bab ii tinjauan pustaka, konsep, landasan ......2.2.1 bahasa dan budaya lontar hubungan antara...

39
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN Dalam kajian pustaka dikemukakan beberapa hasil penelitian serta buku- buku yang memberikan kontribusi, informasi bagi penelitian ini. Adapun hasil penelitian yang dipaparkan dalam kajian pustaka ini adalah informasi tertulis mengenai bahasa dan budaya Sabu, dan hasil penelitian ekolinguistik yang dapat dikaji untuk memosisikan penelitian ini pada kepatutan urgensinya. 2.1 Tinjauan Pustaka Sesuai dengan penjelasan pada bab sebelumnya, penelitian ekolinguistik merupakan penelitian baru. Namun, penelitian-penelitan yang berhubungan dengan penelitian ini dapat menjadi rujukan, antara lain Detaq (1973) menulis tentang asal usul orang Sabu. Dua versi tentang asal-usul orang Sabu yang dipaparkan oleh Detaq, yakni versi sejarah dan mitos. Penjelasan Detaq dapat menambah informasi bagi peneliti mengenai budaya guyub tutur Sabu Raijua tentang lontar. Penelitian Detaq sangat berkontribusi bagi peneliti sebagai gambaran awal untuk masuk dalam kehidupan dan budaya masyarakat asli Sabu Raijua, namun penelitian Detaq ini bukanlah data primer bagi peneliti. Terdapat beberapa penelitian lainnya tentang budaya Sabu, antara lain, Kana (1983) menulis tentang Dunia Orang Sawu. Dalam tulisannya Kana memaparkan mengenai filosofi pemberian nama dan pengaturan bagian kampung. Guyub tutur Sabu-Raijua di Pulau Sabu dianggap sebagai perahu, menurut kepercayaan mereka, 17

Upload: others

Post on 29-Nov-2020

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI

DAN MODEL PENELITIAN

Dalam kajian pustaka dikemukakan beberapa hasil penelitian serta buku-

buku yang memberikan kontribusi, informasi bagi penelitian ini. Adapun hasil

penelitian yang dipaparkan dalam kajian pustaka ini adalah informasi tertulis

mengenai bahasa dan budaya Sabu, dan hasil penelitian ekolinguistik yang dapat

dikaji untuk memosisikan penelitian ini pada kepatutan urgensinya.

2.1 Tinjauan Pustaka

Sesuai dengan penjelasan pada bab sebelumnya, penelitian ekolinguistik

merupakan penelitian baru. Namun, penelitian-penelitan yang berhubungan dengan

penelitian ini dapat menjadi rujukan, antara lain Detaq (1973) menulis tentang asal

usul orang Sabu. Dua versi tentang asal-usul orang Sabu yang dipaparkan oleh

Detaq, yakni versi sejarah dan mitos. Penjelasan Detaq dapat menambah informasi

bagi peneliti mengenai budaya guyub tutur Sabu Raijua tentang lontar. Penelitian

Detaq sangat berkontribusi bagi peneliti sebagai gambaran awal untuk masuk dalam

kehidupan dan budaya masyarakat asli Sabu Raijua, namun penelitian Detaq ini

bukanlah data primer bagi peneliti.

Terdapat beberapa penelitian lainnya tentang budaya Sabu, antara lain, Kana

(1983) menulis tentang Dunia Orang Sawu. Dalam tulisannya Kana memaparkan

mengenai filosofi pemberian nama dan pengaturan bagian kampung. Guyub tutur

Sabu-Raijua di Pulau Sabu dianggap sebagai perahu, menurut kepercayaan mereka,

17

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

18

terdapat sebuah perahu Talo Nawa. Perahu ini dianggap sebagai perahu gaib yang

datang ke Mahara (Sabu Barat) untuk mengantarkan nira sebagai bahan makanan

pokok pada musim kemarau sehingga pohon lontar menghasilkan nira. Tulisan Kana

ini memberikan informasi bagi penelitian ini mengenai ideologi, filosofi guyub tutur

Sabu Raijua dalam hubungannya dengan bahasa dan budaya lontar.

Penelitian dan kajian terhadap bahasa dan budaya Sabu pernah

dilakukan, antara lain, oleh Tarno dkk (2001) meneliti tentang pandangan hidup

masyarakat Sabu tentang susastra lisan, penelitian Riwu Kaho (2002), dan Musa

Lede (2009). Hasil penelitian ini dirujuk dengan memanfaatkan data dan bahasan

yang relevan sebagai bahan pelengkap dan pembanding.

Hasil penelitian tentang bahasa dan budaya Sabu Raijua memang sudah

banyak dipublikasikan. Selain itu penelitian tentang lontar juga pernah dilakukan

oleh Fox, namun penelitian yang berkaitan dengan bahasa dan budaya lontar

guyub tutur Sabu-Raijua yang diteliti dalam bidang kajian ilmu ekolinguistik

belum pernah dilakukan. Selain hal tersebut, bahasa kelontaran perlu mendapat

perhatian khusus karena budaya kelontaran perlahan mulai ditinggalkan oleh

generasi muda. Para peneliti terdahulu hanya melihat pemanfaatan budaya, asal-

usul masyarakat Sabu Raijua, sehingga belum ada penelitian yang mendalam

mengenai fenomena kebahasaan yang terjadi pada guyub tutur Sabu Raijua

dewasa ini.

Peneliti belum menemukan penelitian-penelitian yang melihat adanya

penyusutan, atau pergeseran Bahasa Sabu, khususnya bahasa dan budaya

kelontaran pada generasi muda. Termasuk proses dan pemanfaatan lontar demi

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

19

menunjang atau memperkuat ekonomi kreatif. Penelitian ini juga memiliki

perbedaan dengan penulis atau peneliti bahasa Sabu, yaitu penelitian ini melihat

lebih ke dalam dari segi ideologi, filosofi guyub tutur Sabu Raijua tentang lontar,

melihat makna-makna apa saja yang tercermin dari ideologi tersebut.

Mengacu pada tujuan penelitian, terdapat beberapa penelitian yang

berkaitan. Penelitian-penelitian ekolinguistik yang berkaitan ini dirujuk sebagai

referensi atau pembanding untuk membantu dalam pengembangan analisis, antara

lain, penelitian yang berikut.

Penelitian yang dilakukan Derni (2008:29) bahasa merupakan salah satu

bagian dari lingkungan biosfer tempat tinggal dan ‘hidup, maka sudah semestinya

bahasa juga dispekulasikan seturut dengan keadaan lingkungan tempatnya berada.

Masih menurut Derni, ketika bahasa memasuki pelbagai aspek kehidupan

manusia, semestinya juga pelbagai disiplin ilmu yang terkait dengan beragam

aspek dalam kehidupan manusia bisa melibatkan kajian secara linguistik pula.

Rasna (2010) dalam penelitiannya telah memaparkan tentang

pengetahuan dan sikap remaja terhadap tanaman obat tradisional di Kabupaten

Buleleng dalam rangka pelestarian lingkungan. Sebelumnya, ia memaparkan

bahwa telah terjadi penyusutan pengetahuan generasi muda tentang tanaman obat

tradisional. Penyusutan pengetahuan terjadi karena adanya perubahan

sosiokultural, sosioekologis, serta faktor sosioekonomis.

Usman (2010) dalam penelitiannya tentang penyusutan tutur dalam

masyarakat gayo menggambarkan perkembangan tutur dalam bahasa Gayo yang

cenderung mulai ditinggalkan. Hal ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

20

internal yang bersumber dari orang Gayo sendiri selaku pemilik bahasa Gayo.

Bahasa Gayo tidak diregenerasikan kepada kaum muda, atau tidak diajarkan, tidak

dipakai, tidak dipelajari. Faktor yang kedua adalah faktor eksternal yang berasal

dari luar, yaitu adanya pengaruh pemakaian bahasa Indonesia, perkawinan

antarsuku, pengaruh budaya, pendidikan, dan pengaruh perkembangan informasi

dan teknologi. Kedua faktor tersebut sangat memengaruhi adanya penyusutan

bahasa Gayo.

Penelitian Adisaputra (2010), yakni tentang ancaman terhadap

kebertahanan bahasa Melayu Langkat: pada komunitas remaja di Stabat

Kabupaten Langkat. Penelitian yang menggunakan pendekatan ekolinguistik dan

semantik. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa adanya perubahan

sosio-ekologis pada lingkungan remaja di Stabat, pemahaman remaja tentang

leksikal bahasa Melayu Langkat (BML) tergolong rendah. Faktor penyebabnya,

yaitu perubahan kondisi sosio-ekologis komunitas Melayu Langkat di Stabat.

Perubahan kondisi sosio-ekologis ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor,

yakni, (1) perubahan faktor alam, (2) menyusutnya lahan pertanian, (3)

berkurangnya sumber daya alam, (4) munculnya bahan-bahan dan alat-alat

modern, dan (5) pola hidup serba instan. Sementara itu pada aspek kebahasaan,

konseptual remaja tentang ekologi BML semakin menyusut. Hal ini disebabkan:

(1) kurangnya interaksi komunitas remaja dengan entitas yang bercirikan ekologi

melayu, (2) langkahnya entitas yang bercirikan ekologi Melayu, dan (3) konsepsi

leksikal penutur tentang entitas-entitas itu bukan dalam peranti BML, tetapi dalam

bahasa lain.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

21

Tulalessy (2012) dalam penelitiannya tentang pengetahuan leksikon

kesaguan bahasa Suabo masyarakat Inanwatan, Sorong-Papua Barat

mengungkapkan bahwa pengetahuan mengenai kesaguan bahasa Suabo telah

mengalami penyusutan; generasi muda tidak lagi menggunakan karena dalam

kehidupan keluarga lebih cenderung digunakan Bahasa Indonesia, dan dalam

lingkungan pendidikan tidak adanya bahan ajar yang berkaitan dengan budaya

lokal. Rendahnya partisipasi generasi muda dalam pembelajaran bahasa daerah

juga memengaruhi mengapa leksikon kesaguan bahasa Suabo mengalami

penyusutan.

Mbete, dkk (2012), dalam hasil sebuah penelitian tentang khazanah

verbal sebagai representasi pengetahuan lokal, fungsi pemeliharaan, dan

pelestarian lingkungan dalam Bahasa Waijewa dan Bahasa Kodi, Sumba Barat

Daya, menghasilkan pemaknaan dan khazanah verbal berwujud perangkat

leksikon dalam teks bahasa Waijewa dan bahasa Kodi sarat dan kaya makna serta

fungsi-fungsi, antara lain fungsi sosiologis, fungsi biologis, dan ideologis guyub

tutur kedua bahasa tersebut.

Santang (2014), dalam penelitiannya mengenai pengetahuan leksikon-

leksikon lingkungan kesungaian pada generasi muda Katingan, Kalimantan

Tengah, menunjukkan berbagai kategori nomina, verba serta segala sesuatu yang

terdapat di lingkungan kesungaian untuk menjaga keselarasan antara manusia dan

alam yang memengaruhi hidup semua organisme.

Nuzwaty (2014), dalam penelitiannya mengenai keterkaitan metafora

dengan lingkungan alam pada komunitas bahasa Aceh di Desa Trumon, Aceh

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

22

Selatan membahas mengenai sejumlah metafora pada masyarakat Aceh terbentuk

dari kelas kata yang bervariasi, membentuk frasa yang bervariasi pula. Selain itu

penelitiannya juga membahas sejumlah metafora lingkungan dan digunakan

dalam komunikasi verbal pada interaksi sosial.

Beberapa penelitian ekolinguistik yang disebutkan di atas, jelas

memberikan kontribusi bagi penelitian ini, mengingat penelitian ini juga

merupakan kajian ekolinguistik, tetapi selain persamaan terdapat juga perbedaan

pada penelitian ini dan penelitian sebelumnya. Persamaannya bahwa penelitian ini

dan penelitian terdahulu sama-sama berbicara mengenai bahasa lingkungan dan

lingkungan bahasa.

Perbedaannya adalah, bahwa penelitian-penelitian yang disebutkan di

atas membahas mengenai lingkungan tanaman obat tradisional di Kabupaten

Buleleng, leksikon kesaguan di Sorong Papua Barat, khazanah verbal berwujud

perangkat leksikon dalam teks bahasa Waiweja dan bahasa Kodi, pengetahuan

leksikon-leksikon lingkungan kesungaian di Katingan, Kalimantan Tengah dan

metafora lingkungan di Aceh. Sementara itu pada penelitian ini, peneliti menggali

sedalam-dalamnya data mengenai khazanah leksikon. Data dalam bentuk leksikon

ini bukan sebatas pada daftar leksikon, tetapi dilihat juga bentuk-bentuk dasar dan

bentuk turunan dari leksikon tersebut. Leksikon yang berkaitan dengan bahasa dan

budaya lontar guyub tutur Sabu Raijua perlahan-lahan mulai mengalami

penyusutan. Tidak hanya sampai pada taraf leksikon, penelitian yang dilakukan

ini juga berlanjut pada taraf tekstual, yaitu telaah lebih dalam bagaimana ritual

kelontaran dalam kehidupan guyub tutur Sabu Raijua. Sebagian besar guyub tutur

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

23

Sabu-Raijua tidak lagi mempertahankan warisan leluhur dalam bentuk bahasa dan

budaya. Penelitian yang dilakukan ini juga mengarah pada usaha pelestarian

bahasa budaya Sabu sehingga program pengembangan ekonomi kreatif makin

tumbuh dan berkembang. Sehubungan dengan itu, peneliti mengumpulkan data

dimulai dari leksikon, selanjutnya ke metafora, dan pada akhirnya mengkaji

tuturan ritual yang berhubungan dengan lontar.

2.2 Konsep

Sejumlah konsep kelinguistikan telah diterapkan dalam penelitian ini.

Adapun konsep-konsep yang dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut.

2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar

Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur

Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana dalam setiap unsur kebudayaan berhubungan

dengan lontar. Dengan demikian, di dalam kehidupan masyarakat Sabu, hubungan

antara bahasa dan budaya tentang lontar merupakan suatu keintiman. Pemahaman

pohon lontar sebagai pohon kehidupan bagi masyarakat Sabu menjelaskan adanya

rasa memiliki, rasa menyatu dengan keseluruhan bentuk dari pohon lontar “kami

dan dunia kami”. Bahasa dan budaya lontar merupakan dunia atau keseluruhan

hidup bagi guyub tutur Sabu Raijua.

Lontar dipandang sebagai dunia bagi orang Sabu, yang berarti bahwa

dalam seluruh aspek kehidupan orang Sabu tidak terlepas dari lontar. Keterkaitan,

keterhubungan, dan ketergantungan kehidupan orang Sabu pada lontar merupakan

suatu bentuk harmoni kehidupan antara masyarakat Sabu dan lingkungan alam

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

24

Sabu- Raijua. Selain itu, lontar juga menjadi jembatan penghubung komunikasi

yang harmonis dengan sang Ilahi, atau yang disebut Deo Ama.

Oleh guyub tutur Sabu Raijua pohon lontar dipandang sebagai pohon

penghidupan dan kehidupan. Pohon lontar memberikan kehidupan bagi guyub

tutur Sabu-Raijua, pada musim panas atau kemarau. Hasil penyadapan nira adalah

satu-satunya sumber kehidupan bagi masyarakat Sabu. Nira yang kemudian diolah

menjadi gula Sabu dapat disimpan bertahun-tahun lamanya. Di samping itu, hasil

penyadapan nira dari pohon lontar selalu disajikan dalam setiap kondisi atau acara

kekeluargaan; bahkan acara-acara sosial di Sabu, terutama dalam ritual adat.

Pohon lontar sebagai pohon kehidupan berkaitan dengan adicita (ideologi) di balik

ungkapan-ungkapan tentang keduean.

Karena kondisi topografi Sabu Raijua yang kering, pohon lontar mudah

hidup dan berkembang. Menurut informasi dari beberapa sumber orang Sabu yang

hidup di luar Pulau Sabu, pohon lontar tidak pernah dibudidaya atau dibuat

anakan pohon. Jika dibudidayakann maka diperlukan sejumlah ritual yang akan

mengeluarkan biaya yang cukup banyak. Diperlakukan demikian karena menurut

kepercayaan guyub tutur Sabu, pohon ini tidak bisa ditanam langsung oleh tangan

manusia, atau ditanam selayaknya menanam pohon-pohon lainnya. Biji dari buah

pohon lontar yang sudah kering ini cukup diletakkan, bahkan ada yang

melakukannya dengan cara membuang di atas tanah yang sudah direncanakan

sebagai tempat hidup pohon tersebut. Misalnya, jika ingin membuat pagar kebun,

maka cukup dengan meletakkan atau membuang biji tersebut pada batas kebun

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

25

kemudian dibiarkan begitu saja, tidak perlu disiram atau diberi pupuk. Secara

alami pohon ini dapat tumbuh subur.

Pohon lontar juga sangat istimewa, karena memiliki gender, ada pohon

lontar jantan (kal’li mone) dan ada pohon lontar betina (kal’li ban’ni). Dari akar

hingga daun lontar ini sangat bermanfaat bagi hidup dan kehidupan guyub tutur

Sabu-Raijua di Kabupaten Sabu Raijua. Bagi para leluhur, lontar (due) tak dapat

digantikan dengan pohon apa pun, atau dengan makanan atau minuman apa pun.

Oleh penduduk asli Sabu, due adalah kekayaan alam dan juga merupakan

peninggalan dari leluhur dan tidak bisa diganggu habitatnya.

Pada penelitian ini, peneliti ingin menggali untuk mendapatkan data

leksikon yang berkaitan dengan pelbagai bagian dan hal-hal tentang due (lontar),

baik isinya dengan keanekaragaman hayatinya (biodiversity), proses pemanfaatan

dalam kehidupan sehari-hari, maupun persepsi atau ideologi tentang lontar.

Kesemuanya ini merupakan kekayaan bahasa pada guyub tutur Sabu-Raijua yang

memberi gambaran bahwa adanya hubungan yang sarat makna antara manusia

dan lingkungan alam lontar.

Sebagian besar flora di Kabupaten Sabu Raijua terdiri atas pohon lontar,

pohon kelapa, dan padang rumput yang luas. Tabel 2.1 berikut ini menampilkan

penyebaran lontar di Pulau Sabu (Sabu dalam Angka, 2012).

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

26

Tabel 2.1 Penyebaran Lontar

2.2.2 Guyub Tutur Sabu-Raijua

Guyub tutur dalam bahasa Inggris dikenal dengan speech community

adalah masyarakat pengguna bahasa. Hymes (1963) dan Duranti (1997)

mengatakan bahwa “kajian atas bahasa memandang bahasa sebagai sumber daya

budaya dan tuturan sebagai praktik budaya’ (a study of language as a cultural

resource and speaking as a cultural practices)”. Secara tersurat, bahasa (langue)

dipahami sebagai kekayaan rohani milik manusia dan guyub tutur tertentu.

Dalam konteks penelitian ini, guyub tutur yang diteliti adalah guyub tutur

Sabu-Raijua. Kabupaten Sabu atau Pulau Sabu, terletak di antara Pulau Sumba

dan Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam keseharian pengguna

bahasa Sabu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Sabu dengan beberapa

dialek, antara lain dialek Raijua, Mesara, Timu, Liae, dan Seba (Walker, 1982:3).

Bahasa Sabu juga digunakan oleh masyarakat Sabu yang berada di luar Pulau

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

27

Sabu, misalnya di Flores, Sumba, Timor. Menurut Kridalaksana (2008), bahasa

Sabu termasuk dalam rumpun bahasa Bima-Sumba, yang meliputi bahasa Bima,

bahasa Manggarai, bahasa Ngada, bahasa Lio, bahasa Sumba Barat, bahasa

Sumba Timur, dan bahasa Sabu (Hawu).

Pulau Sabu selain disebut dengan Pulau Sawu, penduduk setempat atau

masyarakat asli Sabu menyebut pulau itu dengan Rai Hawu (Pulau Hawu).

Berdasarkan undang-undang nomor 52 tahun 2008 tanggal 26 November 2008,

sejak tahun 2008 Pulau Sabu sudah menjadi Kabupaten Sabu-Raijua dan

merupakan Kabupaten termuda di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Masyarakat Sabu terkenal sebagai penyadap nira dan peladang

(Kana,1983:18-19). Orang Sabu atau Sawu menganggap pulau Mereka, Rai

Hawu, seperti makhluk hidup yang membujur dengan kepala di barat (di Mahara),

perut di tengah pulau (di daerah Habba dan Liae), sedangkan ekor terletak di

Timur (di Dimu). Mereka juga menganggap Pulau Sabu sebagai perahu: wilayah

Mahara di bagian barat yang bergunung-gunung disebut anjungan tanah (duru

rai), sedangkan di daerah Dimu yang merupakan dataran rendah dianggap sebagai

buritan (wui rai). Penamaan dan pemetaan wilayah atau daerah di Sabu juga

berdasarkan pada filosofi orang Sabu.

2.2.3 Ekolinguistik

Ekolinguistik merupakan kajian interdisipliner, dalam hal ini bahasa

dengan ekologi. Ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos yang berarti ‘rumah’

atau tempat untuk hidup. Ekologi juga diartikan sebagai pengkajian hubungan

organisme-organisme atau kelompok-kelompok organisme terhadap

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

28

lingkungannya. Ekologi berkembang mulai dari abad ke- 16 dan 17 yang timbul

dari natural history. Catatan Hipocratus, Aristotels, dan filosof lainnya merupakan

naskah-naskah kuno yang berisi rujukan tentang masalah-masalah ekologi (Irwan,

2014: 3).

Ekologi adalah lingkungan, tempat hidup. Dalam konsep ini ekologi

bukan dipandang utuh sebagai tempat atau lingkungan hidup tumbuh-tumbuhan

atau hewan saja, lebih dari itu, dalam konsep ini ekologi juga dipandang sebagai

tempat di mana suatu bahasa itu hidup. Pemahaman ekologi dalam konsep ini

berkaitan dengan "bahasa lingkungan dan lingkungan bahasa".

Ekologi merupakan ilmu yang menunjukkan hubungan timbal balik

antara makluk hidup dan lingkungan (Soemarwoto, 2004:22). Ekologi bahasa

merupakan lingkungan kebahasaan dan juga merupakan lingkungan dari alam,

dan merupakan lingkungan “buatan” manusia dan lingkungan masyarakat. Di

dalam lingkungan itu pasti ada, pasti hidup, dan pasti terjadi interaksi, saling

memengaruhi (Mbete, 2012).

Dalam sebuah artikel berjudul "The Ecology of Language", Haugen

mengatakan bahawa sebuah ekologi bahasa terbentuk atau ditentukan oleh guyub

tutur yang mempelajari, menggunakan bahasa tersebut. Dengan mempelajari suatu

bahasa, manusia belum membentuk suatu ekologi bahasa, ekologi bahasa akan

terbentuk apabila bahasa yang dipelajari tersebut digunakan dalam setiap ranah

kehidupan.

Bahasa lingkungan (ecology of language, green speak) dan lingkungan

bahasa (language ecology) merupakan objek formal dan objek material dalam

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

29

penelitian ekolinguistik (Mbete, 2013:5). Bahasa lingkungan adalah sosok

(corpus) kebahasaan yang (isinya, content) menggambarkan tentang lingkungan,

baik lingkungan alam secara makro maupun lingkungan manusia (dengan

budayanya) secara mikro.

Seperti apa yang sudah disebutkan di atas, lingkungan alam tempat

bahasa hidup ada hubungan timbal balik dengan makluk hidup, dalam hal ini,

manusia pengguna bahasa atau guyub tutur. Dalam penelitian ini ekologi tempat

bahasa hidup dan menjadi objek penelitian adalah Kabupaten Sabu-Raijua. Guyub

tutur Sabu-Raijua memiliki kepercayaan yang kemudian sudah membudaya dan

menyatu dalam kehidupan mereka, salah satunya budaya lontar. Guyub tutur

Sabu-Raijua memandang lontar sebagai pohon kehidupan.

2.2.4 Persepsi: Gambaran Falsafah Komunitas

Persepsi merupakan proses yang menyangkut masuknya pesan atau

informasi ke dalam otak manusia, melalui persepsi manusia secara terusmenerus

mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat

indranya, yaitu indra penglihat, pendengar, peraba, perasa, dan pencium,

(Slameto, 2010:102). Dalam kamus besar psikologi, persepsi diartikan sebagai

suatu proses pengamatan seseorang terhadap lingkungan dengan menggunakan

indra yang dimiliki sehingga ia menjadi sadar akan segala sesuatu yang ada di

lingkungannya.

Pohon lontar oleh guyub tutur Sabu Raijua dipandang sebagai pohon

kehidupan karena pohon lontar memberikan kehidupan bagi guyub tutur Sabu-

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

30

Raijua, di musim panas atau kemarau. Dalam kaitan ini hasil penyadapan nira

adalah satu-satunya sumber kehidupan bagi masyarakat Sabu. Nira yang diolah

menjadi gula Sabu dapat disimpan bertahun-tahun lamanya, di balik itu semua,

hasil penyadapan nira dari pohon lontar selalu disajikan dalam setiap kondisi atau

acara di Sabu, terutama dalam ritual-ritual adat. Dalam sebuah ritual adat bila

belum ada tuak (hasil olahan nira) maka para tua adat selalu merasa belum

lengkap komponen-komponen dalam ritual adat tersebut. Hasil olahan dari pohon

lontar ini juga digunakan untuk keseluruhan bentuk dan isi rumah adat orang

Sabu. Oleh karena itu pohon lontar sudah sangat menyatu dengan bahasa dan

budaya guyub tutur Sabu-Raijua, lontar adalah dunia bagi orang Sabu.

Dalam penelitian Djuli (1993) dikatakan bahwa tumbuhan dalam mitos

masyarakat Sabu dipandang sebagai jelmaan bagian tubuh seorang pria yang

bernama Rai Ae Matti, dan lontar merupakan salah satu jelmaan dari bagian tubuh

manusia, yaitu kemaluan. Oleh karena itu, lontar begitu dijaga dan dipelihara,

demi keberlangsungan hidup dan penghidupan orang Sabu.

Dalam penelitian ini, peneliti ingin menemukan bagaimana persepsi

guyub tutur Sabu-Raijua tentang bahasa dan budaya lontar. Filosofi guyub tutur

Sabu-Raijua tentang lontar begitu menyatu dengan hidup dan penghidupan orang

Sabu. Lontar dipandang sebagai pohon penghidupan. Pandangan ini lahir karena

seluruh aspek kehidupan orang Sabu berhubungan erat dengan lontar.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

31

2.2.5 Kebijakan Bahasa

Kebijakan bahasa adalah proses mempertimbangkan dan membuat

putusan mengenai bahasa. Dasar perimbangannya adalah faktor sosial, ekonomi,

dan politik yang mengarah pada penguatan jati diri bangsa (Ola, 2013: 120).

Salah satu bentuk kebijakan bahasa di Indonesia ialah perumusan

kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Badudu

(1993) menjelaskan: dalam kebijakan nasional yang berencana, terarah dan

terperinci, kita dapat mengatur fungsi bahasa Indonesia dan bahasa daerah, serta

fungsi dan kedudukan bahasa asing.

Penetapan kebijakan bahasa juga mempertimbangkan penerima

kebijakan. Eastman, (1983:7), menjelaskan bahwa dalam menetapkan kebijakan

bahasa, para pembuat kebijakan perlu menyadari bahwa guyub tutur

menginginkan bahasa mereka lebih rapi, teratur dan berfungsi. Kebijakan bahasa

meliputi: perumusan, elaborasi (menggarap secara tekun dan cermat), kondifikasi

(perumusan kaidah), dan implementasinya.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, kebijakan bahasa daerah

khususnya pada bahasa Sabu, perlu mendapat perhatian khusus dari para

pemangku kebijakan. Kebijakan bahasa daerah mendapat perhatian tinggi dari

pemerintah pusat. Hal inilah mengapa terdapat undang-undang yang mengatur

mengenai kebijakan bahasa daerah.

Kekuatan dan potensi bahasa daerah ditentukan oleh jumlah penuturnya,

jika jumlah penutur makin berkurang dikhawatirkan potensi bahasa daerah

tersebut akan mengalami kekerdilan bahasa yang akan menuju pada kepunahan

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

32

bahasa. Oleh karena itu, peran penting pemangku kebijakan dalam menentukan

kebijakan bahasa daerah, dalam hal ini bahasa Sabu, perlu mendapat perhatian

khusus. Hal ini dapat dimulai dengan menetapkan bahasa Sabu sebagai mata

pelajaran, diterbitkan buku-buku teks, baik kumpulan cerita rakyat maupun yang

sejenis, dalam bahasa Sabu.

Dilihat dari kenyataannya, di Indonesia terdapat tiga bahasa, yaitu:

Bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa daerah menempati posisi terakhir.

Tingkat pemakaian bahasa merupakan hal yang sangat memengaruhi

pertumbuhan bahasa daerah (bahasa Sabu). Dewasa ini orang muda Sabu

cenderung menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bahasa-bahasa

dominan ini akan menekan posisi bahasa Sabu. Untuk itu, perlu diadakan

penelitian lebih lanjut sehingga pendokumentasian bahasa dapat dibuat.

2.3 Landasan Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Ekolinguistik dan

ditunjang oleh teori linguistik dan linguistik kebudayaan. Berikut adalah

penjelasan masing-masing teori tersebut.

2.3.1 Ekolinguistik

Ekolinguistik merupakan suatu kajian atas temuan bahasa dalam hal ini

bahasa lokal dan linguistik terlibat dalam krisis ekologi. Dengan kata lain,

ekolinguistik melihat bagaimana hubungan bahasa dan lingkungan yang ada di

sekitarnya. Kajian ini berkembang pada tahun 1990-an. Sebagai kajian baru dalam

ilmu linguistik, kajian ekolinguistik ini tidak saja memandang bagaimana konteks

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

33

sosial tempat bahasa itu hidup atau bahasa itu berada, tetapi juga melihat konteks

ekologi, lingkungan tempat masyarakat itu berada.

Haugen (dalam Fill dan Mühlhäusler, 2001: 57) untuk pertama kalinya

memperkenalkan istilah ecology of language. Haugen menyatakan “Ecology of

language may be defined as the study of interactions between any given language

and its environment”. Pemahaman ekologi bahasa di atas dapat didefinisikan

sebagai sebuah studi tentang interaksi atau hubungan timbal balik antara bahasa

tertentu dan lingkungannya khusus pada tataran leksikon. Haugen menegaskan

bahwa bahasa berada dalam pikiran penggunanya dan bahasa berfungsi dalam

hubungan antarpenggunanya satu sama lain dan lingkungan, yaitu lingkungan

sosial dan lingkungan alam. Masih menurut Haugen, pergeseran suatu bahasa

dipengaruhi oleh perubahan budaya pada lingkungan tempat bahasa tersebut

hidup.

Dalam sebuah makalahnya, Haugen (Fill,2001) memaparkan adanya

hubungan metafora dan ekolinguistik. Haugen memaparkan adanya interaksi atau

hubungan bahasa dengan lingkungan tertentu, dalam hal ini lingkungan alam.

Sejalan dengan pendapat Haugen tersebut di atas, Halliday (Fill,2001)

memaparkan bahwa ecolinguistik bukan saja berbicara mengenai bahasa biologi,

tetapi lebih dari itu bagaimana kita memaknai bahasa biologi atau bahasa alam,

dan bagaimana peran bahasa dalam sebuah lingkungan atau ekologi sosial

kemasyarakatan.

Bahasa lingkungan (ecologycal language) adalah bentuk verbal yang

mengandung makna tentang lingkungan. Tanpa disadari bahwa elemen-elemen

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

34

bahasa mengandung makna tentang lingkungan yang digunakan, atau metafora-

metafora bahasa lingkungan, antara lain, dalam beberapa peribahasa seperti

bagaikan air di atas daun talas, seekor cancing menelan naga, dan masih banyak

metafora-metafora yang berhubungan dengan lingkungan alam. Dalam guyub

tutur Sabu-Raijua, terdapat juga metafora yang berkaitan atau bertalian dengan

lontar. Sebagai contoh wila kunu rote tu la kejuri due yang dapat dimaknai

sebagai: seseorang yang yang sukses berasal dari keluarga yang susah. Jadi tidak

dari latar belakang keluarga yang kaya, dapat melahirkan orang-orang sukses.

Lingkungan bahasa (language ecology) adalah produk dan kondisi alam

juga ruang (space) tertentu dan bersifat alamiah, sedangkan bahasa lingkungan

(ecological language) adalah produk budaya, produk manusia dan masyarakat

(Mbete, 2013: 2). Ditambahkannya pula, dikaitkan dengan konsep ekologi, yakni

lingkungan alamiah umumnya (jagat raya, buana agung, macrocosmos) dan

lingkungan budaya atau lingkungan khusus manusia (jagat kecil, buana alit,

microcosmos), lingkungan manusia atau sosial budaya ada di dalam (sistem)

lingkungan alam.

Saling tergantung, saling terhubung (interelasi), dan saling aksi antara

manusia dan lingkungan hidup di sekitarnyalah dalam keharmonisan memberi

ruang kreasi simbolik manusia itu telah menghasilkan kebudayaan dan manusia

menandainya serta merekamnya secara verbal pelbagai pengetahuan, pemahaman

manusia di lingkungan tertentu dengan lingkungannya.

Dalam kaitannya dengan metafora, ekolinguistik membutuhkan sebuah

pemahaman atau cara pandang atau keterangan ekspresif tentang makna. Sebuah

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

35

keterangan ekspresif tentang makna sangat sulit menghindari sifat-sifat yang

terkait dengan subjek (Taylor,2002:130). Selanjutnya, Taylor menegaskan bahwa

ekspresi adalah kekuatan subjek; ekspresi memanifestasikan hal karena pada

dasarnya ia menunjukkan kita pada subjek, kepada siapa hal-hal ini memanifes.

Apa yang dimanifestasikan oleh ekspresi, hanya dapat dibuat manifes oleh

ekspresi, sehingga makna ekspresif tidak dapat dijelaskan terpisah dari ekspresi.

Ekspresi itu sendiri adalah sebuah fenomena yang terkait dengan subjek, dan

karenanya tindakan mengizinkan ilmu yang objektif.

Penganut paham Haugen atau Haugenian memandang kajian

ekolinguistik sebagai kajian yang sangat penting dilakukan terhadap bahasa-

bahasa yang terancam punah. Dewasa ini banyak bahasa yang mulai terancam

punah. Warisan budaya leluhur dalam bentuk teks-teks lisan, metafora-metafora

kebahasaan yang masih dalam bentuk teks-teks lisan perlahan mulai punah.

Sebagaimana bentuk sesuatu yang hidup di bumi ini, sosok bahasa

terbukti juga dapat berkembang, terus berubah, dan bergeser tanpa henti dari

waktu ke waktu (Rahardi, 2006: 69). Bukti perubahan dan pergeseran bahasa yang

paling mudah dilihat dan dicermati oleh siapa pun adalah aspek leksikon bahasa

yang bersangkutan. Perubahan dan pergeseran jumlah leksikon sebuah bahasa

dapat terjadi karena ada penambahan, pengurangan, atau mungkin malahan

penghilangan. Perubahan dan pergeseran ini terjadi dalam pemikiran/bahasa yang

kompleks (Taylor, 2002:124). Perubahan bahasa atau perubahan pemikiran

berdampak pada perubahan lingkungan yang dengan sendirinya akan berdampak

pada perubahan budaya.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

36

Menurut Haugen, tujuan utama kajian ekolinguistik adalah

pendokumentasian bahasa-bahasa yang terlihat mulai cepat menghilang atau

menyusut pada beberapa era. Hal ini dilihat pada era generasi tua (terdahulu) dan

era generasi muda (sekarang). Perubahan atau penyusutan bahasa terlihat sangat

cepat. Dengan demikian, peran ekolinguistik sangat dibutuhkan sehingga bahasa-

bahasa yang terancam punah ini kembali memiliki suatu dokumen kebahasaan.

Ekolinguistik merupakan kajian yang berlawanan dengan kajian

linguistik struktural yang hanya memandang pada satu objek, yaitu bahasa dan

tanpa memandang lingkungan (Fill,2001:45). Ekosistem atau ekologi adalah

tempat kehidupan, dan dunia bahasa merupakan pengalaman, atau gambaran nyata

dari suatu kehidupan. Ekologi alam memengaruhi ekologi bahasa, jika pada suatu

lingkungan, ekologi alam atau lingkungan alam rusak atau “dirusaki” atau

“dibunuh” oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka ekologi bahasa

pada lingkungan tersebut juga akan mengalami kerusakan. Dalam guyub tutur

Sabu-Raijua ekologi alam lontar perlahan-lahan mulai dirusaki oleh hasil olahan

pabrik. Hal ini memengaruhi ekologi bahasa yang berhubungan dengan lontar

pada guyub tutur Sabu-Raijua, yang menurut Haugen, ini merupakan bagian dari

kajian ekolinguistik kritis.

“Alam terkembang jadi guru”. Inilah filsafat hidup orang Minangkabau

salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. Di sini ditunjukkan bahwa manusia

itu adalah murid-murid alam atau lingkungan mereka (Irwan, 2014). Kehidupan

adalah sebagai sebuah dinamika yang mengandung pergeseran dan perubahan

secara terus-menerus. Oleh karena itu, setiap manusia harus mampu

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

37

menyesuaikan dirinya dengan alam dan lingkungannya, serta sesama maklukh

hidup yang merupakan bagian dari alam.

Irwan (2014:4) memberikan sebuah contoh, orang Minangkabau

menamakan tanah airnya alam Minangkabau atau alam Indonesia. Pemakaian kata

“alam” ini mengandung arti yang sangat bermakna dalam hal ini alam bagi

masyarakatnya adalah segala-galanya, bukan hanya sebagai tempat lahir, tempat

mati, tempat hidup, dan tempat berkembang, tempat bersosialisasi, melainkan juga

bermakna filisofis. Ajaran dan pandangan orang Minangkabau mengambil

ungkapan dari bentuk, sifat dan kehidupan alam.

Pada hakikatnya alam merupakan guru bagi makhluknya, manusia dapat

mempelajari apa saja dari apa yang ada di sekelilingnya. Oleh karena itu

lingkungan merupakan laboratorium alam yang sangat baik dan lengkap, namun

belum banyak yang menyadari dan memanfaatkannya. Jika diperhatikan dengan

seksama, dari lahir sampai hayatnya manusia pada hakikatnya terlibat dengan

lingkungan, ini berarti manusia tidak akan pernah dapat memisahkan diri dari

lingkungannya. Dari masyarakat primitif, atau dari sejarah leluhur manusia untuk

dapat bertahan hidup harus mengenal lingkungan terlebih dahulu, yaitu mengenal

tenaga-tenaga alam, tumbuh-tumbuhan, serta binatang di sekitarnya. Bagaimana

cara menggunakan api, dan alat-alat lain untuk mengubah lingkungannya.

Dalam tahapan hubungan manusia dengan lingkungan, ditunjukkan

bahwa seluruh aspek budaya, perilaku (bahasa, pekerjaan, dan lain sebagainya)

bahkan “nasib” manusia dipengaruhi, ditentukan, dan tunduk pada lingkungan

(Susilo, 2012:30). Alam dan lingkungan memiliki kehendak atas manusia dan

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

38

kehidupan manusia dikendalikan olehnya. Artinya, sebagai kekuatan sendiri,

lingkungan memliki sifat sangat menentukan kehidupan manusia. Alam dan

lingkungan menentukan dan membentuk kepribadian, pola-pola hidup, organisasi

sosial manusia, seperti model kehidupan sosial (pola pemukiman, cara bercocok

tanam) masyarakat yang disesuaikan dengan lingkungan.

Masyarakat pengguna bahasa atau guyub tutur Sabu-Raijua yang hidup di

tengah-tengah lingkungan atau ekosistem lontar pasti akan lebih banyak

memanfaatkan lontar dalam setiap segi kehidupannya, membangun rumah (tiang

penyangga) dari kayu atau batang pohon lontar, atap rumah dari daun pohon

lontar, hingga ke peralatan rumah tangga sehari-hari terbuat dari hasil olahan dari

pohon lontar. Hal ini jelas berbeda jika dibandingkan dengan masyarakat Sabu-

Raijua yang berada di kota atau di luar Pulau Sabu.

Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa adanya dominasi lingkungan

terhadap manusia. Selain itu, kepercayaan leluhur kepada alam sangat tinggi

sehingga adanya mitos-mitos terhadap suatu tempat yang kemudian dianggap

sebagai tempat sakral. Ritual-ritual dibuat pada tempat-tempat yang dipandang

sakral tersebut. Aktivitas ritual ini dipandang juga sebagai penghormatan kepada

alam atau cara manusia menghormati alam.

Susilo (2012), menjelaskan bahwa mitos melambangkan bentuk

pengalaman manusia. Ia memberikan arah dan pedoman agar bertindak lebih

bijaksana. Mitos menyadarkan manusia tentang adanya kekuatan gaib, di luar

mereka. Kemudian, manusia dibantu untuk menghayati daya-daya itu sebagai

kekuatan yang menguasai alam dan kehidupan semuanya. Berdasarkan beberapa

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

39

konsep adanya dominasi lingkungan, lahirlah Pandangan Comtein atau teori

Comte. Aguste Comte menggambarkan hubungan antara manusia dan lingkungan

yang dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah ini.

Gambar 2.1 Dominasi Lingkungan

Dari kajian ekologi bahasa berkembang kajian ekologi budaya. Ekologi

budaya lahir atau diperkenalkan oleh Julian H. Steward pada permulaan

dasawarsa 1930-an (Susilo, 2012). Inti dari teori ini adalah lingkungan dan budaya

tidak bisa dilihat terpisah, tetapi merupakan hasil campuran (mixed product) yang

berproses lewat dialektika. Dengan kalimat lain, proses-proses ekologi memiliki

hubungan timbal balik. Budaya dan lingkungan bukan entitas yang masing-

masing berdiri sendiri atau bukan barang jadi yang bersifat statis. Keduanya

mempunyai peran besar dan saling memengaruhi. Gambar2.2. memperlihatkan

hubungan antara ekologi dan budaya dapat dilihat dalam gambar berikut.

Gambar 2.2 Ekologi Budaya

Ilmu ekolinguistik awalnya diperkenalkan oleh Sapir (1939) yang

kemudian di lanjutkan oleh Haugen (1972), dan kemudian dikembangkan oleh

Kehidupan

manusia

Lingkungan

dan hukum-

hukumnya.

Lingkungan Budaya

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

40

Fill dan Muhlhausler (2001) yang berpendapat bahwa ekolinguistik merupakan

ilmu tentang kehidupan (lifescince). Bahasa dalam pandangan ekolinguistik

dipahami sebagai sesuatu yang hidup dalam manusia dan merupakan gambaran

representasi realitas alam dan manusia.

Dalam perkembangannnya, ekolinguistik sebagai cabang ilmu linguistik

tidak terlepas dari linguistik dialektikal. Linguistik dialektikal dicetuskan oleh

Bang dan Døør pada tahun 1970-an. Pada tahun 1990 Bang dan Døør membentuk

kelompok riset yang diberi nama ELI Research Group: Ecology - Language –

Ideology (Bang dan Døør, dalam Lindø dan Bundsgaard ed., 2000: 9). Bang dan

Døør mencetuskan teori linguistik dialektikal untuk menstabilkan dan mengubah

cara serta pandangan dalam penggunaan bahasa (Bang dan Døør, 1993: 1).

Bang dan Døør (1996:10) menyatakan bahwa teori ekolinguistik adalah

keterkaitan antara ekologi yang merefleksikan manusia dan permasalahan dalam

fenomena bahasa. Teori linguistik juga merupakan teori ekologi, yaitu sebuah

pendekatan ekologi yang menyelidiki objek penelitian dalam hubungannya

dengan lingkungan sebagai sebuah penyelidikan relasional (Bang dan Døør, 1996:

3). Bunsdgaard dan Steffensen (dalam Lindø dan Bundsgaard 2000: 11)

menjelaskan ekolinguistik adalah studi tentang interrelasi dimensi biological,

sosiological, dan ideological bahasa. Gambar 3,3 berikut menyajikan hubungan

interrelasi dimensi-dimensi tersebut.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

41

Gambar 2.3 Hubungan Interelasi

Keterangan gambar:

S1 : Pembuat Teks

S2 : Konsumen/ Pengguna Teks

S3 : Subjek

O : Objek yang dirujuk

Topos : Ruang tempat dan waktu

: Dialog

Ketiga dimensi yang tergambar di atas saling berhubungan satu sama

lain. Dimensi ideologis terkait dengan mental individu, mental kolektif, kognitif,

sistem ideologis, dan sistem psikis. Di sisi lain, dimensi sosiologis terkait dengan

cara manusia mengatur hubungannya satu sama lain. Dimensi biologis

berhubungan dengan kolektivitas biologis manusia yang hidup berdampingan

dengan spesies lainnya (hewan, tumbuhan, tanah, laut, dan sebagainya) (Lindø

dan Bundsgaard, ed., 2000: 11). Fenomena bahasa berjalan secara

berkesinambungan dan saling terkait. Bahasa merupakan objek dari tiga dimensi

tersebut (Lindø dan Bundsgaard (ed.), 2000: 11).

Mühlhaüsler (2001), mengatakan bahwa ekologi adalah studi tentang

hubungan timbal balik yang bersifat fungsional. Dua hal yang saling berkaitan

yakni bahasa dan lingkungan, dua hal tersebut yang akan dihubungkan dan

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

42

menjadi fokus pada penelitian ekolinguistik. Fokusnya juga tergantung pada

apakah lingkungan bahasa atau bahasa lingkungan, atau bisa saja keduanya.

Mbete (2010:1), memaparkan bahwa ekolinguistik adalah salah satu cabang ilmu

linguistik yang mengkaji tentang bahasa dan lingkungan. Dasar dari kajian

ekolinguistik adalah bahasa, ekologi, dan lingkungan. Ekolinguistik, selain

menekankan bagaimana hubungan fisik dan sosial, juga membedah makna

hubungan bahasa, budaya dan lingkungan.

Haugen (dalam Fill dan Muhlhausher, 2001:57) mengatakan,

“Language ecology may be defined as the study of interactions

between any given language and its environment. The definition of

environment might lead one’s thoughts first of all to the referential

world to which language provides an index. However, this is

environment not of the language but of its lexicon and grammar”.

Ekolinguistik atau ekologi bahasa merupakan ilmu yang mempelajari

hubungan bahasa dan lingkungan sekitarnya. Dalam buku The Ecolinguistics

Reader: Language, Ecology and Environment (2001:57), Haugen memaparkan

beberapa unsur utama dalam ekolinguistik yang pertama adalah aspek psikologis

yakni hubungan antara bahasa lain yang terdapat dalam pikiran penutur bilingual

atau multilingual, yang kedua adalah aspek sosiologis, yakni hubungan dengan

masyarakat yang berfungsi sebagai media komunikasi, dan yang ketiga adalah,

bahasa hidup dalam pikiran penuturnya, dan akan berfungsi bila penuturnya saling

berhubungan atau berkomunikasi satu dengan yang lain, seperti interaksi antara

lingkungan sosial ataupun lingkungan alamiah.

Menurut Haugen (1972), upaya penyelamatan bahasa sangat diperlukan,

karena kepunahan bahasa begitu cepat dalam satu dasawarsa. Alasan

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

43

penyelamatan bahasa ini berkaitan dengan penyelamatan lingkungan alam dan

dengan keanekaragaman hayati yang tercermin pada kosakata. Dalam perspektif

ekolinguistik, keanekaragaman, interaksi, saling memengaruhi dan saling

bergantung pelbagai entitas di suatu lingkungan, termasuk manusia dengan bahasa

dan lingkungan tertentu, merupakan parameter ekologi (Odum, 1996), termasuk

ekologi manusia dan ekologi bahasa khususnya.

Penganut Mbete (2009:2), dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan

komunitas penuturnya dipandang sebagai organisme yang hidup secara bersistem

dalam suatu kehidupan bersama organisme-organisme lainnya. Teori-teori yang

digunakan dalam penelitian ini merupakan paduan teori linguistik dan ekologi,

sebagaimana dinyatakan oleh Fill (1993:126) dalam Lindø dan Simonsen

(2000:40) ”ecolinguistics is an umbrella term for ...all approaches in which the

study of language (and language) is in any way combined with ecology.”

Kajian ekolinguistik, lebih khusus ekoleksikal adalah pembedahan

makna-makna sosiologis (yang alami) di balik suatu bahasa, khususnya pada

tataran leksikonnya. Lindo dan Bundsgaard (2000:10) menguraikan bahwa (1)

bahasa yang hidup adalah bahasa yang digunakan untuk menggambarkan dan

mempresentasikan realitas di lingkungan, baik lingkungan sosial maupun

lingkungan alam; (2) dinamika dan perubahan yang terjadi pada tataran leksikon

dipengaruhi oleh tiga dimensi, yaitu dimensi ideologis, sosiologis, dan biologis.

Sapir (dalam Fill dan Muhlhausler, 2001), mengatakan bahwa guyub tutur di

suatu lingkungan itu memiliki hubungan yang kosmologis dengan lingkungan itu

pula.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

44

Menurut Lindø dan Bundsgaard, terdapat pula teori ekolinguistik

dialektikal. Teori ekolinguistik dialektikal ini menganggap bahwa setiap individu

yang dalam hal ini bentuk leksikon khazanah verbal yang terbagi menjadi

ekoleksikon dan ekowacana yang diklasifikasikan menjadi kata, gabungan kata,

bahkan kalimat berada dalam tiga dimensi relasional. Bang dan Døør bersama

dengan Harry Perridon pada tahun 1990 (Bang dan Døør dalam Lindø dan

Bundsgaard, 2000: 18) mengembangkan teori dasar untuk menjelaskan

relasionalitas dengan menggunakan tiga model referensial.

Tiga dimensi referensial tersebut terdiri atas inter-/intra-/ekstratekstual

(Lindø dan Bundsgaard (eds), 2000: 17). Model referensial ini seperti

dikemukakan pada tabel 2.2 kemudian menjadi kerangka untuk membedah teks-

teks dan ungkapan-ungkapan tentang lingkungan.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

45

Tabel 2.2 Model Referensial

Dimension of

reference

Dominating

reference

Reference to

Lexical

Anaphoric

Deictic

Inter- textual

Intra-textual

Extra-tekstual

COtext social &

lexicon &

Individual grammar

cataphoric (forward)

INtext anaphoric

(backward)

Symphoric

(simultaneous)

C-prod

persons

CONtext C-comm

time

C-cons

place

C-derivated

logics

Model referensial tersebut berisikan (1) bagian referensial teks yang

disebut dengan dimensi referensial; (2) relasional dari berbagai referensial teks

yang disebut dengan dominasi referensial; dan (3) rujukan teks yang terdiri atas

kotekstual, intekstual, dan kontekstual. Lindø dan Bundsgaard menambahkan tiga

model referensial Bang dan Døør dengan menyatakan bahwa referensi

intertekstual berupa kategori semantis, referensi intratekstual berupa kategori

sintaktik, dan referensi ekstratekstual berupa kategori pragmatis(Lindø dan

Bundsgaard (eds), 2000: 19).

Kesemuanya itu digambarkan dalam sebuah bagan atau gambar matriks

semantik seperti terlihat pada Gambar 2.4. Matriks semantik adalah sebuah

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

46

matriks yang terdiri atas empat unsur semantik yang membatasi dan

mengondisikan penggunaan bahasa, yaitu makna sosial (social sense), makna

individual (individual meaning), impor sosial (social import), dan signifikansi

personal (personal significance) (Bang dan Døør, 1993: 3--5).

Gambar 2.4 Matriks Semantik

Makna sosial (social sense) merupakan dimensi diakronis semantik teks.

Makna sosial biasa ditemukan dalam kamus standar. Makna sosial bersifat

objektif yang menggambarkan beberapa aspek dari penggunaan kata-kata secara

normal. Makna sosial bersifat selektif dan berfungsi sebagai norma. Makna

individual (individual meaning) merupakan dimensi diakronis semantik teks.

Makna individual biasa dipakai pengguna bahasa dalam menghasilkan teks dan

memahami teks. Makna individual berbeda dengan makna sosial.

Makna individual menetapkan individu sebagai pribadi. Makna

individual kata atau teks adalah cara normal seorang penutur dalam menggunakan

kata atau teks. Makna individual adalah aspek yang telah dimengerti atau

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

47

digunakan dalam waktu yang relatif lama sehingga makna individual tertanam

dalam diri pengguna dan aspek yang melalui situasi yang berbeda pada waktu dan

tempat yang berbeda. Makna individual dapat menentukan kepribadian seseorang

dan menentukan identitas sosial. Makna individual membedakan pengguna satu

dengan pengguna yang lain.

Impor sosial (social import) adalah aspek sinkronis yang dikondisikan

oleh identifikasi peserta dan penerima konteks komunikatif. Sebuah konteks

diartikan sebagai interpretasi semantik dari suatu teks. Suatu teks berbeda

penggunaannya atau berbeda maknanya apabila digunakan pada konteks yang

berlainan. Signifikansi personal (personal significance) adalah kontribusi yang

berbeda dan memiliki unsur pribadi dalam pemanfaatan dan pengembangan

bahasa. Signifikansi personal dibatasi oleh situasi aktual berlangsungnya dialog.

2.3.2 Linguistik Mikro

Teori linguistik mikro juga dipakai dalam analisis. Penggunaan teori

linguistik mikro merupakan teori pendukung Ekolinguistik. Beberapa teori

linguistik mikro yang digunakan dalam analisis adalah teori morfologi, teori

semantik, dan teori fonologi. Berikut adalah penjelasan masing-masing teori

tersebut.

2.3.2.1 Morfologi

Membahas tentang bentuk-bentuk lingual leksikon lingkungan alam

merupakan ruang lingkup kajian morfologi, yakni bagian dari ilmu bahasa yang

mempelajari struktur atau bentuk kata. Ramlan (1979:2) menjelaskan bahwa

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

48

morfologi mempelajari seluk beluk struktur kata serta pengaruh perubahan-

perubahan struktur kata terhadap golongan dan arti kata. Dalam analisis bahasa

dan budaya keduean pada guyub tutur Sabu Raijua, penting diuraikan bentuk-

bentuk linguistik dari sejumlah leksikon yang berhubungan dengan keduean.

Simpen (2009:12) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk linguistik ada yang

berwujud bentuk kompleks dan ada yang berupa bentuk tunggal. Bentuk

kompleks dibangun oleh beberapa morfem, sedangkan bentuk tunggal dibangun

oleh satu morfem. Di dalam bentuk kompleks, khususnya yang berwujud kata

turunuan selalu ditemukan bentuk asal dan bentuk dasar. Bentuk asal berbeda

dengan bentuk dasar, tetapi adakalanya juga sama.

Kajian morfologi merupakan studi struktur intern kata, Rahyono

(2012:33). Satuan-satuan fonem membentuk satuan-satuan yang lebih besar

menjadi satuan terkecil pada tataran morfologi. Satuan terkecil pada morfologi

adalah morfem, sedangkan satuan terbesar adalah kata. Setiap proses morfologis

menghasilkan satuan kata yang menampilkan makna leksikal.

2.3.2.2 Semantik

Studi semantik adalah studi makna. Satuan-satuan yang dikaji dalam

semantik adalah satuan-satuan yang ada pada satuan-satuan subsistem yang lain.

Istilah-istilah yang berkenaan dengan studi semantik adalah: leksem, leksikal,

leksikon, leksikologi, dan leksikografi. Dalam analisis bahasa dan budaya

keduean, penggunaan istilah leksikon merupakan salahsatu kata kunci.

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

49

Leksikal adalah satuan terbesar dalm leksikon yang merupakan konstituen

semantis yang secara struktural berupa kata, sedangkan leksikon adalah

keseluruhan kosakata yang ada dalam sebuah bahasa, Rahyono (2012:37)

2.3.2.3 Fonologi

Fonologi merupakan suatu satuan bunyi bahasa, yang menjadi satuan

terkecil dalam bahasa. Fonologi dipelajari dalam dua cabang ilmu yaitu fonetik

dan fonologi. Trubetzkoy (1962:12) menjelaskan bahwa fonologi berkenaan

dengan sistem dan pola-pola bunyi yang terdapat dalam bahasa.

Penerapan teori fonologi dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat

bentuk teks tuturan ritual yang berhubungan dengan keduean. Analisis teks akan

melihat bentuk dan struktur teks. Sementara analisis tersebut hanya pada bentuk

unsur segmental bukan unsur suprasegmental.

2.3.3 Linguistik Kebudayaan

Linguistik kebudayaan merupakan bidang ilmu interdisipliner yang

mempelajari bahasa dan kebudayaan. Bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal

yang tak dapat dipisahkan. Berbicara tentang suatu bahasa, berarti berbicara

tentang budaya, demikian sebaliknya. Tidaklah mungkin membahas bahasa dan

mengabaikan budaya. Menurut Koentjaraningrat, bahasa merupakan wahana

utama bagi pewarisan sekaligus pengembangan kebudayaan.

Sejalan dengan pendapat di atas, Duranti (1997:27) mengatakan bahwa

mendeskripsikan suatu budaya sama halnya dengan mendeskripsikan bahasa.

Hubungan atau keterkaitan bahasa dan budaya juga di ungkapkan oleh White and

Dillingham (1973:31): “Language is a part of culture; the science of linguistics is

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

50

subdivision of culturology.” Artinya ini tidak hanya menyiratkan hubungan

antarbahasa dan budaya, tetapi juga antar ilmu bahasa dengan ilmu budaya.

Sapir-Whorf dalam hipotesis mereka mengatakan bahwa bahasa tidak

hanya menentukan budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran

penuturnya. Hipotesis Sapir-Whorf tersebut mengandung pengertian bahwa jika

suatu bangsa berbeda bahasa dengan bangsa lain, maka berbeda pula jalan

pikirannya (lihat juga Black, 1969:432—437; Hudson, 1985:103; Anwar,

1990:85—89; Malmkjaer dan Anderson, 1991:305—307; Ibrahim, 1994:45).

Pandangan mengenai hubungan antara bahasa dan kebudayaan

dikemukakan pula oleh Wierzbicka (1992:1) bahwa berpikir tidak dapat dialihkan

dari satu bahasa ke bahasa lainnya karena berpikir sangat bergantung pada bahasa

yang digunakan untuk memformulasikannya. Dengan demikian berarti bahasa

merupakan sarana berpikir sekaligus menjembatani pikiran dan kebudayaan. Hal

itu pulalah yang memberikan pengertian yang saksama bahwa bahasa senantiasa

digunakan dalam konteks sosial budaya.

Pola pikir dan perilaku budaya suatu kelompok etnik tidak terlepas dari

bahasa (ragam/ langgam, diksi, tekanan, dan lain-lain) yang digunakan oleh

seseorang atau sekelompok orang. Wierzbicka (1991:2—4) juga mengatakan

bahwa perbedaan budaya berimplikasi pada perbedaan cara berinteraksi.

Wierzbicka (1991) juga menelaah hubungan antara bahasa dan kebudayaan dalam

konteks wacana kebudayaan yang merupakan pendekatan baru dalam studi

komunikasi lintas-budaya.

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

51

Perumusan pendekatan baru tersebut didasarkan pada anggapan-

anggapan, yang oleh Wierzbicka (1991) dirumuskan seperti berikut ini.

1. In different societies, and different communities, people speak

differently.

2. These differences in ways of speaking are profound and systematic.

3. These differences reflect different culture values, or at least

different hierarchies of value.

4. Different way of speaking, different communicative styles, can be

explained and made sense of, in terms of independently established

different culture values and culture priorities.

Anggapan yang dikemukakan oleh Wierzbicka tersebut di atas

sesunggunya telah merupakan gambaran nyata mengenai hubungan empirik dan

teoritik antara bahasa dan kebudayaan yang berpatokan pada tiga kata kunci,

yakni: (1) masyarakat/ guyub, baik guyub tutur maupun guyub budaya; (2) cara

berinteraksi; dan (3) nilai budaya. Guyub berbeda memperlihatkan cara

berinteraksi yang berbeda, yang juga memperlihatkan nilai budaya yang berbeda.

Hal ini sejalan dengan Saville-Troike (1984:35), yang mengatakan: “There is no

doubt, however, that there is a correlation between the form and content of a

language and the beliefs, values, and needs present in the cuulture of its

speakers”

Konsep linguistik kebudayaan digunakan pula oleh Palmer (1996)

sebagai cultural linguistics. Palmer (1996:36) mengemukakan bahwa linguistik

kebudayaan adalah sebuah nama yang cenderung mengandung pengertian luas

dalam kaitan dengan bahasa dan kebudayaan. Lebih lanjut dikatakannya bahwa

linguistik kebudayaan menyangkut ranah bahasa dan kebudayaan menurut tradisi

Boas, etnosemantik, dan etnografi berbicara (lihat juga Palmer, 1996:10—26).

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

52

Hubungan antara analisis bahasa dengan kebudayaan juga dikemukakan

Lee, sebagaimana dikutip Palmer (1996:13), bahwa tata bahasa mengandung

pembentukan pengalaman. Tata bahasa berhubungan secara langsung dengan

skema kesan, model kognitif, dan pandangan tentang dunia. Bahkan Palmer

(1996:23) secara tegas mengatakan bahwa fonologi adalah budaya. Pandangan

Palmer tersebut mengandung pengertian bahwa bahasa yang digunakan oleh suatu

masyarakat tutur merupakan refleksi dari kognisi (kesadaran, perasaan,

pengalaman, dan persepsi) mereka.

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

53

2.4 Model Penelitian

Gambar. 2.5. Model Penelitian

BAHASA DAN BUDAYA LONTAR

SABU-RAIJUA

Bentuk dan Struktur

Bahasa keduean

Representasi Persepsi Guyub

Tutur Sabu-Raijua dalam

Tuturan keduean

Dinamika Bahasa dan

Budaya keduean

Pemetaan Ekoleksikal

Fungsional

Mikrokosmos &

makrokosmos

Leksikalisasi,

gramatikalisasi,

tekstualisasi

Observasi

Metode linguistik

lapangan Ekolinguistik, Linguistik Mikro &

Linguistik kebudayaan

DATA

TEMUAN

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

54

Dalam model penelitian di atas, tergambar bahwa penelitian tentang

bahasa dan budaya lontar pada guyub tutur Sabu Raijua, memiliki empat pokok

masalah yaitu; (1) bentuk dan strukur bahasa keduean; (2) representasi persepsi

guyub tutur Sabu-Raijua dalam tuturan keduean; (3) dinamika bahasa dan budaya

keduean; (4) pemetaan ekoleksikal fungsioanal. Keempat masalah dalam

penelitian ini memiliki inti pembahasan yang saling berhubungan yaitu masalah

masalah (1) adalah masalah kebahasaan yang berhubungan dengan keduean,

dalam masalah (1) akan menjelaskan tiga unsur kajian ekolinguistik yaitu

leksikalisasi, gramatikalisasi, dan tekstualisasi. Sedangkan pada masalah (2),

menjelaskan dua lingkungan yang saling berhubungan yaitu mikrokosmos dan

makrokosmos. Pada masalah (3), dan masalah (4), kedua masalah ini menyoroti

baik sisi kebahasaan maupun dua sisi lingkungan mikro dan makrokosmos.

Keempat masalah tersebut di atas menggunakan metode observasi dan

metode linguistik lapangan. Kedua metode ini diterapkan dengan masing-masing

teknik penelitian. Observasi pengamatan dilakukan agar peneliti masuk dan

terlibat langsung dalam lingkungna kelontaran orang Sabu-Raijua. Sedangkan

metode lingusitik lapangan dengan teknik wawancara dan perekaman merupakan

suatu cara pendokumnetasian bahasa-bahasa lisan tentang lontar pada guyub tutur

Sabu-Raijua. Dengan menggunakan dua metode tersebut di atas, peneliti dapat

memperoleh data sesuai dengan tujuan permasalahan penelitian. Data yang

diperoleh kemudian dianalisis menggunakan dua teori, yaitu Ekolinguistik sebagai

payung dari keseluruhan analisis, dan teori Linguistik Kebudayaan sebagai teori

pendukung dalam menganalisis keempat masalah tersebut di atas. Sebagai kajian

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN ......2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana

55

linguistik, penerapan teori linguistik mikro tidak dapat dihindarkan dalam

menganalisis keempat masalah tersebut diatas. Teori-teori morfologi dan semantik

digunakan sebagai pendekatan dalam membedah sisi kebahasaan yang

berhubungan dengan lontar. Berdasarkan analisis tersebut peneliti dapat

menemukan temuan yang pada akhirnya merupakan novelty dari penelitian ini.