bab iii substansi psikologi dan tasawuf:...
TRANSCRIPT
75
BAB III
SUBSTANSI PSIKOLOGI DAN TASAWUF:
KESEHATAN MENTAL DALAM AGAMA
A. SUBSTANSI PSIKOLOGI
Psikologi pada awalnya dipakai oleh ilmuwan dan para filosof
untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam memahami akal pikiran dan
segala bentuk tingkah laku mahluk hidup mulai dari yang paling primitif
sampai yang paling modern.
Sebelum menjadi disiplin ilmu tersendiri, psikologi memiliki
hubungan dengan ilmu kedokteran dan ilmu filsafat hingga saat ini masih
tampak sekali pengaruhnya. Seperti keterkaitan antara kondisi psikis dengan
kondisi jasmani (organ-organ biologis). Sedangkan dalam filsafat berkenaan
dengan persoalan nalar atau akal (IQ), kehendak, pengetahuan dan hal-hal
yang berkaitan dengan mental manusia, dan dalam Filsafat juga sudah mem-
pelajari mengenai gejala-gejala kejiwaan.
Hal tersebut telah dibicarakan sejak tahun 500 atau 600 tahun
sebelum Masehi, oleh para filsuf Yunani Kuno seperti Socrates (469-399
SM), Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM).1 Yang pada
perkembangannya hal tersebut diambil alih ilmu psikologi sebagai obyek
kajiannya, dan pada perkembangannya menjadi ilmu yang berdiri sendiri.
Psikologi bisa disebut sebagai ilmu yang berdiri sendiri dan berani
mempopulerkan diri sebagai ilmu yang mandiri, hal ini pertama kali di
cetuskan oleh Wilhelm Wundt (1832-1920)2 dengan mendirikan
laboratorium psikologi pertama kali di Leipzig, pada tahun 1879.
Laboratorium tersebut berfungsi untuk menyelidiki peristiwa-peristiwa
kejiwaan yang kaitannya dengan perilaku manusia ataupun binatang.
1 Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976) 2 Dalam teorinya (Wundt) terkait dengan masalah psikologis atau proses mental
mengatakan bahwa, psyche itu seperti air, aktif, dan terus-menerus selalu berubah, sehingga keberadaannya tidak bisa direkam, dianalisis atau diketahui secara pasti layaknya ilmu alam (eksakta). Pandangan ini bisa disebut sebagai “teori aktualitas” yang berpendapat bahwa psyche adalah aktual, sebagai bentuk fenomena langsung (Immediate phenomenal), bukan suatu fenomena buatan. (Ibid., hlm. 6)
76
Dengan berdirinya laborat tersebut psikologi semakin berkembang dan
semakin jelas jenis kelaminnya.
Perkembangan psikologi dimulai pada abad ke-17 dan ke-18, dan
kelihatan semakin pesat kemajuannya pada abad ke-20. Pada awalnya
psikologi adalah bagian daripada filsafat sebagaimana dengan ilmu-ilmu
lain seperti, ilmu hukum, etika, ilmu ekonomi, biologi sebagainya.3
Perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan alam dan empiris pada abad ke-
17 sampai abad ke-19 sangat mempengaruhi perkembangan psikologi. Sejak
pertengahan abad-19, dikenal sebagai abad kelahiran psikologi kontemporer
di dunia Barat, terdapat banyak pengertian mengenai “psikologi” yang
ditawarkan oleh para psikolog. Masing-masing pengertian memiliki
keunikan, seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut oleh
penciptanya. Meskipun demikian, perumusan pengertian psikologi dapat
disederhanakan dalam tiga pengertian.4
Pertama, Psikologi adalah studi tentang jiwa (pyche), seperti studi
yang dilakukan Plato (427-347 SM.) dan Aristoteles (384-322 SM.) tentang
kesadaran dan proses mental yang berkaitan dengan jiwa.
Kedua, Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan
mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, inteligensi, kemauan, dan
ingatan. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt.
Ketiga, Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku
organisme, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap
sesamanya, dan sebagainya. Pandangan ketiga psikologi hanya dipahami
bahwa psikologi adalah satu disiplin ilmu yang secara khusus mempelajari
tingkah laku manusia yang tampak secara lahiriah. Karena apa yang diamati
dan yang dapat diukur adalah hal-hal yang tampak dan dapat dilihatnya,
sedangkan jiwa tidak dapat dilihat, diamati dan tidak dapat di ukur. Definisi
yang terakhir ini dipelopori oleh John Watson dan Ivan pavlov, yang
3 F. Patty, dkk, Pengantar Psikologi Umum, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 12. 4 Sarlito Wirawan Sarwono, op. cit., hlm.12-16.
77
terkenal dengan sebutan S-R (stimulus response) dan conditioning response
(C-R). 5
Dalam istilah klasik psikologi disebut juga ilmu jiwa, yang diambil
dari kata bahasa Inggris psychology, kata ini berasal dari dua akar kata yang
bersumber dari bahasa Yunani yaitu berasal dari kata psyche yang berarti
jiwa, dan dari kata logos yang berarti ilmu, dengan demikian secara harfiah
(etimologi) psikologi artinya “ilmu jiwa”.6 Dengan demikian secara harfiah
psikologi dapat dipahami yang berarti ilmu jiwa.
Adapun secara terminologi psikologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang jiwa atau batin. Namun, dewasa ini, pengertian tentang psikologi
sebagai suatu disiplin ilmu, sangat kompleks sehingga sering kita temukan
adanya perbedaan pengertian atau definisi yang diberikan oleh setiap
orang. Pada umumnya, para ahli linguist dalam mendefinisikan sesuatu
hanya sebatas kata itu saja sehingga sering kali ditemukan definisi kata
tersebut dalam arti yang lebih sempit. Walaupun demikian, pada
kenyataannya, seperti terdapat dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia”,
tidaklah demikian. Kata psikologi dalam buku tersebut didefinisikan yaitu,
sebagai ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun
abnormal, dan pengaruhnya terhadap perilaku, atau dapat berarti juga
5 Stimulus respon istilah ini dipopulerkan oleh Ivan Pavlov, dkk. Pavlov adalah Seorang
psikolog dari Rusia. Dia jua sebagai seorang tokoh mazhab psikologi behaviorisme. Uji coba (eksperimen) yang dilakukan yaitu, dengan memperlakukan seekor anjing yang lapar, dimasukkan ke dalam suatu ruangan (kandang) yang sudah di desain sedemikian rupa. Dalam ruangan tersebut Pavlov membunyikan suatu bel, akan tetapi anjing tidak mengeluarkan reaksi apapun dari mulutnya walau dalam kondisi lapar, kemudian uji coba selanjutnya Pavlov meletakkan daging yang terbungkus di depan anjing, reaksi yang muncul anjing mengeluarkan air liur, pada saat bersamaan bel dinyalakan dan daging diberikan. Selanjutnya setelah dilakukan beberapa kali bel dinyalakan tanpa memberikan daging kepada anjing, dan setiap bel dinyalakan anjing mengeluarkan reaksi selalu mengeluarkan air liurnya. Begitu juga S_R. sehingga eksperimen tersebut menghasilkan satu kesimpulan bahwa, psikologi adalah satu ilmu yang mempelajari laku (behavior) manusia, bukan kesadaran manusia. Tidak heran apa bila madzab behaviorist menganggap bahwa, gangguan mental itu bukan disebabkan karena gangguan kejiwaan melainkan perilaku yang menyimpang (maladaptive behavior) akibat pelajiman (conditioning) tau pengambilan satu respon yang salah secara terus menrus, dalam arti yang lain perilaku menyimpang itu akibat proses belajar yang salah. (Agus Sujanto, psikologi Umum, hlm. 116-117.)
6 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan; Suatu Pendekatan Baru, (Bandung: PT Rosdakarya, 1996), hlm. 7-8.
78
sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang gejala dan masalah-
masalah aktifitas jiwa.7
Sedangkan dalam “kamus psikologi” kata psikologi didefinisikan
dalam arti yang lain. Dalam buku tersebut kata psikologi tidak hanya
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang jiwa, tetapi juga
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang sesuatu yang
berhubungan dengan kesadaran, sensasi dan pikiran.8 Definisi ini lebih
cenderung merujuk pada psikologi dalam, dan kelihatannya sedikit
bertentangan dengan psikologi behaviourisme. Karena psikologi tidak
hanya berhubungan hal-hal yang bersifat jasmaniah yang memiliki corak
empiris dan objektif, namun psikologi juga berkaitan pada hal-hal yang
bersifat psikis (psyche) yang mungkin tidak dapat diukur secara statistik.
Sementara itu psikologi akan mempunyai definisi yang berbeda
apabila para sosiolog, antropolog, filosof, dan para sufi yang
mendefinisikannya. Kenapa demikian karena pendekatan dan sudut
pandang mereka tidak sama, karena berangkat dari disiplin ilmu yang
berbeda. 9
Sampai saat ini psikologi dipahami sebagai ilmu pengetahuan yang
mempelajari secara khusus mengenai kondisi-kondisi jiwa atau psikologis
manusia. Ilmu ini disebut juga sebagai ilmu jiwa, walaupun arti “ilmu
jiwa” itu sendiri masih ada semacam ketidakjelasan. Apa yang dimaksud
dengan “jiwa”, tidak ada seorang pun yang tahu dengan sesungguhnya.
Karena kekaburan arti tersebut menimbulkan keanekaragaman pendapat
mengenai definisi psikologi. Banyak para sarjana dan para ilmuwan mem-
beri definisi yang jauh berbeda dengan pendapat ilmuwan lain, hal ini bisa
dimaklumi karena pendapatnya itu disesuaikan dengan arah minat dan
aliran yang diikutinya.
7 Tim Penyusun Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 704. 8 J.P. Chaplin, Kamus lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono, (Jakarta: Rajawali, 1989),
hlm. 354. 9 Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), hlm.
403.
79
Francis Bacon (1600 M) dan Johan Loke (1632-1704), sebagai
tokoh madzhab empirisme, mereka berpendapat bahwa jiwa tidak
mempunyai pengertian yang dibawa sejak lahir, dan semua pengertian dan
alam pikiran berasal dari pengalaman; manusia lahir berjiwa tabularasa
bagaikan kertas putih, serta tingkah laku yang ditunjukkan manusia pada
dasarnya dipelajari berdasarkan pengalaman. Rene Descartes (1596-1650),
seorang filsuf Perancis, pernah mencetuskan definisi bahwa ilmu jiwa
(psikologi) adalah ilmu tentang kesadaran.10 George Berkeley (1685-1753)
seorang filsuf Inggris, mengemukakan pendapat bahwa psikologi adalah
ilmu tentang penginderaan (persepsi).11
Di pihak lain, para ahli ilmu faal, khususnya para dokter yang mulai
tertarik pada masalah-masalah kejiwaan, bersamaan dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan di negara-negara Eropa, mereka
berpendapat bahwa jiwa itu erat sekali hubungannya dengan susunan
syaraf dan refleks-refleks. Hal ini sebagaimana dikemukakan Sir Charles
Pell (1774-1842, Inggris) dan Harancois Magensie (1783-1855, Perancis)
yang menemukan syaraf-syaraf sensorik (penginderaan) dan syaraf-syaraf
motorik (yang mempengaruhi gerak dan kelenjar-kelenjar). Para ahli
kemudian menemukan berbagai hal fungsi jiwa, antara lain pusat bicara
manusia itu berada di otak sebagaimana yang dikemukakan oleh Paul
Brocca, 1824-1880 dan mekanisme refleks oleh Marshall Hall, 1790-1857.
Setelah penemuan-penemuan tersebut timbullah definisi-definisi tentang
psikologi yang mengaitkan psikologi dengan tingkah-laku dan selanjutnya
mengaitkan tingkah-laku dengan refleks. Ivan Pavlov (1849-1936)
misalnya mendefinisikan psikologi sebagai ilmu tentang refleks, oleh
karenanya psikologi tidak berbeda dari ilmu faal.12
Perkembangan dan keragaman definisi-definisi dan substansi
psikologi itu masih terus berlanjut sampai sekarang. Sebagaimana
dikemukan oleh Clifford T. Morgan seorang psikolog kontemporer, ia
mendefinisikan "Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku
10 Suardiman, Psikologi Dalam, (Yogyakarta: Perc”STUDING”, T.Th), hlm. 2. 11 Sarlito Wirawan Sarwono, op. cit., hlm.3-4. 12 Ibid.,
80
manusia dan hewan”. Edwin G. Boring dan Herbert S. Langfeld "Psikologi
adalah studi tentang hakekat manusia”. Garden Murphy, "Psikologi adalah
ilmu yang mempelajari respon yang diberikan oleh makhluk hidup terhadap
lingkungannya".13
Walaupun secara umum psikologi itu membahas tentang jiwa dan
tingkah laku, pada kenyataannya sampai saat ini belum pernah dicapai kata
sepakat. Bahkan sebelum mendapat pengaruh dari faham behaviorist,
masalah jiwa dan jasmani, pernah menjadi isu perdebatan yang cukup serius,
baik dalam dunia psikologi sendiri maupun dalam dunia filsafat. Dalam hal
ini yang menjadi sentral permasalahan yaitu mengenai hubungan yang tepat,
jelas, dan rinci antara jiwa dan raga. Seorang filsuf yang turut memberikan
kontribusi untuk memecahkan masalah ini adalah Plato, menurutnya jiwa
dan badan merupakan dua substansi yang terpisah satu sama lain, tanpa ada
interaksi di antara keduanya.
Ajaran Plato tersebut disebut sebagai orang yang mengikuti faham
dualist dalam jiwa manusia. Hal ini diperkuat lagi oleh statement J.P
Chaplin dia berpendapat bahwa Plato adalah seorang dualist yang pertama.
Namun dalam masalah ini Descartes justru sependapat dengan Plato,
berpendapat bahwa “tubuh dan jiwa merupakan dua substansi yang
berbeda”. Akan tetapi di sisi lain Descartes menentang pendapat Plato
mengenai “ketidakadaan interaksi antara jiwa dan badan”. Sebab dalam
analisa Descartes antara jiwa dan badan justru saling berinteraksi, yang
terjadi pada kelenjar pineal (pineal gland, epiphysis cerebra).14
Keanekaragaman pemahaman dan pandangan tentang psikologi
tersebut. Pada dasarnya Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang tingkah
laku dan kehidupan psikis (jiwani) manusia.
Ada beberapa definisi psikologi sebagai mana yang dikemukakan oleh
para ahli, yaitu:
1. Dalam psikologi umum didefinisikan bahwa psikologi adalah ilmu
pengetahuan tentang aktivitas manusia (behaviorisme radikal).
13 Ibid.,5. 14 J.P. Chaplin, op. cit., hlm. 405.
81
2. Plato mendefinisikan psikologi berarti: Ilmu pengetahuan yang
mempelajari sifat, hakikat, dan hidup jiwa manusia.
3. Menurut aliran empiris dan rasionalisme psikologi adalah Ilmu
pengetahuan yang mempelajari kesadaran atau gejala-gejala kesadaran.15
4. Psikologi menurut Aliran psikologi-dalam (Freudianism): psikologi
adalah ilmu yang mempelajari baik gejala-gejala kesadaran maupun gejala-
gejala ketidaksadaran serta gejala-gejala di bawah sadar. Dan Ilmu
pengetahuan yang mempelajari semua tingkah laku dan perbuatan
individu baik yang terkait dengan dirinya maupun dengan lingkungannya.
5. Psikologi menurut Mac Dougall psikologi adalah; ilmu pengetahuan yang
mempelajari tingkah laku manusia atau human behavior. Karena itu
psikologi digolongkan dalam aliran behaviorism. Aliran ini disampin
dipelopori oleh Mac Dougall, juga dipelopori oleh Thorndike, dan Watson
dari Amerika Serikat, dan A. Pavlov serta Von Bechterew dari Rusia.16
6. Psikologi Menurut Wiliam Louis Stern (1871-1938), psikologi adalah
sebagai ilmu tentang individu yang mengalami atau menghayati, dan
individu yang mampu mengalami atau menghayati.
7. Menurut Woodword dan Marquis psikologi adalah; ilmu pengetahuan yang
mempelajari aktifitas individu dari sejak masih dalam kandungan sampai
meninggal dunia dalam hubungannya dengan alam sekitar.
8. Menurut Wilhelm Wundt17 psikologi adalah merupakan ilmu pengetahuan
yang mempelajari pengalaman-pengalaman yang timbul dalam diri
15 Kesadaran dalam pandangan William, James (91842) sebagaimana yang dikutip oleh
Sukanto MM dalam Bukunya nafsiologi, bahwa kesadaran adalah sebagai hasil adaptasi manusia dalam usahanya mempertahankan jenis dan dirinya (teori evolusi). Dan kesadaran bukan suatu hal yang bersifat statis, melainkan merupakan suatu proses yang mengalir secara terus menerus. Terkait dengan masalah psikologi ia berpendapat bahwa hakikat (substansi) psikologi adalah kesadaran manusia yang bersifat dinamis. Pandangan James tentang diri manusia ia membedakan dalam dua bentuk yaitu “aku” dan “aku sosial” (social me). Aku adalah “diri” sebagai yang mengetahui sesuatu dan “aku sosial” adalah diri sebagai sesuatu yang diketahui secara material dan bersifat umum (social).
16 Kartini Kartono, Psikologi Umum, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 2 17 Wilhelm Wundt adalah seorang tokoh psikologi eksperimental. Dia adalah seorang
ilmuwan psikologi yang pertama kali mendirikan laboratorium psikologi. Fokus yang dikerjakan ialah melakukan penyelidikan, pengamatan terhadap tingkah laku dan keadaan jiwa manusia serta segala bentuk tingkah yang ditimbulkannya, melalui suatu uji coba secara empirik di laboratorium. Eksperimen diartikan yaitu sebagai bentuk kerja dalam suatu penelitian secara khusus terhadap apa yang akan dipelajarinya. Dan eksperimen ini merupakan salah satu metode ilmiah dalam psikologi. Metode ini dipakai karena hasil yang diperoleh merupakan suatu pengamatan langsung dengan
82
manusia, seperti perasaan, panca indera, pikiran, merasa (feeling) dan
kehendak.
9. John Broadus Watson, memandang psikologi yaitu sebagai ilmu
pengetahuan yang mempelajari tingkah laku tampak (lahiriah) dengan
memakai metode observasi yang objektif terhadap rangsangan dan
jawaban. 18
Adapun sebagian ilmuwan memberikan pandangan bahwa, pada
dasarnya psikologi itu menyibukkan diri dengan masalah kegiatan psikis,
seperti berpikir, belajar, menanggapi, mencintai, membenci, dan sebagai
yang terkait dengan kondisi dan kegiatan psikis dengan tingkahlakunya.
Macam-macam kegiatan psikis pada umumnya digolongkan dalam
empat kategori, yaitu: (1) pengenalan atau kognisi, (2) perasaan atau emosi,
(3) kemauan atau konasi, dan (4) gejala campuran. Namun jangan
diabaikan bahwa, setiap aktivitas psikis (jiwani) itu pada waktu yang sama
juga merupakan aktivitas fisik (badani)19. Semua kegiatan jasmaniah, otak,
perasaan, alat indera dan otot-otot juga ikut ambil bagian di dalamnya.
Dari keanekaragaman pendapat para ahli psikologi di atas, hal ini
bisa dimaklumi karena adanya perbedaan sudut pandang dalam mempelajari
dan menyelidiki tingkah laku manusia, sehingga sulit ditemukan atau
melalui satu uji coba yang diamati secara sistematis dalam situasi khusus, dimana gejala-gejala yang diamati begitu disederhanakan menjadi beberapa faktor saja. Sehingga peneliti dapat menguasai seluruh proses eksperimen. Menguasai dalam hal ini berarti; dengan sengaja menciptakan, menghilangkan, mengendalikan dan mengontrol secara sistematis kondisi dan variabelnya, sehingga bisa ditimbulkan atau dihilangkan gejala-gejala psikis dan sosial tertentu untuk diamati dengan teliti. (Kartini Kartono, Psikologi Umum, hlm. 2 dan F. Patty, dkk, Pengantar Psikologi Umum, hlm. 49)
18 Definisi tersebut sebagaimana yang dikutip oleh Sukanto MM. Definisi itu adalah sebagai bentuk untuk menjembatani teori-teori yang dikemukakan oleh aliran nativisme dengan aliran empirisme. Dimana individu yang menghayati atau mengalami adalah obyek dari empirisme dan individu yang berkemampuan atau mampu mengalami atau menghayati adalah pandangan nativisme. Dengan demikian Stern menganut dua faham sekaligus. Lebih jauh lagi Stern mencoba memecahkan suatu persoalan yang terkait masalah hubungan psyche hubungannya dengan jasmani. Menurutnya hubungan itu terletak pada penghayatan. Karena psyche dalam menghayati sesuatu itu tidak bisa lepas dari badan atau selalu melalui badan. Begitu juga sebaliknya apabila psyche ingin mengekspresikan sesuatu juga tidak bisa lepas dengan badan. Hubungan kedua fungsi yang ada dalam diri manusia inilah merupakan suatu cerminan bahwa diri (kondisi psikologis/mental) dan tingkah laku manusia itu selalu ditentukan oleh kedua dimensi yang ada dalam diri manusia tersebut, yakni jiwa-raga, jasmani-ruhani, psikologis-perilaku dan kepribadian-tingkah laku. Jadi tidak gejala-gejala fisik merupakan cerminan dari kondisi psikis. (Sarlito Wirawan Sarwono, op. cit., hlm. 8)
19 Ibid., hlm. 4.
83
disepakati satu rumusan pengertian psikologi yang disepakati oleh semua
pihak. Akan tetapi dari sekian keanekaragaman tersebut secara subtansif
dapat diambil satu pemahaman yang sama, bahwa psikologi adalah; satu
ilmu pengetahuan yang secara khusus mempelajari semua tingkah laku dan
perbuatan individu, dalam mana individu tidak bisa dilepaskan dengan
lingkungannya. Disamping hal tersebut objek yang diamati itu adalah sama,
yakni tingkah laku manusia sejak dilahirkan sampai meninggal.
Dalam mengamati dan menyelidiki keanekaragaman tingkah laku
manusia tidaklah cukup hanya mengandalkan ilmu psikologi, sebagaimana
penyelidikan terhadap macam-macam organ manusia dipelajari dalam
bidang fisiologis, yakni suatu ilmu yang secara khusus meneliti peranan
setiap organ biologis kaitannya dengan fungsi-fungsi kehidupan. Misalnya
meneliti segala sesuatu yang terjadi pada mata, ketika subyek bisa melihat,
meneliti organ-organ pengucap sewaktu orang berbicara, dan juga meneliti
bekerjanya otak yang mampu mengkoordinir semua perbuatan individu
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan lain sebagainya.
Pada dasarnya Fisiologi adalah sebagai ilmu yang turut membantu
psikologi dalam memecahkan persoalan-persoalan manusia yang berkaitan
dengan tingkah laku lahiriah yang bersifat jasmaniah. Ilmu ini penting
diterapkan karena, manusia itu merupakan satu totalitas jasmani dan
rokhani. Semua bentuk dorongan dan impuls (impuls, dorongan, tolakan,
rangsangan, rasa) dari dalam diri manusia yang menyebabkan timbulnya
macam-macam aktivitas fisik dan psikis, yang kemudian psikologi baru bisa
suatu hasil kesimpulan mengenai faktor dan bentuk-bentuk tingkah laku
(perbuatan, aktivitas) individu dalam relasinya dengan lingkungannya
baik normal maupun yang tidak normal.20
Pada era masakini metode-metode psikologi mulai dikembangkan dan
banyak diterapkan dalam kehidupan praktis untuk memecahkan masalah-
masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya, bertolak dari kebutuhan
manusia yang kongkrit, demi tujuan-tujuan kesejahteraan umum. Seperti
20 Bimo Walgito, Psikologi Sosial, (Yogyakarta: Yayasan penerbitan Fakultas Psikologi
UGM, 1987), hlm. 30.
84
dipakai untuk menyelidik masalah ketimpangan sosial dan penyakit sosial
misalnya, perjudian, narkotika, gelandangan, kriminalitas, pelacuran, korupsi,
kenakalan remaja dan konflik-konflik sosial lainnya. Hal ini dapat dipecahkan
melalui wawasan-wawasan psikologis.21
Dengan ilmu psikologi seseorang mampu untuk mempelajari dan
mengenali tingkah laku manusia dengan harapan dapat diperoleh satu
pemahaman keberadaan manusia dengan segala bentuk tingkah lakunya.
Dengan demikian dapat dipahami, psikologi adalah sebagai ilmu pengetahuan
yang memiliki fungsi dan tujuan untuk mempelajari dan menyelidiki
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tingkah laku dan kehidupan psikis
manusia. Sebagai mana dikemukakan Plato, psikologi berarti ilmu
pengetahuan yang mempelajari sifat, hakikat, dan hidup jiwa manusia.
Para ahli psikologi-dalam (Freudianisme) 22 psikologi dimaknai
sebagai ilmu pengetahuan yang bergerak dan mempelajari tentang kesadaran
atau gejala-gejala kesadaran yang ada dalam diri manusia, sementara itu Mac
Dougall penganut aliran psikologi behaviorisme memandang psikologi adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari segala bentuk perilaku manusia.
Psikologi juga memiliki tugas penting yaitu menyelidiki atau meneliti
penomena-penomena kejiwaan seseorang dan berusaha menjelaskan
phenomena tersebut. Akan tetapi pada kenyataannya psikologi dipahami dan
diartikan sebagai ilmu yang menyelidiki, mempelajari dan mengamati segala
bentuk perilaku, gejala-gejala jiwa, dan organisme, yang terkait dengan
tingkah laku manusia.
21 Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta: Rajawali, 1987), hlm.
230-231 22 Psikologi dalam disebut juga dengan psychoanalysis, yang mempelajari dan mencari
sebab perilaku manusia pada dinamika yang jauh di dalam diri manusia, yakni pada alam tak sadar. Ini pertama kali digagas oleh Sigmund Freud. Perdebatan tentang tingkah laku manusia, Freud berpendapat bahwa semua perilaku manusia baik yang tampak maupun yang tersembunyi dalam diri manusia itu ada peristiwa mental yang disadari dan ada pula peristiwa mental yang tidak disadari, ada yang mudah di akses (preconscious) dan ada yang sulit di akses ke alam sadar (unconscious) sehingga bentuk-bentuk perilaku menyimpang atau kelainan-kelainan mental merupakan luapan dari peristiwa-peristiwa yang ditekan dalam alam bawah sadar. (Lih. Pengantar Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan, ((Bandung: Mizan, 2001), hlm. xvii-xviii) )
85
Oleh karena itu psikologi juga dapat didefinisikan sebagai ilmu
pengetahuan yang berusaha memahami segala bentuk perilaku-perilaku
manusia, alasan dan cara mereka melakukan sesuatu, dan juga memahami
bagaimana manusia itu berfikir dan berperasaan, sehingga menjadi manusia
yang berkepribadian, yakni memiliki mental yang baik (sehat).
Untuk memahami tingkah laku, kepribadian ataupun mental seseorang
sebenarnya tidak hanya cukup dengan pendekatan ilmu psikologi belaka,
tetapi perlu juga didukung dengan ilmu lain seperti ilmu fisiologis, sosiologis
dan antropologi. Namun pendekatan yang paling utama untuk mengenal dan
mengetahui segala bentuk kondisi kejiwaan seseorang, yaitu dengan
pendekatan psikologis.23 Karena pendekatan ini dipandang lebih humanis.
Dalam psikologi ada berbagai macam cabang disiplin ilmu yang dapat
dipakai dalam pendekatan, mempelajari dan mengatasi berbagai macam
masalah dihadapi oleh manusia. Seperti masalah gangguan, kepribadian dan
sebagainya, dipelajari secara khusus oleh ilmu kesehatan mental, psikologi
abnormal dan psychopathology. Ilmu-ilmu tersebut memiliki tujuan untuk
mempelajari dan mencegah timbulnya gangguan kepribadian atau penyakit
mental-penyakit mental yang lain, serta berusaha mencarikan jalan keluar
terhadap masalah gangguan-gangguan psikologis tersebut.24
Dengan demikian psikologi ialah suatu ilmu pengetahuan yang
memiliki tujuan, peran, dan tugas untuk menyelidiki dan membahas
tingkah laku manusia baik terbuka maupun tertutup, atau secara individu
maupun kelompok yang terkait dengan lingkungannya.25 Juga berfungsi
sebagai metode pendekatan untuk menyelesaikan problem-problem
psikologis yang dihadapi oleh manusia.
Jadi secara substansi ilmu psikologi adalah suatu ilmu yang secara
khusus untuk menyelidiki, mempelajari, dan juga mencarikan serta
memberikan solusi (problem solving /treatment) terhadap problem-problem
kejiwaan (psikologis) yang dihadapi oleh individu maupun masyarakat.
23 Kartini Kartono, op. cit., hlm. 3. 24 Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam
Islam, (Bandung, Mandar Maju, 1989), hlm. 4. 25 Kartini Kartono, op. cit., hlm. 8-10.
86
B. SUBSTANSI TASAWUF
Sebagaimana psikologi pada awalnya tasawuf adalah bagian dari
ilmu filsafat yang berbicara tentang kesatuan wujud, pada saat itu dikenal
dengan istilah mistik. Istilah tasawuf dipopulerkan oleh Islam yang
ajarannya banyak digagas para sufi yang bersandarkan pada ajaran Islam.
Tasawuf adalah nama lain dari mistisisme dalam Islam. Di kalangan
orientalis Barat dikenal dengan sebutan Sufisme kata sufisme merupakan
istilah khusus mistisisme Islam. Sehingga kata sufisme tidak ada pada
mistisisme agama-agama lain.
Tasawuf merupakan ajaran Islam yang telah tampil dengan doktrin
dan corak tersendiri. Tasawuf yang oleh orientalis Barat disebut Sufisme 26
juga memiliki pengertian secara khusus yang telah menimbulkan
perbedaan pendapat dikalangan para ahli.
Secara etimologi kata tasawuf berasal dari kata sufi yang berarti
suci, bersih, ibarat kilau kaca. Hal ini diidentikkan dengan perilaku para
sufi yang senantiasa menjaga kesucian diri dalam hidupnya. Mereka
senantiasa menjaga kesucian dari nafsu, makanan, badan maupun jiwanya.
Kata tasawuf juga berasal dari kata ahlu suffah adalah segolongan sahabat-
sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di suatu tempat di samping masjid
Nabi yang memakai pelana kuda (suffah) sebagai bantal, shof yaitu barisan
paling depan sebagaimana orang yang sembahyang di Saf pertama
mendapatkan kemuliaan dan pahala, suf yaitu kain yang terbuat dari bulu
binatang (wol) sebagai sumber kesederhanaan dan tidak mementingkan
dunia dan kata sophos menggambarkan keadaan jiwayang senantiasa
cenderung kepada kebenaran.27 Tetapi sebagian ahli bahasa menyebutkan
bahwa perkataan Sufi bukan berasal dari bahasa Arab, tetapi bahasa Yunani
yang telah di-Arabkan. Asal katanya adalah theosofie yang bererti ilmu
ketuhanan. Kemudian di-Arabkan dan diucapkan dengan lidah Arab
sehingga berubah menjadi tasauf (tasawuf), yang biasa disebut Sophos
(kebijaksanaan). Kata Sophos, berasal dari bahasa Yunani yang berarti
26 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,( Jakarta,Bulan Bintang, 1973), hlm. 56.
27 K. Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 25-27.
87
hikmah atau bijaksana. Kata ini sering dinilai dari asal kata tasawuf.
Karena salah satu sifat para sufi adalah bijaksana atau kebijaksanaan.28
Dengan demikian tasawuf dari segi Linguistik (kebahasaan) ini
dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sebagai sikap mental yang selalu
memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban
untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana untuk memcapai hakekat
akhlak yang mulia.29
Secara terminologi, pengertian tasawuf sangat variatif, akan tetapi
secara garis besarnya (inti tasawuf) sebagaimana penjelasan Prof. Dr.
Harun Nasution tasawuf adalah kesadaran adanya komunikasi dan dialog
langsung antara mansuia dengan Tuhannya. Tasawuf juga menekankan
pada kesadaran fitrah yang dapat menggerakkan jiwa kepada kegiatan-
kegiatan tertentu untuk memperoleh sesuatu perasaan bersatu atau
hubungan dengan wujud Tuhan yang Mutlak (al-Haq). Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Badar bin Al-Husain, “ sufi adalah orang-orang yang
telah memilih Al-Haq (Allah) semata-mata untuk dirinya”.30
Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus
langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan
penuh kesadaran, bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan.
Kesadaran tersebut akan menuju kontak komunikasi dan dialog antara ruh
manusia dengan Tuhan. Hal ini melalui cara bahwa manusia perlu
mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan akan
berbentuk “ittihad” (bersatu) dengan Tuhan. Demikian ini menjadi inti
persoalan “sufisme” baik pada agama Islam maupun di luarnya.31
Dengan pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa Tasawuf adalah
suatu ilmu yang mempelajari suatu cara, bagaimana seseorang dapat
mudah berada di hadirat Allah SWT. (Tuhan). Maka gerakan “kejiwaan”
28 Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatra:
IAIN Sumatra Utara), 1982, hlm. 2. 29 Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Tasauf Modern, (Jakarta:Pustaka
Panjimas), hlm. 1 30 Ibid., hlm. 81. 31 K. Permadi, op. cit., hlm. 22
88
penuh dirasakan guna memikirkan betul suatu hakikat kontak hubungan
yang mampu menelaah informasi dari Tuhannya.
Tasawuf adalah aspek ajaran Islam yang paling penting, karena
peranan tasawuf merupakan jantung atau urat nadi pelaksanaan ajaran-
ajaran Islam. Tasawuf inilah yang merupakan kunci kesempurnaan amaliah
ajaran Islam. Memang di samping aspek tasawuf, dalam Islam ada aspek
lain yaitu apa yang disebut dengan akidah dan syari’ah, atau dengan kata
lain bahwa yang dimaksud “ad-din” (agama) adalah terdiri dari Islam, iman
dan ihsan, di mana ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan.
Tasawuf adalah suatu kehidupan rohani yang merupakan fitrah
manusia dengan tujuan untuk mencapai hakikat yang tinggi, berada dekat
atau sedekat mungkin dengan Allah dengan jalan mensucikan jiwanya,
dengan melepaskan jiwanya dari kungkungan jasadnya yang menyadarkan
hanya pada kehidupan kebendaan, di samping juga melepaskan jiwanya
dari noda-noda sifat dan perbuatan yang tercela. Sebagaimana yang
diemukan oleh al-Kanany yang dilansir oleh Prof. Dr. H.M. Amin Syukur,
M.A, “tasawuf adalah akhlak mulia, barang siapa yang bertambah baik
akhlaknya, maka bertambah pula kejernihan hatinya” 32
Makna lain dari tasawuf yaitu sebagaimana yang dikemukan oleh
M. Amin Al-Kurdy yang dilangsir oleh A. Mustofa, “tasawuf adalah suatu
ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan
jiwa, cara membersihkannya dari (sifat-sifat) yang buruk dan mengisinya
dengan sifat-sifat terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju
(keridhaan) Allah dan meninggalkan larangan-Nya menuju pada perintah-
Nya33 dan Abu Muhammad Al-Jariri yang dilangsir Amin Syukur,
mengartikan tasawuf dengan “masuk ke dalam akhlak yang mulia dan
keluar dari semua akhlak yang hina.34
Oleh karena itu, tasawuf adalah jalan spiritual dan merupakan
dimensi batin. Abul A’la Maududi menyebutkan: “What cancerous it self
32 Amin Syukur, dan Masyaruddin , Intelektualisme Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), hlm. 15. 33 A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 202-203. 34 Amin Syukur, dan Masyaruddin , op. cit., hlm. 15.
89
with the spirit of conduct is know as Tasawuf” maksudnya bahwa apa yang
berhubungan dengan perbuatan jiwa disebut dengan tasawuf. Ibn Al-
Qayyim dalam “Madarijus Salikin” menyebutkan para pembahas ilmu ini
telah sependapat bahwa tasawuf adalah moral. Barang siapa yang di
antaramu semakin bermoral tentu jiwanya pun semakin bening. Selanjutnya
Syaikhul Islam Zakaria AI-Anshari menyebutkan, tasawuf adalah ilmu yang
menerangkan hal-hal tentang cara memperbaiki dan membersihkan jiwa, tentang
cara pembinaan kesejahteraan lahir dan batin untuk mencapai kebahagiaan yang
abadi. Dengan demikian, nampak jelas bahwa tasawuf sebagai ilmu agama,
khusus berkaitan dengan aspek-aspek moral serta tingkah laku yang merupakan
substansi Islam. Hakikat tasawuf adalah perpindahan sikap mental, keadaan jiwa
dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain yang lebih baik lebih tinggi dan
lebih sempurna, suatu perpindahan dari alam kebendaan kepada alam rohani.
Dalam rangka mensucikan jiwa demi tercapainya kesempurnaan dan kebahagiaan
hidup tersebut, untuk mencapai hal tersebut tentunya didukung oleh suatu latihan
(riyadhah) secara sungguh-sungguh. Jadi untuk memperolehnya tidaklah mungkin
bisa didapat secara spontan dan sekaligus. Akan tetapi diperlukan suatu
perjuangan, adapun perjuangan yang harus dilakukan yaitu dengan jalan
mensucikan jiwa (tazkiyat an nafs). 35
Tujuan tasawuf paling fundament yaitu peningkatan moral,
ketenteraman jiwa dan kebahagiaan, kecemerlangan intelektual, hilangnya
perasaan takut, dan keraguan dalam hidup mati dan menghindarkan
tekanan-tekanan batin (mental/psikologis) seperti perasaan dosa.
Sebagaimana dikemukakan oleh K.J. Wassil yang dikutip oleh M. Afif
Anshori, tasawuf ialah usaha bagaimana manusia membersihkan jiwanya
atau ruhnya dengan jalan menghilangkan sifat-sifat buruk yang melekat
dalam diri, dan mengisi atau menggantinya dengan sifat-sifat yang baik
dan terpuji.36
Studi mengenai Tasawuf, semangat dan substansi ajarannya mustahil
mampu dipahami secara mendalam dan proporsional, apabila tidak
35 Abdul Mujib dan Jususf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2001), hlm. 9. 36 M. Afif Anshori, Dzikir demi Kedamaian Jiwa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),
hlm.5-6.
90
diperhatikan sisi keterkaitan dengan sejarah perkembangannya. Dilihat dari
sudut normativitas, latar belakang munculnya perilaku sufistik disebabkan
antara lain oleh dorongan ajaran Islam yang selalu menekankan tingkah laku
psikologis (akhlak) yang positif dan dorongan ajaran agama untuk selalu
melaksanakan ibadah dengan memperhatikan aspek kualitas batiniah
(ruhani).37 Sementara itu dalam aspek historisitas, perilaku sufistik muncul
dilatarbelakangi oleh adanya keinginan sekelompok orang untuk meniru
tingkah laku psikologis Rasulullah, dan adanya dorongan untuk hidup
secara zuhud sebagai reaksi terhadap kondisi sosial yang cenderung
mengagung-agungkan kehidupan materialistik dan berkurangnya kehidupan
religius.38 Kecenderungan semacam itulah yang mendorong kondisi
mental-spiritual (psikologis) untuk hidup ke arah hidup yang bersifat
asketik, yang lebih memberikan tekanan pada aspek spiritualitas dalam
keseharian, yakni dengan tujuan pasrah dan mendekatkan diri dengan
Tuhan sesuai dengan ajaran tasawuf pada saat itu.
Pada dasarnya tasawuf merupakan disiplin ilmu membahas dan
menyelidiki jiwa dan apa-apa yang terkait erat dengan unsur kejiwaan yang
ada pada diri manusia. Untuk itu secara substansi pembahasan tasawuf selalu
terfokus persoalan yang berkisar pada jiwa manusia, berikut soal
pemeliharaan kesehatan, pembinaan, dan penyuciannya. Mengingat adanya
hubungan yang relevan antara tasawuf dan ilmu jiwa terutama ilmu
kesehatan mental, disiplin tasawuf tidak terlepas dari kajian tentang
kejiwaan dan treatment (kesehatan/ terapi).
Dalam konteks ini mengapa tasawuf ikut terlibat dan memiliki
kepentingan membangun kepribadian manusia. Karena kualitas manusia itu
ditentukan oleh kualitas jiwanya, para sufi sepakat bahwa hanya orang yang
jiwanya suci dan bersih lah yang sampai pada Tuhan. Dan dalam tasawuf
juga membicarakan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia. Aspek-
aspek kejiwaan yang berupa; al –ruh, al-nafs, al-`aql, al-dhamir, al jism
37 Abdullah Hadziq, Rekonsialisai Psikologi Sufistik dan Humanistik, (Semarang:
RaSAIL, 2005), hlm. 18-20. 38 Ibid.
91
al-qalb dan sebagainya.39 Masing-masing aspek tersebut memiliki eksis-
tensi, dinamisme, proses, fungsi, dan perilaku yang perlu dikaji dan
diberdayakan agar menjadi potensi kejiwaan (psikologis) yang baik.
Tasawuf tidak hanya menekankan perilaku kejiwaan, melainkan juga apa
hakikat jiwa sesungguhnya. Sebagai satu organisasi permanen, jiwa
manusia bersifat potensial yang aktualisasinya dalam bentuk perilaku
sangat tergantung pada daya upaya atau usahanya. Disamping itu tasawuf
merangsang kesadaran diri agar mampu membentuk kualitas diri yang lebih
sempurna untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Manusia dilahirkan dalam kondisi tidak mengetahui apa-apa, lalu ia tumbuh
dan berkembang untuk mencapai kualitas hidup. 40
Lebih subtasib lagi bahwa tasawuf merupakan salah satu disiplin
keilmuan yang membantu seseorang untuk memahami ekspresi diri,
aktualisasi diri, realisasi diri, konsep diri, citra diri, harga diri, kesadaran
diri, kontrol diri, dan evaluasi diri, baik untuk diri sendiri atau diri orang
lain. Jika dalam pemahaman diri tersebut ditemukan adanya penyimpangan
perilaku maka tasawuf berusaha menawarkan berbagai konsep yang
bernuansa ilahiyah, agar dapat mengarahkan kualitas hidup yang lebih baik,
yakni pada gilirannya dapat menikmati kebahagiaan hidup di segala zaman.
Walhasil mempelajari tasawuf berimplikasi membahagiakan diri sendiri dan
orang lain, bukan menambah masalah baru seperti hidup dalam keterasingan,
kegersangan dan kegelisahan.
Persoalan tentang pembinaan kesehatan mental dimulai dari sudut
pandang pentingnya peranan tasawuf dalam kehidupan masyarakat. Paham
tasawuf mulai mendapat tempat di kalangan masyarakat ketika manusia
mulai merasakan kekeringan batin dan sufisme (tasawuf) itu sendiri banyak
dipandang sebagai alternatif jawaban (problem solving treatment) terhadap
konflik yang dihadapinya. Dari sinilah kemudian tasawuf mulai
diperdayakan dalam ikut serta membangun kepribadian dan kesehatan
mental manusia. Menurut Komarudin Hidayat, ada tiga tujuan dalam
39 Achmad Mubararok, Jiwa dalam al-Qur’an, (Jakarta: Para Madina, 2000), hlm. 109. 40 Abdul Mujib dan Jususf Mudzakir, op. cit hlm. 7.
92
membumikan tasawuf; Pertama, tasawuf turut serta terlibat dalam berbagai
peran menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat
hilangnya nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, diperkenalkan literatur atau
pemahaman aspek esoteris (kerohanian) Islam, baik terhadap masyarakat
Islam maupun non-Islam, khususnya terhadap masyarakat Barat. Ketiga,
untuk memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek esoteris
Islam adalah tasawuf yang merupakan jantung ajaran Islam, sehingga bila
wilayah ini kering dan tidak berdenyut, maka keringlah aspek-aspek lain
ajaran Islam. 41
Erich Fromm mengemukakan dalam buku The Art of Loving (1989,
sebagaimana dilangsir oleh M. Solihin, menyatakan bahwa kecenderungan
manusia dalam abad modern ini adalah mengalami ketidakstabilan jiwa
akibat teralienasi oleh cara berpikir dan cara bekerja yang harus serba
efisien, teratur, prediktibilitas dan mekanis. Maka muncullah “manusia baru”
yang wataknya seperti robot, yang disebut Yablonsky dengan sebutan
“Robopath”. Robopath ini merupakan makhluk kejam, mudah melakukan
agresi, dan tidak memiliki perasaan. Kepribadian robopath ini ditandai
dengan peri laku otomat (kepatuhan yang kaku, kering dari emosi, tidak
spontan dan sangat patuh pada otoritas). Kebudayaan robopath melahirkan
dua ujung sikap hidup yang sungguh-sungguh tragis, yaitu: Malevolent
robot, yaitu sikap seperti mayat hidup yang gentayangan mencari mangsa
dengan penuh kekejaman (zombie), dan Cheerful robot, yaitu sikap orang
yang mengatasi kecemasan eksistensial mereka (dari hidup mayat ini)
dengan hedonisme dalam bidang hiburan dan kenikmatan sensual, terutama
sekali seksualitas. Akibatnya jati dirinya hilang larut dalam sikap kekerasan,
tak berperasaan, dan sikap hedonistik-sensualitas sehingga lupa diri. Di sini
jelas spiritualitas seseorang benar-benar sudah hancur, (disfungsional).42
Oleh sebab itu usaha untuk mengfungsikan kembali spiritualitasnya, hampir-
hampir menjadi satu-satunya terapi (problem solving). Dengan demikian
41 M. Solihin, Terapi Sufistik: Penyembuhan Penyakit Kejiwaan Perspektif Tasawuf,
(Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 30. 42 Ibid, hlm. 30-32.
93
tasawuf dipandang sebagai alternatif terapi, pembinaan, perawatan
(pengobatan) terhadap jiwa-jiwa yang sakit dan kering dari nilai spiritualitas.
Di dunia Barat, orang mengenal pengobatan masalah-masalah
kejiwaan dengan istilah psikoterapi dan di dunia Islam juga dikembangkan
pendekatan dan teknik-teknik psikoterapi dengan bahasa yang sederhana.
Pendekatan dan teknik-teknik psikoterapi diramu dengan muatan-muatan
keislaman. Kemudian dikenallah istilah Psychotherapy Islam. Belakangan
ini, psikoterapi Islam mengalami perkembangan yang menakjubkan melebihi
dengan ilmu psikoterapi dalam psikologi (psikoterapi umum), terutama pada
disiplin ilmu tasawuf. Karena masalah psikoterapi Islam ini lebih jauh
berkembang di dunia tasawuf, orang kemudian mengenal istilah psikoterapi
tasawuf, yakni psikoterapi yang bernuansa sufistik (spiritual). Meskipun
sifatnya masih berada dalam wacana psikoterapi Islam, sekarang psikoterapi
tasawuf lebih dikembangkan dengan menggunakan penerapan metode
sufistik. Untuk itulah penyebutan istilah psikoterapi Islam sering disamakan
dengan psikoterapi sufistik, apabila dilihat dalam aspek spiritualitasnya.
Secara substansi tujuan tasawuf adalah memperbaiki kondisi kejiwaan
(psikologis) yang buruk menuju kondisi kejiwaan yang baik. Dalam konteks ini
ialah keluar dari akhlak yang tercela menuju akhlak yang terpuji. Jika
pemahaman tentang tasawuf ini bisa didudukkan secara proporsional dan
sebagaimana tujuannya, maka tidak mustahil ajaran Tasawuf secara
substansi dapat diaktualisasikan untuk kepentingan perubahan, perbaikan,
peningkatan, dan pemeliharaan tingkah laku psikologis yang sehat, yakni
kesempurnaan akhlak.43
Dalam Tasawuf terdapat ajaran-ajaran tentang takhalli, tahalli,
tajalli, riyadlah dan muydhadah, ajaran-ajaran tersebut adalah sebagai
media pengembangan potensi psikologis atau mentalitas yang sehat.
Sehingga dapat memotivasi individu untuk menumbuhkan rasa bertanggung
jawab, baik spiritual, sosial, politik, ekonomi, etik dan intelektual. Potensi
ini dapat dimanfaatkan untuk apa saja, karena Tasawuf dalam konteks
43 M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 14.
94
kehidupan modern yang serba materi ini bisa dikembangkan ke arah yang
konstruktif, baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun sosial.44
Sebagai upaya untuk membangun tingkah laku positif, kepribadian,
psikologis dan mental yang sehat. Dalam hal ini tasawuf sebagai ilmu yang
berperan untuk membangun kondisi kejiwaan (mental) atau psikologis
menjadi sangat signifikan, mengingat esensi ajaran tasawuf, sebagaimana
yang diharapkan, adalah mengembangkan tingkah laku psikologis ke arah
kesadaran batin menuju kesempurnaan moral, sehingga senantiasa adanya
semangat keluar dari tingkah laku psikologis yang kurang baik dan masuk ke
dalam tingkah laku psikologis yang terpuji kecenderungan tingkah laku
psikologis terpuji ini, dalam tasawuf lebih dimotifasi oleh faktor perasaan
hubungan kedekatan dengan Allah yang selalu menjadi dorongan psikologis
ke arah hidup yang bebas dari kebengisan, kezaliman, kegelisahan,
kebimbangan dan kejenuhan. 45
Dari sini dapat dipahami bahwa dengan kondisi kejiwaan (mental)
yang sehat akan melahirkan perilaku, kepribadian dan mentalitas yang
konstruktif, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, persepsi, maupun
pemikiran dan sosial. Lebih dari itu tasawuf membimbing manusia menuju
kesempurnaan hidup dan menunjukkan manusia untuk menjadi manusia yang
sempurna (insan kami). Secara psikologis menjadi manusia yang sehat terlebih
sehat batin (psikologis/mental) nya, dan secara spiritual menjadi manusia yang
dicintai oleh Tuhan. Disamping itu tasawuf juga ikut memecahkan problem-
problem kejiwaan (psikologis/ mental) dan tasawuf juga memberikan solusi
(treatment) terhadap konflik-konflik atau gangguan-gangguan psikologi (psikis)
atau mental tersebut. Dan kajian tasawuf yang berhubungan dengan aspek-aspek
dan perilaku kejiwaan manusia pada dasarnya ialah agar secara sadar manusia
mampu membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.46
44 Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian Historis Tentang Mistik, (Solo:
Ramadhani, 1993), hlm. 25. 45 Abdullah Hadziq,, op. cit., hlm. 24 46 Abdul Mujib dan Jususf Mudzakir, op. cit., hlm. 5.
95
Maka dari itu tasawuf mutlak diperlukan, karena tasawuf mampu
memberikan kontribusi besar terhadap pemberdayaan dan pengembangan jiwa
manusia menjadi manusia yang berarti (bekualitas), baik dihadapan manusia dan
terlebih di hadapan Tuhannya.
Nilai-Nilai Tasawuf dalam Pembinaan “mental”
Perhatian tasawuf yang paling fundamental untuk diri manusia yaitu
mengenai penyucian jiwa dan pendekatan diri kepada Allah. Hal ini tercermin
dalam ajaran tasawuf yang lebih banyak diarahkan pada proses pembinaan
akhlak, yang lebih dikenal dengan istilah “tasawuf Akhlaqi”.
Tasawuf akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang lebih banyak
memfokuskan diri pada pembinaan kesempurnaan dan kesucian jiwa yang
diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku
yang ketat, guna memperoleh kebahagiaan yang optimal.47
Dalam rangka pensucian jiwa, tasawuf memberikan beberapa
pembinaan yang dapat dilaksanakan oleh seseorang sebagai bentuk
pemeliharaan dan perbaikan metal. Adapun bimbingan tersebut adalah:
1. Mau melaksanakan taubat, karena taubat adalah merupakan sikap mental
yang paling fundamental, dimana sikap ini adalah sebagai langkah awal
untuk menyuci segala noda atau segala bentuk kotoran (penyakit) yang
ada dalam hati. Sebab hati yang kotor itu lebih banyak diakibatkan oleh
perbuatan-perbuatan dosa. Bertaubat wajib dilaksakan karena hanya
dengan memohon ampun (taubat) kepada Allah segala penyakit hati itu
dapat hilang. Dan harus disadari bahwa manusia itu “tempatnya lalai dan
dosa”, maka dari itu tidak dibenarkan apabila diri kita gengsi untuk
melakukan taubat. Dan laksanakan lah taubat dengan sesegera mungkin.
2. Wara’, yaitu menjaga diri sendiri dari pengaruh sesuatu yang dapat
merusak hati, jiwa dan mental-spiritual, atau menghindari apa saja yang
tidak baik.
47 Syekh Fadhlalla Haeri, Dasar-Dasar Tasawuf, terj. Cecep Ramli Bihar Anwar,
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 141-142.
96
3. Qona’ah, yaitu sikap mental atau keadaan jiwa yang dengan tulus ikhlas
mau menerima serta bersyukur atas segala apa yang diberikan Allah pada
dirinya.
Sobru, dan ridho yaitu sikap mental yang tidak pernah mengeluh dan
putus asa terhadap apa-apa yang telah terjadi pada diri dan mampu
mengambil hikmah dari segala bentuk peristiwa yang menimpa diri, yakni
mampu menerima dengan lapang dada dan hati terbuka terhadap apa saja
yang datang pada dirinya, baik pahit maupun manis.
Keempat hal tersebut di atas merupakan benteng pertahanan yang
paling kuat bagi mental. Apa bila seseorang mampu melaksanakan keempat
hal tersebut dapat dipastikan seseorang dengan sendirinya akan terhindar dari
berbagai bentuk gangguan mental (jiwa).
Hal terbaik untuk memelihara kondisi kesehatan mental, para sufi
memberikan beberapa bimbingan yaitu, pertama, seseorang harus selalu
berusaha mengosongkan jiwa, ruh, naf, psikologis, dan sikap mentalnya dari
sifat-sifat yang tercela yang digerakkan oleh dorongan-dorongan “id”,
maupun “hawa nafsu”, yang negatif, hal ini para sufi menyebutnya dengan
istilah tahalli. Setelah itu, selanjutnya seseorang harus senantiasa menghiasi
atau mengisi jiwanya yang telah dibersihkan tersebut dengan perbuatan-
perbuatan (sifat) yang terpuji (positif), dimana hal ini para sufi menyebutnya
dengan istilah takhalli. Dan pada tahap terakhir yaitu seseorang harus
menempatkan sifat dan asma’ Allah di dalam hatinya, sehingga apa yang
diperbuat adalah merupakan cerminan dari Allah, dan tindak akan berbuat
suatu hal yang tidak di ridhoi oleh Allah. Para sufi menyebutnya dengan
istilah tajalli. 30 Sebagaimana firman Allah.
ليمع اسعو الله إن الله هجو لوا فثموا تمنفأي ربغالمو رقشلله المو
Artinya: “dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka kemanapun kamu menghadap disitu lah wajah Allah.
30 Drs. Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1999),
hlm. 97-99.
97
Sesungguhnya Allah maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengatahui.48
Dengan demikian setelah seseorang mampu membina dirinya
sebagaimana ajaran dalam tasawuf tersebut, kehidupan dan kepribadian
seseorang akan kelihatan menjadi sosok manusia yang baik dan berbudi
luhur dengan mentalitas yang baik dan terpuji.
Disamping hal tersebut diatas untuk menjaga mental, agar
selalu dalam kondisi yang baik (sehat). Dalam hal ini bisa mengambil
pelajaran dari seorang sufi Agung India yang bernama Hazrat Inayat
Khan. Hazrat mengajarkan, yakni mengajak kepada manusia untuk
melakukan suatu sikap hidup yaitu:
1. Gunakan akal sehat
2. Jangan salah menilai orang
3. Jangan memaksa kehendak
4. Hormati perasaan orang lain
5. Jangan menentang orang yang tak setara denganmu
6. Bila beramal saleh jangan pamer
7. Jangan mintak bantuan dari orang yang tidak mampu membantumu.
8. Hadapi kelemahan-kelemahan dirimu dengan penuh kesadaran dan
peringatan.
9. Jangan berkecil hati bila tertempa musibah.
10. Bersikap sopanlah dengan setiap orang.
11. Jangan melakukan sesuatu yang dapat membuatmu merasa bersalah.
12. Bantulah mereka yang membutuhkan bantuan.
13. Jangan meremehkan orang lain yang menghormatimu.
14. Jangan menghakimi orang lain dengan hukumanmu.
15. Seorang musuhpun tak patut kau benci.
16. Jangan mempengaruhi orang lain untuk berbuat tidak baik
17. Jangan berprasangka buruk terhadap siapapun.
18. Buktikan dengan perilaku nyata bahwa kau dapat dipercayai.
19. Jangan menyatakan sesuatu yang tidak benar.
48 Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat. 115
98
20. Jangan menjelekkan orang lain, saat yang bersangkutan tidak hadir.
21. Jangan mengambil manfaat dari ketidak tahuan orang.
22. Jangan menuntut sesuatu yang tidak menjadi hak mu
23. Jangan memuji diri
24. Jangan mencela orang lain dan membuatnya kebal terhadap hal-hal
yang tercela.
25. Jangan melarikan diri apa yang harus kau kerjakan.
26. Layani setiap orang dengan diri yang tulus.
27. Jangan mengambil keuntungan dari penderitaan orang lain.
28. Jangan menyakiti orang lain demi kepentingan pribadi. 49
Ijtihat Hazrat di atas memberikan suatu pelajaran sekaligus
bimbingan kepada semua umat manusia bahwa, kalau ingin jiwa, hati dan
mental selalu dalam kondisi yang baik (sehat), seseorang harus mampu
melaksanakan aturan-aturan sebagaimana yang diuraikan Hazrat tersebut.
III. AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL
Setip orang pasti mengalami gangguan atau keanehan-keanehan
pada psikisnya. Hanya saja kadar dan kualitas gangguan tersebut lah yang
membedakan. Ada yang mampu keluar dan mengatasi problem
kejiwaannya itu secara cepat dan ada pula yang tidak mampu
mengatasinya, dan biasanya ini tergantung pada tipe kepribadian yang
dimiliki oleh individu. Gangguan-gangguan yang tidak mampu diatasi pada
ujungnya menjadi gangguan atau kelainan yang menetap sehingga sulit
untuk diatasi sehingga menjadikan suatu kepribadian yang aneh
(pathologic).
49 Hazrat Inayat Khan, Vadan, Devine of Symphony, terj, Anan Krishna, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 46-52.
99
Patologi adalah hal-hal yang berkaitan dengan sebab-sebab
timbulnya atau problem kejiwaan (gangguan mental) dan prosesnya serta
pengaruhnya terhadap struktur dan fungsi tubuh manusia, atau bisa disebut
juga hal-hal yang menyebabkan kelainan (penyimpangan) tingkah laku
psikologis pada diri individu. Dalam memecahkan problem kejiwaan ini
semua orang ikut terlibat seperti dokter, psikolog, psikiater, dinas sosial
dan lain sebagainya yang terlibat secara dalam persoalan tersebut. Faktor
pencetus kelainan atau gangguan kepribadian dan mental ini bervariatif,
diantaranya faktor biologis, sosial, psikologis, dan spiritual.
Menurut Chaplin, patologi adalah pengetahuan untuk
mengetahui tentang penyakit atau gangguan psikis (mental/psikologis)
pada diri manusia. Atau satu kondisi penyakit atau gangguan. Sedangkan
patologi (psychopathology) adalah istilah yang dipakai dalam ilmu
psikologi atau bisa disebut juga sebagai cabang psikologi yang bertugas
untuk menyelidiki penyakit jiwa atau psikis atau gangguan mental dan
gejala-gejala abnormal lainnya.50
Psikopatologi, atau sakit mental adalah sakit yang tampak dalam
diri individu baik berbentuk perilaku akibat dari fungsi kejiwaan yang tidak
stabil. Istilah psychopathology ini mengacu pada sebuah sindrom yang luas
yang meliputi ketidaknormalan kondisi psikologis, kognisi, pikiran dan
emosi. Asumsi yang berlaku pada bidang ini adalah bahwa sindrom
psikopatologis atau sejumlah simptom tidak semata-mata berupa respon
yang dapat diprediksi terhadap gejala tekanan kejiwaan yang khusus,
seperti kematian orang yang dicintai, tetapi lebih berupa manifestasi
psikologis atau disfungsi biologis seseorang.
Para ahli psikopatologi paling tidak dapat bertolak dari tiga yang
asumsi yang masing-masing asumsi memiliki implikasi psikologis yang-
beda. Pertama, pada dasarnya jiwa manusia itu dilahirkan dalam keadaan
sakit, kecuali dalam kondisi tertentu ia dinyatakan sehat, kedua; pada
dasarnya jiwa manusia itu dilahirkan dalam keadaan netral (tidak sakit
dan tidak sehat). Sakit dan sehatnya tergantung pada proses
50 J.P. Chaplin, op. cit., hlm. 355, 405.
100
perkembangan kehidupannya; Ketiga, pada dasarnya jiwa manusia itu
dalam keadaan sehat, kecuali dalam kondisi tertentu ia dinyatakan sakit.51
Penyakitan atau gangguan yang berkaitan dengan fungsi jiwa hal tersebut
sangat terkait dengan kesehatan jiwa, dalam psikologi lebih dikenal
dengan kesehatan mental.
Kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang meliputi
sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur
untuk mempertinggi kesehatan rohani. Orang yang sehat mentalnya ialah
orang yang dalam rohani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman dan
tenteram. Permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta
prinsip-prinsip yang terdapat lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri,
biologi, sosiologi dan agama.
Dalam ilmu kedokteran dikenal istilah psikosomatik (kejiwa-
badanan). Dimaksudkan dengan istilah tersebut adalah untuk menjelaskan
bahwa, terdapat hubungan yang erat antara jiwa dan badan. Jika jiwa berada
dalam kondisi yang kurang normal seperti susah, cemas, gelisah dan
sebagainya, maka badan turut menderita. Beberapa temuan di bidang
kedokteran dijumpai sejumlah kasus yang membuktikan adanya hubungan
tersebut, jiwa (psyche) dan badan (soma). Orang yang merasa takut, langsung
kehilangan nafsu makan, atau buang-buang air. Atau dalam keadaan kesal dan
jengkel, perut seseorang terasa menjadi kembung. Dan istilah “makan hati
berulam jantung” merupakan cerminan tentang adanya hubungan antara jiwa
dan badan sebagai hubungan timbal balik, jiwa sehat badan segar dan badan
sehat jiwa normal.52 Sementara itu Tingkah laku patologis yakni tingkah laku
abnormal dengan mental terganggu itu adalah akibat dari pada suatu keadaan,
suatu penyakit, atau status kepribadian yang kacau (disorder state), hal ini bisa
dijumpai pada penderita psychoneurosis, psychosis, psychosa, dan
schizophrenia. 53
51 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, op. cit., hlm. 165. 52M. Solihin, op. cit., hlm. 128. 53 Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Pathologi Seks, (Bandung: Penerbit Alumni
, 1985), hlm. 3.
101
Di bidang kedokteran dikenal beberapa macam pengobatan antara
lain dengan menggunakan bahan-bahan kimia (tablet, cairan suntik atau
obat minum), electro-therapia (sorot sinar, getaran arus listrik), chitro
practic (pijat) dan lainnya. Selain itu juga dikenal pengobatan tradisional
seperti tusuk jarum (accupunctuur), mandi uap, hingga ke cara pengobatan
pedukunan.
Di luar cara-cara seperti itu, sejak berkembang psikoanalisis yang
diperkenalkan oleh Dr. Breuer dan S. Freud orang mulai mengenal
pengobatan dengan hipotheria, yaitu pengobatan dengan cara hipnotis. Dan
kemudian dikenal pula adanya istilah psikoterapi atau autotherapia
(penyembuhan diri sendiri) yang dilakukan tanpa menggunakan bantuan
obat-obatan biasa. Sesuai dengan istilahnya, maka psikoterapi dan
autotherapia digunakan untuk menyembuhkan pasien yang menderita
penyakit gangguan rohani (jiwa).54 Dalam usaha penyembuhan itu
digunakan cara penyembuhan sendiri. Usaha yang dilakukan untuk
mengobati pasien yang menderita penyakit seperti itu, dalam kasus-kasus
tertentu biasanya dihubungkan dengan aspek keyakinan masing- masing.
Sejumlah kasus yang menunjukkan adanya hubungan antara faktor
keyakinan dengan kesehatan jiwa atau mental tampaknya sudah disadari
para ilmuwan beberapa abad yang lalu. Misalnya pernyataan C. G. Jung di
antara pasien saya yang setengah baya, tidak seorang pun yang penyebab
penyakit kejiwaannya dilatarbelakangi oleh aspek agama.55
Hal ini juga dijumpai dalam banyak buku yang mengungkapkan
akan betapa eratnya hubungan antara agama dan kesehatan mental. Di
Indonesia sendiri dua buku yang diterbitkan dengan judul Peranan Agama
dan Kesehatan Mental oleh Prof. Dr, Zakiah Daradjat dan Agama dan
Kesehatan Jiwa disusun oleh Prof. Dr. Aulia, telah membahas secara luas
mengenai sejumlah kasus yang menunjukkan ada hubungan antara
kesehatan jiwa dan agama. Dan Prof. Dr. Muhammad Mahmud Abd al-
Qadir lebih jauh membahas hubungan antara agama dan kesehatan mental
54 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 130. 55 Ibid.
102
melalui pendekatan teori biokimia. Menurutnya di dalam tubuh manusia
terdapat sembilan jenis kelenjar hormon yang memproduksi persenyawaan-
persenyawaan kimia yang mempunyai pengaruh biokimia tertentu;
disalurkan lewat pembuluh darah dan selanjutnya memberi pengaruh
kepada eksistensi dan berbagai-bagai kegiatan tubuh. Persenyawaan-
persenyawaan itu disebut hormon.56
Manusia sebagai mahluk rohani berusaha agar hidupnya bermakna
dan mempunyai arti. Pemberian makna pada hidup tertinggi adalah
pengabdian dalam hubungan dengan penciptanya Yang Maha Kuasa.
Manusia harus mempunyai kesadaran yang adekuat mengenai hubungan
dengan Tuhan untuk dapat menyelesaikan dengan baik atas kesukaran,
ketakutan, konflik dan frustasi dalam kehidupan sehari. Disinilah peran
suatu agama sangat dibutuhkan untuk terus memupuk suatu keimanan,
karena keimanan merupakan jaminan paling aman dan efisien serta tidak
perlu mengeluarkan biaya, mampu memberikan ketenangan jiwa, dapat
mencegah ketakutan, kecemasan, kekhawatiran, rendah diri dan lain
sebagainya, yang kesemuanya itu dapat membahayakan kesehatan mental
dan integrasi kepribadian.57
Dalam tubuh manusia terdapat kelenjar hormon yang mengatur
kekuasaan otonomi dalam tubuh yang disebut kelenjar hipofise (Pituitary).
Kelenjar ini menjadi pengatur semua kelenjar hormon yang terdapat dalam
tubuh. Selanjutnya, di antara kelenjar lain yang mempunyai pengaruh
biologis yang amat spesifik, adalah kelenjar adrenal. Dalam kondisi
tertentu seperti berada dalam keadaan nikmat, senang maka hormon
noradrenalin lebih tinggi kadarnya. Sebaliknya dalam kondisi yang sedih,
takut, cemas, maka kadar hormon adrenalin yang tinggi. Pada saat hormon
dalam kondisi kadar noradrenalin tinggi seseorang akan dipengaruhi oleh
perasaan optimis, kepribadian menjadi kuat. Sebaliknya jika kadar hormon
adrenalin yang tinggi, maka seseorang akan bersikap pesimis. la akan
56 Ibid.,hlm. 140. 57 Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama, (Bandung: Sinar Baru, 1991), hlm. 221-222.
103
diliputi oleh rasa takut dan lemah menghadapi kenyataan, serta tak mampu
menghadapi tantangan.
Sebagaimana research Muhammad Mahmud Abd al-Qadir, tentang
bagaimana pengaruh keimanan terhadap kinerja hormon tersebut, dalam
penelitiannya itu Abd Al-Qadeir berkesimpulan bahwa segala bentuk gejala
emosi seperti bahagia, rasa dendam, rasa marah, takut, berani, pengecut
yang ada dalam diri manusia adalah akibat dari pengaruh persenyawaan-
persenyawaan kimia hormon, di samping persenyawaan lainnya. Tetapi
dalam kenyataannya kehidupan akal dan emosi manusia senantiasa berubah
dari waktu ke waktu. Karena itu selalu terjadi perubahan-perubahan kecil
produksi hormon-hormon yang merupakan unsur dasar dari keharmonisan
kesadaran dan rasa hati manusia.58Tetapi jika terjadi perubahan yang
terlampau lama, seperti panik, takut dan sedih yang berlangsung lama, akan
timbul perubahan-perubahan kimia lain yang akan mengakibatkan penyakit
saraf yang bersifat kejiwaan. Hubungan penderita dengan dunia luar
terputus, akalnya ditutupi oleh waham dan khayal yang membawanya jauh
dari kenyataan hidup normal. Penderitaan selalu hidup dalam keadaan
cemas dan murung, kebahagiaan hilang, penuh keraguan, takut, rasa
berdosa, dengki dan rasa bersalah. Timbulnya penyakit emosi seperti itu
akibat dari kegoncangan dan hilangnya keseimbangan kimia tubuh
seseorang. Padahal tanpa diragukan, bila terjadi perubahan dalam proses
pemikiran, akan terjadi perubahan kimia dan biologi tubuh. Dan besar
kecilnya perubahan itu tergantung dari kemampuan manusia untuk
menanggapi pengaruh itu. Kalau terjadi keseimbangan maka akan kembali
menjadi normal. Adapun terjadinya pergeseran dari kondisi normal ke
daerah yang berbahaya itu, menurut Abd al-Qadir sangat tergantung dari
derajat keimanan yang tersimpan di dalam diri manusia, disamping faktor
susunan tubuh serta dalam atau dangkalnya rasa dan kesadaran manusia
itu.59
58Jalaluddin, op. cit., hlm. 140-141. 59 Ibid.
104
Penemuan Muhammad Mahmud Abd al-Qadir seorang ulama dan
ahli biokimia ini, setidak-tidaknya dapat memberi bukti bahwa keterkaitan
antara agama (keimanan) dengan kesehatan jiwa. Dan pada saat ini
pengobatan penyakit batin melalui bantuan agama telah banyak
dipraktekkan orang, yang dikenal dengan istilah “pskoreligius”. dan akan
dihasilkan pengobatan yang lebih sempurna apabila pengobatan itu
dilakukan melalui kerja sama antara dokter, psikiater dan ahli agama
(pendeta).
Di sini tampak nilai manfaat dari ilmu jiwa agama. Tak mengheran-
kan kalau sejak abad ke tujuh hijrah, Ibn al-Qayyim al-Jauzi (691751 H)
telah pernah mengemukakan hal itu. Menurutnya dokter yang tidak dapat
memberikan pengobatan pasien tanpa memeriksa kejiwaannya, dan tidak
dapat memberikan pengobatan dengan berdasarkan perbuatan amal saleh,
menghubungkan diri dengan Allah dan mengingat akan hari akhirat, maka
dokter tersebut bukanlah dokter dalam arti yang sebenarnya. la pada
dasarnya hanyalah merupakan seorang calon dokter yang picik.60
Adanya kemungkinan hubungan antara kejiwaan dan agama dalam
kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan
jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu
kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang serupa itu diduga akan
memberi sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan
positif seperti rasa bahagia, rasa senang, puas, sukses, merasa dicintai atau
rasa aman. Sikap emosi. Yang demikian merupakan bagian dari kebutuhan
asasi manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan. Maka dalam kondisi yang
serupa itu, manusia berada dalam keadaan tenang dan normal, yang oleh
Muhammad Mahmud Abd al-Qadir, berada dalam keseimbangan
persenyawaan kimia dan hormon tubuh. Dengan kata lain, kondisi yang
demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah
kejadiannya, sehat jasmani dan rohani. Dan sangat logis apabila setiap
ajaran agama mewajibkan penganutnya untuk melaksanakan ajarannya
secara rutin. Bentuk dan pelaksanaan ibadah agama, paling tidak akan ikut
60 Ibid., 142.
105
berpengaruh dalam menanamkan keluhuran budi yang pada puncaknya
akan menimbulkan rasa sukses sebagai pengabdi Tuhan yang setia. Tindak
ibadah setidak-tidaknya akan memberi rasa bahwa hidup menjadi lebih
bermakna. Dan manusia sebagai makhluk yang memiliki kesatuan jasmani
dan rohani secara tak terpisahkan, memerlukan perlakuan yang dapat
memuaskan keduanya.
Salah-satu cabang ilmu jiwa, yang tergolong dalam psikologi
Humanistic dikenal logoterapi (logos berarti makna dan juga rohani).
Logoterapi dilandasi falsafah hidup dan wawasan mengenai manusia yang
mengakui adanya dimensi sosial pada kehidupan manusia. Kemudian
logoterapi menitikberatkan pada pemahaman bahwa dambaan utama
manusia yang asasi atau motif dasar manusia adalah hasrat untuk hidup
bermakna. Di antara hasrat itu terungkap dalam keinginan manusia untuk
memiliki kebebasan dalam menemukan makna hidup. Kebebasan seperti itu
dilakukannya antara lain melalui karya-karya yang diciptakannya, hal-hal
yang dialami dan dihayati (termasuk agama dan cinta kasih), atau dalam
sikap atas keadaan dan penderitaan yang tak mungkin dielakkan. Adapun
makna hidup adalah hal-hal yang memberikan nilai khusus bagi seseorang,
yang bila dipenuhi akan menjadikan hidupnya berharga dan akhirnya akan
menimbulkan penghayatan bahagia. Dalam logoterapi dikenal dua
peringkat makna hidup, yaitu makna hidup pribadi dan makna hidup.61
Di zaman kuno penyakit yang diderita manusia sering dikaitkan
dengan gejala-gejala spiritual. Seorang menderita sakit dihubungkan
dengan adanya gangguan dari roh jahat oleh semacam makhluk halus.
Karenanya penderita selalu berhubungan dengan para dukun yang dianggap
mampu berkomunikasi dengan makhluk halus dan mampu menahan
gangguannya. Pengobatan penyakit dikaitkan dengan gejala rohani
manusia.62
Pendapat yang paling ekstrem pun tentang hal itu masih
menunjukkan betapa agama sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan
61 Victor E. Frankl, Logo Terapi; Terapi Psikologis Melalui Pemaknaan Eksistensi, terj., M. Murtadlo, op. cit, hlm. 107-110.
62 Kartini Kartono, op. cit., hlm. 84
106
pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologis.
Dalam beberapa bukunya, Sigmund Freud, yang dikenal sebagai
pengembang psikoanalisis mencoba mengungkapkan hal itu. Agama
menurut Freud tampak dalam perilaku manusia sebagai simbolisasi dari
kebencian terhadap ayah yang direfleksi dalam bentuk rasa takut kepada
Tuhan. Secara psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari kepada
agama karena rasa ketidakberdayaannya menghadapi bencana.63 Dengan
demikian segala bentuk perilaku keagamaan merupakan ciptaan manusia
yang timbul dari dorongan agar dirinya terhindar dari bahaya dan dapat
memberikan rasa aman. Untuk keperluan itu manusia menciptakan Tuhan
dalam pikirannya.
Lain halnya dengan penganut Behaviorisme. Walaupun dalam
pembahasannya, Skinner, salah seorang tokoh Behaviorisme tidak
menyinggung perilaku keagamaan secara khusus, namun tampaknya sama
sekali tak dapat menghindarkan diri dari keterkaitannya kepada kenyataan
bahwa agama memiliki institusi dalam kehidupan masyarakat. Dalam
hubungan ini pula Skinner melihat agama sebagai isme sosial yang lahir
dari adanya faktor penguat.64 Menurutnya kegiatan keagamaan menjadi
faktor penguat sebagai perilaku yang meredakan ketegangan. Lembaga-
lembaga sosial termasuk lembaga keagamaan, bertugas menjaga dan
mempertahankan perilaku atau kebiasaan masyarakat. Manusia menanggapi
tuntutan yang terkandung dalam lembaga itu dan ikut melestarikan lewat
cara mengikuti aturan-aturan yang telah baku. Dan Behaviorisme
memandang perilaku manusia itu lahir karena adanya stimulan (rangsangan
dari luar dirinya). Teori Sarbond (gabungan dari stimulus dan respon) yang
dikemukakan aliran behaviorisme tampaknya memang kurang memberi
tempat bagi kajian kejiwaan nonfisik. Namun dalam masalah perilaku
keagamaan, sebagai sebuah realitas dalam kehidupan manusia tak mampu
ditampik oleh Behaviorisme. Perilaku keagamaan menurut pandangan
Behaviorisme erat kaitannya dengan prinsip reinforcement (reward and
63 Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suruso, Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-Problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 71.
64 Ibid., hlm. 73.
107
pungishment).65 Dengan demikian motivasi berperilaku agama karena dido-
rong oleh rangsangan hukuman dan hadiah. Menghindarkan hukuman
(siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala). Manusia hanyalah sebuah
robot yang bergerak secara mekanis menurut atas pemberian hukuman dan
hadiah.
Dengan kenyataan semacam itu Aliran Behaviorisme melihat bahwa
perilaku manusia bekerja menurut asas mekanistik yang bersifat serba fisik.
Karena itu para ahli psikologi yang kurang sependapat dengan pandangan
Behaviorisme yang dipelopori oleh E.L. Thorndike, Watson maupun
Skinner menyindir bahwa aliran ini merupakan aliran psikologi yang tidak
berjiwa. Mereka menganggap bahwa perilaku manusia bersifat kondisional,
jadi dapat dibentuk dan diarahkan menurut situasi yang diberikan kepada
manusia. Jadi jika manusia yang diinginkan berperilaku keagamaan maka
lingkungannya harus diciptakan sedemikian rupa sehingga mampu
memberi respon keagamaan yang diharapkan. Manusia berperilaku agama
karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah. Menghindarkan
hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala). Manusia hanyalah
sebuah robot yang bergerak secara mekanis menurut atas pemberian
hukuman dan hadiah. Namun dalam masalah perilaku keagamaan, sebagai
sebuah realitas dalam kehidupan manusia tak mampu ditampik oleh
Behaviorisme.66
Psikologi humanistik yang di pelopori A. Maslow, berusaha
memahami segi esoterik (rohani) manusia. Maslow menyatakan bahwa
kebutuhan manusia memiliki kebutuhan yang bertingkat dari yang paling
dasar hingga kebutuhan yang paling puncak. Pertama, kebutuhan
fisiologis, yaitu kebutuhan dasar (basic need) untuk hidup seperti makan,
minum, istirahat dan sebagainya. Kedua, kebutuhan akan rasa aman yang
mendorong orang untuk bebas dari rasa takut dan cemas. Kebutuhan ini
termanifestasikan antara lain dalam bentuk tempat tinggal yang permanen.
Ketiga, kebutuhan akan rasa kasih sayang, antara lain berupa pemenuhan
65 Ibid., 74. 66 Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam; Menuju Psikologi
Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 36.
108
hubungan antar manusia. Manusia membutuhkan saling perhatian dan
keintiman dalam pergaulan non-fisik. Keempat, kebutuhan akan rasa
penghargaan, yakni bahwa setiap orang yang tidak menderita patologis,
kebutuhan semacam ini sangatlah diharapkan, seperti penghormatan,
pengakuan, dan lain sebagainya. Apabila kebutuhan semacam ini terpenuhi
maka akan timbul rasa percaya diri, merasa berguna, kapabilitas, kekuatan
dan lain sebagainya, perasaan-perasaan semacam inilah yang mengantarkan
manusia pada tingkah laku psikologis yang relatif produktif, konstruktif,
dan kreatif. Tentunya penghargaan ini akan diterimanya secara wajar
berdasarkan eksistensinya secara wajar pula. Kelima, kebutuhan aktualisasi
diri, kebutuhan ini sangat diperlukan karena manusia merasa berarti dan
berguna apa bila mampu beraktualisasi di lingkungannya secara baik dan
wajar serta mampu diterima dilingkungannya. Hasrat semacam ini muncul
ketika seseorang telah kebutuhan-kebutuhan pokok telah terpenuhi.
Sehingga muncullah hasrat akan kebutuhan yang lebih tinggi. Dengan
demikian orang yang memiliki hasrat semacam ini menunjukkan bahwa
tingkah laku psikologisnya berkembang sepenuhnya sesuai dengan
kemampuan yang ada pada dirinya. Sementara itu menurut aliran ini
pengalaman puncak (peak experiment) adalah merupakan kondisi
psikologis yang sehat, dimana pengalaman semacam ini dapat memberikan
wawasan yang jelas tentang dirinya dan dunianya.67 Hal inipun senada
dengan pengalaman keagamaan tingkat tinggi sebagaimana yang
digambarkan dalam tasawuf, maqamat dan ahwal.68
Sementara itu Victor Frankle pendiri aliran logoterapi. Menurutnya
eksistensi manusia ditandai oleh tiga faktor, yakni spirituality (kerohanian),
freedom (kebebasan) dan responsibility (tanggung jawab). Memang Frankle
menggunakan istilah spirituality tidak dihubungkan dengan keberagamaan
melainkan semata-mata dikaitkan dengan penghayatan maknawi manusia
akibat adanya kemampuan transendensi terhadap dirinya terhadap
67 Abdullah Hadziq, op. cit., hlm. 145. 68 Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), hlm. 128-129.
109
lingkungannya.69 Pengalaman-pengalaman semacam inilah yang dapat
memberikan kedamaian, ketenteraman dan ketakjuban, yang bisa
mendorong seseorang menyadari dirinya bahwa diluar dirinya ada sesuatu
yang lebih tinggi dan mengasyikkan yang harus dicapainya. Dan dapat
diketahui juga bahwa agama mempunyai peran penting dalam membangun
kesehatan mental, karena pengalaman-pengalaman keberagaman dan
spiritual dapat mendorong perilaku psikologis manusia untuk mengarahkan
dirinya pada hal-hal atau pada tingkah laku positif.
Dengan demikian agama sangat terkait dengan jiwa manusia, maka
dari jiwa agama yang ada dalam diri kita harus senantiasa kita bina dan
dikembangkan serta menjalankan segala nilai-nilai yang diajarkan oleh
agama, karena pengingkaran terhadap keyakinan terhadap Tuhan justru
akan merusak jiwa, yang pada ujungnya akan merusak jiwa dan
kepribadian kita. Dan agama sebagaimana fungsinya yaitu membina
perilaku dan perbuatan manusia pada jalan yang benar. Bahkan agama
dapat dijadikan landasan untuk membina kesehatan mental (jiwa) serta
mampu membentuk dan mengembangkan kepribadian seseorang melalui
kegiatan peribadatan.70
Sementara itu Menurut Freud jiwa manusia dilahirkan dalam
kondisi jahat, buruk, atau merusak. Agar ia berkembang dengan positif,
diperlukan pendamping yang bersifat impersonal dan direktif atau
mengarahkan. Kesimpulan demikian itu didasarkan atas penyelidikan
Freud pada beberapa pasien yang datang ke laboratoriumnya. Dari sini
tampak bahwa teori Psikoanalisa Freud sebenarnya hanya cocok untuk
orang yang sakit dan bukan dikonsumsikan untuk orang yang sehat.
Asumsi ini bersifat pesimistik juga menafikan eksistensi manusia
sebenarnya, sehingga pada akhirnya mengakibatkan dehumanisasi dalam
psikologi.
Sedangkan asumsi kedua dikembangkan aliran Psikobehavioristik
oleh Skinner. Menurutnya, jiwa manusia dilahirkan dalam kondisi tabula
69 Victor E. Frankl, op. cit, hlm. 114-118. 70 Abdul Aziz Ahyadi, op. cit., hlm. 178.
110
rasa (kertas putih), hanya lingkungan lah yang dapat menentukan arah
perkembangan jiwa tersebut. Lingkungan yang baik akan membentuk
suasana psikologis yang baik dan harmonis, sebaliknya lingkungan yang
buruk berimplikasi pada gejala psikologis yang buruk pula. Asumsi ini
selain bersifat deterministik dan mekanistik, juga memperlakukan manusia
seperti makhluk yang tidak memiliki jiwa yang unik. Jiwa manusia dianggap
seperti jiwa hewan yang tidak memiliki kecenderungan apa-apa dan dapat diatur
seperti mesin atau robot.71
Selanjutnya aliran Psikologi humanistik72 yang dipelopori oleh Abraham
Maslow dan Carl Rogers. Menurutnya, jiwa manusia dilahirkan dalam kondisi
sadar, bebas, bertanggung jawab yang dibimbing oleh daya-daya positif yang
berasal dari dalam dirinya sendiri ke arah perkembangan kepada seluruh potensi
manusiawi secara penuh. Agar berkembang ke arah positif manusia tidak
memerlukan pengarahan melainkan membutuhkan suasana dan pendamping
personal serta penuh penerimaan dan penghargaan demi perkembangan potensi
positif yang melekat dalam diri individu.73
Meskipun asumsi tersebut di atas dikenal sebagai asumsi yang
optimistik dan mengakui kekuatan jiwa manusia, namun sifatnva antroposentris
hanya menggantungkan kekuatan manusia, tanpa mengaitkan teorinya pada
kehendak mutlak Tuhan. Dalam Islam, meskipun menggunakan kerangka
asumsi yang ketiga dalam membangun teori-teori psikologinya, namun ia
tidak melepaskan diri dari paradigma teosentris sebagai zat yang baik dan
suci, Tuhan tidak memberikan jiwa manusia kecuali jiwa yang memiliki
kecenderungan sehat, baik, dan suci.
Kesehatan jiwa manusia tidak hanya sekedar alami dan fitri,
melainkan telah diatur sedemikian rupa oleh sang Khalik. Dari kerangka ini,
71 Ibid., 165-166. 72 Psikologi Humanistik pertama kali muncul pada pertengahan abad ke dua puluh
sebagai reaksi terhadap mazhab behaviorisms dan psychoanalysis. Keduanya telah dianggap mereduksi manusia sebagai mesin atau makhluk yang rendah. Psikologi humanistic memandang bahwa tingkah laku manusia itu terwujud karena adanya dorongan-dorongan dasar manusia terhadap suatu kebutuhan (basic need). Yakni kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa selamat, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan rasa memiliki dan cinta atau kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Jadi tingkah laku seseorang itu timbul dari dorongan-dorongan (motivasi) tidak jauh dari akan kebutuhan-kebutuhan tersebut.
73 Ibid., 168.
111
kriteria neurosis dan psikosis dalam psikosufistik (tasawuf) ataupun psikologi
Islam bukan hanya disebabkan oleh gangguan syaraf atau gangguan kejiwaan
alamiah, melainkan juga penyelewengan terhadap aturan-aturan Tuhan. Hal
tersebutlah yang dapat meretakkan (fragmentation) kepribadian maupun
mental. Fragmentasi tersebut tak lain tampak gejala-gejala emosional,
psikologis dan spiritual baik yang terjadi pada tingkat kebudayaan maupun
individu. Bahkan pada era sekarang ini keretakan kepribadian dan gangguan
mental, disamping diakibatkan oleh faktor stressor sosial, hampir bisa
dipastikan 80% timbulnya gangguan mental diakibatkan oleh adanya krisis
spiritual pada diri individu, yakni lemahnya keimanan dan pengingkaran hati
nurani terhadap nilai-nilai agama, serta gangguan mental itu akibat dari
adanya ketidakseimbangan antara fungsi-fungsi ruh dengan fungsi jasmani.
Oleh karena itu tidak mengherankan apabila teori gangguan
kejiwaan atau mental dalam pandangan agama lebih banyak memfokuskan
pada perilaku spiritual dan religius (agama). Misalnya, yaitu pengingkaran
hati nurani atau menekan keyakinan kepada Tuhan dibawah alam sadarnya.
Oleh karena agama sangat terkait dengan kesehatan mental itu saling
berhubungan. Karena dalam agama banyak sekali seruan bagaimana seseorang
itu menjaga dirinya, dari hal-hal yang dapat merusak diri. Seperti agama
melarang minum-minuman keras, berjudi, berkelahi, memfitnah, mencuri,
korupsi, kolusi dan lain sebagainya. Perbuatan-perbuatan tersebut menurut
agama adalah merupakan bentuk-bentuk perilaku yang buruk dan merupakan
cerminan dari mental yang tidak sehat atau terganggu.