bab ii tinjauan pustaka a. infeksi saluran pernapasan...

30
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita 1. Pengertian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses inflamasi yang disebabkan oleh virus, bakteri, atipikal (mikroplasma), atau aspirasi substansi asing yang melibatkan suatu atau semua bagian saluran pernapasan (Wong, 2003). Infeksi saluran pernapasan akut adalah infeksi yang terutama mengenai struktur saluran pernapasan diatas laring, tetapi kebanyakan, penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara simultan atau berurutan. Gambaran patofisioliginya meliputi infiltrat peradangan dan edema mukosa, kongesti vaskuler, bertambahnya sekresi mukus, dan perubahan dan struktur fungsi siliare (Behrman, 1999). ISPA adalah infeksi yang terutama mengenai saluran pernafasan atas maupun bawah disebabkan oleh virus, bakteri, atipikal (mikroplasma), tanda dan gejalanya sangat bervariasi antara lain demam, pusing, lemas, tidak nafsu makan, muntah, batuk, keluar sekret, stridor (suara napas), dyspnea (kesulitan bernapas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), 2. Etiologi ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronovirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus, dan lain-lain.

Upload: phamlien

Post on 03-Feb-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita

1. Pengertian

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses inflamasi

yang disebabkan oleh virus, bakteri, atipikal (mikroplasma), atau

aspirasi substansi asing yang melibatkan suatu atau semua bagian

saluran pernapasan (Wong, 2003). Infeksi saluran pernapasan akut

adalah infeksi yang terutama mengenai struktur saluran pernapasan

diatas laring, tetapi kebanyakan, penyakit ini mengenai bagian saluran

atas dan bawah secara simultan atau berurutan. Gambaran

patofisioliginya meliputi infiltrat peradangan dan edema mukosa,

kongesti vaskuler, bertambahnya sekresi mukus, dan perubahan dan

struktur fungsi siliare (Behrman, 1999). ISPA adalah infeksi yang

terutama mengenai saluran pernafasan atas maupun bawah disebabkan

oleh virus, bakteri, atipikal (mikroplasma), tanda dan gejalanya sangat

bervariasi antara lain demam, pusing, lemas, tidak nafsu makan,

muntah, batuk, keluar sekret, stridor (suara napas), dyspnea (kesulitan

bernapas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia

(kurang oksigen),

2. Etiologi

ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia.

Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus,

Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus, Bordetella dan

Corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan

Miksovirus, Adenovirus, Koronovirus, Pikornavirus, Mikoplasma,

Herpesvirus, dan lain-lain.

11

Etiologi pneumonia pada balita sukar untuk ditetapkan karena

dahak biasanya sukar untuk diperoleh. Sedangkan prosedur

pemeriksaan immunologi belum memberikan hasil yang memuaskan

untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pneumonia.

Penetapan etiologi pneumonia yang dapat diandalkan adalah biakan

dari aspirat paru dan darah. Tetapi pungsi paru merupakan prosedur

yang berisiko dan bertentangan dengan etika jika hanya dimaksudkan

untuk penelitian. Oleh karena itu di Indonesia masih menggunakan

hasil penelitian dari luar negeri.

Faktor umur dapat mengarahkan kemungkinan penyebab ISPA atau

etiologinya :

a. Grup B Streptococcus dan gram negatif bakteri enterik merupakan

penyebab yang paling umum pada neonatal (bayi berumur 1-28 hari) dan

merupakan transmisi vertikal dari ibu sewaktu persalinan.

b. Pneumonia pada bayi berumur 3 minggu sampai 3 bulan yang paling

sering adalah bakteri, biasanya bakteri Streptococcus Pneumoniae.

c. Balita usia 4 bulan sampai 5 tahun, virus merupakan penyebab tersering

dari pneumonia, yaitu respiratory syncytial virus.

d. Pada usia 5 tahun sampai dewasa pada umumnya penyebab dari

pneumonia adalah bakteri.

Pada penelitian lain Streptococcus pneumoniae merupakan

patogen paling banyak sebagai penyebab pneumonia pada semua pihak

kelompok umur.

Menurut WHO, penelitian di berbagai negara juga menunjukkan

bahwa di negara berkembang Streptococcus pneumoniae dan Haemofilus

influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada 2/3 (dua

pertiga) dari hasil isolasi yaitu 73,9% aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi

dari spesimen darah. Bakteri merupakan penyebab utama dari pneumonia

pada balita. Diperkirakan besarnya presentase bakteri sebagai

12

penyebabnya adalah sebesar 50%. Sedangkan di negara maju, saat ini

pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus.

3. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala ISPA sangat bervariasi antara lain demam,

pusing, malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus

(muntah), photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret,

stridor (suara napas), dyspnea (kesulitan bernapas), retraksi suprasternal

(adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut

pada gagal napas apabila tidak mendapat pertolongan dan dapat

mengakibatkan kematian (Behrman, 1999).

4. Klasifikasi

ISPA diklasifikasikan menjadi infeksi saluran pernapasan atas

dan bawah

a. Infeksi saluran pernapasan atas

1) Batuk pilek

Batuk pilek (common cold) adalah infeksi primer nesofaring dan

hidung yang sering mengenai bayi dan anak. Penyakit ini cenderung

berlangsung lebih berat kerena infeksi mencakup daerah sinus paranasal,

telinga tengah, dan nesofaring disertai demam yang tinggi. Faktor

predisposisinya antara lain kelelahan, gizi buruk, anemia dan kedinginan.

Pada umumnya penyakit terjadi pada waktu pergantian musim

(Ngastiyah, 2005).

2) Sinusitis

Sinusitis adalah radang sinus yang ada di sekitar hidung, dapat

berupa sinusitis maksilaris atau sinusitis frontalis. Biasanya paling sering

terjadi adalah sinusitis maksilaris, disebabkan oleh komplikasi

peradangan jalan napas bagian atas, dibantu oleh adanya faktor

predisposisi. Penyakit ini dapat disebabkan oleh kuman tunggal, namun

13

dapat juga disebabkan oleh campuran kuman seperti streptokokus,

pneumokokus, hemophilus influenzae, dan klebsiella pneumoniae. Jamur

dapat juga menyebabkan sinusitis (Ngastiyah, 2005).

3) Tonsilitis

Tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada

tonsil atau amandel. Organisme penyebabnya yang utama meliputi

streptokokus atau staphilokokus. Infeksi terjadi pada hidung menyebar

melalui sistem limpa ke tonsil. Hiperthropi yang disebabkan infeksi, bisa

menyebabkan tonsil membengkak sehingga bisa menghambat keluar

masuknya udara. Manifestasi klinis yang ditimbulkan meliputi

pembengkakan tonsil yang mengalami edema dan berwarna merah, sakit

tenggorokan, sakit ketika menelan, demam tinggi dan eksudat berwarna

putih keabuan pada tonsil, selain itu juga muncul abses pada tonsil

(Reeves, Roux & Lockhart, 2001).

4) Faringitis

Faringitis adalah proses peradangan pada tenggorokan. Penyakit

ini juga sering dilihat sebagai inflamasi virus. Namun juga bisa

disebabkan oleh bakteri, seperti hemolytic stretococcy, staphylococci,

atau bakteri lainnya ( Reeves, Roux & Lockhart, 2001). Tanda dan

gejala faringitis antara lain membran mukosa dan tonsil merah, demam,

malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, serak dan batuk (Behrman, 1999).

5) Laringitis

Laringingitis adalah proses peradangan dari membran mukosa

yang membentuk laring (Reeves, Roux & Lockhart, 2001). Penyebab

laringitis umumnya adalah streptococcus hemolyticus, streptococcus

viridans, pneumokokus, staphylococcus hemolyticus dan haemophilus

influenzae. Tanda dan gejalanya antara lain demam, batuk, pilek, nyeri

menelan dan pada waktu bicara, suara serak, sesak napas, stridor. Bila

14

penyakit berlanjut terus akan terdapat tanda obstruksi pernapasan berupa

gelisah, napas tersengal-sengal, sesak dan napas bertambah berat

(Ngastiyah, 2005).

b. Infeksi saluran pernapasan bawah

1) Bronkitis

Bronkitis merupakan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)

bagian bawah, terjadi peradangan di daerah laring, trakhea dan bronkus.

Disebabkan oleh virus, yaitu: rhinovirus, respiratori sincytial virus

(RSV), virus influenzae, virus para influenzae, dan coxsackie virus.

Dengan faktor predisposisi berupa alergi, perubahan cuaca, dan polusi

udara. Dengan tanda dan gejala batuk kering, suhu badan rendah atau

tidak ada demam, kejang, kehilangan nafsu makan, stridor, napas

berbunyi, dan sakit di tengah depan dada (Ngastiyah, 2005).

2) Bronkiolitis

Bronkiolitis akut merupakan penyakit saluran pernapasan yang

lazim, akibat dari obstruksi radang saluran pernapasan kecil. Disebabkan

oleh virus sinsisium respiratorik (VSR), virus para influenzae,

mikroplasma, dan adenovirus. Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun

pertama, dengan insiden puncak sekitar umur 6 bulan (Behrman, 1999).

Yang didahului oleh infeksi saluran bagian atas disertai dengan batuk

pilek beberapa hari, tanpa disertai kenaikan suhu, sesak napas,

pernapasan dangkal dan cepat, batuk dan gelisah (Ngastiyah, 2005).

3) Pneumonia

Pneumonia adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut bagian

bawah yang mengenai parenhim paru. Penyakit ini disebabkan oleh

bakteri yaitu streptococcus pneumonia dan haemophillus influenza. Pada

bayi dan anak kecil ditemukan staphylococcus aureus sebagai penyebab

pneumonia yang berat dan sangat progresif dengan mortalitas tinggi

15

(Wardhani&Setiowulan, 2000). Gejala pneumonia bervariasi, tergantung

umur penderita dan penyebab infeksinya. Gejala-gejala yang sering

didapatkan pada anak adalah napas cepat dan sulit bernapas, mengi,

batuk, demam, menggigil, sakit kepala, dan nafsu makan hilang (Syair,

2009).

4) Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

mycobakterium tuberkulosis dan mycobakterium bovis. Penyakit

tuberkulosis pada bayi dan anak disebut tuberkulosis primer merupakan

suatu penyakit sistemik, dan berlangsung secara perlahan-lahan. Ditandai

dengan gejala batuk, demam, berkeringat malam, penurunan aktifitas,

kehilangan berat badan, dan sukar bernapas (Ngastiyah, 2005).

5. Komplikasi

Penyakit ini sebenarnya merupakan self limited disease, yang

sembuh sendiri 5 sampai 6 hari, jika tidak terjadi invasi kuman lain.

Tetapi penyakit ISPA yang tidak mendapatkan pengobatan dan

perawatan yang baik dapat menimbulkan komplikasi seperti: sinusitis

paranasal, penutupan tuba eustachi, empiema, meningitis dan

bronkopneumonia serta berlanjut pada kematian karena adanya sepsis

yang menular (Ngastiyah, 2005).

6. Faktor-faktor penyebab ISPA

Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor

lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.

a. Faktor individu anak

1.) Umur anak

Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden

penyakit pernafasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini

anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA

16

tertinggi pada umur 6-12 bulan dan pada balita usia 1-4 tahun

(Rahajoe, 2008).

2.) Berat badan lahir

Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan

perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan

berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian

yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal,

terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena

pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih

mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit

saluran pernafasan lainnya.

Penelitian menunjukkan bahwa berat bayi kurang dari 2500

gram dihubungkan dengan meningkatnya kematian akibat infeksi

saluran pernafasan dan hubungan ini menetap setelah dilakukan

adjusted terhadap status pekerjaan, pendapatan, pendidikan. Data

ini mengingatkan bahwa anak-anak dengan riwayat berat badan

lahir rendah tidak mengalami rate lebih tinggi terhadap penyakit

saluran pernafasan, tetapi mengalami lebih berat infeksinya

(Behrman, 1999).

3.) Status gizi

Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap

pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh : umur,

keadaan fisik, kondisi kesehatannya, kesehatan fisiologis

pencernaannya, tersedianya makanan dan aktivitas dari si anak

itu sendiri. Penilaian status gizi dapat dilakukan antara lain

berdasarkan antopometri : berat badan lahir, panjang badan,

tinggi badan, lingkar lengan atas.

Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang

penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah

membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan

infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering

17

mendapat pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara

gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya

serta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi.

Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang

ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya

tahan yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan

balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan

kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah

terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih lama (Rahajoe,

2008).

4.) Vitamin A

Sejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu memberikan

kapsul 200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai

dengan empat tahun. Balita yang mendapat vitamin A lebih dari

6 bulan sebelum sakit maupun yang tidak pernah

mendapatkannya adalah sebagai resiko terjadinya suatu penyakit

sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok

kontrol.

Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan

imunisasi akan menyebabkan peningkatan titer antibodi yang

spesifik dan tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup

tinggi. Bagi antibodi yang ditujukan terhadap bibit penyakit dan

bukan sekedar antigen asing yang tidak berbahaya, niscaya

dapatlah diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit penyakit

yang bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat.

Karena itu usaha misal pemberian vitamin A dan imunisasi

secara berkala terhadap anak-anak prasekolah seharusnya tidak

dilihat sebagai dua keinginan terpisah. Keduanya haruslah

dipandang dalam suatu kesatuan yang utuh, yaitu meningkatkan

daya tahan tubuh dan perlindungan terhadap anak Indonesia

18

sehingga mereka dapat tumbuh, berkembang dan berangkat

dewasa dalam keadaan yang sebaik-baiknya.

Selain itu vitamin A sangat berhubungan dengan beratnya

infeksi. Grant melaporkan bahwa anak dengan defisiensi vitamin

A yang ringan mengalami ISPA dua kali lebih banyak daripada

anak yang tidak mengalami defisiensi vitamin A (Rahajoe,

2008).

5.) Status Imunisasi

Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat

akan mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai

komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA, diupayakan

imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status

imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan

perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Cara

yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian

imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak

yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat

dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian

pneumonia dapat dicegah (Behrman, 1999).

6.) Jenis Kelamin

Pada umumnya tidak ada insidens ISPA akibat virus atau

bakteri pada laki-laki atau perempuan. Akan tetapi, ada yang

mengemukakan bahwa terdapat sedikit perbedaan, yaitu insidens

lebih tinggi pada anak laki-laki usia di atas 6 tahun(Behrman,

1999).

b. Faktor lingkungan

1) Pencemaran udara dalam rumah

Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk

memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme

pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA.

Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya

19

kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu dengan

kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini

lebih dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama

berada di rumah bersama-sama ibunya sehingga dosis

pencemaran tentunya akan lebih tinggi (Rahajoe, 2008).

2) Ventilasi rumah

Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara

ke atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis.

Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut :

a.) Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar

oksigen yang optimum bagi pernafasan.

b.) Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun

debu dan zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara.

c.) Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.

d.) Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan

bangunan.

e.) Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh

radiasi tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal.

f.) Mendisfungsikan suhu udara secara merata.

3) Kepadatan hunian rumah

Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri

kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan

kesehatan rumah, satu orang minimal menempati luas rumah 8m2.

Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan

penyakit dan melancarkan aktivitas.

Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor

polusi dalam rumah yang telah ada (Rahajoe, 2008).

c. Faktor perilaku

Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit

ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan

20

ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota

keluarga lainnya. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat

yang berkumpul dan tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan

lainnya saling tergantung dan berinteraksi. Bila salah satu atau

beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan

berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya (Anonymous, 2010).

Peran aktif keluarga/masyarakat dalam mengenali ISPA sangat

penting karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-

hari di dalam masyarakat atau keluarga. Hal ini perlu mendapat

perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak

menyerang balita, sehingga ibu balita dan anggota keluarga yang

sebagian besar dekat dengan balita mengetahui dan terampil

menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya sakit.

Keluarga perlu mengetahui serta mengamati tanda keluhan dini

pneumonia dan kapan mencari pertolongan dan rujukan pada sistem

pelayanan kesehatan agar penyakit anak balitanya tidak menjadi lebih

berat. Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan dengan jelas bahwa

peran keluarga dalam praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA

sangatlah penting, sebab bila praktek penanganan ISPA tingkat

keluarga yang kurang/buruk akan berpengaruh pada perjalanan

penyakit dari ringan menjadi bertambah berat.

Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita

diantaranya :

1) Pemberian air susu ibu (ASI)

Terdapat banyak penelitian yang meunjukkan hubungan antara

pemberian ASI dengan terjadinya ISPA. Air susu ibu mempunyai nilai

protieksi terhadap pneumonia, terutama pada 1 bulan pertama. Lopez

mendapatkan bahwa prevalens ISPA berhubungan dengan lamanya

pemberian ASI. Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih rentan

mengalami ISPA dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI paling

sedikit selama 1 bulan. Cesar JA dan kawan-kawan melaporkan bahwa

21

bayi yang tidak diberi ASI akan 17 kali lebih rentan mengalami

perawatan di RS akibat pneumonia di bandingkan dengan bayi yang

mendapat ASI. Pemberian ASI dengan durasi yang lama mempunyai

pengaruh proteksi terhadap ISPA bawah selama tahun pertama

(Behrman, 1999).

2) Pendidikan orang tua

Tingkat pendidikan orang tua menunjukkan adanya hubungan

terbalik antara angka kejadian dan kematian ISPA. Tingkat pendidikan

ini berhubungan erat dengan keadaan sosial ekonomi, dan juga

berkaitan dengan pengetahuan orang tua. Kurangnya pengetahuan

menyebabkan sebagian kasus ISPA tidak diketahui oleh orang tua dan

tidak diobati (Behrman, 1999).

3) Status sosial ekonomi

Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap pendidikan dan

faktor-faktor lain seperti nutrisi, lingkungan, dan penerimaan layanan

kesehatan. Anak yang berasal dari keluarga dengan status sosial

ekonomi rendah mempunyai resiko lebih besar mengalami episode

anak. Rahman menyatakan bahwa risiko mengalami ISPA adalah 3,3

kali lebih tinggi pada anak dengan status sosial ekonomi rendah

(Behrman, 1999)

4) Penggunaan fasilitas kesehatan

Angka kematian untuk semua kasus pneumonia pada anak yang

tidak diobati diperkirakan 10-20%. Penggunaan fasilitas kesehatan

dapat mencerminkan tingginya insiden ISPA, yaitu sebesar 60% dari

kunjungan rawat jalan di puskesmas dan 20-40% dari kunjungan rawat

jalan dan rawat inap RS. Penggunaan fasilitas kesehatan sangat

berpengaruh pada tingkat keparahan ISPA. Di sebagian negara

berkembang, pemanfaatan fasilitas kesehatan masih rendah ( (Behrman,

1999).

22

B. Status Gizi

1. Pengertian

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi

makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan antara status gizi

buruk, kurang, baik, dan lebih (Almatsier, 2009).

Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam

bentuk variable tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk

variable tertentu (Supariasa, 2001).

2. Zat Gizi

Zat gizi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk

melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan

memelihara jaringan, serta mengatur proses – proses kehidupan

(Almatsier,2009). Zat gizi merupakan unsur yang penting dalam nutrisi

mengingat zat gizi tersebut dapat memberikan fungsi tersendiri pada

nutrisi, kebutuhan nutrisi tidak akan berfungsi secara optimal kalau tidak

mengandung beberapa zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan tubuh,

demikian juga zat gizi yang cukup pada kebutuhan nutrisi akan

memberikan nilai yang optimal (hidayat, 2005).

3. Macam-macam gizi

a. Lemak

Lemak merupakan makronutrien penting yang menempati urutan

kedua setelah hidratarang sebagai bahan bakar untuk memberikan energi

kepada sel-sel tubuh (Hartono, 2006). Disamping sebagai sumber energi,

lemak juga memiliki fungsi lain yang penting, yaitu untuk membentuk

komponen struktural membran sel. Fungsi lemak dalam tubuh antara

lain :

23

1) Sebagai bahan bakar metabolik untuk memberikan energi kepada

tubuh.

2) Komponen struktural membran sel.

3) Komponen pembentukan insulator untuk mengurangi kehilangan

panas tubuh dan meredam dampak benturan pada organ tubuh.

4) Komponen pembentukan hormon (fungsi endokrin) dan vitamin

yang larut dalam lemak.

b. Protein

Protein merupakan unsur yang terdapat dalam jumlah besar

didalam tubuh. Protein terbentuk dari asam-asam amino yang

dirangkaikan oleh ikatan peptida. Karena asam-asam amino bukan hanya

tersusun dari atom karbon, hidrogen dan oksigen tetapi juga dari

nitrogen, maka protein merupakan sumber nitrogen bagi tubuh. Beberapa

fungsi protein didalam tubuh antara lain :

1) Membangun jaringan tubuh yang baru.

2) Memperbaiki jaringan tubuh.

3) Menghasilkan senyawa esensial.

4) Mengatur tekanan osmotik

5) Mengatur keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa.

6) Menghasilkan pertahanan tubuh.

7) Menghasilkan mekanisme transportasi.

8) Menghasilkan energi.

24

c. Karbohidrat

Karbohidrat merupakan zat gizi yang terdapat dalam makanan,

pada umumnya dalam bentuk amilum. Karbohidrat yang disimpan dalam

hati dan otot berbentuk glikogen dengan jumlah yang sangat sedikit.

Glikogen adalah sintesis dari glukosa, pemecahan energi selama masa

istirahat atau puasa. Kelebihan energi karbohidrat berbentuk asam lemak.

Kekurangan karbohidrat akan mengakibatkan kehilangan energi, mudah

lelah, pemecahan protein yang berlebihan, dan gangguan keseimbangan

air, natrium, kalium dan klorida (Tarwoto&Wartonah, 2006).

d. Vitamin

Vitamin adalah senyawa organik yang dalam jumlah sangat kecil

diperlukan untuk terjadinya proses metabolisme sel sebagai bagian dalam

kelangsungan hidup suatu organisme (Markum, 2002). Fungsi vitamin

antara lain :

1) Membantu pertumbuhan sel tubuh dan penglihatan, menyehatkan

rambut, kulit, dan integritas membran epitel (vitamin A).

2) Metabolisme karbohidrat, memantu kelancaran sistem persarafan,

dan mecegah beri-beri (vitamin B1).

3) Membantu pembentukan enzim, pertumbuhan dan membantu

adaptasi cahaya dalam mata (vitamin B2).

4) Metabolisme karbohidrat, lemak, protein, dan komponen enzim

serta mencegah menurunnya nafsu makan (vitamin B3).

5) Membantu kesehatan gusi dan gigi, pembantukan sel darah

merah, serta metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein

(vitamin B6).

6) Metabolisme protein, membantu pembentukan sel darah merah,

kesehatan jaringan dan mencegah anemia (vitamin B12).

25

7) Mejaga kesehatan tulang, gigi dan gusi, membantu pembentukan

dinding pembuluh darah dan pembuluh kapiler, kesembuhan

jaringan tulang, serta memudahkan penyerapan zat besi dan asam

folat (vitamin C).

8) Membantu penyerapan kalsium dan fosfor serta mencegah

rakhitis (vitamin D).

9) Membantu pembentukan sel darah merah dan melindungi asam

amino utama (vitamin E).

10) Membantu produksi protrombin serta pembekuan darah (vitamin

K).

e. Mineral

Mineral dibutuhkan dalam tubuh sebagai zat pembangun dan

pelindung. Mineral tidak membutahkan pencernaan sehingga tubuh

mudah untuk memprosesnya. Jenis mineral antara lain kalsium, fosfor,

yodium, besi, magnesium, dan zinc. Kalsium berfungsi untuk

pembentukan gigi dan tulang, aktivitas neuromaskular, dan koagulasi

(penggumpalan) darah. Fosfor berfungsi sebagai penyanga pembentukan

gusi dan tulang. Yodium sebagai pengaturan metabolisme tubuh dan

memperlancar pertumbuhan. Besi sebagai komponen hemoglobin dan

membantu oksidasi dalam sel. Magnesium berfugsi sebagai pengaktifan

enzim, pementukan gigi dan tulang, dan membantu kegiatan

neuromuskular. Sedangkan zinc berfungsi sebagai bahan pembentuk

enzim dan insulin (Hidayat, 2006).

f. Air

Air merupakan zat makanan paling mendasar yang dibutuhkan

oleh tubuh manusia. Tubuh manusia terdiri atas 50%-70% air. Asupan air

secara teratur sangat penting bagi makhluk hidup untuk bertahan hidup

dibandingkan dengan pemasukan nutrisi lain. Bayi mempunyai proporsi

26

air yang lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa (Hidayat, 2006).

Kehilangan air melalui kulit dan ginjal pada bayi dan anak-anak lebih

basar daripada orang dewasa, bayi dan anak akan lebih mudah terserang

penyakit yang menyebabkan kehilangan air dalam jumlah banyak

(Wardhani&Setiowulan, 2000).

4. Akibat gangguan gizi terhadap fungsi tubuh

Secara umum, gangguan kebutuhan nutrisi terdiri atas kekurangan

dan kelebihan nutrisi, obesitas, malnutrisi dan anoreksia nervosa

(Hidayat, 2008).

a. Kekurangan gizi

Merupakan resiko penurunan berat badan akibat ketidakcukupan

asupan gizi untuk kebutuhan metabolisme. Tanda klinis kekurangan gizi

antara lain berat badan 10-20% di bawah normal, tinggi badan di bawah

ideal dan adanya kelemahan dan nyeri tekan pada otot. Kemungkinan

penyebab dari kekurangan gizi ini adalah :

1) Meningkatnya kebutuhan kalori dan kesulitan dalam mencerna

kalori akibat penyakit infeksi atau kanker.

2) Disfagia karena adanya kelainan persarafan.

3) Penurunan absorbsi gizi akibat penyakit crohn atau intoleransi

laktosa.

4) Nafsu makan menurun.

b. Kelebihan gizi

Merupakan suatu keadaan yag dialami seseorang yang

mempunyai resiko peningkatan berat badan akibat asupan kebutuhan

metabolisme secara berlebih. Tanda klinis kelebihan nutrisi ini antara

lain berat badan lebih dari 10% berat ideal, adanya jumlah asupan yang

27

berlebihan dan aktivitas menurun atau monoton. Penyebab kelebihan gizi

adalah perubahan pola makan dan penurunan fungsi pengecapan dan

penciuman (Hidayat, 2008).

c. Obesitas

Merupakan masalah peningkatan berat badan yang mecapai lebih

dari 20% berat badan normal. Status nutrisinya adalah melebihi

kebutuhan metabolisme karena kelebihan asupan kalori dan penurunan

dalam pengunaan kalori (Hidayat, 2008).

d. Malnutrisi

Malnutrisi adalah masalah yang berhubungan dengan kekurangan

zat gizi pada tingkat seluler atau dapat dikatakan sebagai masalah asupan

zat gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh. Gejala umumnya

adalah berat badan rendah dengan asupan makanan yang cukup atau

asupan kurang dari kebutuhan tubuh, adanya kelemahan otot dan

penurunan energi, pucat pada kulit,membran mukosa, dan konjungtiva

(Hidayat, 2008).

e. Anoreksia nervosa

Merupakan penurunan berat badan secara mendadak dan

berkepanjangan, ditandai dengan adanya konstipasi, pembengkakan

badan, nyeri abdomen, kedinginan, letargi, dan kelebihan energi

(Hidayat, 2008).

28

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi

a. Faktor External

1) Pendapatan

Masalah gizi karena kemiskinan indikatornya adalah taraf ekonomi

keluarga, yang hubungannya dengan daya beli yang dimiliki keluarga

tersebut (Santoso, 1999).

2) Pendidikan

Pendidikan gizi merupakan suatu proses merubah pengetahuan,

sikap dan perilaku orang tua atau masyarakat untuk mewujudkan dengan

status gizi yang baik (Suliha, 2001).

3) Pekerjaan

Pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan terutama untuk

menunjang kehidupan keluarganya. Bekerja umumnya merupakan kegiatan

yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh

terhadap kehidupan keluarga (Markum, 1991).

4) Budaya

Budaya adalah suatu ciri khas, akan mempengaruhi tingkah laku

dan kebiasaan (Soetjiningsih, 1998).

b. Faktor Internal

1) Usia

Usia akan mempengaruhi kemampuan atau pengalaman yang

dimiliki orang tua dalam pemberian nutrisi anak balita (Nursalam, 2001).

29

2) Kondisi Fisik

Mereka yang sakit, yang sedang dalam penyembuhan dan yang

lanjut usia, semuanya memerlukan pangan khusus karena status kesehatan

mereka yang buruk. Bayi dan anak-anak yang kesehatannya buruk, adalah

sangat rawan, karena pada periode hidup ini kebutuhan zat gizi digunakan

untuk pertumbuhan cepat (Suhardjo, et, all, 1986).

3) Infeksi

Infeksi dan demam dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan

atau menimbulkan kesulitan menelan dan mencerna makanan (Suhardjo, et,

all, 1986).

6. Penilaian status gizi

Terdapat beberapa cara untuk mengukur status gizi anak,yaitu

dengan pengukuran antropometrik, klinik dan laboratorik. Pengukuran

antropomerti adalah pengukuran yang relative sederhana dan banyak

dilakukan (Soekirman, 2000).

Penilaian status gizi secara tidak langsung dilakukan dengan cara

antropomerti. Antropomerti adalah ukuran tubuh manusia. Apabila

ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan

dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dari berbagai

(Supariasa, 2002).

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi antropometri adalah

faktor genetik dan faktor lingkungan yang berkaitan dengan gizi,

beberapa konsumsi makanan dan kesehatan berupa penyakit infeksi

(Aritonang, 1996).

Pengukuran antropometri dapat dilakukan dengan berbagai

macam pengukuran, yaitu pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar

30

lengan atas dan sebagainya. Dari beberapa pengukuran tersebut,

pengukuan berat badan, tinggi badan dan lingkar lengan atas sesuai umur

adalah pengukuran yang sering dilakukan dalam survey gizi (Soekirman,

2000).

a. Indikator BB/U

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan

gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-

perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang infeksi, penurunan

nafsu makan, atau menurunkan jumlah makanan yang dikonsumsi

(Supariasa, 2001) Kelebihan indikator ini adalah sensitif untuk melihat

perubahan status gizi dalam jangka waktu pendek, juga dapat digunakan

untuk mendeteksi kegemukan (Soekirman, 2000)

b. Indikator TB/U

Indikator TB/U merupakan indikator pengukuran antropometri

yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan

normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertumbuhan umur.

Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap masalah

kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh devisiensi zat gizi

terhadap tinggi badan anak nampak dalam waktu yang relatif lama

(Supariasa, 2001). Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu

dan dapat menggambarkan keadaan sosial ekonomi penduduk

(Soekirman, 2000).

c. Indikator BB/TB

Berat badan memiliki hubungan linear dengan tinggi badan.

Dalam kondisi normal, perkembangan berat badan akan searah dengan

pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu (Supariasa, 2001)

Indikator BB/TB ini dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan

31

lebih sensitif dan spesifik, terutama apabila data umur yang akurat sulit

diperoleh (Soekirman, 2000).

7. Penggunaan indeks antropometri

Indeks antropometri yang umum digunakan dalam menilai status

gizi adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut

umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Dari

berbagai indeks tersebut, untuk menginterpretasikan dibutuhkan ambang

batas. Ambang batas menurut kesepakatan para ahli gizi adalah :

1) Persen terhadap median

Median adalah nilai tengah populasi, dalam antropometri gizi

median sama dengan persentil 50 dan nilainya dinyatakan sama dengan

100%. Kemudian dihitung presentase terhadap nilai median untuk

mendapatkan ambang batas.

Tabel 2.1 Status Gizi Berdasarkan Indikator Antropometri

Status Gizi Indeks

Gizi Baik

Gizi Sedang

Gizi Kurang

Gizi Buruk

BB/U TB/U BB/TB

> 80%

71- 80%

61%- 70%

<60%

>90%

81% - 90%

71% - 80%

<70%

>90%

81% - 90%

71% - 80%

<70%

Sumber : Supariasa, 2002

2) Persentil

Persentil 50 sama dengan median atau nilai tengah jumlah

populasi berada diatasnya dan setengahnya berada dibawahnya.

32

3) Standar Deviasi (SD)

Standar Deviasi disebut juga dengan Z-score. WHO menyarankan

untuk mengunakan cara ini untuk meneliti dan untuk memantau

pertumbuhan. Pertumbuhan nasional untuk suatu populasi dinyatakan

dalam positif dan negatif 2 SD unit (Z-score) dari median. Dibawah nilai

median -2 SD unit dinyatakan gizi kurang.

Rumus perhitungan Z-score adalah :

RujukanBaku Simpang Nilai

RujukanBaku Median Nilai -Subyek Individu Nilai scoreZ

33

Tabel 2.2 Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U,TB/U, BB/TB

Standart Baku Antropometeri WHO-NCHS

No Indeks yang

dipakai

Batas

Pengelompkan Sebutan Status Gizi

1. BB/U

< -3 SD

Gizi buruk

- 3 s/d <-2 SD

Gizi kurang

- 2 s/d +2 SD

Gizi baik

> +2 SD

Gizi lebih

2. TB/U

< -3 SD

Sangat Pendek

- 3 s/d <-2SD

Pendek

- 2 s/d +2 SD

Normal

> +2 SD

Tinggi

3. BB/TB

< -3 SD

Sangat Kurus

- 3 s/d <-2SD

Kurus

- 2 s/d +2SD

Normal

> +2 SD Gemuk

Sumber : Depkes RI 2004.

Contoh perhitungan Z-score sebagai berikut :

Seorang anak laki-laki umur 36 bulan dengan tinggi badan 96 cm dan

berat badan 15,2 kg, dan seorang anak laki-laki umur 10 bulan dengan

panjang badan 75 cm dan berat badan 5,8 kg. Distribusi simpang baku

ketiga indeks untuk kedua anak tersebut masing-masing sebagai berikut:

34

Tabel 2.3 Berat (kg) menurut umur anak

Table 2.4 Tinggi (cm) menurut umur anak

Tabel 2.5 Berat (kg) menurut tinggi badan anak

No Umur Standard Deviasi

Thn Bln -3sd -2sd -1sd Median +1sd +2sd +3sd

1 3 0 9,8 11,4 13,0 14,6 16,4 19,3 20,1

2 10 6,6 7,6 8,6 9,5 10,6 11,7 12,7

Sumber: Supariasa,2001

No Tinggi Standard Deviasi

Cm -3sd -2sd -1sd Median +1sd +2sd +3sd

1 96 0 83,5 87,3 91,1 94,9 98,7 102,5 106,3

2 75 65,7 68,3 71,0 73,6 76,3 78,9 81,6

Sumber: Supariasa,2001

No Tinggi Standard Deviasi

Cm -3sd -2sd -1sd Median +1sd +2sd +3sd

1 96 11,3 12,3 13,3 14,4 15,5 16,6 17,7

2 75 7,4 8,2 9,0 9,8 10,7 11,6 12,5

Sumber : Supariasa, 2001

35

Jadi untuk indeks BB/U adalah

a. Anak Pertama = (15,2-14,6) / (14,6-13,0) = 0,6 / 1,6 = + 0,4 SD

Z-score = Status Gizi Baik

b. Anak Kedua = (5,8-9,5) / (9,5-8,6) = -3,7 / 0,9 = - 4,4 SD

Z-score = Status Gizi Buruk

Untuk IndeksTB/U adalah

a. Anak Pertama = (96-94,9) / (94,9-91,1) = 1,1 / 3,8 = + 0,3 SD

Z-score = Status Gizi Normal

b. Anak Kedua = (75-73,6) / (73,6-71,0) = 1,4 / 2,6 = + 0,5 SD

Z-score = Status Gizi Normal

Untuk Indeks BB/TB adalah

a. Anak Pertama = (15,2-14,4) / (14,4-13,3) = 0,8 / 1,1 = + 0,7 SD

Z-score = Status Gizi Normal

b. Anak Kedua = (5,8-9,8) / (9,8-9,0) = -4 / 0,8 = -5 SD

Z-score = Status Gizi Sangat Kurus

c. Kurang Energi Protein (KEP)

a. Pengertian KEP

Menurut Departemen Kesehetan Republik Indonesia, yang

dimaksud dengan Kurang Energi Protein (KEP) adalah keadaan

makanan sehari – hari sehingga tidak mencukupi Angka Kecukupan

Gizi (AKG) (Depkes, 1999). KEP adalah keadaan kurang gizi yang

disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan

sehari – hari, sehingga tidak memenuhi anggka kecukupan gizi

(Wadana,DKK).

Menurut Depkes RI bahwa berdasarkan gejala klinis ada 3 tipe

untuk KEP yaitu KEP ringan dan sedan, gejala klinis ditemukan hanya

anak tampak kurus. Gejala klinis KEP berat atau gizi buruksecara garis

besar dapat dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor dan marasmik –

kwashiorkor. (Depkes,1999).

36

b. Etiologi KEP

Penyebab utama KEP adalah ketidakseimbangan antara zat gizi

dengan yang diperoleh dari makanan dan kebutuhan tubuh. Ada

beberapa penyebab kekurangan gizi, yaitu penyebab langsung dan

penyebab tidak langsung. Penyebab langsung adalah asupan yang

kurang dan penyakit infeksi. Sedangkan penyebab tidak langsung

antara lain ketersediaan bahan makanan di rumah tangga yang tidak

mencukupi kebutuhan, kedua karena kekurangan fasilitas kesehatan dan

lingkungan yang tidak sehat, ketiga karena keterbatasan pelayanan dan

perhatian kepada anak dan ibu, yang dipengaruhi norma kebudayaan

dan sistem nilai yang kadang salah konsep. Penyebab dasar berkaitan

dengan masyarakat adalah tingkat pendidikan, ekonomi, situasi politik

dan situasi pelaksanaan hak – hak (distribusi sumber daya, kedudukan

wanita). Kemiskinan telah dipandang sebagai penyebab kekurangan

gizi, tetapi kalau diamati lebih jauh terbukti bahwa kurang gizi

sebenarnya akar permasalahan dari kemiskinan. (Irianto,2000)

c. Klasifikasi KEP

Menurut baku median WHO – NCHS, KEP dibagi beberapa

tingkatan yaitu

1) KEP ringan bila berat badan menurut umur (BB/U) 70 – 80 % baku

median WHO – NCHS.

2) KEP sedang bila BB/U 60 – 70 % baku median WHO – NCHS dan/

BB/TB 60 – 70% baku median WHO – NCHS.

3) KEP berat bila BB/U 60% baku median WHO – NCHS.

(Aritonang, 2004)

37

C. Kerangka Teori

Gambar : kerangka teori

Sumber : Behrman (1999)

Faktor Lingkungan :

Pencemaran Udara Dalam Rumah

Ventilasi Rumah

Kepadatan Hunian Rumah

Faktor Perilaku :

Pemberian Air Susu Ibu (ASI)

Pendidikan Orang Tua

Status Sosial Ekonomi

Penggunaan Fasilitas Kesehatan

Faktor Individu Balita :

Status Gizi

Status Imunisasi

BBLR

Kejadian ISPA

pada balita

38

D. Kerangka Konsep

Kerangka Konsep Penelitian pada dasarnya adalah kerangka

hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui

penelitian-penelitian yang akan dilakukan ( Notoatmodjo, 2005).

Berdasarkan tinjauan teori dan kerangka teori di atas maka dapat dibuat

kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

E. Variabel Penelitian

Variable merupakan konsep dari berbagai level abstrak yang

didefinisikan sebagai suatu fasilitas untuk pengukuran dan atau

manipulasi suatu penelitian. konsep yang ditinjau dalam suattu penelitian

bersifat kongkrit dan secara langsung bias diukur, mis denyut jantung,

hemoglobin, denyut jantung,dan lain. Sesuatu yang kongkrit tersebut bias

diartikan sebagai suatu variable penelitian (Nur salam, 2008).

1. Variabel Bebas (Independent Variabel)

Variabel yang mempengaruhi atau dianggap menentukan

variabel terikat. Variabel independen dalam penelitian ini adalah

Status Gizi pada Balita

2. Variabel Terikat (Dependent Variabel)

Variabel yang dipengaruhi oleh variabel dependen. Variabel

terikat dalam penelitian ini adalah Kejadian Infeksi Saluran

Pernafasan Akut (ISPA).

Status Gizi Balita Kejadian ISPA pada

Balita

39

F. Hipotesis Penelitian

Dari uraian di atas dan berdasarkan rumusan masalah yang telah

diuraikan dapat ditarik hipotesis penelitian sebagai berikut :

Ha : Ada hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA pada

balita di desa Cepokomulyo wilayah kerja Puskesmas Gemuh I

Kabupaten Kendal.