bab ii tinjauan pustaka - institutional repository...

32
21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Barang Bukti dan Macam-Macam Barang Bukti 1. Pengertian Barang Bukti Hukum Acara Pidana mempunyai tujuan untuk mencari dan mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan serta putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak-tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipermasalahkan 1 . Penanganan suatu perkara pidana mulai dilakukan oleh Penyidik setelah menerima laporan/pengaduan dari masyarakat atau diketahui sendiri tentang terjadinya tindak pidana atau menerima penyerahan tertangkap tangan, kemudian dituntut oleh Penuntut Umum dengan jalan melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri. Selanjutnya hakim melakukan apakah dakwaan Penuntut Umum terhadap terbukti atau tidak. a. Menurut KUHAP Pasal 1 butir 16 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut : “Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan." 1 Ratna Nurul Afiah, 1989, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 13-14.

Upload: phungbao

Post on 30-Apr-2018

224 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Barang Bukti dan Macam-Macam Barang Bukti

1. Pengertian Barang Bukti

Hukum Acara Pidana mempunyai tujuan untuk mencari dan mendekati

kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara

pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat

dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan

suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan serta putusan dari

pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak-tindak pidana telah

dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipermasalahkan1.

Penanganan suatu perkara pidana mulai dilakukan oleh Penyidik setelah

menerima laporan/pengaduan dari masyarakat atau diketahui sendiri tentang

terjadinya tindak pidana atau menerima penyerahan tertangkap tangan, kemudian

dituntut oleh Penuntut Umum dengan jalan melimpahkan perkara tersebut ke

Pengadilan Negeri. Selanjutnya hakim melakukan apakah dakwaan Penuntut Umum

terhadap terbukti atau tidak.

a. Menurut KUHAP

Pasal 1 butir 16 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :

“Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyidik untuk mengambil alih dan atau

menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,

berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,

penuntutan dan peradilan."

1 Ratna Nurul Afiah, 1989, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 13-14.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

22

Berdasarkan pengertian (penafsiran otentik/ Authentieke interpretatie)

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP tersebut dapat

disimpulkan bahwa benda yang disita/ benda sitaan yang dalam beberapa pasal

KUHAP (Pasal 8 ayat (3) huruf b, 40, 45 ayat (2), 46 ayat (2), 181 ayat (1), 194,

197 ayat (1) huruf I, 205 ayat (2) dinamakan juga sebagai “barang bukti”

berfungsi (berguna) untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan

dan peradilan2.

Dari perumusan Pasal 1 butir 16 dan beberapa pasal KUHAP sebagaimana

diterangkan di atas dapat disimpulkan bahwa benda sitaan yang berstatus sebagai

barang bukti tersebut adalah berfungsi untuk kepentingan pembuktian.

Oleh karena itu, penyitaan yang dilakukan guna kepentingan acara pidana

dapat dilakukan dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.

Dalam pelaksanaannya diadakan pembatasan-pembatasan antara lain keharusan

adanya izin Ketua Pengadilan Negeri setempat (Pasal 38 ayat (1) KUHAP).

Ketentuan tersebut dapat disimpangi, sebagaimana dikemukakan oleh Andi

Hamzah sebagai berikut :

Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera

bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu,

penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu

wajib segera melaporkan kepada ketua Pengadilan Negeri setempat guna

mendapatkan persetujuannya3.

b. Menurut Para Ahli

Terdapat beberapa definisi mengenai barang bukti sebagai berikut :

a. Barang bukti adalah benda yang digunakan untuk meyakinkan Hakim akan

kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang dituduhkan kepadanya;

barang yang dapat dijadikan sebagai bukti dalam suatu perkara4.

b. Barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan Penyidik dalam penyitaan dan

atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk mengambil alih dan

2 H. M. A. Kuffal, Op. Cit, hal. 111.

3 Andi Hamzah, 2004, Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 145.

4 Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, PT.

Gramedia, Jakarta, hal. 140.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

23

atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud

untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan5.

c. Barang bukti adalah apa-apa yang menjadi tanda sesuatu perbuatan (kejahatan

dan sebagainya)6.

d. Barang bukti adalah benda atau barang yang digunakan untuk meyakinkan

Hakim akan kesalahan Terdakwa terhadap perkara pidana yang dituntutkan

kepadanya7.

c. Barang Bukti Secara Umum

Istilah barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mengenai mana

delik dilakukan (obyek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat

yang dipakai untuk melakukan delik misalnya pisau yang dipakai untuk menikam

orang. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik, misalnya uang Negara

yang dipakai (korupsi) untuk membeli rumah pribadi, maka rumah pribadi itu

merupakan barang bukti, atau hasil delik8.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “bukti”-terjemahan dari

bahasa Belanda, bewijs-diartikan sebagai sesuatu yang menyatakan kebenaran

suatu peristiwa. Dalam kamus hukum, bewijs diartikan sebagai segala sesuatu yang

memperlihatkan kebenaran fakta tertentu atau ketidakbenaran fakta lain oleh para

pihak dalam perkara pengadilan, guna memberikan bahan kepada Hakim bagi

penilaiannya. Sementara itu, membuktikan berarti memperlihatkan bukti dan

pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan, atau cara membuktikan9.

Yang lain daripada yang tercantum dalam KUHAP kita, ialah real evidence

yang berupa objek materiil (materiil object) yang meliputi tetapi tidak terbatas atas

peluru, pisau, senjata api, perhiasan intan permata, televisi dan lain-lain.

Real evidence ini tidak termasuk alat bukti menurut Hukum Acara Pidana

kita (dan Belanda), yang bisa disebut “barang bukti”. Barang bukti berupa objek

materiil ini tidak bernilai jika tidak diidentifikasi oleh saksi (dan Terdakwa)10

.

5 Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana: Untuk Mahasiswa dan

Praktisi, Mandar Maju, Bandung, hal. 99-100. 6 Koesparmono Irsan, 2007, Hukum Acara Pidana, Jakarta, hal. 90.

7 Sudarsono, 2007, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 47.

8 Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 100.

9 Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, hal. 3.

10 Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 254-255.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

24

2. Macam-Macam Barang Bukti

Barang bukti adalah benda-benda yang biasa disebut Corpora Delicti dan

Instrumenta Delicti11

.

Corpora delicti dan instrumenta delicti sebagai barang bukti secara tersirat

dirumuskan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP menyebutkan, yang dapat dikenakan

penyitaan adalah

a. benda atau tagihan Tersangka atau Terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga

diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana;

b. benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk melakukan tindak pidana

atau untuk mempersiapkannya;

c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;

d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang

dilakukan.

Huruf a digolongkan Corpora delicti sedangkan huruf b, c, d dan e

digolongkan Instrumenta delicti.

Dalam hal tertangkap tangan, Penyidik berwenang melakukan penyitaan atas

benda-benda tersebut sebagai berikut:

a. Pasal 40 KUHAP, dalam hal tertangkap tangan Penyidik dapat menyita benda

dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk

melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang

bukti.

b. Pasal 41 KUHAP, dalam hal tertangkap tangan Penyidik berwenang menyita

paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya

dilakukan oleh Kantor Pos dan Telekomunikasi, Jawatan atau perusahaan

komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut

diperuntukkan bagi Tersangka atau yang berasal daripadanya dan untuk itu

kepada Tersangka dan atau kepada pejabat Kantor Pos dan telekomunikasi,

Jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan,

harus diberikan surat tanda penerimaan.

11

M. Karjadi dan R. Soesilo, 1997, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Penjelasan Resmi dan

Komentar, Politeia, Bogor, hal. 46.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

25

Menurut Pasal 194 ayat (1) KUHAP, apabila suatu tindak pidana terbukti,

maka terhadap barang bukti dari hasil kejahatan dikembalikan kepada yang berhak

menerima kembali yang namanya tercantum (saksi korban) tanpa syarat apapun dalam

putusan tersebut, kecuali menurut Undang-Undang harus dirampas untuk kepentingan

Negara atau dimusnahkan, atau dirusak, sehingga tidak dapat dipergunakan.

Pasal 194 ayat (2) KUHAP, barang bukti diserahkan segera sesudah sidang

selesai, misal untuk mencari nafkah harus segera dikembalikan atas pertimbangan

segi kemanusiaan12

. Pasal 194 ayat (3) KUHAP, putusan pengadilan belum

mempunyai kekuatan hukum tetap, barang bukti dapat diserahkan apabila memenuhi

syarat tertentu dalam keadaan utuh.

B. Alat Bukti dan Barang Bukti

1. Macam-Macam Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian

Dalam KUHAP macam-macam alat bukti diatur dalam Pasal 184 KUHAP yaitu

a. Keterangan Saksi;

b. Keterangan Ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk, dan

e. Keterangan Terdakwa.

Adapun penjelasan lebih lanjut alat-alat bukti sebagai berikut :

a. Keterangan Saksi, untuk lebih jelasnya ketentuan tersebut menyebutkan bahwa:

1) Pasal 1 angka 26 KUHAP, Saksi adalah orang yang dapat memberikan

keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang

12

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op. Cit. Hal. 113.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

26

suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

sendiri.

2) Pasal 1 angka 27 KUHAP, Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam

perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa

pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan

menyebut alasan-alasan dari pengetahuannya itu.

3) Pasal 185 ayat (1) KUHAP, keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang

saksi nyatakan di sidang pengadilan.

Pasal 185 ayat (1) KUHAP, Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa

yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Hal ini bertujuan agar Hakim dapat

menilai keterangan-keterangan saksi itu, yaitu tentang kebenaran keterangan saksi

apakah yang diterangkan tersebut sesuai yang ia lihat, ia dengar atau ia alami

sendiri13

.

Satu hal yang harus diperhatikan bahwa keterangan seorang Saksi tidak

cukup untuk membuktikan bahwa Terdakwa bersalah atas perbuatan yang

didakwakan (Pasal 185 ayat (2) KUHAP), apalagi jika Terdakwa mungkir atas

dakwaan itu. Ini berarti bahwa Hakim tidak boleh memberikan pidana kepada

Terdakwa hanya didasarkan kepada keterangan seorang Saksi. Tidak setiap

kejadian atau keadaan dapat disaksikan oleh seorang Saksi secara lengkap, akan

tetapi Pasal 185 ayat (4) KUHAP keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-

sendiri, dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah, jika keterangan saksi itu ada

hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, hingga dapat membenarkan

adanya suatu kejadian14

.

Keterangan saksi demikian ini disebut Kesaksian Berantai atau Ketting

Bewijs.

Kesaksian ini menurut S. M. Amin ada 2 :

a. Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam satu perbuatan;

b. Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam beberapa perbuatan15

.

Pasal 185 ayat (6) KUHAP, dalam menilai kebenaran keterangan seorang

saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan :

13

Ibid. hal. 91. 14

Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit. hal. 22. 15

M. Haryanto, Op. Cit. hal. 91.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

27

a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;

b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang

tertentu;

d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang ada pada umumnya

dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Menilai keterangan saksi dengan menghubungkan dengan keterangan saksi

lain, yang mungkin saling bertentangan, kemudian menghubungkan dengan alat

bukti yang lain serta keterangan kausal keterangan saksi dengan alat bukti lain,

merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Keterangan saksi yang tidak disumpah

meskipun bersesuaian satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti menurut

Pasal 185 ayat (7) KUHAP16

.

Saksi d’auditu menceritakan keterangan orang lain tentang suatu kejadian.

Keterangan saksi d’auditu bukan keterangan yang mempunyai nilai kesaksian atau

bukan alat bukti. Demikian juga keterangan saksi yang disusun oleh akal, atau

rekaan bukan merupakan kesaksian17

.

Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh Hakim,

walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat

keyakinan hakim yang bersumber pada alat dua alat bukti yang lain18

.

b. Keterangan Ahli

1) Pasal 1 angka 28 KUHAP, Keterangan Ahli ialah keterangan yang diberikan

oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk

membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

2) Pasal 186 KUHAP, Keterangan Ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di

sidang pengadilan.

Menurut ketentuan Pasal 186 KUHAP, dalam penjelasan dikatakan bahwa

keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh

16

Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit. hal. 21. 17

Ibid, hal. 22. 18

Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 261.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

28

Penyidik, atau Penuntut Umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan

dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.

Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh Penyidik dan

Penuntut Umum, maka pada pemeriksaan di sidang ahli, diminta untuk

memberikan keterangan dan dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan.

Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di

hadapan Hakim.

Merujuk pada ketentuan dalam KUHAP, keahlian dari seseorang yang

memberikan keterangan ahli tidak hanya berdasarkan pengetahuan yang ia miliki

melalui pendidikan formal, namun keahlian itu juga dapat diperoleh berdasarkan

pengalamannya. Patut diperhatikan KUHAP membedakan keterangan seorang ahli

di persidangan dan keterangan ahli secara tertulis yang disampaikan di depan

sidang pengadilan19

.

Sebagai suatu perbandingan, dapat dibaca pada California Evidence Code

definisi tentang “seorang ahli” sebagai berikut.

“A person is qualified to testify as an expert if he has special knowledge, skill,

experience, training, or education sufficient to qualify him as an expert on the

subject to which his testimony relates.”

(Seseorang dapat memberikan keterangan sebagai ahli jika ia mempunyai

pengetahuan, keahlian, pengalaman, latihan, atau pendidikan khusus yang

memadai untuk memenuhi syarat sebagai seorang ahli tentang hal yang berkaitan

dengan keterangannya)20

.

Jika seorang ahli memberikan keterangan lisan di depan sidang pengadilan

dan dicatat dalam berita acara oleh panitera21

dan di bawah sumpah disebut

keterangan ahli (Pasal 186 KUHAP), sedangkan jika seorang ahli di bawah

sumpah telah memberikan keterangan tertulis di luar persidangan dan keterangan

tersebut dibacakan di depan sidang pengadilan, keterangan ahli tersebut

merupakan alat bukti surat22

(Pasal 187 KUHAP).

19

Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit. hal. 106-107. 20

Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 268-269. 21

Alfitra, 2011, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, Raih Asa

Sukses, Jakarta, hal. 76. 22

Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit. hal. 106-107.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

29

Khusus terhadap “visum et repertum” sebagai suatu keterangan ahli

menurut Staatsblad 1937 No. 350 mempunyai kekuatan bukti. Pasal 1 Staatsblad

Tahun 1937 No. 350 menyatakan : “Visum et repertum” dari para dokter yang

dibuat sumpah jabatan, yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajaran

kedokteran di Nederland atau Indonesia, ataupun atas sumpah khusus seperti

dalam Pasal 2, dalam perkara pidana mempunyai kekuatan bukti, sepanjang visum

et repertum itu memuat keterangan tentang apa yang dilihat oleh Dokter itu pada

benda diperiksanya.

Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan atas dasar keahlian yang

ia miliki, yang memberikan penghargaan atas sesuatu keadaan dengan

memberikan kesimpulan pendapat, seperti hal kematian, maka saksi ahli akan

memberikan pendapat tentang sebab-sebab kematian, apakah dari keracunan

misalnya ataukah dari sebab yang lain23

.

Saksi dan ahli, oleh KUHAP dinyatakan sebagai alat bukti yang sah. Akan

tetapi keterangan saksi dan ahli yang diberikan tanpa disumpah tidak mempunyai

kekuatan pembuktian melainkan hanya dapat dipergunakan untuk menambah/

menguatkan keyakinan Hakim (Pasal 161 ayat (2) KUHAP)24

.

Isi keterangan ahli adalah penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata

ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal itu25

.

c. Surat

Definisi yang disebut surat dalam proses perdata juga berlaku bagi proses

pidana sebagai berikut : “Surat-surat adalah semua benda yang berisi tanda-tanda

baca yang dapat dimengerti yang dipergunakan untuk mengemukakan isi pikiran”.

Dengan demikian, maka foto-foto dari benda-benda lain, denah-denah

(plattegrond), gambar-gambar keadaan (situatie tekening), bukanlah termasuk

surat dalam proses pidana, tetapi merupakan tanda bukti umpama surat-surat yang

dicuri atau dipalsukan26

.

Pasal 187 KUHAP, Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1)

huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :

a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum

yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan

23

Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit. hal. 24. 24

Ibid. 25

M. Haryanto, Op. Cit. hal. 92. 26

A. Karim Nasution, 1975, Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana Jilid II, Jakarta, hal. 111.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

30

tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya

sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau

surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana

yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian

sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan

keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara

resmi dari padanya;

d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat

pembuktian yang lain.

Pasal 187 KUHAP, tidak diatur tentang pembuktian dengan surat, namun

pada asasnya maka aturan tentang kekuatan pembuktian dengan surat, bahwa

Hukum Acara Pidana tetap berlaku prinsip negatief wettelijk, bahwa tidak ada

alat-alat bukti yang dapat memaksa Hakim pidana untuk menjatuhkan hukuman,

kecuali ia yakin akan kesalahan Terdakwa bahwa ia telah melakukan tindak

pidana yang didakwakan27

.

Untuk klasifikasi Pasal 187 huruf a dan b, berupa berita acara sidang yang

dibuat panitera pengganti, panggilan, atau relaas sidang yang dibuat juru sita/ juru

sita pengganti, putusan hakim, akta jual beli, Berita Acara Pemeriksaan setempat,

dan sebagainya28

. Bukti surat atau tulisan demikian disebut akte. Akta ialah surat

tanda bukti berisi pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan, dsb.) tentang

peristiwa hukum yang dibuat menurut peraturan yang berlaku, disaksikan dan

disahkan oleh pejabat resmi29

.

Akte ialah suatu tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang

suatu peristiwa dan ditandatangani. Dengan demikian maka penandatanganan dari

seseorang dalam akte, seseorang tersebut diharapkan akan pertanggungjawaban

tentang kebenaran isi tulisan tersebut dalam akte. Dan akte dapat dibedakan dalam

beberapa jenis yakni akte autentik dan akte di bawah tangan.

Akte autentik adalah suatu akte yang dibuat dalam suatu bentuk tertentu

atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuatnya di wilayah yang

bersangkutan. Misalnya, Notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh menteri

27

Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit. hal. 25. 28

Lilik Mulyadi, 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia Perspektif,

Teoretis, Praktik, Teknik Membuat, dan Permasalahannya, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 106. 29

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit. hal. 30.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

31

kehakiman, yang berkuasa akte-akte di satu wilayah tertentu; juru sita, pegawai

pencatatan sipil, dan lain-lainnya merupakan pejabat umum yang diangkat untuk

suatu wilayah tertentu.

Contoh akte autentik, misalnya akte kelahiran memberikan bukti sempurna

tentang kelahiran seorang anak dari perkawinan antara suami A dan istri B.

Kekuatan bukti sempurna ini diartikan bahwa isi akte tersebut dianggap benar

oleh Hakim, kecuali jika ada bukti lawan yang mempunyai derajat atau senilai

yang mempunyai kekuatan melumpuhkan.

Dengan demikian hakim harus mempercayai akan kebenaran akte autentik

tersebut, sampai ada bukti lawan yang dapat melumpuhkannya. Di samping

mempunyai kekuatan bukti sempurna, maka akte autentik mempunyai kekuatan

mengikat kepada pihak-pihak yang menandatangani akte itu, sedang terhadap

pihak ketiga, akte autentik mempunyai kekuatan bukti bebas.

Berbeda dengan akte autentik, maka akte di bawah tangan tidak dibuat di

hadapan atau oleh pejabat umum, tetapi dibuat sengaja untuk dijadikan bukti,

misal akte di bawah tangan ialah kuitansi pembayaran, perjanjian sewa-menyewa

rumah tinggal. Akte di bawah tangan oleh pihak-pihak dibubuhi pernyataan

(legalisasi artinya mengesahkan) oleh Notaris atau Hakim Pengadilan Negeri,

Bupati, dan Walikota. Misalnya akte lahir dilegalisasi oleh Ketua/ Hakim

Pengadilan Negeri, artinya yang disahkan ialah tanda tangan pejabat pada

pencatatan sipil tersebut30

.

Kekuatan pembuktian surat diserahkan kepada pertimbangan Hakim, tetapi

dalam hal ini yang dapat dipertimbangkan hanya akta autentik, sedangkan surat di

bawah tangan tidak dapat dipertimbangkan dalam Hukum Acara Pidana31

. Selain

akte, terdapat surat biasa yang dibuat bukan untuk dijadikan bukti32

.

Pasal 187 huruf c KUHAP, seperti visum et repertum, surat keterangan

ahli tentang sidik jari33

(daktiloskopi), surat keterangan ahli tentang balistik

(Balistik ialah berkaitan dengan balistika atau benda bergerak menurut hukum

30

Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit. hal. 25-27. 31

M. Haryanto, Op. Cit. hal. 93. 32

Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit. hal. 27. 33

Sidik Jari ialah penyelidikan bekas jari untuk mengetahui dan membeda-bedakan orang (dengan

meneliti garis-garis rekaman ujung jari); rekaman jari; cap jempol. Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit., hal. 1302.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

32

balistika.)34

, surat keterangan ahli tentang kedokteran forensik35

, surat keterangan

ahli tentang kedokteran kehakiman.

Di dalam ketentuan huruf d (Pasal 187 KUHAP) tersebut dengan tegas

dinyatakan bentuk ‘surat lain’ hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan

isi dari alat pembuktian yang lain. Jadi, bentuk ‘surat lain’ yang diatur dalam

huruf d ‘hanya dapat berlaku jika isinya mempunyai hubungan dengan alat

pembuktian yang lain’. Menurut logikanya, suatu surat yang harus tergantung

pada alat bukti yang lain, tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti. Sebab kalau

sesuatu alat bukti masih terus digantungkan pada alat bukti lain, tentu belum

melekat sifat alat bukti. Artinya, kalau ‘surat lain’ digantungkan pada alat bukti

lain, baru bernilai sebagai alat bukti, sudah jelas pada diri bentuk ‘surat lain’ tadi

tidak terdapat suatu nilai alat bukti. Dengan demikian, bentuk ‘surat lain’ ini tidak

dapat dikategorikan alat bukti surat36

.

d.Petunjuk

Pasal 188 KUHAP

(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena

persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan

tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak

pidana dan siapa pelakunya.

(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :

a. keterangan saksi;

b. surat;

c. keterangan terdakwa.

(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap

keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia

mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan

berdasarkan hati nuraninya.

Alfitra mengutip pendapat P. A. F. Lamintang mengatakan, petunjuk

memang hanya merupakan dasar yang dapat dipergunakan oleh Hakim untuk

34

Balistika ialah ilmu tentang gerak atau dorongan proyektil (peluru meriam ditembakkan, peluru

kendali yang diluncurkan, dsb.) termasuk proses dan kekuatannya. Ibid, hal. 127. 35

Kedokteran Forensik ialah ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penerapan ilmu pengetahuan

medis bagi persoalan hukum pidana dan kejahatan dengan menggunakan fakta-fakta medis;

yurisprudensi kedokteran; yurisprudensi medis. Ibid, hal. 338. 36

Lilik Mulyadi, Op. Cit. hal. 107.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

33

menganggap suatu kenyataan sebagai terbukti, atau dengan perkataan lain

petunjuk itu bukan merupakan suatu alat bukti seperti misalnya keterangan saksi

yang secara tegas mengatakan tentang terjadinya suatu kenyataan, melainkan ia

hanya merupakan suatu dasar pembuktian belaka, yakni dari dasar pembuktian

mana kemudian Hakim dapat menganggap suatu kenyataan itu sebagai terbukti,

misalnya karena adanya kesamaan antara kenyataan tersebut dengan kenyataan

yang dipermasalahkan37

.

Kiranya orang dapat mengetahui bahwa pembuktian yang didasarkan pada

petunjuk-petunjuk di dalam berbagai alat bukti itu, tidak mungkin akan dapat

diperoleh oleh Hakim tanpa mempergunakan suatu redenering atau suatu

pemikiran tentang adanya suatu persesuaian antara kenyataan yang satu dengan

kenyataan yang lain, atau antara suatu kenyataan dengan tindak pidananya

sendiri38

.

Alfitra mengutip pendapat Wirjono Prodjodikoro, apa yang disebut

sebagai petunjuk sebenarnya bukan alat bukti, melainkan kesimpulan belaka yang

diambil dengan menggunakan alat-alat bukti sah yang lain, yaitu keterangan saksi,

surat, dan keterangan terdakwa39

.

Perbuatan, kejadian, atau keadaan bertalian dengan alat bukti petunjuk

adalah “fakta hasil pembuktian dari pemeriksaan persidangan” yang didukung

oleh alat-alat bukti. Fakta tersebut berupa perbuatan, kejadian, atau keadaan yang

masing-masing berdiri sendiri-sendiri belum memenuhi unsur perbuatan pidana.

Baru berkualifikasi sebagai unsur perbuatan pidana kalau fakta-fakta tersebut

dirangkai satu sama lain, maupun dirangkai dengan tindak pidana itu sendiri

melalui analisis hukum40

.

Kata persesuaian Pasal 188 ayat (1) KUHAP, adanya syarat yang satu dan

yang lain harus dapat persesuaian, berakibat bahwa sekurang-kurangnya perlu ada

dua petunjuk untuk memperoleh bukti yang sah atau sebuah alat bukti petunjuk

dengan satu buah bukti lain ada persesuaian dalam keseluruhan yang dapat

menimbulkan alat bukti. Dengan kata lain merupakan kekuatan utama petunjuk

sebagai alat bukti karena kesesuaian tersebut antara yang satu dengan yang lain

dalam hal perbuatan, kejadian, atau keadaan, maka hakim menjadi yakin akan

perbuatan yang dilakukan Terdakwa41

.

Dalam penerapannya kepada Hakimlah diletakkan kepercayaan untuk

menetapkan apakah suatu perbuatan, kejadian, atau keadaan merupakan petunjuk.

37

Alfitra, Op. Cit. hal. 102. 38

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op. Cit. hal. 79. 39

Alfitra, Op. Cit, hal. 108. 40

Hendar Soetarna, 2011, Hukum Pembuktian Dalam Acara Pidana, PT. Alumni, Bandung, hal. 76-77. 41

Alfitra, Op. Cit., hal. 105.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

34

Pasal 188 ayat (2) KUHAP, hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi,

surat, keterangan terdakwa (de waarneming van de rechter). Dengan kata lain

serta diperlukan apabila alat bukti lain belum mencukupi batas minimum

pembuktian. Pada prinsipnya dalam praktik penerapan alat bukti petunjuk cukup

rumit dan tidak semudah yang dibayangkan secara teoritis. Walaupun demikian,

hal ini bukanlah berarti bahwa alat bukti petunjuk tidak penting eksistensinya.

Menurut para praktisi dan yurisprudensi alat bukti petunjuk cukup penting

eksistensinya dan apabila bukti tersebut diabaikan, akan menyebabkan putusan

yudex facti dibatalkan Mahkamah Agung Republik Indonesia42

.

Menurut A. Hamzah, jika diperhatikan Pasal 188 ayat (3) KUHAP yang

menyatakan bahwa untuk menilai kekuatan alat bukti petunjuk adalah kecermatan

dan kesaksamaan berdasarkan hati nurani Hakim pada waktu pemeriksaan di

muka sidang yang dilakukannya dengan arif dan bijaksana. Kecermatan dan

kesaksamaan Hakim di sini adalah “pengamatan Hakim” di muka sidang. Jadi,

sebenarnya KUHAP telah mengakui pentingnya peranan pengamatan Hakim

sebagai alat bukti, tetapi tidak secara tegas dicantumkan dalam Pasal 184

KUHAP43

.

Pembuktian sebagian besar perkara pidana, sering harus didasarkan atas

petunjuk-petunjuk. Hal ini adalah seseorang yang melakukan kejahatan, terlebih-

lebih mengenai tindak pidana yang berat, akan melakukannya dengan terang-

terangan. Selalulah pelakunya akan berusaha menutupi perbuatannya dalam tabir

kegelapan. Hanya karena dengan dapat diketahuinya keadaan-keadaan tertentulah

tabir tersebut kadang-kadang dapat terungkap, sehingga kebenaran yang ingin

disembunyikan dapat ditemukan44

.

Di sini tercermin bahwa pada akhirnya persoalannya diserahkan kepada

Hakim. Dengan demikian menjadi sama dengan pengamatan Hakim sebagai alat

bukti. Apa yang disebut pengamatan oleh Hakim (eigen waarneming van de

rechter) harus dilakukan selama sidang, apa yang telah dialami atau diketahui oleh

Hakim sebelumnya tidak dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau

perbuatan atau peristiwa itu telah diketahui oleh umum45

.

Apabila diperhatikan dari rumusan Pasal 188 ayat (1 dan 3) KUHAP,

maka pada akhirnya untuk menilai kekuatan pembuktian dari petunjuk diserahkan

kepada Hakim. Ini berarti bahwa petunjuk sama dengan pengamatan oleh Hakim

42

Lilik Mulyadi, 2012, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus Dalam Teori dan Praktik, PT.

Alumni, Bandung. hal. 502-503. 43

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op. Cit. hal. 76. 44

A. Karim Nasution, Jilid III, Op. Cit. Hal. 31. 45

Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 272.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

35

(eigen waarneming van de rechter). Jika memang demikian, maka pengamatan

sendiri oleh seorang Hakim harus dilakukan selama sidang (dalam persidangan)46

.

e. Keterangan Terdakwa

1) Pasal 1 angka 15 KUHAP, Terdakwa adalah seorang Tersangka yang dituntut,

diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.

2) Pasal 189 KUHAP

(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang Terdakwa nyatakan di sidang tentang

perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk

membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung

oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan

kepadanya.

(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia

bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan

harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Keterangan terdakwa yang diberikan dalam persidangan merupakan alat

bukti. Keterangan tersebut berisi pernyataan Terdakwa tentang apa yang ia

perbuat, apa yang ia ketahui, dan apa yang ia alami47

.

46

M. Haryanto, Op. Cit. Hal. 94. 47

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op. Cit. hal. 96.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

36

Keterangan terdakwa yang dikatakan mengandung nilai pembuktian yang

sah sebagai berikut:

a. Keterangan harus dinyatakan di depan sidang pengadilan.

b. Isi keterangan terdakwa mengenai perbuatan yang dilakukan terdakwa, segala

hal yang diketahuinya, dan kejadian yang dialaminya sendiri.

c. Keterangan tersebut hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri (Pasal

189 ayat (3) KUHAP). Artinya mengenai memberatkan atau meringankan

keterangan terdakwa di sidang pengadilan, hal itu berlaku terhadap dirinya

sendiri dan tidak boleh dipergunakan untuk meringankan atau memberatkan

orang lain atau Terdakwa lain dalam perkara yang sedang diperiksa.

d. Keterangan tersebut tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah

melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai

dengan alat bukti yang lain48

(Pasal 189 ayat (4) KUHAP).

Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang (keterangan tersangka)

dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan

itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang

didakwakan kepadanya (tafsiran a contrario49

dari Pasal 189 ayat (2) KUHAP).

Sedangkan terhadap keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang

hanya dapat digunakan dalam eksistensinya “membantu” menemukan bukti di

sidang pengadilan. Dalam praktik, KUHAP yang tidak mengejar “pengakuan

Terdakwa” pada tahap pemeriksaan di depan persidangan Terdakwa dijamin

kebebasannya dalam memberikan keterangannya (Pasal 52 KUHAP), dilarang

diajukan pertanyaan bersifat menjerat terhadap Terdakwa (Pasal 166 KUHAP),

Terdakwa berhak untuk tidak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya

(Pasal 175 KUHAP) sehingga Hakim dilarang menunjukkan sikap atau

mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau

tidaknya Terdakwa (Pasal 158 KUHAP). Begitupun sebaliknya, walaupun

keterangan Terdakwa berisikan “pengakuan” tentang perbuatan yang ia lakukan,

barulah mempunyai nilai pembuktian apabila didukung dan berkesesuaian dengan

alat bukti lainnya (Pasal 184 ayat (1) huruf a, b, c, dan d KUHAP)50

.

Pada prinsipnya keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dan

dapat dipergunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang asal didukung

suatu alat bukti sah lainnya. Dalam praktik peradilan lazimnya terhadap

keterangan terdakwa ketika diperiksa Penyidik kemudian keterangan tersebut

48

Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit. hal. 112. 49

Tafsiran a Contrario (Ind.) ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada

perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu Pasal undang-

undang. Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal

yang dihadapi itu tidak diliputi oleh Pasal yang termaksud atau dengan kata lain berada di luar Pasal

tersebut. Sudarsono, Op. Cit. hal. 472. 50

Lilik Mulyadi, Op. Cit. hal. 504-505.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

37

dicatat dalam Berita Acara Penyidik dan Terdakwa. Konkrit dan singkat

keterangan terdakwa dalam BAP yang dibuat penyidik. Jika ditelaah lebih lanjut,

keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang harus didukung oleh suatu alat

bukti lain yang sifatnya adalah limitatif oleh karena jika Judex facti51

mempermasalahkan terdakwa hanya berdasarkan keterangan terdakwa yang

diberikan di luar sidang, tanpa diperkuat alat bukti lain yang sah52

.

Pasal 189 ayat (4) KUHAP, keterangan terdakwa tidak menghilangkan

syarat minimum pembuktian. Jadi meskipun seorang Terdakwa mengaku, tetap

harus dibuktikan dengan alat bukti yang lain, karena yang dikejar kebenaran

material53

.

Hanya keterangan terdakwa di depan sidang pengadilanlah yang menjadi

alat bukti. Keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang sempurna harus disertai

keterangan yang jelas tentang keadaan-keadaan yang berkaitan dengan tindak

pidana dilakukan olehnya. Keterangan tersebut, semua atau sebagian, harus cocok

dengan keterangan korban atau dengan alat-alat bukti lainnya54

.

Pada hakikatnya, dengan adanya “pencabutan/ penarikan” maka korelasi

keterangan terdakwa terhadap BAP adalah :

a) Apabila alasan “pencabutan/ penarikan” keterangan tersebut beralasan,

keterangan yang diberikan dalam BAP dianggap tidak benar. Oleh karena itu,

keterangan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti sebagaimana

ketentuan Pasal 183 KUHAP sehingga keterangan terdakwa yang diterapkan

adalah sebagaimana ketentuan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, yakni apa yang

terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia

ketahui sendiri atau alami sendiri.

b) Apabila “pencabutan/ penarikan” keterangan tersebut tidak dibenarkan karena

tidak logis dan tidak beralasan yang kuat (irasional), BAP tetap dianggap

benar dan merupakan bukti petunjuk tentang kesalahan terdakwa55

.

Memang disatu pihak secara teoritis dan yuridis Terdakwa mempunyai hak

untuk mungkir (menolak; tidak mengaku(i); menyangkal), adanya jaminan hak

51

Judex Facti ialah hakim mengenai fakta-fakta; maksudnya hakim yang memeriksa tentang

duduknya permasalahan perkara yang berhubungan langsung dengan fakta-faktanya yaitu hakim

tingkat pertama dan hakim tingkat banding (tidak termasuk hakim kasasi). Sudarsono, Op. Cit. hal. 199. 52

Lilik Mulyadi, Op. Cit. hal. 114-115. 53

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op. Cit. hal. 97. 54

Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit. hal. 114. 55

Lilik Mulyadi, Op. Cit. hal. 117-118.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

38

asasi Terdakwa dalam KUHAP untuk memberi keterangan secara bebas karena

pada hakikatnya keterangan terdakwa merupakan keterangan yang Terdakwa

nyatakan di sidang tentang ia lakukan atau ia lakukan sendiri atau alami sendiri56

.

Sehingga kekuatan pembuktian keterangan terdakwa diserahkan kepada Hakim57

.

2. Korelasi Barang Bukti dan Alat Bukti

Bila memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut Pasal 184 ayat (1) KUHAP,

tidak tampak adanya hubungan antara barang bukti dan alat bukti. Pasal 183 KUHAP

mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada Terdakwa, harus :

- Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;

- Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, Hakim

“memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

Terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Namun demikian Pasal 181 KUHAP mengatur mengenai pemeriksaan barang

bukti persidangan,

(1) Hakim Ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan

menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 undang-undang ini.

(2) Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada Saksi.

Barang bukti itu sangat penting bagi Hakim untuk mencari dan menemukan

kebenaran materiil atas perkara yang sedang ia tangani atau periksa. Barang bukti dan

alat bukti merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Dalam

persidangan, untuk mengejar kebenaran apa yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum

maka setelah memeriksa Terdakwa dan Saksi, Hakim pun memperlihatkan barang

bukti tersebut, dan menanyakan kepada Terdakwa dan Saksi apakah ia mengenal

barang bukti tersebut, dan apakah betul barang bukti tersebut yang dicuri oleh

Terdakwa dan apakah benar barang bukti itu adalah milik Saksi, dan seterusnya58

.

56

Ibid, hal. 116. 57

M. Haryanto, Op. Cit. Hal. 95. 58

Ratna Nurul Afiah, Op. Cit., hal. 19.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

39

Apabila dikaitkan antara Pasal 184 ayat (1) dengan Pasal 181 ayat (3)

KUHAP, maka barang bukti akan menjadi :

a. Keterangan saksi, jika keterangan tentang barang bukti dimintakan kepada Saksi.

b. Keterangan terdakwa, jika keterangan tentang barang bukti diminta kepada

Terdakwa59

.

c. Keterangan ahli, jika seorang ahli memberikan keterangan secara lisan terkait

dengan barang bukti di sidang pengadilan.

d. Petunjuk, barang bukti pengganti merupakan petunjuk bagi Hakim untuk

menyatakan Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana, apabila ada korelasi

dengan barang bukti atau dengan barang bukti yang lain.

e. Surat, jika seorang ahli memberikan keterangan secara tertulis di luar persidangan

terkait dengan barang bukti yang dimintakan keterangan kepadanya.

Dengan demikian barang bukti memiliki peranan penting dalam mendukung

upaya bukti dalam persidangan, sekaligus memperkuat dakwaan Jaksa Penuntut

Umum terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa, serta dapat membentuk

dan menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan Terdakwa. Itulah sebabnya Jaksa

Penuntut Umum semaksimal mungkin harus mengupayakan atau menghadapkan

barang bukti selengkap-lengkapnya di sidang pengadilan60

.

3. Peranan Barang Bukti Dalam Pembuktian

Tentang peranan barang bukti dalam pembuktian dapat diketahui dari

perumusan Pasal-Pasal sebagai berikut :

a. Pasal 45 KUHAP

(1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang

membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan

pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum

tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi,

sejauh mungkin dengan persetujuan Tersangka atau kuasanya dapat diambil

tindakan sebagai berikut:

59

Ibid, hal. 20. 60

Ibid, hal. 21-22.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

40

a. apabila perkara masih ada ditangan Penyidik atau Penuntut Umum, benda

tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh Penyidik atau Penuntut

Umum, dengan disaksikan oleh Tersangka atau kuasanya;

b. apabila perkara sudah ada di tangan pengadilan, maka benda tersebut dapat

diamankan atau dijual lelang oleh Penuntut Umum atas izin Hakim yang

menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh Terdakwa atau kuasanya.

(2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai

barang bukti.

(3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian dari

benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak

termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk

dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.

b. Pasal 181 KUHAP

(1) Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan

menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 undang-undang ini.

(2) Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada Saksi.

(3) Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan

atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada Terdakwa atau Saksi dan

selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu.

Menurut Andi Hamzah bahwa “Barang Bukti adalah sesuatu untuk

meyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian atau dakwaan. Sedangkan

menurutnya alat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang

diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana

dakwaan di sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksian,

keterangan ahli, surat dan petunjuk sedang dalam perkara perdata termasuk

persangkaan dan sumpah61

.

Secara material, barang bukti berguna bagi Hakim untuk menyandarkan

keyakinannya. Hakim tidak harus yakin bahwa terdakwa telah bersalah melakukan

tindak pidana yang didakwakan, meskipun alat-alat bukti yang sudah memenuhi

syarat pembuktian62

.

61

Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 99. 62

Alfitra, Op. Cit. hal. 129-130.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

41

Barang bukti dengan alat bukti adalah berbeda, namun kedua hal tersebut

ada hubungannya satu dengan yang lain yaitu untuk kepentingan pembuktian

peristiwa pidana dan dapat menambah keyakinan hakim dalam menjatuhkan

putusan di persidangan. Barang bukti setelah digunakan di persidangan, statusnya

akan diputus oleh hakim di dalam putusannya. Hakim akan menetapkan di dalam

putusannya tentang barang bukti untuk dikembalikan kepada yang paling berhak,

dirampas untuk kepentingan negara atau dirampas untuk dimusnahkan63

.

Dalam persidangan tidak selamanya barang bukti itu tetap berupa benda

yang disita semula oleh Penyidik. Adakalanya yang dihadapkan ke persidangan

adalah barang bukti pengganti, karena barang bukti semula atau aslinya telah dijual

lelang berdasarkan Pasal 45 KUHAP.

Ada pula barang bukti pengganti di persidangan, tetapi tidak ada

hubungannya dengan Pasal 45 KUHAP. Melainkan memang semula benda tersebut

disita oleh penyidik sebagai barang bukti yang asli, misalnya barang yang dicuri itu

adalah gelang emas, kemudian pada waktu Tersangka tertangkap, gelang emas

tersebut telah dijual dan uang hasil penjualannya itu dibelikan pakaian. Dalam

keadaan begini maka pakaian itulah yang disita oleh Penyidik sebagai barang

bukti.

Dalam Pasal 181 KUHAP secara material barang bukti berguna untuk

menyandarkan keyakinan hakim yang diajukan dalam persidangan, oleh karena itu

Ratna Nurul Afiah mengatakan :

Bagi Hakim untuk memperlihatkan barang bukti kepada terdakwa maupun

saksi karena barang bukti merupakan alat pembuktian dan penambah keyakinan

Hakim atas kesalahan Terdakwa. Diperlihatkannya barang bukti tersebut untuk

menjaga jangan sampai barang bukti yang tidak ada sangkut pautnya dengan

perkara Terdakwa dijadikan bahan bukti, disamping untuk menjaga tertukarnya

barang bukti tersebut, sehingga jangan sampai barang yang dijadikan bahan bukti

tidak dikenal oleh Terdakwa atau Saksi64

.

63

Gatot Supramono, 2008, Bagaimana Mendampingi Seseorang di Pengadilan (Dalam Perkara Pidana dan

Perkara Perdata), Djambatan, Jakarta, hal. 38-39. 64

Ratna Nurul Afiah, Op. Cit., hal. 175.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

42

C. Sistem Atau Teori Pembuktian

Di dalam hakim memeriksa perkara pidana dan selanjutnya akan menjatuhkan

putusan terhadap perkara yang diperiksanya butuh adanya pembuktian apakah yang

didakwakan oleh Penuntut Umum dapat dibuktikan sehingga dapat dipakai sebagai

dasar untuk menyatakan Terdakwa bersalah serta dasar untuk menjatuhkan pidana

kepada Terdakwa65

.

Dalam Hukum Acara Pidana dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian,

yaitu sebagai berikut :

1. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Undang-Undang Secara Positif (Positief

Wettelijke Bewijs Theorie)

Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang disebut

Undang-Undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasar Undang-Undang

positif (positief wettelijk bewijstheorie). Dikatakan secara positif, karena hanya

berdasarkan Undang-Undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan

sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan

Hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal

(formele bewijstheorie).

Singkatnya, Undang-Undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti

mana yang dapat dipakai Hakim, cara Hakim harus mempergunakan kekuatan alat-

alat bukti tersebut dan cara Hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang

sedang diadili. Dalam aspek ini, Hakim terikat kepada adagium66

kalau alat-alat bukti

tersebut telah dipakai sesuai ketentuan Undang-Undang, Hakim mesti menentukan

Terdakwa bersalah, walaupun Hakim “berkeyakinan” bahwa sebenarnya Terdakwa

65

M. Haryanto, Op. Cit. Hal. 85. 66

Adagium merupakan pepatah; peribahasa: sebuah – Latin menyatakan “Ubi societas, ibi justicia”, artinya di

mana ada masyarakat dan kehidupan di sana ada hukum (keadilan).

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit. hal. 7.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

43

bersalah. Begitu pun sebaliknya, apabila tidak dapat dipenuhi cara mempergunakan

alat bukti sebagaimana ditetapkan Undang-Undang, Hakim harus menyatakan

Terdakwa tidak bersalah walaupun menurut “keyakinannya” sebenarnya Terdakwa

bersalah67

.

Menurut yang pertama yaitu disebut “ajaran positif menurut hukum” yang

diterapkan dalam proses inquisitoir pada masa-masa lalu, maka alat-alat serta dasar-

dasar pembuktian ditentukan dalam Undang-Undang dan Hakim sangat terikat

padanya. Menurut sistem ini, Hakim harus menyatakan sebagai terbukti hal-hal yang

telah disimpulkan dari sejumlah alat-alat pembuktian berdasarkan Undang-Undang

sedang keyakinannya menurut hati nuraninya tidak boleh memegang peranan sama

sekali68

.

Teori pembuktian ini ditolak juga oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di

Indonesia, karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain

dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, keyakinan

seorang Hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan

keyakinan masyarakat69

.

2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Melulu (Conviction

Intime)

Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian menurut

Undang-Undang secara positif, ialah teori pembuktian menurut keyakinan Hakim

melulu. Teori ini disebut juga conviction intime.

67

Lilik Mulyadi, Op. Cit. hal. 193. 68

A. Karim Nasution, Op. Cit. hal 27. 69

Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 247.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

44

Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan Terdakwa sendiri pun tidak selalu

membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin Terdakwa

benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini,

pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam Undang-

Undang70

.

Dalam perkembangannya, lebih lanjut sistem pembuktian berdasarkan

keyakinan Hakim mempunyai dua bentuk polarisasi yaitu : “Conviction Intime” dan

“Conviction Raisonee”. Melalui sistem pembuktian “Conviction Intime”, kesalahan

Terdakwa bergantung kepada “keyakinan” belaka, sehingga Hakim tidak terikat oleh

suatu peraturan (bloot gemoedelijk overtuiging, conviction intime).

Apabila dikaji secara detail, mendalam dan terinci, penerapan sistem

penerapan sistem pembuktian “Conviction Intime” mempunyai bias subyektif, yaitu :

“Apabila pembuktian conviction-intime menentukan salah tidaknya Terdakwa,

semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” Hakim. Keyakinan Hakimlah

yang menentukan keterbuktian kesalahan Terdakwa. Dari mana Hakim menarik dan

menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan

boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam

sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan Hakim

dan langsung menarik kesimpulan dari keterangan atau pengakuan Terdakwa. Sistem

pembuktian conviction-intime ini, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim

dapat menjatuhkan hukuman pada seorang Terdakwa semata-mata atas “dasar

keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, Hakim

leluasa membebaskan Terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun

kesalahan Terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama

Hakim tidak yakin atas kesalahan Terdakwa. Jadi dalam sistem pembuktian

conviction-intime, sekalipun kesalahan Terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian

yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan Hakim. Sebaliknya, walaupun

kesalahan Terdakwa “tidak terbukti” berdasar alat-alat bukti yang sah, Terdakwa bisa

dinyatakan bersalah semata-mata atas “dasar keyakinan” Hakim. Keyakinan

Hakimlah yang paling “dominan” atau yang paling menentukan salah atau tidaknya

Terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan

Terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib Terdakwa kepada

keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud

kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.”

Pada sistem pembuktian “Conviction Raisonee” keyakinan hakim tetap

memegang peranan penting untuk menentukan kesalahan Terdakwa. Akan tetapi,

penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan secara selektif dalam arti keyakinan

hakim “dibatasi” dengan harus didukung oleh “alasan-alasan jelas dan rasional”

dalam mengambil keputusan71

.

70

Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 248. 71

Lilik Mulyadi, Op. Cit. hal. 195-196.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

45

Menurut sistem ini tidak diakui aturan-aturan pembuktian yang obyektif untuk

kekuatan pembuktian (bewijskracht), dan menyerahkan segala sesuatunya pada dasar-

dasar penilaian subyektif dari Hakim. Dengan sendirinya sistem ini juga

menyampingkan setiap alasan yang menjadi dasar dari sesuatu keputusan Hakim72

.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, sistem pembuktian demikian yang pernah

dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem

ini katanya memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar

keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun.

Menurut Andi Hamzah, pengadilan adat dan swapraja pun memakai sistem

keyakinan hakim melulu selaras dengan kenyataan bahwa pengadilan-pengadilan

tersebut dipimpin oleh hakim-hakim yang bukan ahli (berpendidikan) hukum.

Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit

diawasi. Disamping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan

pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan

keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan.

Pelaksanaan pembuktian seperti pemeriksaan dan pengambilan sumpah saksi,

pembacaan berkas perkara terdapat pada semua perundang-undangan acara pidana,

termasuk sistem keyakinan hakim melulu (conviction intime)73

.

3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan yang

Logis (La Conviction Raisonnee)

Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian yang

berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu (la conviction raisonee). Menurut

teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya,

keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu

kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian

tertentu. Jadi, putusan hakim yang dijatuhkan dengan suatu motivasi.

Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim

bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie).

Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar keyakinan

hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Yang pertama yang tersebut

di atas yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction

72

A. Karim Nasution, Op. Cit. hal. 28. 73

Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 248-249.

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

46

rasionee) dan yang kedua ialah teori pembuktian berdasar undang-undang secara

negatif (negatief wettelijk bewisjtheorie).

Persamaan antara keduanya ialah keduanya sama berdasar atas keyakinan

hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim

bahwa ia bersalah74

.

Perbedaan ialah bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak pada

keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus berdasarkan kepada suatu kesimpulan

(conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi

ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya

sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan75

.

Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang

ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan

keyakinan hakim.

Jadi dapat disimpulkan bahwa perbedaannya ada dua yaitu yang pertama

pangkal tolak pada keyakinan hakim, sedangkan yang kedua pada ketentuan undang-

undang. Kemudian pada yang pertama dasarnya ialah suatu konklusi yang tidak

didasarkan undang-undang, sedangkan yang kedua didasarkan kepada ketentuan

undang-undang yang disebut limitatif76

.

4. Teori Pembuktian Berdasar Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk)

Istilah “negatiefe-wettelijke” berarti “wettelijk”, adalah berdasarkan Undang-

Undang, sedang “negatief” adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat

cukup bukti sesuai dengan Undang-Undang, maka Hakim belum boleh menjatuhkan

hukuman, sebelum ia memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa.

Pasal 183 KUHAP berbunyi :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu

74

Ibid. 75

M. Haryanto, Op. Cit. hal. 86. 76

Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 249-250.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

47

tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya.”

Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada

undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184

KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.

Dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang-undang secara

negatif (negatief wettelijk bewisjstheorie) ini, pemidanaan didasarkan kepada

pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag, kata D. Simons), yaitu pada

peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang,

dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undang-undang77

.

Untuk Indonesia, yang sekarang ternyata telah dipertahankan KUHAP,

Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasar undang-

undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasar dua

alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang

kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim

terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.

Kedua ialah berfaidah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun

keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam

melakukan peradilan78

.

Menurut Pasal 183 KUHAP tersebut dapat diketahui bahwa KUHAP

menganut teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif, karena :

1. Sekurang-kurangnya harus ada 2 (dua) alat bukti yang sah dan dengan alat bukti

tersebut;

2. Menimbulkan keyakinan hakim79

.

77

Ibid, hal. 250 dan 252. 78

Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 253. 79

M. Haryanto, Op. Cit. hal. 87.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

48

D. Hukum Pembuktian dan Sumber-Sumber Hukum Pembuktian

1. Hukum Pembuktian

Dalam mempelajari aturan pembuktian, kita akan menemukan beberapa istilah

dalam hukum pembuktian sebagai berikut :

1. Alat Pembuktian (bewijsmiddel)

2. Penguraian Pembuktian (bewijsvoering)

3. Kekuatan Pembuktian (bewijskracht)

4. Dasar Pembuktian (bewijsgrond)

Ad. 1. Alat Pembuktian : oleh karena kejadian-kejadian yang harus dibuktikan pada

hakekatnya selalu terletak dalam masa lampau, maka diperlukanlah alat-alat

pembantu untuk dapat menggambarkannya kembali. Kejadian-kejadian tersebut

ataupun hal-hal lain, dari mana mereka dapat disimpulkan, biasanya dapat dan

akan meninggalkan tanda-tanda, ada kalanya bersifat lahiriah dalam dunia luar,

yang mana dapat dipertunjukan untuk disaksikan Hakim, atau bersifat batiniah

dalam kesadaran manusia, yang dengan keterangan-keterangan dapat

dikemukakan. Dari satu dan lain hal, maka Hakim dapatlah dengan kepastian

yang lebih kurang menggambarkan suatu kejadian kembali. Alat-alat dengan

mana tanda-tanda tersebut disampaikan pada Hakim (keterangan lisan atau

tertulis dan pengalaman sendiri) disebut alat-alat bukti.

Ad. 2. Penguraian Pembuktian : penguraian pembuktian adalah cara-cara

mempergunakan alat-alat bukti tersebut. Penguraian pembuktian tersebut

memegang peranan yang sangat penting dalam suatu perkara di persidangan

Pengadilan. Hakim haruslah meneliti apakah dapat terbukti bahwa terdakwa telah

melakukan hal-hal seperti dituduhkan padanya, oleh karena pertama-tama atas

dasar hal-hal yang terbuktilah dapat dijawab pertanyaan tentang dapat

dihukumnya sesuatu perbuatan dari terdakwa.

Ad. 3. Kekuatan Pembuktian : kekuatan pembuktian artinya pembuktian dari masing-

masing alat bukti. Dalam pembuktian, maka Hakim adalah sangat terikat pada

kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti.

Ad. 4. Dasar Pembuktian : dasar pembuktian adalah isi (inhoud) dari alat bukti yang

dinamakan dasar pembuktian. Umpama, keterangan seorang saksi bahwa ia telah

melihat sesuatu, disebut alat bukti; tetapi keadaan apa yang dilihatnya, yaitu apa

yang dialaminya ataupun yang diterangkannya sebgai saksi disebut dasar

pembuktian80

.

Pada ketentuan ini “hukum pembuktian” dalam sidang pengadilan dilakukan

secara aktif oleh Jaksa Penuntut Umum untuk menyatakan kesalahan dari terdakwa

melakukan tindak pidana yang didakwakan dalam surat dakwaan dan sebaliknya

80

A. Karim Nasution, Op. Cit. hal. 24-26.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

49

terdakwa atau penasihat hukum akan berusaha untuk menyatakan dan membuktikan

bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan

oleh jaksa penuntut umum81

.

Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur

tentang pembuktian, yakni segala proses dengan menggunakan alat-alat bukti yang

sah, dan dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-

fakta yuridis di persidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan

tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima,

menolak dan menilai suatu pembuktian82

.

Martiman Prodjohamidjojo menyatakan bahwa sistem hukum pembuktian

dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan dari unsur-unsur hukum pembuktian yang

berkaitan dan berhubungan satu dengan yang lain serta saling pengaruh

mempengaruhi dalam suatu keseluruhan atau kebulatan.

Atas pengertian sistem hukum pembuktian ini, Akil Mohtar mengutip

pendapat Indriyanto Seno Adji menyimpulkannya dengan kata-kata :

Jadi, sistem (hukum pembuktian) ini mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya

alat bukti untuk selanjutnya dilakukan suatu persesuaian dengan perbuatan materiil

yang dilakukan oleh Terdakwa untuk pada akhirnya ditarik suatu kesimpulan

mengenai terbukti atau tidaknya Terdakwa melakukan perbuatan (tindak) pidana yang

didakwakan kepadanya83

.

Kemudian apabila dijabarkan secara lebih khusus mengenai hukum

pembuktian yang bersifat umum dalam KUHAP berorientasi kepada dimensi-dimensi

sebagai berikut:

a. Mengenai apa yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah menurut hukum

berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan

terdakwa. Keterangan saksi yang sah adalah yang dinyatakan di sidang

pengadilan dan keterangan seorang saksi tidak cukup membuktikan bahwa

terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan (asas “unus testis

nullus testis”), tetapi keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri

tentang kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah

apabila keterangan saksi ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian

rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu

dan berikutnya petunjuk diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan

terdakwa.

81

Lilik Mulyadi, Op. Cit. hal. 482. 82

Alfitra, Op. Cit. hal. 21. 83

Akil Mohtar, 2009, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Sekjen dan Kepaniteraan MK,

Jakarta, hal. 83.

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

50

b. Adanya “asas pembuktian undang-undang secara negatif” atau lazim

dipergunakan terminologi asas “Negatief Wettelijk Bewijstheorie” untuk

menyatakan seorang bersalah melakukan suatu tindak pidana yaitu sekurang-

kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

c. Mengenai nilai atau kekuatan alat-alat bukti dalam melakukan pembuktian serta

bagaimana cara menilainya yaitu dengan secara sungguh-sungguh

memperhatikan persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain,

persesuaian dengan alat bukti yang lain, alasan yang mungkin dipergunakan

oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu serta cara hidup dan kesusilaan

saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat memperngaruhi dapat

tidaknya keterangan itu dipercaya, kemudian cara melakukan pembuktian84

.

2. Sumber-Sumber Hukum Pembuktian

Sumber-sumber hukum pembuktian adalah

a. Undang-Undang;

b. Doktrin Atau Ajaran;

c. Yurisprudensi

Apabila di dalam praktik menemui kesulitan dalam penerapan atau menjumpai

kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan maka dipergunakan doktrin atau

yurisprudensi85

.

a. Undang-Undang

Pada dasarnya, aspek “pembuktian” dimulai tahap penyelidikan perkara

pidana dimana tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan sesuatu

peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan

penyidikan, sudah ada tahap pembuktian. Begitu pula halnya dengan penyidikan

dimana ditentukan adanya tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan

bukti dan dengan bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi dan

guna menemukan tersangkanya. Oleh karena itu, dengan tolak ukur ketentuan

Pasal 1 angka 2 dan angka 5 KUHAP untuk dapat dilakukannya tindakan

penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan bermula dilakukan

penyelidikan dan penyidikan sehingga sejak tahap awal diperlukan adanya

pembuktian dan alat-alat bukti86

.

Proses awal “pembuktian” di depan sidang pengadilan mulai dengan

pemeriksaan saksi korban (Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP) akan tetapi bagi

JPU proses akhir pembuktian berakhir dengan diajukan tuntutan pidana

84

Lilik Mulyadi, Op. Cit. hal. 167-168. 85

Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana Untuk Mahasiswa dan

Praktisi, Mandar Maju, Bandung, hal. 10. 86

Lilik Mulyadi, Op. Cit. hal. 477.

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

51

(requisitoir) yang dapat dilanjutkan dengan repliek atau re-repliek. Kemudian

bagi terdakwa dan atau penasihat hukum akan berakhir dengan dibacakan

pembelaan (pledooi), yang dapat dilanjutkan dengan acara dupliek atau re-dupliek

sedangkan bagi majelis hakim berakhirnya proses pembuktian ini diakhiri dengan

adanya pembacaan putusan (vonnis) baik di Pengadilan Negeri maupun

Pengadilan Tinggi jikalau perkara tersebut dilakukan upaya hukum banding87

.

Secara konkrit Adami Chazawi menandaskan, bahwa :

“Dari pemahaman tentang arti pembuktian di sidang pengadilan sebagaimana

yang diterangkan di atas, maka sesungguhnya kegiatan pembuktian dapat

dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu :

1. Bagian kegiatan pengungkapan fakta; dan 2. Bagian pekerjaan penganalisisan

fakta yang sekaligus penganalisisan hukum. Bagian pembuktian yang pertama,

adalah kegiatan pemeriksaan alat-alat bukti yang diajukan di muka sidang

pengadilan oleh JPU dan PH (a decharge) atau atas kebijakan majelis hakim.

Proses pembuktian bagian pertama ini akan berakhir pada saat ketua majelis

menyatakan (diucapkan secara lisan) dalam sidang bahwa pemeriksaan perkara

selesai (Pasal 182 ayat 1 huruf a KUHAP). Dimaksudkan selesai menurut Pasal

ini tiada lain adalah selesai pemeriksaan untuk mengungkapkan fakta-fakta dari

alat-alat bukti dan barang bukti yang diajukan dalam sidang (termasuk

pemeriksaan setempat). Bagian pembuktian kedua, ialah bagian pembuktian yang

berupa penganalisisan fakta-fakta yang didapat dalam persidangan dan

penganalisisan hukum masing-masing oleh tiga pihak tadi. Oleh JPU pembuktian

dalam arti kedua ini dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitoir). Bagi PH

pembuktiannya dilakukan dalam nota pembelaan (pledooi), dan majelis hakim

akan dibahasnya dalam putusan akhir (vonnis) yang dibuatnya88

.”

Penjatuhan pidana oleh hakim melalui dimensi “hukum pembuktian” ini

secara hukum berorientasi kepada ketentuan Pasal 183 KUHAP. Ketentuan

normatif Pasal 183 KUHAP tersebut merupakan asas pembuktian Undang-

Undang secara negatif (Negatief Wettelijk Bewijstheorie)89

.

b. Doktrin Atau Ajaran

Dikaji secara umum, “pembuktian” berasal dari kata “bukti” yang berarti

sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa; keterangan nyata; tanda; hal

yang menjadi tanda perbuatan jahat90

. Pembuktian merupakan proses, cara,

87

Ibid. hal. 479. 88

Ibid. hal. 480. 89

Ibid. hal. 481. 90

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, Op. Cit. hal. 217.

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5288/3/T1...26 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

52

perbuatan membuktikan; usaha menunjukakan benar atau salahnya si terdakwa

dalam sidang pengadilan91

.

Menurut M. Yahya Harahap, dikaji dari perspektif yuridis, pembuktian

adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-

cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan

kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat

bukti yang dibenarkan undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti yang

boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa92

.

c. Yurisprudensi

a. Yurisprudensi ialah ajaran hukum melalui peradilan; himpunan putusan

hakim93

.

b. Yurisprudensi ialah kumpulan/sari keputusan Mahkamah Agung tentang

berbagai vonis beberapa macam jenis kasus perkara berdasarkan pemutusan

kebijaksanaan para hakim lainnya dalam memutuskan kasus-kasus perkara

yang (hampir) sama; dengan adanya yurisprudensi itu para hakim secara tidak

langsung membentuk materi hukum atau yurisprudensi itu juga merupakan

sumber hukum94

.

Penerapan hukum pembuktian dalam putusan hakim dapat dipahami

melalui bentuk surat putusan pemidanaan95

.

91

Ibid. hal. 218. 92

Lilik Mulyadi, Op. Cit. hal. 477. 93

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, Op. Cit. hal. 1568. 94

Yan Pramadya Puspa, 1977, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris, Aneka Ilmu,

Semarang, hal. 927-928. 95

Hendar Soetarna, Op. Cit. hal. 153.