tukarpendapat.files.wordpress.com file · web viewsatuan ini, karena pencakupannya terhadap satuan...
TRANSCRIPT
1
PENDAHULUAN
Ushul fiqih merupakan salah satu cabang dalam ilmu keislaman yang
secara garis besar membahas tentang bagaimana menggali dan memunculkan
hukum syara’ paraktis dari nash yang ada, baik dalam Al-Quran maupun As-
Sunnah.
Salah satu dari teori kebahasaan tersebut ialah memahami lafadz dari segi
maknanya, baik yang jelas maupun tidak jelas . Lafadz-lafadz yang tidak bisa di
artikan secara langsung ( jelas ) itulah yang menyebabkan banyak perbedaan
penafsiran makna terhadap lafadz tersebut. Sehingga dalam makalah ini akan di
bahas mengenai lafadz-lafadz dari segi ketidakjelasan makna (Khafi, Musykil,
Mujmal dan Mutasyabih) dan contohnya.
Lafazh dari Segi Ketidakjelasan Makna
Lafadz yang tidak terang artinya atau ghairu wudhu al-ma’na,yaitu lafadz
yang dari segi lafadz itu sendiri tidak dapat di ketahui artinya. Lafadz itu baru
dapat di pahami maksudnya bila ada penjelasan dari luar lafadz tersebut. Lafadz
dalam bentuk ini disebut juga lafadz mubham.1
Nash yang kurang jelas dalalahnya ialah nash yang dalalahnya baru ditemui
melalui petunjuk dari luar nash itu. Kalau hal yang menyebabkan kurang jelas itu
dapat dihapuskan sesudah mengerahkan daya pikiran dan kesungguhan, maka
dinamakan al-khafi atau musykil. Kalau hanya dapat dihilangkan melalui
1 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012) h.101
2
penjelasan dari pembuat peraturan itu sendiri dinamakan al-mujmal dan kalau
tidak dapat dihilangkan sama sekali dinamakan al-mutasyabih.2
Al-Khafi
Pengertian Al-Khafi
Pengertian khafi menurut bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi.
Sedangkan Menurut istilah, seperti yang dikemukakan oleh Adib Salih adalah
suatu lafal zhahir yang jelas maknanya, tetapi lafal tersebut menjadi tidak jelas
karena ada hal baru yang mengubahnya, sehingga untuk mengatasinya tidak ada
jalan lain, kecuali dengan penelitian yang mendalam.3
Khafi dalam istilah ushul, yaitu lafazh yang menunjukkan terhadap maknanya
dengan dalalah yang nyata. Akan tetapi dalam penerapan maknanya pada sebagian
satuan-satuannya terdapat semacam kesamaran dan ketersembunyian yang untuk
menghilangkan diperlukan analiasis dan pemikiran. Lafazh tersebut dianggap
khafi (samar, tersembunyi) dalam konteksnya dengan sebagian satuan-satuan ini.
Sebab munculnya kesamaran ini ialah bahwasanya satuan tertentu di dalamnya
ada suatu sifat yang melebihi terhadap satuan-satuan lainnya atau satu sifat
berkurang dari satuan itu atau ia mempunyai suatu nama khusus. Tambahan atau
kekurangan atau penamaan khusus ini menjadikannya sebagai tempat keserupaan.
Oleh karena itu, maka lafazh tersebut adalah samar dalam konteksnya dengan
satuan ini, karena pencakupannya terhadap satuan ini tidak dapat dipahami dari 2 Khairul Uman dan H.A.Achyar Aminuddin, Ushul Fiqhi II, (Bandung:CV.Pustaka Setia, 1998) h.143 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: CV Pustaka Setia,2007) h.164
3
lafazh itu sendiri, bahkan ia haruslah dengan suatu hal yang khariji(eksternal).
Untuk menghilangkan ketidakjelasan makna lafal, maka perlu pencermatan dan
peninjauan. Atau dengan kata lain, untuk memahami makna khafi perlu ijtihad
ulama.4
Contoh Lafazh Khafi
Contohnya lafal ارق :yang berarti pencuri dalam ayat الس
بما كسبا جزاء أيديهما ارقة فاقطعوا والس ارق والسه عزيز حكيم ) (38نكاال من الله والل
Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya…(QS.AL-Maidah:38)
Lafal ارق berarti orang yang mengambil harta orang lain (pencuri) الس
dari tempat penyimpanannya dengan sembunyi-sembunyi. Akan tetapi arti ini
menjadi tidak jelas, jika diterapkan pada satuannya yang mempunyai nama
tersendiri. Misalnya Nubasy, yakni seseorang yang mengambil kain kafan mayat
dari dalam kubur. Apakah termasuk dalam lafal ارق ?atau tidak (pencuri) الس
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat.
Ulama Hanafiyah menyatakan Nubasy tidak termasuk dalam arti ارق الس(pencuri), sehingga tidak dikenakan hukuman potong tangan sebab (1) benda yang
diambil tidak termasuk benda yang disukai, (2) benda yang diambil tidak terdapat
4 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, (Semarang: Dina Utama Semarang,1994) h.259
4
ditempat penyimpanan, dan (3) benda yang diambil tidak ada pemiliknya, bukan
milik mayat dan bukan milik ahli warisnya.
Imam syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Abu Yusuf, menyatakan
bahwa Nubasy termasuk kedalam arti lafal ارق oleh karena itu ia ,(pencuri) الس
dikenakan hukuman potong tangan kepada yang mengambilnya, dengan alasan (1)
bahwa pengambilan benda itu dilakukan disaat sepi, (2) bahwa tempat
penyimpanan benda adalah sangat disesuaikan dengan bendanya dan tidak ada
tempat penyimpanan kain kafan bagi mayat kecuali dalam kubur.
Contoh yang lain adalah hadis nabi yang berbunyi:
اليرث القاتللPembunuh itu tidak berhak menerima warisan dari yang di bunuhnya.
Lafal (pembunuh) القاتلل dalam hadis diatas cukup jelas artinya dan
tidak diragukan untuk menerapkan hukum terhalang dari hak warisan orang yang
membunuh secara sengaja dan terencana. Akan tetapi, apakah lafal القاتلل (pembunuh) dan hukum halangan warisan itu dapat diberlakukan pula terhadap
”pembunuhan tersalah”(tidak sengaja), “pembunuhan bersebab”, “pembunuhan
bersama” (dilakukan secara bersama oleh lebih dari dua orang). Hal ini menjadi
objek ijhtihad para ulama mujtahid.5
Contoh macam ini dalam undang-undang syara’ dan hukum positif banyak
sekali. Diantara yang paling jelas adalah sebagai tindakan kriminal yang
mengandung keserupaan mengenai apakah ia pidana atau pelanggaran biasa.
5 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih (Sumatra Utara : Amzah,2005),h.164
5
Cara untuk menghilangkan kesamaran ini ialah pembahasan dan pemikiran
oleh seorang mujtahid. Jika ia berpendapat lafazh tersebut mencakup satuan
tersebut, kendatipun dengan maka ia menetapkannya termasuk dari yang
ditunjuki oleh lafazh itu, lalu ia mengambil hukumnya. Acuan mereka dalam
ijtihad untuk menghilangkan kesamaran ini ialah illat hukum dan hikmanya, nash-
nash yang berkenaan dengan hal ini.6
Al-Musykil
Pengertian Al-Musykil
Lafaz musykil ialah suatu lafaz yang samar artinya, disebabkan oleh lafaz itu
sendiri.
Musykil menurut bahasa ialah sulit atau sesuatu yang tidak jelas
perbedaannya. Sedangkan menurut istilah musykil adalah suatu lafal yang tidak
jelas maksudnya karena ada unsur kerumitan, sehingga untuk mengetahui
maksudnya diperlukan ada indikator tertentu untuk dapat menjelaskan kerumitan
itu, dengan jalan pembahasan dan pemikiran yang mendalam.7
Kemusykilan lafadz itu disebabkan oleh hal-hal berikut:
Karena lafaz itu musytarak , yaitu diciptakan untuk beberapa arti sedang sighatnya
sendiri tidak menunjukkan makna tertentu.
6 Abdul Wahhab Khallaf, Op.cit.,h.2617 Rachmat Syafe’i, op.cit., h.165
6
Adanya dua lafaz yang saling berlawanan. Artinya, kedua nash jelas dalalahnya
tetapi, kemuskilannya terletak dalam men-taufiq-kan (mengompromikan) antara
kedua nash yang saling berlawanan.8
Contoh Lafazh Musykil
Contohnya firman allah swt.:
صن بأنفسهن ثالثة قروء قات يترب والمطل
Dan para istri yang di ceraikan (wajib) menahan diri dari mereka
menunggu tiga kali quru’.....(QS.Al-Baqarah:228).
Lafal tersebut secara bahasa memiliki dua arti, yaitu makna suci (
,Apakah iddah wanita yang ditalak suaminya .(الحيضات) dan haid (األطهار
berakhir dengan tiga kali haid atau dengan tiga kali suci.
Imam Syafi’I dan sebagian Mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksud
lafal al-quru’ dalam ayat diatas adalah suci. Qarinah-nya adalah pen-ta’ nits-an
isim adad (nama hitungan), karena hal itu menunjukkan bahwasanya yang
dihitung adalah mudzakkar (laki-laki), yaitu suci bukan haid.
Ulama Hanafiyah dan sekelompok mujtahid lainnya berpendapat bahwa
lafal al-quru pada ayat diatas adalah haid. Qarinah-nya, sebagai berikut:
Hikmah pen-tasyri-an iddah. Hikmah dalam kewajiban idddah atas wanita yang
ditalak adalah mengetahui kebersihan rahimnya dari kehamilan, sedangkan yang
memberitahukan hal ini adalah haid bukan suci.
8 Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, ( Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011),h.204
7
Firman allah swt.: QS.Ath-Thalaq : 4
ائكم إن ارتبتم DDDDDن من المحيض من نس DDDDDئي يئس والالن وأوالت األحمDDال DDئي لم يحض هر والال DDفعدتهن ثالثة أش DDه من ه يجعDDل ل ق الل عن حملهن ومن يت DDأجلهن أن يض
(4أمره يسرا )Artinya:”perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause)di
antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddahnya
mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak
haid…. (QS. Ath-Thalaq : 4)
Pada ayat diatas, sebab dihitungnya tiga bulan masa iddah karena tiadanya
haid wanita yang ditalak. Oleh karena itu, dapat ditetapkan bahwa pada dasarnya
masa iddah dihitung dengan haid.
Sabda Rasullullah saw.
طالق االمة ثنتان وعدتهاحيضتانTalak hamba sahaya perempuan dua kali, dan iddahnya dua kali haid.
Penegasan bahwa iddah hamba sahaya perempuan dengan haid merupakan
penjelasan terhadap yang dimaksud dengan lafal al-quru’u dalam iddah
perempuan yang merdeka. Adapun pen-takhsish-an nama hitungan, ia
dimaksudkan untuk ke mudzakkar lafal yang dihitungnya, yaitu lafal al-quru’.9
Al-Mujmal
Pengertian Al-Mujmal
Mujmal adalah: Lafadz yang belum jelas karena masih bersifat garis besar.
9 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Op.cit.,h.237
8
Secara bahasa Mujmal berarti samar. Secara istilah, para ahli ushul fiqhi
mendefinisikan mujmal dalam berbagai macam. Imam Sarakhasi mendefinisikan
mujmal sebagai suatu lafal yang tidak dapat dipahami maksudnya kecuali ada
penjelasan dari yang menegeluarkan lafal mujmal itu dan melalui penjelasannnya
diketahui makasud lafal tersebut.
Wahbah al-zuhaili mendefinisikan mujmal dengan lafal yang sulit dipahami
maksudnya kecuali melalui penjelasan dari mutakallim (orang yang
mengucapkan).
Jalaluddun Abd.Rahman mendefinisikan mujmal sebagai lafal yang dalalahnya
tidak jelas.10
Dari beberapa definisi diatas dipahami bahwa mujmal merupakan suatu lafal
yang dikutif oleh syar’i dari makna kebahasaanya dan ditetapkan untuk berbagai
makna terminologis yang bersifat syar’i secara khusus seperti lafazh sholat, zakat,
puasa, dsb. Bukan makna secara kebahasaan.11
Contoh Lafazh Mujmal
Lafaz yang artinya dipindahkan oleh syara’ dari arti bahasa ke arti syara’,
seperti lafaz shalat, zakat, puasa, dan haji. Lafaz shalat menurut bahasa diartikan
dengan doa, namun menurut syara’ ialah suatu perbuatan tertentu yang dimulai
dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Yang menerangkan arti syara’ tersebut
adalah pembuat peraturan itu sendiri karena ditemui sunnah qauliyah dan sunnah
fi’liyah yang menerangkan arti yang dimaksud oleh syara’.
10 http://susilawatirahmadi.blogspot.co.id/2015/01/qawaid-al-tafsir-dalalah-sharih-ghairu.html11 Abdul Wahhab Khallaf, Op.cit.,h.265
9
Di antara mujmal adalah lafaz yang gharib (asing) yang ditafsirkan oleh
nash sendiri dengan makna khusus, seperti lafaz al-qari’ah dalam firman Allah
swt. surah Al-Qari’ah ayat 1-4:
(3( وما أدراك مDDا القارعDDة )2( ما القارعة )1القارعة )اس كالفراش المبثوث ) (4يوم يكون الن
“Hari kiamat. Apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu Apakah hari kiamat itu?
Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran. Dan gunung-
gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan”.(QS. Al-Qori’ah: 1-4).
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa suatu lafal dapat menjadi mujmal
karena : maknanya musytarak, dipalingkan dari makna bahasa pada makna syara,
dan lafal itu jarang dipergunakan.12
Contoh lain adalah lafal الصالة dalam ayat:
اكعين )وأقيموا الصالة كاة واركعوا مع الر (43 وآتوا الز “Dan laksanakanlah shalat….(QS.Al-Baqarah:43)
Apabila terhadap lafal mujmal itu mendapat penjelasan dari syara’ secara
sempurna maka mujmal menjadi mufassar. Ayat diatas dijelaskan melalui hadis
Nabi Muhammad saw. Baik dengan perkataan maupun perbuatan yang
menjelaskan detail-detailnya, mengenai rukun, syarat, dan caranya.
Rasullullah saw.bersabda:
12 Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2000) h.289-290
10
ى و ا كمارا يتمونى اصل صلSalatlah seperti kamu lihat aku melakukan shalat.(HR.Bukhari)
Apabila lafal mujmal mendapat penjelasan dari syara’ tetapi tidak secara
sempurna dan pasti maka masih perlu ijtihad untuk menjelaskannya. Jika
demikian yang terjadi, mujmal menjadi musykil, sehingga untuk mujmal yang
semacam ini diberlakukan ketentuan pada musykil.
Al- Mutasyabih
Pengertian Al-Mutasyabih
Lafadz mutasyabih secara bahasa adalah lafadz yang meragukan
pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan. Dalam istilah hukum,
lafadz mutasyabih adalah lafadz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat
digunakan untuk mencapai artinya.13
Lafadz mutasyabih menurut ulama ushul fiqih adalah lafaz yang sighatnya
tidak menunjukkan maksudny dengan sendirirnya, dan tidak ditemukan qarinah
eksternal yang menerangkannya, dan syar’I memonopoli pengertiannya tanpa
menafsirkannya.
Mutasyabih hanyalah ditemukan pada tempat-tempat lain daripada nash,
seperti potongan-potongan huruf pada permulaan sebagian surah al-qur’an: Alif
Lam Mim, Qaf, Shad, Ha’, Mim dan seperti ayat-ayat yang zhahirnya bahwasanya
13 http://blackjack1994.blogspot.co.id/2015/01/lafadz-yang-tidak-terang-artinya-khafi.html
11
allah swt. Menyerupai makhluknya dalam hal bahwa dia mempunyai tangan, mata
dan tempat.
Contoh Lafazh Mutasyabih
Contoh lafal dalam firman allah swt.: بأعينناذين DDا وال تخDDاطبني في ال DDا ووحين نع الفلDDك بأعينن DDواص
هم مغرقون ) (37ظلموا إنArtinya: “Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk
wahyu kami”.(QS.Hud:37)
Dan firmanNya:
ة إال DDو رابعهم وال خمسDDة إال هDD ما يكون من نجDDوى ثالث هو سادسهم وال أدنى من ذلك وال أكثر إال هو معهم أينDDل ه بك DDوم القيامDDة إن الل ئهم بما عملDDوا ي ما كانوا ثم ينب
(7شيء عليم )Artinya: “Tiadalah pembicaraan rahasia antara tiga orang, melaingkan Dia-lah
yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan) antara lima orang, melaingkan Dia-
lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara( jumlah) yang kurang
dari itu atau lebih banyak, melaingkan dia ada bersama mereka dimanapun
mereka berada…”(QS. Al-Mujadalah: 7).
Ayat yang mengandung lafal yang mutasyabihat seolah-olah menyerukan
tuhan kepada makhluk-nya seperti lafal tangan, mata dan allah berada di dekat
manusia, tidak mungkin diketahui arti dan maknanya melalui bahasa , karena
Allah Mahasuci dari kemiripan dari makhluk-nya.
12
Dalam menghadapi lafal Mutasyabih ini, para ulama berbeda pendapat.
Para ulama salaf hanya menyerahkan kepada allah saja, karena allah yang maha
tahu tentang arti dan maknanya, sedangkan manusia wajib mengimaninya dan
tidak mencari-cari ta’wilnya.
Adapun pendapat ulama khalaf, maka bahwasanya ayat-ayat ini, zhahirnya
mustahil, sebab allah tidaklah bertangan, tidak pula bermata, tidak pula bertempat.
Setiap sesuatu yang zhahirnya mustahil dikehendakinya, maka wajib di ta’wilkan
dan dipalingkan dari yang zhahir ini, dan dimaksudkan makna yang mungkin bagi
lafazh itu, meskipun dengan cara majaz, yang tidak ada penyerupaan khaliq
dengan makhluknya. Firman allah swt.:
ه فوق أيديهم يد الل…..Tangan allah diatas tangan-tangan mereka…..”(QS. Al-Fath:10)
Ta’wilnya adalah kekuasaan allah berada diatas kekuasaan mereka.
Firman allah swt.:
ما يكون من نجوى ثالثة إال هو رابعهمArtinya: “Tiadalah pembicaraan rahasia antara tiga orang….”
Pentakwilanya adalah bahwasanya allah swt. Bersama setiap orang yang
saling berbicara secara rahasia , dengan pengetahuannya dan pengawasannya.
Demikian seterusnya.
Munculnya perbedaan ini ialah perselisihan mereka mengenai firman allah
swt. Mengenai halnya ayat-ayat mutasyabihat:
13
اسخون في العلم يقولون ه والر وما يعلم تأويله إال اللر إال أولو األلباب نا وما يذك ا به كل من عند رب آمن
Artinya: “…..Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melaingkan
Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata :” Kami beriman kepada
ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi tuhan kami”.(QS.Ali-Imran:7)
Barangsiapa yang menjadikan pemberhentian (waqaf) pada lafaz
keagungan (allah), maka ia berpendapat tiada yang mengetahui mutasyabih
kecuali allah, maka kami beriman kepadanya dan menyerahkan pengertianya
kepadanya, serta kami tidak mengkaji pentakwilannya. Dan barangsiapa yang
meletakkan pemberhentian (waqaf) pada kata
اسخون في العلم ه والر , وما يعلم تأويله إال الل
maka ia berpendapat: “Tiada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah
dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka mngetahui takwilnya dengan
memaksudkan makna yang mungkin dikandung oleh lafazh dan sesuai dengan
pensucian Khaliq dari penyerupaan dengan makhluknya.
Kesimpulan
14
Khafi adalah lafaz yang dari segi ketidakjelasan timbul ketika menerapkan
pengertian itu kepada kasus tertentu yang merupakan bagian dari satuan-
satuannya. Sehingga untuk menghilangkan kesamaran tersebut diperlukan analisis
dan pemikiran yang mendalam. Musykil adalah lafaz yang memiliki kesamaran
yang disebabkan dari lafaz itu sendiri karena lafaz itu digunakan untuk arti yang
banyak sehingga tidak dapat dipahami artinya. Karena hal tersebut, sehingga
diperlukan qarînah untuk menjelaskan maksudnya. Mujmal adalah lafaz yang
dengan sighatnya tidak menunjukkan arti yang dimaksud. Sehingga sebab
kesamarannya bersifat tekstual (lafzhiy) dan bukan hal yang datang kemudian.
Mutasyâbbih adalah lafaz yang petunjuknya memberikan arti yang dimaksud oleh
lafal itu sendiri, sehingga tidak ada qarînah yang dipergunakan untuk memberikan
petunjuk tentang artinya dan juga syara’ tidak menerangkan tentang artinya.
3.1 Saran
Dalam penulisan makalah ini tentunya penulis menyadari sangat banyak
terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca sehingga makalah ini bisa mendekati kesempurnaan. Amin Ya
Rabbal ‘Alamin.
Daftar Pustaka
http://blackjack1994.blogspot.co.id/2015/01/lafadz-yang-tidak-terang-artinya-
khafi.html
15
http://susilawatirahmadi.blogspot.co.id/2015/01/qawaid-al-tafsir-dalalah-sharih-
ghairu.html
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih.
Sumatra Utara : Amzah.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqhi. Semarang: Dina Utama
Semarang.
Suyatno. 2011. Dasar-Dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media.
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung:
CV Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group.
Uman, Khairul dan H.A.Achyar Aminuddin. 1998. Ushul Fiqhi II.
Bandung:CV.Pustaka Setia.
Yahya, Mukhtar. 2000. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.