bab ii tinjauan teori -...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. PENGERTIAN
Banyak pengertian thypus abdominalis menurut para ahli:
1. Thypus abdominalis atau demam tifoid ialah suatu penyakit infeksi
menular pada manusia yang disebabkan oleh bakteri yang menyerang pada
saluran pencernaan di bagian usus (Murwani, 2009; Corwin, 2009).
2. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus
yang disebabkan oleh salmonellla thypi. Penyakit ini dapat ditularkan
melalui makanan, mulut atau minuman yang terkontaminasi oleh kuman
salmonella thypi (Hidayat, 2008).
3. Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai
dengan bakteremia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat
difus, pembentukan mikroabses dan urelasi nodus peyer distal ileum
(Soegijanto, 2002).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus yang
disebabkan oleh kuman salmonella typhi yang dapat ditularkan melalui
makanan, mulut, atau minuman yang terkontaminasi oleh kuman salmonella
thypi.
6
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI
1. Anatomi
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring),
kerongkongan, lambung, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan
juga meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan yaitu
pankreas, hati dan kandung enpedu.
Gb.2.1 Sistem pencernaan pada manusia
Sumber : Anonim (2010)
Sistem pencernaan atau sistem gastrointestinal (mulai dari mulut
sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi
menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi,
menyerap zat-zat gizi kedalam aliran darah serta membuang bagian
makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari
tubuh.
7
a. Mulut
Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan
air pada manusia. Mulut biasanya terletak dikepala dan umumnya
merupakan bagian awal dari sistem pencernaan lengkap yang berakhir
di anus.
Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian
dalam dari mulut dilapisi oleh selaput lendir. Pengecapan dirasakan
oleh organ perasa yang terdapat dipermukaan lidah. Terdiri atas dua
bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang diantara gusi serta
gigi dengan bibir dan pipi dan bagian dalam yaitu rongga mulut yang
dibatasi disisi-sisinya oleh tulang maxilaris dan semua gigi dan
disebelah belakang dengan awal faring.
b. Faring
Faring atau tekak terletak dibelakang hidung, mulut dan laring
(tenggorokan) faring berupa saluran berbentuk kerucut dari bagian
membrane berotot (muskulo membrannuse) dengan bagian terlebar di
sebelah atas dan berjalan dari dasar tengkorak sampai diketinggian
vertebra servika ke enam yaitu ketinggian tulang rawan krikoid, tempat
faring bersambung dengan esophagus.
c. Esofagus
Adalah sebuah tabung berotot yang panjangnya 20-25 cm, diatas
dimulai dari faring sampai pintu masuk kardiak lambung
8
dibawah.Terletak dibelakang trakea dan didepan tulang punggung
setelah melalui thorak menyambung dengan lambung.
d. Lambung (gaster)
Merupakan bagian dari saluran yang dapat mengembang paling
banyak terutama didaerah epigaster lambung, terdiri dari bagian dari
bagian atas fundus uteri berhubungan dengan eshopagus melalui
orifisiumpilarik terletak dibawah diafragma didepan pangkreas dan
limpa menempel disebelah kiri fundus uteri.
e. Usus Halus (intesium minor)
Gb.2.2 Usus Halus
Sumber : Anonim (2010)
Usus halus adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang
berpangkal pada pylorus dan berakhir pada seikum, panjangnya kurang
lebih 6 m merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan
dan diabsopsi dari pencernaan, usus halus didaerah umbilicus dan
dikelilingi oleh usus besar dibagi dalam beberapa bagian:
9
1) Duodenum
Disebut juga usus 12 jari panjangnya kurang lebih 25 cm,
berbentuk seperti sepatu kuda melengkung kekiri pada lengkungan
ini terdapat pangkreas.
2) Yeyenum dan ileum
Mempunyai panjang sekitar 6 m, dua perlima bagian atas
adalah (yeyenum) dengan panjang 2-3 m dan ileum dengan panjang
4-5 m lekungan yeyenum dan ileum melekat pada dinding abdomen
posterior yang berbentuk kipas dikenal sebagai mesentrium.
3) Usus Besar
Usus besar terdiri dari panjang 1,5 m, lebarnya 5-6 cm, terdiri
dari bagian-bagian yang digambarkan di 2.3.
Gb.2.3 Usus Besar
Sumber : http://radenbeletz.com
10
Usus besar terdiri dari seikum, kolon asenden, apendik, kolon
trasversum, kolon desenden, kolon sigmoid :
a) Seikum
Dibawah seikum terdapat apendik vermiformis yang berbentuk
seperti cacing sehingga disebut juga umbai cacing panjangnya 6
cm.
b) Kolon Asenden
Panjang 15 cm terletak dibawah abdomen sebelah kanan
membujur keatas dari ilium kebawah hati.
c) Apendik
Bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari akhir
seikum mempunyai pintu keluar yang sempit tapi masih
memungkinkan dapat dilewati oleh beberapa isi usus.
d) Kolon Transversum
Panjang 38 cm, membujur dari kolon asenden sampai kekolom
desenden, berada dibawah abdomen, sebelah kanan terdapat
flekyura hepatica dan sebelah kiri terdapat flektura lienalis.
e) Kolon Desenden
Panjangnya 25 cm, terletak dibawah abdomen sebelah kiri,
membujur dari atas kebawah dari fleksura henalis sampai didelapan
ileum kiri kesambungan dengan kolon sigmoid.
11
f) Kolon Sigmoid
Merupakan lanjutan dari kolon desenden terletak miring dalam
rongga pelvis sebelah kiri, bentuknya menyerupai bentuk huruf S
ujung bawahnya berubungan dengan rectum.
4) Rektum
Terletak dibawah kolon sigmoid yang menghubungkan
intestinum mayor dengan anus, terletak dalam rongga pelvis didepan
os secrum dan as robsigis.
5) Anus
Adalah bagian dari saluran pencernaan yang
menghubungkan rektum dengan dunia luar terletak didasar pelvis
dindingnya.
2. Fisiologi
Makanan masuk kedalam mulut dan dihancurkan oleh gigi. Saliva
melumaskan makanan dan memungkinkan makanan untuk diubah menjadi
massa yang lunak atau bolus. Sebagian makanan dihancurkan kemudian
dapat lebih menstimulasi reseptor-reseptor pengecap. Selain fungsi ini
saliva juga mengandung enzim ptialin yang memulai pemecahan
karbohidrat menjadi gula sederhana. Saliva disekresi oleh 3 kelenjar
utama: kelenjar parotis yang menghasilkan saliva yang banyak
mengandung air. Kelenjar sublingual dan kelenjar submandibular yang
menghasilkan saliva berair dan berlendir.
12
Menelan dimulai sebagai kerja volunter yang kemudian bergabung
berlahan menjadi reflek ivolunter. Menelan terjadi dalam tiga tahapan:
a. Tahap bukal
Makanan dikumpulkan dipermukaan dipermukaan atas lidah
sebagai bolus yang lembab, kemudian lidah menekan kelangit-langit
keras mendorong bolus kearah belakang. Langit-langit lunak terangkat
untuk mencegah makanan masuk kedalam hidung, dan bolus didorong
kedalam faring.
b. Tahap faringeal
Laring tertarik ke atas dibawah dasar lidah, laringeal berkontraksi
dan epiglotis melipat menutupi laring untuk mencegah makanan
menutupi trachea.
c. Tahap esophagos
Gelombang peristaltik membawa bolus makanan terus ke bawah ke
dalam lambung.
Asopsi didalam lambung sangat terbatas tetapi glukosa dan alkohol
diabsopsi sangat baik. Didalam lambung makanan dirubah oleh berbagai
bentuk sekresi dari kelenjar lambung menjadi cairan seperti susu yang
disebut kimus, yang cocok untuk dapat melewati usus halus. Fundus dan
korpus lambung mempunyai kelenjar berduktus pendek dan panjang.
Kelenjar ini dilapisi oleh sel-sel petrik yang mensekresi pepsinogen suatu
enzim yang diubah menjadi pepsin dan dengan demikian dimulailah proses
pemecahan protein.
13
Keasaman yang tinggi dapat mengubah pepsinogen menjadi pepsin.
Mensterilkan makanan membuat kalsium dan zat besi cocok untuk diserap.
Didalam antrium lambung kelenjar mempunyai duktus yang panjang dan
yang pendek. Kelenjar ini menghasilkan mukus bersifat bastra dan gastrin.
Hormon yang berguna untuk mengontrol sekresi asam. Kimus memasuki
duodenum melalui pilorus dicampur oleh sekresi dinding duodenum,
empedu dan getah pangkreas. Sekresi duodenum dari kelenjar mukosa dan
dari kelenjar submukosa yang mengandung bikarbonat dan bersifat basa,
sehingga membantu menetralkan kimus yang asam. Adanya makanan di
duodenum menyebabkan kantung empedu berkontraksi dan mengeluarkan
empedu ke duktus sistikus dan duktus empedu melalui ampula pada
duodenum dan jejunum, mukosa terbenan di dalam lipatan-lipatan dan fili
panjang dan sangat rapat.
Mengarah ke ileum, lapisan mukosa lebih sedikit lipatannya dan
dindingnya lebih tipis dan filinya lebih pendek dan lebih panjang.
Semua pencernaan dan penyerapan yang penting terjadi didalam
usus halus baik lambung maupun usus besar dapat diangkat seluruhnya
tanpa menyebabkan dampak yang serius kira-kira sampai sepertiga usus
halus dapat diangkat tanpa memberikan efek pada pencernaan dan daya
tahan tubuh masih dapat dimungkinkan dengan kira-kira satu meter usus
halus kedalam keadaan utuh.
Kimus bergerak dan ileum menuju sekum melalui ilei-sekal, lipatan
mukosa dalam sekum yang cenderung mencegah aliran balik kimus 5cm
14
terakhir ileum bekerja sebagai sfingter. Sfingter biasanya berkontraksi
pengisian lambung membuat sfingter ini relaksasi dan isi ileum masuk
keke dalam sekum reflek gastrokolik ini sering berkaitan dengan gerakan
masa. Gerakan masa adalah gerakan cepat tiba-tiba dan peristaltik dimulai
dalam kolon tengah. Gerakan ini menggerakkan ini usus besar kedalam
kolon bawah atau bahkan ke rektum.
Rektum normalnya kosong dari feses tetapi ketika feses melewati
rektum akibat distensi dari dinding rektum membangkitkan sensasi
kesadaran. Keputusan velunter kemudian dibuat apakah untuk membiarkan
reflek defekasi dengan merelaksasi sfingter eksternal.
Defekasi disertai dengan kontraksi peristaltik kuat dari kolon
desenden dan kolon relvin dan rektum, kontraksi otot abdomen
meningkatkan tekanan intra abdomen (Evelyn, 2006)
C. ETIOLOGI/ PREDISPOSISI
Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella Thypi (salmonelia
tiphosa), Salmonella Paratyphi A, Salmonella Paratyphi B, Salmonella
Paratyphi C, Salmonella Shocttmuelleri, dan Salmonella Hirschfeldii
(Samekto, 2001; Mansjoer, 2000; Murwati, 2009). Adapun beberapa macam
dari Salmonella Typhi adalah sebagai berikut:
1. Salmonella thyposa, basil gram negative yang bergerak dengan bahu
getar, tidak bersepora mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam
antigen yaitu:
15
a. Antigen O (somatic, terdiri dari zat komplek lioporisakarida)
b. Antigen H (flagella)
c. Antigen K (selaput) dan protein membrane hialin.
2. Salmonella parathypi A
3. Salmonella parathypi B
4. Salmonella parathypi C
Ada dua sumber penularan salmonella typhi yaitu pasien dengan
demam typhoid dan pasien dengan carier. Carier adalah orang yang sembuh
dari demam typoid dan masih terus mengeksresi salmonella typhi dalam tinja
dan air kemih selama lebih dari 1 tahun, ini akan dapat menginfeksi orang
lain.
D. PATOFISIOLOGI
Masuknya kuman Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi
kedalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke
dalam usus dan selanjutnya berkembang biak.
Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka
kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M). Bila terjadi
komplikasi perdarahan dan peforasi intestianal, kuman menembus lamina
propia, masuk aliran limfe menjadi kelenjar limfe mesenterial, dan masuk
aliran darah melalui duktus torasikus. Kuman berkembangbiak di lamina dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
16
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya di bawa ke plague
peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag
ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendetial tubuh terutama
hati dan limfa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua
kalinya dengan di sertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Kuman di dalam hati masuk ke dalam kandung empedu berkembang
biak dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman di keluarkan melalui feses dan sebagian melalui
masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama
terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
saat fagositosit kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular,
gangguan mental, dan koagulasi.
Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan Salmonella typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Pendarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
17
plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperpalsia akibat
akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan
limpoid ini dapat berkembang hingga di lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan
akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskuler, pernafasan dan gangguan organ lainnya (Widodo, 2007;
Mansjoer, 2000).
E. MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala
klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari
asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas diderita disertai komplikasi
hinggga kematian. Satu minggu pertama keluhan dan gejala serupa dengan
penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak
di perut, batuk dan epistaksis. Pemeriksaan fisik hanya di dapatkan
peningkatan suhu badan. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan
terutama pada sore hingga malam hari.
Gejala-gejala menjadi lebih jelas dalam minggu kedua berupa demam,
bradiarkia relatif (bradiarkia relatif adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti
dengan peningkatan nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di
tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,
18
meteroismus, gangguan mental berupa somnollen, strupor, koma, delirium,
atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia (Widodo,
2007; Mansjoer, 2000).
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan thypoid secara medis dan keperawatan menurut Widodo
(2007), Samekto( 2001), Mansjoer(2000) sebagai berikut:
1. Penatalaksanaan Medis
Pemberian antibiotik untuk menghentikan dan memusnahkan
penyebaran kuman. Antibiotik yang dapat digunakan:
a Cloramfenikol: Obat ini digunakan untuk menekan fungsi sumsum
tulang, sehingga tidak boleh diberikan pada penderita dengan
gangguan fungsi sumsum tulang belakang.
b Tiamfenikol: Efektifitasnya hampir sama dengan kloramfenikol, tetapi
komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia
aplastik lebih rendah.
c Kotrimoksazol.
d Ampisillin/ Amoksilin: Diberikan selama dua minggu. Kemampuan
obat ini menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol.
e Sefalosporin generasi ketiga: Golongan sefalosporin generasi ke tiga
yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah Ceftriaxone.
19
f Golongan Fluorokuinolon: Norfloksasin , Siprofloksasin, Ofloksasin,
Pefloksasin, Fleroksasin.
g Kombinasi antibiotik: Pemakaian kombinasi 2 antibiotik atau lebih
hanya diindikasikan pada keadaan tertentu seperti: Tifoid toksik,
peritonitis atau peforasi, syok septik.
h Kortikosteroid: Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik
tifoid atau demam tifoid yang mengalami syok septik.
2. Keperawatan
Pencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus
tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih
selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan tahap sesuai dengan pulihnya
kekuatan pasien. Dalam perawatan perlu sekali dijaga higine
perseorangan, kebersihan tempat tidur, pakaian dan peralatan yang dipakai
oleh pasien. Pasien dengan kesadaran menurun posisinya perlu diubah-
ubah untuk mencegah dekubitus dan pneumonia hipostatik, defekasi dan
buang air perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi konstipasi dan
retensi urine.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi Thypus Abdominalis menurut Mandala (2006) sebagai
berikut:
1. Perdarahan dan perforasi usus (terutama pada minggu ketiga).
2. Miokarditis.
20
3. Neuropsikiatrik: psikosis, ensefalomielitis.
4. Kolesistitis, kolangitis, hepatitis, pneumonia, pancreatitis.
5. Abses pada limpa, tulang atau ovarium (biasanya setelah pemulihan).
6. Keadaan karier kronik (kultur urin atau tinja positif setelah 3 bulan)
terjadi pada 3 % kasus (lebih sedikit setelah terapi fluorokuinolon).
H. PENGKAJIAN FOKUS
Pengkajian fokus pada pasien thypoid merujuk pada Mansjoer (1999),
Smeltzer dan Bare (2002) antara lain:
1. Demografi
a. Usia
Presentase penderita dengan usia di atas 12-29 tahun 70-80%, 30-39
tahun 10-20% dan penderita dengan usia di atas 40 tahun 5-10%. Tetapi
umumnya penyakit ini lebih sering diderita anak-anak.
b. Pekerjaan
Pekerjaan yang lebih banyak beraktivitas di lapangan dan kurang
menjaga kebersihan maka kemungkinan mengalami sakit thypoid.
c. Jenis kelamin
Pada pria lebih banyak terpapar dengan kuman Salmonela Typhi
dibandingkan wanita karena aktivitas di luar rumah lebih banyak.
d. Lingkungan
Penyebaran penyakit thypoid dipengaruhi oleh kebersihan lingkungan
yang kotor dan pribadi kurang diperhatikan.
21
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit thypoid, apakah
pasien menderita penyakit lainnya.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umumnya penyakit pada pasien thypoid, demam, anoreksia,
mual, muntah, diare, perasaan tidak enak diperut, pucat (anemi), nyeri
kepala/pusing, nyeri otot, lidah tifoid (kotor), gangguan kesadaran berupa
samnolen sampai koma.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah menderita
Thypoid atau sakit yang lainnya.
5. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Kebiasaan tidak cuci tangan dengan bersih dapat terkena kuman
Salmonella Typhi. Kebiasaan makan ditempat terbuka, kebiasaan
mencuci tangan dengan alakadarnya.
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Adanya mual dan muntah, penurunan nafsu makan selama sakit,
lidah kotor dan rasa pahit waktu makan sehingga dapat mempengaruhi
status nutrisi berubah. Adanya demam dan keluhan badan panas.
c. Pola aktivitas dan latihan
Pasien akan terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik
serta pasien akan mengalami keterbatasan gerak akibat penyakitnya.
22
d. Pola tidur dan aktifitas
Kebiasaan tidur pasien akan terganggu karena suhu badan yang
meningkat, sehingga pasien merasa gelisah pada waktu tidur.
e. Pola eliminasi
Pada pasien thypoid kadang-kadang diare atau konstipasi, produk
kemih pasien biasa mengalami penurunan (kurang dari normal).
f. Pola hubungan interpersonal
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan
interpersonal dan peran serta mengalami tambahan dalam menjalankan
perannya selama sakit.
g. Persepsi diri dan konsep diri
Terjadi dalam perubahan apabila pasien tidak efektif dalam
mengatasi masalah penyakitnya, pasien mungkin merasa cemas dan
stres, perubahan kepribadian.
h. Pola tata nilai dan kepercayaan
Timbulnya distress dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan
menjadi cemas dan takut akan kematian, serta kebiasaan ibadahnya
akan terganggu.
6. Persepsi sensori dan kognitif
a. Nyeri
Pada pasien yang sakit thypoid akan terjadi nyeri pada uluhati.
23
b. Kesadaran
Kesadaran penderita tipoid berfariasi antara composmentis (sadar
penuh) atau apatis, somnolen, dan koma pada penderita typoid.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum dan Tanda-tanda vital
Biasanya pada pasien thypoid yang ditemukan tekanan darah yang
meningkat akan tetapi bila didapatkan tachikardi saat pasien
mengalami peningkatan suhu tubuh.
b. Kepala
Konjungtiva anemis, mata cekung, pucat atau bibir kering, lidah kotor,
ditepi dan ditengah merah.
c. Abdomen
Abdomen ditemukan nyeri tekan di di uluhati.
d. Kulit
Kulit bersih, turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak, akral
hangat.
e. Sistem ekstermitas
Apakah ada gangguan pada ekstremitas atas dan bawah atau tidak ada
gangguan.
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Samekto (2001) pemeriksaan penunjang yang perlu
dilakukan pada pasien dengan demam tifoid adalah:
24
1. Pemeriksaan darah perifer lengkap
Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar
leukosit normal. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi
sekunder. Dapat pula ditemukan anemia ringan dan trombositopeni.
Pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun
limfopeni. Laju endap darah dapat meningkat.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal
setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan
penanganan khusus.
3. Pemeriksaan uji widal
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap
bakteri Salmonella Thypi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi
antara antigen bakteri Salmonella Thypi dengan antibodi yang disebut
aglutinin. Uji widal dimaksudkan untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid. Akibat adanya infeksi oleh
kuman Salmonella Typhi maka penderita membuat antibodi (aglutinin)
yaitu: Aglutinin O, Aglutinin H, Aglutinin Vi. Dari ketiga aglutinin
tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam
tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan menderita
demam tifoid
25
Cepat lelah
Tromboflebitis miokarditis
Cemas
J. PATWAYS
Kuman salmonella
5f ( foot, fingers, fomitus, fly, feses )
Mulut
Kuman mati lambung (Hcl) hidup Usus halus bagian distal
Kuman menularkan endotoksin
Bakteriema primer
Difagosit tidak difagosit
Mati bakterima sekunder
Pembuluh darah usus halus hipotalamus
Kapiler
Peradangan menekan Stres
Krisis situasi
Mal asobsi termoreguler
Nutrient
i
(Widodo, 2007; Mansjoer, 2000)
Diare Intoleransi
aktifitas
Konstipasi Gangguan keseimbangan cairan
kurang dari kebutuhan tubuh
Hiperperistaltik usus
Mual, muntah anoreksia
Intake tidak
adekuat bedrest
Kebutuhan Nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh
hipertermi
Pengeluaran cairan Reinteraksi usus
komplikasi
Intestinal - pendarahan usus - peritonitis
Ekstraintestinal - pneumonia - meningitis
Gg rasa nyaman nyeri
Kurang pengetahuan tentang penyakitnya
Perubahan status kesehatan
26
K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada pasien thypoid
secara teori adalah
1. Peningkatan suhu tubuh atau hipertermi berhubungan dengan Infeksi
Salmonella Thypi.
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan anoreksia.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
4. Resiko keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan)berhubungan dengan
pengeluaran cairan yang berlebihan (diare atau muntah), hipertermi.
5. Gangguan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan kurangnya
cairan dan serat dalam tubuh, imobilisasi.
6. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses inflamasi.
7. Kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan kurang
informasi
8. Cemas berhubungan dengan mekanisme koping yang tidak efektif, krisis
situasi akibat perubahan satus kesehatan dan hospitalisasi.
L. FOKUS INTERVENSI DAN RASIONAL
Fokus intervensi yang dapat dirumuskan untuk mengetahui masalah
keperawatan pada pasien thypoid merujuk pada NIC NOC, (2008), Carpenito,
(2001):
27
1. Peningkatan suhu tubuh atau hipertermi berhubungan dengan Infeksi
Salmonella Thypi.
a. Tujuan : suhu tubuh normal atau terkontrol.
b. Kriteria hasil : Suhu tubuh 36,5-37,5°C, mencari pertolongan untuk
pencegahan peningkatan suhu tubuh, turgor kulit membaik, badan tidak
teraba panas.
c. Intervensi:
1) Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang peningkatan
suhu tubuh.
Rasional: agar klien dan keluarga mengetahui sebab dari
peningkatan suhu dan membentu mengurangi kecemasan yang
timbul.
2) Anjurkan klien menggunakan pakaian tipis dan menyerap kringat.
Rasional: Untuk menjaga agar klien merasa nyaman, pakaian tipis
akan membantu mengurangi penguapan tubuh.
3) Batasi pengunjung
Rasional: Agar klien merasa tenang dan udara di dalam ruangan
tidak terasa panas.
4) Observasi TTV tiap 4 jam sekali.
Rasional: Tanda-tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui
keadaan umum pasien.
28
5) Anjurkan pasien untuk banyak minum, minum kurang lebih 2,5
liter / 24 jam.
Rasional: Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh
meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang
banyak.
6) Berikan kompres hangat.
Rasional: Untuk membantu menurunkan suhu tubuh.
7) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotic dan
antipiretik.
Rasional: Antibiotik untuk mengurangi infeksi dan antipiretik
untuk mengurangi panas.
2. Resiko kurang nutrisi berhubungan dengan intake tidak adekuat karena
mual dan tidak narsu makan.
a. Tujuan: pasien mampu mempertahankan kebutuhan nutrisi adekuat.
b. Kriteria hasil : Nafsu makan meningkat, pasien mampu menghabiskan
makanan sesuai dengan porsi yang diberikan.
c. Intervensi:
1) Jelaskan pada klien dan keluarga tentang manfaat makanan atau
nutrisi.
Rasional: Untuk meningkatkan pengetahuan klien tentang nutrisi
sehingga motivasi untuk makan meningkat.
29
2) Timbang berat badan klien setiap 2 hari.
Rasional: Untuk mengetahui peningkatan dan penurunan berat
badan.
3) Beri nutrisi dengan diet lembek, tidak mengandung banyak serat,
tidak merangsang, mampu menimbulkan banyak gas dan
dihidangkan saat masih hangat.
Rasional: Unutk meningkatkan asupan makanan karena mudah
ditelan.
4) Beri makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
Rasional: Untuk menghindari mual dan muntah.
5) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antasida dan nutrisi
parentral.
Rasional: Antasida mengurangi rasa mual dan muntah, nutrisi
parenteral dibutuhkan terutama jika kebutuhan nutrisi per oral
sangat kurang.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan kelemahan fisik.
a. Tujuan: pasien bias melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari
optimal.
b. Kriteria hasil: Kebutuhan personal terpenuhi, dapat melakukan
gerakan yang bermanfaat bagi tubuh, memenuhi aktivitas kehidupan
sehari-hari dengan tehnik penghematan energy.
30
c. Intervensi :
1) Tingkatkan tirah baring /duduk.
Rasional : Meningkatkan istirahat dan ketenangan
2) Beri motivasi pada klien dan keluarga untuk melakukan mobilisasi
sebatas kemampuan (missal : miring kanan, miring kiri).
Rasional: Agar klien dan keluarga mengetahui pentingnya
mobilisasi bagi pasien yang bedrest.
3) Kaji kemampuan klien dalam beraktivitas (makan, minum).
Rasional: untuk mengetahui sejauh mana kelemahan yang terjadi.
4) Berikan latihan mobilisasi secara bertahap sesudah demam
hilang.
Rasional: untuk menghindari kekakuan sendi dan mencegah
adanya degubitus.
4. Resiko kurang cairan berhubungan dengan pengeluaran cairan yang
berlebihan intake menurun.
a. Tujuan: tidak terjadi gangguan keseimbangan cairan.
b. Kriteria hasil: Turgor baik , wajah tidak nampak pucat, suhu 36,5-
37,5°C, TD : 120/80 mmHg, urin out put 1-2 cc/kg BB/jam.
c. Intervensi:
1) Berikan penjelasan tentang pentingnya kebutuhan cairan pada klien
dan keluarga.
Rasional: Untuk mempermudah pemberian cairan (minum) pada
pasien.
31
2) Observasi pemasukan dan pengeluaran cairan.
Rasional: Untuk mengetahui keseimbangan cairan.
3) Anjurkan klien untuk banyak minum kurang lebih 2,5 liter/24 jam.
Rasional: Untuk pemenuhan kebutuhan cairan.
4) Observasi kelancaran tetesan infuse.
Rasional: Untuk pemenuhan kebutuhan cairan.
5) Kolaborasi dengan dokter untuk terapi cairan (oral/parentral).
Rasional: Untuk pemenuhan kebutuhan cairan yang tidak terpenuhi
(secara parentral ).
5. Gangguan pola eliminasi: BAB (konstipasi) berhubungan dengan
kurangnya cairan dan serat dalam tubuh, imobilisasi.
a. Tujuan :Tidak terjadi gangguan pada pola eliminasi BAB.
b. Kriteria hasil :Klien dapat BAB secara rutin yaitu 1X sehari seperti
biasa, feses lunak
c. Intervensi :
1) Monitor tanda-tanda vital.
Rasional: Untuk mengetahui perkembangan kondisi klien.
2) Anjurkan klien untuk sering minum air putih yang banyak.
Rasional: Supaya masukan cairan adekuat membantu
mempertahankan konsistensi feses yang sesuai pada usus dan
membantu eliminasi.
3) Anjurkan klien untuk makan makanan yang berserat.
32
Rasional: Karena diet seimbang tinggi kandungan serat
merangsang peristaltik dan eliminasi regular.
4) Berikan huknah gliserin untuk membantu mempermudah BAB.
6. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses inflamasi.
a. Tujuan : Nyeri tidak timbul
b. Kriteria hasil: Ekspresi wajah rileks, nyeri hilang, skala nyeri
menurun.
c. Intervensi :
1) Ajarkan tindakan penurun nyeri noninvasif (relaksasi, stimulasi
kutan).
Rasional: untuk mengontrol nyeri.
2) Berikan individu kesempatan untuk istirahat selama siang hari dan
dengan waktu yang tidak terganggu pada malam hari.
Rasional: untuk meningkatkan istirahat klien agar mengurangi
nyeri.
3) Berikan informasi yang akurat untuk mengurangi nyeri.
Rasional: agar klien tau penyebab nyeri pada pasien thypus
abdominalis.
4) Berikan individu pereda rasa sakit yang optimal dengan analgesik.
Rasional :Untuk memberikan terapi pereda nyeri.
33
7. Kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan kurang
informasi.
a. Tujuan : Pengetahuan keluarga meningkat
b. Kriteria hasil : Keluarga mampu menyebutkan pengertian thypoid,
tanda gejala, penyebab, diit yang diberikan pada pasien thypoid
c. Intervensi:
1) Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya
Rasional: mengetahui apa yang diketahui pasien tentang
penyakitnya.
2) Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan pasien
Rasional: supaya pasien tahu tata laksana penyakit, perawatan dan
pencegahan penyakit typhoid.
3) Beri kesempatan pasien dan keluarga pasien untuk bertanya bila
ada yang belum dimengerti.
Rasional :mengetahui sejauh mana pengetahuan pasien dan
keluarga pasien setelah diberi penjelasan tentang penyakitnya.
4) Beri reinforcement positif jika klien menjawab dengan tepat
Rasional : memberikan rasa percaya diri pasien dalam kesembuhan
sakitnya.
8. Cemas berhubungan dengan mekanisme koping yang tidak efektif, krisis
situasi akibat perubahan status kesehatan dan hospitalisasi.
a. Tujuan: Cemas berkurang
34
b. Kriteria hasil: Menggambarkan kecemasan, menghubungkan
peningkatan psikologis dan kenyamanan fisiologis, menggunakan
mekanisme koping yang efektif dalam mengalami cemas.
c. Intervensi
1) Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien
Rasional : memudahkan intervensi
2) Kaji mekanisme koping yang digunakan pasien untuk mengatasi
ansietas dimasa lalu.
Rasional : mempertahankan mekanisme koping adaptif,
meningkatkan kemampuan mengontrol ansietas.
3) Lakukan pendekatan dan berikan motivasi kepada pasien untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaan.
Rasional : pendekatan dan motivasi membantu pasien untuk
mengeksternalisasikan kecemasan yang dirasakan
4) Motivasi pasien untuk menfokuskan diri pada rialita yang ada saat
ini, harapan-harapan yang positif terhadap terapi yang dialami.
Rasional : alat untuk mengidentifikasi mekanisme koping yang
dibutuhkan untuk mengurangi kecemasan.
5) Anjurkan pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi.
Rasional : menciptakan perasaan yang tenang dan nyaman.