukar. Namun dalam keadaan perekonomian yang mengalami

stagflasi atau kontraksi dan hiper-inflasi akibat hilangnya kepercayaan,

kerusakan sistem produksi dan distribusi serta gangguan keamanan, efektifitas

suku bunga menjadi dipertanyakan.

IV.1.2 Keadaan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis dan Pemulihan

Ekonomi

Pemerintahan reformasi yang diawali dengan terpilihnya K.H

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai presiden RI keempat dan Megawati

Soekarno Putri sebagai Wakil Presiden pada tanggal 20 Oktober 1999, menjadi

suatu momentum yang dimana masyarakat umum, kalangan pengusaha, dan

investor asing menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan

kesungguhan pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional

dan memuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri.

Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999

kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukan adanya perbaikan. Laju

Page 5: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

44

pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun

2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju

pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan

tingkat bunga juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam

negeri sudah mulai stabil.

Nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS yang tidak stabil dan sempat

menyentuh Rp.12,000,- per dolar AS (April 2001) sangat berdampak negatif

terhadap roda perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan,

bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya terhadap

ekonomi, sosial, dan politik akan jauh lebih besar daripada krisis pertama.

Dampak negatif ini terjadi karena dua hal, yaitu: perekonomian Indonesia masih

sangat tergantung pada impor, dan utang luar negeri Indonesia dalam nilai dolar

AS (swasta dan pemerintah) sangat besar.

Pemerintah terus berusaha untuk melakukan pemulihan-pemulihan

dengan berbagai cara, misalnya: pada tahun 2001 pemerintah membuat langkah-

langkah perbaikan ekonomi dengan melakukan restrukturisasi utang usaha,

penjualan aset BPPN, perbaikan dalam gaya kepemimpinan presiden, dan

amandemen UU Bank Indonesia. Sedikit demi sedikit usaha pemerintah itu mulai

menampakkan hasil, walaupun dengan jatuh bangun. Akhirnya pada bulan Maret

2003 usaha pemerintah ini menunjukan hasil yang signifikan dimana bulan ini

menjadi titik awal Bullish Trend IHSG dan suku bunga simpanan yang stabil

dibawah 12% per tahun (untuk Deposito 1 bulan).

Page 6: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

45

IV.1.3 Perkembangan IHSG Periode 1997 – 2005

Pasar modal merupakan pasar dimana terjadi aktivitas yang rasional dan

spekulatif. Fluktuasi IHSG tidak terlepas dari hal ini, tindakan para spekulan

yang jelas dapat membuat pasar berkembang menjadi tidak normal, artinya harga

yang terjadi tidak sesuai dengan nilai wajar saham. Hal ini yang menyebabkan

adanya Bullish Trend dan Bearish Trend yang cenderung berubah dengan cepat

dalam pergerakan IHSG.

Gambar 4.1Pergerakan IHSG Tahun 1997 - 2005

0.00

200.00

400.00

600.00

800.00

1000.00

1200.00

1400.00

Jan 97 Jul 97 Jan 98 Jul 98 Jan 99 Jul 99 Jan 00 Jul 00 Jan 01 Jul 01 Jan 02 Jul 02 Jan 03 Jul 03 Jan 04 Jul 04 Jan 05 Jul 05

Bulan

IHSG

(poi

n)

Sumber : Jurnal Pusat Referensi Pasar Modal Bursa Efek Jakarta Tahun 1997 – 2005

Jika dilihat dari Gambar 4.1, awal tahun 1997 Indeks mencapai level psikologis

700 poin, dan sampai akhirnya menembus level 700 poin hingga 721.720 poin

(Jul 1997). Hal ini disebabkan antara lain karena pencapaian laba dari emiten

yang lebih besar daripada yang diperkirakan serta membaiknya Indeks Harga

Saham Wall Street.

Page 7: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

46

Namun memasuki Agustus 1997, gejolak nilai tukar Rupiah terhadap

dolar AS mulai mempengaruhi pasar modal sehingga mengalami penurunan yang

tajam walaupun sempat menguat pada bulan September 1997 karena pemerintah

melepas batasan bagi investor asing dalam pemilikan saham di pasar modal.

Ditambah lagi arbitrase akibat melemahnya Rupiah oleh investor asing terhadap

saham-saham dual listing seperti Telkom, Indosat, dan Tambang Timah. Namun

keadaan ini tidak berlangsung lama karena setelah itu nilai tukar Rupiah terus

terdepresiasi cukup tajam terhadap dolar AS, hingga IHSG mengalami Bearish

Trend dengan nilai 258.10 pada tanggal 21 September 1998 dengan nilai

kapitalisasi Rp. 108 Triliun. Pada periode ini, tercatat dari 289 emiten yang

mencatatkan sahamnya di BEJ, 170 diantaranya bernilai di bawah harga

nominalnya yang rata-rata Rp. 500,- per lembarnya. Dari 170 saham tersebut , 20

saham berharga Rp. 75,- per lembarnya, 13 saham berharga Rp. 50,- per

lembarnya, dan 11 saham berharga Rp. 25,- per lembarnya.

Sebaliknya, nilai perdagangan dan jumlah emiten di pasar modal

mengalami peningkatan, hal ini mengindikasikan semakin aktifnya perdagangan

saham di BEJ yang ditandai dengan bertambahnya jumlah emiten sebanyak 35

emiten yang 15 diantaranya mencatatkan sahamnya sebelum gejolak nilai tukar.

Inilah yang menyebabkan indeks terangkat sedikit pada kuartal I 1998.

Indeks mulai merangkak naik sedikit demi sedikit dari Oktober 1998

hingga mencapai range 500-600 poin pada tahun 1999, aliran dana asing yang

masuk turut berperan besar dalam peristiwa ini.

Tahun 2000 dimana keadaan politik domestik yang mengalami

ketegangan berkepanjangan, faktor keamanan yang tidak kunjung membaik,

Page 8: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

47

pemulihan ekonomi yang berjalan lambat, IMF yang menunda kucuran dananya,

keadaan ekonomi yang tidak pasti, perkembangan bisnis yang lesu telah

membuat IHSG terpangkas hingga ke level 416.321 poin (Des 2000). Dimana

banyak pemodal asing yang mempunyai investasi jangka panjang “hengkang”

dari Indonesia, ditambah lagi dengan peristiwa runtuhnya World Trade Center

akibat aksi teroris di New York menyebabkan IHSG terus terpuruk hingga ke

sekitar level 350 poin.

Investor asing mulai masuk lagi ke BEJ pada tahun 2002, sehingga

sepanjang semester I tahun 2002, BEJ mencatat prestasi sebagai bursa yang

kinerjanya terbaik di dunia. IHSG telah menguat dari 383 poin (2 Jan 2002)

menembus level 540 poin(14 Juni 2002), naik sekitar 42% dalam waktu 6 bulan.

Nilai transaksi meningkat drastis menjadi sekitar Rp. 500 miliar hingga Rp. 600

miliar sehari.

Kemudian IHSG mulai jatuh kembali akibat peristiwa akuntansi yang

melemahkan bursa saham Amerika, krisis ekonomi Amerika, Bom Bali (Oktober

2002) dan terkuaknya kejadian-kejadian “memalukan” di pasar modal, seperti:

adanya emiten yang melakukan penggelembungan laporan keuangan, pimpinan

perusahaan sekuritas “dikirim” ke tahanan polisi, dan semakin meningkatnya

pelanggaran peraturan-peraturan pasar modal. Tetapi pada tahun ini juga BEJ

melakukan penyempurnaan sistem scriptless trading dan remote trading.

Tetapi pada Maret 2003 dimana perekonomian sudah menunjukan suatu

pemulihan dan suku bunga yang mulai stabil, BEJ mulai “diserbu” lagi oleh para

investor baik asing maupun domestik. Sehingga bulan ini menjadi awal dari

Bullish Trend IHSG yang cukup panjang, dan pada akhir tahun 2004 dibawah

Page 9: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

48

pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono IHSG berhasil menembus level 1000

poin, yang mana lebih besar dari ekspektasi optimis masyarakat.

IV.1.4 Perkembangan Laju Inflasi Periode 1997 – 2005

Memasuki tahun 1997, laju inflasi masih dapat dikatakan normal, malah

mengalami deflasi dalam bulan Maret dan Juni yaitu sebesar 0.12% dan 0.17%.

Namun setelah gejolak nilai tukar yang menimpa Indonesia, laju inflasi mulai

Gambar 4.2Pergerakan Laju Inflasi Tahun 1997 - 2005

-2

0

2

4

6

8

10

12

14

Jan 97 Jul 97 Jan 98 Jul 98 Jan 99 Jul 99 Jan 00 Jul 00 Jan 01 Jul 01 Jan 02 Jul 02 Jan 03 Jul 03 Jan 04 Jul 04 Jan 05 Jul 05

Bulan

% In

flasi

(ber

dasa

rkan

IHK

)

Sumber : Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Bank Indonesia, Tahun 1997 – 2005

tidak dapat dikendalikan lagi, walaupun laju inflasi pada awal krisis masih

tergolong wajar. Kebijakan moneter untuk menekan laju inflasi tersebut

dirasakan kurang efektif lagi. Hal ini ditambah dengan tidak adanya pemasukan

modal luar negeri, maka yang seharusnya peningkatan suku bunga efektif untuk

meredam laju inflasi, namun yang terjadi adalah peningkatan suku bunga sangat

tinggi sedangkan perekonomian mengalami hiper-inflasi.

Page 10: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

49

Oleh karena itu, selama krisis kemungkinan terjadi hubungan yang lemah

antara suku bunga dengan inflasi. Faktornya karena suku bunga yang tinggi lebih

banyak dipengaruhi oleh kelangkaan likuiditas yang dialami oleh bank-bank

yang tidak sehat secara struktural, mengandalkan sumber dana dari pasar uang

antar bank, ditambah lagi adanya rush oleh para nasabah. Oleh karena itu

penetapan suku bunga yang tinggi masih tidak dapat menahan laju inflasi

tersebut, karena penyebab dari laju inflasi yang tinggi ini bukan berasal dari

Demand Pull melainkan Cost Push.

Gambar 4.2 menunjukan mulai kapan inflasi tersebut tidak terkendali,

hingga pada akhir tahun 1998 mencapai laju inflasi yang cukup tinggi yaitu

77.63% per tahun sedangkan pada tahun sebelumnya hanya mencapai 11.05%.

Memasuki tahun 1999 inflasi sudah mulai terkendali akibat bantuan Dana

Moneter Internasional (IMF). Kemudian inflasi terus berada rata-rata di bawah

2% per bulannya.

Tahun 2004 ke depan inflasi dijaga ketat oleh BI untuk tetap berada di

kisaran 6-7% dengan mempertahankan kebijakan moneter yang cenderung ketat.

Tetapi di periode ini inflasi mengalami tekanan untuk meningkat disebabkan:

harga minyak dunia yang tinggi, ekspektasi masyarakat internasional terhadap

kemungkinan kenaikan suku bunga The Fed Amerika, peningkatan konsumsi,

dan perkembangan ekonomi di dalam negeri.

Hingga pada Oktober tahun 2005 laju inflasi melonjak hingga ke angka

8.70% disebabkan dampak kenaikan harga BBM yang sekitar 80% lebih,

mempengaruhi peningkatan harga pada semua kelompok barang dan jasa.

Page 11: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

50

Kenaikan harga BBM ini disebabkan adanya penghapusan subsidi pemerintah

untuk BBM dan dialihkan kepada bantuan tunai untuk para fakir miskin.

IV.1.5 Perkembangan Suku Bunga Deposito Bank Umum Periode 1997 –

2005

Sampai sebelum krisis ekonomi (Juli 1997), kebijakan moneter memiliki

banyak sasaran, seperti pertumbuhan yang tinggi, stabilitas harga dan neraca

Gambar 4.3Perkembangan Tingkat Bunga Deposito 1 Bulan Bank Umum Tahun 1997 - 2005

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

Jan 97 Jul 97 Jan 98 Jul 98 Jan 99 Jul 99 Jan 00 Jul 00 Jan 01 Jul 01 Jan 02 Jul 02 Jan 03 Jul 03 Jan 04 Jul 04 Jan 05 Jul 05

Bulan

% su

ku b

unga

/bul

an

Sumber : http://www.bi.go.id

pembayaran yang mantap. Namun semenjak krisis, Bank Indonesia menetapkan

sistem nilai tukar mengambang, dan sasaran kebijakan moneter diprioritaskan

untuk menstabilkan harga dan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS. Dalam masa

krisis ini, dimana terjadi perkembangan harga yang hiper-inflasi dan depresiasi

nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS, maka bunga nominal dipertahankan tetap

tinggi. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.3 yang menunjukan tingkat bunga

Page 12: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

51

Deposito 1 bulan yang berada di atas level 20% per tahun dari bulan Agustus

1997 sampai akhir Juni 1999.

Tingkat bunga yang tinggi secara teoritis dalam perekonomian terbuka

dengan arus lalu lintas modal yang bebas akan memperkuat nilai tukar karena

terjadi pemasukan modal dari luar negeri. Namun hal ini tidak berlaku dalam

masa krisis. Suku bunga yang tinggi tetapi nilai tukar masih tetap merosot. Hal

ini terjadi karena suku bunga tidak akan efektif untuk memperkuat nilai tukar

dan menurunkan laju inflasi apabila terdapat faktor-faktor non-ekonomis yang

mengganggu, seperti: rumor negatif, gangguan keamanan dan sosial.

Tingkat bunga yang tinggi ini akhirnya mulai mereda pada sekitar

Agustus 1999, yang disebabkan mulai meredanya juga krisis perbankan nasional.

Untuk menciptakan perekonomian yang stabil maka BI membuat kebijakan

moneter untuk menjaga stabilitas suku bunga dengan cara menyerap kelebihan

likuiditas yang terjadi di perbankan, melalui Fasilitas Simpanan Bank Indonesia

(Fasbi) dan pelaksanaan lelang SBI.

Kestabilan tingkat bunga ini membuat para pebisnis mulai melakukan

kembali kegiatannya, tetapi tidak banyak berdampak pada perkembangan IHSG.

Baru setelah suku bunga deposito rata-rata berada dibawah 12% per tahun,

aktivitas bursa mulai ramai dan IHSG melonjak hingga menembus level 1000

poin.

Page 13: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

52

IV.2 Analisa Korelasi Tingkat Bunga dan Inflasi Terhadap IHSG

IV.2.1 Periode Tahun 1997-2005

Dalam sub-bab ini, penulis akan membahas faktor ekternal yang akan

mempengaruhi fluktuasi IHSG, yaitu laju inflasi dan tingkat bunga deposito 1

bulan pada bank umum.

Untuk menguji hipotesa, maka digunakan fungsi regresi linear berganda

dimana variabel inflasi (X1) dan variabel tingkat bunga (X2) adalah variabel

bebas (independen). Sementara variabel IHSG sebagai variabel tidak bebas

(dependen). Dengan menggunakan program Microsoft Excel, maka didapat hasil

sebagai berikut (1997-2005):

Tabel 4.1 Tabel ANOVA 1

All SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics Correlation: %5=α Multiple R 0.481490262 IHSG-Inflasi -0.106610245t table :1.6449R Square 0.231832872 IHSG-Bunga -0.465897124F table :3.07 Adjusted R Square 0.217201118 Inflasi-Bunga 0.460412264 Standard Error 198.9431612 Observations 108 Stdev IHSG : 224.8557077 ANOVA

df SS MS F Regression 2 1254199.508 627099.754 15.84450227Residual 105 4155730.047 39578.3814 Total 107 5409929.555

Coefficients Standard Error t Stat Intercept 726.8915245 31.2856854 23.23399712 X Variable 1 14.99667366 10.55352629 1.421010689 X Variable 2 -105.1841232 19.16070473 -5.489574871

Page 14: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

53

Average Min Max Rentang IHSG 592.007713 276.15 1182.301 906.151 Inflasi 1.20962963 -1.05 12.76 13.81 Tingkat bunga 1.454822531 0.49 5.15 4.66 Sumber: Hasil Data analysis Microsoft Excel

Yang berarti apabila kita memasukan hasil analisa di atas kedalam model

penelitian, maka:

IHSG = 726.8916 + 14.9967.Inflasi – 105.1841.Bunga

Dari persamaan dan analisa regresi linear di atas maka dapat

diinterpretasikan sebagai berikut:

b0 = 726.8915845 artinya bahwa jika tingkat bunga dan laju inflasi tidak

terjadi dan diabaikan atau sama dengan nol (0), maka IHSG akan berada di posisi

726.8915845 poin.

b1 = 14.99667366 artinya bahwa jika tingkat bunga diabaikan atau sama

dengan nol (0), maka setiap kenaikan 1% inflasi akan mengakibatkan kenaikan

Indeks sebesar 14.99667366 poin.

b2 = –105.1841232 artinya bahwa jika laju inflasi diabaikan atau sama

dengan nol (0), maka setiap kenaikan 1% tingkat bunga akan mengakibatkan

penurunan Indeks sebesar 105.1841232 poin.

Perhitungan di atas menunjukan nilai R-square = 0.231832872 atau

23.18% yang berarti model di atas dapat menjelaskan perilaku IHSG sebesar

23.18%(rendah). Sedangkan sisanya sebesar 76.82% tidak dapat dijelaskan oleh

model di atas.

Menurut uji statistik yang telah dilakukan didapat suatu kesimpulan

bahwa inflasi mempunyai hubungan yang tidak signifikan terhadap IHSG, hal

Page 15: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

54

ini dapat dilihat dari nilai t-statistik yang diperoleh sebesar 1.421010689 lebih

kecil daripada nilai t-table sebesar 1.6449 (Ho diterima).

Sementara tingkat bunga mempunyai hubungan yang signifikan

terhadap IHSG, hal ini dapat dilihat dari nilai t-statistik yang diperoleh sebesar -

5.489574871 lebih kecil daripada nilai t-table sebesar -1.6449 (Ho ditolak)

05.0=α

-t 0.05 (-1.6449) t 0.05 (1.6449) Ho diterima Gambar 4.4 Kurva t-Test 1

Hubungan antara laju inflasi dan tingkat bunga deposito bank umum 1

bulan secara bersama-sama dapat tercermin dari uji F (F-test). Analisa regresi

berganda yang diperoleh sebesar 15.84450227 menujukan hasil yang lebih besar

daripada nilai F-table dengan level signifikan %5=α adalah 3.07. Sehingga Ho

ditolak, Ha diterima, yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan dari

seluruh variabel independen tersebut terhadap variabel dependen (IHSG).

05.0=α

F0.05 (3.07) Ho diterima Gambar 4.5 Kurva F-Test 1

Kemudian korelasi antar variabel dalam analisa di atas menunjukan berapa

besar hubungan suatu variabel dengan variabel lainnya. IHSG-Inflasi: -

Page 16: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

55

0.106610245, yang berarti IHSG dengan inflasi berkorelasi negatif sebesar

0.106610245 atau 10.66%. IHSG-Bunga: -0.465897124, yang berarti IHSG

dengan tingkat bunga berkorelasi negatif sebesar 0.465897124 atau 46.59%.

Inflasi-Bunga: 0.460412264 yang berarti laju inflasi dengan tingkat bunga

berkorelasi positif sebesar 0.460412264 atau 46.04%.

Berdasarkan data bulanan selama periode 1997-2005 IHSG bergerak

sebesar 906.151 poin dengan titik terendah di level 276.15 poin dan titik tertinggi

di level 1182.301 poin dengan tingkat fluktuasi (Standar Deviasi) sebesar

224.8557077; laju inflasi bergerak sebesar 13.81 poin (bukan akumulasi) dengan

titik terendah di level -1.05% dan titik tertinggi di level 12.76%; tingkat bunga

bergerak sebesar 4.66 poin dengan titik terendah di level 0.49% dan titik

tertinggi di level 5.15%.

Dalam tahun 1997-2005 terdapat peristiwa krisis ekonomi yang melanda

bangsa Indonesia, sehingga dalam rentang periode penelitian terdapat 2 periode

yaitu: periode krisis ekonomi/moneter (Juli 1997 – Juni 1999), periode pasca

krisis dan pemulihan ekonomi Indonesia (Juli 1999 – Desember 2005). Dan

kalau kita lihat dari hasil analisa regresi berganda di atas menunjukan koefisien

determinasi yang amat kecil yaitu 0.231832872 atau 23.18%, sehingga model

tersebut tidak dapat dijadikan acuan dalam menentukan nilai IHSG periode

mendatang. Maka penulis mencoba untuk menganalisa kembali dengan cara

memisahkan analisa masing-masing periode, yaitu: analisa regresi berganda pada

saat krisis moneter (Juli 1997 – Juni 1999), dan analisa regresi berganda pada

saat pasca krisis dan pemulihan ekonomi Indonesia (Juli 1999 – Desember

2005).

Page 17: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

56

IV.2.2 Periode Juli 1997 – Juni 1999

Dalam periode ini Indonesia dilanda suatu krisis yang luar biasa (uraian

terdapat dalam sub-bab IV.1). Sub-bab ini ingin menjelaskan analisa model

penelitian dalam peristiwa krisis moneter tersebut.

Berikut adalah hasil analisa yang diperoleh dengan program Microsoft

Excel:

Tabel 4.2 Tabel ANOVA 2

Krisis (Jul 97-Jun 99) SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics Correlation %5=α Multiple R 0.687442092 IHSG-Inflasi -0.099179744 t table :1.7139R Square 0.47257663 IHSG-Bunga -0.686378348 F table :3.47 Adjusted R Square 0.422345832 Inflasi-Bunga 0.199077845 Standard Error 78.64851677 Observations 24 Stdev IHSG 103.4800384 ANOVA

df SS MS F Regression 2 116389.349 58194.67448 9.408105305Residual 21 129897.373 6185.589191 Total 23 246286.722

Coefficients Standard Error t Stat Intercept 668.4317396 51.31540264 13.02594748 X Variable 1 1.209028469 5.01213897 0.241220061 X Variable 2 -64.95317053 15.13219286 -4.292383209 Average Min Max Rentang IHSG 459.62 276.15 721.27 445.12 Inflasi 2.950416667 -0.68 12.76 13.44 Tingkat bunga 3.27 1.29 5.15 3.86 Sumber: Hasil Data analysis Microsoft Excel

Yang berarti apabila kita memasukan hasil analisa di atas kedalam model

penelitian, maka:

Page 18: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

57

IHSG = 668.4317 + 1.2090.Inflasi – 64.9532.Bunga

Dari persamaan dan analisa regresi linear di atas maka dapat

diinterpretasikan sebagai berikut:

b0 = 668.4317396 artinya bahwa jika tingkat bunga dan laju inflasi tidak

terjadi dan diabaikan atau sama dengan nol (0), maka IHSG akan berada di posisi

668.4317396 poin.

b1 = 1.209028469 artinya bahwa jika tingkat bunga diabaikan atau sama

dengan nol (0), maka setiap kenaikan 1% inflasi akan mengakibatkan kenaikan

Indeks sebesar 1.209028469 poin.

b2 = – 64.95317053 artinya bahwa jika laju inflasi diabaikan atau sama

dengan nol (0), maka setiap kenaikan 1% tingkat bunga akan mengakibatkan

penurunan Indeks sebesar 64.95317053 poin.

Perhitungan di atas menunjukan nilai R-square = 0.47257663 atau

47.26% yang berarti model di atas dapat menjelaskan perilaku IHSG sebesar

47.26%(sedang). Sedangkan sisanya sebesar 52.74% tidak dapat dijelaskan oleh

model di atas.

Menurut uji statistik yang telah dilakukan didapat suatu kesimpulan

bahwa inflasi mempunyai hubungan yang tidak signifikan terhadap IHSG, hal

ini dapat dilihat dari nilai t-statistik yang diperoleh sebesar 0.241220061 lebih

kecil daripada nilai t-table sebesar 1.7139 (Ho diterima).

Sementara tingkat bunga mempunyai hubungan yang signifikan

terhadap IHSG, hal ini dapat dilihat dari nilai t-statistik yang diperoleh sebesar -

4.292383209 lebih kecil daripada nilai t-table sebesar -1.7139 (Ho ditolak).

Page 19: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

58

05.0=α

-t 0.05 (-1.7139) t 0.05 (1.7139) Ho diterima Gambar 4.6 Kurva t-Test 2

Hubungan antara laju inflasi dan tingkat bunga deposito bank umum 1

bulan secara bersama-sama dapat tercermin dari uji F (F-test). Analisa regresi

berganda yang diperoleh sebesar 9.408105305 menunjukan hasil yang lebih

besar daripada nilai F-table dengan level signifikan %5=α adalah 3.47.

Sehingga Ho ditolak, Ha diterima, yang berarti terdapat pengaruh yang

signifikan dari seluruh variabel independen tersebut terhadap variabel dependen

(IHSG).

05.0=α

F0.05 (3.47) Ho diterima Gambar 4.7 Kurva F-Test 2

Kemudian korelasi antar variabel dalam analisa di atas menunjukan

berapa besar hubungan suatu variabel dengan variabel lainnya. IHSG-Inflasi: -

0.099179744, yang berarti IHSG dengan inflasi berkorelasi negatif sebesar

0.099179744 atau 9.92%. IHSG-Bunga: -0.686378348, yang berarti IHSG

dengan tingkat bunga berkorelasi negatif sebesar 0.686378348 atau 68.64%.

Page 20: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

59

Inflasi-Bunga: 0.199077845 yang berarti laju inflasi dengan tingkat bunga

berkorelasi positif sebesar 0.199077845 atau 19.91%.

Berdasarkan data bulanan selama periode Juli 1997 – Juni 1999 IHSG

bergerak sebesar 445.12 poin dengan titik terendah di level 276.15 poin dan titik

tertinggi di level 721.27 poin dengan tingkat fluktuasi (Standar Deviasi) sebesar

103.4800384; laju inflasi bergerak sebesar 13.44 poin (bukan akumulasi) dengan

titik terendah di level -0.68% dan titik tertinggi di level 12.76%; tingkat bunga

bergerak sebesar 3.86 poin dengan titik terendah di level 1.29% dan titik

tertinggi di level 5.15%.

IV.2.3 Periode Juli 1999 – Desember 2005

Peristiwa krisis moneter yang cukup menyakiti Indonesia mulai mereda

pada periode ini. Indonesia kembali melakukan pembangunan ekonomi dan

perbaikan-perbaikan di berbagai sektor. Usaha pemerintah dan beberapa

perubahan kepepimpinan telah membawa IHSG memasuki Bullish trend yang

bahkan tidak diperkirakan oleh masyarakat sebelumnya, yaitu menembus level

1000 poin. Yang dimana level ini adalah suatu level pergerakan Indeks yang

baru yang belum pernah dicapai sebelumnya. Bahkan hingga saat tulisan ini

dibuat Indeks terus bergerak di atas level 1000 poin.

Berikut adalah hasil analisa yang diperoleh dengan program Microsoft Excel:

Page 21: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

60

Tabel 4.3 Tabel ANOVA 3

Setelah krisis(Jul99-Des05) SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics Correlation %5=α Multiple R 0.696086375 IHSG-Inflasi 0.128668339 t table :1.6449R Square 0.484536242 IHSG-Bunga -0.680665876 F table :3.15 Adjusted R Square 0.470790542 Inflasi-Bunga 0.024964003 Standard Error 177.7452579 Observations 78 Stdev IHSG 244.3341797 ANOVA

df SS MS F Regression 2 2227334.481 1113667.24 35.25002252Residual 75 2369503.253 31593.37671 Total 77 4596837.734

Coefficients Standard Error t Stat Intercept 1141.856628 69.35868164 16.46306708 X Variable 1 31.40195201 17.86684888 1.757554017 X Variable 2 -595.032582 72.10995283 -8.251739998 Average Min Max Rentang IHSG 625.32 358.23 1182.30 824.07 Inflasi 0.734487179 -1.05 8.7 9.75 Tingkat bunga 0.91 0.49 1.46 0.98 Sumber: Hasil Data analysis Microsoft Excel

Yang berarti apabila kita memasukan hasil analisa di atas kedalam model

penelitian, maka:

IHSG = 1141.8566 + 31.4020.Inflasi – 595.0326.Bunga

Dari persamaan dan analisa regresi linear di atas maka dapat

diinterpretasikan sebagai berikut:

b0 = 1141.856628 artinya bahwa jika tingkat bunga dan laju inflasi tidak

terjadi dan diabaikan atau sama dengan nol (0), maka IHSG akan berada di posisi

1141.856628 poin.

Page 22: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

61

b1 = 31.40195201 artinya bahwa jika tingkat bunga diabaikan atau sama

dengan nol (0), maka setiap kenaikan 1% inflasi akan mengakibatkan kenaikan

Indeks sebesar 31.40195201 poin.

b2 = – 595.032582 artinya bahwa jika laju inflasi diabaikan atau sama

dengan nol (0), maka setiap kenaikan 1% tingkat bunga akan mengakibatkan

penurunan Indeks sebesar 595.032582 poin.

Perhitungan di atas menunjukan nilai R-square = 0.484536242 atau

48.45% yang berarti model di atas dapat menjelaskan perilaku IHSG sebesar

48.45%(sedang). Sedangkan sisanya sebesar 51.55% tidak dapat dijelaskan oleh

model di atas.

Menurut uji statistik yang telah dilakukan didapat suatu kesimpulan

bahwa inflasi dan tingkat bunga mempunyai hubungan yang signifikan

terhadap IHSG secara individu, hal ini dapat dilihat dari nilai t-statistik yang

diperoleh sebesar 1.757554017 untuk inflasi dan -8.251739998 untuk tingkat

bunga yang semuanya lebih besar daripada nilai t-table sebesar 1.6449 (Ho

ditolak).

05.0=α

-t 0.05 (-1.6449) t 0.05 (1.6449) Ho diterima Gambar 4.8 Kurva t-Test 3

Hubungan antara laju inflasi dan tingkat bunga deposito bank umum 1

bulan secara bersama-sama dapat tercermin dari uji F (F-test). Analisa regresi

berganda yang diperoleh sebesar 35.25002252 menunjukan hasil yang jauh lebih

Page 23: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

62

besar daripada nilai F-table dengan level signifikan %5=α adalah 3.15.

Sehingga Ho ditolak, Ha diterima, yang berarti terdapat pengaruh yang

signifikan dari seluruh variabel independen tersebut terhadap variabel dependen

(IHSG).

05.0=α

F0.05 (3.15) Ho diterima Gambar 4.9 Kurva F-Test 3

Kemudian korelasi antar variabel dalam analisa di atas menunjukan

berapa besar hubungan suatu variabel dengan variabel lainnya. IHSG-Inflasi:

0.128668339, yang berarti IHSG dengan inflasi berkorelasi positif sebesar

0.128668339 atau 12.87%. IHSG-Bunga: -0.680665876, yang berarti IHSG

dengan tingkat bunga berkorelasi negatif sebesar 0.680665876 atau 68.07%.

Inflasi-Bunga: 0.024964003 yang berarti laju inflasi dengan tingkat bunga

berkorelasi positif sebesar 0.024964003 atau 2.496%.

Berdasarkan data bulanan selama periode Juli 1999 – Desember 2005

IHSG bergerak sebesar 824.07 poin dengan titik terendah di level 358.23 poin

dan titik tertinggi di level 1182.30 poin dengan tingkat fluktuasi (Standar

Deviasi) sebesar 244.3341797; laju inflasi bergerak sebesar 9.75 poin(bukan

akumulasi) dengan titik terendah di level -1.05% dan titik tertinggi di level 8.7%;

tingkat bunga bergerak sebesar 0.98 poin dengan titik terendah di level 0.49%

dan titik tertinggi di level 1.46%.

Page 24: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

63

IV.2.4 Rangkuman

Berikut adalah perbandingan ketiga model penelitian yang telah dibahas:

Jan 97 – Des 05 : IHSG = 726.8916 + 14.9967.Inflasi – 105.1841.Bunga

KP = 23.18% KKLB = 48.15%

Jul 97 – Jun 99 : IHSG = 668.4317 + 1.2090.Inflasi – 64.9532.Bunga

KP = 47.26% KKLB = 68.74%

Jul 99 – Des 05 : IHSG = 1141.8566 + 31.4020.Inflasi – 595.0326.Bunga

KP = 48.45% KKLB = 69.61%

Melihat perbandingan di atas tampak bahwa model penelitian mempunyai

Koefisien Korelasi (KP) terbesar pada saat keadaan ekonomi Indonesia sedang

mengalami pemulihan dan menuju kepada kestabilan.

Dari model tersebut (setelah krisis) kita mendapat informasi bahwa

pergerakan IHSG amat sensitif terhadap tingkat bunga 1 bulan deposito bank

umum, hal ini terlihat dari nilai b2 yaitu sebesar -595.0326, yang berarti apabila

suku bunga deposito bank umum naik sebesar 1%(1 bulan) atau 12% (1 tahun),

maka IHSG akan jatuh sebesar 595.0326 poin. Dan juga bila kita

membandingkan korelasi IHSG dengan suku bunga dari ketiga periode model di

atas, kita akan melihat korelasi ini terus menerus menduduki peringkat pertama.

Dalam keadaan krisis moneter pergerakan IHSG paling banyak

dipengaruhi oleh keadaan sosial politik dan keamanan negara dibandingkan

dengan inflasi, karena inflasi yang terjadi pada saat itu bukan berarti adanya

pertumbuhan ekonomi yang baik, tetapi disebabkan karena adanya gejolak nilai

Page 25: BAB IV 4 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2007-1-00006-AK-Bab 4.pdf40 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisa Kontributor Kenaikan Inflasi, Tingkat Bunga, dan IHSG

64

tukar Rupiah terhadap dolar AS yang luar biasa. Tetapi faktor tingkat bunga tetap

mempengaruhi secara signifikan.