bab iii analisis resepsi sastra - abstrak.uns.ac.id · berdasarkan ulasan di atas dapat ditarik...

87
125 BAB III ANALISIS RESEPSI SASTRA Penelitian karya sastra dengan pendekatan resepsi sastra adalah penelitian yang menitik beratkan pada pembaca sastra. Pembacalah yang memberikan arti dan makna yang sesungguhnya terhadap karya sastra, bukan pengarang. Pembaca berhak memaknai sebuah teks atas dasar pemahamannya sendiri. Suatu teks baru mempunyai makna bila ia sudah punya hubungan dengan pembaca. Penelitian ini akan menggunakan teori resepsi, di mana akan diuraikan tanggapan-tanggapan dari sudut pandang pembaca seperti yang sudah diungkapkan oleh Segers. Adapun Segers membedakan pembaca menjadi tiga macam, yaitu a) pembaca nyata, b) pembaca implisit, dan c) pembaca ideal. Pembahasan dengan menggunakan pendekatan ini akan menggunakan dua sudut pandang pembaca. Pertama, pembaca ideal atau pembaca mahatahu (superreader) yaitu kritikus dan penerjemah. Kedua, tanggapan dari pembaca nyata yaitu peneliti. Berikut akan diuraikan tanggapan-tanggapan pembaca terhadap novel al- Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra> n: A. TANGGAPAN PEMBACA KRITIKUS Tanggapan pembaca mahatahu yang pertama akan diuraikan mengenai tanggapan pembaca kritikus. Kritikus adalah orang yang ahli memberikan pertimbangan atau pembahasan tentang baik buruknya sesuatu (KBBI, 2007: 601). Adapun kritikus sastra berarti orang yang ahli memberikan pertimbangan atau pembahasan tentang baik buruknya ataupun kurang dan lebihnya sebuah karya sastra. Kritikus yang dimaksudkan penulis adalah

Upload: others

Post on 25-Sep-2019

21 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

125

BAB III

ANALISIS RESEPSI SASTRA

Penelitian karya sastra dengan pendekatan resepsi sastra adalah penelitian

yang menitik beratkan pada pembaca sastra. Pembacalah yang memberikan arti

dan makna yang sesungguhnya terhadap karya sastra, bukan pengarang. Pembaca

berhak memaknai sebuah teks atas dasar pemahamannya sendiri. Suatu teks baru

mempunyai makna bila ia sudah punya hubungan dengan pembaca. Penelitian ini

akan menggunakan teori resepsi, di mana akan diuraikan tanggapan-tanggapan

dari sudut pandang pembaca seperti yang sudah diungkapkan oleh Segers. Adapun

Segers membedakan pembaca menjadi tiga macam, yaitu a) pembaca nyata, b)

pembaca implisit, dan c) pembaca ideal. Pembahasan dengan menggunakan

pendekatan ini akan menggunakan dua sudut pandang pembaca. Pertama,

pembaca ideal atau pembaca mahatahu (superreader) yaitu kritikus dan

penerjemah. Kedua, tanggapan dari pembaca nyata yaitu peneliti.

Berikut akan diuraikan tanggapan-tanggapan pembaca terhadap novel al-

Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n:

A. TANGGAPAN PEMBACA KRITIKUS

Tanggapan pembaca mahatahu yang pertama akan diuraikan mengenai

tanggapan pembaca kritikus. Kritikus adalah orang yang ahli memberikan

pertimbangan atau pembahasan tentang baik buruknya sesuatu (KBBI, 2007:

601). Adapun kritikus sastra berarti orang yang ahli memberikan

pertimbangan atau pembahasan tentang baik buruknya ataupun kurang dan

lebihnya sebuah karya sastra. Kritikus yang dimaksudkan penulis adalah

126

semua orang yang menanggapi tentang baik dan buruk, tentang kelebihan dan

kekurangan sebuah karya sastra melalui kaca matanya. Berikut akan diuraikan

beberapa kritikus yang menanggapi eksistensi novel al-Ajnichah al-

Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n:

A.1 Zumrotul Mukaromah

Zumrotul Mukaromah bersama rekannya Chulusul Umniyati

menanggapi novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l

Jubra>n dari sudut pandang feminisme.

Mereka memandang bahwa terdapat ketidakadilan gender yang

dialami oleh tokoh wanita dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya

Jubra>n Khali>l Jubra>n. Fenomena ketidakadilan yang terjadi adalah

perempuan sebagai pihak yang tertindas, hanya diambil keuntungan dari

dirinya.

Di dalam makalahnya, mereka menyatakan bahwa tokoh Salma

Karamah adalah wujud dari gambaran perempuan Arab. Perempuan dalam

pandangan feminis mengatakan bahwa perempuan tidak ingin dikekang,

seorang perempuan menginginkan kebebasan. Perempuan juga ingin

diperhatikan, karena naluri perempuan adalah selalu ingin diperhatikan.

Pandangan feminisme lainnya terhadap novel tersebut yaitu bahwa

perempuan ingin dihargai, mereka tidak ingin ditindas dan dihina oleh

kaum laki-laki. Bahkan dalam pandangan feminisnya, perempuan adalah

orang yang rela berkorban demi cinta. Perempuan tidak menginginkan

belas kasihan dari seorang laki-laki. Perempuan adalah seorang yang

127

cerdas. Perempuan adalah tipe orang yang setia. Perempuan adalah

seorang pemberani. Perempuan adalah orang yang mampu menghormati

orang lain, dan perempuan tidak ingin menjadi korban perjodohan orang

tua.

Demikianlah pandangan feminisme oleh Chulusul Umniyati

bersama rekannya Zumrotul Mukaromah dalam menanggapi adanya

fenomena yang tergambar dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya

Jubra>n Khali>l Jubra>n. Chulusul dan Zumrotul dalam tanggapannya

memberikan ulasan-ulasan mengenai perjuangan hak-hak perempuan yang

tidak seharusnya diperlakukan secara sewenang-wenang oleh kaum laki-

laki. Feminisme memandang bahwa seorang perempuan mempunyai

kesetaraan dalam hal hak kemanusiaan. Perempuan bukanlah budak yang

dapat diperlakukan sewenang-wenang maupun diperjualbelikan.

Perempuan memiliki hak kebebasan menentukan apa yang terbaik bagi

dirinya sendiri.

A.2 Anne Ahira

Tanggapan kedua adalah dari Anne Ahira, di mana ia menuliskan

tanggapan mengenai novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n

Khali>l Jubra>n dalam situsnya http://anneahira.com bahwa al-Ajnichah al-

Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n merupakan ekspresi kekecewaan

Jubra>n pada dunia, terutama dunia asmara. Novel al-Ajnichah al-

Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n diangkat dari kehidupan

asmaranya sendiri, yang kandas tidak mencapai tujuan hanya karena

128

perbedaan kasta dan derajat. Kasta dan derajat memang seringkali menjadi

batu sandungan dalam menumbuhkembangkan cinta.

Anne memandang bahwa novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya

Jubra>n Khali>l Jubra>n sangat terasa pribadi, tapi tetap menggunakan bahasa

umum, sehingga ke-Aku-an Jubra>n menjadi milik bersama, milik siapa

saja yang sedang patah hati.

Novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n

adalah titik awal ke arah mana ia akan melangkah. Novel al-Ajnichah al-

Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n adalah karya yang murni sebagai

ekspresi dari pengalaman pahit kehidupan asmaranya.

Berdasarkan ulasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa fokus

tanggapan Anne adalah tentang latar belakang lahirnya novel al-Ajnichah

al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n. Anne menyimpulkan bahwa

novel tersebut adalah mengenai kehidupan pribadi Jubra>n Khali>l Jubra>n

dalam mengarungi bahtera asmaranya.

A.3 Halida Yasmin Kurniadewi

Halida menanggapi tentang novel al-Ajnichah al-Mutakassirah

karya Jubra>n Khali>l Jubra>n dalam blognya

http://halidakurnia.blogspot.com/ bahwa bencana kemiskinan, bencana

cinta tersita, bencana ketidakadilan dan kemunafikkan yang melahirkan

karya klasik Jubra>n yang pertama, kisah tragedi cinta al-Ajnichah al-

Mutakassirah. Karya ini mula-mula terbit dalam bahasa Arab di New York

129

pada tahun 1912 dengan judul al-Ajnichah al-Mutakassirah. Novel al-

Ajnichah al-Mutakassirah adalah novel otobiografis.

Tokoh Salma dalam novel ini adalah gambaran Nona Hala Daher,

gadis kawan studi Jubra>n di Lebanon yang ditakdirkan oleh Tuhan

memperoleh cinta pertamanya. Gadis itu tidak berhasil disuntingnya ke

jenjang perkawinan. Hal ini bukan karena ayah sang gadis menolak

lamarannya (sebagian umum dialami oleh pemuda miskin dari segala

zaman) tetapi karena pendeta kota, dengan senjata wibawa keagamannya,

ia merampas keinginan sang gadis dan ayahnya. Pendeta itu juga memaksa

perkawinan gadis itu dengan keponakannya. Keponakan pendeta tersebut

adalah seorang laki-laki yang tidak bertanggungjawab dan gemar berpesta

pora. Lebih terkutuk lagi ialah bahwa motif dari semua itu tidak lain

hanyalah keinginan sang pendeta untuk mewarisi kekayaan keluarga

Dahler.

Filsafat perkawinan yang ditawarkan Jubra>n dalam al-Ajnichah al-

Mutakassirah adalah kelanjutan dari filsafat dalam al-Arwah al-

Mutamarridah, hanya ia tidak berpolemik berpanjang-panjang selain

mencoba mendeskripsikan bencana cinta manusia yang menjadi topik

utama dalam seluruh novel ini. Definisinya tentang cinta tidaklah Platinik,

tidak pula Freudian, tetapi berada antara romantik dan spiritual tulis Dr.

Joseph p. Ghougassian dalam Kahlil Gibran: Wings of Thought.

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa ulasan yang

dipaparkan oleh Halida mencakup aspek yang lebih luas. Ia mengulas

130

cerita yang ada di dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah dengan

menarik dan mengaitkan pada kehidupan Jubra>n. Ia berpendapat bahwa

kisah cinta yang ada di dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah adalah

kisah cinta Jubra>n sendiri. Ia juga berpendapat bahwa ada kesinambungan

antara novel al-Ajnichah al-Mutakassirah dengan karya Jubra>n

sebelumnya yaitu, al-Arwah al-Mutamarridah.

B. TANGGAPAN PEMBACA PENERJEMAH

Tanggapan pembaca yang selanjutnya adalah pembaca penerjemah.

Adapun yang dimaksudkan penerjemah di sini adalah penerjemahan sebagai

produk yaitu berkaitan dengan publik, selanjutnya akan ditentukan hasil

terjemahannya sebagai terjemahan komunikatif atau tidak. Seorang

penerjemah dalam menerjemahkan sebuah karya sastra tentunya kegiatan

tersebut merupakan bentuk menanggapi, yang mana hasil terjemahannya dapat

disebut sebagai bentuk tanggapan dalam pandangan resepsi sastra. Seorang

penerjemah sebelum menerjemahkan tentu akan membaca terlebih dahulu teks

asli atau TSu (baca: Teks Sumber). Adapun hasil terjemahannya dikatakan

sebagai hasil tanggapan penerjemah dalam meresepsi sebuah karya sastra.

Pembahasan dalam sub-bab penelitian ini, penulis mengambil

tanggapan dalam bentuk terjemahan dari penerjemah novel al-Ajnichah al-

Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n bernama M. Halaby Hamdi. Hamdi

menerjemahkan karya Jubra>n ini merujuk pada TS. Adapun TS dari novel al-

Ajnichah al-Mutakassirah adalah berbahasa Arab. Terjemahan Hamdi

diterbitkan oleh penerbit Navila cetakan pertama pada tahun 2010.

131

Penelitian mengenai tanggapan pembaca penerjemah, peneliti akan

melihat dari beberapa aspek seperti judul novel, judul bab dalam novel yang

akan diambil beberapa judul yang dapat mewakili keseluruhan judul bab,

penokohan, serta latar waktu. Melihat fenomena yang ada di dalam hasil

terjemahan, maka akan digunakan pisau bedah penerjemahan yaitu teori

prinsip penerjemahan dan strategi penerjemahan sesuai dengan yang

dipaparkan oleh Suryawinata dalam bukunya yang berjudul Translation

(2003).

Prinsip penerjemahan mencakup dua hal yaitu prinsip terjemahan yang

setia kepada teks BSu dan prinsip terjemahan yang setia kepada pembaca teks

BSa (Suryawinata, 2003: 57). Adapun strategi penerjemahan mencakup

strategi struktural dan strategi semantis (Suryawinata, 2003: 67). Hal ini

dilakukan dengan tujuan untuk menentukan apakah penerjemah melakukan

perubahan-perubahan dari teks BSu (Bahasa Sumber) ke teks BSa (Bahasa

Sasaran) dalam menanggapi TSu. Di sisi lain akan didapatkan jawaban kenapa

seorang penerjemah melakukan perubahan-perubahan tersebut.

B.1 Judul Novel

Judul novel dalam sastra terjemahan tidak jarang menimbulkan

permasalahan dan perdebatan karena judul karya terjemahan tidak sesuai

dengan judul asli. Hal ini mempengaruhi ketertarikan pembaca terhadap

hasil terjemahan. Tidak jarang juga penerjemah justru menggunakan

judul asli ataupun menyertakan judul aslinya. Hal tersebut dilakukan

132

karena penerjemah kesulitan dalam mencari padanan kata dalam BSa

yang tidak lepas dari makna aslinya.

Judul asli novel al-Ajnichah al-Mutakassirah adalah Al-Ajnihat Al-

Mutakassirah Al-Majmu’at Al-Ka>milat li Muallafat Jibra>n Khali>l Jibra>n

diterjemahkan dengan judul Sayap-Sayap Patah. Pada dasarnya, penulis

mengambil judul pokok yaitu Al-Ajnichah Al-Mutakassirah. Adapun

strategi penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah yaitu strategi

struktural-pengurangan atau subtraction, di mana penerjemah

mengurangi elemen struktur di dalam BSa. Elemen yang dikurangi yaitu

Al-Majmu’at Al-Ka>milat li Muallafat, sehingga hanya menerjemahkan

klausa saja yaitu Al-Ajnichah Al-Mutakassirah.

Adapun dalam kamus al-Munawwir halaman 214 lafadz al-

ajnichah memiliki bentuk mufrad [ajnuchun] memiliki arti sayap

burung, sedangkan [ajnichah] adalah bentuk jamaknya. Lafadz

[mutakassirah] sendiri dalam kamus al-Maurid halaman 816 memiliki

arti yang dipecahkan. Lafadz [mutakassirah] memiliki arti berbeda jika

dilihat dalam kamus al-Munawwir halaman 1209, bahwa lafadz

[mutakassirah] merupakan ismul-fa>’il litakassara. Takassara dalam

kamus al-Maurid halaman 221 memiliki arti mematahkan,

menghancurkan, merobohkan, berkeping-keping, berantakan, menjadi

yang dihancurkan.

133

Al-Ajnichah Al-Mutakassirah secara harfiah berarti sayap-sayap

yang pecah. Al-Ajnichah Al-Mutakassirah merupakan bentuk pola

washfi. Washfi adalah bentuk klausa na„at-man„ut atau sifah-maushuf.

Pola washfi ini bukan merupakan pola sebuah kalimat, tetapi sebuah

“susunan dua kata” atau lebih yang kalau dipadankan dengan bahasa

Indonesia akan menjadi sebuah susunan dua kata atau lebih yang dapat

disisipi kata “yang”. Kata “yang” boleh dimunculkan atau tidak

dimunculkan sesuai dengan aturan dalam bahasa Indonesia.

Bergabungnya dua lafadz menjadi sebuah klausa Al-Ajnichah Al-

Mutakassirah, maka al-Mutakassirah menjadi sifat daripada al-Ajnichah.

Penerjemah dalam hal ini mencari padanan atau sinonim yang memiliki

makna setara dengan lafadz pecah yaitu dengan menggunakan lafadz

patah, merujuk pada fi‟l dari pada mutakassirah. Penerjemah dalam hal

ini menggunakan strategi struktural-pengurangan dan strategi semantis-

sinonim untuk dapat menerjemahkan judul novel ini dengan judul Sayap-

Sayap Patah agar lebih luwes.

Prinsip penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah dalam

menerjemahkan judul novel ini adalah prinsip terjemahan yang setia

kepada teks BSa, yaitu penerjemah berusaha menuliskan kembali makna

atau pesan teks BSu di dalam teks BSa dengan kata yang mudah

dimengerti dan struktur yang enak dinikmati. Tidak heran jika

penerjemah dengan berani mengurangi struktur judul aslinya untuk

134

mendapatkan terjemahan yang luwes, sehingga judul akan lebih menarik

minat pembaca.

B.2 Judul dan Jumlah Bab

Judul bab dan jumlah bab juga mempengaruhi tipografi penulisan

serta berpengaruh jika ada pengurangan maupun penambahan. Hal ini

banyak dilakukan oleh penerjemah. Jika hal ini dilakukan, akan

dikhawatrikan terjadinya perubahan jalan cerita maupun peristiwa-

peristiwa dalam cerita jika penerjemah tidak jeli.

Novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n

terdiri dari sebelas Bab, diterjemahkan persis sejumlah sebelas bab oleh

penerjemah. Berikut analisis beberapa bab dari sebelas bab yang

memiliki fenomena penerjemahan:

Bab I : [Tauti’ah] ( )

Salma Karamy, kenangan cinta pertama

Lafadz [tauthi’atun] dalam kamus al-Maurid tahun 2006 halaman

237, setara artinya dengan lafadz [muqaddimah] yang artinya

pengenalan atau prakata (Ba>lbaki, 2006: 237).

Penulis tidak menggunakan judul seperti TSu karena judul kurang

menarik dan tidak dapat mewakili isi cerita pada bab ini. Prinsip

penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah dalam menerjemahkan

judul bab I ini adalah prinsip terjemahan yang setia kepada teks BSa,

yaitu penerjemah berusaha menuliskan kembali makna atau pesan teks

135

BSu di dalam teks Bsa dengan kata yang mudah dimengerti dan struktur

yang enak serta berterima.

Adapun strategi penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah

yaitu strategi semantis. Strategi semantis yaitu strategi penerjemahann

yang dilakukan dengan pertimbangan makna (Suryawinta, 2003: 70).

Penerjemah dalam menerjemahkan bab ini menggunakan startegi

semantis modulasi. Modulasi adalah strategi penerjemahan frase, klausa,

atau kalimat dengan cara memandang pesan dalam kalimat BSu dari

sudut yang berbeda atau cara berpikir berbeda (Newmark dalam

Suryawinata, 2003: 75).

Penerjemah menerjemahkan judul bab ini dengan judul „Salma

Karamay, Kenangan Cinta Pertama‟ karena pada bab pertama ini berisi

perkenalan tentang kisah cinta tokoh aku dengan Salma yang berakhir

tragis. Bab ini merupakan bagian yang menunjukkan masa sekarang,

Masa di mana Salma Karamah telah meninggal. Hal ini dapat dilihat

dalam kutipan-kutipan berikut:

٩٩٩١:٧

Kuntu fi>’ts-tsa>minati ‘asyarata ‘indama> fatahal-chubbu ‘ainiy bi asyi‘atihi’s-sichriyyah, wa lamisa nafsi> li awwali marratin bi asha>bi‘ihi’n-nariyah. Wa kuntu Salma> Kara>mahu a’l-mar’atu li awali>’l-lati> aiqazhat ru>chi> bi mucha>siniha>.

Usiaku delapan belas tahun ketika cinta membuka mataku, dengan

cahayanya yang mempesona. Untuk pertama kalinya cinta

mengguncang jiwaku dengan jari-jarinya yang membara. Salma

136

Karamah adalah wanita pertama yang membangkitkan jiwaku dengan

kecantikannya.

Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa alasan

penerjemah memberi judul pada bab ini Salma Karamy, kenangan cinta

pertama karena, pertama Salma adalah cinta pertama tokoh aku. Kutipan

yang menunjukkan yaitu „Salma Karamah adalah wanita pertama yang

membangkitkan jiwaku dengan kecantikannya‟. Alasan kedua, adalah

dengan meninggalnya Salma menjadikan cinta pertama tokoh aku menjadi

sebuah kenangan. Berikut kutipan yang dapat memperkuat alasan kedua

tersebut:

... ٩-٩٩٩١:٨

Qad marratal-a‘wa>mul-muzhalimatu tha>misatan bi aqda>miha> rusu>ma tilkal-ayya>ma, lam yabqa li> dzalikal-chilmul-jami>lu siwa> tadzakka>ra>tin mu>ja‘atin tarafrafa ka>l-ajnichah ghairil-manzhu>rah chaula ra’si> mutsi>ratan tanahada>til-asa> fi> a‘ma>qi shadri> mustaqthiratun dumu>‘al-ya’si wal-asafi min ajfa>ni> .. wa Salma> - Salma> a’l-jami>latul-‘adzibah qad dzahabat ila> ma> wara>’a’sy-syafaqil-azraqi.

Beberapa tahun telah berlalu, tiada lagi yang tersisa dari mimpi-mimpi

yang indah itu, kecuali kenangan menyakitkan yang berayun-ayun di

sekililingku laksana sayap. Kenangan itu menggoreskan kesedihan,

membuat air mataku tertumpah. Salma yang cantik jelita kini sudah

tiada, kenangan akan dirinyapun ikut sirna.

Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa kutipan yang

menunjukkan Salma telah meninggal yaitu „Salma yang cantik jelita kini

sudah tiada‟.

137

Bab II : [Al-kaa>bah al-Kharasa>’] ( )

Duka hati dalam kebisuan

Lafadz [al-Kaa>bah] dalam kamus al-Maurid tahun 2006 halaman

740 memiliki arti duka cita; kedukaan; depresi; kemuraman;

kemurungan jiwa. Adapun lafadz [kharasa>’un] adalah bentuk jamak,

sedangkan bentuk tunggalnya adalah [kharasun] artinya setara

dengan lafadz [bakamun] yaitu kebisuan; tidak dapat bicara

(Ba>lbaki, 2006: 327).

Penerjemah menerjemahkan judul bab kedua dengan judul „Duka

Hati dalam Kebisuan‟, penerjemah menggunakan prinsip penerjemahan

setia kepada BSa. Penerjemah ingin menjadikan terjemahannya terasa

luwes dan berterima, sehingga penerjemah menggunakan strategi

semantis-analisis komponensial atau componential analysis. Adapun

analisis komponen (Suryawinata, 2003: 73) adalah sebuah kata dari BSu

diterjemahkan ke dalam BSa dengan cara merinci komponen-komponen

makna kata BSu tersebut.

Secara harfiah memang tidak ada yang menunjukkan bahwa lafadz

[al-Kaa>bat] memiliki arti kedukaan hati. Namun secara leksikal lafadz

kedukaan memiliki makna perasaan sedih yang dirasakan oleh hati,

dengan demikian dapat diartikan bahwa kedukaan memiliki komponen

perasaan sedih, rasa sedih yang dirasakan oleh hati, rasa duka.

Sebagaimana dalam Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia (KTBI) lafadz

138

duka cita memiliki makna yang sama dengan lafadz belasungkawa;

kesedihan;kesusahan~hati (Endarmoko, 2006: 163).

Berdasarkan analisis di atas apat disimpulkan bahwa terjemahan

judul „Duka Hati dalam Kebisuan‟ akan lebih komunikatif dan berterima

daripada diterjemahkan dengan judul „Kedukaan dalam Kebisuan‟.

Bab V : [Asy-syu‘latul-baidha>’u] ( )

Lentera putih

Lafadz [syu‘latun] dalam kamus al-Maurid halaman 514 memiliki

arti obor, lidah api, nyala api, api. Adapun lafadz [baidha>’un] dalam

kamus al-Munawwir berarti yang putih (Munawwir, 2002: 124).

Penerjemah menerjemahkan judul pada bab ini dengan judul

„Lentera Putih‟, penerjemah menyamakan arti obor dengan lafadz

lentera. Adapun lafadz lentera dalam KBBI (2007: 662), memiliki makna

lampu kecil bertutup kaca. Lafadz „lentera‟ dalam KTBI (2006: 376),

memiliki makna yang sama dengan corong; cublik (jw); dian; dila (ark);

kandil; misbah (Ar); pelita; lampion; tanglung (Cn); lampu (dng

minyak); ting.

Penerjemah menghadirkan lafadz lentera karena lafadz ini merupakan

sinonim dari arti harfiah dari lafadz [syu‘latun]. Penerjemah dalam hal ini

menggunakan strategi semantis-sinonim, yaitu penerjemah mempertimbangkan

makna dalam terjemahannya dengan menggunakan sinonim yang memiliki

makna sama.

139

Bab VII : [Buchairatu’n-na>ri] ( )

Sungai-sungai api.

Lafadz [buchairatun] dalam kamus al-Munawwir memiliki arti

danau (Munawwir, 2002: 60). Adapun lafadz [na>run] memiliki arti api

(Ba>lbaki, 2006: 972).

Penerjemah menerjemahkan judul bab ketujuh dengan judul

“Sungai-Sungai Api‟. Penerjemah melakukan penerjemahan dengan

menggunakan strategi semantis dengan menghadirkan padanan budaya

atau cultural equivalent dalam menerjemahkan judul bab ketujuh. Adapun

lafadz yang diterjemahkan secara semantis cultural equivalent yaitu lafadz

[buchairatun] yang secara harfiah berarti danau, telaga, atau kolam.

Hal tersebut artinya bahwa lafadz [buchairatun] memiliki makna

suatu tempat di mana terletak air yang memiliki sifat menggenang atau

tidak mengalir, sedangkan penerjemah mengganti atau menerjemahkan

dengan kata sungai, yang mana sungai memiliki sifat mengalir. Secara

budaya di Timur Tengah lebih mengenal danau daripada sungai. Di Timur

Tengah akan lebih mudah menemukan danau daripada sungai, sedangkan

di Indonesia sebaliknya. Di Timur Tengah mengibaratkan orang yang terus

menerus mendapatkan penderitaan adalah bagaikan terjebak di sebuah

danau, kemanapun ia pergi akan basah, kemanapun ia pergi hanya

menemukan penderitaan. Adapun di Indonesia mengibaratkan seperti

orang yang berada di sungai, ia akan terus menerus dialiri (diterjang) air

140

meskipun ia bertahan. Meskipun ia bertahan akan terus didatangi

penderitaan.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa

penerjemah menggunakan strategi tersebut karena dirasa bahwa kata

sungai lebih berterima dan dapat mewakili isi cerita yang ada di dalam bab

ketujuh. Bergabungnya lafadz [buchairatun] dengan lafadz [na>run] yang

diartikan sungai-sungai api memiliki makna bahwa pada bab ini

menceritakan tentang penderitaan tokoh-tokoh protagonis yaitu Faris

Affandy, Salma Karamah dan tokoh aku terjadi secara terus menerus di

dalam hidupnya. Penderitaan yang dialami para tokoh ini tidak ada

habisnya kecuali kematian datang. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan

berikut:

٩٩٩١:٤٤

‘Indama> thalabal-Mathra>nu Bu>lisa yada Salma> min wa>lidiha> lam yajibhu dzalika’sy-syaikhu bi ghairi’s-suku>til-‘ami>qi wa>’d-dumu>‘i’s-sakhi>nah.

Ketika pendeta meminta persetujuan Faris Affandy Karamah untuk

menyandingkan Salma dengan kemenakannya, jawaban yang dia

terima hanyalah diam yang bisu dan linangan air mata.

Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa kutipan di atas

mengungkapkan kesedihan yang dirasakan oleh Faris Affandy ketika

Pendeta Ghalib meminta Salma Karamah untuk disandingkan dengan

kemenekan pendeta, Manshur Bek Ghalib.

141

٩٩٩١:٤٤

Tilkal-ayya>mu madhat ka>l-asyba>chi wa>dhmachalat ka>l-dhuba>bi wa lam yabqa li> minha> siwa>’dz-dzikra>l-ali>mah, fal-‘ainu’l-lati> kuntu ara> biha> jama>lu’r-rabi>‘i wa yaqzhatal-chuqu>li lam ta‘ud tachdiqu ila> ghairi ghadhabal-‘awa>shifi waya’si’sy-syita>’i. Wal-udzunu’l-lati> kuntu asma‘u biha> a‘niyatal-amwa>ji lam ta‘ud tashgha> li gairi annahul-a‘ma>qu wa ‘awi>lil-ha>wiyah. Wa’n-nafsu’l-lati> ka>nat taqifu muhi>batan ama>ma nasya>thi’b-basyari wa majdil-‘umra>ni lam ta‘ud tasy‘uru bi ghairi syaqa>’il-faqri wa ta‘a>sati’s-sa>qithi>na. Fama> achla> aya>mul-chubbi wa ma> a‘dzaba achla>miha> wa ma> amarra laya>li>l-chuzni wa ma> aktsara mukha>wafiha>! Hari-hari berlalu seperti bayang-bayang dan sirna seperti awan. Tak

ada yang tersisa bagiku kecuali kenangan yang menyedihkan. Kedua

mata yang dulunya kupergunakan untuk melihat indahnya musim semi

dan kesyahduan alam, kini tak mampu lagi melihat apapun kecuali

badai yang mencekam, dan musim dingin yang muram. Telingga yang

dulunya biasa mendengar desau angin, kini hanya mampu mendengar

ombak lautan menghantam karang. Jiwa yang dulu gembira

memperhatikan keramaian manusia dan pesona alam semesta, kini

hanya dapat merasakan pedihnya kemiskinan dan kegagalan. Tiada

yang lebih indah ketimbang hari-hari yang dihiasi oleh cinta. Dan

tiada yang lebih menyakitkan ketimbang malam yang mencekam.

Kutipan di atas merupakan penderitaan yang disebabkan karena

kesedihan yang dialami oleh tokoh aku. Sejak Pendeta Ghalib meminta

Salma dari ayahnya, kesedihan menyelimuti kehidupan tokoh aku.

٩٩٩١:٠٥

Ana> mitslu ‘umya>’in tatalammasu bi yadiha>l-judra>na mukha>fata’s-suqu>thi. Ana> ja>riyatun anzalaniy ma>lu wa>lidiy ila> sa >chati’n-nakha>si >na fa>bta>‘ani> rajulun min baina’r-rija>li.

142

Aku seperti orang buta yang berjalan dengan meraba-raba agar

tidak terjatuh. Kekayaan menempatakanku sebagai budak yang

dijual di pasar dan orang membeliku dengan uangnya.

Kutipan di atas menunjukkan kesedihan yang dialami Salma.

Kekayaan ayahnya justru menjadikan dirinya menjadi budak yang

diperjual-belikan di pasar. Kekayaan ayahnya membawa penderitaan

baginya. Setelah mendengar permintaan Pendeta Ghalib, Salma dalam

menjalani hidupnya seperti orang buta.

Bab XI : [Munqidzu] ( )

Sang juru selamat

Lafadz [munqidzun] dalam kamus al-Maurid memiliki arti

penyelamat, penghemat, pengantar (Ba>lbaki, 2006: 953).

Penerjemah menerjemahkan judul bab kesebelas atau bab terakhir

dengan judul „Sang Juru Selamat‟ yang maknanya setara dengan kata

penyelamat. Penerjemah menggunakan strategi semantis-perluasan

dengan menambahkan klausa „Sang Juru‟. Hal ini dilakukan penerjemah

karena penerjemah ingin menegaskan makna yang terkandung dalam bab

ini, bahwasanya bayi yang dilahirkan Salma adalah satu-satunya orang

yang dapat menyelamatkan Salma dari kungkungan atau dari sangkar

yang mengurung dan menyiksanya selama ia menikah dengan Manshur

Bek. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:

٩٩٩١:٩٥٩

143

Ka>na thifluha> qad ja>’a liya’khudzaha> wa yanqadzaha> min mazha>limi zaujiha> wa qasa>watihi.

Sepertinya anak itu datang untuk mengambil ibunya dan

menyelamatkannya dari kezaliman dan kekejaman suaminya (Gibran,

2010: 114).

B.3 Jumlah Tokoh

Penerjemah menghadirkan lengkap semua tokoh yang ada di TSu

ke dalam terjemahannya. Penerjemah tidak menghilangkan satupun

tokoh yang ada di dalam novel dan menghadirkan sesuai dengan karakter

dan kedudukannya masing-masing seperti yang ada di dalam TSu, namun

terdapat fenomena penerjemahan yaitu penerjemah menerjemahkan nama

marga Karamah menjadi Karamy.

Hal ini merupakan strategi penerjemahan yang dilakukan

penerjemah, strategi ini disebut dengan strategi semantis-pungutan atau

borrowing. Pungutan adalah strategi penerjemahan yang membawa kata

BSu dalam teks BSa (Suryawinata, 2003: 70). Penerjemah sekedar

memungut kata BSu kemudian menaturalisasi kata tersebut secara

ucapan atau bunyinya, kemudian ucapan ataupun bunyinya disesuaikan

dengan aturan BSa. Kasus pungutan yang ada di dalam novel tersebut

adalah pungutan-naturalisasi tulisan yaitu kata Karamah menjadi

Karamy.

B.4 Latar Waktu dan Tempat

Penerjemah menghadirkan keseluruhan latar waktu dan tempat

yang ada di dalam TS secara lengkap pada terjemahannya. Latar waktu

dan tempat juga diterjemahkan secara detail dan tidak lepas dari

144

kesesuaian dengan TSu. Fenomena terjemahan yang ada di dalam latar

waktu yaitu ketika penerjemah menerjemahkan latar waktu bulan

Haziran. Penerjemah menggunakan strategi semantis-penambahan, di

mana penerjemah ingin memperjelas makna lafadz „Haziran‟. Di sini

penerjemah memasukkan informasi tambahan di dalam teks terjemahan

karena pembaca memang memerlukannya. Penerjemah meletakkan

informasi tersebut di badan teks yaitu menggunakan tanda kurung buka-

tutup. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:

٩٩٩١:٨٤

Fafi> yaumin min awa>khiri chazi>ra>nu wa qad tsaqulat wath’atu’ch-chari fi>’s-sawa>chili wa thalaba’n-na>su a‘a>liyal-jiba>li, sirtu ka-‘a>dati> nahwa dzalikal-ma‘badi wa>‘ida>n nafsi> bi liqa>’i Salma> Kara>mahu.

Pada suatu hari di akhir bula Haziran (Juni), saat orang-orang

meninggalkan kota menuju pegunungan untuk menghindari sengatan

musim panas, seperti biasa aku pergi ke kuil untuk bertemu Salma

(Gibran, 2010: 95).

Penerjemah menggunakan strategi lain yaitu strategi semantis-

padanan budaya atau equivalent cultural. Di mana orang Indonesia

tidak mengenal bulan Haziran, namun orang Indonesia lebih mengenal

dengan nama bulan Juni. Sebagaimana yang tercantum di dalam

kamus al-Maurid halaman 292 lafadz [Chazi>ra>n] memiliki arti

yang sama dengan lafadz [yu>nyu>] yang artinya bulan Juni.

145

C. TANGGAPAN PENELITI

Pembaca peneliti akan menanggapi sebagaimana permasalahan yang

telah dirumuskan yaitu mengenai tradisi perjodohan dan pernikahan yang ada

di dalam novel. Tradisi perjodohan dan pernikahan yang terdapat di dalam

novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n adalah

pernikahan yang dilandasi oleh perjodohan. Pernikahan yang tidak ada rasa

kasih dan sayang. Pernikahan yang tidak dilandasi oleh cinta yang hakiki.

Pernikahan yang hanya mementingkan salah satu pihak. Sebuah pernikahan

yang mengejar harta dan kewibawaan. Sebuah pernikahan yang tujuannya

adalah menjadikan kaya, terpandang, dan berwibawa secara instan. Begitulah

tradisi dan „tatanan‟ agama yang tumbuh dan berkembang di negeri yang

masyarakatnya taat beragama. Mereka tunduk dan patuh pada pemuka agama,

dalam hal ini adalah pendeta. Mereka menganggap dan memandang perbuatan

salah seorang pendeta adalah sebagai kebenaran. Mereka menganggap dan

tetap memandang kejahatan pendeta adalah kebaikan.

Hal ini selaras dengan apa yang dipaparkan oleh narasumber dalam

penelitian ini, bahwa kehidupan pendeta di Lebanon hingga sekarang ini tetap

seperti itu. Adapun seorang pendeta dalam agama Kristen mempunyai

kekuasan penuh dalam pengajaran terhadap jemaatnya. Hal ini diturunkan

secara terus menerus, bahwa pemuka agama di Timur Tengah merujuk pada

faham zudaisme atau faham orang Yahudi. Namun, hal ini berbeda ketika

ajaran Kristen masuk ke Indonesia. Ajaran Kristen di Indonesia merujuk pada

al-Kitab, sedangkan ajaran Kristen di Timur Tengah merujuk pada budaya.

146

Kaitannya dengan permasalahan yang terjadi dalam novel, kenapa seorang

pendeta dapat berbuat seperti itu karena seorang pemuka agama sebagai wakil

Allah memiliki sifat kemanusiaan yang bisa jadi melakukan perbuatan salah.

Peneliti tidak setuju mengenai perjodohan yang ada di dalam novel al-

Ajnichah al-Mutakassirah karena perjodohan yang baik bukanlah perjodohan

yang didasarkan pada keterpaksaan dan tujuan yang tidak benar. Perjodohan

yang baik ialah kedua belah pihak yang menjodohkan harus bijaksana untuk

memberikan keputusan perjodohan ditangan kedua pihak yang dijodohkan.

Kehidupan pernikahan dijalani oleh kedua pihak yang dicalonkan bukan yang

mencalonkan, oleh karenanya lebih baik kedua pihak yang dicalonkan yang

mengambil keputusan atas sebuah perjodohan.

Perjodohan di dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah memiliki

unsur materialistis. Materialistis adalah bersifat kebendaan, sedangkan

materialis adalah orang yang mementingkan kebendaan seperti harta, uang

dsb. Faktor materialistis memiliki pengaruh yang kuat dalam keputusan

pernikahan. Pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam

hubungan, maka materialis guna memandang dan menjamin masa depan

dalam kehidupan pernikahan menjadi hal wajar. Materialistis dalam novel al-

Ajnichah al-Mutakassirah sudah melampau batas kewajaran, apalagi yang

melakukan atau memandang materialistis adalah seorang laki-laki. Laki-laki

pada dasaranya adalah orang yang bertanggungjawab atas terjaminnya masa

depan istri dan anak-anaknya, bukan istri atau kekayaan dari sang istri yang

menjamin masa depan suami dan anak-anaknya. Peneliti menyimpulkan

147

bahwa materialistis dalam pernikahan adalah hal yang syah jika dilakukan

oleh perempuan secara sewajarnya. Materealistis akan menjadi hal yang tidak

pantas dilakukan dalam pernikahan jika dilakukan oleh seorang laki-laki.

Tanggapan peneliti dalam penelitian ini selanjutnya membahas

permasalahan yang ada di dalam novel untuk memperoleh solusi dari rumusan

masalah ketiga. Penulis akan melihat fenomena pernikahan yang ada di dalam

novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n dari dua sudut

pandang. Sudut pandang yang pertama adalah dari sudut pandang agama

Kristen, karena latar cerita yang digunakan dalam novel ini adalah latar agama

Kristen. Adapun yang kedua akan melihat permasalahan yang ada dari sudut

pandang agama Islam. Penulis memasukkan sudut pandang agama Islam

dengan tujuan membuktikan bahwa pernikahan baik di agama Kristen maupun

Islam memiliki tujuan uatama yang sama yaitu untuk membentuk keluarga

bahagia. Keluarga bahagia dalam Islam dikenal dengan konsep keluarga

Sakinah.

Peneliti akan melihat pernikahan dari kedua sudut pandang melalui

beberapa aspek berikut ini:

C.1 Prinsip, Dasar dan Tujuan Pernikahan

Awal dari kehidupan berkeluarga adalah dengan melaksanakan

perkawinan sesuai dengan ketentuan agama dan peraturan perundangan

yang berlaku.

Pernikahan adalah suatu ikatan janji setia antara suami dan istri

yang di dalamnya terdapat suatu tanggung jawab dari kedua belah pihak.

148

Janji setia yang terucap merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk

diucapkan. Perlu suatu keberanian besar bagi seseorang ketika

memutuskan untuk menikah. Pernikahan yang dilandasai rasa saling cinta,

kasih sayang, menghormati, pengorbanan merupakan suatu anugerah bagi

setiap insan di dunia ini. Oleh karena itu, penting bagi setiap manusia

memahami hal-hal yang terikat dengan pernikahan (Fatchiah, 2009: 13).

Berikut penulis akan membahas perihal pernikahan dari dua sudut

pandang agama yang berbeda:

i. Prinsip Pernikahan

Prinsip adalah kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir

dan bertindak. Adapun prinsip pernikahan adalah dasar berpikir

seseorang yang menentukan dirinya untuk menikah atau tidak.

a. Prinsip Pernikahan Agama Kristen

Prinsip pernikahan di dalam agama Kristen adalah merujuk

pada al-Kitab, yaitu memandang pernikahan dari dua hal. Pertama,

pernikahan itu memahami al-Kitab. Hal yang dimaksud dengan

memahami al-Kitab di sini bukan hanya pengetahuan otak, melainkan

suatu iman yang hidup, keyakinan yang sungguh bahwa al-Kitab

adalah firman Allah untuk setiap manusia. Ia sendiri juga harus hidup

sesuai firman Allah dan yakin bahwa tanpa al-Kitab sebagai pedoman

hidup, hidupnya tidak akan berbahagia, berkelimpahan (meskipun

tentunya bukan dengan materi), dan penuh (fulfilled) (Jonathan, 2013:

2).

149

Prinsip yang kedua adalah memelihara keluarga. Seperti yang

dikatakan Jonathan dalam bukunya Two Become One (2013: 3),

bahwa pemeliharaan keluarga juga merupakan suatu prinsip bagi

seorang Kristen: ia bertanggungjawab untuk kehidupan keluarga dan

sanak saudaranya.

Berdasarkan dua penjelasan di atas maka dapat dilihat dalam

al-Kitab surat Kejadian pasal 2, di Taman Eden Allah melihat sesuatu

yang tidak baik dan mengatakan, “Tidak baik, kalau manusia itu

seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang

sepadan dengan dia” (Kej. [2]: 18). Ketidakbaikan itu karena

manusia masih seorang diri saja (Jonathan, 2013: 75).

Tentu ayat tersebut tidak dapat digunakan untuk membuktikan

bahwa keadaan menikah lebih mulia daripada keadaan tidak menikah.

Sebaliknya, pernyataan Rasul Paulus dalam surat (1 Korintus [7]: 7),

(Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku:

tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang

seorang karunia ini, yang lain karunia itu) juga tidak dapat

digunakan untuk membuktikan bahwa keadaan tidak menikah lebih

mulia daripada menikah (Jonathan, 2013: 75-76).

Maksud dari dua kutipan di atas bahwa Allah telah

menciptakan seorang penolong yang sepadan dengan manusia, agar

manusia itu hidup tidak sendiri. Artinya bahwa Allah telah

menciptakan manusia secara berpasang-pasangan. Akan tetapi Paulus

150

menyatakan hal yang berbeda, bahwa setiap orang memiliki karunia

dari Allah yang berbeda-beda, maksudnya adalah ada manusia yang

memang dikaruniai teman hidup ada yang tidak dikaruniai. Hal ini

terkait dengan keadaan bahwa menikah ataupun tidak menikah, tidak

menentukan kemuliaan yang lebih di antara keduanya.

Jonathan mengemukakan dalam bukunya Two Become One

(2013: 76), bahwa untuk menghadapi setiap situasi hidup, seseorang

memerlukan anugerah Allah. Supaya dapat hidup melajang dengan

baik seseorang memerlukan anugerah Allah; demikian pula, untuk

dapat hidup dalam pernikahan dengan baik. Ada orang yang memang

tidak mampu melajang seumur hidup, sehingga ia menikah;

sebaliknya, ada orang yang memang sebaiknya tidak menikah, karena

ia tidak mampu hidup dalam pernikahan dengan baik (misalnya orang

yang cenderung menyebabkan penderitaan pada pasangannya dan

merusak anak-anaknya).

Berdasarkan penjelasan tersebut bahwa hal-hal tersebut di atas

yang menjadi prinsip seorang Kristen memilih untuk menikah

ataupun tidak. Sebagaimana orang yang memilih menikah meyakini

suurat (Kejadian [2]: 18) bahwa Allah sendiri yang mebawa Hawa

kepada Adam. Jadi, dengan iman seorang Kristen dapat berkata

bahwa Allah yang akan mempertemukan seorang penolong yang

tepat.

151

Kaitannya dengan jodoh sebagaimana Kristen mengenal

konsep, Allah adalah agape (surat Yohanes [4]: 8). Jonathan

menjelaskan konsep agape dalam bukunya (2013: 18), Agape berasal

dari Allah. Kata ini digunakan untuk menggambarkan kasih Allah

kepada manusia.

Allah dalam hal ini menghendaki, merencanakan, dan

melakukan hal baik bagi umatnya, kekasih-Nya, termasuk dalam hal

teman hidup. Allah akan memberikan pasangan yang baik dan tepat

bagi umatnya. Hanya dalam hal ini seseorang perlu menyadari bahwa

yang baik baginya, “bukan” berarti cantik, ganteng, kaya, sudah

mantap kariernya, memiliki kerohanian yang tinggi, sangat dewasa,

paling sabar atau paling memahami, dan sebagainya (Jonathan, 2013:

77).

Firman Allah dalam surat (Kejadian [2]: 18) Allah

menjanjikan seorang penolong yang sepadan. Hawa diciptakan Allah

untuk menjadi penolong Adam, bukan untuk menyainginya

menekannya, mengalahkannya, atau menindasnya. Namun, sepadan

tidak berarti sama. Jelas seorang pria tidak sama dengan seorang

wanita dalam banyak hal (Jonathan, 2013: 78).

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan

bahwa dalam pernikahan Kristen, perihal jodoh diserahkan kepada

Allah. Seseorang yang memilih jalannya untuk menikah, hanya perlu

menerima seorang penolong baginya yang diberikan oleh Allah,

152

karena Allah telah menjanjikan seorang penolong yang sepadan bagi

umatnya. Kesepadanan dalam hal ini adalah kesetaraan antara laki-

laki dan perempuan, tidak ada kelemahan di antara laki-laki dan

perempuan. Prinsip pernikahan dalam agama Kristen kuat dalam al-

Kitab, karena di dalamnya diatur segala hal terkait pernikahan. Bagi

orang Kristen firman Allah adalah makanan, dan do‟a adalah nafas

hidup.

b. Prinsip Pernikahan Agama Islam

Prinsip pernikahan dalam agama Islam dapat ditinjau kembali

pada definisi pernikahan menurut Daryono dalam artikelnya tentang

pernikahan. Pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan,

membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang

laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. Mahram

adalah orang yaitu laki-laki dan perempuan, yang masih termasuk

sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan

perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya (KBBI,

2007: 697), mahram memiliki arti yang sama dengan kata muhrim.

Adapun seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya,

akan menjadi muhrimnya dengan cara menikah.

Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama

dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu

bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur

kehidupan rumah tangga, keturunan, tetapi juga dapat dipandang

153

sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan

kaum lainnya, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk

menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya

(Daryono, 2015: 1).

Menurut Abdul Ghani (dalam Riyadi, 2013: 57) menjelaskan

bahwa perkawinan adalah pertemuan yang teratur antara pria dan

wanita di bawah satu atap untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan

tertentu baik yang bersifat biologis, khusus, psikologis, sosial,

ekonomi, maupun budaya bagi masing-masing, baik keduanya secara

bersama-sama, dan bagi masyarakat di mana mereka hidup serta bagi

kemanusiaan secara keseluruhan.

Sementara menurut Riyadi sendiri dalam bukunya Bimbingan

Konseling Pernikahan (2013: 57) menyimpulkan bahwa perkawinan

adalah akad yang disepakati oleh kedua belah pihak yaitu antara

seorang pria dan seorang wanita untuk sama-sama mengikat diri,

bersama dan saling kasih mengasihi demi kebaikan keduanya dan

anak-anak mereka sesuai dengan batasan-batasan yang ditentukan

oleh hukum.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa

prinsip menikah dalam Islam adalah menghalalkan pergaulan dan

membatasi hak serta kewajiban dalam hal tolong menolong antara

laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram dalam satu

ikatan akad yang sama-sama disepakati.

154

Adapun prinsip pernikahan yang ada di dalam novel al-

Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n adalah Pendeta

Ghalib menikahkan Manshur Bek karena dengan menikah masa

depan Manshur Bek akan jauh lebih baik. Manshur Bek menyetujui

menikah dengan Salma Karamah karena Salma adalah anak tunggal

dan ayahnya adalah seorang kaya raya di Beirut. Adapun ayah Salma,

Faris Affandy sendiri menyetujui permintaan Pendeta Ghalib dengan

terpaksa, ia bahkan merasa keadaan setelah putrinya menikah dengan

Manshur Bek nanti tidak akan menjadi lebih baik. Salma sendiri

menyetujui pernikahan tersebut karena sebagai bentuk pengabdian

dirinya kepada sang ayah.

Secara sosial, prinsip menikah ini sudah ada di dalam diri

masing-masing orang. Mayoritas seseorang memegang faham

pernikahan, jadi mereka memilih menikah. Adapun alasan yang sangat

kuat kenapa seseorang memilih untuk menikah adalah untuk

menghindari perzinaan. Dalam sebuah masyarakat tidak sedikit orang

yang tidak memegang faham pernikahan. Orang-orang yang tidak

memegang faham pernikahan akan dengan mudah terjerumus ke

dalam tindak perzinaan. Tindak perzinaan dalam lingkungan sosial

beragam bentuknya. Ada orang yang memilih untuk menikmati sex

tanpa ada ikatan pernikahan. Ada dari golongan laki-laki yang

memilih untuk menjadi gay. Hal tersebut dikarenakan dirinya merasa

bahwa baik perempuan ataupun pernikahan sama-sama tidak membuat

155

dirinya lebih baik, sehingga ia memilih untuk berpasangan dengan

sesama jenisnya. Alasannya cukup sederhana, bahwa hal tersebut yang

membuat dirinya merasa keadaannya lebih baik dibandingkan jika

seseorang tersebut harus menikah dengan seorang perempuan ataupun

jika harus melajang.

ii. Dasar Pernikahan

Dasar adalah alas, fundamental, pokok atau pangkal suatu

pendapat atau ajaran dan aturan. Maka dasar pernikahan adalah ajaran

yang menjadi pangkal seseorang untuk melaksanakan sebuah

pernikahan.

a. Dasar Pernikahan Kristen

Berdasarkan hasil interview dengan narasumber yang

merupakan seorang tokoh masyarakat agama Kristen salah satu gereja

di Solo mengatakan bahwa dasar pernikahan agama Kristen ada dua.

Kedua dasar tersebut tercantum di dalam al-Kitab, pertama yaitu surat

(Kejadian [2]: 18), “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja.

Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”.

Hal ini artinya bahwa manusia tidak baik jika sendirian, maka Allah

akan menjadikan, menciptakan, mendatangkan seorang penolong yang

sepadan sebagai teman hidupnya.

Pendapat tersebut diperkuat dengan buku yang ditulis oleh

Abineno berjudul „Buku Katekisasi Sidi Nikah, Peneguhan dan

Pemberkatannya‟ (2009: 10-11) bahwa tidak baik kalau manusia

156

seorang diri saja (surat Kejadian [2]:18), karena manusia – seperti

yang nyata dari surat (Kejadian [1]:27) – tidak diciptakan seorang diri

saja sebagai makhluk yang tunggal, tetapi sebagai “laki-laki dan

perempuan”. Penciptaan Allah membutuhkan laki-laki dan

perempuan. Bukan laki-laki saja, dan bukan perempuan saja. Tetapi

kedua-duanya: laki-laki dan perempuan.

Allah dalam firmannya mengatakan bahwa Allah akan

menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia. Adapun

yang dimaksudkan di sini dengan „penolong yang sepadan dengan dia‟

(surat Kejadian [2]: 18) ialah bukan pembantu – misalnya seperti

pembantu rumah tangganya – tetapi kawan hidup, partner, yang tidak

sama benar dengan laki-laki, tetapi yang diciptakan begitu rupa,

sehingga keduanya merupakan manusia yang lengkap, manusia yang

komplit.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari penjelasan di atas bahwa

dasar pernikahan yang pertama berdasar surat (Kejadian [2]: 18),

perempuan atau istri adalah kawan hidup, partner dari laki-laki atau

suami. Adapun laki-laki atau suami adalah kawan hidup, partner dari

perempuan atau istri. Maksud Allah dengan hubungan ini ialah supaya

mereka saling melayani, saling membantu dan saling melengkapi.

Dasar yang kedua, yaitu berdasarkan surat (Kejadian [2]: 24).

Allah berfirman „Karena itu laki-laki harus meninggalkan ayahnya

dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi

157

satu daging‟ (surat Kejadian [2]: 24). Di mana pasal ini merupakan

kelanjutan dari pasal sebelumnya yaitu dalam surat (Kejadian [2]: 23)

Allah berfirman „Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang

dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan,

sebab ia diambil dari laki-laki”. Maksudnya adalah ketika seorang

laki-laki telah menemukan penolongnya yaitu seorang perempuan

yang diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, maka seorang laki-laki

tersebut akan meninggalkan ayah dan ibunya untuk bersatu dengan

istrinya dalam satu ikatan pernikahan.

b. Dasar Pernikahan Islam

Dasar perkawinan menurut Islam tercantum di dalam al-

Qur‟an:

Wa ankichu>l-ayama> minkum wa’sh-shalichi>na min ‘iba>dikum wa ima>’ikum, inna yaku>nu> faqara>’a yughnihimu’llahu min fadhilihi wa’llahu wasi’un ‘alaikumun (An-Nu>r: 32).

32. dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara

kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-

hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang

perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan

mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-

Nya) lagi Maha mengetahui (Qs. An-Nu>r, [24]: 32).

Ditinjau dari sudut pandang Islam, Rasullullah bersabda:

158

Tunkachul-mar’atu li arba‘i li ma>liha> wa li chasabiha> wa jama>liha> wa li di>niha> fa>zhafaru bidza>ti’l-ladzi>na tarabtu yada>ka. (ruwa>hul-bukha>ri wa muslim).

Dikawini wanita itu karena empat hal: pertama, karena hartanya.

Kedua, karena kebangsawanannya atau kemuliannya. Ketiga,

karena kecantikannya. Keempat, karena agamanya. Maka pilihlah

karena agamanya, akan beruntunglah kamu (HR. Bukha>ri> -

Muslim).

Penulis berpendapat bahwa semua perkawinan akan

berlandaskan pada empat hal seperti yang terdapat dalam sabda Nabi di

atas. Terlepas dari orang yang akan menikah tersebut beragama Islam

ataupun bukan, terlepas dari bahwa orang tersebut mengetahui sabda

Nabi di atas atau tidak. Di dalam kehidupan manusia sudah terbentuk

pola pikir bahwa menikah itu karena empat hal seperti yang

dikemukakan dalam sabda nabi di atas, hanya saja di setiap masyarakat

memiliki konsep, sebutan atau nama yang berbeda untuk menyebut

keempat hal tersebut. Adapun contoh orang Jawa, bahwa orang Jawa

ketika hendak menikah akan melihat dan menentukan calon dari bibit,

bebet, dan bobot-nya. Orang jawa memang telah memformulakan

konsep tersebut dalam bentuk yang dapat dipahami oleh seluruh

lapisan masyarakat manapun.

Permasalahan dalm novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya

Jubra>n Khali>l Jubra>n, Pendeta Ghalib menikahkan kemenakannya

Manshur Bek Ghalib dengan Salma Karamah berdasarkan dua poin

yang terdapat dalam sabda Rasul di atas. Manshur Bek bersedia

menikahi Salma karena harta yang dimiliki ayah Salma, Faris Affandy

159

Karamah. Pernikahan tersebut akan membuat masa depan Manshur

Bek terjamin dan menjadi orang kaya, terhormat, dan menjadi orang

penting di kalangan bangsawan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan

berikut:

٩٩٩١:٤٤

Wa qad ichta>raha>l-Mathra>nu zaujatan li ibni akhi>hi, la> li jama>li wajhiha> wa naba>lih ru>chiha> bal li annaha> ghaniyyatun mu>saratun takfulu bi amwa>liha>’th-tha>’ilah mustaqbalu Manshuru Bika wa tusa>‘iduhu bi amla>kiha>l-wa>si‘ah ‘ala> i>ja>di maqa>mi rafi>‘in bainal-kha>shati wal-asra>fi.

Sang pendeta memilih Salma bukan karena kecantikan dan

jiwanya yang bersih. Tetapi dengan menjadikan Salma sebagai istri

kemenakannya, maka masa depan Manshur Bek akan terjamin

dengan harta yang berlimpah. Harta itu pula yang akan mengangkat

sang kemenakan menjadi orang terhormat dan orang penting di

lingkungan kaum bangsawan.

Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa dengan

Manshur Bek menikahi Salma, maka secara instan Manshur Bek akan

menjadi orang kaya raya. Masa depan Manshur Bek akan terjamin dengan

harta Salma yang berlimpah. Begitu pula harta tersebut akan menjadikan

Manshur Bek menjadi orang terhormat dan orang penting di lingkungan

kaum bangsawan di Beirut.

Alasan kedua, Manshur Bek bersedia menikahi Salma karena

kebangsawanan Salma, dengan menikahi Salma Karamah maka derajat

Manshur Bek akan terangkat menjadi orang terpandang dan hidup di

lingkungan para hartawan di Beirut. Setelah Manshur Bek menikahi

160

Salma, mereka berpindah rumah di ujung Beirut. Mereka tinggal di

pemukiman orang-orang kaya raya di Lebanon. Hal ini dapat dilihat dari

kutipan berikut:

٩٩٩١:٤١

Wa tazawwaja Manshu>ru Bika Gha>libi min Salma> fa sakana> ma‘a>n fi> manzili fakhmin qa>’imin ‘ala> sya>thi>’il-bachri fi> ra’si Bairu>ta chaitsu yaqzhunu wujaha>’ul-qaumu wal-‘aghniya>’i.

Manshur Bek Ghalib dan Salma telah resmi dipersandingkan di

pelaminan. Kini mereka tinggal di sebuah rumah yang terletak di

tepi pantai di ujung kota Beirut. Tempat tinggal para hartawan dan

orang-orang terkemuka.

Manshur Bek menikahi Salma bukan karena agamanya, bukan

karena kelembutan akhlak yang dimiliki Salma, bukan karena ketaatan

Salma pada agamanya. Bukan ketaatan Salma pada pemimpinnya, bukan

karena baktinya kepada ayahnya. Bukan karena kecantikan dan jiwanya

yang bersih.

Adapun dilihat dari sudut pandang dasar pernikahan Kristen,

Salma menerima dengan lapang suami yang dipilihkan Allah baginya.

Meskipun keputusan ayahnya untuk menerima lamaran Pendeta Ghalib

mamatahkan sayap-sayap cintanya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan

berikut:

٩٩٩١:٩٩

161

‘Amma> qari>bin ya> Salma>, ‘amma> qari>bin takhruji>na min baina dzi>ra‘a> walidiki ila> dzira‘a> rajulin u>khra. ‘Amma qari>bin tasi>ru biki sunatu’l-llah ha>dzal-manzilil-munfaridi ila> sa>chatil-‘alamil-wa>si‘ah fa tushbichu hadzihil-chadi>qah musyta>qatan ila> wath’i> qadamaiki wa yashi>ru waliduki ghari>ba>n ‘anki. Laqad lafzahal-qadru kalimatahu ya> Salma>, falataba>rakaki’s-sama>’u wa tachrasuki!

“Salma, putriku sayang, rasanya terlalu cepat engkau dirampas

dari dekapan ayahmu dan nasib akan membawamu dari rumah

sunyi ini ke sebuah tempat yang lapang di dunia lain. Taman ini

akan senantiasa merindukan jejak kakimu dan ayahmu akan

menjadi orang asing bagimu. Takdir telah mengucapkan

keputusannya, wahai Salma, semoga Tuhan memberkatimu!”.

Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwasanya kutipan

di atas merupakan tuturan yang diucapkan Faris Affandy setelah pulang

dari pertemuannya dengan pendeta Ghalib. Dari kutipan di atas dapat

diketahui bahwa takdir telah memutuskan, Salma akan menjadi penolong

bagi seorang laki-laki culas dan berperangai buruk. Salma diciptakan oleh

Tuhan sebagai penolong Manshur Bek, bukan penolong bagi tokoh aku.

Adapun Manshur Bek Ghalib dan pamannya, memandang bahwa

penolong yang baik adalah ia yang kaya raya seperti Salma Karamah.

Dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n,

Salma diciptakan oleh Allah sebagai penolong Manshur Bek, akan tetapi

Manshur Bek diciptakan Allah bukan menjadi penolong untuk Salma.

Manshur Bek datang pada Salma untuk menekan dan menindasnya demi

mendapatkan harta yang dimiliki keluarga Salma. Hal ini dapat dilihat dari

kutipan berikut:

162

٩٩٩١:٤٤

Anna ru’sa>’a’l-ladzina fi>’sy-syarqi la> yaktafu>na bima> yachshulu>na ‘alaihi anfusahum minal-majdi wa’s-su’dadi bal yaf‘alu>na kulla ma> fi> was‘ihim li yaj‘alu> ansa>bahum fi> muqaddimati’sy-sya‘bi wa minal-mustadrina quwwa>hu wa amwa>lahu.

Sebenarnya, para pemuka agama di Timur selalu merasa tidak puas

dengan kemuliaan dirinya, mereka perlu melakukan apa saja untuk

membuat seluruh anggota keluarganya menjadi terhormat dan kaya.

Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa seorang

pemuka agama di Timur tidak akan pernah puas dengan kemuliaan dirinya

menjadi seorang pemuka agama. Ia akan melakukan apa saja untuk

membuat dirinya beserta anggota keluarganya menjadi kaya dan

terhormat, yaitu dengan cara menikahkan saudara-saudara dan anggota

keluarganya dengan orang-orang kaya namun lemah – seperti Faris

Affandy – di Lebanon.

Pendeta khususnya dalam hal ini, telah menyalahi firman Allah. Di

mana dikatakan dalam surat (1 Yohanes [4]: 8), Allah adalah agape. Dia

(baca: Allah) menghendaki, merencanakan, dan melakukan hal yang baik

bagi umat-Nya, kekasih-Nya, termasuk dalam hal teman hidup. Dia akan

memberikan pasangan yang baik dan tepat. Hanya dalam hal ini, perlu

disadari bahwa yang baik itu “bukan” berarti cantik, ganteng, kaya, sudah

mantap kariernya, memiliki kerohanian tinggi, sangat dewasa, paling sabar

atau paling memahami, berwibawa, dan sebagainya (Jonathan, 2013: 77).

163

Adapun pendeta Ghalib dalam permasalahan ini memandang

bahwa teman hidup yang baik bagi keluarga dan saudara-saudaranya ialah

orang yang berharta. Harta akan menjadikan dirinya dan saudara-

saudaranya menjadi orang terhormat dan menjadi orang penting di

kalangan bangsawan. Tidak peduli ia merampas masa depan orang lain, ia

mengahancurkan kebahagian orang lain atau tidak. Di dalam fikirannya

adalah hanya ada kemuliaan dan kehormatan dirinya beserta saudara-

saudaranya. Utamanya adalah kemuliaan karena harta bukan kemuliaan

diri karena menjadi pemuka agama.

Secara sosial dasar pernikahan menjadi begitu sederhana, contoh di

dalam Islam: ketika seseorang telah mencukupi umur, merasa siap untuk

menikah, semua syarat terpenuhi maka pernikahan dapat dilaksanakan. Di

dalam Islam tidak diwajibkan mengikuti kuliah atau pengajian pra nikah,

hal ini menjadi kebutuhan pribadi masing-masing. Apakah dirinya

membutuhkannya atau tidak. Jika seseorang itu membutuhkan, maka ia

dengan sendirinya akan datang ke pengajian pra nikah tersebut. Jika tidak,

seseorang tersebut tentu tidak akan datang. Secara sosial, calon mempelai

dalam pernikahan agama Islam mayoritas tidak membutuhkan kuliah pra

nikah tersebut.

Pernikahan dalam agama Kristen tidak semudah itu, kedua calon

mempelai harus mengikuti pembelajaran terlebih dahulu di gereja bersama

seorang pendeta dan para calon mempelai lainnya. Mereka harus

mengikuti pertemuan rutin untuk meneguhkan dirinya menjadi satu ikatan

164

yang tidak pernah bisa dipisahkan kecuali maut. Pertemuan rutin itu

dilakukan hingga calon mempelai pantas untuk dilakukan pemberkatan

oleh pendeta.

iii. Tujuan Pernikahan

Setiap individu yang menikah memiliki tujuan yang ingin

dicapai. Menurut Riyadi dalam bukunya Bimbingan Konseling

Perkawinan (2013: 58), pernikahan atau perkawinan merupakan suatu

aktivitas individu. Aktivitas individu umumnya akan terkait pada

suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu yang bersangkutan,

demikian pula dalam hal perkawinan. Karena perkawinan merupakan

suatu aktivitas dari suatu pasangan, maka sudah selayaknya merekapun

juga mempunyai tujuan tertentu. Tetapi karena perkawinan itu terdiri

dari dua individu, maka adanya kemungkinan bahwa tujuan mereka

tidak sama. Bila hal tersebut terjadi, maka tujuan harus dibulatkan agar

terdapat satu kesatuan dalam tujuan tersebut.

Menurut Fatchiah dalam bukunya yang berjudul „Konseling

Pernikahan Untuk Keluarga Indonesia‟ (2009: 26), memaparkan

bahwa keputusan seorang untuk menikah akan banyak juga

dipengaruhi oleh faktor budaya, agama, suku, dan lain-lain. Faktor-

faktor tersebut menjadi penting dalam merencanakan pernikahan dan

akan mempegaruhi tujuan dari pernikahan yang akan dilaksanakan.

165

a. Tujuan Pernikahan Kristen

Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber bahwa tujuan

pernikahan Kristen sesuai dengan apa yang diajarkan di masing-

masing gereja, namun pada intinya adalah membentuk rumah tangga

yang harmonis berdasarkan firman Allah.

Pada umumnya gereja-gereja mengajarkan tujuan menikah

dalam agama Kristen tercantum dalam sebuah visi dan misi keluarga

Kristen, sebagaimana yang diungkapkan oleh Jonathan dalam bukunya

(2013: 253). Jonathan menjelaskan bahwa secara sederhana visi adalah

sesuatu yang dapat dilihat dengan mata. Namun, visi memiliki arti

lebih dari itu. Orang yang memiliki visi disebut seorang visioner. Yang

dimaksudkan dalam hal ini bukan hanya seorang yang dapat melihat,

melainkan dapat melihat hal yang tidak dilihat orang lain. orang

tersebut akan bergerak ke arah sasaran yang ia lihat.

Jonathan mengungkapkan bahwa visi hidup bagi pribadi-

pribadi dalam Yesus Kristus, visi hidup telah ditetapkan oleh Allah.

Seseorang tidak dapat memilih visi sesuai apa yang ia inginkan. Dalam

surat (Roma [8]: 29) dikatakan, “Sebab semua orang yang dipilih-Nya

dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi

serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi

yang sulung di antara banyak saudara” (Jonathan, 2013: 255).

Visi seorang Kristen telah ditentukan oleh Allah “dari semula”.

Bukan ditentukan untuk menerima kehidupan kekal selamanya, bukan

166

untuk menerima berkat dan kelimpahan hidup dari Allah, bukan juga

untuk dijaga dan dilindungi-Nya sebagai biji mata-Nya. Semua itu

hanya hanya keuntungan tambahan (fringe benefits), bukan tujuan

utama Allah. Tujuan dan penetapan utama Allah ialah menjadi seperti

kristus. Tujuan dan visi seorang Kristen yang menikah adalah menjadi

seperti Kristus. Sifat-sifat Kristus seperti dalam surat (Galatia [5]: 22-

23), “...kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan,

kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri...” (Jonathan,

2013: 256).

Adapun misi hidup keluarga Kristen secara garis besar seperti

yang dipaparkan Jonathan dalam bukunya (2013: 261), bahwa misi

hidup setiap orang Kristen adalah bersama Allah meluaskan Kerajaan-

Nya hingga menutupi bumi.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan

dari pernikahan orang Kristen adalah pertama tercantum dalam visi

yaitu menjadi seorang yang Kristus, artinya setiap orang Kristen harus

memiliki setiap sifat yang ada di dalam diri Kristus. Tujuan kedua

tercantum dalam misi hidup seorang Kristus, yaitu bersama Allah

meluaskan Kerajaan-Nya hingga menutupi bumi. Artinya bahwa setiap

orang Kristen memiliki misi untuk meluaskan kaum pemeluk agama

Kristen di muka bumi. Salah satu cara yang tersirat adalah melalui

pernikahan, dalam hal ini adalah pernikahan berbeda agama,

sebagaimana orang yang Kristen menikah dengan orang yang bukan

167

Kristen dan berhasil mewujudkan pernikakahan secara Kristen. Hal ini

juga tidak terbatas pada pernikahan beda agama dalam rangka

meluaskan kerajaan Allah, akan tetapi bahwa dengan mewujudkan

pernikahan seagama juga dapat meluaskan kerajaan Allah yaitu dengan

membuat keturunan.

b. Tujuan Pernikahan Islam

Tujuan pernikahan di dalam agama Islam pertama,

sebagaimana firman Allah dalam al-Qur‟an:

Wa min ayatihi an khalaqa lakum min anfusikum azwa>ja>’l-li taskunu> ilaiha> wa ja‘ala bai>naku’m-mawaddatan wa rahmatan inna fi> dzalika li ayati’l-li qaumin yatafakkaru>n (ar-ru>m: 21).

21. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia

menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya

kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-

Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang

demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang

berfikir (Qs. Ar-Ru>m, [30]: 21).

Kedua, untuk memelihara pandangan mata dan menjaga

kehormatan diri. Ketiga, untuk mendapatkan keturunan yang sah serta

sehat jasmani, rohani dan sosial, mempererat dan memperluas

hubungan kekeluargaan serta membangun hari depan individu,

keluarga dan masyarakat yang lebih baik (Depag RI, 2006: 10-12).

Tujun pernikahan di dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah

karya Jubra>n Khali>l Jubra>n yaitu pernikahan antara Manshur Bek

dengan Salma dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya yaitu

168

faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Faktor ekonomi yang mendorong

Pendeta Ghalib menikahkan Manshur Bek dengan Salma adalah harta

kekayaan yang dimiliki oleh ayah Salma, Faris Affandy. Adapun

Salma adalah satu-satunya putri Faris Affandy, dengan menikahkan

Manshur Bek dengan Salma maka semua kekayaan Faris Affandy akan

jatuh ke tangan Salma sebagai satu-satunya pewaris, dengan begitu

Manshur Bek akan dapat menguasai semua harta tersebut dengan

mudah.

Adapun faktor sosial yang mendorong pernikahan Manshur

Bek dengan Salma adalah kekayaan pada zaman dulu merupakan alat

dari segala hal. Kekayaan akan menjadikan seseorang terpandang dan

terhormat. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi pemerintahan yang kacau

periode Islam di Lebanon pada tahun 600-1920 M. Meskipun

formalnya di bawah pengaruh kebesaran panji Islam, namun Lebanon

tetaplah wilayah tidak bertuan. Mulai dari kecamuk Perang Salib,

periode dinasti Ayubi dan dinasti Mamluki, jatuh ke kerajaan Turki

Utsmani (Ottoman), lalu dikuasai oleh Mesir lagi. Hingga pecah PD I,

Lebanon masih tetap negara jajahan. Lebanon merdeka pada tahun

1943 (Tim Lembayung, 2003: ix).

Kondisi ini tak ubahnya menjadikan orang-orang yang mampu

berkuasa bertindak semaunya. Begitu juga yang dilakukan oleh

Pendeta Ghalib kepada Faris Affandy. Kekayaan yang dimiliki Faris

Affandy mampu menjadikan ia terpandang dan dermawan di Lebanon.

169

Maka hal inilah yang mendorong Pendeta Ghalib menikahkan

Manshur Bek dengan Salma, karena dengan kekayaan akan

menjadikan kemenakannya itu menjadi orang penting, terhormat, dan

terpandang di lingkungan bangsawan di Beirut.

Faktor ketiga yang mendasari pernikahan Manshur Bek dengan

Salma adalah faktor budaya. Budaya memang sangat mengikat

masyarakatnya. Jika budaya itu baik maka akan mendorong pada

perkembangan pada masyarakatnya, namun jika budaya itu buruk

maka dengan cepat akan merusak kehidupan masyarakatnya. Seperti

halnya budaya yang ada di dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah

karya Jubra>n Khali>l Jubra>n bahwa budaya yang berkembang di

masyarakat dalam novel tersebut adalah perintah seorang pemuka

agama tidak dapat ditentang, meskipun perintah itu mengandung

keburukan ataupun bertentangan dengan apa yang ia ajarkan pada

jemaatnya. Faktor tersebutlah yang dengan mudah Pendeta Ghalib

meminta kepada Faris Affandy untuk bersedia menyandingkan

putrinya, Salma, dengan kemenakan Pendeta Ghalib, Manshur Bek.

Merujuk pada tiga faktor yang telah diuraikan di atas, maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pernikahan yang dilakukan oleh

Manshur Bek adalah untuk membuat dirinya dan seluruh anggota

keluarganya menjadi kaya raya dan terpandang. Hal ini dapat dilihat

dari kutipan berikut:

170

٩٩٩١:٤٤

Anna ru’sa>’a’l-ladzina fi>’sy-syarqi la> yaktafu>na bima> yachshulu>na

‘alaihi anfusahum minal-majdi wa’s-su’dadi bal yaf‘alu>na kulla ma>

fi> was‘ihim li yaj‘alu> ansa>bahum fi> muqaddimati’sy-sya‘bi wa

minal-mustadrina quwwa>hu wa amwa>lahu.

Sebenarnya, para pemuka agama di Timur selalu merasa tidak puas

dengan kemuliaan dirinya, mereka perlu melakukan apa saja untuk

membuat seluruh anggota keluarganya menjadi terhormat dan kaya.

Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa para pemuka

agama di Timur selalu merasa tidak puas dengan kemulian dirinya.

Mereka perlu melakukan apa saja untuk membuat anggota keluarganya

menjadi terhormat dan kaya. Salah satu cara yang sering mereka lakukan

adalah menikahkan anggota keluarganya dengan orang kaya raya namun

lemah di negara tempat ia tinggal, lalu mengajarkan injil pada masyarakat

yang taat beragama sebagai kedok atas kejahatannya tersebut.

Tujuan pernikahan Manshur Bek bukanlah karena rasa kasih dan

sayang yang diciptakan oleh Tuhan, bukan karena rasa nyaman dan

tenteram yang ia cari, bukan juga untuk mepererat dan memperluas

hubungan kekeluargaan, namun yang ia kejar hanyalah semua harta yang

dimiliki ayah Salma. Pendeta Ghalib akan terus mengekploitasi orang-

orang kaya di Beirut dengan cara apapun untuk menjadikan dirinya dan

seluruh anggota keluarganya menjadi kaya raya, terpandang dan terhormat

karena harta. Bagi Pendeta Ghalib, harta akan menjadikan dirinya lebih

berkuasa dan mulia di hadapan jemaatnya dan masyarakat. Dapat

171

disimpulkan bahwa tujuan pernikahan yang dilakukan dalam novel al-

Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n adalah untuk

menjadikan kaya dan terhormat seluruh anggota keluarga seorang pendeta.

Secara sosial fenomena tujuan menikah memang beragam, namun

pada zaman sekarang ini memang masih ada tujuan menikah adalah untuk

membuat seseorang menjadi kaya, terpandang dan terhormat. Tujuan ini

biasanya dilakukan dengan cara perjodohan. Adapula juga dengan cara

menghamili seorang perempuan kaya, dengan harapan seorang pria dapat

dinikahkan dengan perempuan tersebut. Hal-hal seperti itu memang tidak

akan pernah lepas dari kehidupan manusia yang notabene manusia

memiliki sifat dasar makhluk sosial.

C.2 Hak dan Kewajiban Suami-Istri

Setiap orang yang lahir dan hidup di dalam masyarakat tidak akan

pernah terlepas dari dua hal, yaitu hak dan kewajiban. Di manapun

seseorang berdiri maka ia akan selalu terikat oleh hak dan kewajiban.

Begitu halnya dengan seorang suami maupun istri, masing-masing

memiliki hak dan kewajiban yang harus mereka tunaikan. Selain itu, suami

dan istri juga memiliki hak dan kewajiban bersama.

3.b.1 Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Pernikahan Kristen

Hak dan kewajiban suami-istri dalam pandangan Kristen,

menurut Wardhana dalam makalahnya yang berjudul Suami dalam

Pernikahan Kristen tahun 2008 yaitu:

172

a) Hak Suami

1. Dihormati dan dihargai

Sebagai seorang suami, kebutuhan ini melekat dengan

sendirinya. Ini bukanlah “rasa haus” akan hormat dan

penghargaan dari seorang suami, tetapi karena memang Allah

telah mengaturnya sedemikian rupa sehingga suami mendapat

hak untuk dihormati dan dihargai. Jika seorang suami tidak

dihargai dan dihormati oleh istrinya, maka suami tidak akan

dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

2. Mendapatkan semangat dan penghiburan

Seorang suami bukanlah orang yang sempurna atau

yang tidak pernah mengalami kegagalan. Ada saatnya di mana

seorang suami mengalami patah semangat dalam menjalani

kehidupan.

Inilah merupakan saat yang tepat bagi seorang istri

untuk menunjukkan kualitasnya sebagai penolong yang

sepadan bagi suaminya. Dia tidak lari dari tanggung jawabnya

sebagai istri, tetapi siap memberikan semangat baru dan

penghiburan bagi suaminya.

b) Hak Istri

Berdasarkan pembahasan sebelumnya bahwasanya

seorang perempuan diciptakan sebagai penolong bagi laki-laki,

sehingga berdasarkan al-Kitab seorang istri tidak memiliki hak

173

sebagaimana bisa diuraikan secara detail. Penulis

menyimpulkan dari berbagai surat dalam al-Kitab di antaranya

yaitu (Efesus [5]: 25), (Efesus [5]: 28-29), (1Pet [3]: 7), bahwa

hak istri adalah mendapat kasih sayang dan perlakuan baik dari

suami selayaknya seorang istri. Seorang istri dalam agama

Kristen tidak memiliki hak untuk medapatkan mahar

sebagaimana orang Islam dapatkan, karena tidak ada mahar

dalam pernikahan agama Kristen.

c) Kewajiban Suami

1. Mengasihi istri

Tugas utama seorang suami dalam pernikahan Kristen

adalah mengasihi istrinya. Sebagaimana firman Tuhan dengan

jelas menyatakan dalam surat (Efesus [5]: 25): “Hai suami,

kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat

dan telah menyerahkan diri-Nya baginya”. Hal ini merupakan

perintah, bukan pilihan antara suka dan tidak suka, tetapi

sesuatu yang harus dilaksanakan oleh seorang suami.

2. Menghormati istri

Firman Allah dalam surat (1 Petrus [3]: 7) menjelaskan

tentang perintah menghormati seorang istri, sebagai berikut:

“Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana

dengan istrimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah

174

mereka sebagai teman pewaris dari anugerah, yaitu

kehidupan, supaya doamu jangan terhalang”.

Berdasarkan ayat di atas, al-Kitab menyatakan bahwa

suami harus hidup bijaksana dengan istrinya. Artinya, suami

harus bersikap penuh pengertian - dengan budi pekerti yang

baik - terhadap istrinya dan menyadari sepenuhnya bahwa dia

merupakan kaum yang lebih lemah. Istri adalah orang yang

memerlukan bimbingan dan perlindungan dari seorang suami.

3. Membina kerohanian istri

Firman Tuhan berikut ini: “Tetapi kamulah bangsa

yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat

Allah sendiri”. Di dalam Kristus, setiap orang percaya secara

pribadi dapat mendekati dan menjumpai Allah. Penerapannya

dalam keluarga adalah suami dapat bertindak sebagai imam

bagi istri dan anak-anaknya.

Perhatian utama seorang suami adalah pertumbuhan

kerohanian istrinya. Seorang istri merupakan orang yang

dipercayakan Allah untuk dibina oleh suaminya. Tanggung

jawab ini tidak bisa dialihkan pada seorang pendeta atau orang

lain. Tanggung jawab ini merupakan tugas mulia yang

disediakan Allah bagi seorang suami.

175

4. Memelihara dan memenuhi kebutuhan istri

Suami mempunyai tanggung jawab untuk memelihara

kehidupan istrinya seperti yang tercantum dalam surat (Efesus

[5]: 28-29): “Demikian juga suami harus mengasihi istrinya

sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi istrinya

mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci

tubuhnya sendiri, tetapi memelihara dan merawatnya, sama

seperti Kristus terhadap jemaat”. Ditegaskan pula bahwa

perhatian suami pada pemeliharaan tersebut sama seperti dia

memberikan perhatian kepada tubuhnya sendiri.

Bagi para suami memelihara dan merawat istrinya

dengan penuh kasih sebagaimana al-Kitab menegaskan dalam

surat (Efesus [5]: 33), bahwa “... Kasihilah istrimu seperti

dirimu sendiri ...”. Kasih Allah sajalah yang memungkinkan

suami melakukan hal ini dengan sikap rela berkorban demi

kebahagiaan istrinya. Manakala istri membutuhkan sesuatu,

suami dengan penuh kesungguhan berusaha memenuhi sesuai

dengan kemampuannya. Bahkan manakala istri sudah mulai

sakit-sakitan, perhatian dan pemeliharaan suami tidak pernah

berkurang.

5. Bekerja sama sebagai satu tim

Seorang kepala keluarga tidak dapat bekerja dengan

baik bila ia seorang diri, tanpa kehadiran seorang penolong di

176

sisinya, sebab kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya

terbatas. Allah berfirman dalam surat (Kejadian [2]: 18),

“Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan

menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” dan

Allah menempatkan istri menjadi seorang penolong yang

dimaksud oleh-Nya.

Bersama dengan istrinya, kepala keluarga

melaksanakan fungsinya dalam keluarga sebagai sebuah tim

yang terpadu, saling melengkapi satu sama lain. Mereka

bekerja sama dalam membuat perencanaan dan pengelolaan

rumah tangga dan memelihara serta mendidik anak-anak yang

dipercayakan Tuhan pada mereka. Maju mundurnya suatu

keluarga bergantung pada efektifitas dan kesungguhan kerja

tim ini.

6. Mengasihi dan mendidik anak

Tuhan Yesus sangat mengasihi anak-anak. Ia membuka

diri terhadap kehadiran anak-anak dan memberkati mereka.

Bahkan siapa saja yang menyambut kehadiran seorang anak

sama artinya dengan menyambut kehadiran-Nya, sebagaimana

tercantum dalam surat (Matius [18]: 5), “Dan barang siapa

menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia

menyambut Aku”. Sedemikian berharganya anak bagi Yesus,

177

maka Dia memperingatkan umatnya agar tidak memandang

rendah anak-anak (Matius 18: 10).

d) Kewajiban Istri

Kewajiban istri berdasarkan al-Kitab dipaparkan oleh Riva

Sinjal dalam artikelnya yang berjudul Menjadi Isteri yang Baik di

Dalam Kristus sebagai berikut ini:

1. Tunduk kepada suami

Tunduk pada suami tercantum dalam firman Allah

dalam surat (Efesus [5]: 22-24) “Hai istri, tunduklah pada

suamimu seperti kepada Tuhan, karena itu sebagaimana

jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah istri kepada

suami dalam segala sesuatu”. Adapun dalam surat (Kolose

[3]: 18), Allah juga berfirman demikian “Hai istri-istri,

tunduklah pada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam

Tuhan”.

Al-Kitab tidak mengatakan: hai suami tunduklah

kepada istrimu, tetapi justru sebaliknya. Merupakan suatu

kewajiban bagi seorang istri untuk tunduk dan patuh kepada

suaminya dalam segala hal. Penundukan diri istri kepada suami

artinya istri menghormati dan menghargai suami sebagai

kepala keluarga dan teman hidupn di hadapan Allah. Tingkah

laku, tindakan, ucapan dan karakter seorang istri harus

mencerminkan rasa hormat kepada suami. Namun penundukan

178

ini bukan berarti perempuan selalu tunduk pada segala

perlakuan suami. Bukan juga suami semaunya memperlakukan

istri. Menghukum atau memukulnya bila melakukan kesalahan

terhadap suami.

Sinjal menjelaskan lebih lanjut bahwa zaman boleh saja

berubah dengan meningkatnya status perempuan menjadi

setara dengan laki-laki di manapun dia berada. Sehingga

perempuan boleh menduduki posisi-posisi strategis baik di

bidang bisnis, pekerjaan, pemerintahan dan lainnya. Akan

tetapi dalam posisinya di rumah tangga, harus tetap disadari

bahwa suami memegang otoritas pemimpin dan kepala

keluarga. Bagaimanapun posisi, status dan keadaan suami, istri

harus belajar tunduk kepada suaminya.

2. Hidup murni di hadapan Tuhan

Firman Tuhan dalam surat (Petrus [3]: 1-2),

mengatakan bahwa “Demikian juga kamu, hai istri-istri

tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka

yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan

dimenangkan oleh kelakuan istrinya, jika mereka melihat,

bagaimana murni dan salehnya hidup istri mereka itu”.

Seorang istri harus belajar untuk menjaga sikap dan

tindakan mereka kepada suaminya. Ada sebagian suami yang

memang belum dimenangkan di dalam Kristus. Bahkan

179

mereka melakukan berbagai kejahatan di mata Tuhan. Seorang

istri harus belajar bersabar dalam menghadapi hal ini. Dia

harus tetap melakukan apa yang berkenan di hadapan Tuhan

dan tetap mengasihi suaminya.

3. Menjadi penolong

Tuhan menempatkan perempuan untuk menjadi

penolong bagi laki-laki, bukan sebaliknya. Setiap do‟a,

dorongan, kesetiaan dan kesabaran yang senantiasa diberikan

kepada suaminya akan menjadi suatu pondasi yang kuat bagi

suami untuk dapat meraih kesuksesan. Sebagaimana tercantum

dalam surat (Kejadian [2]: 18), Tuhan Allah berfirman, “Tidak

baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan

menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”.

Adapun penerapannya dalam kehidupan sehari-hari

bahwa istri dinomor duakan, bahwa istri memiliki posisi di

bawah suami. Istripun diperlakukan tidak setara dengan suami,

padahal dalam penciptannya Hawa diciptakan sebagai

penolong untuk Adam. Allah meciptakan penolong (seorang

perempuan) sepadan dengan seorang laki-laki.

e) Kewajiban Bersama Suami Istri

Kewajiban bersama suami-istri dalam pandangan Kristen,

dipaparkan oleh Wardhana dalam makalahnya yang berjudul Suami

dalam Pernikahan Kristen tahun 2008 yaitu:

180

1. Saling mengasihi

Suami dan istri dipanggil untuk saling mengasihi. Ayat

al-Kitab berikut ini: “Hai suami, kasihilah istrimu

sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah

menyerahkan diri-Nya baginya” (surat Efesus [5]: 25).

2. Saling merendahkan diri

Saling merendahkan diri di dalam Kristus adalah suatu

prinsip rohani yang umum. Al-Kitab menegaskan pada suami

istri agar “ ... rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain

di dalam takut akan Kristus” (surat Efesus [5]: 21).

3. Saling memenuhi kewajiban

Suami dan istri masing-masing mempunyai hak untuk

mendapatkan kesetiaan yang penuh dari pasangannya.

“Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan

dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-

orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah” (surat Ibrani

[13]: 4).

Beberapa kelompok masyarakat hanya mengharapkan

kesetiaan pihak istri, namun standar Tuhan adalah kesetiaan

oleh tiap pihak. Setiap pihak berkewajiban untuk memenuhi

hak yang dimiliki pasangannya. Al-Kitab menegaskan hal ini

dengan menyatakan bahwa “Hendaklah suami memenuhi

181

kewajibannya terhadap istrinya, demikian pula istri terhadap

suaminya” (surat 1 Korintus [7]: 3).

4. Saling mempercayai

Allah berfirman dalam surat (Amsal [31]: 11),

ditegaskan terhadap istri yang cakap bahwa “Hati suaminya

percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan

keuntungan”. Ini berarti bahwa sang suami yakin benar atas

kemampuan istrinya dalam mengelola rumah tangga dan

menjadi penolong yang sepadan baginya sehingga ia dapat

menaruh kepercayaan kepadanya.

Bagian lain dalam al-Kitab surat (Efesus [5]: 22) Allah

berfirman, “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti

kepada Tuhan” dan ditegaskan lebih lanjut dalam surat (Efesus

[5]: 24), bahwa ketundukan tersebut mencakup “dalam segala

sesuatu”. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu keyakinan

pada sang istri akan kemampuan suaminya untuk memenuhi

harapan, bersikap jujur dan bertanggung jawab terhadap

keluarganya, khususnya sang istri.

3.b.2 Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Pernikahan Islam

Adapun dalam Islam seorang suami dan seorang istri keduanya

memiliki hak dan kewajiban sendiri maupun hak dan kewajiban

bersama, hak-hak dan kewajiban tersebut yaitu:

182

a) Hak Istri

1. Hak mengenai harta, yaitu mahar atau maskawin dan nafkah.

2. Hak mendapat perlakuan yang baik dari suami.

3. Agar suami menjaga dan memelihara istrinya. Maksudnya

ialah menjaga kehormatan istri, tidak menyia-nyiakannya,

agar selalu melaksanakan perintah Allah dan menghentikan

segala larangan-Nya (Depag RI, 2006: 20).

Berdasarkan poin-poin mengenai hak-hak istri tersebut di atas,

dapat dijelaskan bahwa seorang istri itu selayaknya mendapatkan

mahar dan nafkah dari seorang suami, begitu juga dengan perlakuan

yang baik dari suami. Serta seorang istri selayaknya selalu mendapat

penjagaan dari seorang suami, mulai dari kehormatannya hingga

realiginya untuk selalu melaksanakan perintah dan menghentikan

larangan dari Allah.

b) Hak Suami

Ketaatan istri kepada suami dalam melaksanakan urusan

rumah tangga termasuk di dalamnya memelihara dan mendidik anak,

selama suami menjalankan kententuan-ketentuan Allah yang

berhubungan dengan kehidupan suami-istri (Depag RI, 2006: 21).

Sudah menjadi hak seorang suami akan ketaatan seorang istri.

Ketaatan istri dalam melaksanakan segala urusan rumah tangga,

termasuk memelihara dan mendidik anak ketika seorang suami pergi

183

untuk memenuhi kebutuhan yang terkait dengan kehidupan di antara

suami dan istri.

c) Hak Bersama Suami-Istri

Hak-hak bersama di antara kedua suami-istri adalah:

1. Halalnya pergaulan sebagai suami-istri dan kesempatan

saling menikmati atas dasar kerjasama dan saling

memerlukan.

2. Sucinya hubungan perbesanan. Dalam hal ini istri haram

bagi laki-laki dan pihak keluarga suami, sebagaimana suami

haram bagi perempuan pihak keluarga istri.

3. Berlaku hak pusaka-mempusakai. Apabila salah seorang di

antara suami-istri meninggal, maka salah satu berhak

mewarisi, walaupun keduanya belum bercampur.

4. Perlakuan dan pergaulan yang yang baik. Menjadi kewajiban

suami-istri untuk saling berlaku dan bergaul dengan baik,

rukun dan penuh dengan kedamaian (Depag RI, 2006: 20-

21).

Berdasarkan uraian tersebut, yang dimaksud dengan hak

bersama suami-istri adalah hak-hak yang diperoleh keduanya dan

dimanfaatkan oleh keduanya. Dalam hal ini kaitannya adalah tentang

harta gono-gini. Harta gono-gini adalah harta di mana buah hasil dari

kerjasama keduanya. Selain itu hak bersama ini adalah terkait dengan

keharaman keduanya dalam hubungan perbesanan, di mana seorang

184

suami haram bagi perempuan dari pihak istri dan istri haram bagi

laki-laki dari pihak suami.

Adapun hal tersebut tidak akan berlaku jika salah satu di

antara keduanya meninggal, maka hukum itu gugur dan berubah

menjadi hukum pusaka-mempusakai. Hukum pusaka-mempusakai

adalah jika istri meninggal maka suami mempunyai hak untuk

mempusakai perempuan dari keluarga istri, begitu juga sebaliknya,

jika suami yang meninggal maka istri mempunyai hak menjadi

pusaka laki-laki dari keluarga suaminya.

d) Kewajiban Istri

1. Hormat dan patuh kepada suami dalam batas yang

ditentukan oleh norma agama dan susila.

2. Mengatur dan mengurus rumah tangga menjaga

keselamatan dan mewujudkan kesejahteraan keluarga.

3. Memelihara dan mendidik anak sebagai amanah Allah.

4. Memelihara dan menjaga kehormatan serta melindungi

harta benda keluarga.

5. Menerima dan menghormati pemberian suami serta

mencukupkan nafkah yang diberikannya dengan baik,

hemat, cermat dan bijaksana (Depag RI, 2006: 22-23).

Berdasarkan poin-poin di atas mengenai kewajiban-kewajiban

seorang istri, dapat dijelaskan bahwa seorang istri sudah selayaknya

dapat menghormati dan mematuhi seorang suami sesuai dengan batas

185

yang telah ditentukan oleh norma agama dan susila. Jika seorang istri

sudah dapat menghormati dan mematuhi seorang suami maka iapun

sudah selayaknya dapat mengatur segala urusan rumah tangganya.

Istri harus bisa menerima dan menghormati pemberian suami serta

mencukupkan nafkah yang diberikan oleh seorang suami dengan

baik, hemat, cermat dan bijaksana dalam mengaturnya.

e) Kewajiban Suami

1. Memelihara, memimpin dan membimbing keluarga lahir

dan batin, serta menjaga dan bertanggung jawab atas

keselamatan dan kesejahteraannya.

2. Memberi nafkah sesuai dengan kemampuan serta

mengusahakan keperluan keluarga terutama sandang,

pangan dan papan.

3. Membantu tugas-tugas istri terutama dalam hal memelihara

dan mendidik anak dengan penuh rasa tanggung jawab.

4. Memberi kebebasan berfikir dan bertindak kepada istri

sesuai dengan ajaran agama, tidak mempersulit apalagi

membuat istri menderita lahir-batin yang dapat mendorong

istri berbuat salah.

5. Dapat mengatasi keadaan, mencari penyelesaian secara

bijaksana dan tidak berbuat sewenang-wenang (Depag RI,

2006: 23-24).

186

Berdasarkan poin-poin di atas mengenai kewajiban-

kewajiban seorang suami dalam rumah tangga, dapat dijelaskan

bahwa kewajiban utama seorang suami adalah memelihara keluarga,

artinya bahwa seorang suami memiliki kewajiban untuk menafkahi

keluarganya baik sandang, pangan maupun papan sesuai dengan

kemampuannya. Menjaga dan bertanggungjawab atas keselamatan

dan kesejahteraan keluarga juga menjadi kewajiban seorang suami.

Selain itu suami juga berkewajiban memelihara seorang istri agar

tidak menderita secara lahir dan batin yang dapat mendorong istri

berbuat salah.

Memimpin keluarga adalah sudah menjadi tanggungh jawab

seorang suami, oleh karenanya seorang suami harus dapat mengatasi

keadaan, mencari penyelesaian yang bijaksana dan tidak berbuat

sewenang-wenang dalam menghadapi setiap permasalahan yang

datang.

Seorang suami juga harus dapat membimbing keluarganya

baik secara lahir maupun batin dalam hal ini adalah mendidik anak-

anak bersama istri dengan penuh tanggung jawab.

f) Kewajiban Bersama Suami-Istri

1. Saling menghormati orang tua dan keluarga kedua belah

pihak.

2. Memupuk rasa cinta dan kasih sayang.

187

3. Hormat-menghormati, sopan-santun, penuh pengertian serta

bergaul dengan baik.

4. Matang dalam berbuat dan berfikir serta tidak bersikap

emosional dalam persoalan yang dihadapi.

5. Memelihara kepercayaan dan tidak saling membuka rahasia

pribadi.

6. Sabar dan rela atas kekurangan-kekurangan dan kelemahan-

kelemahan masing-masing (Depag RI, 2006: 24).

Berdasarkan uraian tersebut, yang dimaksud denga kewajiban

bersama suami-istri adalah kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi

keduanya untuk memelihara rumah tangganya agar tetap berjalan baik.

Hal ini tidak dapat dilakukan oleh salah satu pihak saja, misalnya

suami saja yang melaksanakan akan tetapi istri tidak melaksanakan

begitu juga sebaliknya. Keduanya harus berperan sama dalam porsi

yang sama juga untuk mewujudkan keluarga yang nantinya disebut

dengan keluarga sakinah. Di dalam sebuah hubungan utamanya

hubungan yang sudah terikat oleh perkawinan, maka kata „saling‟

adalah menjadi kunci dalam langgengnya sebuah hubungan.

Berbicara mengenai hak dan kewajiban seorang suami dan

seorang istri, permasalahan ini menjadi polemik yang tidak akan

pernah ada habisnya di dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya

Jubra>n Khali>l Jubra>n. Tatananlah yang membuat hak dan kewajiban

seorang suami istri menjadi kekacauan yang tidak pernah ada

188

ujungnya. Tatanan agama mengatur semuanya, sedangkan tatanan yang

tidak benar itu tumbuh dan hidup di negara yang masyarakatnya taat

beragama. Masyarakat akan selalu tunduk dengan tatanan tersebut,

masyarakat tidak akan berani melawan tatanan tersebut, karena

baginya tatanan itulah yang mengatur hidupnya meskipun mereka tahu

tatanan itu sudah tidak benar karena ulah seorang pemuka agama

Timur yang rakus. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:

٩٩٩١:٤٩-

٤٤

Wala>kin ayyu masi>chiyyin yaqdiru an yuqa>wima asqafa>n fi> Su>riya> wa yabqa> machsu>ba>n bainal-mu’mini>na, ayyu rajulin yakhruju ‘an tha>‘ati ra’si di>nihi fi>’sy-sya‘rqi wa yazhillu kari>ma>n baina’n-na>si?

Di Siria, tak ada orang Kristen yang berani melawan pendetanya.

Tiada seorangpun yang berani mengingkari perintah pemimpin

agamanya. Meski sang pendeta jahat tetapi akan tetap dianggap

orang baik-baik. Meskipun sang pemuka agama itu culas, ia tetap

akan dimuliakan oleh masyarakat.

Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa terdapat

tatanan yang tidak benar yang tumbuh dalam masyarakat di Siria. Di mana

tatanan yang dimaksud adalah bahwa tidak ada yang dapat mengingkari

perintah pemimpin agama. Meski sang Pendeta jahat akan tetapi akan tetap

dianggap orang baik-baik. Meskipun pemuka agama itu culas, ia tetap

akan dimuliakan oleh masyarakat. Tatanan seperti inilah yang sebenarnya

merusak kehidupan masyarakat yang damai dan tenteram. Tatanan ini jika

dibiarkan saja, maka tidak akan pernah terwujud masyarakat yang damai,

tenteram dan bahagia. Masyarakat akan dieksploitasi oleh pihak tertentu.

189

Masyarakat akan terus diatur oleh pemuka agama. Entah kepentingan

pribadi, adat dan agama, ekonomi bahkan politik. Hal ini diperkuat oleh

kutipan berikut:

٩٩٩١:٤٤

Kadza> tabi >du’sy-syu‘u>bu bainal-lushu>si wal-muchta>li>na mitsluma> tafna>l-qith‘a>nu baina anya>bi’dz-dzu’a>bi wa qawa>thi‘il-jiya>rina, wa hakadza> tastalimul-umamu’sy-syarqiyyah ilal-wara>’i tsumma tahbithu ilal-chadhidhi fayamurru’d-dahru wa yaschafuha> bi aqda>mihi mitsluma> taschiqu matha>riqul-chadi>di a>niyatal-fakhari.

Demikianlah, rakyat hidup di antara para pencuri dan penipu.

Namun demikian, orang-orang bangsa Timur membenarkan tata

cara yang mereka lakukan. Membiarkan para serigala dan jagal

mengahancurkan negeri mereka dengan hati penuh kedengkian, dan

mengahancurkan oara tetangga mereka dengan tangan besi.

Salma sebagai seorang istri telah melaksanakan kewajiban-

kewajiban yang selayaknya dilakukan oleh seorang istri, akan tetapi

Manshur Bek justru tidak menganggapnya. Ia melalaikan apa yang

menjadi kewajibannya sebagai seorang suami. Hal ini dapat dilihat dari

kutipan berikut:

٩٩٩١:٠٥

Ana> la> uchibbu ha>dza>’r-rajula li annani> ajhaluhu, wa anta ta‘lamu annal-machabbah wal-jaha>lata la> talqiya>ni, wa la>kinnaniy saufa ata‘allamu machabbatahu. Saufa uthi >‘uhu wa akhdumuhu wa aj‘aluhu sa‘i>da>n. Saufa ahabahu kulla ma> taqdirul-mar’atu’dh-dha‘i>fah an tahiba’r-raulal-qawiyya.

190

“Sementara aku tidak pernah kenal lelaki ini apalagi

mencintainya. Tapi aku akan belajar untuk mencintainya. Aku akan

tunduk dan melayaninya, serta membuat dia bahagia. Aku akan

memberikan seluruh yang dapat dilakukan wanita lemah kepada

lelaki perkasa”.

Kutipan di atas menjelaskan bahwa walaupun Salma tidak

mengenal dan mencintai calon suaminya, ia akan tetap berusaha mencintai

lelaki yang akan menjadi suaminya. Ia akan tunduk dan melayani calon

suaminya, serta ia akan membuat lelaki yang akan menjadi suaminya

hidup bahagia. Bahkan Salma bersedia memberikan seluruh apa yang

dapat ia lakukan dan berikan dari seorang wanita yang lemah kepada lelaki

perkasa yang akan menjadi suaminya. Walaupun Salma bersedia menjadi

seorang istri yang taat kepada suaminya, namun justru ia tidak

mendapatkan perlakuan yang selayanya didapatkan oleh seorang istri. Hal

ini terbukti dari kutipan berikut:

٩٩٩١:٨٠

Inna zaujiy la> yachfilu biy wa la> yadri> kaifa usharrifu ayyamiy, fa huwa masyghu>lun ‘anni> bi u>laika’sh-shiba>ya>l-miski>na>til-llawa>ti> taqu>duhunnal-fa>qah ila> aswa>qi’n-nakha>si>na fayata‘aththarna wa yaktachilna li yabi‘na ajsa>dahunna bi khubzil-ma‘ju>ni bi’d-dima>’i wa’d-dumu>‘i.

“Suamiku tidak memperdulikan aku. Bahkan dia tidak tahu

bagaimana aku menghabiskan waktu. Sebab dia sibuk mengurusi

gadis-gadis miskin yang digiring oleh kemelaratan ke pasar budak.

Di mana tubuh mereka didandani untuk ditukar dengan roti yang

dimasak dengan darah dan air mata”.

191

Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Manshur Bek

tidak memperdulikan Salma. Manshur Bek bahkan tidak tahu bagaimana

Salma menghabiskan waktunya. Manshur Bek lebih sibuk mengurusi

gadis-gadis miskin untuk diperjual belikan di pasar budak. Hal ini sungguh

tidak selayaknya dilakukan oleh seorang suami. Menelantarkan seorang

istri, dan lebih sibuk mengurusi wanita yang dapat dijual dan

menghasilkan uang. Hal demikian didasari oleh sifat rakus Manshur Bek,

walaupun harta Salma cukup untuk menjamin masa depan mereka berdua

tetap saja tidak dapat membuat Manshur Bek puas. Ia akan terus mencari

dan menjarah harta para bangsawan lemah, para yatim dan piatu, para fakir

miskin, dan para orang-orang lemah di sekitarnya.

Sudah selayaknya Manshur Bek sebagai seorang suami dapat

memberikan rasa aman, nyaman, tenteram dan bahagia kepada Salma.

Namun justru Manshur Bek tidak mempedulikan Salma, bahkan Salma

tidak mendapatkan rasa nyaman dan aman sebagai seorang istri. Sikap

Manshur Bek yang seperti ini mendorong Salma berbuat salah, Salma

justru pergi sebulan sekali menemui tokoh aku. Salma mencari

kebahagiaan dari orang yang dapat membahagiakannya. Salma mencari

ketenangan, ketenteraman dan rasa kasih sayang dari orang lain. Semua

Salma lakukan karena ia tidak mendapatkan kebahagiaan, kenyamanan

dan keamanan dari suaminya, yang sudah selayaknya ia dapatkan.

Dilihat dari sudut pandang sosial, perbuatan Salma menemui tokoh

aku adalah perbuatan yang salah dan penuh aib. Tidak selayaknya Salma

192

yang sudah memiliki suami menemui lelaki lain tanpa sepengetahuan dan

seizin suaminya. Bahkan Salma menjalin cinta dengan lelaki lain, yaitu

tokoh aku. Hal ini dapat merusak nama baik Salma dan juga dianggap

sebagai aib di dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:

٩٩٩١:٨٥

Kunna> nachtali> fi> dzalikal-haikalil-qadi>mi.

Kami bertemu secara sembunyi-sembunyi di kuil tua.

٩٩٩١:٨٥

Tsumma nabtasimu mutana>si >na kulla syai’in siwa>l-chubba wa>fara>chihi, mansharifi>na ‘an kulli amrin illa>’n-nafsa wa muyu>laha>, tsumma nata‘a>naqu fanadzu>bu syaghafa>n wa hiya>ma>n.

Kemudian kamipun tersenyum melupakan segalanya kecuali cinta,

berpaling dari segalanya, melupakan jiwa dan keinginan. Kami

saling berpelukkan hingga hati kami luluh.

Adapun yang dilakukan Manshur Bek adalah hal yang tidak dapat

dikatakan benar. Sebagai seorang suami sudah menjadi kewajibannya

melindungi Salma sebagai istrinya, bukan menelantarkannya. Secara sosial

perbuatan Manshur Bek terhadap wanita-wanita miskin, para yatim dan

piatu, para janda, dan orang-orang lemah adalah sebuah tindak kriminal

dan tidak bermoral. Perlakuan Manshur Bek terhadap mereka

mengabaikan hak asasi manusia, karena pada dasarnya setiap orang

memiliki hak untuk hidup tenang.

Dilihat dari sudut pandang kekinian atau masa kini, perbuatan yang

dilakukan oleh Salma maupun Manshur Bek masih dapat ditemui di dalam

193

kehidupan masyarakat. Ketika seorang istri merasa tidak mendapatkan

haknya dari seorang suami, maka dengan tergesa-gesa ia pergi dari rumah

dan mencari lelaki lain yang dapat menghidupinya selayaknya hak yang

didapatkan seorang istri. Secara hukum dan agama tidak ada kata syah

yang menyatakan putusnya hubungan suami-istri di antara keduanya.

Seorang suami pada masa sekarangpun juga masih dapat ditemui, bahwa

seorang suami tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang

kepala keluarga. Kewajiban utama yang seharusnya ia lakukan, yaitu

menafkahi keluarga tidak dapat dilakukan dengan baik dan

bertanggungjawab. Memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan

adalah upaya utama yang wajib dipenuhi oleh seorang kepala keluarga.

Adapun jika dilihat di dalam sebuah masyarakat, ada sebagian

sandang, pangan maupun papan sudah terpenuhi, atau bahkan ada yang

sama sekali tidak terpenuhi oleh seorang suami dan dengan terpaksa tugas

ini diambil alih oleh seorang istri. Istri yang menjadi tulang punggung

keluarga, sedangkan suami di rumah mengurusi rumah. Beruntung jika

suami mengurusi rumah dan anak-anaknya, celakalah jika suami di rumah

hanya bermain dengan teman-temannya, nongkrong, bermain judi, minum-

minuman keras, bahkan yang paling parah merencanakan pencurian

dengan teman-temannya ataupun yang sedang marak sekarang ini adalah

kasus pembegalan.

194

C.3 Membina Keluarga Sakinah atau Keluarga Bahagia

Pernikahan yang harmonis merupakan dambaan setiap orang.

Namun, untuk meraihnya diperlukan pemahaman, pengertian, bahkan

pengorbanan dari kedua belah pihak. Hal ini perlu dilakukan sebelum,

selama, dan setelah pernikahan berlangsung. Apabila hal itu tidak

terpenuhi, maka dapat dipastikan akan menimbulkan permasalahan dalam

perjalanan pernikahan tersebut. Secara umum, fokus masalah dalam

pernikahan ditimbulkan oleh komunikasi yang kurang baik dan terbatas

antar pasangan. Perilaku dari pasangan dalam menunjukkan perasaan yang

berbeda dapat menjadi penyebab terjadinya masalah dalam pernikahan

(Fatchiah, 2009: 29).

Masalah pernikahan memang sangat beragam penyebabnya, antara

lain yang marak terjadi adalah karena kawin muda, poligami, hubungan

dengan mertua, orang tua tidak setuju, perjodohan, bahkan ketidakpuasan

terhadap hubungan suami istri menjadi penyebabnya. Penelitian ini akan

membahas perihal membina keluarga sakinah atau keluarga bahagia.

Membina dalam hal ini adalah segala upaya pengelolaan atau

penanganan berupa merintis, meletakkan dasar, melatih, membiasakan,

memelihara, mencegah, mengawasi, menyantuni, mengarahkan serta

mengembangkan kemampuan suami-istri untuk mewujudkan keluarga

sakinah dengan mengadakan dan menggunakan segala daya, upaya dan

dana yang dimiliki (Depag RI, 2006: 4).

195

Adapun keluarga ialah masyarakat terkecil sekurang-kurangnya

terdiri dari pasangan suami-istri sebagai sumber intinya berikut anak-anak

yang lahir dari mereka. Jadi, setidaknya keluarga adalah pasangan suami-

istri, baik mempunyai anak atau tidak mempunyai anak (Depag RI, 2006:

4). Sri Lestari (2013: 6) menyatakan bahwa keluarga adalah rumah tangga

yang memiliki hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan

terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi

ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu jaringan.

Keluarga yang dimaksud dalam hal ini adalah suami-istri yang

terbentuk melalui perkawinan. Maka hidup bersama seorang pria dengan

seorang wanita tidak dapat dinamakan keluarga jika keduanya tidak diikat

oleh perkawinan.

Sakinah adalah rasa tentram, aman, dan damai. Seorang akan

merasakan sakinah apabila terpenuhi unsur-unsur hajat hidup spiritual dan

material secara layak dan seimbang. Hajat hidup yang diinginkan dalam

kehidupan duniawiyah seseorang meliputi: kesehatan, sandang, pangan,

papan, peguyuban, perlindungan hak asasi dan sebagainya (Depag RI,

2006: 5).

Seseorang yang sakinah hidupnya adalah orang yang terpelihara

kesehatannya, cukup sandang, pangan dan papan, diterima dalam

pergaulan masyarakat yang beradab, serta hak-hak asasinya terlindungi

oleh norma agama, norma hukum, dan norma susila.

196

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan pengertian keluarga

sakinah adalah keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu

memenuhi hajat hidup spiritual dan material secara layak dan seimbang,

diliputi suasana kasih sayang antara anggota keluarga dan lingkungannya

dengan selaras, serasi, serta mampu mengamalkan, menghayati dan

memperdalam nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia (Depag RI,

2006: 5).

Adapun keluarga sakinah dalam pandangan agama Kristen dikenal

sebagai keluarga bahagia. Keluarga bahagia dalam pandangan Kristen

yaitu keluarga yang sesuai dengan prinsip al-Kitab. Setidaknya keluarga

bahagia sesuai dengan prinsip al-Kitab memiliki beberapa prinsip yang

mencakup tentang, kasih, penerapan kasih dalam hidup, hierarki dalam

keluarga Kristen, penyesuaian dalam pernikahan, peringatan kepada suami

dan istri, harga pernikahan harmonis, komitmen dalam pernikahan, visi

dan misi keluarga Kristen, dan menutupi dosa.

a. Membina Keluarga Bahagia Sesuai Prinsip al-Kitab

Salah satu cara membina keluarga bahagia dalam keluarga Kristen

adalah adanya komitmen dalam pernikahan, dengan adanya komitmen di

antara suami dan istri maka ikatan dalam pernikahannya akan semakin

kuat dan sama-sama dihargai komitmen bersama tersebut.

Salah satu ciri penting yang membedakan antara pernikahan yang

berhasil dan berbahagia dengan pernikahan gagal yang ditandai

penderitaan pada anggota-anggota keluarga adalah adanya komitmen yang

197

tinggi pada suami istri yang memiliki pernikahan yang berhasil (Jonathan,

2013: 227). Komitmen adalah perjanjian atau keterikatan untuk melakukan

sesuatu (KBBI, 2007: 584). Keterikatan komitmen tersebut akan menuntut

suatu tekad yang kuat demi mewujudkan suatu hal yang ingin dicapai dari

komitmen tersebut.

Suatu pernikahan yang berhasil, sepasang suami istri memiliki

komitmen yang tinggi demi keberhasilan pernikahan mereka. Mereka

mungkin sadar atau tidak sadar akan adanya komitmen dalam diri mereka

(mungkin juga tidak tahu akan istilah ini), tetapi sikap, tingkah laku, dan

pandangan mereka tentang pernikahan mereka menunjukkan adanya

komitmen yang tinggi terhadap keberhasilan pernikahan dan keluarga

mereka (Jonathan, 2013: 228).

Di antara komitmen dalam pernikahan menurut pandangan

Jonathan adalah adanya tekad kuat sebagaimana hal ini dijelaskan (2013:

228-249), yaitu:

i. “Hanya membahagiakan dan berbahagia dengan pasangan. Suami

adalah „seorang pria satu wanita‟ (atau:Istri adalah „seorang

wanita satu pria‟). Tidak SALAH PILIH.

Komitmen pertama ini menyatakan adanya tekad kuat dalam hati

seseorang tentang prioritas hubungan dengan pasangannya. Seorang suami

atau istri bertekad hanya membahagiakan pasangannya. Hal ini tentu ada

hubungan lain, yaitu seperti membahagiakan orang tua dan anak-anak,

198

tetapi dalam hal prioritas tetap tidak sama dengan membahagiakan

pasangannya (Jonathan, 2013: 228).

Jonathan melanjutkan bahwa hubungan ini adalah hubungan

ekslusif yang tidak dibagikan dengan pria atau wanita lain. Termasuk

kebahagiaan seksual, kemesraan, keterbukaan, prioritas tinggi, dan banyak

hal lain yang hanya diperuntukkan bagi suami atau istri.

Sudah sepantasnya untuk membentuk keluarga bahagia, harus ada

rasa sebagai kewajiban dan tanggungjawab untuk membahagiakan

pasangannya. Kata saling harus ada dari keduanya, percuma jika hanya

suami atau istri saja yang memiliki rasa kewajiban dan tanggungjawab

untuk membahagiakan pasangannya. Tentu hal ini tidak dapat membentuk

keluarga bahagia.

ii. Tidak ada kata CERAI atau PISAH dalam kamus pikiran masing-

masing.

Bab 8 dari surat (Maleakhi [2]: 16), bahwa Allah kita (orang

Kristen) adalah Allah yang membenci perceraian. Sebagai pasangan suami

istri Kristen tidak membiasakan diri menggunakan kata cerai dalam

pertengkaran untuk memberi ultimatum kepada pasangannya. Memang „si

penuduh dan pembinasa manusia‟ (baca: Iblis maupun setan) akan

menggoda untuk melanggar kehendak Allah dengan membiasakan pikiran

cerai, terutama apabila pasangan suami istri ada dalam konflik yang

tampaknya tidak dapat diselesaikan (Jonathan, 2013: 240).

199

Kata cerai bukanlah jalan untuk menyelesaikan segala

permasalahan yang dialami dalam rumah tangga. Kata cerai justru adalah

kata penghancur dalam sebuah hubungan. Kata cerai bukanlah juru

selamat dalam sebuah rumah tangga.Penting bagi seorang suami maupun

istri untuk tidak membiasakan diri megeluarkan kata cerai dalam setiap

menghadapi masalah. Semua permasalahan dapat diselesaikan dengan

tidak mengeluaran kata cerai. Sungguh menjadi larangan bagi setiap istri

maupun suami mengeluarkan kata cerai, jika ingin membentuk pernikahan

atau keluarga bahagia.

iii. Bersedia melakukan segalanya demi keberhasilan pernikahan.

Komitmen ketiga ini dapat dijelaskan bahwa seorang pasangan jika

bersedia membayar harga seberapapun mahalnya demi keberhasilan

pernikahannya – walaupun tentu tidak sampai berdosa atau melanggar

kehendak Allah. Pernikahan dikatakan tidak kokoh, suami dan istri, atau

salah satunya, sudah tidak bersedia membayar harga untuk mendapatkan

pernikahan yang harmonis (Jonathan, 2013: 247).

Komitmen ketiga ini dapat diartikan bahwa seorang suami dan istri

bersedia berkorban demi keharmonisan pernikahannya. Seorang suami

bersedia berkorban untuk bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan

sandang, pangan, dan papan bagi keluarganya, meluangkan waktu di sela-

sela kesibukannya walau hanya sekedar untuk menemani istri berbelanja

atau hal lainnya, meluangkan waktu untuk menemani anak-anaknya

bermain. Bersedia meluangkan waktu untuk berlibur bersama keluarganya

200

di akhir pekan dan pengorbanan-pengorbanan kecil lainnya yang dapat

membangun kerharmonisan pernikahannya.

Seorang istri rela berkorban untuk menyiapkan dan menemani

suaminya makan malam walaupun dirinya sudah makan. Menyiapkan air

hangat untuk mandi suaminya ketika pulang larut malam. Bersedia

menyiapkan sarapan walaupun hanya sekedar kopi atau teh hangat dengan

roti untuk menyambut dan memberikan sedikit semangat pada suaminya

untuk beraktivitas. Bukan hal benar jika semua itu disiapkan oleh

pembantunya, jika hal demikian terjadi maka keharmonisan yang ada di

dalam sebuah pernikahan tidak akan berlangsung lama.

iv. Tidak mengizinkan ORANG LAIN atau SITUASI atau MATERI

mengurangi keberhasilan pernikahan.

Hubungan yang harmonis dalam pernikahan juga ditandai dengan

usaha suami istri untuk menjaga dan melindungi pernikahan mereka.

Mereka tidak mengizinkan apapun dan siapapun, termasuk uang, karier,

orang tua, saudara, boss dan perusahaan, untuk merusak pernikahan

mereka (Jonathan, 2013: 249).

Jonathan (2013: 252) menjelaskan lebih lanjut, bahwa tindakan-

tindakan tegas harus diambil bila ada orang atau situasi yang mengganggu

untuk menjaga keutuhan pernikahan. Apabila tidak, pengaruh buruknya

mungkin dapat merusak atau melenyapkan kebahagiaan keluarga. Bahkan,

adanya uang yang berlimpah atau habisnya persediaan uang tidak

seharusnya diizinkan menghancurkan sebuah pernikahan.

201

Keempat macam komitmen di atas adalah sedikit contoh komitmen

besar yang dapat menjaga keharmonisan sebuah pernikahan. Banyak

komitmen yang dapat dibuat demi membentuk dan mewujudkan

pernikahan yang bahagia sesuai dengan prinsip al-Kitab.

b. Membina Keluarga Sakinah

Konsep keluarga bahagia dalam pernikahan agama Kristen dapat

disetarakan dengan konsep keluarga sakinah dalam pernikahan agama

Islam. Adapun keluarga sakinah dalam pandangan Islam menurut Riyadi

(2013: 104), memiliki tiga ciri atau tiga unsur yang menjadi bangunan

kehidupan sebagai tujuan perkawinan dalam Islam seperti yang termaktub

dalam al-Qur‟an surat ar-Rum ayat 21, yaitu:

Wa min ayatihi an khalaqa laku’m-min anfusikum azwa>ja>’l-li taskunu> ilaiha> wa ja‘ala bai>naku’m-mawaddatan wa rahmatan inna fi> dzalika li ayatin li qaumin yatafakkaru>n (ar-ru>m: 21).

21. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia

menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya

kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-

Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang

demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang

berfikir (Qs. Ar-Ru>m, [30]: 21).

Pertama, litaskunu> illaiha> yang berarti sakinah, ketenangan dan

ketenteraman, saling cinta dan kasih sayang, supaya suami senang dan

tenteram. Kewajiban istri berusaha menenangkan suami.

Kedua, mawadah atau saling mencintai. Cinta bersifat subjektif

yaitu untuk kepentingan orang yang mencintai.

202

Ketiga, rahmat yaitu kasih sayang yang bersifat objektif, yaitu

sayang yang menjadi landasan bagi cinta. Cinta semakin lama semakin

kuat dan mantap. Cinta hanya mampu bertahan pada saat perkawinan

masih baru dan muda, sedangkan kasih sayang yang mendominan cinta.

Ciri keluarga sakinah menurut Riyadi (2013: 105), yaitu:

c. Kehidupan beragama dalam keluarga.

d. Mempunyai waktu bersama.

e. Mempunyai pola komunikasi yang baik bagi sesama anggota

keluarga.

f. Saling menghargai satu dengan yang lain.

g. Masing-masing merasa terikat dalam ikatan keluarga sebagai

kelompok.

h. Bila terjadi suatu masalah dalam keluarga mampu menyelesaikan

secara positif dan konstruktif.

Berdasarkan poin-poin di atas dapat dijelaskan bahwa dari ciri-ciri

keluarga sakinah menurut Riyadi tersebut, dapat dijadikan sebagai langkah

atau cara mewujudkan keluarga sakinah. Bahwa keluarga sakinah haruslah

dalam sebuah keluarga dapat diwujudkan sebagai sebuah kehidupan yang

beragama. Sebagaimana pedoman hidup seseorang adalah agamanya

sendiri.

Waktu untuk bersama keluarga menjadi hal penting dalam

mewujudkan keluarga sakinah, dari waktu bersama akan terwujudkan rasa

bahagia, rasa aman, rasa memiliki keluarga. Berawal dari kesediaan

203

meluangkan waktu bersama maka akan terwujud komunikasi yang baik

antara anggota. Berawal dari komunikasi tersebut, maka setiap ada

permasalahan yang dialami keluarga atau anggotanya maka akan dapat

diselesaikan secara positif dan konstruktif.

Adapun rasa terikat dalam diri masing-masing adalah terikat dalam

ikatan keluarga sebagai kelompok, maka bermula dari perasaan tersebut

akan mendorong pada diri setiap masing-masing anggota keluarga untuk

dapat menghargai satu sama lain.

Hal-hal di atas merupakan sedikit cara dari sekian banyak cara

dalam mewujudkan keluarga sakinah. Pada intinya dalam membina

keluarga sakinah adalah menjadi peran dan tanggungjawab semua pihak

anggota keluarga, baik suami, istri, dan anak-anak, maupun anggota

keluarga yang berasal dari pihak suami ataupun pihak istri. Karena

keluarga sakinah adalah keluarga yang terwujud rasa aman, nyaman,

tenteram, bahagia serta tercukupi segala kebutuhan yang ada di dalam

keluarga utamanya kebutuhan sandang, pangan, dan papan.

Pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam

hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan

keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Berasal dari pergaulan yang

baik antara istri dengan suaminya, rasa kasih mengasihi, maka akan

perpindahlah kebaikan tersebut kepada semua keluarga dari kedua belah

pihak. Sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan tolong-

menolong sesamanya dalam menjalankan kebaikkan dan mencegah segala

204

kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari

kebinasaan hawa nafsunya (Daryono, 2015: 2).

Kaitannya dengan permasalahan yang ada di dalam novel bahwa

dalam pernikahan Manshur Bek dengan Salma tidak terwujud sebagai

pernikahan bahagia sesuai dengan prinsip al-Kitab dalam pandangan

Kristen maupun sebagai keluarga sakinah dalam pandangan Islam.

Pernikahan Manshur Bek dengan Salma tidak ada kebahagiaan, tidak ada

rasa nyaman, aman dan tenteram dalam diri Salma karena pernikahannya.

Tidak ada komitmen yang mengikat keduanya, juga tidak ada kata „saling‟

dalam diri Manshur Bek. Salma telah berusaha menjadi seorang istri yang

selayaknya melayani suami dengan baik, justru ia tidak mendapatkan

perlakuan yang selayaknya sebagai seorang istri dari suaminya, Manshur

Bek. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:

٩٩٩١:٧٤

Ma>ta Fa>risu Kara>mahu wa ‘a>naqat a’l-abadi>yyah ru>chuhu wa istarja‘a’t-tura>bu jasaduhu, wa istauli> Manshuru bika ‘ala> amwa>lihi wa zhallat ibnatuhu asi>ratan ta‘a>satha> tara>l-chayah ma’sa>tan ha>’ilatan tumatstsiluha> incha>fun amma>ma ‘aini>na>.

Faris Affandy Karamah telah meninggal dunia, ruhnya berada

dalam pelukan keabadian, dan jasad kembali ke bumi tempat ia

berasal. Manshur Bek Ghalib mengambil alih seluruh harta

bendanya, dan Salma menjadi seorang tawanan dalam hidupnya –

hidup yang dipenuhi oleh duka cita dan nestapa.

Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa setelah

kematian Faris Affandy Karamah, Manshur Bek mengambil alih semua

205

harta kekayaan Faris Affandy Karamah. Adapun Salma tetap hidup

menderita. Hidupnya dipenuhi dengan duka cita dan nestapa. Kematian

Faris Affandy tidak menjadikan Manshur Bek lebih mengasihi dan

menyayangi Salma, namun jutsru semakin menelantarkan Salma.

٩٩٩١:٨٤

Ka>nal-qadha>’u qad chukima ala> an asi>ra ala> ‘uquba>til-chaya>h mutsqalatan bil-quyu>di wa bi’s-sala>sili.

Nasib telah menggariskan bahwa aku harus berjalan di lorong

kehidupan yang gelap dan dibebani belenggu.

Kutipan di atas menjelaskan bahwa setelah menikah dengan

Manshur Bek, hidup Salma bagaikan berjalan di lorong yang gelap dan

dibebani belenggu. Maksudnya bahwa hidup Salma setelah menikah

dengan Manshur Bek tidak menjadi lebih bahagia dibandingkan dengan

kehidupan sebelumnya. Salma sudah tidak dapat merasa ada kebahagiaan

dalam kehidupannya, karena menikah dengan Manshur Bek adalah

belenggu yang tidak dapat dilepaskan kecuali dengan kematian. Bukti-

bukti lainnya yang dapat memperkuat hal ini yaitu dalam kutipan berikut:

٩٩٩١:٨٤

La> aqdiru an aqu>la kulla syai’in, li annal-lisa>nu’l-ladzi> akhrasathul-auja>‘u la> yatakallamu.

Aku tidak bisa, sebab lidahku telah menjadi kelu oleh penderitaan

yang membuatku tak dapat berbicara.

206

٩٩٩١:٨٧

Wala>kinna’sy-syuku>ka tukha>miruhu wa’zh-zhunu>na tatala>‘abu bi ‘afka>rihi, wa qad batstsa ‘aliyyil-‘uyu>nu li taraqqibani> wa au‘aza ila> khadamihi li yatajassu> charaka>ti> hatta> shirtu asy‘uru bi anna lil-manzili’l-ladzi askunuhu wa’th-thariqa>ti’l-lati> asi>ru ‘alaiha> nawa>zhirun tachduqu biy wa asha>bi‘un tusyi>ru ilayya wa a>dza>nun tasma‘u hamsa>n afka>riya>n.

...Tetapi dia mulai curiga, ia telah memerintahkan seluruh mata-

mata memperhatikanku dengan seksama. Aku merasa merasa

rumah yang kutempati dan lorong yang aku lewati, semuanya telah

dihuni oleh mata-mata yang mengawasiku. Jari-jarinya menunjuk

padaku, dan telinganya mendengar bisikan dalam pikiranku.

Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Salma tidak

merasa aman meskipun di rumahnya sendiri. Kehidupannya bersama

Manshur Bek masih saja dibayang-bayangi ketakutan kepada Pendeta

Ghalib. Kemanapun gerak Salma selalu diawasi oleh mata-mata Pendeta

Ghalib yang ditugaskan untuk tetap menjaga dan mengawasi Salma

sebagai tawanannya. Semua hal yang dilakukan Pendeta Ghalib membuat

segala penderitaan yang dialami Salma tidak lagi dapat diungkapkan

dengan kata-kata.

٩٩٩١:٩٩

Sa’a‘u>dul-a>na farchatan ila>l-kahfil-muzhlimi haitsu tatara>kadhul-asyba>chul-mukhi>fah.

Sekarang aku akan kembali dengan rasa bahagia ke guaku yang

gelap, di mana hantu-hantu yang menyeramkan tinggal di

dalamnya.

207

Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa tempat tinggal

Salma tidak dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi dirinya.

٩٩٩١:٩٥٩

Ka>na thifluha> qad ja>’a li ya’khudzuha> wa yanqadzaha> min mazha>limi zaujiha> wa qasa>watihi.

Sepertinya anak itu datang untuk mengambil ibunya dan

menyelamatkannya dari kezaliman dan kekejaman suaminya.

Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Salma tidak

mendapatkan perlakuan yang baik dari suaminya. Ia justru mendapatkan

kezaliman dan kekejaman dari seorang suami.

Semua kewajiban-kewajiban sebagai seorang istri telah ditunaikan

oleh Salma, tapi Salma justru tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya

ia dapatkan. Salma justru ditelantarkan sebagai seorang istri yang baik

oleh Manshur Bek. Kebaikan Salma tidak ada artinya di mata Manshur

Bek karena Salma adalah seorang perempuan mandul. Manshur Bek

menganggap bahwa Salma adalah perempuan yang penuh aib karena ia

tidak dapat memberikan keturunan bagi Manshur Bek. Hal ini dapat dilihat

dari kutipan berikut:

٩٩٩١:٩٠

208

Anna’r-rajulul-ma>di> yanzhuru ila> zaujatihil-‘a>qiri bil-‘aini’l-lati> yara> biha>l-inticharal-bathi>’u fayamqutuha> wa yahjuruha> wa yathlubu chatafaha> ka annaha> ‘aduwwun ghada>run yuri>dul-fatka bihi. Wa Manshuru Bika Gha>libun ka>na ma>diya>n ka>’t-turrabi wa qa>siya>n ka>l-fu>la>dzi wa tha>ma‘a>n ka>l-maqbarah, wa ka>nat raghbatuhu bi ibnin yaritsu ismahu wa su’dadihi takrahuhu bi Salma> a’l-miski>nah wa tachulu macha>sinaha> fi> ‘ainaihi ila> ‘uyu>bi jahanamiyatin.

Seorang laki-laki yang gila harta akan memandang istri yang tidak

memberikan keturunan sebagai seorang musuh. Dia akan

membenci dan meninggalkannya bahkan berharap kematian

secepat mungkin menjemput sang istri. Manshur Bek Ghalib

termasuk lelaki semacam itu, keras seperti baja, dan rakus bagaikan

kuburan. Keinginan untuk memiliki putra yang akan mewarisi

namanya, membuat dia membenci Salma, tak peduli betapa lembut

dan cantiknya Salma, di mata Manshur Bek Ghalib ia adalah

wanita yang penuh aib.

Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Manshur Bek

adalah orang yang gila harta. Ia adalah orang yang keras seperti baja, dan

rakus seperti kuburan. Ia menganggap Salma sebagai seorang musuh

karena Salma tidak dapat memberikan keturunan bagi Manshur Bek.

Sekalipun Salma adalah seorang istri yang penuh bakti kepada suaminya,

tetap saja di mata Manshur Bek Salma adalah wanita yang penuh dengan

aib karena ia tidak dapat memberikan putra bagi Manshur Bek.

Pada masa kini, kemandulan menjadi problem yang dapat

menjadikan rumit permasalahan dalam sebuah rumah tangga. Bahkan

menjadi „momok‟ dalam pernikahan. Jika tidak dapat mengatasi

permasalahan ini maka jalan cerai adalah jalan yang tidak sedikit yang

dipilih sebagai jalan terakhir. Karena orang berfikir bahwa tujuan utama

menikah adalah memiliki keturunan yang dapat mewarisi namannya.

Seperti yang ada di dalam pikiran Manshur Bek. Namun jalan cerai

209

bukanlah jalan terbaik bagi permasalahan ini. Zaman sekarang ini

melakukan tes kesehatan seksualitas bagi para calon pengantin dianjurkan

oleh para dokter maupun psikolog, hal ini menjadikan salah satu solusi

untuk mengurangi angka perceraian yang disebabkan karena kemandulan

ataupun yang disebabkan karena seksualitas. Tes seksualitas juga akan

menjadi salah satu jalan dalam membentuk dan mewujudan keluarga

bahagia atau keluarga sakinah, meskipun hal tersebut pengaruhnya tidak

dapat dirasakan secara langsung.

Berdasarkan pembahasan membina keluarga sakinah atau keluarga

bahagia dari dua sudut pandang agama yang berbeda dapat ditarik

kesimpulan, agama Kristen mengajarkan bahwa yang diidamkan dalam

sebuah pernikahan adalah terbentukanya keluarga bahagia sesuai dengan

prinsip-prinsip al-Kitab. Keluarga yang dilimpahi berkah oleh Tuhan dan

menjiwai sifat-sifat Kristus di dalam kerohanian keluarganya. Salah satu

contoh atau cara untuk mencapai keluarga yang harmonis dan bahagia

adalah dengan adanya komitmen yang mengikat hubungan suami istri

dalam pernikahan satu untuk selamanya. Seperti yang telah diajaran gereja

pada jemaatnya sebelum menikah, bahwa di dalam agama Krsiten tidak

ada perceraian. Selamanya gereja tidak pernah mengesahkan dan

mengakui sebuah perceraian.

Di dalam agama Kristen ada pembinaan rutin yang diadakan oleh

gereja bagi jemaat yang akan menikah. Pembinaan tersebut dilakukan

untuk mencapai dan mewujudkan pernikahan yang bahagia sesuai prinsip

210

al-Kitab. Putra-putri jemaat yang akan menikah harus dibina hingga gereja

yakin untuk melakukan pemberkatan pada kedua calon mempelai.

Adapun Islam mengajarkan bahwa tujuan utama menikah adalah

membentuk keluarga sakinah. Di mana tercipta kebahagiaan dan keluarga

yang beragama dalam pernikahannya. Adapun setiap doa yang dipanjatkan

kepada pengantin adalah terciptanya kelurga sakinah, mawadah, wa

rahmah. Pada intinya, ketika telah tercipta sakinah dalam sebuah keluarga

tentu keluarga tersebut mawadah wa rahmah. Ketika sebuah keluarga

litaskunu> illaiha> maka ketenangan, ketenteraman, saling cinta dan kasih

sayang, supaya suami senang dan tenteram tentu akan melingkupi sebuah

keluarga. Hal-hal tersebutlah yang mendorong mawadah wa rahmah

mengiringi kehidupan keluarga. Seiring pernikahan itu melangkah, ketika

sakinah dapat terwujud, maka rahmah yang menjadi landasan cinta

semakin lama semakin kuat dan mantap. Karena sejatinya cinta atau saling

cinta – mawadah – hanya bertahan sebentar, sedangkan kasih sayang atau

rahmah adalah perasaan yang mampu bertahan lama. Dapat dikatakan

bahwa kasih sayang inilah yang menjadi energi dari cinta untuk selalu

memuwujudkan sakinah.

Secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk membina

keluarga bahagia menjadi tanggungjawab dari semua pihak keluarga.

Tanggungjawab ini tidak dapat dibebankan dan disandarkan kepada salah

satu pihak saja. Bukan menjadi tanggungjawab seorang suami saja untuk

mewujudkan keluarga bahagia, hanya karena mengingat bahwa suami

211

adalah kepala keluarga yang memiliki tanggungjawab penuh terhadap

keluarganya. Bukan pula menjadi tanggungjawab istri saja yang lebih

memiliki banyak waktu luang dibandingkan suaminya.

Mewujudkan keluarga bahagia menjadi tanggungjawab semua

anggota keluarga. Sejatinya keluarga adalah komponen yang setidak-

tidaknya terdiri dari suami dan istri, maka untuk mewujudkan keluarga

bahagia dapat diwujudkan melalui interaksi-interaksi yang baik minimal

dimulai dari seorang suami dengan istri, jika sudah dapat terlaksana

dengan baik maka interaksi antara anggota keluarga satu dengan yang

lainnya dapat terwujud dengan baik juga. Aspek yang menjadi hal penting

dalam keluarga sakinah adalah harus dapat mewujudkan hubungan yang

baik di dalam keluarga baik itu hubungan suami istri, hubungan ayah

dengan anak-anaknya, ibu dengan anak-anaknya, dan begitu juga

sebaliknya hubungan anak-anak dengan orangtuanya. Adapun jika hal

tersebut dapat dilakukan maka setiap permasalahan yang ada di dalam

keluarga dapat ditangani dan diselesaikan dengan baik. Keluarga dapat

diterima oleh masyarakat tempat tinggalnya karena bisa hidup bahagia,

aman dan tenteram tanpa menganggu masyarakat yang lainnya.