lontar #11 2015: agar petani makin profesional

24

Upload: veco-indonesia

Post on 23-Jul-2016

230 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

LONTAR edisi ini merangkum semua kegiatan Annual Partner Meeting (APM) 2015 bertema Menuju Organisasi Petani yang Mampu Berbisnis secara Profesional dan Mengakses Kredit Perbankan. Melalui tema tersebut kami ingin agar petani-petani mitra kami bisa bekerja secara profesional termasuk dalam mengakses kredit dari bank.

TRANSCRIPT

Page 1: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

1LONTAR #11 - 2015Foto: Anton Muhajir

BBiissnniiss PPeerrttaanniiaann

BBaannyyaakk JJaallaannmmeennuujjuu AAkksseess MMooddaall

B u l e t i n I n t e r n a l V E C O I n d o n e s i a

#11Edisi

APM

2015

Page 2: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

2 LONTAR #11 - 2015

2 Dari Redaksi

3 Editorial

4 Reportase

Banyak Jalan Menuju Akses

Modal

14 Kunjungan

16 Profil

18 Wisata

20 Testimoni

22 Galeri

20 Poster

Dari Redaksi

Daftar Isi

Pembaca LONTAR yang tercinta. Akhir Juli lalu kami

kembali mengadakan Pertemuan Tahunan Mitra

VECO Indonesia. Ini merupakan agenda tahunan

kami bersama para mitra dari seluruh wilayah program di

Indonesia.

Kali ini, pertemuan yang lebih sering disebut

Annual Partner Meeting (APM) tersebut, bertema

Menuju Organisasi Petani yang Mampu Berbisnis secara

Profesional dan Mengakses Kredit Perbankan. Melalui

tema tersebut kami ingin agar petani-petani mitra

kami bisa bekerja secara profesional termasuk dalam

mengakses kredit dari bank.

Untuk mewujudkan tujuan itu, APM 2015

dilaksanakan melalui dua kegiatan utama yaitu

diskusi dan kunjungan lapangan. Dalam diskusi, hadir

pembicara seperti kalangan perbankan, pengelola

bank petani, serta wakil pemerintah yang

memberikan dukungan terhadap usaha mikro, kecil,

dan menengah (UMKM).

Menariknya APM kali ini karena hadir pula

kalangan perbankan yaitu Bank NTT dan pihak swasta

pembeli produk petani seperti PT Agripro, PT Mars,

dan lain-lain.

Melengkapi diskusi tersebut, ada pula kunjungan

ke koperasi petani di Bali yaitu petani beras di

Tabanan, kopi di Bangli, kakao di Jembrana, dan

sayur di Badung. Melalui kunjungan tersebut, petani

bisa saling belajar bagaimana mengelola bisnis

pertanian masing-masing.

LONTAR yang Anda baca saat ini merangkum

semua kegiatan tersebut dalam bentuk tulisan

populer. Semoga informasi yang kami sampaikan bisa

menjadi bahan belajar bagi kita semua, terutama

untuk mewujudkan organisasi petani lebih profesional

dalam berbisnis.

Selamat membaca. [Redaksi]

Agar Petani Makin Profesional

LONTAR (n) daun pohon lontar (Borassus flabellifer) yang digunakan untuk menuliscerita; (n) naskah kuno yang tertulis pada daun lontar; (v) melempar. MakaLONTAR bagi kami adalah kata kerja (v) sekaligus kata benda (n).

Lontar adalah media informasi tentang pertanian yang memperhatikan nilai-nilailokal dan keberlanjutan, hal yang terus VECO Indonesia perjuangkan.

Tim RedaksiPenanggung jawab: Peter SprangRedaksi: Anton MuhajirKontributor: Luh De SuriyaniTata letak: Syamsul "Isul" Arifin

Alamat RedaksiVECO IndonesiaJl Kerta Dalem No 7 Sidakarya, Denpasar, Bali 80224Telp: 0361 - 7808264, 727378,Fax: 0361 - 72321 7Email: [email protected]

www.vecoindonesia.org @VECOIndonesia facebook.com/VECOIndonesia

Redaksi menerima berita kegiatan, profil, maupun tips terkait praktik pertanianberkelanjutan terutama tentang mitra VECO Indonesia di berbagai daerah. Tulisanbisa dikirim lewat email ataupun pos ke alamat di atas.

Materi publikasi ini dicetak menggunakan kertas daur ulang 50 persensebagai komitmen VECO Indonesia terhadap keberlanjutan lingkungan.

Page 3: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

3LONTAR #11 - 2015

Pengurus Koperasi Petani Amanah di Polewali Mandar (Pol-

man), Sulawesi Barat itu bisa menggambarkan bagaimana

susahnya petani dalam mengakses kredit untuk usaha mik-

ro, kecil, dan menengah (UMKM).

Modal memang selalu menjadi tantangan bisnis petani dari

masa ke masa. Tak hanya untuk produksi tapi juga bisnis. Pa-

dahal, petani membutuhkan kapital ini untuk membeli sarana

produksi maupun pengolahan hingga bisnis produk mereka.

Namun, jangankan untuk modal usaha, untuk memenuhi

kebutuhan hidup sehari-hari pun petani masih terengah-

engah. Menurut Survei Badan Pusat Statistik (BPS) 2014,

sebagian besar petani Indonesia Indonesia masih hidup

kekurangan. Pendapatan dari satu hektar padi dan jagung

hanya Rp 4,5 juta dan Rp 2,5 juta per musim tanam.

Lingkaran setan

Banyak penyebab susahnya petani mengakses kredit dari

pemerintah ataupun perbankan. Isu klasik adalah rendahnya

kapasitas petani dalam berorganisasi dan berbisnis. Untuk

mengakses modal, petani harus mengajukan proposal usaha.

Untuk membuat proposal, petani harus profesional. Namun,

untuk profesional juga petani butuh modal.

Maka, jadilah lingkaran setan.

Ada beberapa masalah yang dihadapi perbankan untuk

membiayai UMKM. Misalnya, lemahnya administrasi, kecilnya

usaha, serta kurang matangnya rencana usaha. Semua hanya

Permudah Akses Kredit untuk Usaha Tani

“Kami sudah tiga kali mengajukan kredit ke LPDB namun belum satu kali pun

berhasil. Katanya karena perbedaan warna politik,” kata Abdul Rauf.

Editorial

dari sisi petani.

Padahal, jika dibalik perspektifnya, maka petani yang

menghadapi sejumlah masalah ketika hendak mengakses kre-

dit. Misalnya, ruwetnya birokrasi dan jaminan yang terlalu

besar.

Karena itu jawabannya adalah berikan pendampingan dan

kemudahan. Jika petani masih menghadapi masalah klise

kurangnya kapasitas organisasi dan bisnis, maka dampingilah

petani agar lebih profesional. Dalam berorganisasi maupun

berbisnis.

Jika sudah didampingi, berikanlah kemudahan. Sudah jadi

rahasia umum bahwa mengakses kredit konsumsi seperti

sepeda motor, mobil, atau rumah jauh lebih mudah daripada

mengakses kredit untuk modal produksi. Maka, petani harus

diberikan kemudahan untuk mengakses kredit ini.

Pemberi layanan kredit seharusnya mencari cara-cara untuk

mendukung agar petani Indonesia bisa lebih maju. [Anton

Muhajir]

Mr. Rauf, manager of Amanah farmer cooperative in

Polewali Mandar (Polman), West Sulawesi, is able to

describe just how difficult it is for farmers to access

micro, small and medium business loans.

For Rauf and other small-scale farmers in Indonesia, capital

has always been a challenge. Not only for production but also

for business. Yet farmers need this capital to buy production

inputs, manage their businesses, and market their products.

Business capital aside, farmers still struggle to survive day

to day. According to a 2014 Statistics Agency survey, most of

Indonesian farmers still live in poverty. Income from a hectare

of rice is no more than IDR 4.5 million per growing season;

and the figure for a hectare of corn is just IDR 2.5 million.

Vicious circle

There are many reasons that farmers have difficulties

accessing credit from the government or from banks. The

classic issue is the farmers' lack of organising and business

skills. To access capital, farmers must submit a business

proposal. And to make a business proposal, farmers must be

professional. But to be professional, farmers need capital.

So, it's a vicious circle.

There are some challenges that banks have when it

comes to financing micro, small and medium businesses.

These include poor administration, the small scale of their

businesses, and poorly thought out business plans. And

that's just from one perspective.

From the other perspective, farmers face a number of

problems when seeking access to credit. Examples include

the complicated bureaucracy and the excessive collateral

requirements.

Thus, the answer is to provide support and facilitation.

Those farmers who face the classic problem of a lack of

organising and business skills, should ve supported to be

more professional, both in organising and in business.

If they have support, facilitate them. It is no secret that

accessing consumer credit for motorbikes, cars and houses,

for example, is easier than accessing credit for production

capital. So, farmers must be facilitated to access this credit.

In short, credit service providers should be looking for

ways to support most of Indonesian farmers. [Anton

Muhajir]

Facilitating Access to Credit for Farmers"We'd applied for a loan from LPDB three times, but without success. Apparently it was

because of a difference in political shade," said Abdul Rauf.

Page 4: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

4 LONTAR #11 - 2015

Foto­foto: Anton Muhajir

BBaannyyaakk JJaallaannMMeennggaakksseess

MMooddaall BBiissnniiss TTaannii

Gagal di satu pintu, masuki pintu lain.

Karena ternyata banyak pintu menuju

akses modal untuk mendanai usaha

pertanian. Modal bisnis itu ada yang

dibuat bank, pemerintah, dan bahkan

oleh petani sendiri.

Page 5: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

5LONTAR #11 - 2015

Reportase

Pada hari pertama, setelah pembu-

kaan oleh Perwakilan Regional VECO

Indonesia Rogier Eijkens yang sekaligus

menyerahkan posisi kepada penggan-

tinya yaitu Peter Sprang, kegiatan ber-

lanjut dengan diskusi pertama. Diskusi

tentang akses kredit untuk petani

menghadirkan tiga pembicara yaitu

Direktur Utama Bank NTT Daniel Tagu

Dedo, Direktur Bisnis Lembaga Pengelola

Dana Bergulir (LPDB) Kementerian

Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah (UMKM) Warso Widanarto,

serta pendiri bank petani Masril Koto.

Ketiganya menyampaikan pandangan

dan pengalaman tentang betapa ba-

nyaknya jalan untuk mengakses kredit

bagi modal usaha petani.

Kredit Bank

Daniel meyakinkan mitra VECO

Indonesia bahwa Bank NTT akan mendo-

rong pengucuran dana kredit pertanian

serta UMKM ini. Dia menjelaskan, Bank

NTT menargetkan menyalurkan dana

Begitulah pesan penting dari seluruh

rangkaian Pertemuan Tahunan Mitra

atau Annual Partner Meeting (APM)

VECO Indonesia 2015 di Bali pada 26-29

Juli lalu. Rangkaian kegiatan mulai dari

dua diskusi di hari pertama ataupun

kunjungan-kunjungan di dua hari setelah-

nya. Selama empat hari APM 2015, peserta

belajar tentang beragam jalan dalam

mengakses modal bagi bisnis petani.

APM 2015 bertema Menuju Organisasi

Petani yang Mampu Berbisnis secara Pro-

fesional dan Mengakses Kredit Perbankan.

Tema ini relevan dengan strategi

program VECO Indonesia 2014-2016 yang

menekankan pada peningkatan kapasitas

bisnis petani. Akses modal merupakan

aspek penting untuk menuju bisnis

petani secara profesional tersebut.

Selain kunjungan lapangan ke kope-

rasi-koperasi petani, para mitra juga

belajar tentang kewirausahaan secara

langsung dari aktor swasta di Bali yang

telah berhasil mengembangkan

diversifikasi usaha pertanian.

UMKM sebesar 5 persen, meningkat jadi

10 persen, dan sampai 2018 menjadi 20

persen.

Meskipun demikian, Daniel

menyebutkan sejumlah tantangan yang

dihadapi bank, termasuk Bank NTT,

dalam menyalurkan kredit untuk UMKM.

Pertama, tak ada catatan administrasi

yang baik. Kedua, usaha terlalu kecil

sehingga kreditnya kecil-kecil.

Tantangan lain, Daniel melanjutkan,

adalah catatan administrasi yang kurang

baik dan dana kredit yang diakses

Saat ini total kredit

yang disalurkan Bank

NTT mencapai Rp 50

triliun. Jadi sekitar Rp

1 triliun yang harus

disalurkan ke UMKM.

That was the key message from

activities at the 2015 VECO

Indonesia Annual Partner Meet-

ing (APM) in Bali, held on 26-29 July.

These activities included two discus-

sions and field visits. During the four

days of the 2015 APM, the participants

learned about the different routes to access

capital for farming businesses.

The theme of the 2015 APM was

Towards Professional, Bankable, and

Business-Minded Farmer Organisations.

This theme is relevant to the 2014-

2016 VECO Indonesia programme stra-

tegy, which focuses on building far-

mers' business capacity. Access to ca-

pital is a key aspect of creating pro-

fessional farmer businesses.

Many Routes to Farming Business CapitalIf one door closes, open another. Because there are plenty of doors to access capital for funding

farming businesses. The business capital is available from banks, government, and even from

farmers themselves.

Page 6: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

6 LONTAR #11 - 2015

Reportase

terlalu sediki. Padahal biaya pengurusan

di bank sama antara permohonan dana

kecil dan besar.

“Kredit Rp 100 milyar dan 100 juta

itu sama ongkosnya. Apalagi ke petani di

desa-desa di NTT yang geografisnya

sulit,” paparnya.

Tantangan lain adalah tidak adanya

perencanaan matang dalam pengelolaan

keuangan, kurangnya perizinan dan ke-

pemilikan tempat usaha, serta terba-

tasnya agunan dari kelompok petani.

Terakhir, dia menyebutkan premi asu-

ransi yang cukup besar untuk

lingkungan pertanian karena tingginya

risiko kegagalan di bidang usaha

pertanian.

Karena itulah, Bank NTT akan mem-

bantu memecahkan sejumlah masalah

itu. “Saya akan undang Pak Peter (Peter

Sprang, perwakilan regional VECO Indo-

nesia yang baru) presentasi ke BPD-BPD

tempat operasional VECO Indonesia,”

lanjut Daniel. Tujuannya untuk mencari

strategi memudahkan akses kredit ini.

Untuk kendala agunan, menurutnya,

pemerintah sudah membuat Jaminan

Kredit Daerah (Jamkrida) dan Asuransi

Kredit Indonesia (Askrindo), lembaga

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang

bertugas mengatasi keterbatasan

agunan. Salah satu tugasnya membantu

penjaminan usaha pertanian terpadu

termasuk hortikultura, perkebunan,

kerajinan rumah tangga, dan perda-

gangan.

“Skemanya berbeda tiap aktivitas.

Semoga VECO Indonesia dan Asbanda

(Asosiasi Bank Daerah) ada kerja sama

agar semua mitra mendapat fasilitas

kredit Bank NTT,” tambah Daniel.

Ia mengatakan baru bertemu VECO

Indonesia sebagai mitra kerja yang tepat

untuk menjembatani hambatan penya-

luran kredit. Selama ini, penyaluran

kredit lebih banyak melalui lembaga

keagamaan seperti gereja dan keuskupan

maupun secara langsung ke petani. “Nah

penyaluran langsung ini yang mahal,”

katanya.

Bank NTT sendiri sudah menyalurkan

kredit sebesar Rp 1,32 miliar untuk

petani mitra VECO Indonesia di Flores.

Dana tersebut diberikan kepada tiga

organisasi petani yaitu Koperasi Produksi

Agroniaga di Ende sebesar Rp 500 juta,

Koperasi Papa Taki di Bajawa sebesar Rp

Apart from field visits to farmer coo-

peratives, the partners also learned a-

bout entrepreneurship directly from pri-

vate companies in Bali that have suc-

cessfully developed farm business diver-

sification.

There were speakers in this discus-

sion on access to credit for farmers: Bank

NTT Managing Director Daniel Tagu Dedo,

Business Director of Lembaga Pengelola

Dana Bergulir (LPDB) at the Ministry of

Cooperatives and Micro, Small and Medi-

um Enterprises Warso Widanarto, and

founder of Bank Petani Masril Koto. They

presented their views and experience of

the many routes to accessing capital

loans for farmer businesses.

Bank Credit

Daniel assured VECO Indonesia part-

ners that Bank NTT would promote credit

funds for farming businesses and micro,

small and medium enterprises. He ex-

plained that the Bank NTT target was to

disburse 5 percent of micro, small and

medium enterprise loans, rising to 10

percent, and to 20 percent by 2018.

However, Daniel explained that there

were a number of challenges for banks,

including Bank NTT, in providing credit

to micro, small and medium enterprises.

First is the lack of proper administrative

records. Second, because of the small

scale of their businesses, the loans that

can be offered are small too. Another

challenge, Daniel continued, is the loans

applied for are very small, while the

bank handling fees are the same,

regardless of the amount of the loan.

“Getting out the farmers in villages

in NTT is thwarted with geographical

challenges," he said.

Other challenges include poor finan-

cial management planning, not having

the correct business operation and busi-

ness premises permits, and the limited

collateral of farmer groups. Finally, he

mentioned the high insurance premiums

for farming businesses because of the

high risk of crop failure.

For these reasons, Bank NTT will help

solve some of these problems. "I will

invite Peter (Peter Sprang, the new VECO

Indonesia Regional Representative) to

make presentations at BPD (regional

development banks) in areas where VECO

Indonesia operates," Daniel continued.

To address the collateral problem, the

government has created credit insurance

state enterprises Jaminan Kredit Daerah

(Jamkrida) and Asuransi Kredit Indone-

sia (Askrindo). One of their tasks is to

help with collateral for integrated far-

ming businesses, including horticulture,

plantations, home-based craft busi-

nesses, and trade.

Page 7: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

7LONTAR #11 - 2015

Reportase

320 juta, dan Koperasi Serba Usaha

Asnikom di Borong sebesar Rp 500 juta.

“Saat ini kami melanjutkan survei

untuk koperasi petani lain di Flores

termasuk di Mbay dan Larantuka,” kata

Daniel.

Melalui kredit untuk petani itu,

Daniel berharap petani di Flores nanti

bisa lebih maju. “Saya bermimpi, petani

bisa punya Café Flores. Kafé ini harus

ada di Labuan Bajo, Bali, dan Jakarta,”

dia bercerita tentang mimpinya

membangun wirausaha dagang

memanfaatkan hasil tani NTT.

Kredit Pemerintah

Selain bank daerah, ada lembaga

penyalur kredit bentukan pemerintah

pusat yaitu Lembaga Pengelola Dana

Bergulir (LPDB) Kementerian Koperasi

dan UMKM. Warso Widanarto Direktur

Bisnis LPDB selain menjelaskan peluang

juga menjawab keluhan penolakan

permintaan kredit oleh beberapa mitra

VECO Indonesia.

Warso menegaskan LPDB menyalur-

kan pembiayaan, bukan bantuan sosial.

“Banyak yang menganggap uang dari

pemerintah bantuan sosial sehingga

merasa tak punya kewajiban mengem-

balikan,” kata pria ini.

Menurut Warso, hingga Juli 2015,

LPDB sudah menyalurkan kredit Rp 5,8

triliun. Aktivitasnya mirip perbankan,

tapi kelebihan suku bunga disubsidi

pemerintah. Misal suku bunga untuk

sektor riil hanya 6 persen menurun

dalam jangka waktu 5-10 tahun. Dana

pembiayaan ini ada syaratnya, bisa dicek

di danabergulir.com. Syaratnya untuk

koperasi harus berbadan hukum, ada

laporan rapat anggota dua tahun

terakhir, dan layak bisnis.

LPDB juga mensyaratkan administrasi

yang baik, sesuatu yang masih menjadi

tantangan seperti juga disebutkan oleh

Daniel. “Kelemahan pemohon tak punya

catatan transaksi yang dilakukan karena

koperasi tak dikelola profesional,”

ujarnya.

Warso menyarankan agar pengurus

koperasi bertanya ke Dinas Koperasi dan

UMKM setempat agar ada koordinasi.

Setelah itu, koperasi tani bisa membuat

proposal dan disampaikan ke LPDB. “Tak

seperti perbankan, di sini ada

monitoring dan evaluasi apakah dana ini

berkontribusi pada usaha dan

penyerapan tenaga kerja atau tidak,”

kata Warso.

Saran dari Warso kemudian disanggah

salah satu petani mitra VECO Indonesia

dalam sesi diskusi. Abdul Rauf, pengurus

Koperasi Tani Amanah Polewali Mandar,

Sulawesi Barat mengatakan sudah tiga

kali mengajukan permohonan dana

bergulir ke LPDB tapi gagal. “Sudah lama

Amanah mengajukan. Sudah tiga kali ke

Jangan menyerah, ada

koperasi dan UKM

datang lima kali. Baru

yang kelima disetujui.

"These schemes are different depen-

ding on the activity. We hope that VECO

Indonesia and the association of regional

banks Asbanda can work together so

that all partners can access credit from

Bank NTT," added Daniel.

He said that he had found in VECO

Indonesia the perfect partner to bridge

the credit gap. Up to now, most loans

had been disbursed through religious

organisations like the church and dio-

cese, or directly to farmers. "But these

direct loans are expensive," he said.

Bank NTT has paid out IDR 1.32

billion in loans to farmers who are VECO

Indonesia partners in Flores. These funds

have been given to three farmer organi-

sations: Agroniaga production coopera-

tive in Ende (IDR 500 million), Papa Taki

cooperative in Bajawa (IDR 320 million),

and Asnikom multi-business cooperative

in Borong (IDR 500 million).

Page 8: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

8 LONTAR #11 - 2015

Reportase

LPDB, belum pernah realisasi. Setelah

dicek ada isu yang menentukan warna

politiknya?” ia bertanya.

Warso menjawab pertanyaan tersebut.

Menurutnya, permohonan tak bisa atas

nama gabungan kelompok tani, harus

koperasi atau UKM. Yang penting ada

legalitas izin usaha. Begitu pula soal

penolakan karena perbedaan warna

politik. “Kita ini pelangi, semua kita

terima. Warna politik isu saja. Semua

dilayani tanpa kepentingan politis,”

ujarnya.

Ia juga mengingatkan jangan sampai

ada calo dalam proses pengajuan kredit.

Sebab tak ada biaya dibayar di muka

dalam proses itu. “Banyak percaloan. Tak

ada batas waktu karena pembiayaan

multiyears, masukkan kapan pun.

Jangan menyerah, ada koperasi dan UKM

datang lima kali. Baru yang kelima

disetujui. Dapatnya Rp 350 juta,” papar

Warso.

Jika toh gagal, dia menyarankan agar

koperasi petani tetap mencoba. Mereka

yang gagal, menurutnya, bisa mendapat

pelajaran tentang proses buat transaksi

dan laporan keuangan yang bisa dibaca

auditor. “Gagal bukan kiamat. LPDB

bukan segalanya, ada banyak lembaga

lain,”sahutnya.

Bank Petani

Salah satu solusi mencari modal

kredit jika tak bisa mendapatkan dari

bank dan pemerintah adalah modal

sendiri. Ada alternatif memanfaatkan

akses kredit yang dibuat asosiasi petani

sendiri atau komunitas. Misalnya yang

pernah dibuat Masril Koto dan teman-

temannya di Sumatera Barat

(Sumbar).

Masril yang mengaku tak tamat SD

ini bersama rekannya pernah membuat

Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis

(LKMA) di Sumbar. Tujuannya

mengatasi kesulitan permodalan

petani dari Agam, Sumbar. Dengan

penuh semangat ia mendorong

kelompok tani merintis lembaga kredit

sendiri dengan produk dan sistem

sesuai kebutuhan.

“Kredit Usaha Rakyat (KUR),

ngomongnya orang bank gampang kita

aksesnya. Tapi, coba kita akses. Seribu

satu alasan mereka menolak,” ujar

Masril disambut tepuk tangan peserta

yang sebagian besar adalah petani.

Karena itulah, Masril menyarankan

agar petani membuat lembaga

keuangan sendiri seperti LKMA.

Menurutnya LKMA itu seperti Bank

Petani. Ia lebih memilih istilah Bank

Petani karena menurutnya lembaga

pertama tak sukses akibat sejumlah

masalah internal.

Secara teknis, kegiatan LKMA

berupa simpan pinjam namun dengan

membuat istilah menarik. Misalnya

untuk gerakan menabung, skemanya

sesuai kebutuhan setempat. Dia

memberikan contoh tabungan ibu

hamil, tabungan pendidikan, sampai

tabungan Niat Naik Haji.

“Jadi, bentuk tabungan harus

disesuaikan kearifan lokal setempat,”

sarannya. [Luh De Suriyani]

"We are currently doing surveys for

other farmer cooperatives in Flores, in-

cluding in Mbay and Larantuka," said

Daniel.

Daniel hopes that with this credit,

farmers in Flores will be able to progress.

"My dream is that farmers will have of

Café Flores in Labuan Bajo, Bali and

Jakarta," he said, talking about his

dream of building a trading business

using the products of NTT farmers.

Government Credit

In addition to regional banks, there

is a credit organisation set up by natio-

nal government under the Ministry of

Cooperatives and Micro, Small and Medi-

um Enterprises called Lembaga Pengelola

Dana Bergulir (LPDB). Warso Widanarto,

LPDB Business Director talked about the

opportunities of the scheme and also

answered some of the questions from

VECO farmers as to why their credit

applications had been rejected.

Warso explained that LPDB provides

finance, not social assistance. "People

tend to think of money from the go-

vernment as social aid, so they don't feel

that they are obliged to repay it," he

said.

According to Warso, as of July 2015,

LPDB had disbursed credit of IDR 5.8

trillion. It works like a bank, but the

interest rates are subsidised by govern-

ment. For example, interest for the real

sector is only 6 percent over 5-10 years.

The terms and conditions for this finance

are available at danabergulir.com. The

only conditions for a cooperative is that

it must be a legal entity, have the mi-

Page 9: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

9LONTAR #11 - 2015

Profil-profil Masril Koto yang

sudah dipublikasikan sejak 2010

penuh dengan prestasi dan

kisah hidup yang panjang. Hampir

semua profil seirama, memaparkan

kisah hidupnya yang berat sampai

putus sekolah di Sekolah Dasar,

merantau sebagai buruh pasar di

Jakarta, dan balik lagi ke kampung

sampai merintis Lembaga Keuangan

Mikro Agribisnis (LKMA) Prima Tani.

Ia dan teman-temannya merintis

LKMA Prima Tani di Sumbar pada

2006 hingga kemudian berkembang

menjadi hampir 300 unit. Ia juga

mengaku keluar pada 2009 karena

sejumlah persoalan. Kini, dia sendiri

memberikan motivasi tentang bank

petani ke berbagai tempat di

Indonesia. Termasuk dalam APM

VECO Indonesia 2015 Juli lalu.

Masril memang tipe motivator

andal. Tak heran ia mudah menarik

perhatian. Ia masih sibuk melayani

pesanan sebagai pembicara seminar

tani, bisnis, dan permintaan bantuan

untuk membentuk bank petani.

Saat hadir di APM 2015, ia

berpakaian trendi, dengan kaos Che

Guevara dibungkus blazer dan topi jenis

vedora. Dengan percaya diri dan santai

menyampaikan pengalaman penuh

dengan ide kontroversial dan kritikan

pada beberapa pihak atau tabiat

manusia. Sepanjang waktu bicara,

ruangan kerap bergemuruh tawa dan

tepuk tangan kecil.

Ide apa yang layak didiskusikan dari

Masril Koto, khususnya bagi

Masril Koto,

Penggerak Bank Petani

pengembangan

bisnis pertanian?

“Bukan modal

yang menentukan

sukses tapi tekat,

kreativitas, dan keuletan,”

katanya. Dia memilih Bank

Petani karena tak percaya

koperasi. “Memanfaatkan emosi

orang saja. Ubah nama jadi Bank

Petani,” jelas Masril.

Masril memulai pendirian bank

petani pada 2006. Saham Rp 100

ribu dia jual ke 200 petani di Agam.

Terkumpulah modal Rp 15 juta. Dari

situ, bank petani kemudian

beroperasi dan kini berkembang

hingga 900 bank di seluruh

Indonesia. Aset tiap bank petani

antara Rp 400 juta hingga Rp 4

miliar.

Gerakan menabung diwujudkan

melalui dengan sejumlah ide

tabungan sesuai kebutuhan

setempat. Misalnya tabungan ibu

hamil, pendidikan, tabungan Niat

Naik Haji, sampai kepemilikan iPad

untuk anak petani.

“Jika ada iPad, anak-anak

sekolah tak perlu bawa buku 15 kg

padahal berat badannya juga 15 kg.

Makanya IQ rendah,” ujar Masril

disambut tepuk tangan pendegarnya.

[Luh De Suriyani]

nutes of the meetings of members for

the past two years, and be a viable

business.

LPDB also requires good administra-

tion; something that is still a challenge,

as Daniel explained: "One of the downfalls

of the applications is that they are not

accompanied by proper records of tran-

sactions, and that is because the coo-

perative is not managed professionally."

Warso recommended that cooperative

managers ask the local cooperatives and

micro, small and medium enterprises to

coordinate. After that, the farmer coo-

perative can develop a proposal and

submit it to LPDB. "Unlike banks, here

we monitor and evaluate whether these

funds contribute to the business and

whether they absorb labour," said Warso.

During the discussion session, a

farmer who is a VECO Indonesia partner

refuted Warso's recommendation. Abdul

Rauf, manager of Amanah farmer coope-

rative in Polewali Mandar, West Sulawesi,

said that they had submitted applica-

tions for revolving funds three times to

LPDB, but all had been rejected.

"Amanah has submitted applications

to KPDB three times, but none of them

has been accepted. After doing some

investigation, it turned out the issue

was one of politics perhaps?" he asked.

Warso answered that applications

cannot be made in the name of a farmer

group association; they must be in the

name of a cooperative or a micro or

small enterprise. It was the legality of

their business operations that was key.

He added that political differences were

not the issue. "We are a rainbow; we

accept and serve everyone, regardless of

their political colours," he explained.

“Don't give up; some cooperatives

and micro and small enterprises have

made as many as five applications before

they were approved. They got IDR 350

million," said Warso.

He advised that even if their appli-

cation is rejected, farmer cooperatives

should keep on trying. Their practice can

teach them how to make financial

Reportase

Page 10: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

10 LONTAR #11 - 2015

Profiles of Masril Koto tell the story

of his hard life, his dropping out

of primary school, time as a

market labourer, return to his village,

and setting up the micro agribusiness

financial institution LKMA Prima Tani.

Masril and his friends launched

LKMA Prima Tani West Sumatera in

2006, and has since grown to almost

300 units. Masril left in 2009 for a

number of reasons. Now, he promotes

farmer banks across Indonesia,

including at the 2015 VECO Indonesia

APM in July.

Masril is a gifted motivator. It's

not surprising that he attracts

attention. He spends his time

speaking at farming and business

seminars, and helping to set up

farmer banks.

He arrived at the 2015 APM dressed

in a trendy Che Guevara t-shirt, blazer

and fedora. Self-confident and relaxed,

he talked about his experiences, his

controversial ideas, and criticism of

various human traits. While he was

talking, the room bubbled with laughter

and applause.

So what ideas did Masril Koto have

for developing farming businesses?

"Money doesn't determine success;

determination, creativity and hard work

do," he said. He chose the name Farmer

Bank because he doesn't trust

cooperatives. "They just play on people's

emotions. So I changed the name to

Farmer Bank. We printed shares; IDR

100,000 for each share," he said.

Masril started establishing the farmer

bank in 2006. It sold the IDR 100,000

shares to 200 farmers in Agam,

raising capital of IDR 15 million.

From there, the farmer bank started

operating and now there are 900

banks across Indonesia. Each bank

has assets of between IDR 400

million and IDR 4 billion.

Then came the idea of making

savings schemes to fit local needs.

For example, savings schemes for

pregnant women, for education, for

the hajj, and savings scheme for

children's farmers who want to buy

iPads.

"If they have iPads, they don't

need to carry 15 kg of books to

school, when they only weigh 15 kg

themselves. No wonder they've got

low IQs," said Masril to a round of

applause. [Luh De Suriyani]

Masril Koto, Architect of Farmer Banks

records and reports that an auditor can

read. "Failing is not the end of the

world. LPDB is not the be all and end all;

there are lots of other institutes," he

said.

Farmer Banks

One solution for farmer organisations

who are unable to access capital from

banks or the government is to use their

own capital. One option is accessing

credit from the farmer organisation or

from the local community. One example

is the scheme developed by Masril Koto

and his friends in West Sumatera.

Masril, who did not complete primary

school, and his friends set up Lembaga

Keuangan Mikro Agribisnsis (LKMA) in

West Sumatera. Its aim is to help farmers

from Agam, West Sumatera to access

capital. His farmer groups set up their

own credit institute, with the products

and systems they needed.

"The banks say that small business

credit (Kredit Usaha Rakyat or KUR) is

easy to access. But we tried, and they

had a thousand and one reasons for

rejecting us," said Masril to a round of

applause from the participants, most of

whom are farmers.

So, Masril recommends that farmers

set up their own financial institutions

like LKMA. He says LKMA is a sort of

Farmer Bank. He prefers to call it the

Farmer Bank because he says that at first

the institution was not a success due to

internal problems.

Technically, LKMA offers saving and

loan services, but with unique names.

For example, the names of the saving

schemes depend on local needs. Exam-

ples include the pregnant women savings

scheme, education savings scheme, and

hajj savings scheme.

“So, the savings scheme must be

designed to fit local knowledge," he said.

[Luh De Suriyani]

Reportase

Page 11: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

11LONTAR #11 - 2015

Bagi Bagus Sudibya dan Gede Ngurah

Wididana, kunci keberlanjutan

wirausahanya adalah kelestarian

sumber daya alam sekitarnya. Keduanya

menjadikan alam dan hasil budi daya

sebagai sajian utama dengan lini produk

yang berbeda. Sudibya mengemas kebun

dan hasilnya menjadi atraksi wisata.

Sementara Wididana alias Pak Oles

mengolah hasil kebunnya menjadi pupuk

organik dan obat herbal.

Dua pria ini bukan pengusaha muda.

Tapi usahanya sudah dirintis ketika

muda. Keduanya juga sudah malang

melintang menduduki jabatan publik di

Bali setelah sukses dan terkenal menjadi

pengusaha. Mereka bercerita di Perte-

muan Tahunan Mitra VECO Indonesia

2015 dengan topik kewirausahaan.

Pak Oles menimba ilmu di Jepang

untuk belajar khusus mikroorganisme.

Balik ke Bali, ia mulai mempraktikkan

bagaimana menghasilkan produk dari

tanaman dan obat. “Di tengah kemajuan

farmasi, kita perlu inovasi,” katanya.

Kampusnya di Okinawa Jepang mengga-

bungkan pusataka kuno dan jamu untuk

mengembangkan produk tanaman obat

alternatif dan komplementer.

Pak Oles memutuskan meramu obat

tradisional berbasis organik. Produk

unggulannya adalah minyak oles Bokashi

yang terkenal sampai mancanegara.

Minyak oles dibuat dari ekstrak tanaman

obat dan fermentasi mikroorganisme. Ia

mengklaim usahanya, PT. Karya Pak Oles

Tokcer, sebagai salah satu pembayar

pajak terbesar di Bali.

Perusahaan ini sudah lebih dari 18

tahun berdiri, mempekerjakan lebih dari

1.000 orang di Bali dan luar Bali. Lini

produknya lainnya adalah jamu dan

pupuk organik.

Inspirasi minyak Bokashi atau lebih

dikenal dengan minyak oles ini adalah

ibunya, Dadong Bandung. Perempuan ini

dengan kearifan tradisinya membuat

minyak atau disebut Lengis Arak Nyuh.

“Minyak ini sangat berkhasiat untuk

banyak penyakit dan terkenal di Desa

Bengkel, kampungnya,” cerita Pak Oles.

Tak berhenti di produksi obat, ia juga

menggarap pondasi bisnis lain yakni

media massa, lembaga pendidikan dan

usaha kuliner melalui restoran. Fungsi

ketiganya jelas. Media massa menjadi

corong pemasaran, komunikasi publik,

dan hiburan. Lembaga pendidikan untuk

medium penyebaran gagasan dan pene-

litian serta pengembangan. Sementara

restoran adalah etalase produk dan ber-

jejaring.

Tak hanya untuk usaha, ketika ma-

suk dunia politik pun ketiga hal tersebut

menjadi medium yang efektif dan efisien

untuk Pak Oles.

“Ide yang baru muncul harus direali-

sasikan. Saya bukan orang bisnis, saya

peneliti. Mencoba, memulai, dan

menyempurnakan. Saya bukan koki tapi

suka makan. Saya cari koki, kalau

kurang enak bilang. Menyempurnakan

lebih detail, efisien, halus, berhasil,”

paparnya dengan sederhana.

Menurutnya bisnis pertanian yang

kuatlah membuat lahan pertanian

lestari. “Dulu, pertanian organik dibilang

tak efisien, ternyata efisien,” katanya

soal bagaimana banyaknya tantangan

bisnis pertanian ini.

Tanpa produk unggulan, menurutnya,

apa yang dikembangkan dari usaha per-

tanian akan sulit maju. Bagaimana pun

produk yang dibuat harus mendapat

kepercayaan warga. Selain itu menurut-

nya merek atau brand juga sangat pen-

ting karena itu bentuk juga

kepercayaan.

Di tengah kemajuan Indonesia Pak

Oles punya renungan. “Banyak yang

perlu kerja, tapi banyak yang nganggur.

Banyak yang perlu pekerja tapi susah

nyari pegawai,” herannya. Karena itu, ia

yakin tiap orang harus terus diberi

kesempatan untuk belajar dan berlatih

meningkatkan diri.

Agrowisata

Cerita sama tentang diversifikasi

Beragam PilihanInovasi BisnisPertanian

Manusia memanfaatkan alam sementara bumi tak lelah memelihara manusia. Bagaimana cara

perpanjang usia bumi yang telah menimang miliaran manusia? Melestarikannya.

Page 12: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

12 LONTAR #11 - 2015

pertanian juga datang dari Bagus Sudi-

bya, tokoh pariwisata di Bali. Sudibya

adalah pendiri dan pemilik Bagus

Discovery, kelompok usaha wisata di

Bali yang fokus pada pariwisata berbasis

pertanian atau agrowisata. Sekadar

menyebut contoh usahanya antara lain

Puri Bagus di Lovina, Buleleng dan

Karangasem serta agrowisata di Plaga,

Badung.

Untuk mencapai keberhasilannya

saat ini, Sudibya meyakini modal

penting adalah kredibibilitas. “Sangat

sulit jadi orang miskin. Tak banyak

yang percaya. Dengan modal nol tak

banyak saya korbankan kecuali harga

diri. Tanpa moralitas yang baik jangan

jadi pengusaha. Saya mulai dari kecil,”

kata mantan Ketua Asosiasi Travel

Agent Indonesia (Asita) Bali ini.

Ia tipe pembelajar. Sejak muda sam-

pai tua belajar di banyak negara seperti

Jerman, Australia, dan Austria. Di Jer-

man dan Inggris belajar bahasa. Di

Austria belajar manajemen

kepariwisataan.

Setelah belajar di Eropa, dia justru

melihat betapa indahnya jika pariwisata

dikombinasikan dengan pertanian, ter-

masuk di Bali di mana kepemilikan la-

han sangat sempit. “Belanda tak

tertarik menjajah Bali karena Bali pulau

sangat kecil, lebih bagus dibiarkan

sebagai pulau eksotis dan keunikan

budayanya,” kata Sudibya. Ia juga

meyakini daya tarik wisata itu basisnya

pertanian. Karena itu jika pertanian

berkembang di mana saja, pasti mudah

jadi daya tarik wisata.

Ia memperlihatkan bagaimana usaha

perkebunannya Bagus Agrotourism di

Plaga, Kabupaten Badung menjadi salah

satu daya tarik wisata. Petak kebun

sayur dengan latar belakang bebukitan.

Lalu turis-turis menikmati berinteraksi

dengan petani, ikut memanen, dan

kemudian staf hotel memasaknya.

“Ini seperti sekelumit imajinasi di

tahun 1975-1980an saat saya di Eropa.

Saya membayangkan lihat kebun

anggur di Jerman. Indah jika bisa me-

ngawinkan budaya, pariwisata dengan

pertanian,” kenangnya.

Ia mengatakan jika luasan lahan

di atas 50 hektar baru bisa industrial.

Kalau kurang dari 1 hektar harus beri

nilai tambah pada pertanian. “From

the garden to dining table, para tamu

diajak cooking lesson sambil

menikmati matahari terbit. Di tempat

kami matahari keluarnya dari Gunung

Agung dan Abang, suhu 17-23

derajat, tak ada AC,” jelasnya.

Melalui pariwisata berbasis perta-

nian, Sudibya memperluas usahanya.

Tak hanya di Bali tapi juga hingga

Lembah Baliem di Papua. Dia

menunjukkan, bahwa usaha pertanian

bisa dipadukan dengan beragam usaha

lainnya termasuk pariwisata. [Luh De

Suriyani]

Reportase

Page 13: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

Reportase

For Bagus Sudibya and Gede Ngurah

Wididana, the key to the continuity

of their businesses is protecting the

natural resources around them. Both use

nature and natural resources to produce

different product lines. Sudibya turns gar-

dens and their produce into tourist attrac-

tions. Wididana, better known as Pak Oles,

turns the produce from his gardens into

organic fertiliser and herbal teas.

These two men are not young entre-

preneurs. But they set up their busines-

ses when they were young. Both have

held public positions in Bali since a-

chieving success and fame as entrepre-

neurs. They shared their stories at the

2015 VECO Indonesia Annual Partner

Meeting at a session on entrepreneur-

ship.

Pak Oles learned his knowledge of

micro-organisms in Japan. Returning to

Bali, he started experimenting with the

production of plant-derived products and

remedies. "As advances are made in

pharmacy, we need to be innovative," he

said. His university in Okinawa, Japan

combined traditional knowledge and

knowledge of microorganism to develop

alternative and complementary herbal

teas.

Pak Oles decided to create organic

traditional remedies. His flagship pro-

duct is Bokashi rubbing oil, which is fa-

mous even overseas. The rubbing oil is

made from plant extracts and fermented

micro-organisms.

Now more than 18 years old, the

company employs more than 1,000 peo-

ple in Bali and beyond. Other product

lines include herbal teas and organic

fertiliser.

The inspiration for Bokashi or rubb-

ing oil, came from his mother. Using her

traditional knowledge, she makes an

traditional oil called lengis arak nyuh.

"This oil is very useful for treating all

sorts of disease, and is well-known in

Bengkel, where she lives," said Pak Oles.

While continuing to produce

remedies, he built the foundations of

other businesses in media, educational

institutions, and the restaurant industry.

The functions of all three are clear. The

media business is the vehicle for mar-

keting, public communication and en-

tertainment. The educational institute is

the medium for spreading ideas, and for

research and development. And the

restaurant is for showcasing products

and networking.

He says that the strong farming

businesses are those that practice land

conservation. "Organic farming used to

be called inefficient; but it turns out,

that's not so," he said, talking about the

many challenges facing conventional

farming businesses.

Without a flagship product, it would

be difficult for a farming business to

progress, according to Pak Oles. Whate-

ver products the business produces,

people must believe in them. He also

said that branding is crucial because it

boosts the product's credibility.

Agrotourism

A similar story of agricultural diver-

sification came from Bagus Sudibya, a

well-known figure in the tourist industry

in Bali. Sudibya is founder and owner of

Bagus Discovery, a tourism business

group in Bali that focuses on agro-

tourism. His businesses include Puri Ba-

gus in Lovina, Buleleng and Karangasem,

and agrotourism in Plaga, Badung.

For Sudibya, the key to his success

has been credibility. "It was very difficult

being poor. No one believes in you. When

you have no financial capital, the only

thing you have to lose is your self-

respect. Don't become an entrepreneur if

you have no morals. I started small," said

the former chair of the Bali branch of the

Association of Indonesian Travel Agents.

He loves learning. He studied all over

the world, in countries including Ger-

many, Australia and Austria. He studied

languages in Germany and the United

Kingdom. In Austria, he studied tourism

management.

His studies in Europe showed him

just how great it is to combine tourism

and agriculture, especially in Bali, where

there is very little farmland. He also be-

lieves there is sufficient interest in

agrotourism for wherever agriculture

develops, so can tourism.

He explained how Bagus Agrotourism,

in Plaga, Badung district, became a

tourist attraction. His vegetable gardens

there are set against a backdrop of hills

and valleys. Tourists enjoy interacting

with the farmers, helping to plant vege-

tables, which the hotel staff then cook

for them.

"It takes me back to the mid 1970s

and 1980s, when I was in Europe. I re-

member seeing a vineyard in Germany,

and thinking how beautiful it would be

to combine culture, tourism and agri-

culture," he recalled.

He said that for industrial produc-

tion, you need at least 50 hectares of

land. If you have less than one hectare,

you need to diversify. "From the garden

to the dining table, guests are given

cooking lessons and enjoy the warm

sunshine,” he said.

Through agrotourism, Sudibya has

expanded his business beyond Bali, to

Baliem Valley in Papua. He said that

farming businesses can be integrated

with a variety of other businesses,

including tourism. [Luh De Suriyani]

Farming Business Innovations

Humans make use of nature, and the earth provides fee of charge.

How can we help to reward our earth, which is inhabited by billions

of people? By protecting it!

Page 14: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

14 LONTAR #11 - 2015

Kunjungan

BALI

Pada hari kedua Pertemuan Tahunan Mitra VECO Indonesia

2015, seluruh peserta mengunjungi empat koperasi petani

di Bali. Selain untuk melihat bisnis koperasi di masing-

masing lokasi, peserta juga diharapkan bisa membagi

pengalaman di organisasi masing-masing ke petani yang

dikunjungi.

Peserta dibagi dalam empat kelompok pula sesuai dengan

rantai komoditas masing-masing. Petani kopi berkunjung

ke koperasi petani kopi, petani kakao ke koperasi kakao,

dan seterusnya. Hanya petani kulit manis Kerinci yang

agak berbeda. Mereka berkunjung ke petani sayur di

Plaga, Badung. Sebab, petani Kerinci juga melakukan budi

daya sayur di antara komoditas kayu manisnya.

Berikut profil dari masing-masing lokasi kunjungan

tersebut.

KOPERASI SUBAK GUAMA

Komoditas: Beras

Badan hukum dan nama: Koperasi Usaha AgribisnisTerpadu Subak Guama

Alamat: Desa Bataniu, Kecamatan Marga, KabupatenTabanan

Jumlah anggota: 544 orang dengan luas lahan 186 hektar

Tahun berdiri: 2002. Mulai bisnis pada 2003

Bisnis utama:Integrasi ternak dengan usaha sawah, penjualan saranaproduksi (saprodi), kredit usaha mandiri untuk perempuan,simpan pinjam dengan plafon sampai Rp 100 juta denganbunga 2 persen per bulan menurun, dan penyewaan alatproduksi dan penggilingan padi.

Peran koperasi:Koperasi memberikan kredit untuk membeli sapi denganbunga 1 persen bagi anggotanya. Dari 196 ekor sapi yangdisalurkan pada periode penyaluran kredit pertama (2002),sekarang sudah berkembang menjadi 500 ekor sapi (2015).Selain itu, koperasi juga berbisnis benih padi dan pupukorganik. Dalam satu tahun Subak Guama memasarkan 300ton benih yang dijual di Bali dan Nusa Tenggara Timur.

KOPERASI KERTA SEMAYA SAMANIYA

Komoditas: Kakao

Badan hukum dan nama: Koperasi Kerta Semaya Samaniya

Alamat: Jl. Raya Jembrana, Kecamatan Mendoyo,Kabupaten Jembrana

Jumlah anggota: 788 petani dengan luas lahan 568,84hektar

Tahun berdiri: 2005. Memulai bisnis pada 2012

Bisnis utama:Penjualan biji kakao fermentasi dengan mitra bisnis PT.Papandayan Cocoa Industries (Barry Calebaut). Rencanabisnis disusun bersama perwakilan UPH dengan koperasi dandidampingi Yayasan Kalimajari untuk periode tertentu.Revisi recana bisnis dilakukan secara dinamis khususnyasesuai perkembangan bisnis.

Pengelolaan koperasi:Unit pengolahan hasil (UPH) diupayakan dan dikelola secaramandiri baik oleh satu subak abian maupun gabungansubak abian. Pendanaan modal pembelian di tingkat UPHdiperoleh dari melalui dukungan Pemprov Bali dan BankBali dengan bunga 2 persen per tahun. Modal tertinggi yangpernah diakses UPH sebesar Rp 100 juta.

Bertukar Pengalamantentang Bisnis Pertanian

Mendoyo

Marga

KAB. BULELENG

KAB. JEMBERANA

KAB. TABANAN

Page 15: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

15LONTAR #11 - 2015

BALI

KOPERASI MIPG KINTAMANI

Komoditas: Kopi

Badan hukum dan nama: Koperasi MPIG Kintamani

Alamat: Desa Catur, Kecamatan Kintamani, KabupatenBangli

Jumlah anggota: 3.600 (MPIG) dan 101 (koperasi)

Tahun berdiri: 2005 dan memulai bisnis pada 2012

Bisnis utama:Bisnis utama Koperasi Masyarakat Perlindungan IndikasiGeografis (MIPG) Kintamani adalah penjualan kopi HSkering. Volume penjualan pada 2014 sebanyak 100 ton.Beberapa mitra bisnis Koperasi MIPG Kintamani antara lainCV Taman Delta, PT TDI Semarang, PT Indokom Citra PersadaKupu-Kupu Bola Dunia, PT TAM Surabaya, dan 5 SinceAustralia.

Peran koperasi:Kawasan MPIG Kintamani meliputi tiga kabupaten yaituBangli, Badung, dan Buleleng dengan 64 subak abian dan 24UPH. Koperasi berperan ikut menjalankan bisnis pemasaran,membantu stabilitas harga, memberikan informasi pasar,serta meningkatkan pangsa pasar. Koperasi juga mengelolaAgrowisata Giri Alam yang berprinsip 4 E: ekologi, estetika,edukasi dan ekonomis yang berbasis kelompok.

KOPERASI MERTANADI

Komoditas adalan: Asparagus

Badan hukum dan nama: Koperasi Mertanadi

Alamat: Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung

Jumlah anggota: 88 orang dengan luas lahan sekitar 20hektar

Tahun berdiri: 2010. Mendapat legalitas pada 2012

Bisnis utama:Penjualan asparagus dengan berbagai grade (super, A, B danC) melalui koperasi. Pasar utama supermarket di Denpasarseperti Tiara Dewata dan Pepito maupun ke luar Balitermasuk Singapura.

Peran koperasi:Menyediakan bibit dan sarana produksi lainnya (pupuk) bagianggota, membeli produksi asparagus para petani,melakukan sortir dan kemasan terhadap asparagus,memasarkan asparagus, dan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan di antara seluruh anggota dan juga denganpemerintah. Pengelolaan koperasi dilakukan oleh penguruskoperasi dan masih disupervisi oleh Dinas Koperasi dan UKMKabupaten Badung.

Marga

Plaga

Catur

KAB. TABANAN

KAB.

GIANYARKAB.

BADUNG

DENPASAR

KAB.

KELUNGKUNG

Page 16: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

16 LONTAR #11 - 2015

Profil

Habis Rogier Eijkens,

Rogier (R): April 1988.

R: Waktu itu ke Jakarta terus ke

Kalimantan. Setelah dari Kalimantan saya

liburan ke Flores. Saya beruntung karena

waktu itu ada Perayaan Nasional tahun

Maria di Maumere. Jadi, saya bisa melihat

betapa beragamnya budaya Indonesia.

R: Waduh. Banyak banget. Saya suka

semuanya termasuk tempat liburan saya

terakhir di Maluku. Saya ini sudah merasa

sebagai orang Indonesia.

R: Saya melihat belum banyak organisasi

yang melakukan program seperti VECO

Indonesia untuk menjembatani petani kecil

dan pihak swasta. Selama ini kita sudah

mendukung organisasi untuk meningkatkan

kapasitas produksi maupun bisnisnya.

Karena itu saya optimis bahwa peran

VECO Indonesia ke depan akan lebih

penting untuk memfasilitasi petani dengan

pihak swasta termasuk pembeli dan

perbankan. Kita sudah memiliki modal

pengalaman dan jaringan untuk itu.

R: Orang-orang yang menyenangkan, negara

dan budayanya, keberagaman, makanan

yang lezat, dan masa depan yang cerah.

R: Kemacetan lalu lintas, korupsi,

ketidakefisienan, layanan yang kurang

efisien dari pemerintah, kemiskinan, dan

koneksi Internet yang buruk.

Terbitlah Peter Sprang

Kapan pertama kali datang

ke Indonesia?

Ke mana saja waktu itu?

Tempat liburan favorit di

Indonesia?

Harapan terhadap VECO In-

donesia?

Lima hal yang disukai dari

Indonesia?

Lima hal yang paling tidak

disukai tentang Indonesia?

Pertemuan Tahunan Mitra VECO Indonesia tahun ini menjadi pertemuan terakhir Rogier Eijkens sebagai Perwakilan

Regional VECO Indonesia dengan para mitra. Setelah bekerja delapan tahun di VECO Indonesia, warga Belanda tersebut

kini menjadi Direktur Program di kantor pusat VECO di Leuven, Belgia.

Peter Sprang menggantikan Rogier sejak Agustus 2015. Sebelumnya, warga Jerman ini pernah menjadi Manajer

Pertanian Berkelanjutan di Rainforest Alliance Asia Pasifik yang berkantor di Bali serta Konsultan Kehutanan di WWF

Jerman.

Rogier dan Peter memiliki setidaknya dua kesamaan. Mereka sama-sama lulusan Ilmu Kehutanan dan memiliki istri

dari Indonesia. Namun, tentu saja, mereka juga memiliki banyak perbedaan.

Keduanya menjawab pertanyaan yang sama dari kami.

Page 17: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

17LONTAR #11 - 2015

Profil

Peter (P): Oktober 2001.

P: Waktu itu saya mengunjungi Bogor,

Jakarta, dan Jawa Tengah untuk melihat

industri furnitur serta ke Kalimantan

untuk melihat hutan. Saat itu belum ada

kemacetan lalulintas. Juga belum ada

minyak sawit.

P: Tempat favorit saya di Sanur, Bali.

Namun, saya juga suka sekali bekerja di

Flores, Sulawesi, Kerinci, dan Jawa

Tengah. Semua tempatnya indah.

P: Harapan saya untuk VECO Indonesia,

semoga kami bisa melanjutkan agar

tetap inovatif untuk mengembangkan

ekonomi petani kecil sembari tetap

meningkatkan harmoni sosial dan

mengurangi kerusakan ekologis.

P: Keberagaman negerinya, keramahan

orangnya, kebebasan pers, dan toleransi,

dan memiliki banyak peluang.

P: Praktik pertanian yang buruk,

kemacetan lalu lintas, konversi hutan,

kurangnya akses di pedalaman terhadap

pendidikan dan layanan kesehatan, dan

banyaknya pengeluaran rumah tangga

untuk rokok.

Bagi staf dan mitra VECO Indonesia, Rogier Eijkens sosok menyenangkan. Dia bisa

menempatkan diri sebagai pimpinan maupun teman. Mungkin karena dia orang

Belanda yang menjunjung tinggi kesetaraan. Dia egaliter.

Selama delapan tahun memimpin VECO Indonesia, bapak dua anak ini membawa

banyak VECO Indonesia mengalami banyak perubahan. Selain lebih fokus pada

pengembangan bisnis pertanian, VECO Indonesia juga memperluas wilayah program

termasuk ke Jambi, Jawa Barat, dan Sulawesi Tengah.

Alumni Jurusan Kehutanan Universitas Wageningen Belanda ini juga terbiasa

dengan makanan Indonesia. Termasuk menu-menu pedas sekali pun. Buah favoritnya

adalah durian. Kadang-kadang dia bahkan ikut menikmati durian bersama staf VECO

Indonesia di kantor maupun para mitra di lapangan.

Memiliki istri dari Indonesia, Rogier Eijkens pun merasa sebagian dirinya adalah

orang Indonesia. “Makanya saya paling tidak suka jika dianggap masih bule. Padahal,

Bahasa Indonesia saya sudah lancar lho,” kata Rogier yang juga pernah bekerja untuk

program HIVOS di Amerika Selatan dan Karibia ini.

Pecinta Durian yang Egaliter

Page 18: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

18 LONTAR #11 - 2015

Agenda

Tiba di lokasi, para pebisnis, petani,

staf bank, pemerintah daerah, dan

lembaga swadaya masyarakat (LSM)

mitra VECO Indonesia ini langsung

dipersilakan masuk ke kompleks Institut

Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA).

Di sekitar 5 hektar lahan Desa Bengkel,

Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng

inilah kerajaan bisnis berbasis pertanian

dirintis Gede Ngurah Wididana alias Pak

Oles selama hampir 20 tahun.

Sebuah unit bisnis yang saling

berintegrasi. Ada tempat pelatihan,

pabrik, kebun tanaman obat, stasiun

radio, dan lainnya.

Pak Oles mendirikan IPSA pada 2007.

Dia bekerja sama dengan beberapa

lembaga seperti Indonesian Kyusei

Nature Farming Societies dan Effective

Microorganisms Research Organisation

(EMRO). Tujuannya menjadi tempat

pelatihan bagi yang ingin menerapkan

teknologi effective microorganism (EM).

IPSA ini didesain sebagai kompleks

terpadu. Ada aula belajar, tempat

menginap pelatih atau peserta, tempat

praktik, taman obat, dan lainnya. Lokasi

ini juga indah karena berada di keting-

gian yang dikelilingi lembah dan sedikit

sawah. Banyak balai terbuka tempat

rehat dan taman terbuka.

Aula untuk sekitar 100 orang

menjadi tempat berdiskusi. Ruangan ini

memajang empat foto ukuran besar

yakni poster guru Pak Oles dari Jepang

tempat menimba ilmu Mokichi Okada

(1882-1955), Prof Dr Teruo Higa (1941),

foto Pak Oles yang bernama lengkap

Gede Ngurah Wididana (1961), dan

ibunya Dadong Bandung (1880-1980).

Gusti Ketut Riksa, pemandu IPSA,

enerjik memberi presentasi. Mantan

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bangli

ini dengan saksama menjelaskan

manfaat hidup organik dan bagaimana

mikroorganisme bekerja menghasilkan

produk yang berguna untuk manusia.

“Banyak bakteri baik seperti dalam

proses kedelai jadi tempe, susu jadi

yoghurt, ikan jadi terasi. Ada vitamin,

antioksidan, enzim,” kata Riksa.

Ia mengaku sudah 20 tahun minum

EM4, produk olahan mikroorganisme Pak

Oles dan merasa lebih sehat. Riksa lalu

memperlihatkan minum satu tutup botol

EM4 botol kuning untuk tanaman.

“Mikroba kalau dipelihara akan buat

keuntungan karena diperlukan

IPSA,PengembanganBisnis Pertanian

Terintegrasi

Empat bus yang

menampung lebih dari

100 orang peserta APM

2015 berjuang di

jalanan desa yang

rusak sekitar 1 km

menuju lokasi ini.

Menanjak dan

berlubang. Perjalanan

dengan bus selama

hampir empat jam

dari Denpasar

berakhir di salah satu

bukit di Utara Bali.

Page 19: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

19LONTAR #11 - 2015

Wisata

kehidupan,” tambahnya bersemangat.

Teknologi campuran mikroorganisme

hidup ini disebut sangat berguna untuk

pertanian organik. Misalnya mengurangi

hama, menambah panen, composting,

sampai mengatasi limbah ternak. EM4

dikemas dalam beberapa botol dengan

warna dan khasiat berbeda. Ada untuk

peternakan, toilet, tanaman, pengolahan

limbah, dan lainnya. Ini yang mereka

sebut Bokashi atau bahan organik kaya

akan sumber hidup. Bokashi dalam

bahasa Jepang berarti fermentasi.

Beberapa petani mitra VECO

Indonesia memberi tanggapan jika

produknya ada yang dicampur pestisida

di pasaran. Juga ada yang menyatakan

tak berpengaruh signifikan bagi

kesuburan tanaman. Riksa

menyimpulkan ada kesalahan

penggunaan atau pencampuran.

“Semua mikroba lokal ini dibuat

empat pabrik kami. Harus tepat cara

mengaktifkan mikrobanya untuk hasil

efektif,” sahut Riksa. Mikroorganisme ini

terdiri dari berbagai jenis bakteri seperti

fotosintetik, asam laktat, ragi, dan

lainnya.

Kepala Pusdiklat IPSA Ketut Jadiasa

dan Riksa lalu mengajak seluruh peserta

praktik memperbanyak larutan EM4 dari

yang awalnya satu liter menjadi 20 liter

untuk menghemat biaya. Mereka hanya

mengajarkan memperbanyak larutan

sementara bahan pembentuk EM4

disebut rahasia perusahaan.

Peserta kunjungan belajar membuat

larutan EM4. Mereka cukup membeli 1

liter EM4 lalu dicampur 1 liter molase

atau bisa diganti rebusan larutan gula

merah. Campuran ini lalu dimasukkan ke

20 liter air, dikocok dan dibiarkan

seminggu untuk proses fermentasi.

Hasilnya bisa diaplikasikan dan efektif

khasiatnya untuk tiga bulan.

Jadiasa mengatakan tiap bulan

diproduksi 150 ton produksi EM4 dari

dua pabrik Jakarta dan Bali. Tiap botol

berisi 1 liter dijual Rp 25 ribu. Untuk

menghindari pemalsuan produk,

perusahaan menggunakan verifikasi

barcode atau kode produksi yang spesifik

di tiap botol.

Sejumlah petani mitra VECO terlihat

berdiskusi di sela-sela kunjungan belajar

ini. Sebagian sudah biasa membuat

pestisida alami atau pupuk cair seperti

mol. Mereka sepakat harus menggunakan

tanaman dan bahan lokal yang tersedia

karena ada banyak cara membuatnya.

[Luh De Suriyani]

Page 20: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

20 LONTAR #11 - 2015

Testimoni

Lukas Lawa, Ketua Koperasi Kelimutu, En-

de, Nusa Tenggara Timur.

Nurhaeni, Anggota Koperasi Petani

Benteng Alla, Enrekang, Sulawesi

Selatan.

Rini Estu S.Sos, Badan Pemberdayaan

Masyarakat Desa, Jawa Tengah

“Dalam pertemuan AP M ini kamibelajar lebih banyak tentang

koperasi karena kami memang barumulai. Semoga setelah dari sini

kami bisa lebih berkembang.”

“Saya belajar banyak selamakunjungan di AP M 2015 terutama

tentang pengeringan kopi danpenyiapan. Di sini ternyata bisa

mengeringkan kopi dengan para-para.Kami mungkin bisa menerapkan hal

sama nantinya.”

“Kami jadi tahu bahwa adakelompok lain yang peduli pada

pemberdayaan masyarakat desa.Selama ini kami merasa sendiri.

Ternyata karena kami dan VECOI ndonesia memang baru kenal.”

Page 21: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

21LONTAR #11 - 2015

Testimoni

Peni Agustiyanto, Koordinator Area

VECO Indonesia di Sulawesi

Masril Koto, pembicara di APM 2015,

perintis Bank Petani

Patris M Sina, Kepala Cabang Bank

NTT di Mbay, Nusa Tenggara Timur

“AP M kali ini mampu memberi nuansabaru dari aspek bagaimana organisasi

petani seharusnya mengelola sistemkeuangannya maupun lebih profesionalsebagai entrepreuner. P embelajaran di

lapangan juga mampu menginspirasibisnis produk turunan.”

“Kegiatan ini bagus dan menarik.VECO I ndonesia mencoba

menyelesaikan persoalan dariakarnya. Dalam diskusi, banyak

peserta yang bertanya dalam wakturelatif singkat. Karena itu, harus

ada peningkatan kualitasacaranya.”

“Kunjungan paling menarik waktu kami kekoperasi petani padi. Jika dikelola dengan

bagus, usaha pertanian ternyata bisameningkatkan kesejahteraan petani

seperti rumah dan pendidikan. Kami jadisadar bahwa peningkatan kesejahteraanpetani adalah tanggung jawab bersama,

termasuk kalangan perbankan.”

Page 22: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

22 LONTAR #11 - 2015

Galeri

Galeri Pertemuan Tahunan

Mitra VECO Indonesia 2015

Bali, 26-30 Juli 2015

Minggu, 26 Juli 2015

Perkenalan

Senin, 27 Juli 2015

Pembukaan

Page 23: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

23LONTAR #11 - 2015

Galeri

Senin, 27 Juli 2015

Diskusi

Selasa, 28 Juli 2015

Kunjungan ke Koperasi Petani

Rabu, 29 Juli 2015

Kunjungan ke IPSA

Rabu, 29 Juli 2015

Penutup

Page 24: LONTAR #11 2015: Agar Petani Makin Profesional

24 LONTAR #11 - 2015

Dari Kebun Menuju Bank