bab ii tinjauan pustaka pengetahuan...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengetahuan
1. Pengertian
Notoatmodjo ( 2003 ), mendefinisikan pengetahuan merupakan hasil dari
tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu
objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni:
indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan, dan perabaan.
Pengetahuan manusia sebagian besar diperoleh melalui penglihatan dan
pendengaran serta sedikit yang diperoleh melalui penciuman, perasaan, dan
perabaan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam bentuk tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan adalah hasil
dari suatu produk sistem pendidikan dan akan mendapatkan pengalaman yang
nantinya akan memberikan suatu tingkat pengetahuan atau ketrampilan dapat
dilakukan melalui pelatihan. Pengetahuan diperoleh dari proses belajar, yang
dapat membentuk keyakinan tertentu.
Jann Hidayat Tjakraatmadja dan Donald Crestofel Lantu dalam bukunya
Knowledge Management disebutkan bahwa pengetahuan diperoleh dari
sekumpulan informasi yang saling terhubung secara sistematik sehingga
memiliki makna. Informasi diperoleh dari data yang sudah diolah (disortir,
dianalisis, dan ditampilkan dalam bentuk yang dapat dikomunikasikan melalui
bahasa, grafik atau tabel), sehingga memiliki arti. Selanjutnya data ini akan
dimiliki seseorang dan akan tersimpan dalam neuron-neuron (menjadi
memori) di otaknya.
Manusia ketika kemudian dihadapkan pada suatu masalah maka
informasi-informasi yang tersimpan dalam neuron-neuronnya dan yang terkait
dengan permasalahan tersebut, akan saling terhubungkan dan tersusun secara
sistematik sehingga ia memiliki model untuk memahami atau memiliki
pengetahuan yang terkait dengan permasalahan yang dihadapinya.
9
Kemampuan memiliki pengetahuan atas obyek masalah yang dihadapi sangat
ditentukan oleh pengalaman, latihan atau proses belajar (proses berfikir).
2. Tingkatan pengetahuan
Tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif terdapat 6 tingkatan yaitu :
a. Tahu (know)
Tahu dapat diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya, termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) terhadap suatu spesifik dari seluruh bahan
yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu
ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Contoh : hanya
dapat menyebutkan pengertian patient safety.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat mengintepretasikan
materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau
materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,
meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. Misalnya
dapat menjelaskan mengapa program patient safety perlu untuk diterapkan
secara benar.
c. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real ( sebenarnya ). Aplikasi
di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaaan hukum-hukum,
rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang
lain. Misalnya dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan
masalah di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang
diberikan.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu
struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
10
Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti
dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan,
mengelompokkan, dan sebagainya.
e. Sintetis (synthetis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat
menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat
menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan
yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-
penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau
menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya, dapat menafsirkan
sebab-sebab mengapa keselamatan pasien itu harus diterapkan dalam
pelayanan kepada pasien(Notoatmodjo,2003).
Table 1.2 Tingkatan pengetahuan
tingkatan
pengetahuan
tahu memahami aplikasi analisis sintesis evaluasi
kurang + +cukup + + + +baik + + + + + +
Tabel diatas dapat dilihat bahwa seseorang yang dikatakan memiliki
pengetahuan kurang apabila seseorang tersebut baru sekedar tahu dan
memahami saja, sedangkan seseorang yang memiliki pengetahuan cukup
cenderung memiliki bukan hanya sekedar tahu dan memahami tetapi juga
sudah bisa mengaplikasi dan menganalisis, dan seseorang dikatakan memiliki
pengetahuan yang baik apabila sudah mencapai tingkatan/tahapan sintetis dan
11
evaluasi. Pengetahuan / kognitif oleh karenanya merupakan domain yang
sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior),
pengalaman dan penelitian ternyata perilaku didasari oleh pengetahuan.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin di ukur dari subyek penelitian
atau responden(Notoatmodjo,2003).
B. Sikap
1. Pengertian
Sikap adalah respon atau reaksi yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek, tidak dapat dilihat secara langsung
sehingga sikap hanya dapat ditafsirkan dari perilaku yang tampak. Sikap
merupakan produk dari proses sosialisasi , seseorang memberikan reaksi
sesuai dengan rangsangan yang ditemuinya. Sikap dapat diartikan suatu
kontrak untuk memungkinkan terlihatnya suatu aktivitas.
Sikap seseorang adalah suatu predisposisi (keadaan mudah dipengaruhi)
untuk memberikan tanggapan terhadap rangsang lingkungan yang dapat
membimbing atau memulai tingkah laku orang tersebut. Secara difinitif sikap
berarti suatu keadaan jiwa (mental) dan keadaan pikir yang dipersiapkan untuk
memberi tanggapan terhadap objek yang diorganisir melalui pengalaman serta
mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung pada perilaku
(Notoatmodjo, 2002).
Difinisi lain sikap menurut Sigit.S dalam Perilaku Organisasional.
sikap adalah tanggapan (respon) yang mengandung komponen-komponen
kognitif, afektif, dan konatif yang dilakukan oleh seseorang terhadap sesuatu
obyek atau stimulus dari lingkungan. Yang menjadi obyek atau stimulus itu
dapat berupa orang, barang, ide, aturan, kejadian atau lainya. Kognitif
(cognitive) yang dimaksud adalah sejauh mana tahu-nya orang mengenai
informasi tentang obyek yang ditanggapi itu. Unsur atau komponen yang ada
dalam pikiran orang mengetahui sejauh mana tahunya adalah tahu
sepenuhnya, agak tahu, atau samar-samar, atau bahkan sama sekali tidak tahu.
Afektif (affective) adalah sejauh mana afeksinya (penilaiannya) kepada obyek
12
yang disikapi mengenai baik-buruknya, menyenangkan-tidaknya, menarik-
tidaknya, atau favorable-unfavorable, terlepas dari keinginan untuk
memilikinya. Konaktif (conactive) adalah kecenderungan untuk berbuat
(berperilaku) terhadap obyek setelah mengerti (tahu) dan menilai terhadap
obyek yang disikapinya.
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat dilihat
langsung tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang
tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi
terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi
yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo,2003). Sikap
juga merupakan evaluasi atau reaksi perasaan mendukung atau memihak
(favorable) maupun perasaan tidak memihak (unfavorable) pada objek
tertentu (Azwar,2003).
2. Komponen pokok sikap(Notoatmodjo,2003)
Dalam bagian lain Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3
komponen pokok yaitu:
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh
(total attitude). Penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,
keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.
3. Tingkatan sikap
Berbagai tingkatan sikap antara lain:
1. Menerima(receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek). misalnya : sikap perawat terhadap
program patient safety dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian perawat
terhadap sosialisasi tentang pentingnya program patient safety.
13
2. Merespon(responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan meyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu
usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan,
terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang
menerima ide tersebut.
3. Menghargai(valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. misalnya : seorang
perawat yang mengajak perawat yang lain untuk berperilaku menerapkan
patient safety adalah bukti bahwa perawat tersebut telah mempunyai sikap
positif terhadap program patient safety.
4. Bertanggungjawab(responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. misalnya, seorang
perawat mau menerapkan keselamatan pasien, meskipun mendapat
tantangan dari teman sejawatnya.
Table 1.3 Tingkatan sikap
Tingkatan
sikap
menerima merespon menghargai Bertanggungjawab
Tidakmendukung
+ +
Mendukung + + + +
Tabel diatas menggambarkan bahwa seseorang yang memiliki sikap
tidak mendukung cenderung memiliki tingkatan hanya sebatas menerima dan
merespon saja, sedangkan seseorang dikatakan telah memiliki sikap yang
mendukung yaitu bukan hanya memiliki tingkatan menerima dan merespon
tetapi sudah mencapai tingkatan menghargai atau bertanggung jawab.
Sekord dan Backman dalam Azwar (2003), mendefinisikan sikap
sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi),
dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek
14
dilingkungan sekitarnya. Sikap yang ditujukan seseorang merupakan bentuk
respon batin dari stimulus yang berupa materi atau obyek di luar subyek yang
menimbulkan pengetahuan berupa subyek yang selanjutnya menimbulkan
respon batin dalam bentuk sikap si subyek terhadap yang diketahuinya itu.
Pengetahuan dan faktor lain seperti berfikir, keyakinan dan emosi memegang
peranan penting dalam penentuan sikap yang utuh(Notoatmodjo, 2003).
4. Karasteristik sikap.
Karasteristik sikap menurut Sigit(2003), dalam Perilaku Organisasional
karakteristik sikap antara lain :
1. Ada obyek artinya ada sesuatu yang disikapi.
2. Mengarah artinya banyak obyek, tetapi belum tentu menjadi arahan
sikap atau disikapi. Jadi sikap mengarah pada obyek yang disikapi.
3. Berintensitas atau berderajat karena dalam sikap ditanyakan sejauh
mana atau seberapa tinggi-rendah sikapnya.
4. Berstruktur artinya dalam sikap itu ada komponen-komponen yang
secara intern terbentuk dengan sendirinya, yaitu komponen kognitif,
afektif, dan konatif yang saling menjalin.
5. Fungsi sikap
Fungsi sikap menurut Sigit (2003), dalam Perilaku Organisasional adalah :
1. Penyesuaian atau pemanfaatan artinya menghadapi perlakuan dari
pihak lain, Jika diperlakukan baik, maka sikapnya positif dan
sebaliknya.
2. Pertahanan ego artinya bersikap tertentu terhadap sesuatu obyek
apakah positif, netral atau negative dan sikap ini dipertahankan
dalam waktu relative lama.
3. Pernyataan nilai artinya ada komponen afektifnya berisi penilaian
negatif-positif atau baik-buruk.
4. Pengetahuan artinya orang yang bersikap terhadap suatu obyek tentu
sedikit atau banyak telah memiliki pengetahuan tentang obyek yang
disikapinya itu.
15
C. Tindakan/praktik
Setelah seseorang mengetahui stimulus atau obyek tentang kesehatan,
kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui,
proses selanjutnya diharapkan dirinya akan melaksanakan atau mempraktekkan
apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik) (Notoatmodjo,2003).
Sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (ovet behaviour).
Mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung
atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain adalah: fasilitas
(Notoatmojo,2003).
Tindakan/praktek mempunyai beberapa tingkatan :
1. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.
2. Respon terpimpin (guided response)
Melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan
contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat kedua.
3. Mekanisme (mechanism)
Seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah
mencapai praktik tingkat tiga
4. Adopsi (adoption)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik. Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung
yakni dengan wawancara terhadap kegiatan - kegiatan yang telah dilakukan
beberapa jam, beberapa hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga
dapat dilaksanakan secara langsung dengan cara mengobservasi tindakan atau
kegiatan responden.
D. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku
Teori - teori yang telah dicoba untuk mengungkapkan determinan perilaku
dari analisis fakto-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang
berhubungan dengan kesehatan, antara lain :
16
Teori Lawrence Green (1991)
Lawrence Green berpendapat bahwa perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama
antara lain:
1. Faktor predisposisi (predisposing factor)
Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan,
tingkat sosial ekonomi dan sebagainya.
2. Faktor pemungkin (enabling factor)
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau
fasilitas kesehatan bagi masyarakat seperti, puskesmas, rumah sakit,
poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktek
swasta. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan
terwujudnya perilaku kesehatan.
3. Faktor penguat (reinforcing factor)
Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat,
tokoh agama dan para petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang-
undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang
terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang
bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif serta dukungan fasilitas saja,
melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat,
tokoh agama dan para petugas terlebih lagi petugas kesehatan. Di samping itu,
undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat
tersebut.
Disimpulkan bahwa perilaku seseorang (perawat) tentang program
patient safety ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan
sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu,
ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan juga akan
mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku. Seorang perawat yang
tidak mau menerapkan keselamatan pasien disebabkan karena orang tersebut
tidak atau belum mengetahui manfaat dari program patient safety bagi dirinya
17
(predisposing factors). Tetapi barangkali juga karena fasilitas yang disediakan
tidak ada dan peralatan yang tidak lengkap (enabling factors). Sebab lain
mungkin karena para petugas kesehatan atau tokoh masyarakat lain
disekitarnya tidak pernah memberikan contoh / penyuluhan tentang program
patient safety (reinforcing factors).
E. Konsep Patient Safety
1. Pengertian
Patient safety adalah pasien bebas dari cedera yang tidak seharusnya
terjadi atau bebas dari cedera yang potensial akan terjadi (penyakit,cedera
fisik/sosial psikologis, cacat, kematian ) terkait dengan pelayanan kesehatan
(KKP-RS, 2008). Patient Safety (keselamatan pasien) rumah sakit adalah suatu
sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk
: assesment resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan
risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden
dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya
resiko. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang di sebabkan oleh kesalahan
akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil (DepKes,2006).
2. Kebijakan DepKes tentang keselamatan pasien rumah sakit antara lain:
a. Terciptanya budaya keselamatan pasien dirumah sakit.
b. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.
c. Menurunnya Kejadian Tak Diharapkan (KTD).
d. Terlaksananya program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD.
3. Kebijakan patient safety di rumah sakit antara lain:
a. Rumah Sakit wajib melaksanakan sistim keselamatan pasien.
b. Rumah Sakit wajib melaksanakan 7 langkah menuju keselamatan pasien.
c. Rumah Sakit wajib menerapkan standart keselamatan pasien.
d. Evaliasi pelaksanaan keselamatan pasien akan dilakukan melalui program
akreditasi rumah sakit.
18
4. Sistim keselamatan pasien rumah sakit :
a. Pelaporan insiden, laporan bersifat anonim dan rahasia.
b. Analisa, belajar, riset masalah dan pengembangan taxonomy.
c. Pengembangan dan penerapan solusi serta monitoring/evaluasi.
d. Penetapan panduan, pedoman, SOP, standart indikator keselamatan pasien
berdasarkan pengetahuan dan riset.
e. Keterlibatan serta pemberdayaan pasien dan keluarganya.
5. Standar patient safety (DepKes.2006)
Standar I. Hak pasien
Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi
tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya kejadian
tak diharapkan.
Kriteria:
a. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.
b. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan.
c. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan
secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana
dan hasil pelayanan, pengobatan dan prosedur untuk pasien termasuk
kemungkinan KTD
Standar II. Mendidik pasien dan keluarga.
Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban
dan tanggung pasien dalam asuhan pasien. Keselamatan pasien dalam pemberian
pelayanan dapat di tingkatkan dengan keterlibatan pasien yang merupakan
patner dalam proses pelayanan. Karena itu di rumah sakit harus ada sistem dan
mekanisme mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung
jawab pasien dalam asuhan pasien.
Kriteria:
a. Memberi informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur.
19
b. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga.
c. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.
d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan.
e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit.
f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.
g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.
Standar III. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan.
Rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi
antar tenaga dan antar unit pelayanan.
Kriteria:
a. Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien
masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan
pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah sakit.
b. Terdapat koordinasi pelayanan yang di sesuaikan dengan kebutuhan pasien
dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada
seluruh tahap pelayanan transaksi antar unit pelayanan dapat berjalan baik
dan lancar.
c. Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi
untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan
sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut
lainnya.
d. Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga
dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif.
Standar IV :
Rumah sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang ada,
memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis
secara intensif , dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta
keselamatan pasien.
Kriteria:
a. Setiap rumah sakit harus melakukan proses perencanaan yang baik, mengacu
pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien petugas pelayanan
20
kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat dan faktor-faktor
lain yang berpotensi resiko bagi pasien sesuai dengan ” langkah menuju
keselamatan pasien rumah sakit”
b. Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja antara lain
yang terkait dengan : pelaporan insiden, akreditasi, menejemen resiko,
utilisasi, mutu pelayanan, keuangan.
c. Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua
KTD/KNC, dan secara proaktif melakukan evaluasi suatu proses kasus
resiko tinggi.
d. Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil
analisis untuk menentukan perubahan sistem yang di perlukan, agar kinerja
dan keselamatan pasien terjamin.
Standar V. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien.
1. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan
pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan ”7 langkah
menuju keselamatan pasien rumah sakit”.
2. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi
risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi
KTD/KNC.
3. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi
antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang
keselamatan pasien.
4. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur,
mengkaji dan meningkatkan kinerja rumah rakit serta meningkatkan
keselamatan pasien.
5. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam
meningkatkan kinerja Rumah Sakit dan keselamatan pasien.
Kriteria:
a. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.
b. Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan
program meminimalkan insiden, yang mencakup jenis kejadian yang
21
memerlukan perhatian, mulai dari KNC(Near miss) sampai dengan
KTD(Adverse event).
c. Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari
rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi dalam program keselamatan
pasien.
d. Tersedia prosedur ”cepat tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan
kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain
dan penyampaian informasi yang benar dan jalas untuk keperluan
analisis.
e. Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan
insiden termasuk penyediaan informasi yang benar danjelas tentang
analisis akar masalah (RCA) kejadian pada saat program keselamatan
pasien mulai di laksanakan.
f. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden atau
kegiatan proaktif untuk memperkecil resiko, termasuk mekanisme untuk
mendukung staf dalam kaitan dengan kejadian.
g. Terdapat kolaburasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit
dan antar pengelola pelayanan di dalam Rumah Sakit dengan
pendekatan antar disiplin.
h. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang di butuhkan dalam
kegiatan perbaikan kinerja rumah sakit dan perbaikan Keselamatan
Pasien, termasuk evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya
tersebut.
i. Tersedia sasaran terukur dan pengumpulan informasi menggunakan
criteria obyektif untuk mengevaluasi efektifitas perbaikan kinerja rumah
sakit dan keselamatan pasien, termasuk rencana tindak lanjut dan
implementasinya.
Standar VI. Mendidik staf tentang keselamatan pasien.
1. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk
setiap jabatan mencakup keterkaiatan jabatan dengan keselamatan
pasien secara jelas.
22
2. Rumah sakit menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan yang
berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta
mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien.
Kriteria:
a. Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan
orientasi bagi staf baru yang memuat topik tentang keselamatan paien
sesuai dangan tugasnya masing- masing.
b. Setiap rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien
dalam setiap kegiatan inservice training dan memberi pedoman yang
jelas tentang pelaporan insiden.
c. Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama
kelompok guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaburatif
dalam rangka melayani pasien.
Standar VII.
Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.
1. Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen
informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi
internal dan eksternal
2. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.
Kriteria:
a. Perlu di sediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses
manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal- hal terkait
dengan keselamatan pasien.
b. Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk
merevisi manajemen informasi yang ada.
6. Langkah penerapan program patient safety (DepKes.2006)
1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien.
2. Membangun komitmen dan fokus yang jelas tentang keselamatan pasien.
3. Membangun sistem dan proses managemen resiko serta melakukan
identifikasi dan assessmen terhadap potensial masalah.
4. Membangun sistim pelaporan.
23
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien.
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien dengan
melakukan analisis akar masalah.
7. Mencegah cedera melalui implementasi sistim keselamatan pasien
dengan menggunakan informasi yang ada.
7. Pendekatan komprehensif pengkajian keselamatan pasien(Anshar.2010)
Pengkajian pada keselamatan pasien secara garis besar dibagi atas: struktur,
lingkungan, peralatan dan teknologi, proses, orang dan budaya.
a. Struktur
1. Kebijakan dan prosedur organisasi : terdapat kebijakan dan prosedur
tetap yang telah dibuat dengan mempertimbangkan keselamatan pasien.
2. Fasilitas : fasilitas dibangun untuk meningkatkan keamanan.
3. Persediaan : hal – hal yang dibutuhkan sudah tersedia seperti persediaan
di ruang emergency.
b. Lingkungan
1. Pencahayaan dan permukaan berkontribusi terhadap pasien jatuh atau
cedera.
2. Temperatur : pengkondisian temperatur dibutuhkan dibeberapa ruangan
seperti ruang operasi.
3. Kebisingan : lingkungan yang bising dapat menjadi distraksi saat perawat
sedang memberikan pengobatan dan tidak terdengarnya sinyal alarm dari
perubahan kondisi pasien.
4. Ergonomic dan fungsional : ergonomic berpengaruh terhadap
penampilan seperti teknik memindahkan pasien, jika terjadi kesalahan
dapat menimbulkan pasien jatuh atau cedera. Selain itu penempatan
material di ruangan apakah sudah disesuaikan dengan fungsinya seperti
pengaturan tempat tidur , jenis , penempatan alat sudah mencerminkan
keselamatan pasien.
24
c. Peralatan dan teknologi
1. Fungsional : perawat harus mengidentifikasi penggunaan alat dan desain
dari alat. perkembangan kecanggihan alat sangat cepat sehingga
diperlukan pelatihan untuk mengoperasikan alat secara tepat dan benar.
2. Keamanan : alat – alat yang digunakan juga harus didesain
penggunaannya dapat meningkatkan keselamatan pasien.
d. Proses
1. Desain kerja : desain proses yang tidak dilandasi riset yang adekuat dan
kurangnya penjelasan dapat berdampak terhadap tidak konsisten
perlakuan pada setiap orang hal ini akan berdampak terhadap kesalahan.
Untuk mencegah hal tersebut harus dilakukan research based practice
yang diimplementasikan.
2. Karakteristik risiko tinggi : melakukan tindakan keperawatan yang terus
– menerus saat praktek akan menimbulkan kelemahan, dan penurunan
daya ingat hal ini dapat menjadi risiko tinggi terjadinya kesalahan atau
lupa oleh karena itu perlu dibuat suatu sIstem pengingat untuk
mengurangi kesalahan.
3. Waktu : waktu sangat berdampak pada keselamatan pasien hal ini lebih
mudah tergambar ada pasien yang memerlukan resusitasi, yang
dilanjutkan oleh beberapa tindakan seperti pemberian obat dan cairan,
intubasi dan defibrilasi dan pada pasien – pasien emergency oleh karena
itu pada saat – saat tertentu waktu dapat menentukan apakah pasien
selamat atau tidak.
4. Perubahan jadwal dinas perawat juga berdampak terhadap keselamatan
pasien karena perawat sering tidak siap untuk melakukan aktivitas secara
baik dan menyeluruh.
5. Waktu juga sangat berpengaruh pada saat pasien harus dilakukan
tindakan diagnostik atau ketepatan pengaturan pemberian obat seperti
pada pemberian antibiotik atau tromblolitik, keterlambatan akan
mempengaruhi terhadapap diagnosis dan pengobatan.
25
6. Efisiensi : keterlambatan diagnosis atau pengobatan akan
memperpanjang waktu perawatan tentunya akan meningkatkan
pembiayaan yang harus di tanggung oleh pasien.
e. Orang
1. Sikap dan motivasi : sikap dan motivasi sangat berdampak kepada
kinerja seseorang. Sikap dan motivasi yang negatif akan menimbulkan
kesalahan-kesalahan
2. Kesehatan fisik : kelelahan, sakit dan kurang tidur akan berdampak
kepada kinerja dengan menurunnya kewaspadaan dan waktu bereaksi
seseorang
3. Kesehatan mental dan emosional : hal ini berpengaruh terhadap perhatian
akan kebutuhan dan masalah pasien. tanpa perhatian yang penuh akan
terjadi kesalahan – kesalahan dalam bertindak
4. Faktor interaksi manusia dengan teknologi dan lingkungan : perawat
memerlukan pendidikan atau pelatihan saat dihadapkan kepada
penggunaan alat – alat kesehatan dengan teknologi baru dan perawatan
penyakit – penyakit yang sebelumnya belum tren seperti perawatan flu
babi.
5. Faktor kognitif , komunikasi dan interpretasi : kognitif sangat
berpengaruh terhadap pemahaman kenapa terjadinya kesalahan (error).
Kognitif seseorang sangat berpengaruh terhadap bagaimana cara
membuat keputusan , pemecahan masalah baru mengkomunikasikan hal
– hal yang baru.
f. Budaya
1. Faktor budaya sangat bepengaruh besar terhadap pemahaman kesalahan
dan keselamatan pasien.
2. Filosofi tentang keamanan ; keselamatan pasien tergantung kepada
filosofi dan nilai yang dibuat oleh para pimpinanan pelayanan kesehatan.
3. Jalur komunikasi : jalur komunikasi perlu dibuat sehingga ketika terjadi
kesalahan dapat segera terlaporkan kepada pimpinan (siapa yang berhak
melapor dan siapa yang menerima laporan).
26
4. Budaya melaporkan , terkadang untuk melaporkan suatu kesalahan
mendapat hambatan karena terbentuknya budaya blaming . Budaya
menyalahkan (Blaming) merupakan phenomena yang universal. Budaya
tersebut harus dikikis dengan membuat protap jalur komunikasi yang
jelas.
5. Staff – kelebihan beban kerja, jam dan kebijakan personal. Faktor
lainnya yang penting adalah system kepemimpinan dan budaya dalam
merencanakan staf, membuat kebijakan dan mengantur personal
termasuk jam kerja, beban kerja, manajemen kelelahan, stress dan sakit.
8. Solusi live-saving keselamatan pasien rumah sakit (KKPRS.2007).
WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal 2 Mei 2007
resmi menerbitkan “Nine Life Saving Patient Safety Solutions” (“Sembilan
Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit”). Panduan ini mulai
disusun sejak tahun 2005 oleh pakar keselamatan pasien dan lebih 100 negara,
dengan mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah keselamatan pasien.
Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat,
mampu mencegah atau mengurangi cedera pasien yang berasal dari proses
pelayanan kesehatan. Sembilan Solusi ini merupakan panduan yang sangat
bermanfaat membantu rumah sakit memperbaiki proses asuhan pasien yang
berguna untuk menghindari cedera maupun kematian yang dapat dicegah.
Solusi tersebut antara lain adalah :
a. Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike
medication names).
Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang membingungkan
staf pelaksana adalah salah satu penyebab yang paling sering dalam
kesalahan obat (medication error) dan ini merupakan suatu keprihatinan di
seluruh dunia. Puluhan ribu obat yang ada saat ini di pasar, maka sangat
signifikan potensi terjadinya kesalahan akibat bingung terhadap nama merek
dagang atau generik serta kemasan.
27
b. Pastikan identifikasi pasien.
Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi
pasien secara benar sering mengarah kepada kesalahan pengobatan, transfusi
maupun pemeriksaan, pelaksanaan prosedur yang keliru, orang penyerahan
bayi kepada bukan keluarganya. Rekomendasi ditekankan pada metode
untuk verifikasi terhadap identitas pasien, termasuk keterlibatan pasien
dalam proses ini, standardisasi dalam metode identifikasi di semua rumah
sakit dalam suatu sistem layanan kesehatan, dan partisipasi pasien dalam
konfirmasi ini, serta penggunaan protokol untuk membedakan identifikasi
pasien dengan nama yang sama.
c. Komunikasi secara benar saat serah terima / pengoperan Pasien.
Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien
antara unit-unit pelayanan, dan didalam serta antar tim pelayanan, bisa
mengakibatkan terputusnya kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak
tepat, dan potensial dapat mengakibatkan cedera terhadap pasien.
Rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima pasien
termasuk penggunaan protokol untuk mengkomunikasikan informasi yang
bersifat kritis; memberikan kesempatan bagi para praktisi untuk bertanya dan
menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada saat serah terima,dan melibatkan
para pasien serta keluarga dalam proses serah terima.
d. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar.
Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah. Kasus-
kasus dengan pelaksanaan prosedur yang keliru atau pembedahan sisi tubuh
yang salah sebagian besar adalah akibat dan miskomunikasi dan tidak
adanya informasi atau informasinya tidak benar. Faktor yang paling banyak
kontribusinya terhadap kesalahan-kesalahan macam ini adalah tidak ada atau
kurangnya proses pra-bedah yang distandardisasi.
Rekomendasinya adalah untuk mencegah jenis-jenis kekeliruan yang
tergantung pada pelaksanaan proses verifikasi prapembedahan; pemberian
tanda pada sisi yang akan dibedah oleh petugas yang akan melaksanakan
prosedur; dan adanya tim yang terlibat dalam prosedur’Time out” sesaat
28
sebelum memulai prosedur untuk mengkonfirmasikan identitas pasien,
prosedur dan sisi yang akan dibedah.
e. Kendalikan cairan elektrolit pekat (concentrated).
Sementara semua obat-obatan, biologis, vaksin dan media kontras
memiliki profil risiko, cairan elektrolit pekat yang digunakan untuk injeksi
khususnya adalah berbahaya. Rekomendasinya adalah membuat
standardisasi dari dosis, unit ukuran dan istilah, dan pencegahan atas campur
aduk / bingung tentang cairan elektrolit pekat yang spesifik.
f. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan.
Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi /
pengalihan. Rekonsiliasi (penuntasan perbedaan) medikasi adalah suatu
proses yang didesain untuk mencegah salah obat (medication errors) pada
titik-titik transisi pasien. Rekomendasinya adalah menciptakan suatu daftar
yang paling lengkap dan akurat dari seluruh medikasi yang sedang diterima
pasien juga disebut sebagai “home medication list", sebagai perbandingan
dengan daftar saat admisi, penyerahan dan / atau perintah pemulangan
bilamana menuliskan perintah medikasi, dan dikomunikasikan daftar
tersebut kepada petugas layanan yang berikut dimana pasien akan ditransfer
atau dilepaskan.
g. Hindari salah kateter dan salah sambung slang (tube).
Slang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain
sedemikian rupa agar mencegah kemungkinan terjadinya KTD yang bisa
menyebabkan cedera atas pasien melalui penyambungan spuit dan slang
yang salah, serta memberikan medikasi atau cairan melalui jalur yang keliru.
Rekomendasinya adalah menganjurkan perlunya perhatian atas medikasi
secara detail / rinci bila sedang mengerjakan pemberian medikasi serta
pemberian makan (misalnya slang yang benar), dan bilamana menyambung
alat-alat kepada pasien (misalnya menggunakan sambungan & slang yang
benar).
29
h. Gunakan alat injeksi sekali pakai.
Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran dan HIV,
HBV, dan HCV yang diakibatkan oleh pakai ulang dari jarum
suntik.Rekomendasinya adalah perlunya melarang pakai ulang jarum di
fasilitas layanan kesehatan, pelatihan periodik para petugas di lembaga-
lembaga layanan kesehatan khususnya tentang prinsip-pninsip pengendalian
infeksi, edukasi terhadap pasien dan keluarga, mengenai penularan infeksi
melalui darah, dan praktek jarum sekali pakai yang aman.
i. Tingkatkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk pencegahan infeksi
nosokomial.
Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh
dunia menderita infeksi yang diperoleh di rumah-rumah sakit. Kebersihan
tangan yang efektif adalah ukuran preventif yang primer untuk
menghindarkan masalah ini. Rekomendasinya adalah mendorong
implementasi penggunaan cairan “alcohol-based hand-rubs" tersedia pada
titik-titik pelayan, tersedianya sumber air pada semua kran, pendidikan staf
mengenai teknik kebarsihan tangan yang benar mengingatkan penggunaan
tangan bersih ditempat kerja, dan pengukuran kepatuhan penerapan
kebersihan tangan melalui pemantauan / observasi dan tehnik-tehnik yang
lain.
9. Indikator Patient Safety (IPS)
Indikator patient safety merupakan ukuran yang digunakan untuk
mengetahui tingkat keselamatan pasien selama dirawat di rumah sakit.. Indikator
patient safety bermanfaat untuk menggambarkan besarnya masalah yang dialami
pasien selama dirawat di rumah sakit, khususnya yang berkaitan dengan berbagai
tindakan medik yang berpotensi menimbulkan risiko di sisi pasien. Dengan
mendasarkan pada IPS ini maka rumah sakit dapat menetapkan upaya-upaya
yangdapat mencegah timbulnya outcome klinik yang tidak diharapkan pada
pasien. (Dwiprahasto, 2008). Secara umum IPS terdiri atas 2 jenis, yaitu IPS
tingkat rumah sakit dan IPS tingkat area pelayanan.
30
1. Indikator tingkat rumah sakit (hospital level indicator) digunakan untuk
mengukur potensi komplikasi yang sebenarnya dapat dicegah saat pasien
mendapatkan berbagai tindakan medik di rumah sakit. Indikator ini hanya
mencakup kasus-kasus yang merupakan diagnosis sekunder akibat terjadinya
risiko pasca tindakan medik.
2. Indikator tingkat area mencakup semua risiko komplikasi akibat tindakan
medik yang didokumentasikan di tingkat pelayanan setempat
(kabupaten/kota). Indikator ini mencakup diagnosis utama maupun diagnosis
sekunder untuk komplikasi akibat tindakan medik.
Indikator patient safety antara lain : Komplikasi anesthesi, angka kematian
yang rendah, ulkus dekubitus, kematian oleh karena komplikasi pada pasien
rawat inap, benda asing tertinggal selama prosedur, pneumotoraks iatrogenic,
Infeksi akibat perawatan, patah tulang pascaoperasi, pendarahan atau hematoma
pascaoperasi, gangguan fisiologis dan metabolik pascaoperasi, kegagalan
pernapasan pascaoperasi, pulmonary embolism atau deep vein thrombosis, sepsis
pascaoperasi, luka pada pasien bedah abdominopelvik, luka tusukan dan laserasi,
reaksi transfusi, trauma lahir - cedera pada neonatus, trauma kebidanan oleh
karena persalinan dengan instrument, trauma kebidanan oleh karena persalinan
tanpa instrument, trauma kebidanan - kelahiran sesaria.
Elemen patient safety meliputi: Kesalahan pengobatan yang merugikan ,
menggunakan restraint, infeksi nosokomial, kecelakaan bedah , luka karena
tekanan(dicubitus), keamanan produk darah , resistensi antimikrobial, Imunisasi,
falls (jatuh), darah stream(aliran), perawatan kateter pembuluh darah serta tindak
lanjut dan pelaporan insiden keselamatan pasien.
Akar penyebab kesalahan keselamatan pasien paling umum disebabkan
antara lain: Masalah komunikasi, kurangnya informasi, masalah manusia, pasien
yang berhubungan dengan isu-isu, transfer pengetahuan dalam organisasi,
staffing pola / alur kerja, kegagalan teknis, kurangnya kebijakan dan prosedur.
Tujuan umum keamanan pasien antara lain : Mengidentifikasi pasien dengan
benar, meningkatkan komunikasi yang efektif, meningkatkan keamanan obat,
hilangkan salah tempat, salah-pasien, prosedur tindakan yang salah, mengurangi
31
resiko infeksi terkait perawatan kesehatan dan mengurangi risiko bahaya pasien
dari jatuh (AHRQ) .
10. Kebijakan patient safety RSUP dr Kariadi Semarang
Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi Semarang tentang kerangka acuhan
Program Keselamatan Pasien RSUP dr Kariadi Semarang.
1. Tujuan Umum:
Meningkatkan mutu pelayanan RS melalui suatu sistem di mana RS
membuat asuhan pasien lebih aman.
2. Tujuan Khusus
a. Terciptanya budaya keselamatan pasien di RS
b. Meningkatkan akuntabilitas RS terhadap pasien dan masyarakat.
c. Terlaporkannya KTD di RS.
d. Terlaksananya program pencegahan sehingga KTD tidak terulang.
3. Kegiatan Pokok dan Rincian Kegiatan:
Memenuhi standar keselamatan pasien yang tertuang dalam Instrumen
Akreditasi RS.
a. Membentuk Tim Keselamatan Pasien RS
b. Pelatihan Keselamatan Pasien RS
c. Rapat Tim Keselamatan Pasien RS dengan agenda rapat:
1) Menyusun kebijakan dan prosedur KPRS
2) Menyusun form untuk pencatatan dan pelaporan KTD
3) Melakukan analisis masalah bila ada KTD
4) Melakukan perencanaan kegiatan.
5) Membentuk Pokja Keselamatan Pasien di ruangan
4. Tugas Pokja ( Kelompok Kerja ) antara lain:
a. Mengupayakan untuk menghindari dan mencegah terjadinya kejadian
yang tidak diharapkan atas pelayanan kesehatan dilingkungan
pokjanya.
b. Melaporkan setiap kejadian yang tidak diharapkan kepada Tim
Keselamatan Pasien
32
c. Membuat rekapitulasi laporan mingguan kepada Tim Keselamatan
Pasien
5. Tugas tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit RSUP Dr Kariadi Semarang
adalah:
a. Mengupayakan untuk menghindari dan mencegah terjadinya kejadian
yang tidak diharapkan atau hasil yang tidak diharapkan yang
disebabkan oleh pelayanan kesehatan di rumah sakit
b. Mengumpulkan, menganalisis, mengevaluasi dan membuat
penyelesaian atas semua laporan kejadian tidak diinginkan dari
lingkungan pegawai rumah sakit’
6. Langkah-langkah Prosedur Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien RSUP
dr Kariadi Semarang
a. Bagi petugas yang melihat kejadian, atau ikut dalam kejadian maka
segeraa membuat laporan kejadian pada lembar yang sudah disiapkan
di tiap ruangan.
b. Lembar laporan kejadian segera dikirim ke Tim Keselamatan Pasien
RS/ kepala ruang setempat
c. Kepala ruang bersama dengan anggota pokja setempat membuat
kronologis kejadian, melakukan analisis sederhana, dan mencatat
dalam laporan bulanan.
d. Berkas laporan yang masuk ke Tim KPRS diberikan kepada sub tim
yang bertugas untuk dilakukan analisis lebih mendalam.
e. Berkas yang sudah di analisis diserahkan kembali ke Tim KPRS
selanjutnya dilaporkan kepada Direktur Utama RSUP Dr Kariadi.
f. Selanjutnya dari Direktur Utama RSUP Dr Kariadi , berkas
dilaporkan kepada Tim “Patient safety” PERSI Pusat
11. Strategi keselamatan bekerja(Fathoni,A.2006)
Strategi keselamatan dalam bekerja sangat berhubungan erat dengan
pengenalan dan pengendalian bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh kelelahan,
tekanan batin (stres), kebisingan, radiasi maupun zat-zat beracun lainnya,
terhadap kondisi fisik manusia, pikiran dan sikap tingkah laku para pegawai.
33
Faktor penyebab kecelakaan dapat dilihat dari dimensi pokok, yaitu:
a. Berkaitan dengan sistem kerja yang merupakan penyebeb utama dari
kecelakaan yang terjadi pada suatu organisasi.
b. Berkaitan dengan pekerjaannya selaku manusia biasa, yang dalam hal akibat
sistim kerja, tetapi bisa juga terjadi kelalaian dari manusianya selaku pekerja.
Sistem kerja yang merupakan faktor penyebab suatu kecelakaan karena
akibat: Tempat yang tidak baik, alat atau mesin-mesin yang tidak punya sistem
pengamanan yang sempurna, pembuatan alat atau mesin yang tidak aman,
kerusakan tempat kerja, bahan-bahan, kondisi kerja yang kurang tepat, kondisi
kebersihan yang kurang baik, kondisi penerangan yang kurang mendukung, gelap
atau silau., saluran udara atau pembuangan asap yang kurang baik, fasilitas
pengamanan pakaian atau peralatan lainnya yang kurang mendukung.
Faktor – faktor yang mempunyai hubungan yang sangat erat dengan sistem
kerja yang bersumber pada kesalahan manusianya, sehingga factor manusia yang
mengakibatkan kecelakaan tersebut adalah karena : Menggunakan peralatan yang
tidak aman. menjalankan peralatan kerja yang tidak tahu caranya, .menempatkan
bahan-bahan yang tidak aman pada kondisi lingkungan, merusak alat-alat
keselamatan kerja sehingga berakibat tidak baik, salah menggunakan alat kerja.
karena gangguan orang lain. Kesalahan di atas ditimbulkan oleh manusianya
karena antara lain : Ceroboh,, kurang pertimbangan, malas, tidak tenang, kurang
hati–hati, kurang terlatih, kurang terampil, kurang pengawasan, merasa sudah
tahu padahal tidak tahu.
Tindakan pencegahan yang harus dilakukan untuk menghindari kecelakaan
kerja antara lain mencakup tindakan. Memperhatikan faktor-faktor keselamatan.
Melakukan pengawasan yang teratur. Melakukan tindakan koreksi terhadap
kejadian. Melakukan program diklat keselamatan kerja dan menghadapi
kemungkinan timbulnya kecelakaan.
12. Peran perawat dalam menerapkan keselamatan pasien
Sebagai pemberi pelayanan keperawatan, perawat mematuhi standart
pelayanan dan SOP yang ditetapkan. Menerapkan prinsip-prinsip etik dalam
pemberian pelayanan keperawatan. Memberikan pendidikan kepada pasien dan
34
keluarga tentang asuhan yang diberikan. Menerapkan kerjasama tim kesehatan
yang handal dalam pemberian pelayanan kesehatan. Menerapkan komunikasi
yang baik terhadap pasien dan keluarganya. Peka, proaktif dan melakukan
penyelesaian masalah terhadap kejadian tidak diharapkan. Mendokumentasikan
dengan benar semua asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien dan
keluarga.
Manfaat penerapan sistim keselamatan pasien antara lain : Budaya safety
meningkat dan berkembang Komunikasi dengan pasien berkembang Kejadian
tidak diharapkan menurun. peta KTD selalu ada dan terkini, Resiko klinis
menurun, Keluhan dan litigasi berkurang, Mutu pelayanan meningkat, Citra
rumah sakit dan kepercayaan masyarakat meningkat.
Kewajiban perawat secara umum terhadap keselamatan pasien adalah
Mencegah malpraktek dan kelalaian dengan mematuhi standart. Melakukan
pelayanan keperawatan berdasarkan kompetensi. Menjalin hubungan empati
dengan pasien. Mendokumentasikan secara lengkap asuhan. Teliti, obyektif
dalam kegiatan. Mengikuti peraturan dan kebijakan institusi. Peka terhadap
terjadinya cedera.
F. Perilaku patient safety
Perilaku mencakup 3 domain, yakni : pengetahuan (knowledge), sikap
(attitude) dan tindakan atau praktik (practice) (Notoatmodjo, 2003). Mengukur
perilaku dan perubahannya khususnya perilaku patient safety juga mengacu
kepada 3 domain tersebut., secara rinci dikaitkan dengan program patient safety
dijelaskan sebagai berikut :
1. Pengetahuan tentang patient safety
Pengetahuan tentang patient safety adalah mencakup apa yang diketahui
oleh seseorang tentang patient safety . Pengetahuan tentang patient safety
meliputi :
a. Pengetahuan tentang risiko yang bisa saja terjadi bila tidak menerapkan
program patient safety.
b. Pengetahuan tentang faktor-faktor yang terkait dan/atau mempengaruhi
keselamatan pasien.
35
c. Pengetahuan tentang fasilitas pelayanan yang tersedia.
d. Pengetahuan untuk menghindari kecelakaan dan kesalahan.
Pengukuran pengetahuan patient safety seperti tersebut diatas adalah
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung (wawancara)
atau melalui pertanyaan-pertanyaan tertulis atau angket. indikator
pengetahuan patient safety adalah tingginya pengetahuan responden tentang
patient safety, atau besarnya persentase kelompok responden tentang
variabel-variabel atau komponen-komponen patient safety.
2. Sikap terhadap patient safety
Sikap terhadap patient safety adalah pendapat atau penilaian orang
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan patient safety, yang mencakup
sekurang-kurangnya 4 variabel yaitu :
a. Sikap terhadap risiko yang bisa terjadi bila tidak. menerapkan program
patient safety
b. Sikap tentang faktor-faktor yang terkait dan/atau mempengaruhi
keselamatan pasien.
c. Sikap tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia.
d. Sikap untuk menghindari kecelakaan dan kesalahan.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak
langsung. Pengukuran sikap secara langsung dapat dilakukan dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang stimulus atau objek yang
bersangkutan
3. Praktik patient safety
Praktik patient safety atau tindakan untuk patient safety adalah semua
kegiatan atau aktivitas orang dalam rangka patient safety. Tindakan atau
praktik patient safety ini juga meliputi 4 faktor yaitu :
Aspek perilaku di dalam patient safety
a. Tindakan atau praktik sehubungan dengan risiko yang bisa saja terjadi bila
tidak menerapkan patient safety.
b. Tindakan atau praktik sehubungan faktor-faktor yang terkait dan/atau
mempengaruhi keselamatan pasien.
36
c. Tindakan atau praktik sehubungan fasilitas pelayanan yang tersedia.
d. Tindakan atau praktik sehubungan untuk menghindari kecelakaan dan
kesalahan.
37
G. Kerangka Teori
Modifikasi Lawrance Green
Reinforcing factor
Petugas kesehatan
Keluarga
Masyarakat
Tokoh agama
Predisposing factor
Pengetahuan
Sikap
Pendidikan
motivasi
Budaya
Norma
keyakinan
Enabling factor
Sarana dan prasarana
kesehatan
Praktik menerapkan
Patient safety
38
H. Kerangka Konsep
Konsep merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal
khusus (Notoatmodjo,2002). Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Variabel bebas Variabel terikat
\
A. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas ( independent variable )
Variabel bebas adalah variabel yang nilainya menentukan variabel
lain.(Nursalam,2003) Variabel bebas.pada penelitian ini adalah tingkat
pengetahuan dan sikap perawat tentang patient safety.
2. Variabel terikat ( dependen variable )
Variabel terikat adalah Variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel
lain atau faktor yang diamati dan diukur untuk menentukan ada tidaknya
hubungan atau pengaruh dari variabel bebas .(Nursalam,2003) Variabel
terikat dalam penelitian ini adalah praktik perawat menerapkan patient
safety.
Pengetahuan
Praktik perawatmenerapkan program
Patient safety
Sikap
39
B. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan
penelitian. .(Nursalam,2003) Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Ada hubungan antara pengetahuan dengan praktik perawat menerapkan
program patient safety di instalasi rawat darurat RSUP dr. Kariadi Semarang.
2. Ada hubungan antara sikap dengan praktik perawat menerapkan program
patient safety di instalasi rawat darurat RSUP dr. Kariadi Semarang