bab ii tinjauan pustaka -...

16
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini, penulis akan menyebutkan dan menjelaskan tentang teori-teori dan metode yang akan digunakan sebagai alat penyajian dalam penelitian Gangnam Style ini. Dalam teorinya, terdapat 2 teori yang akan digunakan dalam membantu dalam penelitian ini, yang pertama adalah teori komunikasi lintas budaya, dan yang kedua adalah teori budaya populer, karena merupakan budaya yang melintas antar negara dan mempopuler. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode semiotika dengan tokohnya adalah Roland Barthes dan Umberto Eco, karena berhubungan dengan media massa dan budaya. 2.1. Komunikasi Lintas Budaya Menurut Samovar (2010), komunikasi lintas budaya (intercultural communication) terjadi apabila sebuah pesan yang harus dimengerti, dihasilkan oleh anggota dari budaya tertentu untuk konsumsi anggota dari budaya yang lain. Definisi lain diberikan oleh Liliweri (2003), bahwa proses komunikasi antar budaya merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Apapun definisi yang ada mengenai komunikasi antarbudaya (intercultural communication) menyatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi apabila terdapat dua budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang melaksanakan proses komunikasi. Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa komunikasi lintas budaya adalah proses dimana dialihkan ide atau gagasan suatu budaya yang satu kepada budaya yang lain dan sebaliknya, hal ini bisa antar dua kebudayaan yang terkait ataupun lebih, tujuannya untuk saling mempengaruhi satu sama lain, baik itu untuk kebaikan sebuah kebudayaan maupun untuk menghancurkan suatu kebudayaan, atau bisa jadi sebagai tahap awal dari proses akulturasi (penggabungan dua kebudayaan atau lebih yang menghasilkan kebudayaan yang baru).

Upload: trinhnga

Post on 05-May-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6956/2/T1_362007102_BAB II.pdfmensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal,

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini, penulis akan menyebutkan dan menjelaskan tentang teori-teori

dan metode yang akan digunakan sebagai alat penyajian dalam penelitian

Gangnam Style ini. Dalam teorinya, terdapat 2 teori yang akan digunakan dalam

membantu dalam penelitian ini, yang pertama adalah teori komunikasi lintas

budaya, dan yang kedua adalah teori budaya populer, karena merupakan budaya

yang melintas antar negara dan mempopuler. Sedangkan metode yang digunakan

adalah metode semiotika dengan tokohnya adalah Roland Barthes dan Umberto

Eco, karena berhubungan dengan media massa dan budaya.

2.1. Komunikasi Lintas Budaya

Menurut Samovar (2010), komunikasi lintas budaya (intercultural

communication) terjadi apabila sebuah pesan yang harus dimengerti, dihasilkan

oleh anggota dari budaya tertentu untuk konsumsi anggota dari budaya yang lain.

Definisi lain diberikan oleh Liliweri (2003), bahwa proses komunikasi antar

budaya merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang

dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang

berbeda. Apapun definisi yang ada mengenai komunikasi antarbudaya

(intercultural communication) menyatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi

apabila terdapat dua budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang

melaksanakan proses komunikasi.

Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa

komunikasi lintas budaya adalah proses dimana dialihkan ide atau gagasan suatu

budaya yang satu kepada budaya yang lain dan sebaliknya, hal ini bisa antar dua

kebudayaan yang terkait ataupun lebih, tujuannya untuk saling mempengaruhi

satu sama lain, baik itu untuk kebaikan sebuah kebudayaan maupun untuk

menghancurkan suatu kebudayaan, atau bisa jadi sebagai tahap awal dari proses

akulturasi (penggabungan dua kebudayaan atau lebih yang menghasilkan

kebudayaan yang baru).

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6956/2/T1_362007102_BAB II.pdfmensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal,

13

Menurut Deddy Mulyana (1993), hubungan antara budaya dan komunikasi

penting dipahami untuk mahami komunikasi antar budaya, oleh karena melalui

pengaruh budayalah orang-orang belajar berkomunikasi. Komunikasi antar

budaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima

pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam keadaan demikian, kita

segera dihadapkan kepada masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi dimana

suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya

lain. Seperti telah kita lihat, budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi.

Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang

berbeda budaya akan beda pula, yang dapat menimbulkan segala macam kesulitan

(Mulyana, 1993).

Komunikasi dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua

sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada

gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau

mewariskan budaya, bahwa „komunikasi adalah budaya‟ dan „budaya adalah

komunikasi‟. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk

mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari

suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu

generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya menetapkan norma-norma

(komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.

Unsur pokok yang mendasari proses komunikasi antar budaya ialah konsep-

konsep tentang “kebudayaan” dan “komunikasi”. Hal ini pun digarisbawahi

bahwa pengertian tentang komunikasi antar budaya memerlukan suatu

pemahaman tentang konsep-konsep komunikasi dan kebudayaan serta saling

ketergantungan antara keduanya. Saling ketergantungan ini terbukti apabila

disadari bahwa pola-pola komunikasi yang khas dapat berkembang atau berubah

dalam suatu kelompok kebudayaan tertentu. Kesamaan tingkah laku antara satu

generasi dengan generasi berikutnya hanya dimungkinkan berkat digunakannya

sarana-sarana komunikasi. Sementara Smith, seperti yang dikutip oleh Lusiana

(2002), menerangkan hubungan yang tidak terpisahkan antara komunikasi dan

kebudayaan yang kurang lebih sebagai berikut:

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6956/2/T1_362007102_BAB II.pdfmensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal,

14

“Kebudayaan merupakan suatu kode atau kumpulan peraturan

yang dipelajari dan dimiliki bersama; untuk mempelajari dan

memiliki bersama diperlukan komunikasi, sedangkan komunikasi

memerlukan kode-kode dan lambang-lambang yang harus

dipelajari dan dimiliki bersama.”

Hubungan antara individu dan kebudayaan saling mempengaruhi dan saling

menentukan. Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui aktifitas

komunikasi para individu anggotanya. Secara kolektif, perilaku mereka secara

bersama-sama menciptakan realita (kebudayaan) yang mengikat dan harus

dipatuhi oleh individu agar dapat menjadi bagian dari unit. Maka jelas bahwa

antara komunikasi dan kebudayaan terjadi hubungan yang sangat erat. Di satu

pihak, jika bukan karena kemampuan manusia untuk menciptakan bahasa

simbolik, tidak dapat dikembangkan pengetahuan, makna, simbol-simbol, nilai-

nilai, aturan-aturan dan tata, yang memberi batasan dan bentuk pada hubungan-

hubungan, organisasi-organisasi dan masyarakat yang terus berlangsung.

Demikian pula, tanpa komunikasi tidak mungkin untuk mewariskan unsur-

unsur kebudayaan dari satu generasi kegenerasi berikutnya, serta dari satu tempat

ke tempat lainnya. Komunikasi juga merupakan sarana yang dapat menjadikan

individu sadar dan menyesuaikan diri dengan subbudaya-subbudaya dan

kebudayaan-kebudayaan asing yang dihadapinya. Tepat kiranya jika dikatakan

bahwa kebudayaan dirumuskan, dibentuk, ditransmisikan dan dipelajari melalui

komunikasi. Sebaliknya, pola-pola berpikir, berperilaku, kerangka acuan dari

individu-individu sebagian terbesar merupakan hasil penyesuaian diri dengan

cara-cara khusus yang diatur dan dituntut oleh sistem sosial dimana mereka

berada. Kebudayaan tidak saja menentukan siapa dapat berbicara dengan siapa,

mengenai apa dan bagaimana komunikasi sebagainya berlangsung, tetapi juga

menentukan cara mengkode atau menyandi pesan atau makna yang dilekatkan

pada pesan dan dalam kondisi bagaimana macam-macam pesan dapat dikirimkan

dan ditafsirkan. Singkatnya, keseluruhan prilaku komunikasi individu terutama

tergantung pada kebudayaanya. Karena itulah, menurut Liliweri (2003),

kebudayaan dibentuk oleh perilaku manusia dan perilaku itu merupakan hasil

persepsi manusia terhadap dunia. Perilaku tersebut merupakan perilaku terpola

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6956/2/T1_362007102_BAB II.pdfmensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal,

15

karena tampilannya berulang-ulang sehingga diterima sebagai pola-pola budaya.

Dengan demikian, kebudayaan merupakan pondasi atau landasan bagi

komunikasi. Kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan praktek-praktek

komunikasi yang berbeda pula.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa karakteristik atau ciri-ciri dari

komunikasi lintas budaya, adalah antara lain :

a) Ada dua atau lebih kebudayaan yang terlibat dalam komunikasi,

b) Ada jalan atau tujuan yang sama yang akhirnya menciptakan komunikasi

itu,

c) Komunikasi lintas budaya menghasilkan kuntungan dan kerugian di antara

dua budaya atau lebih yang terlibat,

d) Komunikasi lintas budaya yang dijalin dewasa ini, baik secara individu

maupun secara berkelompok, dapat dilakukan melalui media,

e) Tidak semua komunikasi lintas budaya menghasilkan feedback. Hal ini

tergantung kepada penafsiran dan penerimaan masyarakat dari sebuah

kebudayaan yang terlibat, mau dipengaruhi atau tidak,

f) Bila dua kebudayaan melebur karena pengaruh komunikasi yang dijalin

maka akan menghasilkan kebudayaan baru, dan inilah yang disebut

akulturasi.

Karena Gangnam Style tidak memiliki hambatan dalam melintasnya budaya

baru ke seluruh dunia dengan pembuktian popularitasnya yang sangat pesat dan

dapat diterima baik oleh masyarakat, maka teori komunikasi lintas budaya ini

sesuai dengan pokok penelitian tentang Gangnam Style ini. Gangnam Style

dianggap sukses dalam mengkomunikasian budaya kreatif Korea ke negara-

negara di luar negara Korea, dengan pembuktian Gangnam Style sampai

menembus Amerika dan Eropa.

2.2 Budaya Populer

Budaya populer terdiri dari kata “budaya” dan “pop”. Menurut Williams

(1983), mengenai “budaya” sebagai berikut: Pertama, budaya dapat diartikan

suatu proses umum perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis. Kedua,

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6956/2/T1_362007102_BAB II.pdfmensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal,

16

budaya berarti pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok

tertentu. Ketiga, budaya bisa merujuk pada karya dan praktik-praktik intelektual,

terutama aktifitas artistik. Kata “pop” diambil dari kata populer dan karakteristik

budaya populer sebagai berikut:

1. Banyak disukai orang

2. Jenis kerja rendahan

3. Karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang

4. Budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri

Kemudian untuk mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan dua

istilah yaitu ”budaya” dan ”populer”. Ada satu titik awal yang menyatakan bahwa

budaya pop itu memang budaya yang menyenangkan atau banyak disukai orang.

Kedua, untuk mendefinisikan budaya pop adalah dengan mempertimbangkan

budaya tertinggal (rendah), budaya pop menurut definisi ini merupakan kategori

residual untuk mengakomodasi praktik budaya yang tidak memenuhi persyaratan

budaya tinggi. Dengan kata lain, budaya pop didefinisikkan sebagai budaya

”substandar”, yang diuji oleh budaya pop meliputi seperangkat pertimbangan nilai

teks atau praktik budayanya.

Storey (2007), menekankan bahwa budaya populer muncul dari urbanisasi

akibat revolusi industri, yang mengindentifikasi istilah umum dengan definisi

"budaya massa", beliau juga menyamakan budaya pop dengan budaya massa. Hal

ini terlihat sebagai budaya komersial, diproduksi massal untuk konsumsi massa.

Dari perspektif Eropa Barat, budaya pop dapat dianggap sebagai budaya Amerika,

atau "budaya pop" dapat didefinisikan sebagai budaya "autentik" masyarakat.

Namun, definisi ini bermasalah karena banyak cara untuk mendefinisikan

"masyarakat". Budaya Pop selalu berubah dan muncul secara unik di berbagai

tempat dan waktu. Budaya pop membentuk arus dan mewakili suatu perspektif

interdependent-mutual yang kompleks dan nilai-nilai yang memengaruhi

masyarakat dan lembaga-lembaganya dengan berbagai cara. Misalnya, beberapa

arus budaya pop mungkin muncul dari (atau menyeleweng menjadi) suatu

subkultur yang melambangkan perspektif yang kemiripannya dengan budaya pop

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6956/2/T1_362007102_BAB II.pdfmensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal,

17

arus utama begitu sedikit. Berbagai hal yang berhubungan dengan budaya pop

sangat khas menarik spektrum yang lebih luas dalam masyarakat.

Pierre Bourdieau (1984), pernah mengatakan bahwa perbedaan budaya

seringkali dimanfaatkan untuk memperlebar dan memelihara perbedaan kelas.

”Selera” misalnya, bisa disebut sebagai sebuah kategori ideologis yang

difungsikan sebagai ciri ”kelas” (pemakaian istilah ”kelas” dalam hal ini

diposisikan dalam arti ganda, yaitu kategori sosial ekonomi dan tingkat kualitas

tertentu). Beliau menyebut satu contoh, ”konsumsi budaya”, baginya konsumsi

budaya sudah ditentukan, sadar dan disengaja, atau tidak untuk tujuan memenuhi

fungsi sosial pengabsahan perbedaan sosial. Pembatasan ini didukung oleh

pernyataan bahwa budaya pop adalah budaya komersial dampak dari produksi

massal, sedangkan budaya tinggi adalah kreasi hasil kreativitas individu. Oleh

karena itu budaya tinggi adalah budaya yang mendapatkan penerimaan moral dan

estetis yang lebih, sementara budaya pop malah mendapatkan pengawasan secara

sosiologis untuk mengendalikan sedikit yang bisa diberikannya.

Singkatnya, budaya populer adalah gaya, ide, perspektif, dan sikap yang

benar-benar berbeda dengan budaya arus utama. Banyak dipengaruhi oleh media

massa dan dihidupkan terus-menerus oleh berbagai budaya bahasa setempat,

kumpulan ide tersebut menembus dalam keseharian masyarakat. Pada tingkat

rendah, kapitalisme global ala neo liberal membentuk gaya hidup baru manusia

yang diciptakan melalui tren. Kombinasi antara media massa, citra, dan belanja

secara bersamaan membentuk gaya hidup konsumerisme. Konsumerisme

merupakan kecenderungan orang untuk mengidentifikasi dirinya dengan produk

atau jasa yang mereka konsumsi, khususnya mereka dengan nama-nama merek

komersial dan daya tarik meningkatkan status (Kamus Besar Bahasa Indonesia,

2008), misalnya sebuah mobil mahal dan HP. Ini adalah istilah yang kebanyakan

disangkal orang dengan memberi beberapa alasan yang lebih spesifik atau alasan

untuk mengkonsumsi dibandingkan dengan mereka yang „dipaksa‟ untuk

mengkonsumsi.

Sifat produk-produk budaya popular sebagai berikut (Ibrahim, 2007):

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6956/2/T1_362007102_BAB II.pdfmensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal,

18

1. Artificial, merujuk kepada sesuatu yang tidak alami, melainkan dibuat

atau diproduksi oleh manusia. Artificial memiliki makna dan konotasi

meluas, seperti: pemanis buatan; bunga buatan; dan lain-lain.

2. Sintetik, sering menyiratkan penggunaan proses kimia untuk

menghasilkan suatu zat yang akan terlihat atau fungsi seperti yang

asli, sering kali dengan keunggulan tertentu: karet sintetis, kain

sintetis.

3. Semu (ersatz) adalah imitasi transparan yang inferior, contoh: kopi

ersat, bulu ersat.

4. Simulasi, sering merujuk kepada pengganti palsu atau imitasi dari

suatu zat lebih mahal, seperti: berlian simulasi.

Perkembangan budaya populer pada masyarakat Indonesia, disini saya artikan

sebagai globalisasi. Globalisasi merupakan suatu fenomena khusus dalam

peradaban manusia yang bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan

bagian dari proses manusia global itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008).

Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi mempercepat akselerasi

proses globalisasi ini. Globalisasi menyentuh seluruh aspek penting kehidupan.

Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru yang harus

dijawab, dipecahkan dalam upaya memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan

kehidupan.

Dalam perkembangannya globalisasi menimbulkan berbagai masalah dalam

bidang kebudayaan, misalnya:

1. Hilangnya budaya asli suatu daerah atau suatu negara,

2. Terjadinya erosi nilai-nilai budaya, menurunnya rasa nasionalisme dan

patriotism,

3. Hilangnya sifat kekeluargaan dan gotong royong,

4. Kehilangan kepercayaan diri, gaya hidup kebarat-baratan.

Adanya globalisasi menimbulkan berbagai masalah terhadap eksistensi

kebudayaan daerah, salah satunya adalah terjadinya penurunan rasa cinta terhadap

kebudayaan yang merupakan jati diri suatu bangsa, erosi nilai-nilai budaya,

terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya berkembang menjadi budaya massa.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6956/2/T1_362007102_BAB II.pdfmensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal,

19

Budaya populer diproduksi dengan maksud untuk dikomersilkan dan

tujuannya hanya satu, yaitu untuk meraup keuntungan sebanyak banyaknya. Ini

merupakan salah satu tujuan dari mempopulerkan budaya kreatif Gangnam Style

yang akan diteliti dalam penelitian ini. Jelas terbukti sang rapper, PSY, meraup

keuntungan yang berlimpah, ini dibuktikan pada pemberian hadiah kepada

koreografernya, sang pencipta tarian Gangnam Style adalah sebuah mobil mewah

dan juga membiayai seluruh kebutuhan pernikahan kepada menejernya yang telah

berjasa padanya. Gangnam Style juga turut menurunkan nilai pada tarian

berkudanya yang sebenarnya berkuda berasal dari Amerika dan sangat berkelas,

namun dengan diproduksinya industri ini semua orang dapat menarikan gerakan

Gangnam style dalam pandangan berkelas atau tidak. Disini, Korea Selatan

mengadopsi budaya Amerika yaitu berkuda dan dibuat suatu fenomena tarian,

kemudian Negara Amerika sendiri mengikuti gerakan Gangnam Style yang

sebenarnya itu berasal dari Amerika diturunkan nilainya oleh negara lain

kemudian diadopsi balik oleh Negara Amerika tersebut. Karena mungkin terlihat

santai, lucu, dan menghibur sehingga gerakan Gangnam Style dapat diterima oleh

seluruh dunia.

2.3 Semiotika

Pada dasarnya, konsep utama semiotika mencakup tiga elemen dasar yang

dapat digunakan untuk melakukan intepretasi tanda, yaitu:

a. Tanda (sign), adalah yang memimpin pemahaman gerakan Gangnam Style

pada masyarakat. Tanda selalu menunjukkan kepada suatu hal yang nyata,

yaitu gerakan Gangnam Style itu sendiri. Tanda adalah arti yang statis,

lugas, umum, dan obyektif.

b. Lambang (symbol), adalah yang memimpin pemahaman gerakan Gangnam

Style pada masyarakat. Pemahaman masalah lambang akan mencakup

penanda (gerakan), dan petanda (lagu). Penanda adalah yang menandai

sesuatu yang tidak seorang pun manusia yang sanggup berhubungan

dengan realitas kecuali dengan perantara bernacam tanda. Menurut

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6956/2/T1_362007102_BAB II.pdfmensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal,

20

Ferdinand de Saussure yang ditulis oleh Sudjiman dan Van Zoest (1996),

tanda atau lambang mempunyai entitas, yaitu:

Signifier (sound image), tanda atau penanda, merupakan bunyi dari

tanda atau kata.

Signified (concept), makna atau petanda, merupakan suatu konsep

atau makna dari tanda tersebut.

Hubungan antara signifier dan signified menurut Saussure bersifat

arbitrary, yang berarti tidak ada hubungan yang logis. Menurutnya, tanda

“mengekspresikan” gagasan sebagai kejadian mental yang berhubungan

dengan pemikiran manusia. Jadi secara implisit, tanda berfungsi sebagai

alat komunikasi antara dua orang manusia yang secara disengaja dan

bertujuan untuk menyatakan maksud (Sudjiman dan Zoest, 1996).

c. Isyarat (signal), adalah yang memimpin pemahaman gerakan Gangnam

Style pada masyarakat. PSY memberikan isyarat terhadap gerakan

Gangnam Style tersebut sesuai dengan isi cerita dari video musik yang

dilakukan oleh PSY. Sehingga bila teliti antara isi cerita, kata–kata, dan

gerakan Gangnam Style itu sendiri saling berhubungan sebagai sebuah

struktur, namun tidak semua konsumennya dapat menerima sesuai isyarat

yang disampaikan oleh PSY.

d. Ikon (icon), di dalam ikonik Gangnam Style ini sendiri adalah PSY sendiri

yaitu sang penyanyi dan tokoh yang menarikan gerakan Gangnam Style.

PSY sudah menjadi ikon yang mendunia, dimana ada PSY, masyarakat

akan mengintepretasikan sudut pandang mereka kalau PSY berarti

Gangnam Style beserta lagunya yang sangat bersifat ikonik.

e. Indeks (index), merupakan tanda yang menunjukkan adanya hubungan

alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan

sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan.

f. Simbol (symbol), merupakan bentuk tanda yang terjadi karena hasil

konsensus dari para pengagum Gangnam Style, bahwa gerakan tersebut

menyimbolkan seperti gerakan berkuda. Namun apakah yang

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6956/2/T1_362007102_BAB II.pdfmensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal,

21

dimaksudkan oleh PSY akan sama maknanya terhadap masyarakat yang

menerima simbol tersebut.

Tanda-tanda Tubuh:

- Sinyal

Ada dua jenis sinyal tubuh, sadar (dipancarkan dengan sengaja) atau tidak

sadar (dipancarkan secara naluriah oleh tubuh). Penggunaan sinyal sadar

untuk tujuan yang disengaja dalam lingkup yang sangat luas seperti

mengangguk, mengedip, melirik, melihat, menyenggol, menendang,

mengangkat kepala dan seterusnya. Sinyal demikian bertindak sebagai

pengatur, menggubah atau melarang sebuah tindakan atau reaksi.

- Ekspresi wajah

Ekspresi wajah manusia juga dapat bersifat sadar dan tidak sadar. Wajah

dipandang sebagai tanda diri, dimana kita mengevaluasi kepribadian orang

berdasarkan penampilan wajah dan menilai kecantikan atau tiadanya

kecantikan seseorang berdasarkan bagaimana orang itu terlihat. Wajah

yang dikonstruksi secara seksual adalah ciri dari fenomena representasi

diri. Persepsi atas wajah sebagai penyedia keberadaan diri atau personal.

Persepsi bahwa wajah adalah tanda yang merepresentasikan orang di

baliknya merupakan ekspresi konotatif yang banyak digunakan manusia.

Persepsi ini mendasari praktik pembuatan potret diri. Potret diri

merupakan representasi visual subjek yang menampilkan wajahnya,

berdasarkan gambaran pelukis, secara tipikal ditafsirkan oleh mereka yang

melihatnya sebagai penanda diri. Sebuah tanda yang dalam tafsiran kita

mengungkapkan sifat, status sosial, profesi, dan seterusnya, dari subjek.

Potret adalah alat untuk memeriksa sifat manusia.

- Kontak mata

Kontak mata yang bersifat tak sadar merupakan sebuah proses biologis

seperti yang terjadi pada spesies lain selain manusia. Dalam kebudayaan

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6956/2/T1_362007102_BAB II.pdfmensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal,

22

manusia pola kontak mata mencerminkan makna kultural dan sesuai

dengan pola interaksi sosial. Pola “melihat” mengutarakan makna-makna

spesifik dalam konteks spesifik. Misalnya, memandang ditafsirkan sebagai

indikasi ketakjuban seksual, perasaan terpukau, terpana atau kagum.

- Bahasa tubuh

Bahasa tubuh adalah istilah umum yang digunakan untuk mengindikasikan

komunikasi melalui isyarat, postur, dan sinyal serta tanda tubuh lainnya

baik yang sadar maupun tidak. Bahasa tubuh mengkomunikasikan

informasi tak terucapkan mengenai identitas, hubungan dan pikiran

seseorang, juga suasana hati, motivasi dan sikap.

- Sinyal Kinesi

Sinyal kinesi dapat bersifat bawaan (tak sadar) contohnya mengejapkan

mata dan wajah memerah, dipelajari (sadar) contohnya isyarat seperti

kedipan mata dan acungan jempol, atau campuran keduanya yaitu ketika

tertawa, menangis dan mengangkat bahu. Tanda kinesis juga mengatur

cara orang berperilaku dalam situasi sosial tertentu sehingga tanda-tanda

semacam itu akan berbeda di berbagai budaya.

- Sentuhan

Studi tentang sentuhan diberi nama haptik. Pemberian salam melalui

jabatan tangan merupakan contoh tepat dari perilaku sosial yang diatur

oleh kode taktil (sentuhan), yang artinya, kode yang mengatur pola

sentuhan dalam situasi antarpribadi. Dimana kulit manusia merupakan

zona privasi yang mendefinisikan ruang diri dalam budaya-budaya ini

mencakup pakaian yang menutupi kulit.

- Isyarat

Isyarat dapat didefinisikan secara sederhana sebagai penggunaan tangan,

lengan dan kadang-kadang kepala untuk membuat tanda. Isyarat yang

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6956/2/T1_362007102_BAB II.pdfmensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal,

23

dimiliki hewan bersifat terbatas tetapi isyarat manusia bersifat produktif

dan bervariasi. Banyak pakar semiotik dan linguistik menganggap isyarat

sebagai sebentuk komunikasi yang lebih mendasar daripada bahasa

vokal.Telah berkembang “bahasa gerakan” untuk individu yang memiliki

gangguan pendengaran atau gangguan bicara. Bahasa ini biasa dikenal

denga bahasa isyarat (sign language), sedangkan istilah tanda (sign) disini

digunakan sebagai sinonim untuk isyarat (gesture).

2.4 Teori Semiotika Roland Barthes dan Umberto Eco

a) Teori Semiotika Roland Barthes

Beliau adalah salah satu tokoh semiotika komunikasi yang menganut

aliran semiotika komunikasi strukturalisme, pendekatan karya

strukturalisme memberikan perhatian untuk menyusun makna.

Strukturalisme merupakan suatu pendekatan yang secara khusus

memperhatikan struktur karya sastra atau seni. Fenomena kesastraan dan

estetika sebagai sistem tanda-tanda (Budiman, 2003).

Secara terperinci, Barthes dalam bukunya Mythology (2009)

menjelaskan bahwa sistem signifikan tanda terdiri atas relasi (R=Relation)

antara tanda (E=Expression) dan maknanya (C=Content). Sistem

signifikasi tanda tersebut dibagi menjadi sistem pertama (primer) yang

disebut sistem denotatif dan sistem kedua (sekunder) yang dibagi lagi

menjadi dua yaitu sistem konotatif dan sistem metabahasa. Di dalam

sistem denotatif terdapat antara tanda dan maknanya, sedangkan dalam

sistem konotatif terdapat perluasan atas signifikasi tanda (E) pada sistem

denotatif. Sementara itu di dalam sistem metabahasa tehadap perluasan

atas signifikasi makna (C) pada sistem denotatif. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa sistem konotatif dan sistem metabahasa merupakan

perluasan dari sistem denotatif.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6956/2/T1_362007102_BAB II.pdfmensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal,

24

Barthes melontarkan konsep tentang dua sistem penandaan bertingkat,

yang disebutnya sistem denotasi dan konotasi sebagai kunci dari

analisisnya.

1. Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama yang terdiri

dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda atau

konsep abstrak di baliknya.

2. Pada sistem konotasi atas sistem penandaan tingkat kedua rantai

penanda atau petanda pada sistem denotasi menjadi penanda, dan

seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan

lebih tinggi inilah yang menjadi kunci penting dari model semiotika

Roland Barthes. Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi

tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan

signified (konten) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal, itu

yang disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda

(sign). Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk

menunjukkan signifikasi tahap kedua - hal ini menggambarkan interaksi

yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari

pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya (Sobur, 2003).

Mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Mitos

dapat berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam

kesatuan-kesatuan budaya. Mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan,

tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang

digeneralisasikan oleh karenanya lebih banyak hidup dalam masyarakat.

Mitos mungkin hidup dalam „gosip‟ kemudian ia mungkin dibuktikan

dengan tindakan nyata. Sikap kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos

yang ada dalam diri kita. Mitos ini menyebabkan kita mempunyai

prasangka tertentu terhadap suatu hal yang dinyatakan dalam mitos (Van

Zoest, 1991) - Barthes menyebut fenomena ini membawa tanda dan

konotasinya untuk membagi pesan tertentu sebagai penciptaan mitos.

Pengertian mitos di sini tidaklah menunjuk pada mitologi dalam

pengertian sehari-hari seperti halnya cerita-cerita tradisional melainkan

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6956/2/T1_362007102_BAB II.pdfmensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal,

25

sebuah cara pemaknaan. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos;

satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang

lain karena digantikan oleh berbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan

atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda

pada tingkatan yang lain. Produksi mitos dalam teks membantu pembaca

untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang

ada di sekelilingnya. Bagaimanapun mitos juga mempunyai dimensi

tambahan yang disebut naturalisasi. Melaluinya, sistem makna menjadi

masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak

untuk masa yang lain. Barthes menyatakan bahwa mitos merupakan sistem

komunikasi, karena mitos ini toh merupakan sebuah pesan juga. Beliau

menyatakan mitos sebagai “modus pertandaan”, sebuah bentuk, sebuah

“tipe wicara” yang dibawa melalui wacana. Mitos tidaklah dapat

digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan

tersebut disampaikan - apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari

caranya ditekstualisasikan.

b) Teori Semiotika Umberto Eco

Menurut pandangan Umberto Eco, secara etimologis kata semiotika

berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri

didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang

terbangun sebelumnya, dapat diangggap mewakili sesuatu yang lain.

Secara terminologis, semiotika didefinisikan sebagai ilmu yang

mempunyai sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan seluruh

kebudayaan sebagai tanda (Sobur, 2003).

Beliau mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang

mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong, meski

terkesan bermain-main dan tidak serius, ini merupakan definisi yang

cukup mendalam karena ternyata kita memiliki kemampuan untuk

merepresentasikan dunia dengan cara apapun yang kita inginkan melalui

tanda-tanda dan dengan cara-cara penuh dusta atau yang menyesatkan

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6956/2/T1_362007102_BAB II.pdfmensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal,

26

(Danesi, 2010). Eco mengatakan bahwa, pada prinsipnya semiotika adalah

sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan

untuk berdusta. Definisi ini meskipun agak aneh secara eksplisit

menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta di dalam wacana semiotika,

sehingga dusta tampaknya menjadi prinsip utama semiotika. Menurut Eco,

tanda dapat digunakan untuk menyatakan kebenaran sekaligus juga untuk

menyatakan suatu kebohongan. Semiotika menaruh perhatian pada apapun

yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang

dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk

menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tersebut tidak perlu

harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu

tertentu. Dengan demikian semiotika pada prinsipnya adalah suatu disiplin

yang mempelajari apapun yang dapat digunakan untuk menyatakan suatu

kebohongan. Jika sesuatu itu tersebut tidak dapat digunakan untuk

mengatakan kebohongan, sebaliknya tidak bisa digunakan untuk

mengatakan kebenaran (Hoed, 2011).

Umberto Eco melihat semiotika penting untuk memahami berbagai

gejala dalam kebudayaan. Beliau mengemukakan bahwa kebudayaan

adalah “supra-individual principle” yang mengatur manusia dalam suatu

masyarakat dan terkadang berbenturan dengan “individual autonomy”

yang ada pada manusia. Di samping itu, beliau juga mengemukakan

bahwa kebudayaan harus dilihat sebagai suatu sistem tanda dan tanda

adalah gejala budaya.

Dalam menerapkan teori semiotik untuk memahami kebudayaan, ia

membagi semiotik menjadi dua jenis, yakni semiotik signifikasi

(mengakaji pemaknaan tanda dari segi pemahamannya) dan semiotik

komunikasi (mengkaji pemaknaan tanda dari segi interaksi antara

pengirim dan penerima) (Hoed, 2010:48). Eco mengatakan bahwa proses

pemaknaan tanda (semiosis), yang oleh Pierce dinyatakan sebagai tak

terbatas (unlimited semiosis), sangat tergantung dengan sejauh mana

“otonomi individual” yakni nilai-nilai dan norma dalam kebudayaan yang

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6956/2/T1_362007102_BAB II.pdfmensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal,

27

menguasai tingkah laku manusia. Pada saat otonomi individual dikalahkan

dan tunduk pada prinsip-prinsip supra-individual, berakhirlah proses

semiosis (khususnya proses interpretan).

Dari sini dapat dipahami bahwa bagaimana manusia sebagai pemberi

makna dan penafsir tanda berinteraksi dengan lingkungan sosial

budayanya (Hoed, 2010:91). Eco mengemukakan bahwa makna adalah

sebuah satuan budaya (cultural unit) dan bahwa setiap pola makna

merupakan hasil konvensi dalam kebudayaan manusia. Eco yang mengutip

Pierce “A sign is something by knowing which we know something more”,

berpendapat bahwa suatu tanda (yang disebutnya teks) adalah sebuah

opera aperta (karya yang terbuka).

Ini berarti bahwa setiap tanda, yang merupakan bagian kebudayaan

suatu masyarakat, selalu terbuka untuk mengalami proses semiosis tidak

terbatas. Suatu tanda dapat dipahami dan ditafsirkan secara berbeda-beda

oleh setiap orang pada tempat dan waktu yang berbeda, atau bahkan oleh

orang yang sama pada tempat dan waktu yang berbeda (Hoed, 2010: 244).