bab iii hasil penyelidikan

28
BAB III HASIL PENYELIDIKAN 3.1. Geologi Daerah Penyelidikan 3.1.1. Morfologi Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan didukung Interpretasi Peta Rupa Bumi Lembar Bandar Durian, skala 1: 50.000 maka, morfologi daerah penyelidikan yang terdapat pada lampiran peta geomorfologi, terdapat 3 satuan morfologi diantaranya: 1. Satuan Morfologi Bergelombang / miring yang ditandai dengan warna kuning pada peta, dengan luas ± 629 Ha 2 atau 46,27% dari luas areal. 2. Satuan Morfologi Agak Curam yang ditandai dengan warna jingga di peta, dengan luas ± 371,86 Ha 2 atau 27,35% dari luas areal.

Upload: geo-kapur

Post on 07-Aug-2015

100 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab III Hasil Penyelidikan

BAB III

HASIL PENYELIDIKAN

3.1. Geologi Daerah Penyelidikan

3.1.1. Morfologi

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan didukung Interpretasi Peta

Rupa Bumi Lembar Bandar Durian, skala 1: 50.000 maka, morfologi daerah

penyelidikan yang terdapat pada lampiran peta geomorfologi, terdapat 3 satuan

morfologi diantaranya:

1. Satuan Morfologi Bergelombang / miring yang ditandai dengan warna

kuning pada peta, dengan luas ± 629 Ha2 atau 46,27% dari luas areal.

2. Satuan Morfologi Agak Curam yang ditandai dengan warna jingga di peta,

dengan luas ± 371,86 Ha2 atau 27,35% dari luas areal.

3. Satuan Morfologi Curam yang ditandain dengan warna merah muda,

dengan luas ± 358,46 Ha2 atau 26,37 % dari luas areal.

Perbedaan ketinggian umumnya lebih mencerminkan tingkat resistensi batuan

terhadap ersosi. Sebagian besar daerah ini adalah hutan dan sisanya merupakan lahan

perkebunan penduduk yang ditanami pohon karet dan kelapa sawit.

Page 2: Bab III Hasil Penyelidikan

3.1.1.1. Satuan Morfologi Bergelombang / Miring

Satuan morfologi bergelombang / miring terletak di bagian utara sampai

selatan daerah penelitian dan menempati 46,27% dari total daerah penelitian.

Merupakan daerah dataran bergelombang dengan kemiringan lereng berkisar antara

0° hingga 5°. Litologi yang menempati satuan morfologi ini adalah endapan aluvial

dan tufa dan Formasi Sihapas, dengan vegetasi didominasi oleh perkebunan sawit dan

tanaman palawija. Pemanfaatan lahan pada satuan morfologi ini diantaranya adalah

sebagai pemukiman penduduk dan areal perkebunan.

Foto 3.1. Bentang Alam Satuan Morfologi Bergelombang / Miring

Page 3: Bab III Hasil Penyelidikan

3.1.1.2. Satuan Morfologi Agak Curam

Untuk morfologi agak curam memiliki luasan 27,35% dari luas daerah

penelitian. Merupakan daerah dataran dengan kemiringan lereng berkisar antara 9°

hingga 16°. Litologi yang menempati satuan morfologi ini adalah Formasi Kualum

dan Formasi Sihapas yang berumur trias, dengan vegetasi didominasi oleh tanaman

hutan. Pemanfaatan lahan pada satuan morfologi ini diantaranya adalah sebagai

kawasan hutan.

Foto 3.2. Satuan Morfologi Agak Curam

Page 4: Bab III Hasil Penyelidikan

3.1.1.3. Satuan Morfologi Curam

Untuk morfologi agak curam memiliki luasan 26,37 % dari luas daerah

penelitian. Merupakan daerah dataran dengan kemiringan lereng berkisar antara 16°

hingga 37°. Litologi yang menempati satuan morfologi ini adalah Formasi Kualum

yang berumur trias, dengan vegetasi didominasi oleh tanaman hutan. Pemanfaatan

lahan pada satuan morfologi ini diantaranya adalah sebagai kawasan hutan.

Foto 3.2. Satuan Morfologi Curam

2.2.2 Pola pengaliran dan Stadia Sungai

Semua sungai, baik besar maupun kecil, mempunyai sistem pengaliran

cekungan atau drainage basin (Tarbuck & Lutgens, 1984). Drainage basin yang

dimaksud adalah semua daerah yang dialiri oleh sungai dan tributary, yakni sungai

kecil yang mengalir menuju sungai yang lebih besar. Berdasarkan referensi dan

informasi yang diperoleh dari masyarakat sekitar, sistem drainage basin dari sungai –

Page 5: Bab III Hasil Penyelidikan

sungai yang terdapat di daerah penelitian digolongkan ke dalam tipe parenial, yakni

sungai yang berair sepanjang tahun.

Pada umumnya, aliran sungai dikendalikan oleh struktur batuan dasar,

kekerasan batuan, struktur geologi serta beberapa hal lainnya yang membentuk pola –

pola aliran sungai. Berdasarkan faktor – faktor ini, maka pola aliran sungai yang ada

pada daerah penelitian digolongkan kedalam pola aliran sungai ”paralel”.

Pola aliran sungai paralel adalah pola aliran sungai yang berbentuk akibat

adanya pengaruh struktur geologi.

Selain pola pengaliran, hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah tahap

geomorfik selama periode waktu mulai dari sungai tersebut terbentuk. Thornbury

(1954) menjelaskan bahwa evolusi dari lembah sungai dapat dibagi ke dalam 3 tahap,

yaitu tahap muda, tahap dewasa, dan tahap tua. Beberapa dasar yang digunakan dalam

melakukan pembagian ini diantaranya adalah jenis erosi yang dominan, bentuk profil

lembah sungai, gradien sungai, ada tidaknya dataran banjir, kecepatan aliran sungai,

dan lain sebagainya. Berdasarkan dasar – dasar tersebut, stadia sungai yang terdapat

pada daerah penelitian dapat dibagi ke dalam dua bagian.

Yang pertama adalah wilayah Barat daerah penelitian, terdapat sungai

Seikualuh mencirikan stadia sungai tua, yang dibuktikan dengan keterdapatn meander

dimana arus vertikal lebih dominan dari arus horzontal. Sungai yang terdapat di

wilayah Barat berbentuk ”U”, gradien sungai yang landai.

Page 6: Bab III Hasil Penyelidikan

Bagian yang kedua adalah wilayah timur daerah penelitian, terdapat sungai

mencirikan stadia sungai muda, yang dibuktikan dengan arus vertikal lebih horizontal

dari arus vertikal. Sungai yang terdapat di wilayah Barat berbentuk ”V”, gradien

sungai yang curam dan berarus deras.

Foto 3.3. Stadia Sungai Stadia muda Di Wilayah Timur Daerah Penelitian

Page 7: Bab III Hasil Penyelidikan

Foto 2.7. Stadia sungai tahap Dewasa Di Wilayah Barat Laut Daerah Penelitian

3.1.2. Stratigrafi

Stratigrafi daerah penyelidikan tersusun oleh batuan Pra-tersier, Tersier dan

Kuarter berumur mulai Trias, Miosen sampai Plistosen.

Batuan Pra-tersier adalah formasi Kualuh, batuan Tersier adalah formasi

Sihapas, batuan Kuarter adalah satuan Tufa Toba dan endapan termuda adalah

Alluvial. Peta geologi dan seberan Batubara seperti yang dilihat pada Peta 3.1 berikut

ini.

Formasi Kualuh merupakan formasi pembawa Batubara. Pelamparan formasi

Kualuh di daerah penyelidikan mengandung Batubara.

UMUR FORMASI LITOSTRATIGRAFI SIMBOL

Page 8: Bab III Hasil Penyelidikan

ZAMAN KALA

KUARTER

HOLOSEN ALUVIAL

PLISTOSEN AWAL TUFA TOBA

TERSIER

MIOSEN AWAL – MIOSEN TENGAH

SIHAPAS - KONGLOMERAT- BREKSI- BATU PASIR- LANAU- SERPIH

TRIASKUALU - BATU PASIR

- BATU LANAU- BATU LUMPUR- BATU GAMPING

TABEL . 3.1 Stratigrafi Daerah Penilitian (Aldiss, DKK 1987)

3.1.3. Struktur Geologi

Sebagaimana struktur geologi regional, struktur geologi daerah penyelidikan

dipengaruhi struktur dari sumatera fould sistem. Pada bagian barat daya daerah

penelitian terdapat sesar naik, tenggara daerah penilitian terdapat sesar turun, dan

pada barat laut terdapat sesar mendatar yang terpengaruh oleh sumatera fould system.

Pada lokasi penelitian dengan posisi N: 020 28’ 44,1” E: 990 31’ 33,1” terdapat

sesar naik yang berada pada singkapan batu pasir hidrokarbon. Batu pasir hidrokarbon

Page 9: Bab III Hasil Penyelidikan

tersebut berada pada formasi sihapas, dengan kedudukan N 2950 E/710. Pada

singkapan tersebut terdapat kekar dengan pola kekar shear joint dengan kedudukan :

- N 2100 E / 310 N 2290E/520

- N 1980 E /720 N2070E/660

Pada singkapan batu pasir hidrokarbon terdapan urat kwarsa yang mengalami patahan

normal, dimana kedudukan urat kuarsa tersebut N2200E/20 N2190E/550.

3.2. Pemetaan Geologi

Berdasarkan hasil pemetaan geologi pada daerah penyelidikan,

maka ditemukan beberapa singkapan, yang terdiri dari :

3.2.1. Singkapan Batubara

Singkapan endapan Batubara ditemukan sebanyak enam titik

seperti pada Tabel 3.1. berikut ini.

Tabel 3.1

Data Singkapan Batubara

No

Kode Singkapan

Koordinat Strike / Dip Tebal LapisanBB (m)LU BT

1 OC A1 02 28' 53,5"⁰ 99 31' 34,1"⁰ N 350 E/ 15⁰ ⁰ 1,302 OC A2 02 28' 52,7"⁰ 99 31' 34,4"⁰ N 95 E/ 65⁰ ⁰ 0,153 OC B1 02 28' 42,0"⁰ 99 31' 39,3"⁰ N 45 E/ 75⁰ ⁰ 1,504 OC B2 02 28' 42,2"⁰ 99 31' 38,0"⁰ N 241 E/ 12⁰ ⁰ 0,505 OC B3 02 28' 39,5"⁰ 99 31' 38,3"⁰ N 65 E/ 75⁰ ⁰ 0,806 OC B4 02 28' 41,3"⁰ 99 31' 39,7"⁰ N 295 E/ 25⁰ ⁰ 0,40

Page 10: Bab III Hasil Penyelidikan

3.2.2. Singkapan Batu Pasir

Sebaran Batu Pasir ini tersingkap pada bagian Utara dan Timur

pada derah penyelidikan, dengan ketebalan bervariasi antara 0 – 3 m.

3.2.3. Singkapan Konglomerat

Penyebaran dari satuan ini berada pada bagian tengah daerah

penyelidikan tersingkap secara spot-spot dan sebagian sudah mengalami

pelapukan.

3.2.4. Singkapan Lempung

Lempung merupakan batuan yang dominan dijumpai di lokasi

penyelidikan dengan penyebarannya yang merata.

3.2.5. Singkapan Breksi

Penyebaran breksi pada daerah penelitian ditemukan di bagian

Utara dan dengan ketebalan 7 m.

3.3. Pengeboran Eksplorasi

Untuk memudahkan penyelidikan pemboran eksplorasi Batubara,

maka daerah penyelidikan dibagi menjadi tiga blok penelitian yang terdiri

dari Blok A, Blok B dan Blok C. Pelaksanaan pemboran eksplorasi

Batubara telah dilaksanakan pada wilayah penyelidikan (Blok A, B dan

C) tersebut diatas sebanyak 15 titik pemboran dengan total kedalaman

Page 11: Bab III Hasil Penyelidikan

300 m, dengan perincian sebagai berikut ; panjang pemboran open hole

adalah 295,2 m dan coring adalah 4,8 m, seperti yang diuraikan pada

Tabel 3.2 dibawah ini.

Tabel 3.2

Data Titik Pemboran Eksplorasi Batubara

Keterangan :BHA = Bor Hole pada Blok ABHB = Bor Hole pada Blok BBHC = Bor Hole pada Blok C

Berdasarkan hasil pemboran tersebut lapisan Batubara hanya

dijumpai pada daerah penyelidikan Blok A dan Blok B saja. Sedangkan

pada daerah penyelidikan Blok C tidak ditemukan lapisan Batubara.

3.4. Endapan Batubara

No KodeTiti Bor

Koordinat Elevasi(m) dpl

Kedalaman Bor (m)

Open Hole (m)

Coring

(m)LU BT

1 BHC 1 02 28' 59,0"⁰ 99 32' 26,1"⁰ 205 14 14 -2 BHC 2 02 28' 59,0"⁰ 99 32' 29,0"⁰ 197 7 7 -3 BHC 3 02 28' 58,4"⁰ 99 32' 25,7"⁰ 208 16 16 -4 BHC 4 02 28' 57,7"⁰ 99 32' 26,1"⁰ 214 12 12 -5 BHC 5 02 28' 59,1"⁰ 99 32' 26,8"⁰ 209 11 11 -6 BHB 6 02 28' 41,7"⁰ 99 31' 38,1"⁰ 169 12 11,5 0,57 BHA 7 02 28' 53,0"⁰ 99 31' 34,5"⁰ 101 35 35 0,28 BHA 8 02 28' 52,6"⁰ 99 31' 34,4"⁰ 82 25 24,7 0,89 BHB 9 02 28' 39,9"⁰ 99 31' 38,3"⁰ 186 17 17 -10 BHA 9 02 28' 52,0"⁰ 99 31' 38,1"⁰ 104 20 20 -11 BHA 10 02 28' 51,2"⁰ 99 31' 33,8"⁰ 107 25 24 0,312 BHB 11 02 28' 41,6"⁰ 99 31' 37,8"⁰ 108 28 26,5 1,513 BHB 12 02 28' 39,4"⁰ 99 31' 38,7"⁰ 153 25 23,5 1,514 BHB 13 02 28' 39,7"⁰ 99 31' 40,7"⁰ 176 25 25 -15 BHB 14 02 28' 42,5"⁰ 99 31' 39,9"⁰ 124 28 28 -

Total Kedalaman 300 295,2 4,8

Page 12: Bab III Hasil Penyelidikan

Endapan Batubara terbentuk dengan proses yang sangat kompleks

dan memerlukan waktu yang lama (puluhan sampai ratusan juta tahun)

dan dipengaruhi proses fisika, kimia dan kondisi geologi.

Ada dua teori yang menyatakan tempat pembentukan Batubara

sebagai berikut :

a. Teori Insitu

Menjelaskan tempat dimana Batubara terbentuk sama dengan

tempat terjadinya proses coalification dan sama pula dengan

tempat dimana tumbuhan tersebut berkembang. Oleh sebab itu

beberapa penciri yang dapat dipergunakan untuk mengetahui

berlakunya teori insitu antara lain didapatkannya getah

tumbuhan yang telah mengeras (membatu), dengan istilah Harz

(damar). Warna Harz kuning tua sampai kuning kehitaman,

relatif lunak dibandingkan dengan kekerasan kuku manusia, dan

mudah digerus menjadi butir-butir halus, apabila dibakar berbau

seperti kemenyan. Pada saat tumbuhan tumbang, mati dan

tertutup oleh batuan sedimen, sering kali daun masih masih

terdapat bersama dengan kayunya. Oleh sebabnya didapatkan

tikas tulang, yang memperlihatkan bekas jaringan tulang daun.

b. Teori Drift

Page 13: Bab III Hasil Penyelidikan

Teori ini menyatakan bahwa endapan Batubara yang terdapat

pada cekungan sedimen berasal dari tempat lain, dengan kata

lain tempat terbentukknya Batubara berbeda dengan tempat

tumbuhan semula berkembang kemudian mati. Oleh sebab itu

bahan pembentuk Batubara tersebut telah mengalami proses

transportasi, sortasi dan terakumulasi pada suatu cekungan

sedimen. Oleh karenanya keberadaan getah tumbuhan yang

telah mengeras (Harz) dan tikas daun tidak pernah didapatkan,

di samping kualitas Batubara antara lapisan yang satu dengan

lapisan stratigrafi di atasnya berbeda. Hal ini mudah dimengerti

karena selama terjadi proses transportasi yang berkaitan dengan

kekuatan arus air, pada saat arus kuat akan terhanyutkan pohon-

pohon kaya besar, sedangkan pada saat arus air kekuatannya

telah mulai berkurang yang diangkut bagian pohon yang lebih

kecil (ranting dan daun). Penyebaran Batubara dengan konsep

teori drift, mungkin luas ataupun sempit, tergantung pada luasan

sekungan sedimentasi. (Krevelen, 1993).

Page 14: Bab III Hasil Penyelidikan

Gambar 3.1. Proses Pembatubaraan

Dengan membandingkan kedua teori diatas, maka keterdapatan

endapan Batubara pada daerah penyelidikan menunjukkan terjadinya

proses transportasi, sortasi dan terakumulasi pada suatu cekungan

sedimen, disamping itu keberadaan Harz dan tikas daun tidak ditemukan.

Dengan demikian proses pembentukan Batubara pada daerah

penyelidikan sesuai dengan teori drift. Dengan kata lain tempat

terbentukknya Batubara berbeda dengan tempat tumbuhan semula

berkembang kemudian mati.

Berdasarkan hasil analisa laboratorium, maka kualitas Batubara

yang terdapat pada daerah penyelidikan cukup baik dengan klasifikasi

Page 15: Bab III Hasil Penyelidikan

High Volatile B Bituminous Coal dan High Volatile C Bituminous Coal.

Batubara dengan klasifikasi tersebut diatas sangat baik digunakan untuk

kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), serta berbagai

pemanfaatan lainnya.

3.5. Estimasi Sumberdaya Batubara

Dalam perhitungan sumberdaya Batubara hasil penyelidikan,

metode yang digunakan yaitu Metode Cross Section. Metode Cross

Section dipilih karena metode ini sederhana, aplikasi perhitungannya

mudah dan cepat, mudah digambar, dimengerti dan dikoreksi. Hal ini

menunjukkan bahwa metode ini dapat dikerjakan secara normal.

3.5.1. Perhitungan Sumberdaya Batubara

Penerapan perhitungan jumlah sumberdaya Batubara dengan

Metode Cross Section sangat tergantung pada data pemboran dan

data singkapan endapan Batubara. Pada prinsipnya ada beberapa

langkah dalam perhitungan, yaitu membagi endapan Batubara

menjadi beberapa blok-blok penampang dengan selang jarak

tertentu. Selang jarak tersebut dapat sama tiap blok atau berbeda-

beda tergantung pada kondisinya.

Metode ini adalah salah satu metode perhitungan sumberdaya

secara konvensional. Perhitungan dengan metode ini dilakukan

Page 16: Bab III Hasil Penyelidikan

dengan menghubungkan titik antara pengamatan terluar. Sehingga

untuk mencari satu volume dibutuhkan dua penampang (Gambar

3.2).

Langkah-langkah perhitungan estimasi sumberdaya dengan

menggunakan metode Cross Section adalah sebagai berikut :

- Luas sayatan

- Menghitung jarak tiap sayatan

- Menghitung tonase Batubara

Jumlah sumberdaya Batubara yang terdapat di daerah

penyelidikan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

T = (a + b)/2 x h x ρ

Keterangan :

T = Tonase Batubara, ton

a = Luas sayatan a, m2

b = Luas sayatan b, m2

h = Jaraka ntara sayatan, m

ρ = Bobot isi Batubara, ton/m3

Dengan menerapkan rumus tersebut, maka jumlah tonase Batubara

pada daerah penyelidikan adalah :

Page 17: Bab III Hasil Penyelidikan

3.5.2. Perhitungan Tanah Penutup

Penerapan perhitungan lapisan tanah penutup dengan metode

sayatan sangat tergantung pada data pemboran dan data singkapan

endapan. Pada prinsipnya ada beberapa langkah dalam

perhitungan, yaitu membagi lapisan tanah penutup menjadi

beberapa blok-blok penampang dengan selang jarak tertentu.

Selang jarak tersebut dapat sama tiap blok atau berbeda tergantung

pada kondisinya. Langkah- langkahnya sebagai berikut :

- Menghitung luas sayatan

- Menghitung jarak setiap sayatan

- Menghitung volume lapisan tanah penutup

Jumlah volume overburden yang terdapat di daerah penyelidikan

dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Vob = (a + b)/2 x h

Keterangan :

Vob = Volume lapisan overburden, BCM

a = Luas sayatan a, m2

b = Luas sayatan b, m2

h = Jarak antara sayatan, m.

Page 18: Bab III Hasil Penyelidikan

Dengan menerapkan rumus tersebut diatas, maka jumlah volume

overburden pada daerah penyelidikan adalah :

3.5.3. Perhitungan Nisbah Pengupasan

Perhitungan nisbah pengupasan (stripping ratio) merupakan

perbandingan antara volume overburden dengan tonase Batubara.

Nilai dari hasil perhitungan dengan metode Cross Section Standar

berpedoman pada perubahan bertahap ( Rule of Gradual Changes)

diperoleh tonase Batubara adalah sebesar ……… ton, sedangkan

jumlah volume overburden yang harus digali dengan Cross Section

Standar berpedoman pada perubahan bertahap ( Rule of Grradual

Changes) diperoleh volume overburden adalah sebesar ………

BCM.

Perhitungan nisbah pengupasan total adalah sebagai berikut :

SR = …………………. BCM : ……… Ton.

= BCM : Ton.