bab ii tinjauan pustaka a. infeksi saluran pernapasan...
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita
1. Pengertian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses inflamasi
yang disebabkan oleh virus, bakteri, atipikal (mikroplasma), atau
aspirasi substansi asing yang melibatkan suatu atau semua bagian
saluran pernapasan (Wong, 2003). Infeksi saluran pernapasan akut
adalah infeksi yang terutama mengenai struktur saluran pernapasan
diatas laring, tetapi kebanyakan, penyakit ini mengenai bagian saluran
atas dan bawah secara simultan atau berurutan. Gambaran
patofisioliginya meliputi infiltrat peradangan dan edema mukosa,
kongesti vaskuler, bertambahnya sekresi mukus, dan perubahan dan
struktur fungsi siliare (Behrman, 1999). ISPA adalah infeksi yang
terutama mengenai saluran pernafasan atas maupun bawah disebabkan
oleh virus, bakteri, atipikal (mikroplasma), tanda dan gejalanya sangat
bervariasi antara lain demam, pusing, lemas, tidak nafsu makan,
muntah, batuk, keluar sekret, stridor (suara napas), dyspnea (kesulitan
bernapas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia
(kurang oksigen),
2. Etiologi
ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus,
Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus, Bordetella dan
Corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan
Miksovirus, Adenovirus, Koronovirus, Pikornavirus, Mikoplasma,
Herpesvirus, dan lain-lain.
11
Etiologi pneumonia pada balita sukar untuk ditetapkan karena
dahak biasanya sukar untuk diperoleh. Sedangkan prosedur
pemeriksaan immunologi belum memberikan hasil yang memuaskan
untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pneumonia.
Penetapan etiologi pneumonia yang dapat diandalkan adalah biakan
dari aspirat paru dan darah. Tetapi pungsi paru merupakan prosedur
yang berisiko dan bertentangan dengan etika jika hanya dimaksudkan
untuk penelitian. Oleh karena itu di Indonesia masih menggunakan
hasil penelitian dari luar negeri.
Faktor umur dapat mengarahkan kemungkinan penyebab ISPA atau
etiologinya :
a. Grup B Streptococcus dan gram negatif bakteri enterik merupakan
penyebab yang paling umum pada neonatal (bayi berumur 1-28 hari) dan
merupakan transmisi vertikal dari ibu sewaktu persalinan.
b. Pneumonia pada bayi berumur 3 minggu sampai 3 bulan yang paling
sering adalah bakteri, biasanya bakteri Streptococcus Pneumoniae.
c. Balita usia 4 bulan sampai 5 tahun, virus merupakan penyebab tersering
dari pneumonia, yaitu respiratory syncytial virus.
d. Pada usia 5 tahun sampai dewasa pada umumnya penyebab dari
pneumonia adalah bakteri.
Pada penelitian lain Streptococcus pneumoniae merupakan
patogen paling banyak sebagai penyebab pneumonia pada semua pihak
kelompok umur.
Menurut WHO, penelitian di berbagai negara juga menunjukkan
bahwa di negara berkembang Streptococcus pneumoniae dan Haemofilus
influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada 2/3 (dua
pertiga) dari hasil isolasi yaitu 73,9% aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi
dari spesimen darah. Bakteri merupakan penyebab utama dari pneumonia
pada balita. Diperkirakan besarnya presentase bakteri sebagai
12
penyebabnya adalah sebesar 50%. Sedangkan di negara maju, saat ini
pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus.
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala ISPA sangat bervariasi antara lain demam,
pusing, malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus
(muntah), photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret,
stridor (suara napas), dyspnea (kesulitan bernapas), retraksi suprasternal
(adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut
pada gagal napas apabila tidak mendapat pertolongan dan dapat
mengakibatkan kematian (Behrman, 1999).
4. Klasifikasi
ISPA diklasifikasikan menjadi infeksi saluran pernapasan atas
dan bawah
a. Infeksi saluran pernapasan atas
1) Batuk pilek
Batuk pilek (common cold) adalah infeksi primer nesofaring dan
hidung yang sering mengenai bayi dan anak. Penyakit ini cenderung
berlangsung lebih berat kerena infeksi mencakup daerah sinus paranasal,
telinga tengah, dan nesofaring disertai demam yang tinggi. Faktor
predisposisinya antara lain kelelahan, gizi buruk, anemia dan kedinginan.
Pada umumnya penyakit terjadi pada waktu pergantian musim
(Ngastiyah, 2005).
2) Sinusitis
Sinusitis adalah radang sinus yang ada di sekitar hidung, dapat
berupa sinusitis maksilaris atau sinusitis frontalis. Biasanya paling sering
terjadi adalah sinusitis maksilaris, disebabkan oleh komplikasi
peradangan jalan napas bagian atas, dibantu oleh adanya faktor
predisposisi. Penyakit ini dapat disebabkan oleh kuman tunggal, namun
13
dapat juga disebabkan oleh campuran kuman seperti streptokokus,
pneumokokus, hemophilus influenzae, dan klebsiella pneumoniae. Jamur
dapat juga menyebabkan sinusitis (Ngastiyah, 2005).
3) Tonsilitis
Tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada
tonsil atau amandel. Organisme penyebabnya yang utama meliputi
streptokokus atau staphilokokus. Infeksi terjadi pada hidung menyebar
melalui sistem limpa ke tonsil. Hiperthropi yang disebabkan infeksi, bisa
menyebabkan tonsil membengkak sehingga bisa menghambat keluar
masuknya udara. Manifestasi klinis yang ditimbulkan meliputi
pembengkakan tonsil yang mengalami edema dan berwarna merah, sakit
tenggorokan, sakit ketika menelan, demam tinggi dan eksudat berwarna
putih keabuan pada tonsil, selain itu juga muncul abses pada tonsil
(Reeves, Roux & Lockhart, 2001).
4) Faringitis
Faringitis adalah proses peradangan pada tenggorokan. Penyakit
ini juga sering dilihat sebagai inflamasi virus. Namun juga bisa
disebabkan oleh bakteri, seperti hemolytic stretococcy, staphylococci,
atau bakteri lainnya ( Reeves, Roux & Lockhart, 2001). Tanda dan
gejala faringitis antara lain membran mukosa dan tonsil merah, demam,
malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, serak dan batuk (Behrman, 1999).
5) Laringitis
Laringingitis adalah proses peradangan dari membran mukosa
yang membentuk laring (Reeves, Roux & Lockhart, 2001). Penyebab
laringitis umumnya adalah streptococcus hemolyticus, streptococcus
viridans, pneumokokus, staphylococcus hemolyticus dan haemophilus
influenzae. Tanda dan gejalanya antara lain demam, batuk, pilek, nyeri
menelan dan pada waktu bicara, suara serak, sesak napas, stridor. Bila
14
penyakit berlanjut terus akan terdapat tanda obstruksi pernapasan berupa
gelisah, napas tersengal-sengal, sesak dan napas bertambah berat
(Ngastiyah, 2005).
b. Infeksi saluran pernapasan bawah
1) Bronkitis
Bronkitis merupakan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
bagian bawah, terjadi peradangan di daerah laring, trakhea dan bronkus.
Disebabkan oleh virus, yaitu: rhinovirus, respiratori sincytial virus
(RSV), virus influenzae, virus para influenzae, dan coxsackie virus.
Dengan faktor predisposisi berupa alergi, perubahan cuaca, dan polusi
udara. Dengan tanda dan gejala batuk kering, suhu badan rendah atau
tidak ada demam, kejang, kehilangan nafsu makan, stridor, napas
berbunyi, dan sakit di tengah depan dada (Ngastiyah, 2005).
2) Bronkiolitis
Bronkiolitis akut merupakan penyakit saluran pernapasan yang
lazim, akibat dari obstruksi radang saluran pernapasan kecil. Disebabkan
oleh virus sinsisium respiratorik (VSR), virus para influenzae,
mikroplasma, dan adenovirus. Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun
pertama, dengan insiden puncak sekitar umur 6 bulan (Behrman, 1999).
Yang didahului oleh infeksi saluran bagian atas disertai dengan batuk
pilek beberapa hari, tanpa disertai kenaikan suhu, sesak napas,
pernapasan dangkal dan cepat, batuk dan gelisah (Ngastiyah, 2005).
3) Pneumonia
Pneumonia adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut bagian
bawah yang mengenai parenhim paru. Penyakit ini disebabkan oleh
bakteri yaitu streptococcus pneumonia dan haemophillus influenza. Pada
bayi dan anak kecil ditemukan staphylococcus aureus sebagai penyebab
pneumonia yang berat dan sangat progresif dengan mortalitas tinggi
15
(Wardhani&Setiowulan, 2000). Gejala pneumonia bervariasi, tergantung
umur penderita dan penyebab infeksinya. Gejala-gejala yang sering
didapatkan pada anak adalah napas cepat dan sulit bernapas, mengi,
batuk, demam, menggigil, sakit kepala, dan nafsu makan hilang (Syair,
2009).
4) Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
mycobakterium tuberkulosis dan mycobakterium bovis. Penyakit
tuberkulosis pada bayi dan anak disebut tuberkulosis primer merupakan
suatu penyakit sistemik, dan berlangsung secara perlahan-lahan. Ditandai
dengan gejala batuk, demam, berkeringat malam, penurunan aktifitas,
kehilangan berat badan, dan sukar bernapas (Ngastiyah, 2005).
5. Komplikasi
Penyakit ini sebenarnya merupakan self limited disease, yang
sembuh sendiri 5 sampai 6 hari, jika tidak terjadi invasi kuman lain.
Tetapi penyakit ISPA yang tidak mendapatkan pengobatan dan
perawatan yang baik dapat menimbulkan komplikasi seperti: sinusitis
paranasal, penutupan tuba eustachi, empiema, meningitis dan
bronkopneumonia serta berlanjut pada kematian karena adanya sepsis
yang menular (Ngastiyah, 2005).
6. Faktor-faktor penyebab ISPA
Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor
lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.
a. Faktor individu anak
1.) Umur anak
Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden
penyakit pernafasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini
anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA
16
tertinggi pada umur 6-12 bulan dan pada balita usia 1-4 tahun
(Rahajoe, 2008).
2.) Berat badan lahir
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan
perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan
berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian
yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal,
terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena
pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih
mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit
saluran pernafasan lainnya.
Penelitian menunjukkan bahwa berat bayi kurang dari 2500
gram dihubungkan dengan meningkatnya kematian akibat infeksi
saluran pernafasan dan hubungan ini menetap setelah dilakukan
adjusted terhadap status pekerjaan, pendapatan, pendidikan. Data
ini mengingatkan bahwa anak-anak dengan riwayat berat badan
lahir rendah tidak mengalami rate lebih tinggi terhadap penyakit
saluran pernafasan, tetapi mengalami lebih berat infeksinya
(Behrman, 1999).
3.) Status gizi
Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap
pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh : umur,
keadaan fisik, kondisi kesehatannya, kesehatan fisiologis
pencernaannya, tersedianya makanan dan aktivitas dari si anak
itu sendiri. Penilaian status gizi dapat dilakukan antara lain
berdasarkan antopometri : berat badan lahir, panjang badan,
tinggi badan, lingkar lengan atas.
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang
penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah
membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan
infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering
17
mendapat pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara
gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya
serta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi.
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang
ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya
tahan yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan
balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan
kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah
terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih lama (Rahajoe,
2008).
4.) Vitamin A
Sejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu memberikan
kapsul 200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai
dengan empat tahun. Balita yang mendapat vitamin A lebih dari
6 bulan sebelum sakit maupun yang tidak pernah
mendapatkannya adalah sebagai resiko terjadinya suatu penyakit
sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok
kontrol.
Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan
imunisasi akan menyebabkan peningkatan titer antibodi yang
spesifik dan tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup
tinggi. Bagi antibodi yang ditujukan terhadap bibit penyakit dan
bukan sekedar antigen asing yang tidak berbahaya, niscaya
dapatlah diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit penyakit
yang bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat.
Karena itu usaha misal pemberian vitamin A dan imunisasi
secara berkala terhadap anak-anak prasekolah seharusnya tidak
dilihat sebagai dua keinginan terpisah. Keduanya haruslah
dipandang dalam suatu kesatuan yang utuh, yaitu meningkatkan
daya tahan tubuh dan perlindungan terhadap anak Indonesia
18
sehingga mereka dapat tumbuh, berkembang dan berangkat
dewasa dalam keadaan yang sebaik-baiknya.
Selain itu vitamin A sangat berhubungan dengan beratnya
infeksi. Grant melaporkan bahwa anak dengan defisiensi vitamin
A yang ringan mengalami ISPA dua kali lebih banyak daripada
anak yang tidak mengalami defisiensi vitamin A (Rahajoe,
2008).
5.) Status Imunisasi
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat
akan mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai
komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA, diupayakan
imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status
imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan
perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Cara
yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian
imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak
yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat
dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian
pneumonia dapat dicegah (Behrman, 1999).
6.) Jenis Kelamin
Pada umumnya tidak ada insidens ISPA akibat virus atau
bakteri pada laki-laki atau perempuan. Akan tetapi, ada yang
mengemukakan bahwa terdapat sedikit perbedaan, yaitu insidens
lebih tinggi pada anak laki-laki usia di atas 6 tahun(Behrman,
1999).
b. Faktor lingkungan
1) Pencemaran udara dalam rumah
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk
memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme
pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA.
Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya
19
kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu dengan
kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini
lebih dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama
berada di rumah bersama-sama ibunya sehingga dosis
pencemaran tentunya akan lebih tinggi (Rahajoe, 2008).
2) Ventilasi rumah
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara
ke atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis.
Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut :
a.) Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar
oksigen yang optimum bagi pernafasan.
b.) Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun
debu dan zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara.
c.) Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.
d.) Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan
bangunan.
e.) Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh
radiasi tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal.
f.) Mendisfungsikan suhu udara secara merata.
3) Kepadatan hunian rumah
Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri
kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan
kesehatan rumah, satu orang minimal menempati luas rumah 8m2.
Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan
penyakit dan melancarkan aktivitas.
Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor
polusi dalam rumah yang telah ada (Rahajoe, 2008).
c. Faktor perilaku
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit
ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan
20
ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota
keluarga lainnya. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat
yang berkumpul dan tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan
lainnya saling tergantung dan berinteraksi. Bila salah satu atau
beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan
berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya (Anonymous, 2010).
Peran aktif keluarga/masyarakat dalam mengenali ISPA sangat
penting karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-
hari di dalam masyarakat atau keluarga. Hal ini perlu mendapat
perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak
menyerang balita, sehingga ibu balita dan anggota keluarga yang
sebagian besar dekat dengan balita mengetahui dan terampil
menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya sakit.
Keluarga perlu mengetahui serta mengamati tanda keluhan dini
pneumonia dan kapan mencari pertolongan dan rujukan pada sistem
pelayanan kesehatan agar penyakit anak balitanya tidak menjadi lebih
berat. Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan dengan jelas bahwa
peran keluarga dalam praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA
sangatlah penting, sebab bila praktek penanganan ISPA tingkat
keluarga yang kurang/buruk akan berpengaruh pada perjalanan
penyakit dari ringan menjadi bertambah berat.
Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita
diantaranya :
1) Pemberian air susu ibu (ASI)
Terdapat banyak penelitian yang meunjukkan hubungan antara
pemberian ASI dengan terjadinya ISPA. Air susu ibu mempunyai nilai
protieksi terhadap pneumonia, terutama pada 1 bulan pertama. Lopez
mendapatkan bahwa prevalens ISPA berhubungan dengan lamanya
pemberian ASI. Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih rentan
mengalami ISPA dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI paling
sedikit selama 1 bulan. Cesar JA dan kawan-kawan melaporkan bahwa
21
bayi yang tidak diberi ASI akan 17 kali lebih rentan mengalami
perawatan di RS akibat pneumonia di bandingkan dengan bayi yang
mendapat ASI. Pemberian ASI dengan durasi yang lama mempunyai
pengaruh proteksi terhadap ISPA bawah selama tahun pertama
(Behrman, 1999).
2) Pendidikan orang tua
Tingkat pendidikan orang tua menunjukkan adanya hubungan
terbalik antara angka kejadian dan kematian ISPA. Tingkat pendidikan
ini berhubungan erat dengan keadaan sosial ekonomi, dan juga
berkaitan dengan pengetahuan orang tua. Kurangnya pengetahuan
menyebabkan sebagian kasus ISPA tidak diketahui oleh orang tua dan
tidak diobati (Behrman, 1999).
3) Status sosial ekonomi
Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap pendidikan dan
faktor-faktor lain seperti nutrisi, lingkungan, dan penerimaan layanan
kesehatan. Anak yang berasal dari keluarga dengan status sosial
ekonomi rendah mempunyai resiko lebih besar mengalami episode
anak. Rahman menyatakan bahwa risiko mengalami ISPA adalah 3,3
kali lebih tinggi pada anak dengan status sosial ekonomi rendah
(Behrman, 1999)
4) Penggunaan fasilitas kesehatan
Angka kematian untuk semua kasus pneumonia pada anak yang
tidak diobati diperkirakan 10-20%. Penggunaan fasilitas kesehatan
dapat mencerminkan tingginya insiden ISPA, yaitu sebesar 60% dari
kunjungan rawat jalan di puskesmas dan 20-40% dari kunjungan rawat
jalan dan rawat inap RS. Penggunaan fasilitas kesehatan sangat
berpengaruh pada tingkat keparahan ISPA. Di sebagian negara
berkembang, pemanfaatan fasilitas kesehatan masih rendah ( (Behrman,
1999).
22
B. Status Gizi
1. Pengertian
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi
makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan antara status gizi
buruk, kurang, baik, dan lebih (Almatsier, 2009).
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam
bentuk variable tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk
variable tertentu (Supariasa, 2001).
2. Zat Gizi
Zat gizi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk
melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan
memelihara jaringan, serta mengatur proses – proses kehidupan
(Almatsier,2009). Zat gizi merupakan unsur yang penting dalam nutrisi
mengingat zat gizi tersebut dapat memberikan fungsi tersendiri pada
nutrisi, kebutuhan nutrisi tidak akan berfungsi secara optimal kalau tidak
mengandung beberapa zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan tubuh,
demikian juga zat gizi yang cukup pada kebutuhan nutrisi akan
memberikan nilai yang optimal (hidayat, 2005).
3. Macam-macam gizi
a. Lemak
Lemak merupakan makronutrien penting yang menempati urutan
kedua setelah hidratarang sebagai bahan bakar untuk memberikan energi
kepada sel-sel tubuh (Hartono, 2006). Disamping sebagai sumber energi,
lemak juga memiliki fungsi lain yang penting, yaitu untuk membentuk
komponen struktural membran sel. Fungsi lemak dalam tubuh antara
lain :
23
1) Sebagai bahan bakar metabolik untuk memberikan energi kepada
tubuh.
2) Komponen struktural membran sel.
3) Komponen pembentukan insulator untuk mengurangi kehilangan
panas tubuh dan meredam dampak benturan pada organ tubuh.
4) Komponen pembentukan hormon (fungsi endokrin) dan vitamin
yang larut dalam lemak.
b. Protein
Protein merupakan unsur yang terdapat dalam jumlah besar
didalam tubuh. Protein terbentuk dari asam-asam amino yang
dirangkaikan oleh ikatan peptida. Karena asam-asam amino bukan hanya
tersusun dari atom karbon, hidrogen dan oksigen tetapi juga dari
nitrogen, maka protein merupakan sumber nitrogen bagi tubuh. Beberapa
fungsi protein didalam tubuh antara lain :
1) Membangun jaringan tubuh yang baru.
2) Memperbaiki jaringan tubuh.
3) Menghasilkan senyawa esensial.
4) Mengatur tekanan osmotik
5) Mengatur keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa.
6) Menghasilkan pertahanan tubuh.
7) Menghasilkan mekanisme transportasi.
8) Menghasilkan energi.
24
c. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan zat gizi yang terdapat dalam makanan,
pada umumnya dalam bentuk amilum. Karbohidrat yang disimpan dalam
hati dan otot berbentuk glikogen dengan jumlah yang sangat sedikit.
Glikogen adalah sintesis dari glukosa, pemecahan energi selama masa
istirahat atau puasa. Kelebihan energi karbohidrat berbentuk asam lemak.
Kekurangan karbohidrat akan mengakibatkan kehilangan energi, mudah
lelah, pemecahan protein yang berlebihan, dan gangguan keseimbangan
air, natrium, kalium dan klorida (Tarwoto&Wartonah, 2006).
d. Vitamin
Vitamin adalah senyawa organik yang dalam jumlah sangat kecil
diperlukan untuk terjadinya proses metabolisme sel sebagai bagian dalam
kelangsungan hidup suatu organisme (Markum, 2002). Fungsi vitamin
antara lain :
1) Membantu pertumbuhan sel tubuh dan penglihatan, menyehatkan
rambut, kulit, dan integritas membran epitel (vitamin A).
2) Metabolisme karbohidrat, memantu kelancaran sistem persarafan,
dan mecegah beri-beri (vitamin B1).
3) Membantu pembentukan enzim, pertumbuhan dan membantu
adaptasi cahaya dalam mata (vitamin B2).
4) Metabolisme karbohidrat, lemak, protein, dan komponen enzim
serta mencegah menurunnya nafsu makan (vitamin B3).
5) Membantu kesehatan gusi dan gigi, pembantukan sel darah
merah, serta metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein
(vitamin B6).
6) Metabolisme protein, membantu pembentukan sel darah merah,
kesehatan jaringan dan mencegah anemia (vitamin B12).
25
7) Mejaga kesehatan tulang, gigi dan gusi, membantu pembentukan
dinding pembuluh darah dan pembuluh kapiler, kesembuhan
jaringan tulang, serta memudahkan penyerapan zat besi dan asam
folat (vitamin C).
8) Membantu penyerapan kalsium dan fosfor serta mencegah
rakhitis (vitamin D).
9) Membantu pembentukan sel darah merah dan melindungi asam
amino utama (vitamin E).
10) Membantu produksi protrombin serta pembekuan darah (vitamin
K).
e. Mineral
Mineral dibutuhkan dalam tubuh sebagai zat pembangun dan
pelindung. Mineral tidak membutahkan pencernaan sehingga tubuh
mudah untuk memprosesnya. Jenis mineral antara lain kalsium, fosfor,
yodium, besi, magnesium, dan zinc. Kalsium berfungsi untuk
pembentukan gigi dan tulang, aktivitas neuromaskular, dan koagulasi
(penggumpalan) darah. Fosfor berfungsi sebagai penyanga pembentukan
gusi dan tulang. Yodium sebagai pengaturan metabolisme tubuh dan
memperlancar pertumbuhan. Besi sebagai komponen hemoglobin dan
membantu oksidasi dalam sel. Magnesium berfugsi sebagai pengaktifan
enzim, pementukan gigi dan tulang, dan membantu kegiatan
neuromuskular. Sedangkan zinc berfungsi sebagai bahan pembentuk
enzim dan insulin (Hidayat, 2006).
f. Air
Air merupakan zat makanan paling mendasar yang dibutuhkan
oleh tubuh manusia. Tubuh manusia terdiri atas 50%-70% air. Asupan air
secara teratur sangat penting bagi makhluk hidup untuk bertahan hidup
dibandingkan dengan pemasukan nutrisi lain. Bayi mempunyai proporsi
26
air yang lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa (Hidayat, 2006).
Kehilangan air melalui kulit dan ginjal pada bayi dan anak-anak lebih
basar daripada orang dewasa, bayi dan anak akan lebih mudah terserang
penyakit yang menyebabkan kehilangan air dalam jumlah banyak
(Wardhani&Setiowulan, 2000).
4. Akibat gangguan gizi terhadap fungsi tubuh
Secara umum, gangguan kebutuhan nutrisi terdiri atas kekurangan
dan kelebihan nutrisi, obesitas, malnutrisi dan anoreksia nervosa
(Hidayat, 2008).
a. Kekurangan gizi
Merupakan resiko penurunan berat badan akibat ketidakcukupan
asupan gizi untuk kebutuhan metabolisme. Tanda klinis kekurangan gizi
antara lain berat badan 10-20% di bawah normal, tinggi badan di bawah
ideal dan adanya kelemahan dan nyeri tekan pada otot. Kemungkinan
penyebab dari kekurangan gizi ini adalah :
1) Meningkatnya kebutuhan kalori dan kesulitan dalam mencerna
kalori akibat penyakit infeksi atau kanker.
2) Disfagia karena adanya kelainan persarafan.
3) Penurunan absorbsi gizi akibat penyakit crohn atau intoleransi
laktosa.
4) Nafsu makan menurun.
b. Kelebihan gizi
Merupakan suatu keadaan yag dialami seseorang yang
mempunyai resiko peningkatan berat badan akibat asupan kebutuhan
metabolisme secara berlebih. Tanda klinis kelebihan nutrisi ini antara
lain berat badan lebih dari 10% berat ideal, adanya jumlah asupan yang
27
berlebihan dan aktivitas menurun atau monoton. Penyebab kelebihan gizi
adalah perubahan pola makan dan penurunan fungsi pengecapan dan
penciuman (Hidayat, 2008).
c. Obesitas
Merupakan masalah peningkatan berat badan yang mecapai lebih
dari 20% berat badan normal. Status nutrisinya adalah melebihi
kebutuhan metabolisme karena kelebihan asupan kalori dan penurunan
dalam pengunaan kalori (Hidayat, 2008).
d. Malnutrisi
Malnutrisi adalah masalah yang berhubungan dengan kekurangan
zat gizi pada tingkat seluler atau dapat dikatakan sebagai masalah asupan
zat gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh. Gejala umumnya
adalah berat badan rendah dengan asupan makanan yang cukup atau
asupan kurang dari kebutuhan tubuh, adanya kelemahan otot dan
penurunan energi, pucat pada kulit,membran mukosa, dan konjungtiva
(Hidayat, 2008).
e. Anoreksia nervosa
Merupakan penurunan berat badan secara mendadak dan
berkepanjangan, ditandai dengan adanya konstipasi, pembengkakan
badan, nyeri abdomen, kedinginan, letargi, dan kelebihan energi
(Hidayat, 2008).
28
5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi
a. Faktor External
1) Pendapatan
Masalah gizi karena kemiskinan indikatornya adalah taraf ekonomi
keluarga, yang hubungannya dengan daya beli yang dimiliki keluarga
tersebut (Santoso, 1999).
2) Pendidikan
Pendidikan gizi merupakan suatu proses merubah pengetahuan,
sikap dan perilaku orang tua atau masyarakat untuk mewujudkan dengan
status gizi yang baik (Suliha, 2001).
3) Pekerjaan
Pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan terutama untuk
menunjang kehidupan keluarganya. Bekerja umumnya merupakan kegiatan
yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh
terhadap kehidupan keluarga (Markum, 1991).
4) Budaya
Budaya adalah suatu ciri khas, akan mempengaruhi tingkah laku
dan kebiasaan (Soetjiningsih, 1998).
b. Faktor Internal
1) Usia
Usia akan mempengaruhi kemampuan atau pengalaman yang
dimiliki orang tua dalam pemberian nutrisi anak balita (Nursalam, 2001).
29
2) Kondisi Fisik
Mereka yang sakit, yang sedang dalam penyembuhan dan yang
lanjut usia, semuanya memerlukan pangan khusus karena status kesehatan
mereka yang buruk. Bayi dan anak-anak yang kesehatannya buruk, adalah
sangat rawan, karena pada periode hidup ini kebutuhan zat gizi digunakan
untuk pertumbuhan cepat (Suhardjo, et, all, 1986).
3) Infeksi
Infeksi dan demam dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan
atau menimbulkan kesulitan menelan dan mencerna makanan (Suhardjo, et,
all, 1986).
6. Penilaian status gizi
Terdapat beberapa cara untuk mengukur status gizi anak,yaitu
dengan pengukuran antropometrik, klinik dan laboratorik. Pengukuran
antropomerti adalah pengukuran yang relative sederhana dan banyak
dilakukan (Soekirman, 2000).
Penilaian status gizi secara tidak langsung dilakukan dengan cara
antropomerti. Antropomerti adalah ukuran tubuh manusia. Apabila
ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan
dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dari berbagai
(Supariasa, 2002).
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi antropometri adalah
faktor genetik dan faktor lingkungan yang berkaitan dengan gizi,
beberapa konsumsi makanan dan kesehatan berupa penyakit infeksi
(Aritonang, 1996).
Pengukuran antropometri dapat dilakukan dengan berbagai
macam pengukuran, yaitu pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar
30
lengan atas dan sebagainya. Dari beberapa pengukuran tersebut,
pengukuan berat badan, tinggi badan dan lingkar lengan atas sesuai umur
adalah pengukuran yang sering dilakukan dalam survey gizi (Soekirman,
2000).
a. Indikator BB/U
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan
gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-
perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang infeksi, penurunan
nafsu makan, atau menurunkan jumlah makanan yang dikonsumsi
(Supariasa, 2001) Kelebihan indikator ini adalah sensitif untuk melihat
perubahan status gizi dalam jangka waktu pendek, juga dapat digunakan
untuk mendeteksi kegemukan (Soekirman, 2000)
b. Indikator TB/U
Indikator TB/U merupakan indikator pengukuran antropometri
yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan
normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertumbuhan umur.
Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap masalah
kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh devisiensi zat gizi
terhadap tinggi badan anak nampak dalam waktu yang relatif lama
(Supariasa, 2001). Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu
dan dapat menggambarkan keadaan sosial ekonomi penduduk
(Soekirman, 2000).
c. Indikator BB/TB
Berat badan memiliki hubungan linear dengan tinggi badan.
Dalam kondisi normal, perkembangan berat badan akan searah dengan
pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu (Supariasa, 2001)
Indikator BB/TB ini dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan
31
lebih sensitif dan spesifik, terutama apabila data umur yang akurat sulit
diperoleh (Soekirman, 2000).
7. Penggunaan indeks antropometri
Indeks antropometri yang umum digunakan dalam menilai status
gizi adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut
umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Dari
berbagai indeks tersebut, untuk menginterpretasikan dibutuhkan ambang
batas. Ambang batas menurut kesepakatan para ahli gizi adalah :
1) Persen terhadap median
Median adalah nilai tengah populasi, dalam antropometri gizi
median sama dengan persentil 50 dan nilainya dinyatakan sama dengan
100%. Kemudian dihitung presentase terhadap nilai median untuk
mendapatkan ambang batas.
Tabel 2.1 Status Gizi Berdasarkan Indikator Antropometri
Status Gizi Indeks
Gizi Baik
Gizi Sedang
Gizi Kurang
Gizi Buruk
BB/U TB/U BB/TB
> 80%
71- 80%
61%- 70%
<60%
>90%
81% - 90%
71% - 80%
<70%
>90%
81% - 90%
71% - 80%
<70%
Sumber : Supariasa, 2002
2) Persentil
Persentil 50 sama dengan median atau nilai tengah jumlah
populasi berada diatasnya dan setengahnya berada dibawahnya.
32
3) Standar Deviasi (SD)
Standar Deviasi disebut juga dengan Z-score. WHO menyarankan
untuk mengunakan cara ini untuk meneliti dan untuk memantau
pertumbuhan. Pertumbuhan nasional untuk suatu populasi dinyatakan
dalam positif dan negatif 2 SD unit (Z-score) dari median. Dibawah nilai
median -2 SD unit dinyatakan gizi kurang.
Rumus perhitungan Z-score adalah :
RujukanBaku Simpang Nilai
RujukanBaku Median Nilai -Subyek Individu Nilai scoreZ
33
Tabel 2.2 Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U,TB/U, BB/TB
Standart Baku Antropometeri WHO-NCHS
No Indeks yang
dipakai
Batas
Pengelompkan Sebutan Status Gizi
1. BB/U
< -3 SD
Gizi buruk
- 3 s/d <-2 SD
Gizi kurang
- 2 s/d +2 SD
Gizi baik
> +2 SD
Gizi lebih
2. TB/U
< -3 SD
Sangat Pendek
- 3 s/d <-2SD
Pendek
- 2 s/d +2 SD
Normal
> +2 SD
Tinggi
3. BB/TB
< -3 SD
Sangat Kurus
- 3 s/d <-2SD
Kurus
- 2 s/d +2SD
Normal
> +2 SD Gemuk
Sumber : Depkes RI 2004.
Contoh perhitungan Z-score sebagai berikut :
Seorang anak laki-laki umur 36 bulan dengan tinggi badan 96 cm dan
berat badan 15,2 kg, dan seorang anak laki-laki umur 10 bulan dengan
panjang badan 75 cm dan berat badan 5,8 kg. Distribusi simpang baku
ketiga indeks untuk kedua anak tersebut masing-masing sebagai berikut:
34
Tabel 2.3 Berat (kg) menurut umur anak
Table 2.4 Tinggi (cm) menurut umur anak
Tabel 2.5 Berat (kg) menurut tinggi badan anak
No Umur Standard Deviasi
Thn Bln -3sd -2sd -1sd Median +1sd +2sd +3sd
1 3 0 9,8 11,4 13,0 14,6 16,4 19,3 20,1
2 10 6,6 7,6 8,6 9,5 10,6 11,7 12,7
Sumber: Supariasa,2001
No Tinggi Standard Deviasi
Cm -3sd -2sd -1sd Median +1sd +2sd +3sd
1 96 0 83,5 87,3 91,1 94,9 98,7 102,5 106,3
2 75 65,7 68,3 71,0 73,6 76,3 78,9 81,6
Sumber: Supariasa,2001
No Tinggi Standard Deviasi
Cm -3sd -2sd -1sd Median +1sd +2sd +3sd
1 96 11,3 12,3 13,3 14,4 15,5 16,6 17,7
2 75 7,4 8,2 9,0 9,8 10,7 11,6 12,5
Sumber : Supariasa, 2001
35
Jadi untuk indeks BB/U adalah
a. Anak Pertama = (15,2-14,6) / (14,6-13,0) = 0,6 / 1,6 = + 0,4 SD
Z-score = Status Gizi Baik
b. Anak Kedua = (5,8-9,5) / (9,5-8,6) = -3,7 / 0,9 = - 4,4 SD
Z-score = Status Gizi Buruk
Untuk IndeksTB/U adalah
a. Anak Pertama = (96-94,9) / (94,9-91,1) = 1,1 / 3,8 = + 0,3 SD
Z-score = Status Gizi Normal
b. Anak Kedua = (75-73,6) / (73,6-71,0) = 1,4 / 2,6 = + 0,5 SD
Z-score = Status Gizi Normal
Untuk Indeks BB/TB adalah
a. Anak Pertama = (15,2-14,4) / (14,4-13,3) = 0,8 / 1,1 = + 0,7 SD
Z-score = Status Gizi Normal
b. Anak Kedua = (5,8-9,8) / (9,8-9,0) = -4 / 0,8 = -5 SD
Z-score = Status Gizi Sangat Kurus
c. Kurang Energi Protein (KEP)
a. Pengertian KEP
Menurut Departemen Kesehetan Republik Indonesia, yang
dimaksud dengan Kurang Energi Protein (KEP) adalah keadaan
makanan sehari – hari sehingga tidak mencukupi Angka Kecukupan
Gizi (AKG) (Depkes, 1999). KEP adalah keadaan kurang gizi yang
disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan
sehari – hari, sehingga tidak memenuhi anggka kecukupan gizi
(Wadana,DKK).
Menurut Depkes RI bahwa berdasarkan gejala klinis ada 3 tipe
untuk KEP yaitu KEP ringan dan sedan, gejala klinis ditemukan hanya
anak tampak kurus. Gejala klinis KEP berat atau gizi buruksecara garis
besar dapat dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor dan marasmik –
kwashiorkor. (Depkes,1999).
36
b. Etiologi KEP
Penyebab utama KEP adalah ketidakseimbangan antara zat gizi
dengan yang diperoleh dari makanan dan kebutuhan tubuh. Ada
beberapa penyebab kekurangan gizi, yaitu penyebab langsung dan
penyebab tidak langsung. Penyebab langsung adalah asupan yang
kurang dan penyakit infeksi. Sedangkan penyebab tidak langsung
antara lain ketersediaan bahan makanan di rumah tangga yang tidak
mencukupi kebutuhan, kedua karena kekurangan fasilitas kesehatan dan
lingkungan yang tidak sehat, ketiga karena keterbatasan pelayanan dan
perhatian kepada anak dan ibu, yang dipengaruhi norma kebudayaan
dan sistem nilai yang kadang salah konsep. Penyebab dasar berkaitan
dengan masyarakat adalah tingkat pendidikan, ekonomi, situasi politik
dan situasi pelaksanaan hak – hak (distribusi sumber daya, kedudukan
wanita). Kemiskinan telah dipandang sebagai penyebab kekurangan
gizi, tetapi kalau diamati lebih jauh terbukti bahwa kurang gizi
sebenarnya akar permasalahan dari kemiskinan. (Irianto,2000)
c. Klasifikasi KEP
Menurut baku median WHO – NCHS, KEP dibagi beberapa
tingkatan yaitu
1) KEP ringan bila berat badan menurut umur (BB/U) 70 – 80 % baku
median WHO – NCHS.
2) KEP sedang bila BB/U 60 – 70 % baku median WHO – NCHS dan/
BB/TB 60 – 70% baku median WHO – NCHS.
3) KEP berat bila BB/U 60% baku median WHO – NCHS.
(Aritonang, 2004)
37
C. Kerangka Teori
Gambar : kerangka teori
Sumber : Behrman (1999)
Faktor Lingkungan :
Pencemaran Udara Dalam Rumah
Ventilasi Rumah
Kepadatan Hunian Rumah
Faktor Perilaku :
Pemberian Air Susu Ibu (ASI)
Pendidikan Orang Tua
Status Sosial Ekonomi
Penggunaan Fasilitas Kesehatan
Faktor Individu Balita :
Status Gizi
Status Imunisasi
BBLR
Kejadian ISPA
pada balita
38
D. Kerangka Konsep
Kerangka Konsep Penelitian pada dasarnya adalah kerangka
hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui
penelitian-penelitian yang akan dilakukan ( Notoatmodjo, 2005).
Berdasarkan tinjauan teori dan kerangka teori di atas maka dapat dibuat
kerangka konsep penelitian sebagai berikut :
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
E. Variabel Penelitian
Variable merupakan konsep dari berbagai level abstrak yang
didefinisikan sebagai suatu fasilitas untuk pengukuran dan atau
manipulasi suatu penelitian. konsep yang ditinjau dalam suattu penelitian
bersifat kongkrit dan secara langsung bias diukur, mis denyut jantung,
hemoglobin, denyut jantung,dan lain. Sesuatu yang kongkrit tersebut bias
diartikan sebagai suatu variable penelitian (Nur salam, 2008).
1. Variabel Bebas (Independent Variabel)
Variabel yang mempengaruhi atau dianggap menentukan
variabel terikat. Variabel independen dalam penelitian ini adalah
Status Gizi pada Balita
2. Variabel Terikat (Dependent Variabel)
Variabel yang dipengaruhi oleh variabel dependen. Variabel
terikat dalam penelitian ini adalah Kejadian Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA).
Status Gizi Balita Kejadian ISPA pada
Balita