lontar april 2013

20

Upload: veco-indonesia

Post on 07-Mar-2016

235 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

LONTAR edisi April 2013 membahas tentang sekolah lapang sebagai metode belajar lebih efektif bagi petani.

TRANSCRIPT

Page 1: LONTAR April 2013

1LONTAR - #6 - 2013

B u l e t i n T r i w u l a n V E C O I n d o n e s i a

Foto: Anton Muhajir

Petani Belajar denganBerbagi Pengalaman

#62013

Page 2: LONTAR April 2013

2 LONTAR - #6 - 2013

PEMBACA yang terhormat. Dua

bulan terakhir, sejak Desember hingga

Februari lalu, kami di Bagian Publikasi

VECO Indonesia memindahkan website

dari www.vecoindonesia.org ke web baru

kami di www.veco-ngo.org/vecoindonesia.

Meskipun demikian, website lama masih

ada namun langsung diarahkan ke

website baru.

Ya, kami sekarang menginduk ke

website kantor pusat di Leuven, Belgia.

Hal ini merupakan kebijakan dari kantor

pusat. Di website tersebut juga terdapat

kantor VECO regional lain, seperti

Vietnam, Afrika, dan Amerika Latin.

Semua dalam bahasa Inggris maupun

bahasa lokal.

Dengan tampi lan lebih segar, warna

hi jau dan desain dinamis, kami

berharap, website baru ini akan

menyegarkan materi-materi publ ikasi

kami selain juga lewat LONTAR ini . Tak

hanya untuk kami tapi juga untuk

pembaca yang biasa mencari informasi

terbaru dari kami. Selamat berselancar.

[Redaksi ]

2 Dari Redaksi

3 Editorial

4 Reportase

Petani Belajar dengan

Berbagi Pengalaman

11 Organisasi Petani

12 Kabar Veco

14 Kabar Mitra

1 6 Berita Internasional

1 8 Profil

1 9 Resensi

20 Poster

Lontar (n) daun pohon lontar (Borassus

flabellifer) yang digunakan untuk menulis

cerita; (n) naskah kuno yang tertul is pada

daun lontar; (v) melempar. Maka LONTAR

bagi kami adalah kata kerja (v) sekaligus

kata benda (n). Lontar adalah media

informasi untuk menyampaikan informasi

tentang pertanian yang memperhatikan

ni lai-ni lai lokal, sesuatu yang terus VECO

Indonesia perjuangkan.

Tim Redaksi

Penanggung jawab : Rogier Eijkens

Redaksi : Anton Muhajir

Kontributor : Staf dan Mitra VECO

Indonesia

Layout : Syamsul "Isul" Arifin

Alamat Redaksi

VECO Indonesia

Jl Kerta Dalem No 7 Sidakarya Denpasar

Telp: 0361 - 7808264, 727378,

Fax: 0361 - 723217

Email: [email protected],

[email protected]

Website www.vecoindonesia.org

Twitter @vecoindonesia

Redaksi menerima berita kegiatan,

profil , maupun tips terkait praktik

pertanian berkelanjutan terutama yang

terkait dengan mitra VECO Indonesia

di berbagai daerah. Tulisan bisa dikirim

lewat email ataupun pos ke alamat di

atas.

Dear Readers,

In the past two months, from

December to February, we in the VECO

Indonesia Publications Division have

been migrating our website from

www.vecoindonesia.org to our new site at

www.veco-ngo.org/vecoindonesia.

Visitors to the old site will be redirected to

our new website.

Yes, we are now a part of the website

of the head office in Leuven, Belgium.

This was a decision made by head

office. On the new website you can find

all the other regional VECO offices,

including Vietnam, Africa and Latin

America. All the information is avai lable

in English and local languages.

With its fresh new look in green, and

dynamic design, we hope that this new

website wil l freshen up the material we

publish, other than through LONTAR. Not

only for us, but for our readers who are

looking for information updates from us.

Happy surfing. [The Editor]

2 LONTAR - #6 - 2013

Dari Redaksi Daftar Isi

Materi publikasi ini dicetak menggunakan

kertas daur ulang 50 persen sebagai ko-

mitmen VECO Indonesia pada ekologi

Agar Lebih Segar dan Terintegrasi

Our Website Moves to Head Office

Foto: VECO Indonesia

Page 3: LONTAR April 2013

3LONTAR - #6 - 2013

PEPATAH Cina ini tepat sekali untuk meng-

gambarkan prinsip utama dalam Sekolah Lapang (SL).

Dalam metode ini , petani tak hanya diberi tahu teori di

dalam kelas tapi juga ditunjukkan melalui praktik dan

pengamatan langsung di lapangan.

Para petani tersebut layaknya pelajar atau maha-

siswa ketika kuliah atau bahkan lebih dari i tu. Semua

terl ihat bergairah ketika bekerja bersama-sama. Saya

melihatnya di Mbay, Nagekeo maupun di Bajawa dan

Golewa, Ngada. Dengan

metode itu, maka petani

lebih bisa menerapkan apa

yang mereka pelajari di da-

lam kelas.

Pengertian kelas pun tak

berarti secara fisik tapi lebih

pada fungsi. Kelas tak me-

lulu berada di dalam ru-

angan tapi juga bisa di ha-

laman rumah, kebun, sa-

wah, dan seterusnya. Kelas

SL bisa di mana saja.

Ketika dimulai pada

tahun 1 989 di Indonesia, SL

didesain untuk belajar

tentang pengelolaan hama

terpadu. Namun, saat ini SL

justru di lakukan pula untuk

belajar tak hanya pengen-

dalian hama tapi juga peng-

olahan pascapanen. Perintis

metode SL adalah Badan

Pertanian dan Pangan PBB,

FAO. Hingga kini , sudah

ada lebih dari dua juta

petani di Asia yang menerapkan metode SL ini .

Keunggulan SL adalah karena sistem belajar ini

menjadikan semua peserta, yang semuanya adalah

petani, sekaligus sebagai pemandu. Dengan metode

ini , maka SL telah mengembalikan pengetahuan

petani kepada petani itu sendiri . Ini lah alasan kenapa

SL harus terus didukung. Petani harus menerapkan

pengetahuan mereka sendiri bukan hanya dengan

menerima pengetahuan dari luar yang kadang justru

membuat mereka melupakan sistem pertaniannya

sendiri . [Anton Muhajir]

Belajarlah di Lapangan,

Tak Hanya Kelas

THIS Chinese proverb is very fitting to describe the

main principle of field schools. In this method, farmers

not only learn about the theory in class, but are also

shown how to do things, through hands-on practical

sessions and observations in the field.

These farmers are l ike school pupi ls or university

students; perhaps even more than that. They all look

so passionate when learning together. I saw them in

Mbay, Nagekeo, and in Bajawa and Golewa, Ngada.

Using this method, the

farmers are better able to

apply what they have

learned in class.

Even the classroom

learning is functional rather

than physical. Classes are

not always held inside; they

can also be held in house

yards, gardens, paddy fields

and other outdoor spaces.

In fact, field school classes

can be held anywhere.

When first introduced in

Indonesia in 1 989, field

schools focused on learning

about integrated pest mana-

gement. But today, field

schools are run to learn not

only about pest mana-

gement, but also post-

harvest management. The

field school method was

pioneered by the Food and

Agriculture Organization

(FAO). Today, more than

two mil l ion farmers in Asia learn using this field school

method.

The advantage of the field school is that this

learning system turns all participants, al l of whom are

farmers, into faci l i tator. Using this method, the field

schools transfer knowledge from farmer to farmer. That

is why support for field schools must continue.

Farmers have to apply their knowledge themselves not

just receive knowledge from outside, which actually

makes them forget their own farming systems. [Anton

Muhajir]

Beritahu aku, aku lupa. Tunjukkan aku, aku ingat.

Libatkan aku, aku mengerti.

Learning in the Field,

Not Just in Class

Tell me, I forget. Showme, I remember. Engage me,

I understand.

Editorial

Page 4: LONTAR April 2013

4 LONTAR - #6 - 2013

Foto-foto: Anton Muhajir

Profil Vietnam

Sekolah Lapangan

Petani Belajardengan BerbagiPengalaman

Dengan pemandu sesama petani dan praktik

di lapangan, Sekolah Lapang memudahkan

petani untuk belajar.

DI tengah hamparan sawah di kawasan Mbay, Kabupaten

Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Linda Bate dan Pius Ngetu

bersama dua petani lain melakukan pengamatan terhadap padi-

padinya pada tahun lalu. Dengan maju selangkah demi selangkah,

mereka menghitung antara lain bul ir padi dan jumlah batang serta

mencari hama pada padi.

Berjarak sekitar 3 meter dari empat anggota Asosiasi Petani

Organik Mbay (ATOM) tersebut, Bambang Hermanto juga mencari

hama di rumpun padi lain. Petani sekaligus fasi l i tator dari Yayasan

Pertanian Alternatif Nasional Sumatera Utara (PANSU) ini sesekali

memberikan informasi kepada anggota ATOM tentang apa yang

mereka amati siang itu.

Bambang sudah tiga bulan tinggal di Mbay, salah satu daerah

penghasi l padi di Pulau Flores, NTT, sebagai fasi l i tator bagi anggota

ATOM. Bersama satu temannya dari PANSU, Bambang yang juga

petani, mendampingi petani di Mbay agar bisa beral ih ke pertanian

organik melalui Sekolah Lapang (SL).

Foto-Foto: VECO Indonesia

Page 5: LONTAR April 2013

5LONTAR - #6 - 2013

Reportase

karena bisa langsung praktik,” kata Pius.

Linda dan Pius hanya dua di antara

puluhan petani anggota Kelompok Tani

Kubota di Desa Marapokot, Kecamatan

Aesesa, Nagekeo yang belajar tentang

pertanian organik melalui SL. Di Saung

Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A)

Kubota, sekitar 50 petani lainnya sedang

belajar membuat mikroorganisme lokal

(MOL) dipandu fasi l i tator dari PANSU.

SL merupakan hal baru bagi Pius

dan kawan-kawannya di Kelompok Ku-

bota. Mereka baru mulai belajar melalui

SL sejak Maret 201 2. Sebelum itu, me-

nurut Pius, petani setempat tak terlalu

peduli pada sistem pertanian yang me-

reka gunakan. Selama SL, Pius dan

anggota Kubota lainnya belajar tentang

ekosistem, cara membuat dan memil ih

benih, cara menanam, serta pengen-

dalian hama. Semua proses di lakukan

secara ekologis.

Laboratorium

SL diawali dengan survei dan kontrak

belajar. Survei ini antara lain apakah pe-

tani setempat sudah punya kelompok ta-

ni, apakah kebunnya bisa menjadi media

belajar, dan seterusnya. Jika syarat

sudah terpenuhi, maka dilanjut dengan

kontrak belajar antara pemandu dengan

peserta SL.

SL mulai di laksanakan setiap ming-

gu. Lokasi belajar teori selama SL ini

IN the middle of a paddy field in

Mbay, Nagekeo District, East Nusa

Tenggara, Linda Bate and Pius Ngetu,

along with two other farmers, are

making observations of last year’s rice

crop. One step at a time, they are

counting, among other things, the

number of panicles and stems, and

looking for pests on the rice plants.

Around 3 metres away from these

four members of Asosiasi Petani Or-

ganik Mbay (ATOM), Bambang Her-

manto is also searching for pests in

other clumps of rice. This farmer and

faci l i tator from Yayasan Pertanian Al-

ternatif Nasional Sumatera Utra (PAN-

SU) is simultaneously giving infor-

mation to the ATOM members about

what they are looking for that day.

Bambang has been living for three

months in Mbay, a rice producing cen-

tre on the island of Flores, East Nusa

Tenggara, as faci l i tator for ATOM

members. Along with a colleague from

PANSU, Bambang, who is also a far-

mer, is supporting farmers in Mbay

through field schools to enable them

to switch to organic farming.

That afternoon, they were doing

practical field work, examining rice

plants that were about two months

old. As part of the learning process,

one farmer is recording all these ob-

servations in a notebook. They are

learning directly from the field, not just

theory in the classroom.

This is what differentiates field

schools from other learning methods.

When learning using the field school

Farmer Field Schools

Farmers Learn by Sharing Experiences

With farmer facilitators and practice in the field, field schools are easier for farmers to learn from.

Siang itu, mereka melakukan praktik

lapangan, mengamati tanaman padi be-

rumur sekitar dua bulan tersebut. Seba-

gai salah satu bagian dari proses belajar,

salah satu petani mencatat semua hasi l

pengamatan tersebut di buku tul is.

Mereka belajar langsung dari lapangan,

tak cuma teori di dalam kelas.

Ini lah yang membedakan SL dengan

metode belajar lainnya. Ketika belajar

menggunakan metode SL, petani tak

hanya belajar teori tapi juga langsung

praktik di lapangan. Persentase materi

SL sekitar 25 persen teori dan 75 persen

praktik. Melalui metode ini , petani meng-

aku lebih mudah belajar. “Saya lebih ce-

pat menyerap apa yang saya pelajari

Page 6: LONTAR April 2013

6 LONTAR - #6 - 2013

Reportase

Kini Sayur Sehat LebihTerjangkau di Vietnam

Foto-foto: Anton Muhajir

bisa di saung ataupun sawah. Begitu pu-

la dengan lokasi praktik. Tak selamanya

mereka di sawah karena juga bisa di ha-

laman saung ataupun di rumah salah

satu anggota.

Sebagai lokasi praktik penanaman

padi, anggota Kubota menggunakan dua

petak sawah mil ik Pius Bate. Lahan ini

menjadi semacam laboratorium di mana

seluruh anggota kelompok bisa mem-

praktikkan teori yang mereka pelajari .

Mereka sekaligus melakukan pengama-

tan hasi l praktik. Di sawah yang men-

jadi laboratorium ini lah petani

mengamati dan mencatat apa yang

mereka peroleh selama pengamatan

tersebut.

Petani pun masuk lumpur sawah

demi pengamatan tersebut. “Petani

harus kotor. Kalau mau hasi l lebih baik,

kita harus berani kotor,” kata Bambang

yang sudah sekitar 30 tahun jadi

fasi l i tator SL.

Hasi l pengamatan lalu didiskusikan

baik oleh sesama petani maupun bersa-

ma pemandu. Hal ini memudahkan pe-

tani memahami percobaan yang sedang

mereka lakukan. “Kami jadi bisa mem-

bandingkan apa yang kami pelajari

dengan apa yang kami praktikkan dan

sebaliknya,” tambah Linda.

Menggunakan sistem pertanian baru

yang mereka pelajari dan praktikkan

dengan panduan dari tim PANSU, Pius

dan kawan-kawannya mengaku kini bisa

melihat bahwa sistem baru ini memang

method, farmers not only learn the the-

ory, but also get hands-on practice in the

field. The field school material is around

25 percent theory and 75 percent prac-

tical. Using this method, farmers confirm

it is easier to learn. “I can take in what I

am learning about more quickly because

I get hands-on practical experience,” said

Pius.

Linda and Pius are only two of tens of

farmers who are members of the Kubota

farmer group in Marapokot vi l lage, in the

Aesesa subdistrict of Nagekeo who are

learning about organic farming through

field schools. In Saung, another 50

members of the Kubota Water User Far-

mers’ Association (P3A) are learning to

make local micro-organisms, with a

faci l i tator from PANSU.

Field schools are a new thing for Pius

and his friends in Kubota farmer group.

They have only been learning using this

method since March 2012. Before that,

said Pius, local farmers didn’t care much

about the agricultural system they were

using. During the field schools, Pius and

the other Kubota members have learned

about the ecosystem, how to grow and

select seedlings, how to plant, and how

to manage pests. All these processes

are done ecological ly.

Laboratory

The field schools begin with a survey

and learning contracts. This survey,

among others, asks whether the local

farmers have farmer groups, whether

their gardens could be made into

learning centres, and so on. I f the criteria

are met, the next stage is drawing up a

learning contract between the faci l i tator

and the field school participants.

Field schools start every week. The

theory part of the field school can be

learned either inside or outside in the

fields, and the practical lessons l ikewise.

While they are not in the fields, they

could be in the field huts or at the home

of one of the members.

As the location for their rice planting

practice, the Kubota farmer group

members use two paddy fields belonging

to Pius Bate. This land becomes a kind

of laboratory, where all the group

members can put the theory they have

learned into practice. They also make

direct observations of the results of their

experiments. In these laboratory fields,

the farmers observe and report what

they see during the observations.

The farmers get very muddy making

these observations. “Farmers should be

dirty. I f we want to get better results, we

have to be prepared to get dirty,” said

Bambang, who has been a field school

faci l i tator for around 30 years.

The results of the observations are

then discussed among the farmers and

with the faci l i tator. This helps the farmer

to understand the experiments they are

doing. “We can compare what we have

learned with what we are doing, and vice

versa,” added Linda.

Using the new farming system that

they have learned about and practiced

with the PANSU faci l i tator, Pius and his

col leagues admit that they can see that

this new system is better. As an

example, with this new method, they only

have to use organic inputs to control

pests. Spraying for pests every day can

cost the farmers around IDR 8 mil l ion.

“Now we don’t have to spend any money.

All we have to do is clear the weeds,”

Page 7: LONTAR April 2013

7LONTAR - #6 - 2013

Upscaling

The farmer schools in Mbay are new.

Previously, VECO Indonesia and its

partners in Manggarai and Bajawa ran

field schools. With PANSU Medan, the

pioneers of the field school method in

Indonesia, VECO Indonesia ran these

field schools for coffee farmers in these

locations from Apri l to August 201 0. This

field school program for the coffee chain

was run over one complete cycle. The

locations were Poccoranaka subdistrict

in East Manggarai district, and Bajawa

subdistrict in Ngada district.

During those four months, 78 farmers

who are members of four groups in four

vi l lages completed the entire field school

process. The learning method used in

Reportase

lebih baik. Sebagai contoh, dengan me-

tode baru ini , mereka cukup mengguna-

kan bahan-bahan alami untuk mengen-

dalikan hama. Karena setiap hari harus

menyemprot hama, petani bisa meng-

habiskan biaya sekitar Rp 8 juta. “Seka-

rang tidak ada mengeluarkan biaya

apa-apa. Paling hanya untuk member-

sihkan rumput,” kata Pius.

Ketua ATOM Nobertus Logodai

mengatakan, SL merupakan salah satu

kegiatan organisasi petani produsen padi

ini selain juga Internal Control System

(ICS), pemasaran bersama, dan uji coba

kebun. Saat ini ada sekitar 200 petani

yang tergabung di 17 kelompok.

“Menariknya SL karena petani langsung

praktik di lapangan. Petani bisa

menemukan banyak hal. Mereka juga

bisa saling berbagi pengetahuan dan

pengalaman, seperti penyakit. Petani

bisa saling melengkapi,” katanya.

Menurut Nobertus, metode SL ini

berbeda dengan sistem yang biasa

diajarkan oleh Petugas Penyuluh Petani

(PPL). Penyuluh dari instansi pemerintah

ini biasanya lebih banyak teori daripada

praktik. Materinya juga searah dari PPL.

“Dalam SL, petani menjadi narasumber

tak hanya datang, dengar, dan pulang

tanpa melakukan. Tak banyak wacana

tapi aksi,” Nobertus menambahkan.

Berlimpah

SL di Mbay sendiri termasuk baru.

Sebelumnya, VECO Indonesia dan mit-

ranya di Manggarai dan Bajawa sudah

melakukan SL tersebut. Bersama PAN-

SU Medan, lembaga perintis SL di Indo-

nesia, VECO Indonesia menerapkan SL

ini bagi petani kopi di kawasan tersebut

sejak Apri l hingga Agustus 201 0. Prog-

ram SL untuk rantai kopi ini di laksanakan

selama satu siklus. Lokasinya di Keca-

matan Poccoranaka di Kabupaten

Manggarai Timur dan Kecamatan Baja-

wa di Kabupaten Ngada.

Selama empat bulan tersebut, 78 pe-

tani yang tergabung dalam empat ke-

lompok di empat desa menjalani seluruh

proses dalam SL. Metode belajar dalam

SL adalah dengan pendidikan orang

dewasa dan partisipatoris yaitu dengan

cara: melakukan, menganalisis,

menyimpulkan, dan menerapkan.

Karena petani langsung

mempraktikkan di lapangan, maka

hasi l pertanian mereka pun lebih baik.

Produksi kopi mereka memang me-

ningkat. Nikolaus Raga, Wakil Ketua

Permata yang juga peserta SL di Desa

Beiwali , Kecamatan Bajawa, membe-

rikan contoh. Biasanya, tiap pohon

hanya menghasi lkan sekitar 2-3 kg

kopi gelondong kering. Kini , satu

pohon kopi bisa menghasi lkan lebih

dari dua kali l ipatnya, 5-1 0 kg.

Peningkatan produksi tersebut ka-

rena petani sudah menerapkan penge-

tahuan yang mereka pelajari selama

SL. Misalnya, mereka kini raj in

membersihkan lahan dan pohon kopi.

“Dulu saya takut memangkas pohon

karena saya pikir makin tinggi

pohonnya akan makin bagus banyak

hasi lnya. Ternyata saya salah,” ujar

Nikolaus.

SL mengubah pandangan penge-

tahuan petani sehingga bisa mene-

rapkan sistem pertanian lebih ramah

lingkungan. Selain hemat, hasi lnya

juga lebih meningkat. [Anton Muhajir]

said Pius.

ATOM Chair Nobertus Logodai says

that the field schools are one of the

activities of this rice producer farmer

organisation, along with the Internal

Control System (ICS), col lective

marketing and experimental gardens.

Today, around 200 farmers are

associated in 17 groups. “What makes

the field schools interesting is that the

farmers can practice what they have

learned in the fields. They learn a lot.

They can also share their knowledge and

experience with each other, for example

about diseases. The farmers

complement one another,” he said.

According to Nobertus, this field

school method differs from the way that

government agriculture extension

workers teach. Their methods usually

involve more theory than practice. And

delivery of the content is one way: from

the extension worker to the farmers. “In

field schools, farmers are resource

people. They don’t just come and listen,

and go home without doing anything. I t’s

about action, not theory,” added

Nobertus.

field schools is adult, participatory edu-

cation, which involves doing, analysing,

concluding and applying. Because the

farmers practiced what they had learned

in the fields, their agricultural yields

improved too.

Coffee production increased. Niko-

laus Raga, vice chair of Permata, who

was a participant in the field school in

Beiwali vi l lage in Bajawa subdistrict gave

an example. In the past, one coffee tree

typical ly produces around 2-3 kg of dri-

ed, peeled coffee. Now a coffee tree can

produce more than double that: 5-1 0 kg.

This increased production came

about because the farmers applied the

knowledge they had learned during the

field school. For example, they now

regularly tidy their land and coffee trees.

“I used to be scared to prune the trees

because I thought the tal ler the tree, the

more it would produce. Turns out I was

wrong,” said Nikolaus.

Field schools change farmers’

perceptions, so they are able to adopt

more eco-friendly farming systems. As

well as being cost-effective, production

also increases. [Anton Muhajir]

Page 8: LONTAR April 2013

8 LONTAR - #6 - 2013

Reportase

SELAIN sebagai Wakil Ketua

Perhimpunan Petani Watuata (Permata),

Niko adalah juga pemandu bagi sesama

petani. Dia salah satu pemandu di

organisasi petani di Desa Beiwali ,

Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada,

Nusa Tenggara Timur tersebut. Sejak

dua tahun terakhir, Niko juga mengajari

petani lain tentang cara budi daya hingga

pengolahan bagi anggota Permata.

Niko merupakan salah satu alumni

Sekolah Lapang angkatan pertama di

Kabupaten Ngada hasi l kerja sama VE-

CO Indonesia dengan Pertanian Alter-

natif Nasional Sumatera Utara (PANSU)

yang di laksanakan Lembaga Advokasi

dan Pendampingan Masyarakat (Lap-

mas). Kegiatan serupa juga diadakan di

Kecamatan Poccoranaka, Kabupaten

Manggarai Timur oleh Delsos Ruteng.

Dari SL angkatan pertama yang diada-

kan pada tahun 201 0 ini kemudian dicari

peserta-peserta yang potensial menjadi

pemandu bagi petani lain.

Para petani calon pemandu ini di latih

terlebih dulu sebagai calon pemandu

melalui pelatihan untuk pelatih atau

training of trainer (ToT). Selama 30 hari ,

ToT diadakan di tiga tempat masing-ma-

sing selama sepulu hari yaitu di Mang-

garai pada 14-23 Mei 2011 , di Bajawa

pada 25 Mei - 4 Juni 2011 , serta di Mbay

pada tanggal 6-1 6 Juni 2011 .

Ada beberapa syarat alumni SL yang

bisa menjadi peserta ToT ini . Misalnya

tingkat kehadiran di SL 90 persen, mam-

pu berbicara di depan peserta SL, mam-

pu baca tul is, memil iki kebun atau sawah

yang dikerjakan, sudah menerapkan ha-

si l-hasi l belajar di SL, bersedia melatih

petani lainnya di luar desanya,

bertanggungjawab terhadap perkem-

bangan kelompoknya, dan mendapat

persetujuan dari kelompok SL-nya.

Niko menjadi salah satu dari 21 pe-

tani yang lulus ToT di Bajawa dan bisa

menjadi pemandu bagi petani lain. Ni lai

akhirnya setelah ToT, meliputi sikap,

pengetahuan, dan keterampilan adalah

6. Sejak dua tahun lalu, Niko pun men-

jadi pemandu SL. “Setelah dua tahun

menjadi fasi l i tator, saya merasa sudah

banyak peserta SL yang berhasi l ,”

katanya.

Selain Niko, pemandu lain di

Permata adalah Maria Yuliana Aku.

Seperti juga Niko, petani perempuan

yang akrab dipanggi l Li l i ini juga

mengajari petani lain tentang budi daya

kopi. Sebagai pemandu, dia juga

membantu peserta SL untuk membuat

kurikulum, jadwal, dan rencana SL

lainnya. “Semua materi dibuat secara

partisipatif bersama peserta,” ujar Li l i .

Gambar

Tiap seminggu sekali , Li l i dan Niko

belajar bersama petani lainnya tentang

cara pembuatan pupuk, pemangkasan,

hingga pengolahan pascapanen. Dalam

tiap kelas rata-rata ada sepuluh peserta

dengan dua atau tiga pemandu.

Tak Hanya Petani Tapi juga PemanduPada awalnya Nikolous Raga mengaku agak bingung. Namun, kini dia sudah mahirmenjadi pemandu bagi petani lainnya.

Foto-Foto: VECO Indonesia

Page 9: LONTAR April 2013

9LONTAR - #6 - 2013

Reportase

Sebagai pemandu SL, Li l i dan Niko

mengaku pada awalnya mendapat

banyak tantangan. Bingung mau men-

jelaskan materi hanya salah satunya.

Tantangan lainnya adalah bagaimana

bisa menjelaskan materi SL dalam

bahasa yang bisa dijelaskan kepada

peserta.

Menurut Li l i , salah satu cara yang

dia gunakan adalah dengan media

gambar. Bagi peserta SL yang tak me-

ngerti tul is baca, gambar lebih efektif

untuk memahami penjelasan

pemandu.

Wilhelmina Dhay, Bendahara

Kelompok Tani Perempuan Pappalaka

di Desa Malanusa, Kecamatan Gole-

wa, salah satu peserta SL mengakui-

nya. Karena tak semua anggota

kelompok Pappalaka bisa baca tul is,

maka dalam SL mereka pun kadang-

kadang menggunakan gambar

tersebut.

Cara lain agar peserta lebih mudah

paham adalah dengan praktik. Menu-

rut Wilhelmina, dari seluruh kelas SL,

75 persen di antaranya di lakukan di la-

pangan. Pemandu menunjukkan

langsung bagaimana cara memangkas,

memetik, dan teknik lain dalam budi

daya kopi. “Kalau melihat langsung jadi

kita tinggal meniru apa yang di lakukan

pemandu,” tambahnya.

Akhir tahun lalu, misalnya, sekitar 1 5

anggota Pappalaka ini mempraktikkan

sendiri cara membuat pupuk organik. Li-

ma anggota sedang sibuk memeras ba-

han terbuat dari campuran antara bong-

kol pisang, moke (tuak), dan bahan-bahan

lain. Dua lainnya memandu dengan

AS well as being deputy chair of Per-

himpunan Petani Watuata (Permata),

Niko is also a faci l i tator of other farmers.

He is a faci l i tator in a farmer organisation

in Beiwali vi l lage, Bajawa subdistrict,

Ngada district, East Nusa Tenggara. For

the past two years, Niko has also been

teaching other farmers who are mem-

bers of Permata about everything from

cultivation to management techniques.

Niko is an alumni of the first round of

field schools organised in Ngada district

in partnership between VECO Indonesia

and Pertani Alternatif Nasional Sumatera

Utara (PANSU), and run by Lembaga

Advokasi dan Pendampingan Masya-

rakat (Lapmas). A similar activity was

also run in Poccoranaka subdistrict, in

East Manggarai district, by Delsos Ru-

teng. From this first round of field

schools held in 201 0, potential faci l i tators

for other farmers were found.

These prospective faci l i tators first

went through a training of trainers (ToT)

Not Just Farmers, Facilitators TooNikolaus Raga admits to being rather confused at first. Now, he’s a skilled facilitator ofother farmers.

course. Over a period of 30 days, this

training course was held for 1 0 days

each in three locations: in Manggarai

from 14 to 23 May 2011 , in Bajawa from

25 May to 4 June 2011 , and in Mbay from

6 to 1 6 June 2011 .

There were several criteria for field

school alumni to become participants in

this ToT. For example, a 90 percent rate

of attendance at the field school, the abi-

l i ty to talk in front of field school partici-

pants, being able to read and write,

having a working garden or paddy field,

adopting the lessons learned at the field

school, being wil l ing to train farmers out-

side their own vi l lage, being responsible

for the development of the group, and

having the approval of his or her field

school group.

Niko was one of 21 farmers who

passed the ToT in Bajawa, and became

faci l i tators of other farmers. His final

score for the ToT, including attitude,

knowledge and ski l ls, was six. For the

past two years, Niko has been a field

school faci l i tator. “After two years of be-

ing a faci l i tator, I feel that many of the

field school participants have had suc-

cess,” he said.

Another faci l i tator at Permata is Ma-

ria Yuliana Aku. Like Niko, this women

farmer who is known to her friends as

Li l i , also faci l i tates other farmers about

growing coffee. As a faci l i tator, she also

helps field school participants to prepare

curriculum, schedules and other field

school plans. “All the material is prepar-

ed in a participatory way with the partici-

pants,” explained Li l i .

Pictures

Once a week, Li l i and Niko learn with

the other farmers about how to make

compost, prune, and do post harvest

management. In each class, there is an

average of 1 0 participants and two or

three faci l i tators.

As field school faci l i tators, Li l i and

Page 10: LONTAR April 2013

10 LONTAR - #6 - 2013

Reportase

catatan di buku mereka.

Di tempat lain, masih di rumah yang

sama, ibu-ibu menyiapkan bahan baru,

daun-daunan, moke, dan lain-lainnya

untuk pupuk baru. Setelah lengkap, ba-

han tersebut akan disimpan agar bisa

terfermentasi dan nantinya siap diperas

seperti bahan yang sudah jadi tersebut.

Begitulah sekolah yang efektif bagi

mereka, langsung praktik di lapangan.

Satu lagi strategi para pemandu yaitu

dengan penggunaan bahasa-bahasa lo-

kal. Menurut Niko, penjelasan dari pe-

mandu kadang-kadang susah dimengerti

peserta karena dia tak mengerti isti lah

dalam bahasa setempat. Karena itu, pe-

mandu SL sebaiknya menggunakan ba-

hasa dan isti lah lokal sehingga peserta

lebih mudah mengerti . “Kalau pakai is-

ti lah i lmiah, peserta malah bingung,”

ujarnya. [Anton Muhajir]

Niko admit that initial ly there were lots of

challenges. Being unsure how to explain

the material was just one of them.

Another was how to explain the field

school materials in language that the

farmers could understand.

According to Li l i , one method that

she uses is pictures. For the field school

participants who cannot read or write,

pictures are an effective way for the

faci l i tator to explain things.

Wilhelmina Dhay, treasurer of Pap-

palaka women’s farmer group in Mala-

nusa vi l lage, Golewa subdistrict, is one

of the field school participants to confirm

this. Because not al l members of the

Pappalaka farmer group can read and

write, they sometimes use pictures in

their field schools, too.

Another method that helps partici-

pants to understand is practice. Ac-

cording to Wilhelmina, 75 percent of al l

the field school classes are held in the

fields. The faci l i tators demonstrate how

to prune and pick, and other coffee

cultivation techniques. “I f can see how

to do it for ourselves, al l we have to do

is copy what the faci l i tator does,” she

added.

At the end of last year, for example,

around 1 5 Pappalaka members prac-

ticed making organic ferti l iser them-

selves. While five members busi ly

squeeze the mixture made out of ba-

nana stems, toddy and other ingre-

dients, two others make notes in their

books.

In another part of the same house,

women are preparing the raw materials

– the leaves, toddy and other things –

to make the next round of compost.

When everything is ready, the mixture is

stored and allowed to ferment, before it

is squeezed into compost that is ready to

use. That is what makes the field schools

so effective for them: they are able to

practice what they have learned for

themselves.

Another strategy the faci l i tators use

is using the local language. According

to Niko, the faci l i tators’ explanations can

be difficult for the participants to

understand if they don’t understand

local terms. So, the field school

faci l i tator should use the local language

and local terms to make it easier for the

participants to understand. “I f you use

scienti fic terms, the participants wi l l just

get confused,” he explained. [Anton

Muhaj ir]

Page 11: LONTAR April 2013

11LONTAR - #6 - 2013

Organisasi Petani

Di pinggir jalan raya utama Flores

antara Ende dan Bajawa, dua petani

perempuan sedang menjemur bij i kakao

di atas para-para. Di dalam ruang pe-

ngolahan, dua petani lain sedang mem-

bolak-balik bi j i kakao yang difermentasi.

Begitulah suasana di Unit Pengolahan

Hasi l (UPH) mil ik Asosiasi Petani Kakao

Nangapenda (SIKAP) di Nangapenda,

Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur

(NTT) akhir tahun lalu.

SIKAP merupakan organisasi petani

kakao di kecamatan tersebut. Saat ini

anggota SIKAP sekitar 1 .1 00 petani yang

tersebar di delapan desa. Ada 67 kelom-

pok tani yang bergabung dalam SIKAP.

Untuk menjalankan programnya, SIKAP

memil iki tiga divisi yaitu budi daya,

pemasaran, dan pengolahan.

Pengolahan pascapanen merupakan

salah satu kegiatan SIKAP. Di UPH ini

semua petani anggota SIKAP mengi-

rimkan bij i kakao untuk diolah. Menurut

staf UPH, Abdul Hamid, dalam seming-

gu, UPH menerima sekitar 2 ton bij i

kakao kering atau 6 ton basah untuk

diproses. Proses ini antara lain sortasi

buah, pembelahan, sortasi bi j i basah,

fermentasi, hingga penjemuran. Semua

staf yang mengerjakan di UPH adalah

juga anggota SIKAP. Mereka bahkan

membuat coklat bubuk yang bisa dise-

duh dan langsung diminum layaknya

bubuk coklat di pasar.

Jika sekarang sudah mengolah

sendiri , pada awalnya petani setempat

justru tidak terlalu memberikan perhatian

kepada penanganan pascapanen. Bah-

SIKAP

kan, pola tanam pun mereka tidak per-

hatikan. “Dulu perhatian kami terhadap

budi daya kakao hampir tidak ada. Jadi-

nya lebih seperti hutan kakao daripada

kebun kakao,” kata Abidin, salah satu

anggota SIKAP.

Tanpa perhatian dan perlakuan, se-

perti pemangkasan, pemupukan, panen

sering, dan sanitasi (P3S), maka hasi l-

nya juga tak terlalu bagus. Tiap pohon

hanya menghasi lkan 0,5 kg kakao. Ren-

dahnya hasi l panen ini di ikuti pula deng-

an rendahnya kualitas kakao petani. Bi j i

kempes sehingga tak layak jual. Kualitas

yang buruk mengakibatkan harga pun

rendah. Petani hanya menjual seharga

Rp 12.000 per kg. Bahkan ada yang jual

seharga Rp 7.000 per kg.

Setelah mengikuti Sekolah Lapang

(SL), petani mulai menerapkan P3S.

Abidin menjelaskan, dalam SL mereka

belajar antara lain tentang praktik sam-

bung pucuk dan sambung samping po-

hon kakao. SL menjadi kegiatan lain

SIKAP selain pengolahan pascapanen.

Kini hasi l panen tiap pohon meningkat

jadi 0,9 kg per pohon.

Menurut Ketua SIKAP, Rudolfus

Ndae, divisi budi daya yang mengajari

tentang P3S. Anggota divisi ini bertugas

mendata jumlah komoditas, termasuk

berapa bagus dan tidaknya. Tugas lain

divisi ini adalah memberikan informasi

tentang kakao kepada SIKAP, membantu

tim pemasaran desa dalam pemasaran

bersama; melakukan kegiatan P3S di

kebun; serta membuat promi jamur

pengganti EM4 bakteri pengurai untuk

membuat pupuk organik.

Adapun divisi pemasaran bertugas

mencari kakao-kakao petani dan meng-

umpulkannya untuk dijual secara kolektif.

Dengan metode ini , maka petani tidak

perlu lagi menjual sendiri-sendiri . Dulu,

sebelum ada SIKAP, petani menjualnya

sendiri-sendiri sehingga tergantung pe-

dagang kaki l ima yang memainkan har-

ga. Sistem pembelian oleh pedagang

kaki l ima ini dengan ijon sehingga meru-

gikan petani.

Selain itu, rantai pemasaran pun

panjang. Menurut Rudolf, rantai pema-

saran kakao ini sebelumnya adalah dari

petani kemudian ke pedagang kaki l ima.

Dari pedagang kaki l ima kemudian ke

pedagang kabupaten. Setelah itu baru-

lah ke Mayora. Dengan adanya pema-

saran bersama, maka sekarang lebih

pendek. Dari petani ke koperasi lalu ke

PT Mayora.

Melalu i pemasaran bersama, petani

juga tidak perlu khawati r akan

dicurangi oleh pedagang. Abidin

memberikan contoh. Dulu , dari petani

1 0 kg, namun ketika sampai di

pedagang bisa 9 atau 8 kg. “Kalau

sekarang sudah ada kontrol terhadap

mereka dari petani ,” u jar Abidin . Harga

pun lebih tinggi . Petani bisa menda-

patkan harga kakao Rp 1 8.350 per kg

plus Rp 1 .500 per kg untuk kakao yang

di fermentasi . Sejak 1 3 Juni 201 2, Sikap

juga mendirikan Koperasi Agroniaga

sebagai uni t usaha.

Organisasi petani memberikan keun-

tungan berl ipat ganda bagi anggotanya.

Petani pun Bisa Mengolah Coklat Sendiri

Foto: VECO Indonesia

Page 12: LONTAR April 2013

12 LONTAR - #6 - 2013

Kabar VECO Indonesia

TIM Healthy Food Healthy Living (HFHL) Bali

mengampanyekan pangan sehat melalui momentum

Hari Valentine. Selain membagikan coklat berbahan

baku lokal, mereka juga membagikan flyer, stiker,

dan materi kampanye lainnya. Kampanye pada 1 3 -

14 Februari 201 3 di beberapa lokasi, seperti kampus

Universitas Udayana Denpasar, lampu merah Jalan

PB Sudirman Denpasar, serta sekolah-sekolah di

kawasan jalan Kamboja, Denpasar. Target utama

kampanye ini adalah anak-anak muda, seperti

pelajar dan mahasiswa. Kampanye ini juga didukung

PT Mars, salah satu produsen coklat yang berkantor

di Makassar.

Coklat Sehat saat Hari Kasih Sayang

HFHL merupakan program VECO Indonesia bekerja sama dengan Zuiddag Foundation di Belgia.

Melalui program ini, VECO Indonesia berusaha mengenalkan pangan sehata kepada anak-anak muda,

terutama di Denpasar dan Solo. Mereka yang aktif berkampanye adalah juga anak-anak muda. Jadi,

HFHL adalah kampanye pangan sehat oleh anak muda untuk anak muda. Bentuk kampanye HFHL

beragam namun pada dasarnya menggunakan media komunikasi unik dan berbeda. Kampanye pangan

sehat saat Valentine yang dikenal sebagai hari kasih sayang adalah salah satunya.

“Kami ingin mengenalkan kepada anak-anak muda bahwa coklat termasuk pangan sehat melalui

tema Healthy Happy Valentine sekaligus dukungan bagi petani lokal,” kata Ni Putu Estal ita, anggota tim

HFHL Bali .

TAHUN baru 201 3 bagi VECO Indonesia juga berarti

hadirnya wajah-wajah baru. Sejak Januari 201 3 lalu,

VECO Indonesia menambah dua staf baru, yaitu

Bernadetta Sutrisnowati sebagai Petugas Lapangan

Program HFHL Bali dan Firman Firman Supratman

sebagai Koordinator Program Kerinci, Jambi.

Wati , panggi lan akrab untuk Sutrisnowati , sebenarnya

bukan wajah baru bagi VECO Indonesia. Alumni Fakultas

Ekonomi Universitas Sarjana Wiyata, Yogyakarta ini

pernah bekerja di VECO Indonesia sebagai staf lapangan

pada tahun 2005-2007. Setelah sempat bekerja lepas di

lembaga lain, seperti HEKS Swiss dan Dian Desa, Wati

kini kembali di VECO Indonesia. Berkantor di Bali , Wati

akan bekerja dengan anak-anak muda untuk

mengampanyekan pangan sehat.

Adapun Firman, sebelum bekerja di VECO Indonesia

pernah bekerja sebagai Manajer Internal Control System

(ICS) di PT Casia-Coop. Alumni Fakultas Hukum

Universitas Batanghari Jambi ini juga pernah aktif di

Walhi .

Dua Wajah Baru di VECO Indonesia

Foto-Foto: VECO Indonesia

Page 13: LONTAR April 2013

13LONTAR - #6 - 2013

Kabar Veco

ORGANISASI Buruh

Internasional PBB (ILO),

Agritera, dan VECO Indonesia

melaksanakan pelatihan untuk

pelatih atau training of trainers

(ToT) koperasi pertanian pada

25-28 Februari di Denpasar,

Bali . Kegiatan tersebut di ikuti

20 peserta dari organisasi

petani, koperasi petani, staf

VECO Indonesia, serta Dinas

Koperasi. Mereka berasal dari

Aceh, Bandung, Surabaya,

dan lain-lain.

Pelatihan untuk Pelatih Koperasi Tani

Selama empat hari , dua pemandu yaitu Tom Wambeke (ILO) dan Christian Gouet (organisasi

petani di Perancis) , mendampingi peserta belajar tentang MyCoop. MyCoop singkatan dari

managing your agricultural cooperative atau mengelola koperasi pertanian Anda. Modul ini

diharapkan bisa menjadi panduan bagi petani j ika ingin mendirikan koperasi petani dengan kualitas

lebih tinggi, efisien, dan efektif melayani anggota. Rogier Eijkens, Perwakilan Regional VECO

Indonesia dalam sambutannya mengatakan pelatihan ini merupakan bagian dari upaya VECO

Indonesia untuk mewujudkan koperasi petani di Indonesia.

SEBAGAI bagian dari upaya peningkatan

posisi tawar petani, VECO Indonesia

mengadakan lokakarya Perencanaan

Strategis Program. Lokakarya pada 4-8 Maret

201 3 di Sanur, Bali ini di ikuti peserta dari

bagian program VECO Indonesia serta

beberapa lembaga jaringan, seperti

SwissContact dan Koalisi Rakyat untuk

Kedaulatan Pangan (KRKP). Hadir pula

Perwakilan Regional VECO Vietnam serta

dua staf dari kantor pusat Vredesei landen.

Selama lima hari , para peserta yang

dipandu Steff Deprez membahas rencana

program baru VECO Indonesia l ima tahun

mendatang, 2014 – 201 9. Ada beberapa

Merencanakan Strategi Program Lima Tahun ke Depan

perubahan fokus dan lokasi program VECO Indonesia sebagai bagian dari upaya meningkatkan

kesejahteraan dan posisi tawar petani keci l di Indonesia tersebut.

Rogier Eijkens, Perwakilan Regional VECO Indonesia, tujuan lokakarya adalah merencanakan program

intervensi rantai yang relevan dan realistis di tingkat regional serta mendesain rencana tersebut lebih detai l .

Proses ini penting karena menjadi dasar bagi VECO Indonesia melangkah ke tahap selanjutnya. “Kita tidak

akan mengubah visi dan misi VECO Indonesia. Kita hanya akan menyegarkan kembali ,” ujar Rogier.

Page 14: LONTAR April 2013

14 LONTAR - #6 - 2013

Kabar Mitra

Program KebunPercontohan Kopi Jalesa

JALESA melaksanakan program kebun kopi

percontohan (demplot) untuk kebun kopi arabika

dengan sistem integrasi bidang hortikultura dan

pariwisata. Program ini sudah berjalan sejak

pertengahan tahun 2012 lalu. Salah satu bagian

dari program ini adalah peremajaan tanaman kopi.

Program berlokasi di Lembang (Desa) Sesean

Matal lo, Kecamatan Sesean Suloara', Kabupaten

Toraja Utara, Sulawesi Utara. Tempat ini berjarak

sekitar 1 ,5 jam dari Kota Rantepao ke arah utara.

Hasi l yang kami harapkan dari program tersebut adalah terbentuknya sebuah kebun pecontohan

pengembangan kopi arabika yang akan menjadi model dan contoh bagi petani kopi sekitarnya.

Selain itu juga kebun tersebut akan menjadi pusat destinasi wisatawan untuk agrowisata dan akan

bermuara pada peningkatan penghasi lan masyarakat pada daerah program dan sekitarnya.

Jalesa merupakan mitra VECO Indonesia di Tana Toraja. Program di sini adalah pengembangan

rantai kopi. Selain menjadi pusat produksi kopi, Toraja juga terkenal sebagai daerah tujuan wisata.

[Jalesa]

PERKUMPULAN Indonesia Berseru (PIB) seperti

mendapat durian runtuh saat komunitas anak-anak muda

Dimensi mengontak dan menyatakan minatnya mendukung

pangan lokal. Kelompok diskusi anak muda ini dibentuk pada

akhir 2011 , berawal dari mahasiswa yang merasa bosan saat

berkumpul hanya bersenang-senang untuk diri sendiri .

Semangat Anak MudaMendukung Pangan Lokal

Mereka pun membuat website untuk mengunggah hal-hal yang dianggap penting dan perlu

diketahui khalayak luas, terutama anak muda. Dari diskusi setiap dua minggu sekali , berkembang juga

program video interview. Saat membaca majalah Respect yang diterbitkan PIB, anak-anak muda ini

menyadari pentingnya isu pangan, selain makan di mana dan dengan siapa. Mereka pun meminta

PIB berdiskusi tentang pangan 23 Februari 201 3 lalu.

Lebih menyenangkan, mereka langung bersemangat mendukung para produsen pangan melalui

video interview. Video wawancara petani padi yang menerapkan pertanian alami ini akan disebar ke

berbagai pihak dan diunggah di YouTube. Ini lah bentuk kepedulian, ekspresi dan semangat anak

muda untuk produsen pangan lokal. [Perkumpulan Indonesia Berseru]

Foto-Foto: VECO Indonesia

Page 15: LONTAR April 2013

15LONTAR - #6 - 2013

Kabar Mitra

KOPERASI Serba Usaha (KSU) Jantan

melaksanakan Rapat Akhir Tahun (RAT) perdana pada

1 8 Desember 201 2 lalu. RAT ini dihadiri 78 peserta

dari anggota, pengurus, pengawas, mitra kerja

Yayasan Ayu Tani, VECO Indonesia, Koperas Kredit

(Kopdit) Remaja, Kopdit San Do Minggo Hokeng,

Dinas Koperasi Flores Timur (Flotim), Dinas

Perindustrian dan Perdagangan, Pemerintah

Kecamatan Wulanggitang dan Bupati Flores Timur.

Rapat Perdana KoperasiJANTAN FloresTimur

Ketua KSU Jantan, Aloysius Gedang menyampaikan RAT kali ini merupakan awal baik bagi KSU

yang baru berumur satu tahun tersebut. “Saatnya kita meninggalkan pikiran sebagai orang lemah. Kita

adalah petani professional dan pengusaha,” kata Aloy. Menurutnya, petani harus bertindak nyata untuk

menggerakkan roda KSU Jantan dengan bisnis utama pemasaran kakao.

Pada RAT tersebut, Bupati Flotim juga memberikan bantuan satu unit mobil bak terbuka untuk

mendukung operasional KSU Jantan, terutama dalam pemasaran Bersama. Bupati juga menegaskan

bahwa KSU Jantan akan mendapat 1 petak untuk tempat pelayanan kepada anggota. Setelah dialog,

Bupati Flotim juga mengunjungi dan berdiskusi dengan petani di kebun belajar kakao yang difasi l i tasi

YAT, KSU Jantan, VECO Indonesia dan Litbang Maumere.

MULAI Januari 201 3 lalu, VECO Indonesia memperluas wilayah

program di Nusa Tenggara Timur (NTT) 1 dalam pengembangan

sektor kopi. Wilayah baru tersebut di tujuh desa baru yang masuk

Kabupaten Ngada dan Manggarai. Wilayah baru di Manggarai

tersebut antara lain Desa Bangka Lalak, Likang, dan Cumbi di

Kecamatan Ruteng serta Desa Carep, Kecamatan Langkerembong.

Adapun di Ngada di Desa Dadawea, Radabata, dan Were di

Kecamatan Golewa. Dengan penambahan ini menjadi sekitar 20

desa di Manggarai dan 1 2 desa di Bajawa.

Perluasan Wilayah Dampingan diManggarai dan Ngada

Program pengembangan kopi tersebut di laksanakan bersama dua mitra yang selama ini bekerja

sama dengan VECO Indonesia yaitu Lembaga Advokasi dan Penguatan Masyarakat Sipi l (Lapmas)

Ngada dan Delsos Ruteng. Selain itu, program juga didukung Rainforest All iance (RA), lembaga

sertifikasi.

Fokus program di wilayah-wilayah baru ini adalah untuk budi daya, pengembangan kebun demplot,

sekolah lapang kopi, pengembangan media belajar tentang budi daya kopi, dan tes cita rasa kopi.

Menurut Henderikus AM Gego Koordinator Program NTT 1 , penambahan wilayah program ini dalam

rangka upscaling karena daerah-daerah itu potensial kopi. “Kita perlu untuk meningkatkan kapasitas

petani produsen dalam rangka peningkatan produksi, mutu, dan akses ke pasar secara lebih baik,” kata

Henderikus.

Page 16: LONTAR April 2013

16 LONTAR - #6 - 2013

Kabar Internasional

SEJAK 201 0, VECO memperluas

kegiatannya ke Kivu Selatan dan Ituri .

Kami yakin daerah tersebut tidak hanya

butuh bantuan segera tapi juga program

pembangunan berkelanjutan dan

terstruktur.

Jadi, bagaimana warga Kongo

memulai hidup mereka? Tentu saja

dengan segelas Primus, bir lokal pal ing

terkenal. Tempat pembuatan bir Bral ima

memil iki cabang di ibukota Kivu Selatan.

Bahan-bahan bir ada di label minuman

ini: air, gandum, hop (tanaman lokal) ,

gula, dan. . . beras. Setiap bulan,

perusahaan mengolah 360 ton beras.

Hingga satu dekade lalu, pedagang dari

Pakistan menyediakan beras beras

impor dari Asia.

Pada tahun 2006, setelah perang

besar, Brel ima memutuskan untuk

mengambil perannya sendiri dalam

rekonstruksi sosial ekonomi Kongo.

Bekerja sama dengan petani padi

1 00 Persen Lokal untuk Bir Terkenal

setempat menjadi hal penting bagi

mereka. Saat ini 85 persen beras bahan

baku bir datang dari petani lokal. Kami

ingin nantinya semua bahan tersebut,

1 00 persen, berasal dari petani lokal.

Meskipun demikian, Bral ima bukan

satu-satunya pembeli beras lokal

tersebut. Persaingan bisnis sangat ketat.

Perusahaan tambang di daerah sana,

Banro misalnya, harus menyiapkan

setidaknya 1 0.000 porsi tiap hari dan

beras merupakan bagian utama dalam

menu tersebut. Pedagang besar seperti

DATCO dan OLIVE, menyediakan semua

kebutuhan produk. Mereka bahkan

mengimpor mayones dari Belgia ke toko

makanan dan supermarket. Kini mereka

pun mengurangi impor beras dari

Pakistan.

Salah satu alasannya karena

lamanya waktu pengiriman beras dari

Pakistan ke Kongo. “Butuh beberapa

tahun beras dari Pakistan bisa mencapai

Kongo. Karena itu beras sudah tidak

bagus lagi,” kata Ketal, Manajer DATCO

di Bukavu.

“Beberapa tahun terakhir, kami lebih

banyak membeli beras dari Tanzania.

Namun, kami tetap lebih menyukai beras

lokal,” Ketal menambahkan. Selain

membeli beras untuk tempat pengolahan

bir, DATCO juga membelinya untuk toko

makanan. “Konsumen lokal lebih suka

cita rasa beras lokal,” ujarnya.

Sejak tahun lalu, VECO mendukung

organisasi petani dan koperasi petani

padi Kongo di sungai Ruzizi , yang

berbatasan dengan Rwanda dan

Burundi. Dukungan VECO terutama agar

petani bisa menyimpan padinya dengan

baik sehingga bisa mengatur

penjualannya. Dengan demikian, petani

bisa menjual padi dengan harga lebih

tinggi. [Vredesei landen]

VECO sudah bekerja di Kongo Timur sejak beberapa dekade lalu. Meskipun kondisi di negara tersebut

masih labil akibat perang, namun organisasi petani di sana masih terus mendukung anggota-anggotanya.

Dan mereka berhasil.

Page 17: LONTAR April 2013

17LONTAR - #6 - 2013

Kabar Internasional

Dari perusahaan baja ke LSM pen-

dukung pertanian berkelanjutan,

tidakkah itu perubahan karier yang

tak biasa?

Sepertinya memang ini perubahan

yang tak biasa tapi tidak bagi saya.

Mencari ekonomi berkelanjutan selalu

menjadi bagian dalam karier saya.

Sejak kapan tertarik bekerja di LSM?

Saya selalu terpesona oleh kerja

sama pembangunan dan tema

internasional. Pada tahun 2008, saya

menjadi presiden Entrepreneurs for

Entrepreneurs (EFE) di mana saya

memil iki kesempatan menjembatani

perusahaan dan LSM. Ada dua sisi misi

lembaga ini . Pertama ingin mengumpul-

kan dana bagi proyek LSM yang men-

dukung kewirausahaan di Selatan dan

kedua ingin meningkatkan komunikasi

antara perusahaan-perusahaan dengan

LSM. Saya terutama bekerja di tema

kedua.

Dan karena itu Anda tahu tentang

VECO?

Tepat sekali . Sebagai Presiden EFE,

saya berdiskusi dengan Luuk Zonneveld

tahun lalu. Saya jadi tahu lebih banyak

tentang VECO. Visi dan misinya tiba-tiba

menggoda saya: mendorong kewirausa-

haan organisasi petani di Selatan, me-

ningkatkan pendapatan keluarga petani

dengan pengelolaan rantai pertanian,

dan di atas itu semua, mendukung cerita

lebih besar tentang keberlanjutan.

Citra seperti apa yang Anda punya

tentang VECO?

Nama, tentu saja, saya tahu sekali .

Saya juga memil iki gagasan apa yang

VECO perjuangkan. Saya tahu VECO

terl ibat dalam pertanian dan beberapa

isu lain terkait keberlanjutan. Juga ke-

beragaman dan visi bahwa LSM harus

keluar dari kandangnya sendiri untuk

melakukan perubahan nyata adalah hal-

hal yang membuat saya tertarik. Mem-

bangun jembatan antara perusahaan,

publik, dan organisasi lain menjadi daya

tarik terbesar bagi saya. Sejak tahun la-

lu, saya harus tahu VECO dengan lebih

baik.

Menurut Anda, apa yang dapat Anda

berikan kepada VECO?

Saya memiliki banyak pengalaman di

dunia bisnis dengan isu lingkungan, be-

kerja sama dengan banyak orang, dan

saya sering berhubungan dengan LSM

melalui EFE. Saya yakin bahwa pengeta-

huan tersebut akan berguna bagi VECO.

Luc Bonte, Direktur Baru Vredeseilanden

Sejak 1 April 2013 lalu, Luc Bonte menjadi direktur baru Vredeseilanden.

Dia menggantikan LuukZonneveld yang telah memimpin organisasi ini

selama empat setengah tahun. Sebelum di VECO, Luc adalah Direktur

Eksekutif industri baja Sidmar (ArcelorMittal Ghent). Dia pernah bekerja di

beberapa negara, seperti Brazil, Argentina, Amerika Serikat, Australia,

China, Kazakhstan, dan lain-lain. Tugas utamanya memastikan metode

terkait investasi dan kebijakan perawatan, manajemen produksi, struktur

personil, penggunaan air secara berkelanjutan, dan seterusnya.

Berikut obrolan dengan laki-laki dari Ghent, Belgia yang juga salah satu

pengguna awal energi matahari tersebut

Page 18: LONTAR April 2013

18 LONTAR - #6 - 2013

Profil

Apa enaknya bekerja dengan anak-

anak muda?

Banyak banget. Serasa menjadi

muda kembali 20 tahun. Hehehe. . Dari

segi hubungan, saya merasakan

hubungan emosional sangat positi f

dalam menumbuhkan semangat

"voluntary" mereka. Anak muda itu

sering kali membuat kita terbelalak.

Kadang kita meragukan mereka

apakah bisa kerja. Eh, ternyata mereka

punya potensi luar biasa untuk bisa

menunaikan tugas dengan sangat baik.

Ketika kita beri kepercayaan, mereka

ternyata bisa mempertanggung

jawabkannya. Saya kagum dengan

idealisme, semangat, dan cara mereka

bertanggung jawab.

Bagaimana melibatkan mereka dalam

program HFHL?

Prinsipnya beri mereka kepercayaan.

Jangan terlalu banyak mengatur harus

begini dan harus begitu. Kita cukup satu

dua kali memberikan arahan tentang apa

maksud kita. Mereka akan langsung

tanggap dan berkreasi. Jangan lupa juga

beri mereka sedikit puj ian sebelum kita

mengkritik karyanya. Pujian merupakan

energi positi f dan cukup kuat untuk

mengarahkan mereka menghasi lkan

karya lebih baik.

Mereka anak-anak muda yang masih

kul iah dan sekolah. Tanggung jawab

utama mereka belajar untuk meraih

prestasi akademis. Untuk itulah maka

pelibatan mereka dalam program HFHL

juga harus mempertimbangkan hal ini .

Kami selalu mengupayakan kegiatan

HFHL dilakukan ketika mereka sudah

punya waktu "bebas", artinya tidak lagi

berada dalam jam-jam sekolah ataupun

kuliah.

Sebagai media komunikasi internal

HFHL Solo Raya kita ada Facebook.

Melalui Facebook ini , kami sering

melakukan "koordinasi di langit" untuk

sebuah kegiatan. Kami selalu berdiskusi

tentang berbagai ide kreatif pelaksanaan

program HFHL. Di situ dituang

percakapan dengan gaya anak muda.

Kenapa harus melibatkan anak-anak

muda dalam program ini?

Anak-anak muda adalah pemil ik

masa depan. Masa depan bangsa ini di

tangan mereka. Nah, persoalan

sekarang ini adalah justru pada kalangan

anak-anak muda ini terbangun tren pola

konsumsi makanan serba instan. Fast

food. Cenderung tidak sehat. Ketika ada

"gerombolan" anak muda lain yang

cukup berani melawan tren dan

membangun tren sendiri yaitu pola

konsumsi makanan sehat, maka wooow

kereeeeenn. . . Ini menjadi modal sangat

kuat untuk melakukan penyadaran

konsumen pangan sehat di kalangan

anak anak muda.

Apa capaian paling menarik dalam

program HFHL di Solo?

Ada kegiatan Gerebeg Pangan Sehat

yang diselenggarakan HFHL Solo Raya.

Karena menarik maka dil iput banyak

media televisi dan cetak baik lokal

maupun nasional. Kegiatan tersebut

sekarang diadopsi Pemkot Solo dan

diagendakan sebagai even tahunan.

Selain itu, beberapa SKPD di Pemkot

Solo juga sudah mulai berbicara tentang

pangan sehat.

Untuk meraih capaian yang bagus

dan menarik tidak bisa kita lepaskan dari

jaringan. Karena tangan dan kaki kita

cuma dua, maka tidak mungkin meraih

dan mewujudkan great thing tanpa

bergandeng tangan dengan pihak lain.

Rini Merasa 20 TahunLebih Muda

Pengembangan komunitas anak-anak, dari TKsampai remaja, adalah

salah satu kemampuan Buddhi Hastanti Pancarini. Karena itu, ibu dua anak

ini mengaku amatmenikmati pekerjaan-pekerjaannya sebagai Petugas

Lapangan Program HealthyFoodHealthy Living (HFHL) Wilayah Solo Raya.

Sebelum di VECO Indonesia, Rini pernah menjadiManajerProgram

Yayasan Pengembangan Sosial Ekonomi untukTransformasiMasyarakat,

Karanganyar, Jawa Tengah. Alumni S2 Pendidikan Kependudukan dan

Lingkungan Hidup Universitas Negeri Solo ini pun selama 13 tahun terbiasa

bekerja di tengah masyarakat.

Rini menceritakan suka dukanya bekerja dengan anak-anakmuda dalam

program HFHL.

Foto-Foto: VECO Indonesia

Page 19: LONTAR April 2013

19LONTAR - #6 - 2013

TAHUKAH Anda, dari l ima tanaman

pangan utama Indonesia, hanya satu jenis

yang merupakan tanaman asli Indonesia?

Padilah satu-satunya tanaman asli negeri ini .

Adapun empat tanaman lain, yaitu jagung,

kedelai, ketela rambat, dan singkong

merupakan tanaman “pendatang”. Meskipun

demikian, budi daya padi pun baru dikenal

justru setelah orang-orang dari Asia bagian

utara datang ke Indonesia.

Begitulah salah satu fakta menarik di

buku Perjalanan Panjang Tanaman

Indonesia ini . Buku setebal 224 halaman ini

menjelaskan berbagai tanaman Indonesia

tak hanya sejarah tapi juga penggunaannya. Ada tujuh

bab dalam buku ini yang terbagi dalam empat bagian

besar, yaitu sejarah tanaman-tanaman di Indonesia saat

ini , pertanian di Indonesia, berbagai jenis tanaman di

Indonesia, serta refleksi tentang masa depan tanaman-

tanaman tersebut.

Untuk memudahkan klasifikasi, berbagai jenis

tanaman yang ditul is tersebut terbagi dalam tujuh jenis

yaitu tanaman di persawahan, tanaman di kebun,

tanaman di pekarangan, tanaman bumbu, tanaman obat,

tanaman hias, dan tanaman perkebunan.

Pada tiap jenis tanaman, seperti padi, kayu

putih, buah nangka, dan seterusnya,

terdapat penjelasan tentang asal-usul dan

penggunaannya.

Informasi dalam buku ini mungkin

bukan hal baru karena rata-rata penjelasan

tiap jenis tanaman itu relatif pendek, sekitar

500-1 .000 kata. Namun, menariknya buku

ini karena menjadikan semua jenis tana-

man itu dalam satu buku sehingga serupa

bunga rampai tentang tanaman-tanaman

tersebut.

Buku ini layak dibaca untuk mereka

yang ingin tahu tentang sejarah tanaman-tanaman di

Indonesia. Lebih sebagai pengetahuan, bukan bekal pan-

duan teknis. Refleksi oleh penulis yang juga mantan Di-

rektur Lembaga Biologi Nasional LIPI menjadikan buku ini

juga semacam tawaran menghadapi masa depan keberl-

anjutan tanaman di Indonesia.

Judul : Perjalanan Panjang Tanaman Indonesia

Penulis : Seti jati D. Sastrapradja

Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Oktober 201 2

Resensi

BERAWAL dari Prancis pada tahun

1 885, Credit Union (CU), lebih dikenal

dengan isti lah Koperasi Kredit (kopdit) di

Indonesia, kini menyebar di berbagai

belahan dunia. Indonesia hanya salah satu

negara di mana terdapat ribuan kopdit.

Kopdit lebih banyak tersebar di daerah-

daerah pelosok, termasuk Flores. Salah

satu provinsi dengan kopdit terbanyak di

Indonesia adalah Kalimantan Barat.

Lima pendiri dan pelaku kopdit di

Kalimantan membuat buku bersama

tentang perjalanan kopdit ini . Buku setebal

247 halaman ini membahas kopdit di

Indonesia dan pengalaman para penulis

mengelola kopdit. Buku ini terbagi dalam dua bagian

besar. Pertama seluk beluk kopdit dan karakteristik kopdit

berkelanjutan. Kedua, tentang pengalaman langsung para

penulis dalam mengelola kopdit.

Bagian pertama berjudul Tentang Credit Union terdiri

dari l ima bab, yaitu Cerita Credit Union, Fi losofi Credit

Union, Mengelola Pertumbuhan dan Siklus Hidup Credit

Union, Credit Union Berkelanjutan, dan Rencana Suksesi

di Credit Union. Adapun bagian kedua terdiri dari empat

bab yaitu Kisah Lima Sarjana, Pembebasan Masyarakat,

Melek Keuangan, dan Kebebasan Finansial.

Karena itu, secara umum, buku ini

menjelaskan landasan fi losofis tentang

kopdit, pengalaman empiris keberhasi lan

kopdit, serta motivasi pengembangan

kopdit berkelanjutan. Dengan tul isan

populer, buku yang diedit AM Lil ik Agung

ini memberikan informasi komprehensif

tentang kopdit meskipun terlalu fokus di

Kalimantan Barat.

Buku ini penting dibaca bagi para

pelaku usaha bisnis pertanian j ika ingin

belajar tentang keberhasi lan kopdit.

Sebab, kopdit i tu sendiri memang lahir dari

kalangan kaum tani yang menyadari

pentingnya jaringan kerja sama dalam

menghadapi kesul itan dan mengembangkan ekonomi.

Kopdit membuktikan bahwa petani ataupun kelompok

masyarakat kelas bawah lain pun bisa memil iki dan

mengelola usaha mereka sendiri . Buku ini membuka mata

untuk membaca sebagian cerita keberhasi lan tersebut.

Judul : Credit Union, Kendaraan Menuju

Kemakmuran

Penulis : Munaldus, Yuspita Karlena, dkk

Penerbit : Elex Media Komputindo, 201 2

Cerita Keberhasilan Koperasi Kredit di Kalimantan

Bunga Rampai Pengetahuan Tanaman Indonesia

Page 20: LONTAR April 2013

20 LONTAR - #6 - 2013