bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id ii.pdf2.1.1 pengertian diare diare merupakan kondisi...

24
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka diperlukan untuk mendukung permasalahaan yang diungkapkan dalam usulan penelitian. Tinjauan pustaka sangat penting dalam mendasari penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2010). Dalam bab ini akan membahas mengenai konsep diare, nyeri, dan penatalaksanaan nyeri abdomen pada pasien diare 2.1 Konsep Diare 2.1.1 Pengertian Diare Diare merupakan kondisi dimana terjadi frekuensi defekasi yang abnormal (Lebih dari 3 kali/ hari), serta perubahan dalam isi (lebih dari 200 g/hari) dan konsistensi (feses cair) ( Brunner dan Suddarth, 2010). Diare dedifinisikan sebagai buang air besar dengan feses yang tidak berbentuk (unformed stools) atau cair dengan frekuensi lebih dari tiga kali dalam 24 jam (Zein, 2004). Diare merupakan buang air besar encer lebih dari tiga kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat atau tanpa disertai lendir dan darah. (Simadibrata, 2007) Jadi dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa diare adalah suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal dengan frekuensi buang air besar lebih dari tiga kali konsistensi feses encer, serta terjadi perubahan dalam isi feses yaitu lebih dari 200 g/ hari yang dapat atau tanpa disertai lendir dan darah.

Upload: hoangdiep

Post on 24-May-2018

248 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka diperlukan untuk mendukung permasalahaan yang diungkapkan

dalam usulan penelitian. Tinjauan pustaka sangat penting dalam mendasari

penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2010). Dalam bab ini akan

membahas mengenai konsep diare, nyeri, dan penatalaksanaan nyeri abdomen

pada pasien diare

2.1 Konsep Diare

2.1.1 Pengertian Diare

Diare merupakan kondisi dimana terjadi frekuensi defekasi yang abnormal (Lebih

dari 3 kali/ hari), serta perubahan dalam isi (lebih dari 200 g/hari) dan konsistensi

(feses cair) ( Brunner dan Suddarth, 2010). Diare dedifinisikan sebagai buang air

besar dengan feses yang tidak berbentuk (unformed stools) atau cair dengan

frekuensi lebih dari tiga kali dalam 24 jam (Zein, 2004). Diare merupakan buang

air besar encer lebih dari tiga kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat

atau tanpa disertai lendir dan darah. (Simadibrata, 2007)

Jadi dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa diare adalah suatu

keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal dengan frekuensi buang air besar

lebih dari tiga kali konsistensi feses encer, serta terjadi perubahan dalam isi feses

yaitu lebih dari 200 g/ hari yang dapat atau tanpa disertai lendir dan darah.

8

2.1.2 Etiologi diare

Diare terjadi akibat pergerakan yang cepat dari materi tinja sepanjang usus besar.

Beberapa penyabab diare secara fisiologis dapat dipengaruhi oleh Enteritis, diare

psikogenik dan colitis ulserativa (Guyton, 2007).

Enteritis merupakan peradangan yang biasanya disebabkan oleh virus maupun

oleh bakteri pada traktus intestinalis. Lebih dari 90% kasus diare akut adalah

disebabkan oleh agen infeksius (Ahlquist dan Camilleri, 2005). Di Indonesia,

penyebab utama diare adalah Shigella, Salmonella, Campylobacter, E. Coli, dan

Entamoeba histolytica (Depkes RI, 2000). Pada kasus tertentu seperti Traveller’s

Diarrhea (TD) 80 % diantaranya disebabkan oleh bakteri Enteroinvasive coli

(ETEC) (Diemert dalam NCBI,2006). Selain itu diare dapat disebabkan oleh

infeksi virus seperti Enterovirus (Virus ECHO, Coxsackie, Poliomyelitis),

Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus; infeksi bakteri seperti Vibrio, Yersinia,

Aeromonas; infeksi parasit seperti cacing (Ascaris, Trichiuris, Strongyloides),

Protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis), jamur

(Candida albicans) (Kliegman, 2006).

Diare psikogenik terjadi akibat ketegangan saraf oleh stimulasi yang berlebihan

pada system saraf simpatis. Kondisi ini dapat kita jumpai pada kondisi stress

misalnya pada saat ujian. Akibatnya akan terjadi peningkatan motilitas maupun

sekresi mukus yang berlebihan pada kolon distal yang menyebabkan diare

(Guyton, 2007).

Salah satu penyebab diare yang lain adalah proses peradangan dan ulserasi di

daerah yang luas dari usus besar yang disebut colitis ulserativa. Motilitas dari

9

kolon yang mengalami ulserasi sering begitu besar sehingga perpindahan massa

terjadi seharian, dibandingkan keadaan biasa yaitu 10 sampai 30 menit. Sekresi

kolon juga sangat meningkat, akibatnya pasien mengalami gerakan usus dengan

diare yang berulang (Guyton, 2007).

2.1.3 Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian diare

Faktor risiko yang mempengaruhi diare dapat ditinjau dari karakteristik

responden, tingkat pengetahuan, pekerjaan dan higienitas.

a. karakteristik responden

1) Jenis kelamin

Diare merupakan masalah kesehatan gender. Perempuan berisiko terhadap

penyakit diare dibandingkan laki-laki karena pengaruh perilaku dan paparan.

Perempuan lebih banyak terlibat dalam kegiatan rumah tangga, seperti memasak,

membersihkan rumah dan aktifitas lain yang menjadi sumber paparan patogen

dalam rumah tangga serta berbagai bahan kimia (Rahmi, 2012)

2) Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang, semakin tinggi

tingkat pendidikan yang dimiliki maka pengetahuannya pun meningkat (Widianti,

2007). Hal ini juga berpengaruh terhadap kemampuan orang untuk menerima

informasi dalam mengembangkan dan meningkatankan derajat kesehatan yang

berkaitan dengan pengetahuan dan penanganan diare.

10

3) Pekerjaan

Jenis pekerjaan berpengaruh terhadap kemampuan akses dalam bidang pelayanan

kesehatan (Listiono, 2010). Penelitian yang dilakukan Lubby et al (2011)

menyatakan ada hubungan antara pekerjaan dengan diare. Kelompok yang tidak

bekerja cenderung berpendapatan rendah, penghasilan kurang cukup sehingga

kurang dapat memebuhi kebutuhan sehingga kurang dalam praktek higine yang

dapat berpengaruh terhadap diare.

4) Higiene

Perilaku cuci tangan merupakan hal yang penting dalam pencegahan kontaminasi

bibit penyakit penyebab diare. Cuci tangan dapat dilakukan menggunakan air

mengalir dan sabun dan sikat kuku sebelum menjamah makanan, memegang

peralatan makan, sebelum makan, setelah keluar dari kamar kecil atau WC serta

sesudah memebuang tinja (Kementrian Kesehatan Republic Indonesia, 2011).

Higiene sanitasi makanan minuman serta penanganan sanitasi lingkungan dan air

bersih merupakan pegendalian terhadap gangguan kesehatan dengan mencegah

berkembang biaknya pathogen dan penyabaran penyakit menular (KemenKes RI,

2010).

2.1.4 Faktor Risiko Traveller’s Diarrhea (TD)

Berdasarkan jurnal New Developments in Traveler's Diarrhea tahun 2011 terkait

meningkatan risiko terjadinya Traveller’s Diarrhea (TD) adalah tingkat

kebersihan. Selain itu faktor usia juga mempengaruhi kejadian TD, misalnya

balita dan remaja yang kurang memperhatikan tingkat kebersihan atas makanan

11

yang dikonsumsi. Jenis diet dan makanan juga berpengaruh terhadap pencernaan

para wisatawan yang sensitif terhadap makanan jenis terentu. Lokasi dan cuaca

juga berperan terhadap peningkatan kejadian TD.

2.1.5 Klasifikasi Diare

Menurut Guyton (2007) diare dapat diklasifikasikan berdasarkan durasinya

menjadi dua yaitu diare akut dan diare kronis.

a. Diare akut

Diare akut yaitu buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan konsistensi

tinja yang lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya dan berlangsung

dalam waktu kurang dari 2 minggu.

b. Diare kronis

Diare kronis adalah diare hilang-timbul, atau berlangsung lama yang lebih dari 4

minggu (Harrison, 2010).

2.1.6 Patogenesis Diare

Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare (Kowalak, 2012) ialah :

a. Gangguan osmotik

Keberadaan substansi yang tidak terserap, seperti jumlah gula sintesis atau

peningkatan jumlah partikel osmotik di dalam usus halus akan meningkatkan

tekanan osmotik dan menarik air secara berlebihan ke dalam usus halus sehingga

terjadi peningkatan berat serta volume feses.

12

b. Gangguan sekresi

Mikroorganisme patogen atau tumor akan mengiritasi otot dan lapisan mukosa

intestinum. Peningkatan motilitas dan sekret (air, elektrolit seta lendir) sebagai

konsekuensinya akan mengakibatkan diare.

c. Gangguan motilitas usus

Inflamasi, neuropati dan obstruksi menimbulkan refleks berupa kenaikan motilitas

usus untuk mendorong iritan atau melepaskan obstruksi. Setelah terpapar dengan

agen tertentu, virus akan masuk ke dalam tubuh bersama dengan makanan dan

minuman. Virus akan merusakkan sel-sel epitel dalam vili usus halus sehingga

tidak dapat menyerap cairan dan makanan dengan baik. Cairan dan makanan tadi

akan terkumpul di usus halus dapat meningkatkan tekanan osmotik usus. Hal ini

menyebabkan banyak cairan ditarik ke dalam lumen usus dan akan menyebabkan

terjadinya hiperperistaltik usus sehingga terjadilah diare (Kliegman, 2006).

2.1.7 Tanda dan Gejala (gambaran klinis)

Infeksi usus menimbulkan gejala gastrointestinal serta gejala lainnya bila terjadi

komplikasi ekstra intestinal termasuk manifestasi neurologik. Gejala

gastrointestinal bisa berupa diare, kram perut, dan muntah. Sedangkan manifestasi

sistemik bervariasi tergantung pada penyebabnya.

Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion

natrium, klorida, dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila

ada muntah dan kehilangan air juga meningkat bila ada panas (Juffrie, 2010).

13

Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh

lambung yang turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam-basa dan

elektrolit (Kliegman, 2006). Penyerapan cairan, elektrolit dan nutrient dapat

berkurang dengan beragam faktor termasuk efek toksik mikroorganisme serta

alkohol dan kerusakan mukosa. Kerusakan mukosa usus akan menimbulkan

respon inflamasi yang mencetuskan nyeri abdomen.

2.1.8 Penatalaksanaan Diare

Penaltaksanaan diare menurut Zein (2004) dapat dibagi menjadi tiga yaitu

a. Penggantian Cairan dan elektrolit

Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang adekuat

dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Idealnya, cairan rehidrasi oral

tersedia secara komersial dalam paket berupa oralit. Dua pisang atau 1 cangkir jus

jeruk diberikan untuk mengganti kalium. Jika terapi intra vena diperlukan, cairan

normotonik seperti cairan saline normal atau laktat ringer harus diberikan dengan

suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus

dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan

urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan.

b. Antibiotik

Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda diare

infeksi seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi

dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa pada diare infeksi,

diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised. Pemberian antibiotik

14

secara empiris dapat dilakukan, tetapi terapi antibiotik spesifik diberikan

berdasarkan kultur dan resistensi kuman.

c. Probiotik

Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau

Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran cerna

akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan reseptor

saluran cerna. Syarat penggunaan dan keberhasilan untuk

mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan dalam jumlah yang adekuat.

2.1.9 Pencegahan

Diare umumnya ditularkan melalui 4 F, yaitu food, feses, fly, dan finger. Oleh

karena itu upaya pencegahan diare yang praktis adalah dengan memutus rantai

penularan tersebut. Beberapa upaya yang mudah diterapkan adalah penyiapan

makanan yang higienis, penyediaan air minum yang bersih serta perilaku cuci

tangan dan menjaga agar lingkungan tetap bersih dan sehat (Kemenkes RI, 2010).

2.2 Nyeri

2.2.1 Pengertian

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat

dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial (NANDA, 2012). Sedangkan

definisi nyeri menurut Tamsuri (2007) adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik

ringan maupun berat sehingga mempengaruhi seseorang (Tamsuri, 2007).

15

Jadi dari beberapa pengertian diatas nyeri dapat didefinisikan sebagai pengalaman

sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan

yang aktual dan potensial baik ringan maupun berat sehingga mempengaruhi

seseorang.

2.2.2 Klasifikasi nyeri

Menurut NANDA (2012) berdasarkan durasinya nyeri dapat dibedakan menjadi

dua yaitu :

a. Nyeri akut

Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan

akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial yang terjadi secara tiba-

tiba atau lambat dari intensitas ringan sampai berat yang dapat diantisipasi atau

diprediksi dan berlangsung selama enam bulan atau kurang.

b. Nyeri kronik

Nyeri kronis adalah keadaan dimana seorang individu mengalami nyeri dengan

intensitas dari ringan hingga berat yang terjadi secara konstan atau berulang tanpa

akhir dan berlangsung lebih dari enam bulan.

Menurut O’brien (2013) nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan neuroanatomi

dapat dibedakan menjadi dua yaitu :

a. Nyeri Viseral

Nyeri viseral biasanya disebabkan oleh peregangan unmyelinated fiber yang

menyelimuti dinding atau kapsul organ. Nyeri viseral seperti kram sering

bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi ureteral,

16

menstruasi, dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan. Nyeri viseral,

seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otot lurik sekitar, yang

membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi teradi pada peritoneum.

b. Nyeri Somatik

Nyeri somatik disebabkan oleh iritasi myelenated fiber yang menyelimuti bagian

parietal peritonium dan biasanya pada bagian anterior dinding abdomen. Nyeri

somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah dilokalisasi dan

rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan, membran

mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan peritoneum.

2.2.3 Patofisiologi nyeri

Ada beberapa teori yang menjelaskan mekanisme neurologik yang mendasari

sensasi nyeri yaitu teori spesifisitas, teori pola , teori pengendalian gerbang, teori

endorphin-enkefalin (Guyton, 2007)

a. Teori pola (Pattern Theory) adalah nyeri yang terjadi karena efek-efek

kombinasi intensitas stimulus dan jumlah impuls-impuls pada dorsal ujung dari

sumsum belakang. Salah satu konsep kunci pada teori pola penjumlahan adalah

bahwa terbentuk sirkuit-sirkui serat saraf dalam kelompok interneuron spinal

(suatu reverberating circuit) setelah suatu cedera, sehingga nyeri dapat berlanjut

tanpa stimulasi. Mekanisme ini dapat menjelaskan fenomena seperti phantom limb

pain (nyeri anggota tubuh bayangan).

b. Teori pemisahan (specificity theory).

17

Reseptor-reseptor nyeri tertentu menyalurkan impuls-impuls keseluruh jalur nyeri

ke otak. Pada teori ini menjelaskan dua prinsip nyeri yaitu reseptor

somatosensorik yang merupakan resptor yang mengalami spesialisasi untuk

berespon secara optimal terhadap satu atau lebih stimulus tertentu. Tujuan

perjalan neuron aferen primer dan jalur asedens merupakan faktor kritis dalam

membedakan sifat stimulus di perifer.

c. Teori pengendalian gerbang (gate control theory).

Teori pengendalian gerbang dikemukakan oleh Melzak dan Wall (2000). Teori ini

lebih komprehensip dalam menjelaskan tramisi dan presepsi nyeri, nyeri

tergantung dari kerja serta saraf besar dan kecil yang keduanya berada dalam akar

ganglion dorsalis.

Baik serat sensorik bermielin besar (L) yang membawa informasi mengenai rasa

raba dan propriosepsi dari perifer (serat A-α dan A-β) maupun serat kecil (S) yang

membawa informasi mengenai nyeri (serat A-δ dan C) menyatu di kornu dorsalis

medula spinalis. Rangsang pada serat saraf besar akan mengakibatkan tertutupnya

pintu mekanisme sehingga aktivitas sel T terhambat dan menyebabkan hantaran

rangsangan ikut terhambat. Rangsangan serat besar dapat langsung merangsang

korteks serebri. Hasil persepsi ini akan dikembalikan ke dalam medulla spinalis

melalui spinalis serat eferen dan reaksinya memengaruhi aktivitas sel T.

Rangsangan pada serat kecil akan menghambat aktivitas substansia gelatiosa dan

membuka pintu mekanisme, sehingga merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya

akan menghantarkan rangsangan nyeri. (Melzack dalam Guyton, 2007)

18

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuronsensori dan serabut control desenden

dari otak mengatur proses perthanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi

P untuk mentrnsmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat

mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang

melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal

dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini

mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok

punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi

mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan

serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan

sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek

yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden

melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri

alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme

pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. Teknik distraksi,

konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin

(Potter, 2005)

d. Teori transmisi dan inhibisi.

Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi implus-implus saraf,

sehinggga transmisi implus nyeri menjadi efektif oleh neurotransmitter yang

spesifik. Kemudian, inhibisi implus nyeri menjadi efektif oleh implus-implus pada

serabut-serabut besar yang memblok implus-implus pada serabut lamban endogen

opiate sistem supersif (Suddarth & Brunner, 2013).

19

2.2.5 Faktor yang mempengaruhi terjadinya nyeri

Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi

pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus mempertimbangkan

faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri. Hal ini

sangat penting dalam pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri yang

baik.

a. Usia

Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, Pada orang dewasa

kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi.

Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka

menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau

mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan (Potter&Perry,

2005).

b. Jenis kelamin

Gill (1990) dalam Potter & Perry (2005) mengungkapkan laki-laki dan wanita

tidak mempunyai perbedaan secara signifikan mengenai respon mereka terhadap

nyeri. Masih diragukan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang berdiri

sendiri dalam ekspresi nyeri. Misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh

menangis dimana seorang wanita dapat menangis dalam waktu yang sama.

c. Pengalaman masa lalu

Menurut Priyanto (2009), seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa

lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi

20

nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di

masa lalu dalam mengatasi nyeri.

d. Ansietas

Ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan

persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri

dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri

(Brunner & Sudarth 2010).

e. Budaya

Budaya dan etniksitas berpengaruh pada bagaimana seseorang berespon terhadap

nyeri (bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku dalam berespon

terhadap nyeri), namun budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi nyeri,

(Zatzick dan Dimsdale dalam Brunner & Suddarth, 2010).

f. Efek placebo

Efek placebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan atau tindakan

lain karena suatu harapan bahwa pengobatan dan tindakan tersebut akan

memberikan hasil bukan karena tindakan dan pengobatan tersebut benar-benar

bekerja. Efek placebo timbul dari produksi alamiah (endogen) endorphin dalam

sistem kontrol desenden.

Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat meningkatkan keefektifan

medikasi atau intervensi lainnya. Hubungan perawat-pasien yang positif juga

dapat menjadi peran yang amat penting dalam meningkatkan efek placebo.

21

g. Keluarga dan Support Sosial

Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah kehadiran dari

orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri sering bergantung

pada keluarga untuk mensupport, membantu atau melindungi. Ketidakhadiran

keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri semakin bertambah

(Potter & Perry, 2005).

h. Sumber koping

Sumber koping lebih dari sekitar metode teknik. Seorang klien mungkin

tergantung pada support emosional dari anak-anak, keluarga atau teman.

Kepercayaan pada agama dapat memberi kenyamanan untuk berdoa, memberikan

banyak kekuatan untuk mengatasi ketidaknyamanan yang datang (Potter & Perry,

2005).

2.2.6 Penilaian Nyeri

Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi nyeri

yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk menilai

derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat

berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan.

a. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale

Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari

senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien

dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang

kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.

22

Gambar 1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale (Sumber : Pain About.Com)

b. Verbal Rating Scale (VRS)

Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala lima

poin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat. Alat VRS ini

memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri

(Tamsuri, 2007).

c. Numerical Rating Scale (NRS)

Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien

ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka 0 – 5

atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10

menunjukkan nyeri yang hebat.

Gambar 2. Skala Numerik (Sumber : Medscape, 2008)

23

d. Visual Analogue Scale (VAS)

Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang

merupakan skala dengan garis lurus 100 ml, dimana awal garis (0) penanda tidak

ada nyeri dan akhir garis (100) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk

membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan.

Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh

penderita dibandingkan dengan skala lainnya (Willianson, 2008) .

Gambar 3. Skala Analog Visual (Sumber : Medscape, 2008)

2.2.7 Penatalaksanaan Nyeri

Penanganan nyeri yang efektif harus mengetahui patofisiologi sehingga

penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara farmakoterapi (multimodal

analgesia), pembedahan, serta juga terlibat didalamnya perawatan yang baik dan

teknik non-farmakologi (Brunner & Sudart, 2013).

a. Farmakologis

Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi farmakologis dilakukan

dalam kolaborasi dengan dokter atau pemberi perawatan utama lainnya dan

pasien. Intervensi farmakologis ini berupa pemberian obat-obat anti nyeri atau

24

berupa obat analgesik. Metode pemberiannya dapat berupa parenteral, oral, rectal,

transdermal, atau intraspinal.

b. Nonfarmakologis

Penatalaksanaan nyeri melalui nonfarmakologis, meliputi :

1) Kompres hangat

Kompres hangat adalah pengompresan yang dilakukan dengan mempergunakan

kantung berisi air hangat secara konduksi terjadi pemindahan panas dari kantung

ke dalam tubuh sehingga akan menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan akan

terjadi penurunan ketegangan otot sehingga nyeri haid yang dirasakan akan

berkurang atau hilang (Perry & Potter,2005).

Menurut Price & Wilson (2005), kompres hangat sebagai metode yang sangat

efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang otot.

2) Stimulasi dan masase kutaneus

Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada

punggung dan bahu. Teori gate control nyeri, bertujuan menstimulasi serabut-

serabut yang menstranmisikan sensasi tidak nyeri memblok atau menurunkan

transmisi impuls nyeri selain itu masase dapat mengaktifkan transmisi serabut

saraf sensori A-beta yang lebih besar dan cepat, sehingga menurunkan transmisi

nyeri melalui serabut C dan A-delta berdiameter kecil sekaligus menutup gerbang

sinap (Potter & Perry, 2005).

3) Terapi es dan panas

Terapi es dan panas dapat menjadi strategi pereda nyeri yang efektif pada

beberapa keadaan. Diduga bahwa terapi es dan panas bekerja dengan

25

menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-nosiseptor) dalam bidang reseptor yang

sama seperti pada cedera. Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang

memperkuat sensivitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera

dengan menghambat proses ((Mutaqin, 2011)

4) Stimulasi saraf elektris transkutan/Trancutans Electric Neuro Stimulation

(TENS)

Stimulasi saraf elektris transkutan/Trancutans Electric Neuro Stimulation (TENS)

menggunakan unit yang dijalankan oleh baterai dengan elektroda yang dipasang

pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan, menggetar atau mendengung

pada area nyeri. TENS secara selektif akan TENS secara selektif akan

mengaktifkan serat raba berdiameter besar (Ab) tanpa mengaktifkan serat

nociceptive berdiameter lebih kecil (A dan C), sehingga menghasilkan subtansi

analgesik segmental yang dikeluarkan otak dengan cepat dan terlokalisir pada

dermatom yang bekerja pada system saraf pusat dan saraf perifer untuk

mengurangi nyeri (Rita, 2009)

5) Distraksi

Distraksi, yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain

pada nyeri, dapat menjadi srategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan

mekanisme yang bertanggung jawab terhadap teknik kognitif afektif lainnya.

Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi system

kontrol desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimulasi nyeri yang

ditransmisikan ke otak (Tamsuri, 2007).

26

6) Teknik relaksasi

Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan

ketegangan otot. Ada tiga hal utama yang diperlukan dalam relaksasi yaitu posisi

yang tepat, pikiran beristirahat, lingkungan yang tenang. (Brunner & Suddart,

2010)

7) Imajinasi terbimbing

Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara

yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu. Sebagai

contoh, imajinasi terbimbing untuk relaksasi meredakan nyeri dapat terdiri atas

menggabungkan nafas berirama lambat dengan suatu bayangan mental relaksasi

dan kenyamanan (Potter & Perry, 2005).

8) Hipnotis

Hipnotis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan jumlah analgesic yang

dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis. Teknik ini mungkin membantu dalam

memberikan peredaan nyeri terutama dalam situasi kulit (missal, luka bakar).

2.3 Kompres Hangat

2.3.1 Pengertian

Menurut Asmadi (2008) kompres hangat adalah metode pemeliharaan suhu tubuh

dengan menggunakan cairan atau alat yang dapat menimbulkan hangat pada

bagian tubuh yang memerlukan. Panas yang disalurkan melalui kompres panas

dapat meredakan nyeri dengan menyingkirkan produk – produk inflamasi, seperti

bradikinin, histamin, dan prostaglandin yang akan menimbulkan nyeri lokal.

27

Panas juga merangsang serat saraf yang menutup gerbang sehingga transmisi

implus nyeri ke medulla spinalis dan otak dapat dihambat (Price, 2005).

2.3.2 Manfaat efek panas

Panas digunakan secara luas dalam pengobatan karena memiliki efek dan manfaat

yang besar. Adapun manfaat efek panas adalah (Gabriel, dalam Prami 2014)

a. Efek fisik

Panas dapat menyebabkan zat cair, padat, dan gas mengalami pemuaian ke segala

arah.

b. Efek kimia

Rata-rata kecepatan reaksi kimia didalam tubuh tergantung pada temperatur.

Menurunnya reaksi kimia tubuh sering dengan menurunnya temperatur tubuh.

Permeabilitas membran sel akan meningkat sesuai dengan peningkatan suhu, pada

jaringan akan terjadi peningkatan metabolisme seiring dengan peningkatan

pertukaran antara zat kimia tubuh dengan cairan tubuh.

c. Efek biologis

Panas dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah yang mengakibatkan

peningkatan sirkulasi darah. Secara fisiologis respon tubuh terhadap panas yaitu

menyebabkan pembuluh darah, menurunkan kekentalan darah, menurunkan

ketegangan otot, meningkatkan metabolisme jaringan dan meningkatkan

permeabilitas kapiler.

Kompres hangat menimbulkan efek vasodilatasi pembuluh darah sehingga

meningkatkan aliran darah. Peningkatan aliran darah dapat menyingkirkan

28

produk-produk inflamasi seperti bardikinin, histamin, dan prostaglandin yang

menimbulkan nyeri lokal. Selain itu kompres hangat dapat merangsang serat saraf

yang menutup gerbang sehingga transmisi impuls nyeri ke medula spinalis dan

otak dapat dihambat (Price & Wilson 2006).

Respon dari panas inilah yang digunakan untuk keperluan terapi pada berbagai

kondisi dan keadaan yang terjadi dalam tubuh. Panas menyebabkan vasodilatasi

maksimum dalam waktu 20-30 menit, melakukan kompres lebih dari 30 menit

akan mengakibatkan kongesti jaringan dan klien akan beresiko mengalami luka

bakar karena pembuluh darah yang berkontriksi tidak mampu membuang panas

secara adekuat melalui sirkulasi darah (Kozier, 2009).

2.3.3 Mekanisme kerja panas

Penggunaan kompres panas untuk area yang tegang dan nyeri dianggap mampu

meredakan nyeri. Panas mengurangi spasme otot yang disebabkan oleh iskemia

yang merangsang neuron yang memblok transmisi lanjut rangsang nyeri

menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran darah ke area yang dilakukan

pengompresan (Nicholas dan Zwelling, 1997; Simkin, 1995, dalam Walsh, 2007).

Menurut Perry & Potter (2005), Kompres hangat dilakukan dengan

mempergunakan electric heating pad yaitu secara konduksi dimana terjadi

pemindahan panas dari kompres hangat elektrik ke dalam tubuh sehingga akan

menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan akan terjadi penurunan ketegangan

29

otot sehingga nyeri yang dirasakan akan berkurang atau hilang. Berikut ini

merupakan suhu yang direkomendasikan untuk kompres hangat

Tabel 2.1 Suhu yang direkomendasikan Untuk Kompres Hangat

Deskripsi Suhu Aplikasi

Hangat kuku 27-37oC Mandi air hangat

Hangat 37-40oC Mandi dengan air hangat, bantalan akuatemia

Panas 40-46oC Berendam dalam air panas, irigasi, kompres

panas

Sangat Panas Lebih dari 46oC Kantong air panas untuk orang dewasa

Sumber : Kozier B dan Gleniora Erb, 2009

2.4 Pengaruh Kompres Hangat Elektrik Dalam Menurunkan Nyeri

Abdomen Pada Pasien Diare

Kompres hangat elektrik adalah memberikan rasa hangat pada klien dengan

menggunakan bantalan elektrik yang menimbulkan hangat pada bagian tubuh

yang memerlukannya yang disambungkan ke sumber aliran listrik. Tujuan dari

kompres hangat ini untuk menurunkan intensitas nyeri dengan manfaat pemberian

kompres hangat secara biologis dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah yang

mengakibatkan peningkatan sirkulasi darah. Secara fisiologis respon tubuh

terhadap panas yaitu menyebabkan dilatasi pembuluh darah, menurunkan

kekentalan darah, menurunkan ketegangan otot, meningkatkan metabolisme

jaringan dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Respon dari panas inilah yang

digunakan untuk keperluan terapi pada berbagai kondisi dan keadaan yang terjadi

dalam tubuh. Pada kompres hangat elektrik dapat memberikan suhu secara

konstan serta memiliki keuntungan pasien dapat mengatur secara mandiri suhu

yang digunakan sesuai kebutuhan.

30

Berdasarkan hasil penelitian Prami (2014), sebanyak 27 remaja putri mengalami

disminore dengan skala nyeri sedang. Responden diberi perlakuan kompres

hangat selama 20 menit dan mengalami penurunan skala nyeri ringan sebanyak 24

responden (88,89%).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rohmawati tahun 2005, adanya

pengaruh pemberian kompres hangat terhadap waktu flatus ibu melahirkan post

SC. Kompres hangat atau pemberian efek panas terhadap bagian yang nyeri

merupakan salah satu teknik relaksasi. Teknik ini dapat menghasilkan hormon

endorphin. Endorphin adalah neuropeptide yang dihasilkan tubuh pada saat

relaks/tenang. Endorphin dihasilkan di otak dan susunan syaraf tulang belakang.

Hormon ini dapat berfungsi sebagai obat penenang alami yang diproduksi otak

yang melahirkan rasa nyaman dan meningkatkan kadar endorphin dalam tubuh

untuk mengurangi rasa nyeri pada saat kontraksi. Ketika seseorang melakukan

kompres hangat, maka b-endorphin akan keluar dan ditangkap oleh reseptor di

dalam hipothalamus dan sistem limbik yang berfungsi untuk mengatur emosi.

Peningkatan b-endorphin terbukti berhubungan erat dengan penurunan rasa nyeri,

peningkatan daya ingat, memperbaiki nafsu makan, kemampuan seksual, tekanan

darah dan pernafasan (Harry, 2007).

Berdasarkan penelitian di atas, kompres hangat dapat mempengaruhi nyeri di

abdomen dan merangsang peningkatan metobolisme gastrointestinal yang dapat

meningkatkan proses penyembuhan.