bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum tentang ...repository.ump.ac.id/4588/3/sufi nur abidah bab...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum dalam bahasa Inggris disebut legal protection,
sedangkan dalam bahasa Belanda disebut Rechtsbechermin. Harjono (2008: 357)
memberikan pengertian perlindungan hukum sebagai perlindungan dengan
menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum,
ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu
dengan menjadikan kepentingan yang dilindungi tersebut dalam sebuah hak hukum.
Perlindungan hukum adalah upaya melindungi kepentingan seseorang
dengan cara memberikan suatu kekuasaan kepada orang tersebut untuk
melakukan tindakan yang dapat memenuhi kepentingannya (Satjipto Rahardjo,
2003: 121). Muchsin (2003: 14) berpendapat bahwa perlindungan hukum
merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan
nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam
menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.
Menurut Philipus M. Hadjon (1994: 2), perlindungan hukum adalah
sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal
dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan
perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan
tidak terpenuhinya hak-hak tersebut. Philipus M. Hadjon juga mengatakan
bahwa perlindungan hukum ada dua macam yaitu:
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
9
1. Perlindungan hukum preventif
Bahwa hukum mencegah terjadinya sengketa. Fungsi ini dituangkan dalam
bentuk peraturan-peraturan pencegahan yang pada dasarnya merupakan
patokan bagi setiap tindakan yang akan dilakukan masyarakat, meliputi
seluruh aspek tindakan manusia.
2. Perlindungan hukum represif
Perlindungan hukum represif bersifat penanggulangan atau pemulihan
keadaan sebagai akibat tindakan terdahulu yang berfungsi untuk
menyelesaiakan apabila terjadi sengketa (Philipus M. Hadjon, 1987: 2).
Untuk menjalankan perlindungan hukum yang represif bagi rakyat Indonesia,
terdapat berbagai badan yang secara parsial mengurusnya. Badan-badan
tersebut selanjutnya dikelompokan menjadi 2 bagian, yaitu:
a. Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum
b. Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi.
Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi pemerintah
yang merupakan lembaga banding administrasi adalah permintaan
banding terhadap suatu tindak pemerintah oleh pihak yang merasa
dirugikan oleh tindakan pemerintah tersebut. Sehingga, instansi
pemerintah yang berwenang untuk mengubah bahkan dapat membatalkan
tindakan pemerintah tersebut.
Perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi
masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai
dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga
memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
10
(Setiono, 2004: 3). Bambang Sunggono (2003: 26-27) menjelaskan bahwa
perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek
hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun
yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Perlindungan hukum dapat diartikan dengan segala upaya pemerintah
untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
warganya agar hak-haknya sebagai seorang warga negara tidak dilanggar dan
bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang
berlaku. Dengan demikian, suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai
perlindungan hukum apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut (Dinni
Harina Simanjuntak, 2011):
1. Adanya pengayoman dari pemerintah terhadap warganya
2. Jaminan kepastian hukum
3. Berkaitan dengan hak-hak warga negara
4. Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya.
B. Tentang Perlindungan Hukum dalam Perspektif Ketenagakerjaan
1. Pengertian Tenaga Kerja/Pekerja
Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ketenagakerjaan,
selain istilah ini sudah dipergunakan sejak lama bahkan mulai dari zaman
penjajahan Belanda juga karena peraturan perundang-undangan yang lama
(sebelum Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)
menggunakan istilah buruh. Pada zaman Belanda yang dimaksudkan dengan
buruh adalah pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
11
pekerjaan kasar, orang-orang ini disebutnya sebagai “Blue Collar”.
Sedangkan yang melakukan pekerjaan di kantor pemerintah maupun swasta
disebut sebagai karyawan/pegawai (White Collar). Pembedaan yang
membawa konsekuensi pada perbedaan perlakuan dan hak-hak tersebut oleh
pemerintah Belanda tidak terlepas dari upaya untuk memecah belah orang-
orang pribumi (Lalu Husni, 2003: 33).
Setelah merdeka kita tidak lagi mengenal perbedaan antara buruh halus
dan buruh kasar tersebut, semua orang yang bekerja disektor swasta baik pada
orang maupun badan hukum disebut buruh.Saat ini istilah buruh diganti
dengan pekerja karena buruh dianggap kurang sesuai dengan perkembangan
sekarang. Yang mana pekerja merupakan sumber daya manusia yang memiliki
potensi, kemampuan yang tepat guna, berpribadi dalam kategori tertentu
untuk bekerja dan berperan serta dalam pembangunan, sehingga berhasil guna
bagi dirinya dan masyarakat secara keseluruhan (Hamalik, 2000: 7).
Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Bab I Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa tenaga kerja adalah
setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang
atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Kemudian Pasal 1 ayat (3) memberikan arti secara normatif mengenai
pekerja/buruh yaitu setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain. Singkatnya, setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah dan imbalan dalam bentuk lain. Dalam definisi ini terdapat
dua unsur yaitu orang yang bekerja dan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk lain (Maimun, 2003: 13).
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
12
Pengertian tenaga kerja ini lebih luas dari pengertian pekerja/buruh
karena pengertian tenaga kerja mencakup pekerja/buruh, yaitu tenaga kerja
yang sedang terikat dalam suatu hubungan kerja dan tenaga kerja yang belum
bekerja. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain. Jadi,pekerja/buruh adalah tenaga kerja
yang sedang dalam ikatan hubungan kerja (Hardijan Rusli, 2003: 13).
Selanjutnya Pasal 1 huruf (c) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981
tentang Perlindungan upah menentukan bahwa buruh adalah tenaga kerja
yang bekerja pada pengusaha dengan menerima upah. Demikian juga Pasal 1
huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan di Perusahaan, menyatakan bahwa buruh adalah tenaga kerja
yang menerima upah. Oleh karena itu, ruang lingkup pekerja/buruh sangat
luas, yakni dapat meliputi mulai pembantu rumah tangga, tukang becak
sampai pimpinan perusahaan yang menerima upah sebagai imbalan
prestasinya dari majikan (Darwan Prist, 2000: 21).
Menurut Sendjun H. Manullang (2001: 3-5) mengemukakan bahwa
"Tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan, baik
di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Jadi, pengertian tenaga kerja
meliputi tenaga kerja yang bekerja di dalam dan di luarhubungan kerja
dengan alat produksi utamanya dalam proses produksi adalahtenaganya
sendiri, baik fisik maupun pikiran”.
Payaman Simanjuntak dalam R. Joni Bambang (2013: 47) menjelaskan
bahwa, tenaga kerja (manpower) adalah penduduk yang sudah atau sedang
bekerja, yang sedang mencari pekerjaan, dan yang akan melaksanakan
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
13
kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Pengertian
tenaga kerja dan bukan tenaga kerja menurutnya ditentukan oleh umur/usia.
Tenaga kerja (manpower) terdiri atas dua macam yakni:
a. Angkatan kerja (labour force) yang terdiri atas golongan yang bekerja dan
golongan penganggur atau sedang mencari pekerjaan.
b. Angkatan yang bukan angkatan kerja yang terdiri atas golongan yang
bersekolah, golongan yang mengurus rumah tangga, dan golongan lain
atau menerima penghasilan dari pihak lain, seperti pensiunan dll.
Jadi yang disebut tenaga kerja adalah individu yang sedang mencari
pekerjaan atau sedang melakukan pekerjaan yang menghasilkan barang atau
jasa yang sudah memenuhi persyaratan ataupun batasan usia yang telah
ditentukan Undang-undang yang bertujuan untuk memperoleh hasil atau upah
untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
2. Klasifikasi Tenaga Kerja
Klasifikasi tenaga kerja adalah pengelompokan akan ketenagakerjaan
yang sudah tersusun berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan yaitu:
a. Berdasarkan penduduknya
1) Tenaga kerja adalah seluruh jumlah penduduk yang dianggap dapat
bekerja dan sanggup bekerja jika tidak ada permintaan kerja. Menurut
Undang-undang Tenaga Kerja, mereka yang dikelompokkan sebagai
tenaga kerja yaitu mereka yang berusia antara 15 tahun sampai dengan
64 tahun.
2) Bukan tenaga kerja adalah mereka yang dianggap tidak mampu dan
tidak mau bekerja, meskipun ada permintaan bekerja. Menurut Undang-
undang Tenaga Kerja Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
14
mereka adalah penduduk di luar usia, yaitu mereka yang berusia di
bawah 15 tahun dan berusia di atas 64 tahun. Contoh kelompok ini
adalah para pensiunan, para lansia (lanjut usia) dan anak-anak.
b. Berdasarkan batas kerja
1) Angkatan kerja adalah penduduk uisa produktif yang berusia 15-64
tahun yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja,
maupun yang sedang aktif mencari pekerjaan.
2) Bukan angkatan kerja adalah mereka yang berumur 10 tahun ke atas
yang kegiatannya hanya bersekolah, mengurus rumah tangga dan
sebagainya. Misalnya seperti anak sekolah dan mahasiswa, para ibu
rumah tangga, dan orang cacat, dan para pengangguran.
c. Berdasarkan kualitasnya
1) Tenaga kerja terdidik adalah tenaga kerja yang memiliki suatu keahlian
atau kemahiran dalam bidang tertentu dengan cara sekolah atau
pendidikan formal dan non formal. Contoh: pengacara, dokter, guru dan
lain-lain.
2) Tenaga kerja terlatih adalah tenaga kerja yang memiliki keahlian dalam
bidang tertentu dengan melalui pengalaman kerja. Seperti apoteker, ahli
bedah, mekanik, dan lain-lain.
3) Tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih adalah tenaga kerja kasar
yang hanya mengandalkan tenaga saja. Misalnya: tukang bangunan,
buruh angkut, pembantu rumah tangga, dan lain-lain (Agus Dwiyanto,
2006: 4).
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
15
3. Bentuk Tenaga Kerja/Pekerja
Menurut Adrian Sutedi (2009: 48), berdasarkan bentuknya pekerja
dibagi menjadi 4 (empat) yaitu:
a. Pekerja dengan Waktu Tertentu (PWT)
Pekerja Waktu Tertentu (PWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu
tertentu, biasanya masyarakat menyebutnya sebagai pekerja kontrak.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No.Kep 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, menyatakan bahwa Pekerja Waktu
Tertentu merupakan pekerja yang melakukan pekerjaan yang bersifat
sementara. Perjanjian kerja ini hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu
paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling
lama 1 (satu) tahun.
b. Pekerja dengan Waktu Tidak Tertentu (PWTT)
Pekerja Waktu Tidak Tertentu (PWTT) adalah perjanjian kerja antara
pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang
bersifat tetap.Pada Pekerja Waktu Tidak Tertentu ini dapat disyaratkan
adanya masa percobaan maksimal 3 (tiga) bulan.Pekerja yang
dipekerjakan dalam masa percobaan upahnya harus tetap sesuai dengan
standar upah minimum yang berlaku. Apabila perjanjian Pekerja Waktu
Tidak Tertentu dibuat secara lisan maka pengusaha wajib membuat surat
pengangkatan, hal ini dinyatakan dalam Pasal 63 ayat (1) Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
16
c. Pekerja Harian Lepas
Pekerja harian lepas merupakan pekerja yang bekerja pada suatu perusahaan
dimana waktu dari pekerjaan mereka tidak ditentukan secara pasti. Bentuk
dari perjanjian yang diberikan setiap perusahaan kepada pekerja harian
lepas adalah perjanjian secara lisan. Untuk pekerjaan yang berubah-ubah
dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada
kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian ini sebagai salah satu
bentuk terpendek dari perjanjian kerja waktu tertentu. Hubungan kerja
dengan membuat perjanjian ini dapat dilakukan dengan ketentuan, pekerja
bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan. Apabila
pekerja telah bekerja selama 21 (dua puluh satu) hari atau lebih, selama 3
(tiga) bulan berturut-turut atau lebih, maka perjanjian kerja harian lepas
harus berubah menjadi perjanjian kerja waktu tertentu.
d. Outsourcing merupakan bentuk pekerjaan dimana para pengusaha
mengambil pekerja dari perusahaan yang membentuk pekerja tersebut,
dan pengusaha yang bersangkutan membayar upah pekerja kepada
perusahaan tersebut. Dengan kata lain bahwa, perusahaan yang
membentuk pekerja tersebut yang membayar upah. Berdasarkan hukum
ketenagakerjaan, istilah outsourcing sebenarnya bersumber dari ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 64 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa perusahaan dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja
yang dibuat secara tertulis.
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
17
4. Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja/Pekerja
Hak-hak dan kewajiban para tenaga kerja yang terdapat dalam Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan antara lain:
a. Hak-hak Pekerja
1) Pasal 5 Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa
diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
2) Pasal 6 Setiap pekerja berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa
diskriminasi dari pengusaha.
3) Pasal 11 Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau
meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai
dengan bakat, minat dan kemampuannya melalui pelatihan kerja.
4) Pasal 12 ayat (3) Setiap pekerja memiliki kesempatan yang sama untuk
mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya.
5) Pasal 18 ayat (1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan
kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang
diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan
kerja swasta atau pelatihan ditempat kerja.
6) Pasal 23 Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan
berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan
atau lembaga sertifikasi.
7) Pasal 31 Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang
sama untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan
memperoleh penghasilan yanglayak di dalam atau di luar negeri.
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
18
8) Pasal 67 Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang
cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatannya.
9) Pasal 78 ayat (2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi
waktu kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 ayat (1) wajib
membayar upah kerja lembur.
10) Pasal 79 ayat (1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti
kepada pekerja.
11) Pasal 80 Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya
kepada pekerja untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh
agamanya.
12) Pasal 82 Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5
(satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu
setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter
kandungan atau bidan.
13) Pasal 84 Setiap pekerja yang menggunakan hak waktu istirahat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c dan d, Pasal
80 dan Pasal 82 berhak mendapatkan upah penuh.
14) Pasal 85 ayat (1) Pekerja tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
15) Pasal 86 ayat (1) Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas:
a) Keselamatan dan kesehatan kerja
b) Moral dan kesusilaan dan
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
19
c) Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta
nilai-nilai agama.
16) Pasal 88 Setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
17) Pasal 90 Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
18) Pasal 99 ayat (1) Setiap pekerja dan keluarganya berhak untuk
memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.
19) Pasal 104 ayat (1) Setiap pekerja berhak membentuk dan menjadi
anggota serikat pekerja.
20) Pasal 137 Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja dan serikat pekerja
dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya
perundingan.
21) Pasal 156 ayat (1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,
pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan uang penghargaan
masa kerja sertauang pengganti hak yang seharusnya diterima.
b. Kewajiban Tenaga Kerja/Pekerja
1) Pasal 102 ayat (2) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja
dan serikat pekerja mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai
dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi,
menyalurkan aspirasi secara demokrasi, mengembangkan keterampilan
dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan
memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
20
2) Pasal 126 ayat (1) Pengusaha, serikat pekerja dan pekerja wajib
melaksanakanketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
Pengusaha dan serikat pekerjawajib memberitahukan isi perjanjian
kerja bersama atau perubahannya kepadaseluruh pekerja.
3) Pasal 136 ayat (1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial
wajibdilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja
secara musyawarahuntuk mufakat.
4) Pasal 140 ayat (1) Sekurang kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja
sebelummogok kerja dilaksanakan, pekerja dan serikat pekerja wajib
memberitahukansecara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang
bertanggung jawab dibidangketenagakerjaan setempat.
5. Tentang Hukum Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan adalah semua hal yang berhubungan dengan tenaga
kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja, pengertian ini ada
dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Definisi Hukum Perburuhan menurut para ahli hukum
antara lain sebagai berikut (Karta Sapoetra, dkk, 1994: 15):
a. Menurut Molenaar, hukum perburuhan adalah bagian hukum yang berlaku,
yang pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha,
antara tenaga kerja dan tenaga kerja.
b. Mok mengatakan bahwa hukum perburuhan adalah hukum yang berkenaan
dengan pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang melakukan
pekerjaan atau tanggung jawab dan resiko sendiri.
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
21
c. Menurut Soetikno Hukum Ketenagakerjaan adalah keseluruhan peraturan-
peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seseorang
secara pribadi ditempatkan di bawah perintah atau pimpinan orang lain dan
mengenai keadaan-keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut
dengan hubungan kerja tersebut.
d. M.G Levenbach, hukum perburuhan adalah hukum yang berkenaan
dengan hubungan kerja, yakni pekerja di bawah pimpinan dan dengan
keadaan penghidupan yang langsung bersangkut-paut dengan hubungan
kerja itu.
e. Menurut Syahrani Hukum Perburuhan adalah keseluruhan peraturan
hukum yang mengatur hubungan-hubungan perburuhan, yaitu hubungan
antara buruh dan majikan dengan perintah (penguasa).
Dari beberapa definisi para ahli, hukum ketenagakerjaan memiliki
unsur-unsur sebagai berikut:
a. Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis
b. Mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja dan
pengusaha/majikan
c. Adanya orang pekerja pada dan di bawah orang lain, dengan mendapatkan
upah sebagai balas jasa
d. Mengatur perlindungan pekerja/buruh, meliputi masalah sakit, haid, hamil,
melahirkan, keberadaan organisasi pekerja/buruh dan sebagainya
(Maimun, 2007: 10).
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
22
6. Tujuan Hukum Ketenagakerjaan
Menurut Manulang (1995: 2) bahwa tujuan hukum ketenagakerjaan
adalah:
a. Untuk mencapai/melaksanakan keadilan sosial dalam bidang
ketenagakerjaan.
Artinya bahwa hukum ketenagakerjaan harus menjaga ketertiban, keamanan,
dan keadilan bagi pihak-pihak yang terkait dalam proses produksi, untuk
dapat mencapai ketenangan bekerja dan kelangsungan berusaha.
b. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari
pengusaha.
Dilatarbelakangi adanya pengalaman selama ini yang kerap kali terjadi
kesewenang-wenangan pengusaha terhadap pekerja/buruh.Untuk itu
diperlukan suatu perlindungan hukum secara komprehensif dan konkret
dari pemerintah.
Dalam ketentuan Pasal 4 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa
pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk:
a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan
manusiawi.
b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja
yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.
c. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan; dan
d. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
23
Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja dimaksudkan untuk
dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja
Indonesia.Selanjutnya, tenaga kerja Indonesia diharapkan dapat berpartisipasi
secara optimal dalam pembangunan nasional, tetapi dengan tetap menjunjung
nila-nilai kemanusiaannya.Dengan demikian, tujuan pembangunan
ketenagakerjaan adalah menjadikan tenaga kerja Indonesia sebagai subjek
pembangunan, bukan sebaliknya menjadi objek pembangunan.
7. Sumber Hukum Ketenagakerjaan
a. Undang-undang
Dipandang dari sudut kekuatan hukum, Undang-undang adalah sumber
hukum yang terpenting dan terutama.Undang-undang adalah peraturan
yang ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat. Undang-undang dan peraturan lain yang dipergunakan sebagai
pedoman dalam hukum ketenagakerjaan antara lain:
1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengawasan
Ketenagakerjaan Dalam Industri dan Perdagangan
3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial
4) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional
5) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
24
b. Peraturan lain
Peraturan lainnya ini kedudukannya adalah lebih rendah dari Undang-
undang dan pada umumnya merupakan peraturan pelaksanaan Undang-
undang. Peraturan lain meliputi peraturan pemerintah yang dibuat oleh
Pemerintah (Presiden), Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Peraturan
Menteri dan Keputusan Menteri serta Peraturan/Keputusan Instansi lain
yang berkaitan dengan ketenagakerjaan untuk melaksanakan suatu undang-
undang, oleh karena itu isi dari Peraturan Pemerintah itu tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
c. Kebiasaan
Kebiasaan dalam hal ini adalah kebiasaan yang terjadi antara pekerja dan
pemberi kerja yang dilakukan berulang-ulang dan diterima masyarakat
(para pihak baik pekerja maupun pemberi kerja). Contoh: Perekrutan
Pegawai tanpa pelatihan terstruktur (industri kecil dan menengah).
d. Yurisprudensi
Semenjak diberlakukannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (in kracht) akan menjadi dasar hukum bagi hakim
untuk memutus perkara serupa.
e. Traktat
Terkait dengan masalah ketenagakerjaan, perjanjian merupakan sumber
hukum tenaga kerja ialah perjanjian kerja.Perjanjian kerja mempunyai sifat
kekuatan hukum mengikat dan berlaku seperti Undang-undang pada pihak
yang membuatnya (Zainal Asikin, 2002: 34).
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
25
C. Teori Keadilan dan Teori Kesejahteraan Terkait Perlindungan Pekerja
1. Teori Keadilan
Istilah keadilan (Iustitia) berasal dari kata “adil” yang berarti tidak berat
sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak
sewenang-wenang. Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa
pengertian keadilan adalah semua hal yang berkenaan dengan sikap dan
tindakan dalam hubungan antar manusia, keadilan berisi sebuah tuntutan agar
orang memperlakukan sesamanya sesuai dengan hak dan kewajibannya,
perlakuan tersebut tidak pandang bulu atau pilih kasih, melainkan semua
orang diperlakukan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya.
Teori Keadilan menurut Gustav Radbruch (1878-1949) dapat dibedakan
menjadi tiga aspek yaitu:
1. Keadilan dalam arti sempit.
Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan.
2. Tujuan keadilan atau finalitas.
Aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan
tujuan yang hendak dicapai.
3. Kepastian hukum atau legalitas.
Aspek ini menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang
harus ditaati (Theo Huijbers, 1982: 52).
Landasan pemikiran Gustav Radbruch adalah nilai keadilan sebagai
mahkota dari setiap tata hukum. Radbruch sebagai eksponen Neo-Kantian
yang sangat terpengaruh oleh mazhab Baden, berusaha mengatasi dualism
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
26
antara Sein dan Sollen, antara ‘materi’ dan bentuk. Jika, Stammler, John
Austin dan Hans Kelsen terperangkap dalam dualism itu, dimana yang
dipentingkan dalam hukum hanyalah dimensi formal atau bentuknya, maka
Radbruch tidak mau ‘terjebak’ dalam hal yang sama. Radbruch memandang
bahwa Sein dan Sollen, “materi” dan “bentuk”, sebagai dua sisi dari satu mata
uang. “Materi” mengisi “bentuk” dan “bentuk” melindungi “materi”.
Demikian makna dari frase yang tepat untuk melukiskan teori Redbruch
tentang hukum dan keadilan. Nilai keadilan adalah “materi” yang harus
menjadi isi aturan hukum, sedangkan aturan hukum adalah “bentuk” yang
harus melindungi nilai keadilan (Bernard L Tanya, 2013: 129).
Memperhatikan uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa Radbruch
mengkombinasikan antara pendekatan empiris dengan pendekatan normatif.
Radbruch memahami hukum sebagai ilmu kultur empiris dan normatif.
Dengan kata lain, Radbruch memandang hukum selalu mengacu pada nilai-
nilai keadilan dan kepastian. Pandangan keadilan Radbruch ini tidak dapat
dipisahkan dari konsep Aristoteles yang membedakan antara keadilan
distributif dan keadilan komutatif.Keadilan distributif mempersoalkan
bagaimana negara atau masyarakat membagi atau menebar keadilan kepada
orang-orang sesuai dengan kedudukannya. Sedangkan keadilan komutatif
mengandung pengertian tidak membedakan posisi atau kedudukan orang-
perorang untuk mendapatkan perlakuan hukum yang sama atau equality
before the law (Endang Sutrisno, 2007: 21).
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
27
Bagi filosof seperti Aristoteles, keadilan merupakan nilai kebajikan yang
tertinggi. Sementara bagi Plato keadilan merupakan “justice is the suprime
virtue which harmonize all other virtues”. Ini berarti bahwa keadilan sebagai
suatu kebajikan individual (individual virtue). Karena itu dalam Institute of
Justinian, keadilan merupakan tujuan yang kontinyu dan konstan untuk
memberikan kepada setiap orang haknya (Roscoe Pound, 1952: 3).
Apabila disarikan pandangan para ahli tentang keadilan tadi, maka
konsep keadilan yang tepat adalah keadilan yang berdasarkan Pancasila, yaitu
Sila Kelima, yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Hakikatnya konsep ini, bukan saja relevan dengan teori kesejahteraan yang
dianut Indonesia, serta landasan hukum pembangunan ekonomi nasional,
yaitu ketentuan dalam Pasal 33 UUD 1945. Namun keadilan ini menjadi ruh
atau landasan moral hukum dan sekaligus tolak ukur sistem hukum positif.
John Rawls (1921-2002) adalah seorang pemikir yang memiliki pengaruh
sangat besar dibidang filsafat politik dan filsafat moral. Melalui gagasan-
gagasan yang dituangkan di dalam a theory of justice (1971).A theory oh
justice adalah sebuah karya filsafat politik dan filsafat moral yang kuat,
mendalam, subtil, luas dan sistematik. Merumuskan prinsip-prinsip yang
mengatur distribusi hak dan kewajiban diantara segenap anggota suatu
masyarakat. Penekanan terhadap masalah hak dan kewajiban, yang didasarkan
pada suatu konsep keadilan bagi suatu kerja sama sosial, menunjukan bahwa
teori keadilan Rawls memusatkan perhatian pada bagaimana mendistribusikan
hak dan kewajiban secara seimbang didalam masyarakat sehingga setiap
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
28
orang berpeluang memperoleh manfaat darinya secara nyata, serta menanggung
beban yang sama. Karenanya, agar menjamin distribusi hak dan kewajiban
yang berimbang tersebut, Rawls juga menekankan pentingnya kesepakatan
yang fair diantara semua anggota masyarakat. Hanya kesepakatan fair yang
mampu mendorong kerja sama sosial (Rawls, 1971: 4-5).
Dalam kondisi awal (posisi asli) sebagaimana dijelaskan diatas, Rawls
percaya bahwa semua pihak akan bersikap rasional, dan sebagai person yang
rasional, semua pihak akan lebih suka memilih prinsip keadilan yang
ditawarkan daripada prinsip manfaat (utilitarianisme). Semua nilai-nilai
sosial, kebebasan, kesempatan, pendapatan, dan kekayaan dan basis harga diri
harus didistribusikan secara sama. Suatu distribusi yang tidak sama atas nilai-
nilai sosial tersebut hanya diperbolehkan apabila hal itu memang
menguntungkan orang-orang yang paling tidak beruntung (Rawls, 1971: 62).
Bertolak belakang dari prinsip umum diatas, Rawls merumuskan kedua
prinsip keadilan sebagai berikut:
a. Setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang
paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang
b. Ketidaksamaan sosial ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga;
1) Diharapkan memberi keuntungan bagi orang-orang yang paling tidak
beruntung
2) Semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang
(Rawls, 1971: 60).
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
29
2. Teori Kesejahteraan
Teori Negara Kesejahteraan menurut Watts, Dalton dan Smith bahwa
ide dasar Negara kesejahteraan sebenarnya sudah ada sejak abad ke-18,
ketika Jeremy Bentham (1748-1832) memandang bahwa pemerintah
mempunyai tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness
(welfare) of the greatest sumber of their citizens.Artinya, pemerintah
berkewajiban membuat bahagia sebanyak mungkin warganya (Bessant et al,
2006: 11).
Senadadengan Bentham, Thoenes juga mengemukakan bahwa Welfare
State merupakan “a form of society characterizedby a system of democratic
government-sponsored welfare placed on a new footing and offering a
guarantee of collective social care to its citizens, concurrently”. Artinya,
bahwa pemerintah memberikan jaminan pelayanan sosial kepada warganya
(Ade Komarudin, 2014: 8).
Edi Suharto (2006: 3-4) mengatakan, konsep negara kesejahteraan
adalah dalam rangka memberikan peran lebih besar kepada negara dalam
penyelenggaraan sistem jaminan sosial (social security) secara terencana.
Setidaknya ada 4 (empat) pengertian mengenai konsep kesejahteraan yang
dikemukakan, yaitu sebagai kondisi sejahtera, pelayanan sosial, tunjangan
sosial, dan sebagai proses atau usaha terencana, dimana hal ini dilaksanakan
oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan
pemerintah dalam meningkatkan kualitas kehidupan (sebagai pengertian
pertama) melalui pemberian pelayanan sosial dan keadilan sosial.
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
30
Sederhananya, Negara kesejahteraan (welfare state) menuntut tanggung
jawab Negara terhadap kesejahteraan para warganya. Konsep ini sesuai
dengan apa yang dirumuskan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945,
yang kemudian dijabarkan ke dalam batang tubuhnya. Dimana ketentuan
tersebut mempunyai arti bahwa negara (pemerintah) dibentuk dengan tujuan
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
D. Perlindungan Hukum Ketenagakerjaan
Menyadari pentingnya peran pekeja/buruh dalam keberhasilan suatu
industri maka harus diperhatikan juga keselamatan, kesehatan serta
kesejahteraan pekerja sehingga perlu adanya upaya peningkatan perlindungan
pekerja. Perlindungan hukum ketenagakerjaan adalah keseluruhan norma-norma
hukum publik yang tertuju pada pengaturan keadaan perburuhan di perusahaan.
Pengaturan ini beraspek materil dan in materil (Mustari, 2013: 35). Tujuannya
adalah untuk menjamin berlangsungnya sistem hubungan kerja secara harmonis
tanpa disertai adanya tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah.
Seperti dalam Pasal 24 D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja”.
Secara yuridis pada Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003,
memberikan perlindungan bagi tenaga kerja yang mencakup orang yang belum
bekerja, yaitu orang yang tidak terikat dalam hubungan kerja (pekerja/buruh),
karena orang yang terikat dalam suatu hubungan kerja juga berhak untuk
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
31
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik atau yang lebih disukai oleh
pekerja/buruh. Sedangkan Pasal 6 ini merupakan perlindungan bagi
pekerja/buruh (orang yang sedang dalam ikatan hubungan kerja) saja. Selain itu,
perbedaan Pasal 5 dan Pasal 6 adalah mengenai subyek pelakunya. Pasal 5
berlaku bagi siapa saja, dalam arti tidak terbatas bagi pengusaha tertentu saja,
melainkan mencakup pengertian pengusaha secara umum, artinya bisa
pengusaha atau siapa saja, misalkan perusahaan A, perusahaan B atau
perusahaan C dan sebagainya, termasuk juga perusahaan penempatan tenaga
kerja, tetapi dalam Pasal 6 subyek pelakunya adalah terbatas bagi pengusaha
yang mempekerjakan pekerja/buruh tersebut (Hardijan Rusli, 2011: 8).
Menurut Soepomo perlindungan pekerja dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
1. Perlindungan Ekonomis
Perlindungan pekerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila
pekerja tidak mampu bekerja diluar kehendaknya.
2. Perlindungan Sosial
Perlindungan pekerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, kebebasan
berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.
3. Perlindungan Teknis
Perlindungan pekerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja
(Khakim Abdul, 2003: 61-62).
Adapun bentuk perlindungan hukum menurut Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan meliputi:
1. Perlindungan atas hak-hak dalam hubungan kerja.
2. Perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan
pengusaha, dan mogok kerja.
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
32
3. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
4. Perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak dan penyandang
cacat.
5. Perlindungan tentang upah, kesejahteraan dan jaminan sosial tenaga kerja.
6. Perlindungan atas hak pemutusan hubungan tenaga kerja.
Perlindungan pekerja dapat dilakukan, baik dengan jalan memberikan
tuntunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi
manusia, perlindungan fisik dan teknis secara sosial dan ekonomi melalui norma
yang berlaku dalam lingkungan kerja itu (Zaeni Asyahdie, 2007: 78). Menurut
Zainal Asikin (1993: 5) menyebutkan perlindungan hukum dari kekuasaan
majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam bidang
perburuhan yang mengahruskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam
perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena
keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara
sosiologis dan filosofis.
Perlindungan tenaga kerja dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu
(Zainal Asikin, 2002: 76-79):
1. Perlindungan secara Ekonomis atau Jaminan Sosial
Yaitu perlindungan pekerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk
bila tenaga kerja tidak bekerja diluar kehendaknya.Penyelenggara program
jaminan sosial merupakan salah satu tanggung jawab dan kewajiban negara
untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat.Jaminan
sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk
santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
33
atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang
alami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari
tua dan meninggal dunia.Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa jaminan sosial
tenaga kerja adalah merupakan perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk
santunan berupa uang (jaminan kecelakaan kerja, kematian, dan tabungan
hari tua) dan pelayanan kesehatan yakni jaminan pemeliharaan
kesehatan.Merupakan hak setiap warga tenaga kerja yang sekaligus
merupakan kewajiban dari majikan.Pada hakikatnya program jaminan sosial
tenaga kerja dimaksud untuk memberikan kepastian berlangsungnya arus
penerimaan penghasilan keluarga yang sebagian hilang. Disamping itu
program jaminan sosial tenaga kerja mempunyai beberapa aspek antara lain:
a) Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup
minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya
b) Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja mendidk kemandirian
pekerja sehingga pekerja tidak harus meminta belas kasihan orang lain
jika dalam hubungan kerja terjadi resiko-resiko seperti kecelakaan kerja,
sakit, hari tua dan lainnya.
2. Perlindungan Sosial atau Kesehatan Kerja
Yakni perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan
kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. Kesehatan
kerja sebagaimana telah dikemukakan diatas termasuk jenis perlindungan
sosial karena ketentuan-ketentuan mengenai kesehatan kerja ini berkaitan
dengan sosial kemasyarakatan, yaitu aturan-aturan yang bermaksud
mengadakan pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan pengusaha untuk
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
34
memperlakukan pekerja/buruh “semaunya” tanpa memperhatikan norma-
norma yang berlaku, dengan tidak memandang pekerja/buruh sebagai
makhluk tuhan yang mempunyai hak asasi. Karena sifatnya yang hendak
mengadakan ”pembatasan” ketentuan-ketentuan perlindungan sosial dalam
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Bab X
Pasal 68 dan seterusnya bersifat ”memaksa”, bukan mengatur. Akibat adanya
sifat memaksa dalam ketentuan perlindunga sosial Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 ini, pembentuk Undang-undang memandang perlu untuk
menjelaskan bahwa ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan sosial ini
merupakan ”hukum umum” (Publiek-rechtelijk) dengan sanksi pidana. Hal
ini disebabkan beberapa alasan berikut:
a) Aturan-aturan yang termuat di dalamnya bukan bermaksud melindungi
kepentingan seorang saja, melainkan bersifat aturan bermasyarakat.
b) Pekerja/buruhIndonesia umumnya belum mempunyai pengertian atau
kemampuan untuk melindungi hak-haknya sendiri.
Oleh karena itu kesehatan kerja bermaksud melindungi atau menjaga
pekerja/buruh dari kejadian/keadaan hubungan kerja yang merugikan
kesehatan dan kesusilaannya dalam hal pekerja/buruh melakukan
pekerjaannya. Adanya penekanan ”dalam suatu hubungan kerja”
menunjukkan bahwa semua tenaga kerja yang tidak melakukan hubungan
kerja dengan pengusaha tidak mendapatkan perlindungan sosial sebagaimana
ditentukan dalam Bab X Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
35
3. Perlindungan Teknis atau Keselamatan Kerja
Yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan.
Keselamatan kerja termasuk dalam apa yang disebut perlindungan teknis,
yaitu perlindungan terhadap pekerja/buruh agar selamat dari bahaya yang
dapat ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan yang dikerjakan. Berbeda
dengan perlindungan kerja lain yang umumnya ditentukan untuk kepentingan
pekerja/buruh saja, keselamatan kerja ini tidak hanya memberikan
perlindungan kepada pekerja/buruh, tetapi kepada pengusaha dan pemerintah.
a) Bagi pekerja/buruh, adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan
menimbulkan suasana kerja yang tentram sehingga pekerja/buruh dapat
memusatkan perhatian pada pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa
khawatir sewaktu-waktu akan tertimpa kecelakaan kerja.
b) Bagi pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja di dalam
perusahaannya akan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan yang dapat
mengakibatkan pengusaha harus memberikan jaminan sosial.
c) Bagi pemerintah (dan masyarakat), dengan adanya dan ditaatinya
peraturan keselamatan kerja, maka apa yang direncanakan pemerintah
untuk mensejahterakan masyrakat akan tercapai dengan meningkatnya
produksi perusahaan baik kualitas maupun kuantitas.
Selain perlindungan terhadap pekerjanya, terdapat norma perlindungan lain
terhadap pekerja yaitu:
1. Norma Kesehatan Kerja dan Heigiene Kesehatan Perusahaan
Meliputi pemeliharaan dan mempertnggi derajat kesehatan pekerja, dilakukan
dengan mengatur pemberian obat-obatan, perawatan pekerja yang sakit,
mengatur persediaan tempat, cara dan syarat kerja yang memenuhi heigiene
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
36
kesehatan perusahaan dan kesehatan pekerja untuk mencegah penyakit, baik
sebagai akibat bekerja atau penyakit umum serta menetapkan syarat
kesehatan bagi perumahan pekerja.
2. Norma Kerja
Meliputi perlindungan terhadap pekerja yang bertalian dengan waktu bekerja,
sistem pengupahan, istirahat, cuti, pekerja wanita, anak, kesusilaan ibadah
menurut agama keyakinan masing-masing yang diakui oleh pemerintah,
kewajiban sosial kemasyarakatan dan sebagainya guna memelihara
kegairahan dan moril kerja yang menjamin daya guna kerja yang tinggi serta
menjaga perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral.
3. Kepada pekerja yang mendapat kecelakaan dan/atau menderita penyakit
kuman akibat pekerjaan, berhak atas ganti rugi perawatan dan rehabilitasi
akibat kecelakaan dan atau penyakit akibat pekerja, ahli warisnya berhak
mendapat ganti kerugian.
Menurut Adrian Sutedi (2009: 13) hanya ada 2 (dua) cara melindungi pekerja/
buruh yakni pertama melalui Undang-undang perburuhan, karena dengan
Undang-undang berarti ada jaminan negara yang memberikan pekerjaan yang
layak, melindunginya di tempat kerja (kesehatan, keselamatan kerja, dan upah
layak) sampai dengan pemberian jaminan sosial setelah pensiun. Kedua, melalui
serikat pekerja/serikat buruh, karena melalui serikat pekerja/serikat buruh
pekerja/buruh dapat menyampaikan aspirasinya, berunding untuk menuntut hak-
hak yang semestinya mereka terima.Serikat pekerja/serikat buruh juga dapat
mewakili pekerja/buruh dalam membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang
mengatur hak-hak dan kewajiban pekerja/buruh dengan pengusaha melalui suatu
kesepakatan umum yang menjadi pedoman dalam hubungan industrial.
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
37
Jaminan perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh ada beberapa Pasal
dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
perlu diperhatikan seperti:
1. Penyandang Cacat (Pasal 67)
1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib
memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pekerja Anak (Pasal 68, 69 dan 72)
a. Pengusaha dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68)
b. Pasal 69
1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan
bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan
15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang
tidak menganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan
sosial.
2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a) Izin tertulis dari orang tua atau wali
b) Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali
c) Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam
d) Dilakukan pada siang hari dan tidak menganggu waktu sekolah
e) Keselamatan dan kesehatan kerja
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
38
f) Adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g) Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berbeda.
h) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan
g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.
c. Pasal 72
Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh
dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja
pekerja/buruh dewasa.
3. Pekerja/buruh Perempuan
Mengenai pekerja/buruh perempuan diatur dalam Pasal 76 Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003, sebagai berikut:
1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas)
tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00
2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang
menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan
kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00
3) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh
perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 05.00
4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur
dengan Keputusan Menteri.
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
39
Bagi pekerja/buruh perempuan ada hak-hak yang berbeda dengan laki-laki yakni
diatur dalam Pasal 81-83:
a. Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan
memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama
dan kedua pada waktu haid (Pasal 81 ayat (1) Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003)
b. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama
c. Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu
setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak menurut perhitungan
dokter kandungan atau bidan dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan (Pasal 82 ayat
(1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003)
d. Pekerja/buruh yang mengalami keguguran berhak memperoleh istirahat 1,5
(satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan
atau bidan (Pasal 82 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003)
e. Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusui harus diberi
kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan
selama waktu kerja (Pasal 83 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003).
4. Waktu Kerja
Dalam aturan tentang Ketenagakerjaan maka waktu kerja merupakan masalah
penting karena berhubungan dengan efisiensi kerja maupun kemampuan
tenaga kerja. Oleh karena itu, setiap pengusaha wajib melaksanakan
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
40
ketentuan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (2) Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang memberikan rincian
waktu kerja meliputi:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Apabila pengusaha mempekerjakan melebihi waktu kerja harus membayar
atas lembur, maka wajib bagi pengusaha memliki persetujuan dari
pekerja/buruh dan waktu lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3
(tiga) jam dalam waktu 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam waktu 1
(satu) minggu.
Selain membayar uang lembur, maka pengusaha wajib memberikan waktu
istirahat kepada pekerja/buruh. Waktu istirahat sebagaimana diatur dalam
Pasal 79 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah pengusaha wajib
memberikan waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pekerja/buruh berhak
menolak pekerjaan pada saat hari-hari libur. Sebagaimana diatur dalam Pasal
85 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
bahwa pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi. Akan
tetapi apabila pengusaha terpaksa mempekerjakan pekerja/buruh pada hari
libur resmi karena sesuatu kepentingan dari jenis dan sifat pekerjaan harus
dijalankan dan dilaksanakan secara terus-menerus atau keadaan karena
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
41
kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh maka bekerja pada hari
libur harus dibayar sesuai dengan aturan pembayaran lembur upah kerja. Hal
ini diatur dalam Pasal 85 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Pengusaha
dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari resmi
apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan
secara terus-menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha”.
E. Tinjauan Pekerja Harian Lepas
1. Pengertian Pekerja Harian Lepas
Pada dasarnya peraturan perundang-undangan dalam bidang
ketenagakerjaan berlaku terhadap semua pekerja tanpa membedakan status
baik itu pekerja tetap ataupun pekerja harian lepas.Kenyataannya indutri-
industri masih banyak memperkerjakan pekerja harian lepas.Pekerja harian
lepas masih belum mendapatkan perlindungan sesuai haknya sehingga perlu
adanya suatu peraturan yang mengatur tentang pekerja harian lepas.
Pekerja/buruh harian lepas adalah pekerja/buruh yang diikat dengan
hubungan kerja dari hari ke hari dan menerima penerimaan upah sesuai
dengan banyaknya hari kerja atau jam kerja atau banyak barang atau jenis
pekerjaan yang disediakan. Disebut pekerja/buruh harian lepas karena
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak ada kewajiban untuk masuk kerja dan
tidak mempunyai hak yang sama seperti pekerja/buruh tetap. Umumnya
pekerja/buruh adalah pekerja/buruh yang mengerjakan pekerjaan yang
sifatnya tidak terus-menerus tetapi bersifat musiman.
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
42
Keputusan Menteri Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pasal 12 menjelaskan tentang
pekerja harian lepas yaitu:
a. Pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib membuat perjanjian kerja
harian lepas secara tertulis dengan para pekerja/buruh.
b. Perjanjiankerjaharianlepassebagaimanadimaksuddalamayat (1) dapat
dibuat berupa daftar pekerja/ buruh yang melakukan pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sekurang-kurangnya memuat:
1) Nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja.
2) Nama/alamat pekerja/buruh.
3) Jenispekerjaan yang dilakukan.
4) Besarnyaupahdan/atauimbalanlainnya.
c. Daftarpekerja/buruhsebagaimanadimaksuddalamayat (2) disampaikan
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenaga kerjaan
setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak memperkerjakan
pekerja/buruh.
Tenaga kerja harian lepas merupakan buruh yang diikat dengan hubungan
kerja dari hari ke hari dan menerima upah sesuai dengan banyaknya hari
kerja, atau jam kerja atau banyak barang atau jenis pekerjaan yang disediakan.
2. Sumber Hukum Pekerja Harian Lepas
Aturan tentang tenaga kerja harian lepas ada dalam Keputusan Menteri
Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu Pasal 10 yaitu:
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
43
a. Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah daam hal waktu
dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat
dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.
b. Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua
puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan.
c. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian
lepas berubah menjadi PKWTT.
Ketentuan mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu diatur dalam
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dari Pasal
56 sampai dengan Pasal 59 yang mana dibagian akhir dari Pasal 59 yakni
pada ayat (8) disebutkan bahwa : “Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal
ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri”. Ketentuan inilah
yang mendasari terbitnya Keputusan Menteri Nomor 100 Tahun 2004 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Selanjutnya terkait dengan hak mendapatkan jaminn sosial bagi semua
pekerja/buruh termasuk pekerja harian lepas diatur dalam Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dimana
terkait tentang ketenagakerjaan ada dalam Pasal 15 yang menyebutkan bahwa:
a. Pemberi kerja bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya
sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang
diikuti.
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
44
b. Pemberi kerja, dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), wajib memberikan data dirinya dan pekerjanya berikut anggota
keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.
c. Penahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Presiden.
3. Perlindungan terhadap tenaga kerja harian lepas
Banyak sekali peraturan perundang-undangan yang melindungi seorang
tenaga kerja.Seperti yang diketahui bahwa tujuan hukum ketenagakerjaan
adalah melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan yang
diselenggarakan dengan jalan melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan
majikan (Imam Soepomo, 1974: 1).
Pada dasarnya peraturan perundang-undangan tentang Ketenagakerjaan
berlaku untuk semua pekerja tanpa membedakan statusnya baik sebagai
pekerja tetap maupun pekerja harian lepas.Namun pada kenyataannya masih
banyak pekerja harian lepas yang masih belum mendapatkan perlindungan
sebagaimana mestinya maka dari itu perlu adanya suatu peraturan yang
memberikan perlindungan bagi pekerja harian lepas.
Pelaksanaan perlindungan pekerja harian lepas seharusnya sesuai
dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta
Keputusan Menteri Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Ketentuan yang mendasari terbentuknya
Keputusan Menteri Nomor 100 Tahun 2004 yakni Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 56 sampai dengan Pasal 59, yang
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
45
mana di bagian akhir dalam Pasal 59 ayat (8) disebutkan bahwa “Hal-hal lain
yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dalam Keputusan
Menteri”.
Perjanjian pekerja harian lepas diatur dalam Pasal 10 sampai dengan
Pasal 12 Keputusan Menteri Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Ada beberapa ketentuan umum
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yaitu :
a. Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu
dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat
dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.
b. Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua
puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan.
c. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian
lepas berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Sebelum adanya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial sudah ada aturan yang mengatur tentang
jaminan sosial terhadap pekerja harian lepas yaitu Keputusan Menteri Nomor
150 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Tertentu
Pasal 2 ayat (1) “Setiap pengusaha yang memperkerjakan tenaga kerja harian
lepas, borongan dan perjanjian kerja waktu tertentu wajib mengikutsertakan
tenaga kerjanya dalam program Jamsostek kepada Penyelenggara”.
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
46
Sama halnya setelah terbitnya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam Pasal 15 ayat (1)
disebutkan bahwa “Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya
dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti”. Jika pemberi kerja
selain penyelenggara negara tidak melaksanakan ketentuan tersebut maka
akan dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada Pasal 17
ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial dapat berupa:
a. Teguran tertulis
b. Denda; dan/atau
c. Tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu.
F. Upaya Penyelesaian Sengketa Bidang Ketenagakerjaan
Perselisihan atau disebut pula sengketa atau dalam bahasa Inggris disebut
dengan conflict atau dispute merupakan suatu akibat yang terjadi dari hubungan
antar manusia.Menurut Ronny Hanitijo Soemitro dalam Lalu Husni (1984: 22)
yang dimaksud dengan konflik adalah situasi atau keadaan dimana dua atau
lebih pihak memperjuangkan tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat
dipersatukan dan dimana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain
mengenai kebenaran tujuannya masing-masing. Sebagai makhluk sosial yang
selalu berinteraksi dengan manusia lain, maka merupakan suatu hal yang wajar
jika dalam interaksi tersebut terjadi perbedaan paham yang mengakibatkan
konflik antara satu dengan yang lain. Demikian halnya dalam bidang
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
47
perburuhan/ketenagakerjaan, meskipun para pihak yang terlibat di dalamnya
sudah diikat dengan perjanjian kerja namun terjadi konflik tetap tidak dapat
dihindari.
Sebelum Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial lahir, istilah penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dikenal dengan nama penyelesaian perselisihan perburuhan
yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957. Pasal 1 ayat (1)
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial mendefiniskan perselisihan hubungan industrial adalah
sebagai perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha
atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat buruh karena
adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu
perusahaan. Selain ada Undang-undang tersendiri yang mengatur tentang
penyelesaian perselisihan hubungan industrial, di dalam Undang-undang
Ketenagakerjaan pun sudah menjelaskan tentang pengertian perselisihan
hubungan industrial yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (22) Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dilihat dari sudut subjek hukumnya terdapat 2 (dua) jenis perselisihan
hubungan industrial, yaitu:
1) Perselisihan hubungan industrial yang subjek hukumnya pengusaha atau
gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
48
a. Perselisihan Hak
Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menegaskan bahwa
perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya
hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau perbedaan penafsiran
terhadap ketentuan Undang-undang, Perancangan Perjanjian Kerja,
Peraturan Perusahaan, dan Perjanjian Kerja Bersama. Menurut Sehat
Damanik (2006: 21) perselisihan hak bersifat normatif karena yang
diperselisihkan mengenai hal-hal yang telah ada pengaturannya atau dasar
hukumnya.Jika dikaitkan dengan Pasal 1 angka 1 formalitas perselisihan
hak adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan, karena
tidak dipenuhinya hak.Subjek hukumnya adalah pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh.
b. Perselisihan Kepentingan (belangengeschil)
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan
kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan
atau perubahan syarat-syarat kerja dalam Perancangan Perjanjian Kerja,
Peraturan Perusahaan, dan Perjanjian Kerja Bersama (Pasal 1 angka 3
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial).
c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyatakan bahwa
perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
49
kerja yang dilakukan salah satu pihak. Hal-hal yang lebih rinci tentang
pemutusan hubungan kerja diatur dalam Pasal 150 sampai dengan Pasal
172 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2) Perselisihan hubungan industrial yang subjek hukumnya serikat pekerja/buruh
dengan serikat pekerja/buruh lain dalam satu perusahaan
a. Perselisihan antara Serikat Pekerja/Buruh dalam Satu Perusahaan
Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyatakan bahwa
perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan karena tidak adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan,
pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatan.
Bilamana terjadi perselisihan perburuhan, maka serikat buruh dan majikan
mencari penyelesaian perselisihan itu secara damai dengan jalan
perundingan.Persetujuan yang dicapai melalui perundingan itu dapat disusun
menjadi perjanjian perburuhan menurut ketentuan-ketentuan yang tercantum
dalam undang-undang perjanjian perburuhan. Jika dalam perundingan itu oleh
pihak-pihak yang berselisih sendiri tidak dapat diperoleh penyelesaian, maka
ada 2 alternatif yang dapat ditempuh yakni:
1) Menyerahkan perselisihan itu secara sukarela pada seorang juru atau dewan
pemisah. Penyelesaian seperti ini disebut juga dengan penyelesaian sukarela
(Foluntary arbitration).
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
50
Penyelesaian sukarela dilakukan oleh juru atau dewan pemisah sebagai
arbitrase. Penyerahan perselisihan kepada juru pemisah atau dewan pemisah
harus dilakukan dengan surat perjanjian antara kedua belah pihak. Dalam
surat perjanjian itu diterangkan mengenai:
a. Pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang akan diserahkan
kepada dewan pemisah untuk diselesaikan.
b. Nama pengurus atau wakil serikat buruh dan majikan serta tempat
kedudukan mereka.
c. Siapa yang ditunjuk menjadi juru pemisah atau dewan pemisah dan
tempat tinggalnya.
d. Bahwa kedua belah pihak akan tunduk kepada putusan yang akan
diambil oleh juru pemisah atau dewan pemisah.
e. Hal-hal yang perlu untuk melancarkan pemisahan.
Penunjukan juru pemisah atau pembentukan dewan pemisah demikian pula
mengenai tata cara pemisahan terserah sepenuhnya kepada persetujuan
kedua belah pihak. Terhadap putusan juru atau dewan pemisah tidak dapat
dimintakan pemeriksaan ulangan. Putusan juru atau dewan pemisah dapat
dimintakan pengesahan dari panitia pusat dan panitia pusat ini harus
memberikan pengesahannya kecuali:
a) Jika ternyata putusan itu melampaui kekuasaan juru atau dewan pemisah.
b) Di dalamnya terdapat hal-hal yang menunjukan itikad buruk.
c) Di dalamnya terdapat hal-hal yang bertentangan dengan Undang-undang,
ketertiban umum atau dengan tata susila.
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
51
2) Menyerahkan perselisihan itu kepada pegawai perantara Dinas Tenaga
Kerja. Penyelesaian seperti ini disebut Penyelesaian Wajib (Compulsory
arbitration).
Penyelesaian perselisihan secara wajib yakni penyelesaian yang dilakukan
melalui pegawai perantara dan institusi yang berwenang untuk
menyelesaiakan perselisihan perburuhan, karena itu disebut dengan istilah
penyelesaian wajib.
Perselisihan perburuhan yang tidak dapat diselesaikan dengan perundingan
dan oleh pihak yang berselisih tidak menyerahkannya kepada juru atau
dewan pemisah, maka para pihak atau salah satu dari mereka
memberitahukan dengan surat kepada pegawai perantara Kantor Dinas
Tenaga Kerja setempat. Pemberitahuan ini sekaligus permintaan kepada
pegawai perantara Kantor Dinas Tenaga Kerja untuk memberikan
perantaraan terhadap perselisihan perburuhan yang terjadi (Lula Husni, 119-
122: 2003).
Pola penyelesaian sengketa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu:
a. Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan atau Non Litigasi
Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dilakukan untuk
menyelesaikan sengketa dengan cara musyawarah mufakat dan hasil
penyelesaian konflik atau sengketa secara kekeluargaan. Menurut Tim Badan
Pembinaan Hukum (2010: 49) bentuk-bentuk penyelesaian sengketa melalui
jalur Non-Litigasi, sebagai berikut:
1) Penyelesaian Melalui Bipartit
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
52
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,
pengertian perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial. Upaya perundingan bipartit diatur dalam
Pasal 3 sampai Pasal 7 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam menyelesaiakan
perselisihan hubungan industrial diupayakan penyelesaiannya terlebih
dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai
mufakat.
Undang-undang telah menentukan secara tegas bahwa setiap
perselisihan terjadi (perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja dan perselisihan antar serikat
pekerja) antar pekerja dan pengusaha wajib hukumnya untuk diselesaikan
sendiri oleh pihak-pihak yang berselisih, yaitu secara bipartit sebelum
menempuh jalur penyelesaian yang lainnya sebab tanpa adanya campur
tangan dari pihak yang lain sehingga dapat hasil yang menguntungkan
kedua belah pihak (Ugo dan Pujiyo, 2011: 54). Penyelesaian melalui
bipartit harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
tanggal dimulainya perundingan dan apabila dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan
perundingan, tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan
bipartit tersebut dianggap gagal.
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
53
Jika perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah
pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang Ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti
bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui bipartit telah dilakukan (Zaeni
Asyahdie, 2008: 159-160). Apabila perundingan dapat mencapai
kesepakatan penyelesaian, maka dibuat perjanjian bersama yang
ditandatangani oleh para pihak. Perjanjian bersama tersebut mengikat dan
menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian
bersama tersebut, sebagaimana ketentuan Pasal 1385 KUHPerdata akan
mengikat para pihak sebagai Undang-undang.
Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial perjanjian bersama pun menjadi wajib
hukumnya untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Namun, apabila
perjanjian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian
Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.
2) Mediasi
Sesuai ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, apabila tidak terjadi
kesepakatan antara para pihak bersengketa, sebagai salah satu upaya yang
dapat dilakukan para pihak sebelum perkara sampai ke Pengadilan
Hubungan Industrial dapat digunakan Lembaga Mediasi. Perkara yang
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
54
ditangani lembaga mediasi adalah perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, dan perselisihan
antar serikat pekerja atau serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Mediator dalam rangka penyelesaian perkara melakukan mediasi atau
menjadi juru damai yang dapat menjadi penengah dalam penyelesaian
sengketa hubungan industrial tersebut. Mediator harus menyelesaiakan
tugasnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak menerima
pelimpahan penyelesaian perselisihan.Bila telah tercapai kesepakatan
penyelesaian perselisihan melalui Mediator tersebut maka dibuatkan
perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan Mediator
tersebut.Selanjutnya perjanjian tersebut didaftarkan di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Namun, jika tidak terjadi kesepakatan maka mediator mengeluarkan
anjuran tertulis, selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak menerima
anjuran tersebut para pihak harus memberikan jawaban apakah menyetujui
atau menolak anjuran yang dibuat mediator. Apabila anjuran tersebut
disetujui, maka dalam waktu 3 (tiga) hari sejak disetujui, mediator harus
sudah selesai membantu para pihak membuat perjanjian bersama untuk
didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran, apabila perjanjian ditolak maka dapat
melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri.
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
55
3) Konsiliasi
Konsiliasi hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan
antar serikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang
netral.Konsiliator menjalankan tugasnya setelah para pihak mengajukan
permintaan tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati
olehpara pihak yang berselisih.Jika terjadi kesepakatan, maka dibuat
perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan
oleh konsiliator.
Namun, jika upaya musyawarah yang ditengahi oleh konsiliator gagal
menghasilkan mufakat, maka konsiliator membuat anjuran tertulis.Apabila
anjuran tertulis konsiliator tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka
perselisihan tersebut dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan
Industrial.Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 24 ayat (1).Penegasan di
dalam Pasal ini menunjukan bahwa tidak mungkin perselisihan hubungan
industrial langsung diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Salah
satunya harus melewati proses penyelesaian konsiliasi.
4) Arbitrase
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial memberi peluang pada para pihak untuk
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui lembaga
arbitrase.Perkara yang ditangani lembaga arbitrase adalah sengketa perihal
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
56
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dan
pengusaha di dalam suatu perusahaan. Penyelesaian perselisihan melalui
arbitrase pada umumnya telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang
berlaku di bidang sengketa perdagangan. Oleh karena itu arbitrase
hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 adalah merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di
bidang hubungan industrial.
Apabila untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut
Arbitrase dapat mencapai kesepakatan, maka Arbiter harus membuat Akte
Perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan disaksikan
seorang Arbiter atau Majelis Arbiter.Penetapan Akte Perdamaian tersebut
didaftarkan di Pengadilan, dan dapat pula dieksekusi oleh Pengadilan
sebagaimana lazimnya mengeksekusi suatu putusan. Putusan Kesepakatan
Arbitrase tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) dan diberikan kepada masing-
masing pihak satu rangkap, serta didaftarkan di Pengadilan Hubungan
Industrial.Terhadap putusan tersebut yang telah berkekuatan hukum, tidak
dapat dimajukan lagi. Karenanya terhadap sengketa yang sama tersebut
tidak dapat dimajukan lagi ke Pengadilan Hubungan Industrial.
b. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan atau Litigasi
Penyelesaian sengketa melalui litigasi merupakan suatu proses gugatan,
suatu sengketa diritualisasikan yang menggantikan sengketa sesungguhnya,
yaitu para pihak dengan memberikan kepada seseorang pengambil keputusan
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
57
dua pilihan yang bertentangan (Salim, 2003: 141). Untuk mengantisipasi
penyelesaian dan penyaluran sengketa Buruh dan Tenaga Kerja sejalan
dengan tuntutan kemajuan zaman dibuat dan di undangkan Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
sebagai wadah peradilan Hubungan Industrial disamping peradilan umum.
Dalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatakan Pengadilan
hubungan industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan:
a) Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak.
b) Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan.
c) Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja.
d) Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan (Lula Husni. 2004: 47).
Perselisihan hubungan industrial bisa diantisipasi apabila pekerja/buruh
dan pengusaha melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan aturan
yang berlaku.Namun, dari sisi aturan sering sekali menimbulkan
permasalahan yang krusial bagi pekerja/buruh ataupun pengusaha.Ketika
masalah diselesaiakan oleh lembaga peradilan pun, terkadang masih ada
ketidakpuasan bagi salah satu pihak.Penyelesaian perselisihan hak yang
terjadi dapat dilakukan melalui lembaga pengadilan hubungan industrial jika
melalui lembaga-lembaga yang ada tidak berhasil. Hal ini ditegaskan bahwa
jika penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak didahului
penyelesaiannya melalui lembaga non litigasi maka pengajuan gugatan tidak
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017
58
akan diperiksa oleh Pengadilan Hubungan Industrial, sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 83 ayat (1) menyebutkan bahwa pengajuan gugatan yang tidak
dilampiri risalah penyelesaian melalui lembaga mediasi atau konsiliasi, maka
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan
kepada Penggugat (Sehat Damanik, 2006: 24).
Dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak dikenal
upaya hukum banding, tetapi mengenal upaya hukum kasasi.Jika Pengadilan
Hubungan Industrial memutus perselisihan hak atau perselisihan pemutusan
hubungan kerja, maka pihak yang tidak puas atas putusan tersebut dapat
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Perlindungan Hukum Terhadap..., Sufi Nur Abidah, Fakultas Hukum UMP, 2017