bab iii hasil penelitian dan analisisrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2668/4/t1_312008001_bab...
TRANSCRIPT
42
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Gambaran hasil penelitian dalam Bab mengenai Hasil Penelitian dan Analisis
ini akan dimulai dari pemaparan hasil penelitian terhadap peraturan perundang-
undangan sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab I tentang Satuan Amatan
/Penelitian.44
Pada bagian pertama akan dikemukakan gambaran hasil penelitian
terhadap UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Uraian hasil penelitian
tentang UU No. 13 tahun 2003 menitik beratkan pada kaedah-kaedah yang berkaitan
dengan PKWT dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain sebagai
suatu jenis perjanjian sui generis (hybrid).
Disamping peraturan perundang-undangan, sebagaimana telah dinyatakan
dalam satuan amatan penelitian, penelitian ini, bagian kedua juga mengamati antara
lain satu putusan pengadilan, dalam hal ini yaitu Putusan Pengadilan Hubungan
Industrial, No. 153 K/PDT.SUS/2010 yang memutus sengketa industrial antara
Serikat Buruh Nestle Panjang melawan PT. Nestle Indonesia.
Penelitian terhadap putusan pengadilan No. 153 K/PDT.SUS/2010 ini,
dilakukan dalam rangka menemukan asas-asas dan kaedah-kaedah hukum yang
mengatur mengenai PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan
Lain, sebagai suatu jenis perjanjian sui generis (hybrid).
44
Lihat Sub Judul 1.5 tentang Metode Penelitian dalam Bab I karya tulis ini.
43
Perlu Penulis kemukakan di sini bahwa tidak semua isi dari putusan No. 153
K/PDT.SUS/2010 itu akan Penulis gambarkan di bawah judul Bab III tentang Hasil
Penelitian tersebut. Hanya hal-hal yang Penulis anggap relevan dalam rangka untuk
mencapai tujuan penelitian sajalah yang akan penulis gambarkan di sini. Sedangkan
gambaran lengkap tentang putusan No. 153 K/PDT.SUS/2010 tersebut Penulis
sertakan dalam lampiran45
skripsi ini.
3.1. Hakikat PKWT dalam UU Ketenagakerjaan
Kaedah di mana hakikat dari Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu dan
Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain memang tidak dapat
ditemukan secara tersirat dalam Tinjauan Kepustakaan sebagaimana telah Penulis
kemukakan dalam studi pustaka dalam Bab terdahulu. Oleh sebab itu, dalam Bab III
mengenai hasil penelitian ini, unsur-unsur dari Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu
dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain itu akan digambarkan
terlebih dahulu.
Pasal 50 UU Ketenagakerjaan mendefinisikan elemen pertama dalam judul
skripsi Penulis ini. Hubungan Kerja terjadi karena adanya Perjanjian Kerja antara
Pengusaha dan Pekerja/Buruh. Sementara itu, Pasal 1 UU Ketenagakerjaan Ayat (15)
juga memberi pemahaman tentang hakikat hubungan kerja, yaitu, hubungan antara
Pengusaha dengan Pekerja/Buruh berdasarkan Perjanjian Kerja, yang mempunyai
unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
45
Lihat lampiran skripsi ini.
44
Sementara itu, hakikat Perjanjian Kerja juga ada dalam UU Ketenagakerjaan
Pasal 1 ayat (14) UU Ketenagakerjaan, yaitu, perjanjian antara Pekerja/Buruh dengan
Pengusaha atau Pemberi Kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban
para pihak.
Bentuk dari Perjanjian Kerja sebagaimana dimaksud di atas bisa tertulis atau
bisa juga lisan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 UU Ketenagakerjaan.
Sedangkan jenis Perjanjian Kerja diatur dalam Pasal 56 Ayat (1) UU
Ketenagakerjaan, yaitu Perjanjian Kerja dibuat untuk Waktu Tertentu. Dalam Ayar
(2) ditegaskan bahwa Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu itu didasarkan atas
jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Bentuk dari Perjanjian Kerja
untuk Waktu Tertentu tersebut harus dalam bentuk tertulis. Hal ini memerlihatkan
bahwa formalitas sangat diutamakan dalam Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu
itu.
3.1.1. Pihak-Pihak dalam PKWT
Memerhatikan hakikat Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu sebagaimana
dikemukakan di atas, hasil penelitian Penulis membuktikan bahwa pihak-pihak dalam
Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu adalah pihak-pihak yang sama dalam setiap
Perjanjian Kerja pada umumnya, yaitu Pekerja/Buruh dengan Pengusaha atau
Pemberi Kerja.
45
3.1.2. Dimulainya PKWT
Sedangkan mulai kapan dimulainya Perjanjian Kerja untuk Wajtu Tertentu,
dalam Penelitian Penulis menemukan bahwa waktu dimulainya Perjanjian Kerja
untuk Waktu Tertentu adalah sama dengan waktu dimulainya Perjanjian Kerja pada
umumnya, yaitu sejak terjadinya atau dicapainya kata sepakat antara pihak-pihak
yang membuat Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu yang memunyai kemampuan
atau kecakapan melakukan perbuatan hukum untuk melakukan pekerjaan yang
diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengam ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.1.3. Formalitas dalam PKWT
Mengenai formalitas dalam Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu, Penelitian
ini menghasilkan temuan bahwa Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu dibuat secara
tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Perjanjian kerja
untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk
waktu tidak tertentu.
Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing,
apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku
perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa
percobaan kerja. Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja
46
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal
demi hukum.
Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka
pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi Pekerja/Buruh yang
bersangkutan. Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), sekurang
kurangnya memuat keterangan: nama dan alamat Pekerja/Buruh; tanggal mulai
bekerja; jenis pekerjaan; dan besarnya upah.
3.1.4. Sifat dan Jenis PKWT
Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam
waktu tertentu, yaitu: pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama
dan paling lama 3 (tiga) tahun; pekerjaan yang bersifat musiman; atau pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih
dalam percobaan atau penjajakan.
Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan
yang bersifat tetap. Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu dapat diperpanjang atau
diperbaharui. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu
tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Pengusaha
yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama
47
7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan
maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
3.1.5. Pembaruan Perjanjian Kerja
Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah
melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja
waktu tertentuyang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh
dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), Ayat (2), Ayat (4), Ayat (5), dan Ayat (6)
maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).
Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa
percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. Dalam masa percobaan kerja yang
demikian itu, pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang
berlaku.
3.1.6. Berakhirnya PKWT
Perjanjian kerja berakhir apabila: Pekerja meninggal dunia; berakhirnya
jangka waktu perjanjian kerja; adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap; atau adanya keadaan atau kejadian tertentu yang
48
dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
3.1.7. Penyelesaian Perselisihan PKWT
Dalam suatu analisis kontraktual, yang dimulai dengan hakikat perjanjian
akan berakhir dengan penyelesaian sengketa. Dalam penelitian, Penulis menemukan
bahwa penyelesaian sengketa PKWT adalah melalui dua jalur. Jalur litigasi yaitu
melalui PHI, berdasarkan UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial dan juga non litigasi atau penyelesaian di luar pengadilan,
misalnya melalui mediasi.
3.1.8. Pengalihan Perusahaan dan Hak-Hak Pekerja PKWT
Perjanjian Kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau
beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh
menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian
pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris
pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan
Pekerja/Buruh.
49
Dalam hal Pekerja/Buruh meninggal dunia, ahli waris Pekerja/Buruh berhak
mendapatkan hak haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya
jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya
hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksudkan di atas maka,
pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada
pihak lainnya sebesar upah Pekerja/Buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja.
3.2. Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain
Setelah uraian temuan atau hasil penelitian Penulis tentang Perjanjian Kerja
untuk Waktu Tertentu, kini tiba giliran Penulis untuk menggambarkan hasil
penelitian Penulis tentang unsur yang kedua dari judul skripsi Penulis yaitu Perjanjian
Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain.
3.2.1. Hakikat Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan
Mengenai kaedah yang mengatur mengenai hakikat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain juga Penulis temukan dalam UU
Ketenagakerjaan yang akan dikemukakan di bawah ini:
50
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
Pekerja/Buruh yang dibuat secara tertulis.
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain
dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
Pekerja/Buruh yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada
perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam kaedah di atas harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut: dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; dilakukan
dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; merupakan
kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan tidak menghambat proses
produksi secara langsung.
Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan di atas harus
berbentuk badan hukum.
Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi Pekerja/Buruh pada
perusahaan lain sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-
syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3.2.2. Pihak-Pihak dalam Perjanjian Penyerahan Pekerjaan
Memerhatikan hakikat Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada
Perusahaan Lain sebagaimana dikemukakan di atas, maka menurut Penulis, pihak-
pihak dalam Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan melalui Perjanjian
51
Pemborongan Pekerjaan adalah: (1) pihak Pekerja; (2) pihak Pengusaha atau Pemberi
Kerja.
Hasil penelitian Penulis tentang pihak-pihak dalam Perjanjian Penyerahan
Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain di atas memerlihatkan bahwa Perjanjian
Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain tersebut hanya melibatkan
Perkerja atau Buruh dengan Pengusaha atau Pemberi Kerja. Sedangkan Pasal 65 UU
Ketenagakerjaan yang menjadi satuan amatan penelitian Penulis mencatat keinginan
Pembuat undang-undang Ketenagakerjaan bahwa pihak yang menerima Penyerahan
Sebagian Pekerjaan dari Perusahaan yang memberikan pekerjaan adalah harus
berbentuk badan hukum. Sehingga, jelas terlihat dari hasil penelitian bahwa pihak
perusahaan yang menerima pekerjaan dari perusahaan pemberi kerja adalah selalu
berkedudukan sebagai Pekerja bukan Buruh. Buruh adalah istilah untuk pihak
manusia.
3.2.3. Saat Mulai Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan
Sama seperti saat mulainya Perjanjian Pekerjaan untuk Waktu Tertentu, saat
dimulainya Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, baik
melalui Perjanjian Pemborongan Pekerjaan maupun Perjanjian Penyediaan jasa
Pekerja/Buruh dimulai saat terjadinya atau dicapainya kata sepakat antara pihak-
pihak yang membuat Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan
Lain yang mempunyai kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
untuk melakukan perbuatan hukum untuk melakukan pekerjaan yang diperjanjikan
52
tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
3.2.4. Formalitas dalam Perjanjian Penyerahan Pekerjaan
Sama seperti formalitas yang dituntut dalam PKWT, formalitas dalam
Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain melalui
Perjanjian Pemborongan Pekerjaan itu adalah juga tertulis. Hal ini diatur dalam Pasal
65 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
3.2.5. Sifat-Sifat dan Jenis Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan
Sama seperti formalitas yang dituntut untuk PKWT, sifat-sifat dalam
Perjanjian Penyerahan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain melalui Perjanjian
Pemborongan Pekerjaan maupun Perjanjian Penyediaan jasa Pekerja/Buruh adalah
untuk melaksanakan pekerjaan yang selesai dalam waktu tertentu.
Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan baik melalui Perjanjian
Pemborongan Pekerjaan maupun Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh tidak
dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
3.2.6. Pembaruan Perjanjian Penyerahan Pekerjaan
Sama seperti PKWT, dimana perjanjian itu dapat diperpanjang atau
diperbaharui, Perjanjian Penyerahan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, baik melalui
Perjanjian Pemborongan Pekerjaan maupun Perjanjian Penyediaan Jasa
53
Pekerja/Buruh dapat diadakan untuk waktu yang sama dengan waktu yang telah
ditentukan untuk PKWT.
3.2.7. Berakhirnya Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan
Mengenai berakhirnya Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada
Perusahaan Lain, baik yang dilakukan melalui Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
maupun melalui Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh pada dasarnya sama
dengan kaedah yang berlaku dalam PKWT.
3.2.8. Penyelesaian Perselisihan dalam Penyerahan Pekerjaan
Memerhatikan berbagai uraian di atas, Penulis berpendapat bahwa
penyelesaian sengketa yang timbul dari Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan
kepada Perusahaan Lain, baik melalui Perjanjian Pemborongan Pekerjaan maupun
Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh adalah pada prinsipnya sesuai dengan UU
No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
3.3. Penyedia Jasa Berbadan Hukum
Penyedia jasa Pekerja/Buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum
dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), Ayat (2) huruf (a), huruf
(b), dan huruf (d) serta Ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan
54
kerja antara Pekerja/Buruh dan perusahaan penyedia jasa Pekerja/Buruh beralih
menjadi hubungan kerja antara Pekerja/Buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
Hubungan kerja berdasarkan PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan
Kepada Perusahaan Lain adalah dua konsep yang berbeda.
Konsep yang pertama yaitu PKWT dan konsep yang kedua yaitu Penyerahan
Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
Bagan 2. Pola Hubungan Hukum PKWT
PKWT
Bagan 3. Pola Hubungan Hukum antara Pemberi Kerja dan Perusahaan Pemakai Jasa
Perusahaan/Pemberi
Kerja
Pekerja
Perusahaan / pemberi
kerja yang menyerahkan
sebagian pekerjaan
Perusahaan yang
menerima penyerahan
sebagian pekerjaan
55
Bagan 4. Pola Hubungan Hukum Pasal 64 UU Ketenagakerjaan
Namun demikian, judul Hubungan Kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain
adalah dua konsep yang menjadi satu kesatuan (Hybrid). Pola hubungan hukum
tersebut dapat dilihat dalam Bagan 5.
Perjanjian Pemborongan
Pekerjaan
Perjanjian Penyediaan
Jasa Pekerja Tertulis
56
Memang tidak ada perjanjian kerja waktu tertentu
tetapi berdasarkan UU perjanjian kerja waktu tertentu
(Pasal 65 Ayat (6) & (7))
Bagan 5. Pola Hubungan Hukum Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
Bagan 6. Pola Hubungan Hukum Penyerahan Pekerjaan kepada Perusahaan yang
Tidak Berbadan Hukum.
Perusahaan / Pemberi
Kerja sebagian pekerjaan
Perusahaan yang
menerima pernyerahan
sebagian pekerjaan
(Pekerja)
Perjanjian pemborongan
pekerjaan
Buruh yang menerima
pekerjaan
Buruh pada Pekerja/
perusahaan penerima
penyerahan sebagian
pekerjaan
PK
WT
Perusahaan / Pemberi
Kerja yang menyerahkan
sebagian pekerjaan
Perusahaan yang menerima
penyerahan sebagian pekerjaan tidak
berbadan hukum tidak memberikan
pekerjaan
Status hubungan kerja
otomatis
Demi hukum
Buruh PKWT
57
Menurut pendapat Penulis, Bagan 5 di atas memerlihatkan bahwa Hubungan
Kerja berdasarkan PKWT dan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada
Perusahaan Lain yang tidak berbadan hukum menyebabkan lahirnya perjanjian kerja
waktu tertentu dan bahkan dapat menyebabkan PKWTT secara otomatis karena UU.
3.4. Jenis Perjanjian Kerja Sui Generis (Hybrid)
Putusan No. 153K/PDT.SUS/2010 ini menjadi satuan amatan dalam
penelitian ini mengingat menurut pendapat Penulis, Putusan tersebut dapat
menggambarkan adanya suatu pola hubungan hukum berjenis Hubungan Kerja
Berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian
Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
Ada dua jenis perjanjian kerja yaitu perjanjian kerja dibuat untuk waktu
tertentu atau untuk waktu tidak tertentu (Pasal 56 UU Ketenagakerjaan). Namun jenis
hubungan kerja seperti yang terdapat atau diatur UU tersebut adalah jenis perjanjian
kerja yang langsung antara pihak Pemberi Kerja/Pengusaha dengan Pekerja atau
Buruh.
Penulis berpendapat bahwa masih ada jenis perjanjian kerja lainnya yaitu
perjanjian kerja penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
yang dibedakan lagi ke dalam jenis perjanjian pemborongan jenis pekerjaan dan jenis
penyediaan jasa Pekerja/Buruh.
Penelitian dan Penulisan ini memfokuskan diri dalam mengkaji PKWT dan
Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain sebagai suatu jenis
58
perjanjian kerja yang ada dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi tidak dinyatakan atau
diatur secara khusus atau berdiri sendiri.
Menurut pendapat Penulis, setelah melalui suatu analisa hasil penelitian
sebagaimana tergambarkan di bawah ini, jenis perjanjian kerja PKWT dan
Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain itu adalah gabungan
(hybrid) antara unsur-unsur dalam jenis perjanjian kerja menurut Pasal 56 dengan
jenis perjanjian kerja sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 64 UU
Ketenagakerjaan. Perjanjian PKWT dan penyerahan sebagian pekerjanan kepada
perusahaan lain, tetapi masih dalam perusahaan yang sama walaupun jenis, nama atau
pekerjaan pada perusahaan yang berbeda dan diatur dalam kesepakatan kerja.
Ada soal mendasar sehubungan dengan jenis perjanjian kerja Pasal 64 UU
Ketenagakerjaan sebagaimana dikemukakan di atas. Pertama, bagaimana kedudukan
perusahaan lain yang menerima pekerjaan melalui jenis perjanjian pemborongan
pekerjaan dari perusahaan yang memberikan pekerjaan melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis tersebut; apakah perusahaan
penerima sebagian pekerjaan dari perusahaan lain tersebut berkedudukan sama
dengan Pekerja/Buruh? Pasal 61 Ayat (2), Ayat (3) dan lebih tegas lagi, Pasal 65
Ayat (1) jo (3) harus berbentuk badan hukum. Jenis perjanjian dalam Pasal 64
tersebut; khusus perjanjian yang pertama dalam Pasal 64 adalah bukan perjanjian
kerja. Mengapa, sebab setiap perjanjian kerja harus melibatkan dua pihak utama;
Pengusaha/Pemberi Kerja dan Pekerja atau Buruh.
59
3.5. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan itu adalah PKWT
Namun demikian perjanjian pemborongan pekerjaan dalam rangka suatu
perusahaan lain menerima sebagian pekerjaan dari perusahaan yang memberikan
pekerjaan tersebut adalah suatu perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT).
Apabila Penulis menganalisis hal itu lebih jauh, maka perjanjian (thesis setence)
Penulis sebagaimana telah dikemukakan di atas, didukung oleh beberapa indikator
atau ciri-ciri dari suatu perjanjian kerja.
Pertama, alasan dibuatnya perjanjian pemborongan pekerjaan dalam rangka
menerima penyerahan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi kerja adalah
karena tuntutan undang-undang yang mengatur tentang ketenagakerjaan. Sedangkan
ketenagakerjaan segala hal yang berhubungan dengan tenagakerja pada waktu
sebelum, selama, dan sesudah masa kerja (Pasal 1 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan).
Sementara itu, yang dimaksud dengan Tenaga Kerja adalah setiap orang (dus manusia
maupun badan hukum) yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang
dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.
Menurut pendapat Penulis, meskipun perusahaan yang mengikatkan diri
dalam perjanjian pemborongan pekerjaan tersebut bukan Buruh, sebab merupakan
badan hukum, tetapi dia adalah Pekerja, sebab perusahaan itu menerima sebagian
pekerjaan dari perusahaan yang menyerahkan sebagian pekerjaan kemudian
melakukan perjanjian kerja dengan Pekerja atau Buruh.
60
Kedua, perjanjian pemborongan pekerjaan yang berlangsung antara
perusahaan yang menerima sebagian pekerjaan dari perusahaan yang memberikan
pekerjaan itu dibuat untuk waktu tertentu dan secara tertulis.
Hal ini jelas menjustifikasi atau membenarkan thesis sentence Penulis bahwa
hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu dan penyerahan sebagian
pekerjaan kepada perusahaan lain adalah suatu perjanjian tersendiri, jenis perjanjian
kerja yang tidak secara tegas dinyatakan dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi ada
(tersirat) dalam Undang-Undang tesebut. Terbukti dengan adanya unsur (1) dibuat
untuk waktu tertentu; (2) secara tertulis; (3) dalam konteks ketenagakerjaan
sebagaimana dimaksud oleh UU Ketenagakerjaan.
Ketiga, perjanjian pemborongan pekerjaan yang berlangsung antara
perusahaan yang menerima sebagian pekerjaan dari perusahaan yang memberikan
pekerjaan itu dibuat dengan rujukan penuh kepada, ketentuan yang mengatur tentang
perjanjian kerja untuk waktu tertentu senbagaimana diatur dalam Pasal 59 Ayat (1)
Huruf (a), (b), (c), (d), Ayat (2), (3), (4), (5), (6), (7), dan (8).
Selanjutnya yang keempat, perjanjian pemborongan pekerjaan yang
berlangsung antara perusahaan yang menerima sebagian pekerjaan dari perusahaan
yang memberikan pekerjaan itu dibuat dengan tunduk kepada kaedah dalam Pasal 65
UU Ketenagakerjaan.
Kelima, bukti yang lain yang juga memerlihatkan kebenaran thesis sentence
Penulis bahwa hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)
dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain itu adalah suatu jenis
61
perjanjian kerja yang berdiri sendiri dan dikenal secara tersirat tetapi harus digali
dalam UU Ketenagakerjaan adalah, disamping hal-hal yang telah dikemukakan di
atas, secara khusus Penulis hendak mengemukakan pula bahwa berdasarkan Pasal 65
Ayat (2) Huruf (b), dipersyaratkan bahwa pekerjaan yang dapat diserahkan kepada
perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis
tersebut harus memenuhi syarat-syarat antara lain, dilakukan dengan perintah
langsung dari perusahaan yang menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan
yang menerima sebagian pekerjaan tersebut. Hal ini semakin membuktikan lagi
bahwa perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat dalam rangka menerima
sebagian pekerjaan dari perusahaan lain tersebut adalah sesungguhnya merupakan
perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang berlangsung antara perusahaan yang
menyerahkan sebagian pekerjaan dengan perusahaan yang menerima sebagian
pekerjaan terseut melalui perjanjian pemborongan pekerjaan. UU Ketenagakerjaan
mengisyaratkan suatu unsur esensial suatu hubungan kerja; yaitu adanya perintah.
(Pasal 1 Ayat (15)), disamping adanya pekerjaan dan upah.
Sedangkan pemborongan pekerjaan hanya bersifat sementara atau dikatakan
hanya dalam waktu tertentu yang didasarkan pada pekerjaan tersebut atau yang
memberikan pekerjaan itu, ketika pekerjaan itu selesai maka berakhir pula
pekerjaannya.
Soal mendasar yang kedua sehubungan dengan jenis perjanjian kerja Pasal 64
UU Ketenagakerjaan sebagaimana dikemukakan di atas adalah, bagaimana
kedudukan perusahaan lain yang menerima pekerjaan melalui jenis perjanjian
62
penyediaan jasa Pekerja/Buruh yang juga harus dibuat secara tertulis itu; apakah
perusahaan penerima sebagian pekerjaan dari perusahaan lain tersebut berkedudukan
sama dengan Pekerja/Buruh seperti dalam perjanjian pemborongan di atas? Untuk
menjawab persoalan kedua seperti telah dikemukakan di atas tersebut, maka Pasal 66
UU Ketenagakerjaan dapat menyediakan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Berbeda dengan kedudukan atau status perusahaan yang menerima sebagian
pekerjaan dari perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan,
sebagaiman telah dikemukakan di atas adalah sebagai Pekerja PKWT mengingat
antara lain ada unsur perintah, maka status atau kedudukan perusahaan yang
menerima penyerahan sebagian pekerjaan dari perusahaan lain melalui perjanjian
keagenan (penyedia jasa Pekerja/Buruh) yang juga dibuat secara tertulis, perusahaan
dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa Pekerja/Buruh yang
dibuat secara tertulis (Pasal 64 UU No. 13 tahun 2003), relatif lebih sejajar atau
koordinatif, dibandingkan dengan sub ordinasif melalui pemborongan pekerjaan.
Hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu dan penyerahan
sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain sebagai suatu jenis perjanjian kerja yang
sebetulnya ada tertulis dalam UU Ketenagakerjaan namun untuk mengidentifikasi hal
itu dibutuhkan suatu penggalian yang mendalam sebagaimana telah Penulis lakukan
dan gambarkan hasilnya di atas lebih cocok dipergunakan untuk memahami hakikat
dari perjanjian pemborongan kerja antara perusahaan yang menyerahkan sebagian
pekerjaan kepada perusahaan yang menerima penyerahan sebagian pekerjaan melalui
63
perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 64 jo Pasal 65
UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Hubungan kerja sebagaiman telah dikemukakan di atas tersebut berbeda
dengan jenis hubungan kerja PKWT saja, atau jenis hubungan kerja outsourcing saja
sebagaimana telah banyak dibahas oleh berbagai Penulis. Hubungan kerja sui generis
(hybrid) sebagaiman telah Penulis kemukakan di atas adalah suatu hubungan kerja
yang baru yang pernah diungkap oleh suatu penelitian ilmiah, dan hal itulah yang
dapat Penulis katakan sebagai temuan yang asli dari penelitian dan karya tulis
kesarjanaan Penulis ini.
3.6. Penyelesaian Hubungan Industrial
Sehubungan dengan penyelesaian sengketa, misalnya timbul perselisihan
antara perusahaan penerima sebagian pekerjaan dari perusahaan yang menyerahkan
sebagian pekerjaan dengan perusahaan yang menerima pekerjaan, maka menurut
pendapat Penulis, forum untuk menyelesaikan sengketa, sepanjang menyangkut isi
perjanjian pemborongan pekerjaan sebagai hubungan hukum antara perusahaan yang
menyerahkan pekerjaan adalah melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang
diatur dalam UU No. 2 tahun 2004.
3.6.1. Arbitrase Hubungan Industrial
Meskipun demikian, Penulis berpendapat bahwa sebaiknya dalam hubungan
hukum yang terjadi antara perusahaan penerima sebagian pekerjaan diselesaikan
64
konsensuilsecara tertulis dahulu oleh kedua belah pihak atau oleh pihak-pihak yang
bersangkutan. Dalam hal ini, penyelesaian sengketa secara konsensuil tersebut dapat
menempuh Arbitrase Hubungan Industrial. Arbitrase Hubungan Industrial yang
selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar
Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang
berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang
putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.46
Arbiter Hubungan Industrial
yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para
pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk
memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan
penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat
final.47
3.7. Hasil Penelitian Putusan No. 153
Seperti telah dikemukakan di depan, berikut ini Penulis akan memaparkan
Hasil Penelitian terhadap putusan pengadilan PHI No. 153 yang melibatkan Serikat
Buruh Nestle Panjang versus PT. Nestle Indonesia. Yang berselisih karena tidak
46
Pasal 1 Ayat (15) UU No. 2 tahun 2004.
47
Pasal 1 Ayat (16) UU No. 2 tahun 2004.
65
tercapaimya kesepakatan antara Serikat Buruh Nestle Panjang versus PT. Nestle
Indonesia dan semakin berlarut-larutnya penyelesaian perundingan PKB.
3.7.1. Pihak-Pihak dalam Hubungan Industrial No. 153
Putusan MA No. 153 K/PDT.SUS/2010 itu melibatkan pihak pemohon kasasi
dahulu Tergugat. Serikat Buruh Nestle Panjang tersebut juga mewakili pekerja.
Sedangkan di sisi Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Pengusaha adalah PT Nestle
Indonesia.
Menurut pendapat Penulis, pihak Pekerja yang diwakili oleh serikat Buruh
Nestle Panjang dalam perkara No. 153 K/PDT.SUS/2010 itu, juga termasuk di
dalamnya adalah pekerja yang terikat dalam PKWT, dan pekerja dalam perikatan
penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain. Itulah sebabnya Penulis
memandang bahwa kasus itu relevan untuk diamati, berikut ini gambaran hasil
penelitian atas Putusan tersebut.
3.7.2. Dalil-Dalil dalam Persidangan
Penggugat mendalilkan bahwa sejak 01 Februari 2008 hingga 24 April 2008,
Penggugat dan Tergugat melakukan perundingan perubahan atas Perjanjian Kerja
Bersama (PKB) periode 01 Januari 2008 sampai dengan 31 Desember 2009 tetapi
hingga berakhirnya perundingan PKB pada 24 April 2008 tidak tercapai kata sepakat
antara Penggugat dan Tergugat. Untuk mendukung dalil Penggugat tersebut,
66
Penggugat melampirkan Risalah Perundingan PKB tertanggal 24 April 2008 antara
Penggugat dan Tergugat sebagai Bukti.
Menurut dalil Penggugat tidak tercapainya kata sepakat antara Penggugat dan
Tergugat karena Tergugat menuntut agar dalam rancangan PKB 2008 – 2009
dicantumkan beberapa hal padahal hal-hal tersebut tidak perlu untuk dicantumkan
dalam rancangan PKB 2008 karena merupakan peraturan normatif yang telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
UU No. 21 tahun 2000 jelas dan tegas telah mengatur kebebasan pekerja
untuk berserikat, khusus mengenai pihak soal yang berkaitan dengan masalah
penelitian ini, Penggugat mendalilkan bahwa outsourcing juga telah diatur dalam
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.
Mengenai upah, struktur dan skala upah juga telah diatur dalam Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Kep-49/Men/IV/2004, tanggal 08
April 2004 Kepmen No. Kep-49/Men/IV/2004. Penggugat menjadikan Kepmen No.
Kep-49/Men/IV/2004 sebagai dasar kebijakan dalam penentuan upah dan skala upah
di perusahaannya.
Menyangkut hak pekerja atas istirahat UU No. 13 Tahun 2003 juga juga, telah
mengatur mengenai hal ini. Perihal pembayaran dalam hal terjadi PHK, pengunduran
diri dan pensiun dini padahal juga telah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003.
Khusus mengenai PKB, Penggugat mendalilkan bahwa PKB cukuplah
memuat/hal yang belum/tidak diatur dalam ketentuan perundang-undangan, mengatur
lebih baik dari pada ketentuan perundang-undangan.
67
3.7.3. Sebab-Sebab Menuju Kesepakatan
Berdasarkan apa yang terjadi selama perundingan perubahan PKB 2008 -
2009, serta pernyataan-pernyataan Tergugat yang dikutip oleh berbagai surat kabar
harian terbukti bahwa tercapainya kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat
sebenarnya dapat dilakukan apabila Tergugat tidak menolak besaran kenaikan upah
dan tunjangan transportasi yang telah ditawarkan oleh Penggugat kepada seluruh
pekerjanya ; dan Tergugat tidak menuntut bahwa kebijakan Penggugat dalam
menentukan besaran upah dan tunjangan-tunjangan kepada seluruh pekerjanya harus
selalu didasarkan pada kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat.
Dalam perundingan PKB 2008 – 2009 Penggugat telah menyetujui untuk
menaikkan upah tahun 2008 sebesar 11%, tetapi Tergugat meminta kenaikan upah
hingga 18%. Perubahan tunjangan transportasi sejak Juni 2008 sebesar 22%, tetapi
Tergugat menuntut kenaikan tunjangan sebesar 33%. Penulis berasumsi bahwa hal ini
tentu berlaku untuk semua Pekerja, baik PKWTT maupun PKWT.
Persoalan yang patut dianalisis adalah apa dasar pengusaha (Penggugat)
menaikkan hak-hak pekerjanya, termasuk Pekerja dalam hubungan hukum PKWT
dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain? Menurut pendapat
Penulis, memerhatikan Putusan No. 153 K/PDT.SUS/2010 tersebut, dasar
perhubungan hukum tersebut adalah hukum, dalam hal ini, lebih khusus adalah asas
itikad baik. Dus, meskipun tidak ada kewajiban untuk menaikkan hak, namun
68
pengusaha menaikan upah atas dasar itikad baik. Hal ini sejalan dengan kaedah yang
mensubkan bahwa setiap perjanjian, perjanjian jelas didasarkan atas itikad baik.
Walaupun Pasal 92 Ayat (2) UU No. 13 tahun 2003 tidak mewajibkan
pengusaha untuk melakukan peninjauan upah secara berkala, namun keputusan
Penggugat menaikkan upah dan tunjangan transportasi tahun 2008 tersebut telah
sesuai dengan amanat dalam Pasal 92 Ayat (2) UU No. 13 tahun 2003.
Sebab selanjutnya adalah Tergugat tidak menghargai iktikad baik Penggugat
yang telah memberikan kenaikan upah dan tunjangan transportasi. Tatkala di berbagai
daerah banyak pengusaha yang tidak mampu memberikan kenaikan upah bahkan
semakin bertambah pengusaha yang melakukan PHK terhadap pekerjanya
dikarenakan kesulitan ekonomi akibat terjadinya krisis ekonomi dunia.
Sebab lain adalah dalam setiap perundingan PKB 2008 – 2009 dan melalui
inter office memo kepada seluruh Pekerja48
, Penggugat berulangkali menyampaikan
dasar Penggugat tidak dapat menerima tuntutan Tergugat sebab perusahaan di tempat
mana Tergugat bekerja yang hanya memberikan kontribusi kurang dari 10% dari
seluruh bisnis Penggugat. Dengan demikian, maka peranan pabrik Penggugat di
Lampung sangatlah kecil dilihat dari keseluruhan bisnis Penggugat yang selain di
Panjang juga ada di Cikupa – Tangerang, Gempol – Pasuruan dan Kejayan Jawa
Timur. Namun demikian tidak dapat dibantah bahwa upah yang diterima para pekerja
48
Penulis berasumsi bahwa konsep seluruh Pekerja dalam inter office memo tersebut mencakup juga
Pekerja dalam PKWT yang langsung memunyai hubungan hukum dengan Penggugat maupun Pekerja
PKWT dan PKWTT yang punya hubungan hukum dengan perusahaan penyerahan sebagian pekerjaan
kepada perusahaan lain.
69
Penggugat di pabrik Penggugat di Lampung termasuk yang terbaik di Lampung
sebagaimana dinyatakan oleh Ketua Apindo Lampung dalam surat kabar harian
"Lampung Post" halaman 13 tertanggal 10 November 2008.
3.7.4. Kemana Menuntut Hak?
Pekerja yang sudah barang tentu meliputi Pekerja berdasarkan PKWT maupun
PKWTT, baik yang langsung direkrut oleh PT. Nestle maupun yang direkrut oleh
Perusahaan yang menerima penyerahan sebagian pekerjaan dari PT. Nestle Indonesia,
berdasarkan Pasal 5 UU No. 2/2004, baik itu perusahaan yang menerima sebagian
pekerjaan dari PT. Nestle Panjang melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
perusahaan yang menerima sebagian pekerjaan melalui perjanjian keagenan
(perjanjian penyediaan jasa Pekerja/Buruh) yang dibuat secara tertulis berhak,
berdasarkan UU, bukan karena Perjanjian, menuntut hak yang lahir dari hubungan
kerja dengan pemberi kerja, setelah menerima Anjuran, ke Pengadilan Hubungan
Industrial. Meskipun, tidak ada larangan melakukan unjuk rasa sebagai bentuk
perjuangan terhadap kesejahteraan Pekerja.
Dalam Putusan No. 153 K/PDT.SUS/2010 upaya penyelesaian melalui
Pengadilan justru diambil oleh pihak Penggugat (PT. Nestle) karena tidak tercapainya
kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat dan semakin berlarut-larutnya
penyelesaian perundingan PKB. Melalui surat tertanggal 05 Mei 2008, No.
172/Panjang-HRD/KU/08, perihal penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Melalui Mediasi, Penggugat mencatatkan Perselisihan Hubungan Industrial tentang
70
kepentingan ke Dinas Tenaga Kerja & Transmigrasi Kota Bandar Lampung. Setelah
mediasi oleh mediator Dinas Tenaga Kerja & Transmigrasi Kota Bandar Lampung
gagal mencapai kesepakatan antara Tergugat dan Penggugat langkah selanjutnya
adalah melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri setempat. Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud
dalam Ayat (1) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat".
UU No. 2 Tahun 2004, dalam Pasal 1 angka 3 mendefinisikan "Perselisihan
kepentingan sebagai perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak
adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat
kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama".
Definisi yang diberikan oleh Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 mengatur
hal-hal yang diperselisihkan dalam perselisihan kepentingan yaitu tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pembuatan PKB, tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
3.7.5. Pekerjaan yang Sebagian diserahkan Kepada Perusahaan Lain
Yang termasuk ke dalam bisnis utama (core business) PT. Nestle Indonesia
Panjang Factory adalah seluruh kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan
71
langsung dengan produksi mulai dari pengelolaan dan penerimaan bahan mentah kopi
hingga pada saat produk siap dipasarkan.
Seluruh bagian atau kegiatan dalam bisnis utama perusahaan sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 23 Ayat (2) harus dikerjakan oleh buruh tetap, yang direkrut
langsung oleh PT. Nestle Indonesia Panjang Factory. Hal ini sebaliknya memberi
sinyal bahwa pekerjaan yang sebagian diserahkan kepada perusahaan lain adalah
pekerjaan yang bukan core business PT. Nestle Indonesia.
Menurut pendapat Penulis, argumen “Hak Buruh outsourcing minimal harus
sama dengan ketentuan terendah yang mengatur kesejahteraan buruh tetap”
melahirkan asumsi: 1) bahwa Penggugat juga memiliki hubungan hukum dengan
pihak pekerja outsourcing atau Pekerja perusahaan yang diserahi sebagian pekerjaan
oleh PT. Nestle Indonesia (Penggugat). Baik itu Pekerja PKWT, maupun Pekerja
PKWTT dalam perusahaan yang diserahi sebagian pekerjaan oleh PT. Nestle
Indonesia atau Penggugat. 2) tidak ada sama sekali tanda-tanda apabila PT. Nestle
Indonesia (Penggugat) menolak kewajiban untuk menjadi terikat dengan para Pekerja
dalam perusahaan yang menerima sebagian pekerjaan dari PT. Nestle Indonesia atas
dasar asumsi hukum bahwa PT. Nestle Indonesia hanya memunyai hubungan hukum
(perjanjian) dengan perusahaan yang menyediakan buruh bagi PT. Nestle Indonesia.
72
Bagan 7. Pola Hubungan Kerja kasus PT. Nestle Indonesia versus Serikat Buruhnya
Hanya saja, secara prinsipil adalah bahwa PT. Nestle tidak memunyai
hubungan hukum dengan Pekerja, baik Pekerja PKWTT maupun Pekerja PKWT dari
perusahaan yang diserahi sebagian pekerjaan oleh PT. Nestle Indonesia (Penggugat)
Hak buruh outsourcing minimal harus sama dengan ketentuan terendah yang
mengatur kesejahteraan buruh tetap” ini terlihat ada pembedaan hak antara buruh
tetap yang direkrut langsung oleh PT. Nestle dan Pekerja outsourcing yang tidak
direkrut oleh PT. Nestle (Penggugat).
Dalam Putusan No. 153 K/PDT.SUS/2010 itu, MA mengatakan Kasasi
Serikat Buruh Nestle Panjang yang dalam hal ini juga termasuk mewakili Pekerja di
PT. Nestle Panjang tidak dapat diterima. Hal itu berarti bahwa asumsi para Pekerja
bahwa ada hubungan hukum yang lahir dari perjanjian (PKB), dalam hal ini termasuk
Pekerja
PKWTT
Buruh PKWT
Perusahaan lain (Pekerja)
yang diserahi sebagian
pekerjaan oleh PT. Nestle
PT. Nestle
(Penggugat)
73
hak-hak para Pekerja PKWT yang dapat dituntut langsung dari pemberi kerja (PT.
Nestle Panjang), tidak dapat diterima oleh MA.
Dari putusan Mahkamah Agung tersebut dapat diketahui bahwa ada hubungan
antara pekerja PKWT yang bergabung dalam perusahaan yang merekrut mereka
dengan perusahaan yang memberikan atau menyerahkan sebagian pada perusahaan
yang merekrut mereka. Dalam putusan tersebut menyangkut tentang hak dan
kewajiban Pekerja dalam satu pekerjaan pada perusahaan tersebut. Dan di dalam
pekerjaan itu seorang Pekerja sudah seharusnya mendapatkan hak yang diatur dalam
perjanjian tersebut. Begitu juga sebaliknya dengan yang pemberi pekerjaan.
Berdasar pada putusan Mahkamah Agung, dalam hukum ketenagakerjaan
mengatakan bahwa “setiap orang (Pekerja) yang bekerja pada orang lain mempunyai
hak-hak normatif yang sudah diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan. Jadi
suatu perusahaan yang menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain tidak
dapat berdalih bahwa perusahaan tersebut tidak mempunyai hubungan hukum49
dengan pekerja perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang ditampung oleh
perusahaan yang menghimpun mereka hanya karena tidak adanya suatu perjanjian
antara perusahaan yang menyerahkan sebagian pekerjaan dengan para pekerja, tetapi
ada kontrak.
49
Asas kepribadian atau privity of contract seperti diuraikan di sub judul 2.2.2. Bab II skripsi ini tidak
dapat dipergunakan sebagai alasan Pemberi Kerja untuk menolak kewajiban yang harus dipikul
olehnya.