resepsi puasa dalail al qur’an dalam pendidikan...

139
RESEPSI PUASA DALAIL AL QUR’AN DALAM PENDIDIKAN AKHLAK Studi Living Qur’an di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an (BUQ) Gading, Duren, Tengaran, Kabupaten Semarang SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Al- Qur’an Dan Tafsir (S.Ag) Oleh: AKMILATUL HAQ AL MAULIDA NIM. 53020160020 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2020

Upload: others

Post on 10-Feb-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • RESEPSI PUASA DALAIL AL QUR’AN DALAM

    PENDIDIKAN AKHLAK

    Studi Living Qur’an di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an (BUQ)

    Gading, Duren, Tengaran, Kabupaten Semarang

    SKRIPSI

    Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Al-

    Qur’an Dan Tafsir (S.Ag)

    Oleh:

    AKMILATUL HAQ AL MAULIDA

    NIM. 53020160020

    PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

    FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

    2020

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

  • vi

    MOTTO DAN PERSEMBAHAN

    MOTTO

    ْمَُمْنُتَعَلََّمُاْلقُْرأََنَُوَُعلََّمهَُُخْيُركُُ

    PERSEMBAHAN

    Skripsi sederhana ini saya persembahkan untuk orangtua

    saya, pendamping hidup saya, seluruh keluarga dan teman-

    teman, guru-guru saya, juga para dosen yang selama

    perkuliahan ini membimbing dan mendidik saya.

  • vii

    ABSTRAK

    Almaulida, Akmilatul Haq, Resepsi Puasa Dalail Al Qur’an Dalam

    Pendidikan Akhlak (Studi Living Qur’an di Pondok Pesantren Bustanu

    Usysyaqil Qur’an (BUQ) Gading, Duren, Tengaran, Kabupaten Semarang)

    Dr. M. Gufron, M.Ag.

    Keyword: Studi Living Qur’an, Puasa Dalail Al Qur’an, Pendidikan

    Akhlak.

    Penelitian skripsi ini membahas tentang fenomena living Qur’an,

    yaitu resepsi Puasa Dalail Al Qur’an dalam Pendidikan Akhlak santri di

    pondok pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an, Gading, Duren, Kec.

    Tengaran, Kab. Semarang. Kegiatan ini sebagai salah satu wujud tarbiyah

    dari pengasuh kepada santri di pondok pesantren BUQ.

    Fokus pembahasan dari penelitian skripsi ini, adalah terkait

    bagaimana kegiatan Puasa Dalail Al Qur’an diresepsi dalam pendidikan

    akhlak di pondok pesantren BUQ. Jenis penelitian ini adalah field research

    (penelitian lapangan) dengan metode kualitatif deskriptif. Dalam proses

    pengumpulan data peneliti mengunakan tiga metode yaitu observasi,

    interview dan dokumentasi, sehingga data yang diperoleh teruji

    kevalidannya.

    Seseorang yang hendak melaksanakan puasa Dalail Al Qur’an,

    terlebih dahulu harus mendapat ijazah dari seorang Mu’jiz. Setelah itu dia

    harus melaksanakan puasa nyirih selama tujuh hari disertai wirid Qala Musa

    setiap ba’da sholat al-maktubah. Setelah rangkaian itu selesai, barulah

    kemudian bisa melaksanakan puasa selama satu tahun penuh dengan wirid

    bacaan Al Qur’an satu juz setiap harinya, kecuali pada hari-hari yang

    diharamkan untuk berpuasa. Jika puasa ini batal satu hari saja, apapun

    alasannya, maka seorang tersebut harus mengulanginya dari awal.

    Selanjutnya hasil dari penelitian ini antara lain yang pertama adalah

    makna yang terdapat di dalam puasa Dalail Al Qur’an hakikatnya mendidik

    pribadi secara jasmani dan rohani menjadi pribadi muhsin, dengan

    menjalani puasa dan pembacaan Al Qur’an secara istiqomah atau konsisten

    sebagai bentuk perjalanan spiritual agar selalu dekat dengan yang Maha

    Kuasa sebaik dan sesungguh mungkin. Yang kedua, resepsi puasa Dalail Al

    Qur’an terhadap pendidikan akhlak yang terjadi di pondok pesantren BUQ

    Gading terbagi dalam beberapa hal, antara lain: menguatkan jiwa, mendidik

    kemauan, menyehatkan badan, mengenal lebih nilai kenikmatan,

    menumbuhkan rasa simpati.

  • viii

    PEDOMAN TRANSLITERASI

    Pedoman transliterasi huruf (pengalihan huruf) dari huruf arab ke huruf latin

    yang digunakan adalah hasil keputusan bersama Menteri Agama RI dan Menteri

    Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158 Tahun 1987 atau Nomor 0543 b/u

    1987, tanggal 22 Januari 1988, dengan melakukan sedikit modifikasi untuk

    membedakan adanya kemiripan dalam penulisan.

    A. Penulisan Huruf

    No Huruf Arab Nama Huruf Latin

    Alif Tidak dilambangkan ا 1

    Ba’ B ب 2

    Ta T ت 3

    Sa ṡ ث 4

    Jim J ج 5

    Ha ḥ ح 6

    Kha Kh خ 7

    Dal D د 8

    Zal Ż ذ 9

    Ra R ر 10

    Za Z ز 11

    Sin S س 12

    Syin Sy ش 13

    Syad ṣ ص 14

    Dad ḍ ض 15

    Ta’ ṭ ط 16

    Za ẓ ظ 17

    (ain ‘ (koma terbalik di atas‘ ع 18

    Gain G غ 19

  • ix

    Fa’ F ف 20

    Qaf Q ق 21

    Kaf K ك 22

    Lam L ل 23

    Mim M م 24

    Nun N ن 25

    Wawu W و 26

    Ha’ H ه 27

    (Hamzah ‘ (apostrof ء 28

    Ya’ Y ي 29

    B. Vokal

    ََُ Fathah Ditulis ‘a’

    َُ Kasrah Ditulis ‘i’

    َُُ Dlammah Ditulis ‘u’

    C. Vokal Panjang

    َ + اُُ Fathah+alif Ditulis ā جاهليُة Jāhiliyyah

    َ +ىُ Fathah+alif layyin Ditulis ā تنسُى Tansā

    َ +ْيُ ُ Kasrah+ya’ mati Ditulis ī حكيُم Ḥakīm

    َ +ُوُ Dlammah+wawu

    mati

    Ditulis ū فروض furūḍ

    D. Vokal Rangkap

    ََُ +َيُ Fathah + ya’ mati Ditulis ai بينكُم Bainakum

    +َوُ َُُ Fathah + wawu mati Ditulis au قول Qaul

    E. Huruf Rangkap karena tasydid ُ َ) ) ditulis rangkap :

  • x

    Iddah‘ عد ة Ditulis dd د ُ

    Minna من ُا Ditulis nn نُ

    F. Ta’ Marbuthah:

    1. Bila dimatikan ditulis dengan h :

    Hikmah حكمُة

    Jizyah جزيُة

    (ketentuan ini tidak berlaku untuk kata-kata bahasa Arab yang sudah diserap

    ke dalam bahasa Indonesia)

    2. Bila hidup atau berharakat ditulis t :

    Zakāt al-fitr زكاةُالفطر

    Ḥayāt al-insān حياةُاإلنساُن

    G. Vokal pendek berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof

    (‘) :

    A’antum أأنتم

    تأعد ُ U’iddat

    La’in syakartum لئنُشكرتُم

    H. Kata sandang alif+lam

    Al-qamariyah القرأن Al-Qur’ān

    Al-syamsiyah السماء Al-Samā’

  • xi

    I. Penulisan Kata-kata dalam rangkaian kalimat :

    Ditulis menurut bunyi atau pengucapannya

    żawi al-furūd ذويُالفروض

    Ahl al-sunnah اهلُالسنة

  • xii

    KATA PENGANTAR

    بسم هللا الرحمن الرحيم

    Syukur alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. yang telah melimpahkan

    rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsi

    ini. Shalawat dan salam kami haturkan ke hadirat junjungan Nabi Agung

    Muhammad SAW., keluarga dan sahabat-sahabat beliau. Semoga kita semua

    mendapatkan syafaatnya di dunia dan di akhirat.

    Penulisan skripsi ini sungguh membutuhkan kesungguhan hati, kerja keras,

    kesabaran, serta konsistensi guna menghasilkan penelitian yang baik dan akurat

    sesuai dengan pedoman penulisan karya ilmiah yang berlaku. Skripsi dengan judul

    “RESEPSI PUASA DALAIL AL QUR’AN DALAM PENDIDIKAN

    AKHLAK (Studi Living Qur’an di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil

    Qur’an Gading, Duren, Tengaran, Kabupaten Semarang)” ini dapat

    terselesaikan dengan kelegaan hati karena dapat melengkapi syarat-syarat guna

    mendapatkan gelar sarjana S1 Ilmu Al Qur’an dan Tafsir, sehingga pada

    kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

    1. Prof. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., selaku Rektor IAIN Salatiga.

    2. Dr.Benny Ridwan, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab,

    dan Humaniora IAIN Salatiga.

    3. Ibu Tri Wahyu Hidayati, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Ilmu Al

    Qur’an dan Tafsir.

    4. Bapak Dr. M. Gufron, M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi saya.

    5. Bapak Nuryansah, M.Hum selaku dosen pembimbing akademik.

    6. Seluruh dosen dan karyawan IAIN Salatiga.

    7. Abah M.A Dalhar Amsyah dan Umi Mu’minatuz Zahra’ tersayang yang

    doanya tiada pernah berhenti untuk kebaikan saya, dan semoga Allah

    limpahkan berlipat-lipat ganda keberkahan atas segala kebaikan Abah

    dan Umi kepada saya.

    8. Suami tercinta Kak M. Afnan Abdillah yang menyayangi dan menerima

    segala kekurangan saya.

  • xiii

    9. Semua saudara kandung saya, kakak-kakak dan adik-adik tersayang.

    10. Seluruh kerabat dari keluarga Demak ataupun keluarga Tengaran.

    11. Abah KH. Muhibbin, AH dan Umi Hj. Nadziroh, AH beserta keluarga

    di Pondok Pesantren al Badriyyah Mranggen.

    12. Bapak KH. Mujahidin, AH beserta keluarga di Pondok Pesantren al

    Wahidiyyah Weding.

    13. Ibu Nyai Hj. Lathifah beserta keluarga di Pondok Pesantren Al Falah

    Salatiga.

    14. Bapak K. Badaruddin, AH beserta keluarga di Pondok Pesantren Darul

    Falah Salatiga.

    15. Seluruh guru-guru saya dari TK, MI, MTs, dan MA.

    16. Konco-konco dolan (mbak Ana, Sindy, Uul, Shofi, Dheni, Lutni, Fajar,

    Rijal, Ghufron, Afif, dan alm. mas Aris) terimakasih atas segala kisah

    dan kasih yang telah kalian berikan selama ini.

    17. Teman-teman seperjuangan IAT 2016.

    18. Teman-teman KKN dan teman-teman mahasiswa IAIN Salatiga.

    19. Dan tak lupa semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu

    yang telah membantu terselesaikannya skrispsi ini.

    20. Terima kasih juga untuk seluruh pembaca, semoga tulisan saya ini

    senantiasa memberi manfaat dan berguna.

    Teriring do’a, semoga segala kebaikan semua pihak yang membantu penulis

    dalam penulisan skripsi ini dibalas dengan kebaikan pula serta dilipatgandakan

    pahalanya oleh Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh

    dari kesempurnaan. Karenanya, saran dan kritik yang membangun sangat

    diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

    Salatiga, 27 Juli 2020

    Penulis,

    Akmilatul Haq Al Maulida

    NIM. 53020160020

  • xiv

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

    LEMBAR BERLOGO IAIN SALATIGA ................................................... ii

    HALAMAN KEASLIAN TULISAN ............................................................ iii

    HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... iv

    HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN .............................................. v

    HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .......................................... vi

    ABSTRAK ...................................................................................................... vii

    HALAMAN PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................. viii

    KATA PENGANTAR .................................................................................... xii

    DAFTAR ISI ................................................................................................... xiv

    BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1

    A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

    B. Rumusan Masalah..................................................................... 7

    C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 7

    D. Manfaat Penelitian .................................................................... 8

    E. Kajian Pustaka .......................................................................... 8

    F. Penegasan Istilah ....................................................................... 12

    G. Metodologi Penelitian .............................................................. 16

    H. Sistematika Penulisan .............................................................. 20

    BAB II LANDASAN TEORI ................................................................... 22

    A. Living Qur’an ........................................................................... 22

    B. Resepsi ...................................................................................... 24

    C. Puasa ......................................................................................... 26

    1. Dasar Pelaksanaan Puasa ...................................................... 31

    2. Tujuan Puasa ........................................................................ 32

  • xv

    3. Manfaat Puasa ...................................................................... 36

    D. Dalail Al Qur’an ...................................................................... 37

    E. Pendidikan Akhlak ................................................................... 48

    BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN ........................ 52

    A. Letak Geografis ........................................................................ 52

    B. Sejarah Berdirinya .................................................................... 53

    C. Sistem Pondok Pesantren.......................................................... 61

    D. Struktur Organisasi ................................................................... 70

    E. Puasa Dalail Al Qur’an di Bustanu Usysyaqil Qur’an ............. 71

    BAB IV ANALISIS DATA ........................................................................ 86

    A. Nilai Dalam Puasa Dalail Al Qur’an ........................................ 86

    B. Resepsi Puasa Dalail Al Qur’an dalam Pendidikan Akhlak ..... 91

    BAB V PENUTUP .................................................................................... 96

    A. Kesimpulan ............................................................................... 96

    B. Saran ......................................................................................... 97

    DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 98

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

    DAFTAR RIWAYAT HIDUP

  • xvi

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Al Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi

    Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril sesuai dengan redaksinya, yang

    memiliki kemukjizatan lafal, yang tertulis dalam mushaf, dimulai dari surah al

    Fatihah sampai pada surah al Nas, dan disampaikan secara mutawatir kepada umat

    Islam, dimana membacanya dinilai sebagai ibadah.1 Al Quran adalah mukjizat

    terakhir dan teragung, memiliki peran yang paling penting dalam melakukan

    ‘amaliyah atau perilaku sehari-hari. Al Qur’an juga memiliki fungsi utama selain

    sebagai 'amaliyah, yaitu sebagai ajaran dan bukti bahwa kerasulan Nabi

    Muhammad SAW memang benar. Al Qur’an menyajikan dan memberikan berbagai

    norma keagamaan, sumber ajaran dan nilai, sebagai petunjuk hidup umat manusia

    untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat kelak. Karena

    sifatnya memberi arah dan jalan, norma-norma tersebut dapat dikatakan dengan

    istilah syariah (jalan yang lurus).2

    Dari awal proses turunnya, Al Qur’an telah dihafal oleh Nabi Muhammad

    SAW selama kurun waktu yang lama, hal ini menunjukkan bahwa menghafal Al

    Qur’an itu ada prosesnya dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar kecuali bagi

    orang-orang pilihan yang diberi anugerah oleh Allah dapat menghafalnya dengan

    waktu yang singkat. Menghafal Al Qur’an banyak dilakukan oleh muslim dan

    1 Wahyudin dan saifullah, Jurnal sosial Humaniora, Vol.6, No.1, Juni 2013, hlm.22. 2 H. Ahmad Izzan, Ulumul Quran, (Bandung: Humaniora, 2011), hlm. 139.

  • 2

    muslimah terutama di kalangan santri, bahkan banyak pula didirikannya pesantren-

    pesantren khusus menghafal Al Qur’an atau dinamakan Pesantren Tahfidzul

    Qur’an.

    Seseorang yang telah menghafal Al Qur’an berusaha menjaga hafalannya

    agar tetap terjaga dengan baik dan tidak mudah hilang atau lupa. Kiat yang

    dilakukan untuk menjaga hafalannya pun beragam. Mulai dari

    murojaah/mengulang-ulang hafalan sampai dengan menjalani kiat rohani yang

    berkaitan dengan pensucian hati. Hal ini diyakini bahwa, hati yang suci akan

    mampu menjaga kalam Ilahi dengan sempurna. Proses pensucian hati ini bisa

    dilakukan dengan beragam cara yang tetap bertumpu pada satu dasar pokok, yaitu

    QS. Al Baqarah :152

    فَٱۡذُكُرون ٓيُأَۡذُكۡرُكۡمُُ

    “Maka ingatlah kepada-Ku, Akupun akan ingat kepadamu.”3

    Dzikir bisa dilakukan dalam berbagai bentuknya, lisan maupun tindakan.

    Lisan yaitu berdzikir dengan menyebut asma Allah dan atau membaca Al Qur’an,

    sedang perbuatan bisa dengan ibadah Sunnah, berbuat baik atau dalam ranah

    tasawuf yaitu dengan berpuasa. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa puasa

    sudah ada sejak dahulu yang dibawa oleh Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW.

    Hal ini diterangkan dalam QS. Al Baqarah: 183

    نُقَۡبل ُكۡمُلَعَلَُّكۡمُتَتَّقُُ يَنُم يَاُمَُكَماُُكت َبَُعلَىُٱلَّذ يَنَُءاَمنُواُُْكت َبَُعلَۡيُكُمُٱلص ٓأَيَُّهاُٱلَّذ وَنُُُيَ

    3 Mushaf Famy bi Syauqin, (Forum Pelayan Al Qur’an : Banten, cetakan keempat, 2014),

    hlm. 23.

  • 3

    Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu

    berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu

    bertakwa”4

    Dari ayat tersebut kita tahu bahwa risalah puasa sudah ada sejak dulu, hanya

    saja akhirnya tata waktu pelaksanaannya mengalami transformasi sesuai dengan

    syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

    Puasa secara umum berarti menahan dari makan, minum, dan lain

    sebagainya sesuai niat dari si pelaku. Sedangkan menurut sudut pandang fiqih,

    puasa adalah menahan dengan niat beribadah dari makan, minum, bersetubuh, dan

    setiap hal yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam

    matahari.5

    Jika dilihat dari sudut pandang historisnya, puasa sudah ada sejak zaman

    Nabi Adam A.S dengan dilarangnya memakan buah Khuldi. Nabi Nuh diwajibkan

    puasa tiga hari setiap bulannya. Dan jika dicermati secara mendalam, bahkan

    binatang di sekitar kita pun juga menjalani puasa. Mereka makan dan minum ketika

    tiba waktunya untuk itu. Mereka melakukannya untuk kepentingan dan

    kelangsungan hidupnya. Seekor ular berpuasa selama beberapa hari untuk menjaga

    struktur kulitnya agar tetap keras, terlindung dari sengatan matahari sehingga

    mampu melata dengan cepat. Seekor ulat jika tiba waktunya untuk berdiam diri,

    4 Mushaf Famy bi Syauqin, (Forum Pelayan Al Qur’an : Banten, cetakan keempat, 2014),

    hlm. 28.

    5 Muhammad Abdul Kharis, Puasa Dalail Al Qurán dalam Perspektif Hadis, (Skripsi UIN

    Walisongo: Semarang, 2017), hlm. 1.

  • 4

    maka ia akan berpuasa dari makan dan minum, menjadi sebuah kepompong dan

    akhirnya lahir kembali menjadi seekor kupu-kupu yang indah nan cantik. 6

    Dari beberapa contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa puasa merupakan

    salah satu bentuk ibadah yang selain bertujuan untuk mendekatkan diri kepada

    Allah, juga memiliki beragam manfaat, manfaat bagi ruh maupun jasad.

    Dimensi hukum puasa dibagi menjadi 4 macam, pertama puasa wajib, yaitu

    puasa yang wajib dilakukan oleh setiap muslim serta tidak bisa ditinggalkan, seperti

    halnya puasa pada bulan suci Ramadhan, puasa karena nadzar dan puasa kafarat.

    Kedua puasa haram, puasa di hari raya Idul Fitri, hari raya Idul Adha, hari Tasyrik

    dan sebagainya. Ketiga puasa sunnah, seperti puasa Arafah, puasa Senin-Kamis,

    puasa tiga hari setiap bulannya dan lain sebagainya. Dan yang terakhir adalah puasa

    makruh, seperti puasa pada hari Jum’at saja atau Sabtu saja tanpa dibarengi dengan

    hari sebelumnya. 7

    Selain macam puasa yang telah disebutkan di atas, dalam tradisi Jawa juga

    dikenal bermacam puasa, seperti puasa Pati Geni, Ngrowod, Kungkum, Lelono

    Broto, Nganyep dan sebagainya. Sedangkan di kalangan pesantren, begitu masyhur

    dengan puasa yang disebut puasa Dalail Al Qurán dan puasa Dalail Al Khoirot. Para

    pelaku puasa tersebut melakukannya atas dasar ingin mensucikan jiwa sebagai jalan

    untuk bisa lebih dekat dengan Allah. Beberapa puasa di atas tercipta dari hasil

    6 Muhammad Hamid, Puasa Sunnah dan Hikmahnya, (Suka Buku: Jakarta Selatan, 2015),

    hlm. 11-13. 7 Zakiah Daradjat, Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, 1993), hlm.

    59, di dalam skripsi Khabib Abdul Aziz, Implikasi Nilai-Nilai Ibadah Puasa Terhadap Pendidikan

    Karakter (Studi tentang Puasa dalam Kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu Karya Prof. Dr.

    Wahbah Az-Zuhaili) (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Walisongo

    Semarang 2015), hlm. 30.

  • 5

    akulturasi budaya setempat dengan syariat, meluruskan budaya tersebut dengan

    tidak lagi bertentangan dengan nilai-nilai Islam, seperti halnya yang dilakukan oleh

    Kanjeng Sunan Kalijaga.8

    Tentang keabsahan puasa-puasa di atas memang masih diperdebatkan di

    kalangan Ulama’, karena memang secara tekstual dasar hukumnya, puasa tersebut

    tidak bersumber langsung dari Al Qur’an dan Hadist, namun memiliki proses

    panjang dan tetap bersumber dari Al Qur’an dan Hadist. Beberapa Ulama’

    melarang, seperti halnya M. Quraish Shihab, di dalam bukunya yang berjudul M.

    Quraish Shihab Menjawab, ia mengatakan segala bentuk ibadah harus bersumber

    dari Al Qur’an dan Sunnah. Jika dalam soal kemasyarakatan, hampir setiap

    tindakan diperbolehkan selama bermuara pada kemaslahatan bersama. Namun jika

    dalam kajian ibadah, harus berdasar Al Qur’an dan Sunnah. 9

    Di samping itu, tidak sedikit pula Ulama’ yang memperbolehkan, seperti

    halnya Ulama’ Syafiiyah, Imam Al Ghozali dengan dasar hadist:

    ُأَب يُُ ُُعََُعْن َصلَّىَُّللاَّ ُ ُالنَّب ي ُالُمْوَسىَُعن ُقَاَلَُمْنَُصاَم َُوَسلََّم َُجَهنَُّمُُلَْيه دَّْهَرُضي قَْتَُعلَْيه

    َُهَكذَاَُوقَبََضَُكفَّهُُ)رواهُأحمدُ(

    8 Auliya, Ritual Puasa Orang Jawa, (Narasi: Yogyakarta, 2009), hlm. 28-41. 9 M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut

    Diketahui, (Lentera Hati: Jakarta, 2014), hlm. 101.

  • 6

    Artinya “Dari Abu Musa dari Nabi SAW bersabda “Barang siapa yang

    berpuasa satu tahun penuh, maka neraka Jahannam akan dipersempit untuknya

    seperti ini”, lalu beliau mengempalkan telapak tanganya”. (HR. Ahmad)10

    Khilaf pendapat kiranya wajar di kalangan Ulama’ selama masih ada dasar

    dalilnya. Terlepas dari demikian, resepsi masyarakat terhadap Al Qur’an beragam

    bentuknya. Inilah fenomena masa kini yang tentunya hal itu wujud dari sikap ingin

    memuliakan Al Qur’an, sehingga mereka meresepsi Al Qur’an dalam hampir setiap

    sendi kehidupan, mulai dari resepsi eksegesis, resepsi estetis maupun resepsi

    fungsional, yang kemudian kajian ini dalam studi Al Qur’an masuk dalam kategori

    studi Living Qur’an, yaitu studi yang memaparkan eksistensi Al Qur’an dalam

    kehidupan manusia, dimana Al Qur’an masuk sebagai bagian dari sebuah sikap dan

    budaya masyarakat tertentu.

    Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an Gading, Duren, Tengaran,

    Kabupaten Semarang adalah salah satu pondok pesantren yang meresepsi kehadiran

    Al Qur’an dalam pendidikan akhlak. Di pondok sini mengutamakan pendalaman

    Al Qur’an termasuk menghafalkannya. Selain pendalaman di bidang Tahfidzul

    Qur’an, disini juga dianjurkan menjalani puasa Dalail Al Qur’an, hal ini sebagai

    bentuk Tarbiyatun Nafs. Puasa ini lebih pada tujuan jernihnya hati, porsi hasilnya

    tidak bisa dinilai dengan ukuran tertulis karena Tarbiyatun Nafs lebih untuk tujuan

    jernihnya hati yang diharapkan teraktualisasi dalam akhlak di kehidupan sehari-

    hari. Santri dilatih untuk mengendalikan nafsu dengan metode puasa, yang

    dilakukan selama kurun waktu tertentu. Tata pelaksanaannya sama dengan

    10 Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, (Dar al Hadist: al Qohiroh,

    2012), hlm. 404.

  • 7

    umumnya puasa, yaitu menahan dari segala bentuk hal yang membatalkan puasa

    dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari, dan ditambahi dengan kewajiban

    membaca Al Qur’an selama pelaksanaannya. Keunikan dari kegiatan ini terdapat

    pada proses persiapan sebelum memasuki fase puasa Dalail Qur’an, dan adanya

    pembacaan Al Qur’an 1 juz setiap harinya selama puasa itu dilaksanakan. Menarik

    untuk diperhatikan, jika biasanya puasa direlasikan terhadap proses Tholabul ‘Ilmi,

    namun di Pondok Pesantren BUQ lebih pada pendidikan akhlak. Tentunya

    pembacaan Al Qur’an tersebut memiliki makna tersendiri dalam penyempurnaan

    proses puasa Dalail Qur’an. Oleh karenanya, penulis tertarik untuk mengkaji lebih

    dalam tentang puasa Dalail Quran kaitannya terhadap pendidikan akhlak.

    B. Rumusan Masalah

    1. Apa makna yang terkandung di dalam puasa Dalail Al Qur’an dalam pendidikan

    akhlak di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an Gading, Duren,

    Tengaran, Kabupaten Semarang?

    2. Bagaimana resepsi puasa Dalail Al Qur’an dalam pendidikan akhlak di Pondok

    Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an Gading, Duren, Tengaran, Kabupaten

    Semarang?

    C. Tujuan Penelitian

    Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:

    1. Untuk mengetahui makna yang terkandung di dalam puasa Dalail Al

    Qur’an dalam pendidikan akhlak di Pondok Pesantren Bustanu

    Usysyaqil Qur’an Gading, Duren, Tengaran, Kabupaten Semarang.

  • 8

    2. Untuk mengetahui resepsi puasa Dalail Al Qur’an dalam pendidikan

    akhlak di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an Gading, Duren,

    Tengaran, Kabupaten Semarang.

    D. Manfaat Penelitian

    Manfaat dari penilitian ini, yaitu:

    1. Dari aspek akademik, diharapkan penelitian ini dapat memberi manfaat

    bagi para pembaca untuk menambah wawasan dan bahan pustaka,

    terutama bagi para penulis karya ilmiah khususnya pada kajian Living

    Qur’an.

    2. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan motivasi bagi seluruh

    muslim agar selalu dekat dengan Al Qur’an dan menjadikan Al Qur’an

    sebagai kebutuhan muthlaq seorang muslim terutama bagi para

    penghafal Al Qur’an.

    E. Kajian Pustaka

    Kajian tentang Living Qur’an memang menjadi hal menarik tersendiri

    khususnya bagi peneliti studi Qur’an. Hal ini dikarenakan Al Qur’an mempunyai

    posisi yang sangat signifikan dalam proses berjalannya sebuah rangkaian ibadah

    yang tak jarang juga terkait dengan dimensi sosial budaya di sebuah kelompok

    masyarakat tertentu. Selain itu, Al Qur’an mempunyai pengaruh yang luar biasa

    terhadap lingkungan di tempat rangkaian ibadah itu dilaksanakan dan juga

    terhadap pelaku ibadah itu sendiri.

    Muhammad Yusuf dalam hal ini mengatakan bahwa Living Qur’an dapat

    dikatakan sebagai respon sosial (realitas) terhadap Al Qur’an, baik itu Al Qur’an

  • 9

    dilihat sebagai ilmu, dalam wilayah profane (tidak keramat) di satu sisi

    dan sebagai buku petunjuk dalam yang bernilai sakral di sisi yang lain. 11

    Terkait dengan judul yang peneliti tentukan, beberapa kajian tentang Living

    Qur’an juga telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, adalah sebagai

    berikut:

    1. Yunus (2018)12, mengkaji tentang wirid Al Qur’an dalam Tradisi Puasa Naun

    (Kajian Living Qur’an di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an Gading

    Semarang, Jawa Tengah). Kegiatan ini telah berjalan mulai dari tahun 1982

    hingga sekarang 2018. Wirid Al Qur’an dilakukan setiap hari selama 1 tahun

    penuh tanpa henti dan dibarengi dengan berpuasa yaitu dinamakan dengan

    puasa naun. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif analisis-

    deskriptif, dikarenakan masalah yang diangkat merupakan masalah yang

    bersifat memaparkan sebuah realitas dalam masyarakat. Hasil penelitian ini

    menunjukkan bahwa: 1) Pemaknaan tindakan wirid Al Qur’an dalam tradisi

    puasa naun berdasarkan teori interaksi simbolik George Herbert Mead terdapat

    empat tahap dasar : pertama, impuls terhadap wirid Al Qur’an yaitu mendengar

    bacaan Al Qur’an dan melihat masyarakat santri Pondok Pesantren Bustanu

    Usysyaqil Qur’an yang tergabung dalam wirid Al Qur’an. Kedua persepsi

    terhadap wirid Al Qur’an yaitu mengoreksi bacaan Al Qur’an, mempelajari dan

    mensyiarkan Al Qur’an serta menghadiri wirid Al Qur’an akan memperoleh

    11 Muhammad Yusuf, “Pendekatan sosiologi dalam penelitian”, dalam Sahiron

    Syamsuddin (Ed.), Metode Penelitian Living Qur’an dan Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2007), hlm.

    36. 12 Muhammad Yunus Maulana, Wirid Al Qur’an Dalam Tradisi Puasa Naun Di Pondok

    Pesantren “Bustanu Usysyaqil Qur’an” Gading Tengaran Semarang Jawa Tengah (Studi Living

    Quran), Skripsi Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al Quran An-Nur: Yogyakarta, 2018.

  • 10

    pahala. Ketiga, manipulasi terhadap wirid Al Qur’an yaitu merasa lebih dekat

    dengan Allah dan mendapat ketenangan jiwa. Keempat, konsumsi terhadap

    wirid Al Qur’an yaitu membaca Al Qur’an dan memperuntukkan waktu untuk

    membaca Al Qur’an. 2) Motivasi masyarakat santri Pondok Pesantren Bustanu

    Usysyaqil Qur’an dalam mengikuti wirid Al Qur’an dalam tradisi puasa naun

    yang pertama, motivasi sosiogenetis yaitu mempererat Ukhuwah Islamiah,

    sebagai media bermasyarakat dengan baik dan media dakwah Islam. Kedua,

    motivasi teogenetis yaitu mendekatkan diri kepada Allah dan mengaharap

    ridla-Nya.13

    2. Isna (2018)14 penelitian ini mengkaji tentang wirid Al Qur’an yang dilakukan

    setiap hari selama 41 hari berturut-turut dengan berpuasa dan mengkhatamkan

    Al Qur’an di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an (BUQ). Penelitian

    bertujuan untuk menjawab apa motivasi santri dalam melaksanakan Riyadlah

    Qur’an 41 hari dan bagaimana implikasi terhadap akhlak sehari-hari. Jenis

    penelitian ini adalah kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1)

    motivasi santri dalam melaksanakan Riyadlah Qur’an 41 hari secara umum

    dikelompokkan menjadi dua, yaitu motivasi internal, dan motivasi eksternal

    atau yang datang karena adanya rangsangan dari luar, yaitu dorongan

    pengasuh, ataupun orang tua. (2) Implikasi motivasi terhadap akhlak sehari-

    hari santri adalah menjadikan hatinya berlatih untuk sabar, istiqomah dan

    13 Muhammad Yunus Maulana, Wirid Al Qur’an Dalam Tradisi Puasa Naun di Pondok

    Pesantren “Bustanu Usysyaqil Qur’an” Gading Tengaran Semarang Jawa Tengah (Studi Living

    Quran) Skripsi Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al Quran An-Nur Yogyakarta, 2018. 14 Isna Annisa Permatasari, Motivasi Santri Dalam Melaksanakan Riyadlah Qur’an 41

    Hari dan Implikasinya terhadap Akhlak Sehari-hari di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil

    Qur’an, Gading, Duren, Tengaran, Kabupaten Semarang, Skripsi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

    Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2018.

  • 11

    disiplin. Secara umum implikasi yang dirasakan memberikan dampak kekuatan

    dalam menghafal dan membentuk akhlak yang baik, karena Riyadlah pada

    hakikatnya mencakup pendidikan akhlak.

    3. Riki (2019)15 penelitian ini mengkaji tentang praktik wirid Al Qur’an pada

    puasa nyirih yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an

    Semarang, transmisi dan transformasi serta makna yang terdapat pada wirid

    tersebut. Hasil dari penelitian ini ialah: (1) Praktik wirid Al Qur’an dalam puasa

    nyirih memiliki aturan yang telah ditentukan, yaitu dalam hal makanan dilarang

    makan yang berasal dari hewan, selain itu dalam memasak harus bersih dan

    tidak boleh terkena tangan orang lain. (2) Transmisi dan transformasi, peneliti

    tidak mengetahui dasar pengamalan wirid Al Qur’an dalam puasa nyirih,

    setelah melakukan observasi dan wawancara. (3) Pengambilan makna

    menggunakan teori sosiologi pengetahuan yang dicetuskan oleh Karl

    Mennheim yang berisi: Makna objektif dari wirid Al Qur’an dalam puasa nyirih

    berisi tentang konsep pengendalian diri, tolak balak dan tolak sihir. Makna

    ekspresif dari tradisi wirid, apa manfaat bagi pelaku. Makna dokumenter, disini

    adalah makna tersembunyi, sehingga pelaku tindakan tersebut tidak

    sepenuhnya menyadari bahwa aspek yang diekspresikan menunjukkan kepada

    kebudayaan secara keseluruhan.

    15 Viktor Riki, Tradisi Wirid Al Qur’an Dalam Puasa Nyirih di Pondok Pesantren Bustanu

    Usysyaqil Qur’an Semarang, Skripsi Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al Qur’an An-Nur

    Yogyakarta, 2019.

  • 12

    4. Kharis (2017)16 Penelitian ini mengkaji tentang puasa Dalail Al Qur’an dalam

    perspektif Hadist. Hasil dari penelitian ini memaparkan bahwa jika dilihat dari

    pengertian puasa Dalail Al Qur’an yaitu puasa satu tahun penuh kecuali pada

    lima hari yang dilarang puasa dengan beberapa ketentuan dan syarat yang

    diberikan oleh Mu’jiz kepada pelaksananya, maka puasa ini termasuk dalam

    kategori puasa Dahr, yaitu puasa satu tahun penuh kecuali pada lima hari yang

    diharamkan puasa. Dilihat dari dimensi tekstualitas hadist-hadist yang

    menjelaskan tentang puasa Dahr maka akan banyak dijumpai hadist-hadist

    yang melarang pelaksanaanya. Akan tetapi jika hadist tersebut dipahami secara

    kontekstual berdasarkan Asbabul Wurud-nya, maka puasa Dahr bisa diterima

    dengan baik, karena sebab munculnya puasa tersebut adalah nasihat Rasulullah

    kepada ‘Abdullah bin ‘Amr yang dikhawatirkan kesehatanya terganggu.

    Persamaan skripsi sebelumnya dengan skripsi yang penulis lakukan yaitu

    sama-sama mengkaji mengenai amalan santri kaitan dengan pembacaan Al

    Qur’an. Akan tetapi, skripsi yang penulis lakukan ini lebih fokus pada bagaimana

    penyambutan fenomena puasa Dalail Al Qur’an kaitanya dalam pendidikan akhlak

    di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an Gading, Duren, Tengaran,

    Kabupaten Semarang dan makna yang terkandung di dalam puasa Dalail Al

    Qur’an.

    F. Penegasan Istilah

    1. Resepsi

    16 Muhammad Abdul Kharis, Puasa Dalail Qur’an dalam Perspektif Hadis di pondok

    Pesantren Darul Falah Jekulo Kudus, Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, Universitas

    Islam Negeri Walisongo Semarang 2017.

  • 13

    Secara etimologis, resepsi berasal dari Bahasa latin recipere, yang

    berarti penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam Bahasa Inggris

    receiv yang berarti menerima. Sedang secara terminologis, resepsi adalah

    studi ilmu keindahan yang didasarkan pada respon pembaca terhadap karya

    sastra. Oleh karenanya, dapat ditarik benang merah bahwa resepsi adalah

    disiplin ilmu yang mengkaji peran pembaca dalam merespon, memberikan

    reaksi dan menyambut karya sastra.17

    Selanjutnya, jika kata resepsi diikuti dengan kata Al Qur’an dan

    menjadi resepsi Al Qur’an, maka hemat penulis, resepsi Al Qur’an adalah

    penyambutan pembaca atau masyarakat terhadap Al Qur’an dan mendaya

    gunakannya dalam fenomena kehidupan.

    2. Puasa

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata puasa diartikan sebagai

    salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan,

    minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai

    terbenam matahari.18

    Dalam istilah Syara’:

    اُُ مَّ َماُم ه َماع َُوَغْير َُوالشُّْرب َُواْلج ُاْْلَْكل ْمَساُكَُعن إ ْمَساٌكَُمْخُصْوٌصَُوهَُواْْل

    ُب ُ َُُوَردَ ُاللَّْغو ْمَساُكَُعن ُاإْل ُاْلَمْشُرْوع َُويَتْبَُعُذَل َك ُالَوْجه َُعلَى ُالنََّهار ُف ي ُالشَّْرعُ ه

    17 Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra; Metode Kritik Dan Penerapannya,

    (Yogyakarta; pustaka pelajar, 2007), hlm.7. 18 Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Gramedia Pustaka Umum: Jakarta,

    2008), hlm. 1110.

  • 14

    فَُ َماَُُوالرَّ ه َُوَغْير ُُاث ُاْلَكالَم َن َُوالُْم م َعْنَهاُُْلُمَحرَّ ُب النَّْهيُ ْيث ُاْْلََحاد ُل ُوُرْود َمْكُرْوه

    َُمْخُصْوَصٍةُُ ُب ُشُرْوٍط َُمْخُصْوٍص َُوْقٍت ُف ي ه َُغْير َُعلَى يَادَةً ُز ْوم ُالصَّ ف ي

    ْيثُ. لَُهاُاْْلََحاد ُتُفَص

    “Puasa adalah menahan diri secara tertentu, menahan dari makan,

    minum, bersetubuh dan lain sebagainya yang disyariatkan pada siang hari

    atas dasar hukum. Serta menahan ucapan yang tidak ada gunanya, ucapan

    yang dilarang, dan ucapan yang dimakruhkan dengan dasar hadis-hadis

    yang melarangnya. Puasa dilaksanakan pada waktu tertentu dengan

    syarat-syarat tertentu yang telah diperinci oleh hadis-hadis”. 19

    3. Dalail Al Qur’an

    Dalail Al Qur’an tersusun dari dua rangkaian kata yaitu dalail dan

    Al Qur’an. Dalail adalah bentuk jama’ dari lafadz dalilun masdar dari lafadz

    dalla yang berarti petunjuk. Sedangkan Al Qur’an adalah sebuah kitab suci

    yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui

    malaikat Jibril secara mutawatir dan berturut-turut. 20

    19 Muhammad bin Ismail al-Kahlan Ash-Shon’ani, Subul as-Salam, (al-Hidayah,:

    Surabaya), juz 2, hlm. 150. Dalam skripsi Muhammad Abdul Kharis 2017. 20Muhammad Abdul Kharis, Puasa Dalail Qurán dalam Perspektif Hadis, Skripsi Fakultas

    Ushuluddin Dan Humaniora, (UIN Walisongo Semarang: 2017), hlm. 75.

  • 15

    Dalail Al Qur’an dalam pengertian istilah adalah sebagai salah satu

    wujud riyadloh21 untuk melatih diri supaya selalu istiqomah dan dapat

    membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela.22

    4. Pendidikan Akhlak

    Pendidikan akhlak sebagai variabel kedua adalah satu-kesatuan

    yang terdiri dari dua kata. Akhlak adalah fokus utama dalam setiap tujuan

    pendidikan, agar seorang terdidik mampu memiliki akhlak yang baik

    sehingga nanti bisa diaplikasikan dalam setiap aspek berkehidupan.

    Pendidikan berasal dari kata didik yang berarti memelihara dan memberi

    latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dalam kamus Besar

    Bahasa Indonesia, pendidikan berarti proses pengubahan sikap dan tata laku

    seseorang atau kelompok dalam mendewasakan manusia melalui upaya

    pengajaran dan pelatihan.23

    Menurut Syekh Muhammad Naquib Al Attas pendidikan

    diistilahkan sebagai ta’dib, masdar dari kata addaba dalam Bahasa Arab,

    yang berarti memberi adab, mendidik.24 Jika dikaitkan antara makna adab

    dengan dimensi pendidikan pada manusia, maka akan kita temukan pada

    21 Riyadlah artinya “latihan”. Maksudnya adalah latihan rohaniah untuk menyucikan jiwa

    dengan memerangi keinginan-keinginan jasad (badan). Proses yang dilakukan adalah dengan jalan

    melakukan pembersihan atau pengosongan jiwa dari segala sesuatu selain Allah, kemudian

    menghiasi jiwanya dengan zikir, ibadah, beramal saleh dan berakhlak mulia. Dikutip dari jurnal

    journal.uinsgd.ac.id/index.php/syifa-al-qulub, dengan judul Riyadlah Mujahadah Perspektif Kaum

    Sufi oleh Adnan UIN Sunan Gunungjati tahun 2017, diakses pada tanggal 20 Mei 2020 pukul 21.13. 22 Muhammad Abdul Kharis, Puasa Dalail Qurán dalam Perspektif Hadis, Skripsi Fakultas

    Ushuluddin dan Humaniora, (UIN Walisongo Semarang: 2017), hlm. 75. 23 Tim Penyusun Kamus Pusat pembinaan dan pengembangan Bahasa Departemen

    Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 1994) Edisi

    Kedua, hlm. 232. 24 Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam; Gagasan-gagasan Besar Para

    Ilmuan Muslim, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 296.

  • 16

    satu titik dimana tujuan inti pada pendidikan adalah perubahan perilaku

    manusia kepada tindakan keshalehan sosial maupun pada pribadi.

    5. Living Qur’an

    Living berarti hidup, sedang Qur’an adalah kitab suci umat Islam.

    Maka Living Qur’an dapat dikatakan Al Qur’an yang hidup dalam suatu

    masyarakat atau fenomena Al Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, yaitu

    fungsi dan makna Al Qur’an yang riil dipahami dan dipraktekkan oleh

    masyarakat muslim.25

    Living Qur’an bermula dari fenomena Qur’an in daily life, yang

    berarti makna dan fungsi yang riil, nyata dipahami, dialami dan dirasakan

    oleh masyarakat muslim. Living Qur’an dapat juga diartikan sebagai studi

    kasus tentang beragam fenomena atau fakta sosial yang berhubungan

    dengan kehadiran Al Qur’an di dalam sebuah kelompok masyarakat tertentu

    yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.26

    Kegiatan yang dapat dihasilkan dari interaksi bersama Al Qur’an

    meliputi berbagai macam bentuk kegiatan. Di antara bentuk kegiatan

    tersebut bisa berupa membaca Al Qur’an, memahami dan menafsirkan Al

    Qur’an, menghafal Al Qur’an, berobat dengan Al Qur’an, menuliskan ayat-

    ayat Al Qur’an untuk hiasan dan menerapkan nilai dalam ayat-ayat Al

    Qur’an tertentu dalam kehidupan sehari-hari.

    G. Metodologi Penelitian

    1. Jenis penelitian

    25 M. Mansur, “Living Qur’an dalam Lintasan Sejarah Studi Al-Qur’an,” dalam Sahiron

    Syamsuddin (ed.), Metode Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2007), hlm. 8. 26 Ibid, hlm. 11

  • 17

    Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode

    analisis deskriptif dengan penelitian lapangan (Field Research). Penelitian

    analisis deskriptif adalah penelitian yang menyajikan data sesuai dengan

    hasil penelitian yang diperoleh dari subjek penelitian di lapangan, yaitu di

    Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an Gading, Duren, Tengaran,

    Kab. Semarang. Informasi maupun data yang diperoleh dengan cara terjun

    langsung ke lapangan sesuai dengan pokok penelitian ini.

    Selain itu penelitian ini juga menggunakan pendekatan

    fenomenologi. Pendekatan fenomenologi menggunakan pengalaman hidup

    sebagai alat untuk memahami secara lebih baik tentang sosial budaya,

    politik atau konteks sejarah dimana pengalaman itu terjadi.27 Penelitian ini

    akan membahas tentang resepsi atau penyambutan fenomena puasa Dalail

    Al Qur’an kaitannya dalam pendidikan akhlak di Pondok Pesantren Bustanu

    Usysyaqil Qur’an Gading, Duren, Tengaran, Kab. Semarang.

    2. Subjek dan Objek Penelitian

    Subjek dari penelitian ini adalah:

    a. Pengasuh Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an Gading,

    Duren, Tengaran, Kab. Semarang beserta keluarga.

    b. Santri yang telah melaksanakan Puasa Dalail Al Qur’an di Pondok

    Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an Gading, Duren, Tengaran, Kab.

    Semarang. Subjek penelitian di atas adalah orang-orang yang akan

    diwawancarai langsung untuk memperoleh data dan informasi.

    27 Siti Amanah, “Fenomena hafidz kecil studi kasus di pondok pesantren tahfidh Yanbu’ul

    Qur’an Kudus”, Skripsi Fakultas Ushuluddin, Adab Dan Humaniora, (Institut Agama Islam Negeri

    Salatiga: 2019), hlm.15.

  • 18

    Sedangkan objek penelitian ini yaitu resepsi puasa Dalail Al Qur’an

    dalam pendidikan akhlak di Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an

    Gading, Duren, Tengaran, Kab. Semarang.

    3. Metode Pengumpulan Data

    Metode pengumpulan data yang akan digunakan oleh peneliti adalah

    observasi, wawancara, dan dokumentasi. Dari metode pengumpulan data

    yang diperoleh adalah data primer dan data sekunder,28 dari kedua data

    tersebut akan dianalisis untuk menemukan jawaban yang sesuai dengan data

    yang akan diperoleh.

    a. Observasi

    Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode observasi

    analisis deskriptif. Disini penulis menjadi pengamat dalam objek

    penelitian, melalui pengamatan yang akan dilakukan, penulis akan

    memperoleh data yang valid mengenai puasa Dalail Al Qur’an,

    sehingga dalam penelitian ini akan diperoleh data yang bisa

    dipertanggungjawabkan kevalidannya.

    b. Wawancara (Interview)

    Dalam penelitian ini, penulis memilih informan untuk

    diwawancarai sebagai upaya untuk memperoleh data informasi

    mengenai resepsi puasa Dalail Al Qur’an dalam pendidikan akhlak di

    Pondok Pesantren Bustanu Usysyaqil Qur’an Gading, Duren,

    Tengaran, Kab. Semarang. Disini penulis akan menggali tentang

    28 Tatang M. Arifin, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995),

    hlm 132.

  • 19

    sejarah, tempat dan waktu pelaksanaan, bagaimana prosesi kegiatan

    dan pemaknaan resepsi puasa Dalail Al Qur’an dalam pendidikan

    akhlak, struktur kepengurusan, data anggota, dan data-data lain yang

    masih berkaitan dengan adanya kegiatan tradisi tersebut. Sebagaimana

    informan yang telah dipilah dalam subjek penelitian. Untuk

    mendukung pengumpulan data dan informasi maka penulis

    menggunakan alat bantu berupa kamera, dan alat rekam serta

    sejenisnya.

    c. Dokumentasi

    Metode dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data-

    data terkait dengan tema penelitian meliputi data visual, audio, ataupun

    audiovisual dalam kegiatan penelitian bertajuk resepsi puasa Dalail Al

    Qur’an dalam pendidikan akhlak. Dokumentasi juga meliputi data

    berupa buku pedoman pelaksanaan tradisi ini dan bacaan-bacaan wirid,

    serta dokumentasi ketika melakukan wawancara. Disini penulis akan

    mendokumentasikan semua aktivitas yang berhubungan dengan

    pelaksanaan puasa Dalail Al Qur’an. Metode ini digunakan upaya

    menyempurnakan data-data yang diperoleh dari metode observasi dan

    interview.

    4. Metode Analisis

    Dalam rangka menganalisis data yang penulis peroleh selama proses

    pengumpulan data, penulis melakukan tiga tahapan, yaitu:

  • 20

    a. Penulis melakukan penyeleksian dan pemfokusan dari catatan

    lapangan. Semua data yang diperoleh dalam pengumpulan data.

    Dipilah sesuai dengan apa yang dibutuhkan dengan harapan agar

    tidak terlalu bertele-tele dalam pembahasan.

    b. Metode analisis, yaitu metode yang dimaksudkan untuk

    pemeriksaan konseptual atas realitas yang terjadi, kemudian

    diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan sehingga diperoleh

    kejelasan atau realitas sebenarnya.

    c. Penulis melakukan analisis mendalam terhadap data yang

    didapat dari wawancara dan literatur-literatur lainnya. Dalam

    tahap ini kesimpulan yang diperoleh telah sesuai dan sama ketika

    penulis kembali untuk mengecek ulang terhadap hasil observasi

    dan wawancara dengan informan. Di samping itu, dalam tahap

    ini menghasilkan jawaban rumusan masalah yang telah diajukan

    dalam penelitian.

    Sesuai dengan metode analisis deskriptif yaitu menganalisa data

    yang telah dideskripsikan dengan cara memaparkan data serta menjabarkan

    pendapat-pendapat yang diperoleh dari hasil observasi, interview, dan

    dokumentasi.

    H. Sistematika Penulisan

    Sistematika penulisan yang digunakan dalam menyusun hasil penelitian ini

    adalah sebagai berikut :

  • 21

    BAB I PENDAHULUAN, berisi seputar latar belakang masalah, rumusan

    masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, penegasan istilah,

    metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

    BAB II LANDASAN TEORI, berisi tentang deskripsi teori Resepsi, Puasa

    Dalail Al Qur’an, pendidikan akhlak dan hal dalam keterkaitannya.

    BAB III PEMAPARAN DATA, berisi tentang gambaran umum dan lokasi

    pondok pesantren terkait resepsi puasa Dalail Al Qur’an dalam pendidikan akhlak,

    struktur kepengurusan, data anggota, dan data-data lain yang masih berkaitan

    dengan adanya kegiatan tradisi tersebut, sejarah terkait judul penulis, data lapangan

    yang akan menjawab mengenai rumusan masalah.

    BAB IV ANALISIS DATA, yang telah diperoleh penulis ketika melakukan

    observasi dan wawancara dari bab-bab sebelumnya

    BAB V PENUTUP, berisi tentang kesimpulan yang menjelaskan tentang

    hasil penelitian, saran-saran, daftar pustaka dan data atau lampiran-lampiran dari

    hasil observasi maupun wawancara.

  • 22

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. Living Qur’an

    Ditinjau dari segi bahasa, Living Qur’an adalah gabungan dari dua

    kata yang berbeda, yaitu living, yang berarti ‘hidup’ dan Qur’an, yaitu kitab

    suci umat Islam. Secara sederhana, istilah Living Qur’an bisa diartikan

    dengan “(Teks) Al Qur’an yang hidup di masyarakat”29.

    Living Qur’an dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memperoleh

    suatu pengetahuan yang kokoh dan meyakinkan dari suatu budaya, praktik,

    tradisi, ritual, pemikiran atau perilaku hidup masyarakat yang diinspirasi

    dari sebuah ayat Al Qur’an atau Hadist. Dari definisi tersebut dapat

    dipahami bahwa ilmu ini tidak mengkaji teks Al Qur’an dari sisi

    tekstualitasnya; konten, otentitas, atau otoritasnya. Sehingga seorang

    peneliti murni belajar Al Qur’an dari budaya, tradisi, ritual atau perilaku

    maupun pemikiran masyarakat yang diinspirasi dari suatu ayat Al Qur’an.30

    Pada hakekatnya, Living Qur’an berawal dari fenomena Al Qur’an

    dalam kehidupan sehari-hari, yaitu fungsi dan makna Al Qur’an yang riil

    dipahami dan dipraktekkan masyarakat muslim.31 Dengan kata lain,

    memfungsikan Al Qur’an dalam kehidupan praksis di luar kondisi

    tekstualnya. Pemfungsian Al Qur’an seperti ini muncul karena adanya

    29 Sahiron Syamsuddin, Ranah-ranah Penelitian dalam Studi Al Qur’an dan Hadis, dalam

    Sahiron Syamsuddin (ed.), Metode Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2007),

    hlm.14. 30 Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi,

    (Ciputat: Maktabah Darus Sunnah, 2019),hlm.35. 31 M. Mansur, “Living Qur’an dalam Lintasan Sejarah Studi Al-Qur’an,” dalam Sahiron

    Syamsuddin (ed.), Metode Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2007), hlm. 5.

  • 23

    praktek pemaknaan Al Qur’an yang tidak mengacu pada pemahaman atas

    pesan tekstualnya, tetapi berlandaskan anggapan adanya “fadhilah” dari

    unit-unit tertentu teks Al Qur’an, bagi kepentingan praksis kehidupan

    keseharian umat.

    Heddy Shri Ahimsa-Putra menjelaskan klasifikasi pemaknaan

    dalam Living Qur’an menjadi tiga kategori. Pertama, Living Qur’an adalah

    sosok Nabi Muhammad SAW. yang sesungguhnya. Hal ini dilandaskan

    pada keterangan dari Siti Aisyah ketika ditanya tentang akhlak Nabi

    Muhammad SAW., maka beliau menjawab bahwa akhlaq Nabi SAW.

    adalah Al Qur’an. Kedua, ungkapan Living Qur’an juga bisa mengacu

    kepada suatu masyarakat yang kehidupan sehari-harinya mengacu pada Al

    Qur’an sebagai pedoman hidup. Mereka hidup sesuai dengan setiap hal yang

    diperintahkan Al Qur’an dan menjauhi hal-hal yang dilarang di dalamnya,

    sehingga masyarakat tersebut seperti “Al Qur’an yang hidup”. Ketiga,

    ungkapan tersebut juga dapat berarti bahwa Al Qur’an bukanlah hanya

    sebuah kitab, tetapi sebuah “kitab yang hidup”, yaitu yang perwujudannya

    dalam kehidupan sehari-hari begitu terasa dan nyata, serta beraneka ragam,

    tergantung pada bidang kehidupannya.32

    Dari deskripsi di atas, penulis simpulkan bahwa Living Qur’an

    adalah studi ilmiah yang meneliti dialektika antara Al Qur’an dengan

    kondisi realitas sosial di masyarakat. Living Qur’an juga berarti praktek-

    praktek pelaksanaan ajaran Al Qur’an di masyarakat dalam kehidupan

    32 Heddy-Shri-Ahimsa-Putra, The Living Al-Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi,

    dalam Jurnal Walisongo, 2012, hlm. 236-237.

  • 24

    mereka sehari-hari. Sering kali praktek-praktek yang dilakukan masyarakat,

    berbeda dengan muatan tekstual dari ayat-ayat atau surat-surat Al Qur’an

    itu sendiri.

    B. Resepsi

    Pada mulanya, resepsi adalah sebuah disiplin ilmu yang ruang

    lingkup kajiannya tentang peran pembaca terhadap suatu karya. Hal ini

    dikarenakan karya sastra hanya ditujukan kepada kepentingan konsumsi

    pembaca sebagai penikmat karya sastra. Secara etimologis, kata “resepsi”

    berasal dari bahasa Latin yaitu recipere yang diartikan sebagai penerimaan

    atau penyambutan pembaca. Sedangkan definisi resepsi secara terminologis

    yaitu sebagai ilmu keindahan yang didasarkan pada respon pembaca

    terhadap karya sastra.33

    Dalam aktivitasnya, penikmat karya sastra menentukan makna dan

    nilai dari karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai berdasar pada

    bagaimana dan hasil dari pembacaan tersebut. Dari definisi tersebut dapat

    disimpulkan bahwa, resepsi merupakan disiplin ilmu yang mengkaji peran

    pembaca dalam merespon, memberikan reaksi, dan menyambut karya

    sastra. Dengan demikian, teori resepsi ini membicarakan peranan pembaca

    dalam menyambut suatu karya. Dalam memandang suatu karya, faktor

    pembaca sangat menentukan dalam tindakan pemaknaan, karena makna

    teks, antara lain, ditentukan oleh peran pembaca. Makna teks bergantung

    33 Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra; Metode Kritik Dan Penerapanya,

    (Yogyakarta; pustaka pelajar, 2007), hlm. 7.

  • 25

    pada situasi historis pembaca, dan sebuah teks hanya dapat mempunyai

    makna setelah teks itu dibaca.34

    Selanjutnya, apabila pada dasarnya teori resepsi merupakan teori

    yang mengkaji peran dan respon pembaca terhadap suatu karya sastra, maka

    persoalan penting selanjutnya yang harus diselesaikan adalah apakah Al

    Qur’an merupakan karya sastra? Menurut sebagian para ahli sastra, sebuah

    karya dapat dikategorikan sebagai karya sastra yaitu apabila mempunyai

    tiga elemen aspek sastra sebagai berikut:

    1. Estetika rima dan irama

    2. Defamiliarisasi, yaitu kondisi psikologi pembaca yang

    mengalami ketakjuban setelah mengkonsumsi karya tersebut.

    3. Reinterpretasi, yaitu kuriositas pembaca karya sastra untuk

    melakukan reinterpretasi terhadap karya sastra yang telah

    dinikmatinya.35

    Dari ketiga aspek di atas, kitab suci Al Qur’an yang menggunakan

    Bahasa Arab juga kaya dengan keseluruhan elemen tersebut. Contoh elemen

    pertama yang berbasis pada rima dan irama. Demikian pula, pada elemen

    defamiliarisasi di dalam diri si pembaca. Begitu seseorang membaca Al

    Qur’an, maka otomatis ia akan takjub padanya. Sayyid Qutb menyebut

    proses ketakjuban ini dengan istilah Mashurun bi al Qur’an (tersihir oleh

    Al Qur’an), sebagaimana kejadian yang dialami oleh Umar bin Khattab36.

    34 Wolfgang Iser, The Act of Reading, A Theory of Aesthetic response, (Baltimore; John

    Hopkins University Press, 1978), hlm. 20. 35 Fathurrasyid, Tipologi Ideologi Resepsi Al Qur’an Di Kalangan Masyarakat Sumenep

    Madura, dalam Jurnal el Harakah Vol.17 No.2 tahun 2015, hlm. 222. 36 Ibid, hlm. 223.

  • 26

    Selanjutnya proses reinterpretasi sebagai konsekuensi dari elemen ketiga

    juga tampak nyata dalam Al Qur’an. Proses reinterpretasi dalam konteks ini

    adalah respon pembaca atau pendengar terhadap kedua elemen di atas,

    sehingga dalam kajian keislaman, banyak orang yang tertarik untuk

    mengakaji aspek estetika Al Qur’an, aspek retorika dan sebagainya.

    Jika kata resepsi diikuti dengan Al Qur’an dan menjadi resepsi Al

    Qur’an, maka akan kita temukan definisi baru menjadi kajian tentang

    sambutan pembaca terhadap kehadiran ayat-ayat suci Al Qur’an sebagai

    salah satu bagian dari rangkaian budaya dalam sebuah fenomena kehidupan.

    Penyambutan itu bisa dalam berbagai macam bentuknya, misalnya

    bagaimana cara masyarakat dalam menafsirkan pesan ayat-ayatnya, cara

    masyarakat membaca dan melantunkan ayat-ayatnya, serta bagaimana

    masyarakat mendaya-gunakan pembacaan ayat-ayat Al Qur’an dalam

    fenomena kehidupan. Dengan demikian, interaksi pembaca dengan Al

    Qur’an merupakan konsentrasi dari kajian resepsi Al Qur’an.

    C. Puasa

    Dasar dari penulisan karya ini adalah teori relasi antara puasa dengan

    Pendidikan akhlak yang penulis ambil dari kitab Shohih Muslim, yaitu:

    ُيَْوًما ُاََحدُُكْم ُأَْصبََح ُ"إ ذَا ُقَاَل َوايَةً ُر ُأَب ىُهَُرْيَرةَ َُوْلََُُُعْن ُيَْرفُْث ُفاَلَ َصائ ًما

    ُاْمُرٌؤَُشاتََمهُُاَْوُقَاتَلَهُ,ُفَْليَقُْلُ:ُإ ن ىَُصائ ُ ٌُمُإ ن ىَُصائ ٌمُ)رواهُمسلمُ(يَْجَهْل,ُفَإ ن

    Artinya “Bersumber dari Abu Hurairah r.a. bahwa sesungguhnya

    pada suatu riwayat Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila salah seorang

    kamu suatu hari sedang berpuasa, maka hendaklah dia jangan berbicara

    yang keji dan berlaku kotor. Apabila dia dicaci maki atau dikutuk oleh

  • 27

    seseorang, maka hendaklah dia berkata: “Sesungguhnya hari ini aku

    berpuasa, sesungguhnya hari ini aku berpuasa” (HR.Muslim).37

    Puasa diketahui sebagai ritual ibadah yang tidak hanya berhenti dari

    makan dan minum, juga bukan hanya menahan diri dari segala bentuk

    perbuatan yang membatalkan puasa, seperti berhubungan suami istri atau

    keluarnya mani dengan sengaja, lebih dalam lagi melalui puasa kita dididik

    untuk juga menahan diri dari segala bentuk perbuatan sia-sia yang bisa

    mengurangi nilai dari ibadah puasa itu sendiri.

    Puasa berasal dari bahasa arab yaitu “shaumu” artinya menahan dari

    segala sesuatu, seperti menahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara

    yang tidak bermanfaat. Puasa dalam Al Qur’an disebut dengan istilah

    shiyaam dan shaum yang secara etimologi berarti menahan dari sesuatu, baik

    dalam bentuk perkataan maupun perbuatan seperti menahan makan, minum,

    berbicara atau perbuatan lain.38

    Al Qur’an menyebut kata shaum sebanyak satu kali, yakni dalam

    surat Maryam ayat 26:

    َُصۡوٗماُفَلَۡنُأَُكل َمُٱۡليَۡوَمُ ن ۡحَم اُُإ ن يُنَذَۡرُتُل لرَّ ي ٗ إ نس

    “Sesungguhnya aku bernadzar shaum(puasa) karena Allah, maka

    aku tidak akan berbicara dengan siapapun pada hari ini.”39

    37 Adib Bisri Musthofa, Terjemah Shohih Muslim jilid II, (Semarang: CV Asy Syifa’,

    1993), hlm. 374. 38 Moh.. Rifa’i, dkk, Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, (Semarang: Toha Putra, 1978),

    hlm 149. Dalam Skripsi Nailul Muna, Pengaruh Intensitas Puasa Senin Kamis Terhadap Akhlak

    Sabar Santri Darul Falah Be-Songo Semarang, UIN Walisongo Semarang, 2017, hlm. 17. 39 Mushaf Famy bi Syauqin, (Forum Pelayan Al Qur’an : Banten, cetakan keempat, 2014),

    hlm. 307.

  • 28

    Maksudnya, Maryam bernadzar menahan diri dari berbicara, sesuai

    dengan apa yang disyari’atkan dalam agama Bani Israil saat itu. Sedangkan

    kata shiyaam disebut oleh Al Qur’an beberapa kali, salah satunya dalam surat

    al Baqarah ayat 183.40

    Puasa adalah perilaku mulia yang mengandung manfaat besar bagi

    siapa saja yang melaksanakannya yaitu dengan menahan hawa nafsu,

    meninggalkan kesenangan, dan menahan makan dan minum yang dilakukan

    semata-mata karena Allah. 41

    Secara terminologi, ada beberapa pakar yang menjelaskan tentang

    puasa. Di antaranya adalah menurut Abdur Rahman Shad, puasa dipahami

    sebagai aturan yang menuntut keteguhan, kesabaran, keyakinan dan penuh

    perhitungan dalam pelaksanaannya. Dua aspek dalam diri manusia yang

    tidak pernah lepas dari pelaksanaan puasa adalah aspek fisikal dan

    psikologikal. Pada aspek fisikal seorang muslim yang berpuasa dari menahan

    dari makan dan minum. Sedangkan aspek psikologis, seorang muslim yang

    berpuasa mematuhi peraturan dan perintah yang berhubungan dengan sifat

    tercela seperti dusta, takabur, mengumpat, hasad, iri hati, riya.42

    40 Amirulloh Syarbini, 9 Ibadah Super Ajaib, (Jakarta: As Prima Pustaka, 2012), hlm. 159. 41 Abdur Rahman Shad, The Rights of Allah and Human Rights, (Dhelhi: Shandal Market,

    1993), hlm 43. Dalam Skripsi Nailul Muna, Pengaruh Intensitas Puasa Senin Kamis Terhadap

    Akhlak Sabar Santri Darul Falah Be-Songo Semarang, UIN Walisongo Semarang, 2017, hlm. 20. 42 Ibid, hlm. 20.

  • 29

    Abu Bakar Jabir, ia berpendapat bahwa puasa adalah tidak makan,

    tidak minum, tidak menggauli istri dan menjauhi dari segala rupa yang boleh

    dimakan semenjak fajar sampai terbenamnya matahari.43

    ٍرب ن يٍَّةُُ ْمسَاُكَُوَشْرًعاُإ ْمَساٌكَُعْنُُمْفط َُمْعنَاهَُماُلُغَةَُاإْل ْوُمَُمْصدََران َوهَُوَُوالصَّ

    ْيعَُ ْنَُحْيٍضَُون فَاٍسُ.َُُمْخُصْوَصٍةَُجم ٍرُم ْنُُمْسل ٍمَُعاق ٍلَُطاه ُم ْوم ُل لصَّ ُقَاب ٍل ُنََهاٍر

    Yang berarti, Lafadz “shiyam dan shaum” keduanya adalah masdar.

    Dari segi bahasa puasa itu artinya menahan diri. Sedangkan secara istilah

    artinya menahan diri dari hal-hal yang membatalkan dengan niat yang

    tertentu pada hari yang diperbolehkan untuk menjalankan puasa bagi orang

    muslim, berakal, suci dari haid dan nifas.44

    Selanjutnya, dapat disimpulkan bahwa puasa adalah kegiatan ibadah

    sebagai eksistensi penghambaan seorang muslim dengan menahan diri dari

    segala hal yang membatalkan puasa secara dhohir juga dari hal sia-sia yang

    bisa menurunkan kualitas puasa dengan syarat dan ketentuan yang telah

    ditetapkan dimulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari dengan tujuan

    ridlo Allah dan niat karena Allah semata.

    Di dalam tradisi Jawa dikenal bermacam puasa, seperti puasa Pati

    Geni, Ngrowod, Kungkum, Lelono Broto, Nganyep dan sebagainya.

    Sedangkan di kalangan pesantren, begitu masyhur dengan puasa yang

    disebut puasa Dalail Al Qur’an dan puasa Dalail Al Khoirot. Para pelaku

    puasa tersebut melakukannya atas dasar ingin mensucikan jiwa sebagai jalan

    untuk bisa lebih dekat dengan Allah. Beberapa puasa tersebut tercipta dari

    43 Abu Bakar Jabir al-Juzairi, Pola Hidup Muslim, Terj. Rachmat Djatnika dan Ahmad

    Supeno, (Bandung: Rosdakarya, 1991), hlm 237. 44 Syeikh Muhammad bin Qosim al-Ghozi, Fathul Qorib, (Semarang: Toha Putra), hlm 25.

  • 30

    hasil akulturasi budaya setempat dengan syariat, meluruskan budaya tersebut

    agar tidak lagi bertentangan dengan nilai-nilai Islam, seperti halnya yang

    dilakukan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga.45

    Puasa bisa dikatakan ibadah yang berat untuk dilaksanakan. Sebab

    dalam menjalankan puasa mengubah kebiasaan manusia pada umumnya,

    dari kebiasaan melampiaskan menjadi kebaisaan menahan, harus menahan

    diri dari segala sesuatu yang disukai dan biasa dilakukan, yaitu makan,

    minum, berhubungan seks. Upaya menahan diri dari segala kebiasaan itu

    dirasakan sebagai penderitaan yang berat. Namun, dalam kesusahan dan

    penderitaan itu terkandung obat yang mujarab yang dapat mengobati

    penyakit jasmani maupun rohani.46

    Puasa tidak hanya dikenal dalam dunia Islam, dalam perjanjian baru,

    puasa dilakukan sesuai kebutuhan yang biasa dikaitkan dengan suatu

    keperluan, misalnya untuk persiapan menerima firman Tuhan, sebagai tanda

    penyesalan atau pertaubatan individual atau bersama-sama dan sebagai tanda

    kedukaan. Yesus berpuasa 40 hari 40 malam di padang gurun dan

    mengatakan bahwa jenis setan tertentu tidak dapat diusir, kecuali dengan

    berdo’a dan berpuasa. Umat Katholik melaksanakan puasa 40 hari sebelum

    Paskah tanpa menghitung hari-hari minggu. Angka 40 mengingatkan 40

    tahun bagi Israel menjelajah gurun sebelum masuk Tanah Suci, 40 hari Musa

    45 Auliya, Ritual Puasa Orang Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2009), hlm. 28-41. 46 Yunasril Ali, Buku Induk Rahasia dan Makna Ibadah, (Jakarta: Zaman, 2012), hlm. 187.

  • 31

    berada di Gunung Sinai dan terutama lamanya Yesus berpuasa selama 40

    hari.47

    1. Dasar Pelaksanaan Puasa

    Para fuqaha dan ahli ushul telah membuat rumusan “hukum

    asal ibadah adalah haram (tidak boleh) sehingga ada dalil yang

    memerintahkan. Dan segala tindakan manusia pada dasarnya

    diperbolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya”.48

    Dasar puasa wajib sudah jelas termaktub dalam Al Qur’an di

    Surat Al Baqoroh ayat 183, kemudian juga dikuatkan dengan hadist

    Nabi SAW sebagai berikut:

    ُُعَُُلَُّللاَّ ُُقَاَلُ:ُقَاَلَُرُسوُُْعَمرَُُُاْبنُ َُُعنُ َُوَسلََّمَُُصلَّىَُّللاَّ سُْلَْيه الَُمُ:ُبُن َيُاإْل

    ُُ َُوإ قَام َُّللاَّ ، َُرُسْوُل دًا ُُمَحمَّ َُوأَنَّ ،ُ ُإ ْلََّّللاَّ ُْلَا لَهَ ُأَْن َُشَهادَة َُخْمٍس، َعلَى

    ُُ. َُرَمَضاَن،َُوَحج ُاْلبَْيت ك اة ،َُوَصْوم الزَّ ُالصَّالَة ،َُوإ ْيتَاء

    "ُDari Ibnu Umar berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Islam dibangun diatas lima (landasan);

    persaksian tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya

    Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,

    puasa Ramadlan dan haji ke Baitullah"49

    Ulama’ pun telah sepakat bahwa tidak ada perselisihan lagi

    mengenai kewajiban puasa. Orang-orang yang telah dewasa,

    47 Muhammad Taufik, Ensiklopedia Pengetahuan Al Qur’an dan Hadits Jilid 2,

    (Jogjakarta: Kamil Pustaka, 2013), hlm. 379-380. 48 Yunasril Ali, op.cit., hlm. 18. 49 Fakhturrazi, Terjemah Shahih Sunan At-Tirmidzi, (Pustaka Azzam: Jakarta, cetakan

    kedua 2013), hlm.49.

  • 32

    berakal, sehat, dan tidak memiliki sifat yang mencegah untuk

    melaksanakan puasa seperti haidnya wanita maka diwajibkan untuk

    melaksanakan puasa. Oleh karena itu, sebagai ummat Islam yang

    baik hendaknya mematuhi ajaran-ajaran Islam, termasuk perintah

    untuk menjalankan puasa. Baik puasa wajib maupun puasa sunnah

    sebagai bukti kecintaan dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

    2. Tujuan Puasa

    Puasa adalah salah satu bentuk ibadah sebagai eksistensi

    seorang muslim. Hakikatnya, tujuan puasa adalah memperoleh ridlo

    Allah semata, tidak ada yang selainya, dan taqwa adalah jalan untuk

    menempuh ridlo-Nya, dengan melaksanakan segala perintah-Nya,

    segala hal yang dicintai-Nya dan meninggalkan segala hal yang

    dilarang-Nya. Beberapa hal tersebut adalah:

    a. Membentuk Pribadi yang Taqwa

    Puasa merupakan sebuah ibadah rahasia yang sangat ideal

    dalam membentuk ketakwaan, dan memang pada hakikatnya

    ketakwaan merupakan tujuan utama ibadah puasa.50

    Sebagaimana Allah SWT telah menyebutkan hikmah

    disyariatkannya puasa dalam surat Al Baqarah ayat 183:

    50 M. Ashaf Shaleh, Takwa: Makna dan Hikmahnya dalam Al Qur’an, (Jakarta: Erlangga,

    2002), hlm. 41.

  • 33

    نُُ ُم يَن ُٱلَّذ َُعلَى ُُكت َب َُكَما يَاُم ُٱلص َُعلَۡيُكُم ُُكت َب َُءاَمنُواْ يَن ُٱلَّذ ٓأَيَُّها يَ

    ُكۡمُلَعَلَُّكۡمُتَُ تَّقُوَنُُُقَۡبل

    Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan

    atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang

    sebelum kamu agar kamu bertakwa”51

    Puasa membiasakan seseorang takut kepada Allah SWT,

    baik dalam keadaan sendirian atau dengan orang banyak. Sebab,

    orang yang melakukan puasa tidak ada pengawas yang

    mengawasi kecuali Tuhannya. Karena pada dasarnya pelatihan

    merupakan proses pembiasaan yang akan mempengaruhi

    keadaan hati dan jiwa seseorang. Sesuatu yang dibiasakan dalam

    kehidupan sehari-hari akan mempengaruhi dan membekas dalam

    hati. Semakin lama suatu tindakan atau perilaku dibiasakan,

    semakin dalam membekas dalam hati dan pada akhirnya akan

    menjadi tabiat. Pada tahap berikutnya, tabiat yang terus dihayati

    akan terbentuk menjadi kepribadian atau akhlak.52

    Kepribadian yang hendak dibentuk adalah takwa.

    Seorang yang bertakwa adalah orang yang menjaga, memelihara,

    dan mengawasi dirinya sehingga selalu melakukan kebaikan dan

    menghindari keburukan.

    b. Melatih Kesabaran

    51 Mushaf Famy bi Syauqin, (Forum Pelayan Al Qur’an: Banten, cetakan keempat, 2014),

    hlm. 28. 52 Yunasril Ali, op.cit., hlm, 197.

  • 34

    Secara terminologi sabar berarti menahan diri dari segala

    sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridla Allah. Yang

    tidak disukai itu tidak selamanya terdiri dari hal-hal yang tidak

    disenangi seperti musibah kematian, sakit, kelaparan dan

    sebagainya, tapi bisa juga berupa hal-hal yang disenangi

    misalnya segala kenikmatan duniawi yang disukai oleh hawa

    nafsu. Sabar dalam hal ini berarti menahan dan mengekang diri

    dari memperturutkan hawa nafsu. Sedangkan menurut Imam Al

    Ghazali mengatakan bahwa sabar merupakan ciri khas manusia.

    Binatang dan malaikat tidak memerlukan sifat sabar. Binatang

    tidak memerlukan sifat sabar karena binatang diciptakan tunduk

    sepenuhnya kepada hawa nafsu. Binatang juga tidak memiliki

    kekuatan untuk menolak hawa nafsunya. Sedangkan malaikat

    tidak memerlukan sifat sabar karena memang tidak ada hawa

    nafsu yang harus dihadapinya.

    Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda:

    ُُعََُرُسْوُلَُّللاَّ ُُقَالَُُ:ُُيُهَُرْيَرةَُقَالَُب ُأََُعْنُ َُوَسلََّمَُصلَّىَُّللاَّ ُُلَْيه "ل ُكل

    ٌزف ىُ ُُمْحر ْوُم"َُزادَ ُالصَّ ُ:ُوََُشْيٍئَُزَكاة،َُوَزَكاةُُاْلَجَسد ْيث ه ُقَالََُُحد

    ُُعََُرُسْوُلَُّللاَّ ُ َُوَسلَّمََُصلَّىَُّللاَّ "ُ.ُُلَْيه ْبر يَاُمُن ْصُفُالصَّ "الص

    Artinya: “Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah

    shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap sesuatu itu ada

    zakatnya, dan zakatnya tubuh adalah berpuasa.". Dalam

  • 35

    haditsnya Muhriz menambahkan, Rasulullah shallallahu 'alaihi

    wasallam bersabda "Puasa adalah setengah dari kesabaran”53

    Sabar akan sempurna dengan cara menahan lisan dan

    farji. Sabar akan mengantarkan pelakunya untuk selalu

    melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-

    larangan-Nya.54

    c. Memadamkan Syahwatain

    Maksud dari syahwatain adalah syahwat farji dan

    syahwat perut artinya keinginan untuk bersetubuh dan keinginan

    makan, minum. Keduanya merupakan bagian dari sifat

    madzmumah (tercela). Bahaya yang paling besar adalah orang-

    orang yang menuruti keinginan perutnya. Syahwat perut ini jika

    tidak dipadamkan maka akan menjalar ke banyak syahwat yang

    lain, seperti kesenangan jima’ (bersetubuh), hubb ad-dunya

    (kesenangan duniawi) sehingga akhirnya muncul sifat takabbur

    dan riya’. Semua itu bisa dipadamkan dengan puasa.55

    Puasa dapat menurunkan ketegangan syahwat dan dapat

    menjadikan jiwa seseorang terhindar dari berbagai keinginan,

    53 Sunan Ibnu Majah: 1745, Juz I, hlm.555. 54 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2006), hlm.134, dalam

    Skripsi Muhammad Abdul Kharis, Puasa Dalail Al Qur’an dalam Perspektif Hadis, (UIN

    Walisongo, Semarang, 2017), hlm. 27. 55 Muhammad Shalih bin Umar as-Samarani, Kitab Munjiyat, (Toha Putra: Semarang, t.t,

    hlm.10. Di dalam Skripsi Muhammad Abdul Kharis, Puasa Dalail al-Qur’an dalam Perspektif

    Hadis, (UIN Walisongo, Semarang, 2017), hlm. 29.

  • 36

    kemudian mengkonsentrasikan diri untuk mengerjakan apa yang

    mendapat ridha Allah SWT.

    3. Manfaat Puasa

    Puasa memberikan berbagai manfaat khususnya pada pelaku

    ibadah puasa itu sendiri. Manfaat ini bisa berupa untuk dirinya

    sendiri sebagai keshalehan individual maupun keshalehan sosial

    sebagai output dalam kehidupan bermasyarakat. Diantaranya sebagai

    berikut56:

    a. Bagi kesehatan fisik, puasa sebagai sarana untuk menyembuhkan

    penyakit tubuh manusia yang sangat dimungkinkan karena secara

    alami, puasa memiliki peran penting untuk menjaga kesehatan

    dan kebugaran tubuh.

    b. Puasa juga mampu mengobati penyakit kejiwaan, antara lain:

    depresi, egois, cemas serta tempramen tinggi.

    c. Sebagai ouput dari ibadah puasa dalam kehidupan sosial, mereka

    berbuka di waktu yang bersamaan, tidak ada yang mendahului

    dalam berbuka puasa. Semua orang yang melaksanakan puasa

    menunggu waktu berbuka yang sama, yaitu waktu tenggelamnya

    matahari. Dalam hal ini, ketika manusia memiliki persamaan

    aspek berkehidupan, maka akan terjalin hubungan yang harmonis

    56 Muhammad Abdul Kharis, Puasa Dalail al-Qur’an dalam Perspektif Hadis, Skripsi

    (UIN Walisongo, Semarang, 2017), hlm. 33.

  • 37

    secara emosional. Pun dari situ, akan menumbuhkan rasa kasih

    sayang kepada sesama.

    d. Selain itu, dari rasa lapar dan dahaga, puasa juga akan

    menumbuh-kembangkan rasa empati kepada sesama dengan

    sikap berinfaq dan bershodaqoh kepada siapapun yang berhak

    dan membutuhkan.

    D. Dalail Al Qur’an

    Dalail Al Qur’an tersusun dari dua rangkaian kata yaitu dalail dan

    Al Qur’an. Dalail adalah bentuk jama’ dari lafadz dalilun masdar dari lafadz

    dalla yang berarti petunjuk. Sedangkan Al Qur’an adalah sebuah kitab suci

    yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui

    malaikat Jibril secara mutawatir dan berturut-turut. Dalail Al Qur’an dalam

    pengertian istilah adalah sebagai salah satu wujud riyadloh untuk melatih

    diri supaya selalu istiqomah dan dapat membersihkan jiwa dari sifat-sifat

    tercela.57

    Penamaan Dalail Al Qur’an diambil dari nama Dalail al Khairat. Jika

    puasa Dalail al Khairat terkait dengan pembacaan sholawat di dalam kitab

    Dalail al Khairat, maka Dalail Al Qur’an terkait dengan pembacaan Al

    Qur’an. Perlu diketahui sebelumnya bahwa Dalail baik Al Qur’an maupun

    al Khairat pada awalnya merupakan bentuk wirid, bukan puasa. Syekh

    Sulaiman Al Jazuly yang merupakan mu’allif kitab Dalail al Khairat

    hanyalah melaksanakan dan menyusun wirid-wirid yang berupa sholawat

    tanpa dibarengi dengan berpuasa. Begitu pula dengan Dalail Al Qur’an

    57 Ibid, hlm. 75

  • 38

    yang sebenarnya hanyalah melaksanakan wirid dengan membaca Al

    Qur‘an. Kemudian para Salaf as Shalih mengkolaborasikan wirid-wirid

    tersebut dengan puasa sebagai salah satu cara agar dalam pelaksanaan

    wiridan tersebut menjadi lebih khusyu’. Dalam hal ini, puasa yang telah

    ditentukan dalam ritual ibadah puasa Dalail Al Qur’an adalah termasuk

    dalam kajian sufistik.

    Pelaksanaan seperti ini bukanlah hal yang tanpa dasar, justru mereka

    melaksanakan puasa tahunan ini mengikuti para sahabat Nabi, seperti Abu

    Hurairah.58

    Dalam praktiknya, Dalail Al Qur’an diiringi dengan ritual puasa

    selama satu tahun dan mempunyai beberapa ketentuan yang telah ditetapkan

    dalam prosedur pelaksanaanya. Seseorang yang hendak melakukan puasa

    tersebut harus mendapat ijazah dari seorang mu’jiz. Setelah itu dia harus

    puasa nyirih selama tujuh hari dengan disertai bacaan wirid Qala Musa

    setiap ba’da sholat maktubah sebanyak tujuh kali. Kemudian barulah

    melaksanakan puasa selama satu tahun penuh kecuali pada hari-hari yang

    diharamkan untuk berpuasa. Pada saat puasa seseorang wajib membaca Al

    Qur’an satu juz setiap harinya.

    Wirid Qala Musa ini juga sebagai benteng batin bagi pelaku puasa

    Dalail Al Qur’an. Diibaratkan, jika puasa satu tahun penuh itu jalan yang

    ditempuh, maka puasa nyirih tujuh hari adalah gerbang pembukanya. Selain

    itu, wirid Qala Musa juga diresepsi sebagai do’a tolak balak dimana alur

    logisnya bahwa pelaku puasa Dalail Al Qur’an adalah perjalanan batin,

    58 Ibid, hlm. 114

  • 39

    tidak akan jarang menemui godaan dan ujian dalam berbagai bentuknya.

    Maka wirid ini adalah sebagai bentuk tolak balak agar senantiasa

    diselamatkan oleh Allah SWT.59

    a. Membaca Al Qur’an

    Al Qur’an merupakan kitab suci umat Islam, membacanya

    mendapatkan pahala, namun berisi petunjuk untuk seluruh umat

    manusia. Hemat penulis, Al Qur’an adalah kitab rahmat, petunjuknya

    untuk siapapun yang mau mengambil hikmahnya, tidak pandang ia

    muslim atau tidak, itulah sedikit dari kemuliaan Al Qur’an. Di

    dalamnya terdapat kebenaran-kebenaran dan ajaran-ajaran yang yang

    tidak pernah didapati sebelumnya di dunia pada masa itu, selalu relevan

    dizaman saat diturunkannya sampai sekarang dan zaman yang akan

    datang.

    Menurut Az Zarqoni, Al Qur’an adalah

    تَاٌبَُختَُ ْيٍنَُعاٍمَُخال ٍدَُمُك ُاْلَْنب يَاَءُب د ٍَُختََمُب ه ُاْلُكتَُبَُوأَْنَزلَهَُُعلَىُنَب ي ُُب ه َّللاَّ

    ُاْْلَدْيَاَن. َُُختََمُب ه

    Artinya: “Kitab yang dengannya Allah menyempurnakan kitab-

    kitab terdahulu dan diturunkan kepada Nabi penyempurna para Nabi

    dengan membawa agama yang menyeluruh untuk semua ummat, yang

    kekal dan sebagai penyempurna agama-agama sebelumnya”.60

    Said Nursi mengatakan bahwa Al Qur’an adalah terjemahan

    abadi dari kitab alam semesta dan penerjemah kekal yang menuliskan

    59 Disadur dari wawancara dengan Ibu Nyai Hj. Anis Thoharoh, selaku Pengasuh BUQ

    Gading sekarang, sepeninggal suaminya, KH Abdullah Hanif, diambil pada hari Rabu, 8 April 2020. 60 Muhammad Abdul Kharis, Puasa Dalail al-Qur’an dalam Perspektif Hadis, Skripsi

    (UIN Walisongo, Semarang, 2017), hlm. 40.

  • 40

    hukum-hukum Ilahi dalam penciptaan dan pengaturan alam semesta. Al

    Qur’an adalah penafsir kitab-kitab tentang dunia nyata dan alam gaib.

    Al Qur’an adalah penyingkap tirai perbendaharaan nonmateril, yaitu

    nama-nama Allah yang tersembunyi di bumi dan langit, kunci menuju

    kebenaran, matahari dunia intelektual dan spiritual Islam, sekaligus

    fondasi dan rancangannya, peta suci hari kemudian, penjelas, penerang,

    penyuara dan penerjemah fasih dari esensi, sifat, nama dan penciptaan

    dari Allah. Al Qur’an berasal dari ism a’zham (nama-nama yang paling

    agung) dan memuat ringkasan semua kitab yang diterima oleh Nabi-

    Nabi sebelumnya, isi dari semua risalah para wali, serta karya para

    Ulama’ suci.61

    Ulama’ ushuliyyin, fuqaha’ dan al ‘arabiyyah memberi ta’rif

    bahwa Al Qur’an adalah

    ُ ُالنَّب ي َُعلَى ُل ُاْلُمنَزَّ ُز ُاْلُمْعج ُعَُاْلَكالَُم ُ َُوَسلَّمََُصلَّىَُّللاَّ ُف ىُُُلَْيه اْلَمْكتُْوُب

    . اْلُمتَعَب دُُب ت الََوت ه ُاْلَمْنقُْوُلُب التََّواتُر ف ُاْلَمَصاح

    Artinya, “Kalam mukjizat yang diturunkan kepada Nabi

    Muhammad SAW yang ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan

    secara mutawatir yang dianggap ibadah bagi orang yang

    membacanya.”62

    Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Al

    Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

    SAW secara mutawatir melalui malaikat Jibril, ditulis dalam mushaf,

    61 Ibid, hlm. 42. 62 Muhammad Abd Al ‘Adhim az-Zarqani, Manahil al ‘Irfan fi Ulum Al Qur’an, (Dar al-

    Fikr, 1988), Juz. 1, hlm. 17.

  • 41

    terjemahan abadi dari kitab alam semesta, penafsir kitab-kitab tentang

    dunia nyata dan alam ghaib, di dalamnya terkuat berjuta rahasia dan

    pedoman kehidupan, yang bagi muslim membacanya bernilai ibadah,

    isi yang terkandung di dalamnya terhidangkan untuk seluruh umat

    manusia, relevan di setiap zaman kehidupan, tak lekang waktu.

    Al Qur’an diyakini terpelihara, baik secara lisan maupun

    tulisan. Selain dihafal, beberapa sahabat Nabi juga menuliskan Al

    Qur’an pada bahan-bahan yang ada pada masa itu seperti kulit-kulit dan

    tulang hewan, permukaan batu yang datar dan halus, serta pelepah-

    pelepah kurma. Gagasan untuk mengumpulkan Al Qur’an (dalam

    bentuk tulisan) datang dari Umar bin Khaththab setelah perang

    Yamamah yang banyak menelan korban dari kalangan hafizh dan qari’

    Al Qur’an. Umar mengkhawatirkan akan hilangnnya otentitas Al

    Qur’an disebabkan para huffazh dan qurra’ banyak yang tewas dalam

    peperangan tersebut, sehingga hal tersebut membuatnya berfikir

    bagaimana cara untuk menjaga otentitas Al Qur’an untuk generasi

    setelahnya.63

    b. Keutamaan Al Qur’an

    Jika seorang muslim hendak mengobrol (berkomunikasi) dengan

    Allah, sudah tentu seharusnya ia membaca Al Qur’an. Sekadar

    membacanya tanpa mengetahui maknanya saja sudah bernilai ibadah

    dan diganjar pahala, apalagi membaca sekaligus menguak makna yang

    63 Munzir Hitami, Pengantar Studi Al Qur’an: Teori dan Pendekatan, (Yogyakarta: LkiS,

    2012), hlm. 23-24.

  • 42

    terkandung untuk diambil hikmahnya, diaplikasikan dalam setiap

    perilaku berkehidupan, tentunya akan lebih bernilai. Itulah sekilas dari

    begitu banyak kemuliaan Al Qur’an.

    Al Qur’an adalah salah satu kitab samawi yang paling

    sempurna, karena ia turun paling akhir membenarkan kitab-kitab

    samawi yang turun sebelumnya. Kitab sekaligus mukjizat Nabi

    Muhammad SAW paling monumental, keotentikannya terjaga sedari

    turun hingga saat ini. Dasar hal ini termaktub di dalam Al Qur’an surat

    Al Hijr ayat 9 :

    ف ُظوَنُُُ ۡكَرَُوإ نَّاُلَهُۥُلََح ۡلنَاُٱلذ إ نَّاُنَۡحُنُنَزَّ

    Artinya, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al

    Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.64

    Didalam sebuah hadist juga disebutkan bahwa,

    ُ ُقَاَلُ:َُقاَلَُرُسْوُلَُّللاَّ َُعْنهُ ُ َيَُّللاَّ ْيٍدَُرض ُعََُعْنُأَب ىَُسع ُ َُصلَّىَُّللاَّ لَْيه

    ْيَُُوَسلَّمَُ ْكر ُذ َُعْن ُاْلقُْراَُن َُشغَلَهُ َُمْن :ُ َُوتَعَالَى ُتَبَاَرَك ب ُالرَّ يَقُْوُل

    َُّللاَّ ُوَُ َُكالَم َُوفَْضُل يُالسَّائ ل ْيَن ُأُْعط َُما ُأَْفَضَل ُأَْعَطْيتُهُ َُعلَىَُمْسئَلَت ْي

    ُ)رواهُالترميذىُ(َسائ ُ َُّللاَّ َُعلَىَُخْلق ه َُكفَْضل اْلَكالَم ُر

    Artinya, Dari Abi Said r.a. berkata, Rasulullah SAW. bersabda

    “Rabb Tabaraka wa Ta’ala berfirman : ‘Barang siapa yang karena

    kesibukannya membaca Al Qur’an tidak punya waktu berdzikir dan

    berdoa kepada-Ku, niscaya Aku beri ia sesuatu yang lebih baik dari

    pada yang Aku berikan pada orang yang berdoa kepada-Ku.

    64 Kementerian Agama RI, jilid 5, hlm. 208.

  • 43

    keutamaan Al Qur’an dibanding dengan kitab lainnya itu bagaikan

    keutamaan Allah atas ciptaan-Nya”.(HR. al Tirmidzi)65

    Dilihat dari berbagai aspek, Al Qur’an tidak dapat disaingi

    lebih-lebih dikalahkan oleh siapapun dan apapun. Misalnya dari segi

    kebahasaannya, para pengingkar Al Qur’an seperti Al Mutanabbi,

    Musailamah Al Kadzdzab, Abhalah bin Ka’ab, dan Mirza Ghulam

    yang ditantang untuk membuat sepuluh surat, bahkan lebih pendek

    dari itu yakni cukup satu surat pun mereka tidak mampu. Dalam

    kenyataannya, tidak akan ada yang mampu menandingi Al Qur’an,

    baik secara kolektif dan lebih-lebih secara pribadi.66

    Al Qur’an sangat logis jika dikatakan memiliki posisi yang

    istimewa, karena sebagai kalam Allah, ia adalah perwujudan

    langsung atas keagungan Allah, sampai agama mengatur etika

    terhadap Al Qur’an. Keistimewaan posisinya dijelaskan dalam

    sebuah hadist :

    ُ ُُسلَْيٍمُُمْرَسالًُقَاَلُ:قَاَلَُرُسْوُلَُّللاَّ ُاْبن ْيد ُُعََُعْنَُسع َُوَسلَّمََُصلَّىَُّللاَّ ُ لَْيه

    ُْلَنَب ُ ُاْلقُْرأَن َن ُم يَاَمة ُاْلق ُيَْوَم َُّللاَّ ْندَ ُع لَةً َُمْنز ُأَْفَضُل ْيعٍ َُشف ْن ُم َُما :ُُ يٌّ

    َُوْلََملٌَكَُوْلََُغْيُرهُُ.

    Artinya, “Dari Said bin Sulaim berkata : Rasulullah SAW

    bersabda : ‘Tidak ada pembela yang lebih utama derajatnya di sisi

    65 Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi, Himpunan Kitab Fadhilah Amal, (Ash-Shaf:

    Yogyakarta, t.t.), hlm.601. 66 Muhammad Abdul Kharis, Puasa Dalail al-Qur’an dalam Perspektif Hadis, Skripsi

    (UIN Walisongo