bab ii tinjauan pustaka a. dismenore 1.repository.poltekkes-tjk.ac.id/539/4/bab ii.pdf · obat...
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dismenore
1. Definisi Dismenore
Menurut Judha (2012) dismenore merupakan suatu kondisi yang terjadi
saat menstruasi yang ditandai dengan nyeri atau rasa sakit pada perut bagian
bawah dan panggul, yang dapat mengganggu aktivitas serta memerlukan
pengobatan.
Dismenore merupakan salah satu masalah ginekologi yang paling umum
dialami wanita dari berbagai tingkatan usia (Bobak, 2004). Menurut Varney
(2007) dismenore merupakan menstruasi yang sangat menyakitkan, terutama
terjadi pada perut bagian bawah dan punggung serta biasanya terasa seperti kram.
Dismenore merupakan suatu gejala dan bukan suatu penyakit. Dismenore
berat adalah nyeri haid yang sering disertai mual, muntah diare, pusing, nyeri
kepala dan kadang-kadang sampai pingsan (Anurogo, 2011)
2. Klasifikasi Dismenore
a. Dismenore Primer
Dismenore primer adalah nyeri haid yang dapat dijumai tanpa kelainan
pada alat-alat genital yang nyata. Dismenore primer terjadi beberapa waktu
setelah menarche biasanya terjadi dalam 6-12 bulan pertama setelah haid pertama.
Sifat rasa nyeri biasanya terbatas pada perut bagian bawah, tetapi dapat menyebar
ke daerah pinggang. Bersama dengan rasa nyeri dapat dijumai rasa mual, muntah,
sakit kepala, daire dan sebagainya. Tidak ada permasalahan ginekologi yang
10
mendasari yang menyebabkan rasa nyeri. Dismenore berasal dari kontraksi rahim
yang dirangsang oleh prostaglandin. Nyeri yang dirasakan semakin hebat ketika
bekuan atau potongan dari lapisan rahim melewati serviks (leher rahim), terutama
jika saluran serviks sempit (Sukarni, 2013)
b. Dismenore Sekunder
Dismenore sekunder merupakan dismenore yang disebabkan oleh kelainan
genekologi atau kandungan. Pada umumnya terjadi pada wanita usia 20-30 tahun,
setelah tahun-tahun normal dengan siklus tanpa nyeri (Anurogo, 2011).
Dismenore sekunder dikaitkan dengan penyakit pelvis organik, seperti
endometriosis, penyakit radang pelvis, stenosis serviks, neoplasma ovarium atau
uterus dan polip uteus. (Bobak, 2004)
3. Patofisiologi Dismenore
Secara patofisiologis, dismenore terjadi karena peningkatan sekresi
prostaglandin F2a pada fase luteal siklus menstruasi. Peningkatan produksi
prostaglandin dan pelepasannya (terutama PGF2α) dari endometrium selama
menstruasi menyebabkan kontraksi uterus yang tidak terkoordinasi dan tidak
teratur sehingga menimbulkan nyeri. Selama periode menstruasi, wanita yang
mempunyai riwayat dismenore mempunyai tekanan intrauteri yang lebih tinggi
dan memiliki kadar prostaglandin dua kali lebih banyak dalam darah (menstruasi)
dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami nyeri. Uterus lebih sering
berkontraksi dan tidak terkoordinasi atau tidak teratur. Akibat peningkatan
aktivitas uterus yang abnormal tersebut, aliran darah menjadi berkurang sehingga
terjadi iskemia atau hipoksia uterus yang menyebabkan timbulnya nyeri. (Reeder,
2013)
11
4. Etiologi Dismenore
Dismenore primer terjadi akibat endometrium mengalami peningkatan
prostaglandin dalam jumlah tinggi. Di bawah pengaruh progesteron selama fase
luteal haid, endometrium yang mengandung prostaglandin meningkat mencapai
tingkat maksimum pada awal masa haid. Prostaglandin menyebabkan kontraksi
myometrium yang kuat dan mampu menyempitkan pembuluh darah
mengakibatkan iskemia, disintegrasi endometrium dan nyeri (Morgan &Hamilton,
2009).
Prostaglandin F2 alfa adalah suatu perangsang kuat kontraksi otot polos
myometrium dan konstriksi pembuluh darah uterus. Hal ini memperparah
hipoksia uterus yang secara normal terjadi pada haid sehingga timbul nyeri berat
(Corwin, 2009). Selain itu, kejadian dismenore primer juga dapat dipicu oleh
faktor psikogenik yaitu stress emosional dan ketegangan, kurang vitamin, atau
rendahnya kadar gula (Dianawati, 2003).
5. Faktor Penyebab Dismenore
Menurut Prawiroharjo (2010) terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi dismenore antara lain:
a. Faktor Kejiwaan
Kondisi kejiwaan yang tidak stabil pada wanita akan mengaktivasi
hipotalamus yang selanjutnya mengendalikan dua sistim neuro endokrin, yaitu
sistim simpatis dan sistim korteks adrenal. Paparan ketidakstabilan kondisi
emosional ini akan meningkatkan hormon adrenalin, tiroksin dan kortisol yang
berpengaruh secara signifikan pada homeostatis. Hal inilah yang menyebabkan
vasokonstriksi pada daerah yang terkena nyeri sehingga menimbulkan efek
12
penekanan pembuluh darah, pengurangan aliran darah dan peningkatan kecepatan
metabolisme. Efek-efek yang terjadi inilah yang akan membuat iskemik pada sel.
b. Faktor Konstitusi
Faktor konstitusi berhubungan dengan faktor kejiwaan sebagai penyebab
timbulnya dismenore primer yang dapat menurunkan ketahanan seseorang
terhadap nyeri. Faktor ini antara lain:
1) Anemia
Pada penderita anemia, kemampuan darah untuk mengangkut oksigen
berkurang. Hal ini akan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan sel. Hal ini
menyebabkan kerusakan jaringan atau disfungsi jaringan.
2) Penyakit menahun
Penyakit menahun yang diderita seorang perempuan akan menyebabkan
tubuh kehilangan terhadap suatu penyakit atau terhadap rasa nyeri. Penyakit yang
termasuk penyakit menahun dalam hal ini adalah asma dan migrain.
c. Faktor Obstruksi Kanalis Servikalis
Pada faktor ini menyebabkan aliran darah menstruasi tidak lancar sehingga
otot-otot uterus berkontraksi keras dalam usaha untuk melainkan kelainan
tersebut.
d. Faktor Endokrin
Kejang pada dismenore primer disebabkan oleh kontraksi yang berlebihan.
Hal ini disebabkan karena endometrium dalam fase sekresi memproduksi
prostaglandin F2-α yang menyebabkan kontraksi otot-otot polos. Jika jumlah
prostaglandin F2-α berlebih akan dilepaskan dalam peredaran darah, maka selain
dismenore, dijumpai pula efek umum, seperti diare, nausea, dan muntah.
13
e. Faktor Alergi
Teori ini dikemukakan setelah adanya asosiasi antara dismenore primer
dengan urtikaria, migren atau asma bronkial. Smith menduga bahwa sebab alergi
ialah toksin haid.
6. Penatalaksanaan Dismenore
a. Metode Farmakologi
Menurut Prawirohardjo (2010) penatalaksanaan dismenore seacara
farmakologi adalah sebagai berikut:
1) Pemberian obat analgesik
Dewasa ini banyak beredar obat-obata analgesik yang dapat diberikan
sebagai terapi simptomatik. Obat analgesik yang sering diberikan adalah preparat
kombinasi aspirin, fenasetin dan kafein. Oabt-obatan paten yang beredar di
pasaran antara lain novalgin, glifanan, deparon, unagen, baralgin, ponstan,
buskopan kompositium, baserol dan sebagainya.
2) Terapi hormonal
Tujuan terapi hormonal adalah menekan ovulasi. Tindakan ini bersifat
sementara dengan maksud untuk membuktikan bahwa gangguan benar-benar
dismenore primer, atau untuk memungkinkan penderita melaksanakan pekerjaan
penting pada waktu haid tanpa gangguan. Tujuan ini dapat dicapai dengan
pemberian salah satu jenis pil kombinasi kontrasepsi.
3) Terapi dengan obat nonsteroid antiprostaglandin
Terapi ini memegang peranan penting terhadap dismenore primer. Kurang
lebih 70% penderita dapat disembuhkan atau mengalami perbaikan dengan
14
pemberian indometasin, ibuprofen dan naprokeson. Pengobatan diberikan
sebelum haid mulai 1-3 hari sebelum haid dan pada hari pertama haid.
4) Dilatasi Kanalis servikalis
Terapi ini memberi keringanan karena memudahkan pengeluaran darah
haid dan prostaglandin di dalamnya. Neurektomi prasakral (pemotongan urat saraf
sensorik antara uterus dan susunan saraf pusat) merupakan tindakan terakhir,
apabila usaha-usaha lain gagal.
b. Metode Non Farmakologi
Menurut Varney (2007) terdapat beberapa terapi nonfarmakologi untuk
mengurangi dismenore yaitu homeopati, akupuntur, biofeedback, teknik relaksasi,
massase, olahraga, aromaterapi, kompres hangat, akupresure dan penggunaan
herbal tertentu.
1) Konsumsi herbal
Terapi ramuan herbal dapat dilakukan dengan cara menggunakan obat
tradisional yang berasal dari bahan-bahan tanaman. Beberapa bahan tanaman
dipercaya dapat mengurangi rasa nyeri.
2) Akupuntur
Akupuntur merupakan salah satu pengobatan tradisional yang cukup
banyak digunakan, merupakan bagian dari pengobatan tradisional Cina yang telah
berumur ribuan tahun dengan cara menusukkan jarum pada bagian tubuh tertentu
dengan tujuan untuk merangsang tubuh melakukan penyembuhan dengan
mengaktifkan sistem saraf, sistem imunitas, sistem sirkulasi darah dan
menormalisasikan aktifitas fisiologi seluruh tubuh. Akupuntur mengurangi
keparahan dan durasi nyeri, mengurangi kebutuhan untuk menghilangkan rasa
15
sakit dan peningkatan secara keseluruhan dalam gejala menstruasi, dan
meningkatkan kualitas hidup, yang diukur dengan indeks peningkatan status
kesehatan, mengurangi waktu cuti atau dari sekolah, pembatasan kurang pada
kegiatan kehidupan sehari-hari dan kurang efek samping dari pengobatan
(Caroline et al, 2011 dikutip oleh Oktobriariani, 2016)
3) Akupresure
Akupresur adalah tekhnik penyembuhan bangsa Cina kuno yang
didasarkan pada prinsip pengobatan tradisonal Asia. Cara kerjanya mirip
akupunktur dan sering disebut akupunktur tanpa jarum. Terapis menekankan jari
pada titik-titik yang berhubungan dengan banyak titik yang digunakan dalam
akupunktur (Kozier, 2010). Rangsangan pada titik akupoin dipercaya akan
membuka sumbatan di meridian dan memperbaiki aliran energi, menghilangkan
nyeri, dan penyakit .
4) Olahraga
Olahraga merupakan suatu bentuk aktivitas fisik yang terencana dan
terstruktur yang melibatkan gerakkan tubuh berulang ulang dan ditujukan untuk
meningkatkan kebugaran jasmani. Olahraga merupakan salah satu teknik relaksasi
yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri. Olahraga dapat memperlancar
aliran darah, menurunkan kadar lemak tubuh, dan mencegah penyakit. (Varney,
2007)
5) Relaksasi
Tekhnik relaksasi adalah sebuah metode yang digunakan untuk
menurunkan cemas dan tekanan otot. Teknik relaksasi nafas dalam adalah
bernafas dengan perlahan dan menggunakan diafragma, sehingga memungkinkan
16
abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang penuh. Dalam teknik ini
merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, bagaimana perawat mengajarkan
cara melakukan teknik relaksasi nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi
secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan, selain
dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga dapat
meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah. Selain itu
manfaat yang didapat setelah melakukan teknik relaksasi nafas dalam adalah
mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa nyeri yang terjadi pada individu
tersebut, ketentraman hati, dan berkurangnya rasa cemas, juga praktis dalam
melakukan teknik relaksasi nafas dalam tersebut tanpa harus mengeluarkan biaya
(Arfa, 2013 dikutip oleh Aningsih, 2018)
6) Massase (Stimulasi Kutaneus)
Stimulasi kutaneus atau counterstimulation merupakan istilah yang
digunakan untuk mengidentifikasi tekhnik yang dipercaya dapat mengaktivasi
opioid endogeneous dan sistem analgesia monoamnie. Stimulasi kutaneus efektif
dengan cara menurunkan pembengkakan, menurunkan kekakuan dan
meningkatkan serabut saraf berdiameter besar untuk menghambat serabut saraf
berdiameter kecil sebagai penyampai atau reseptor nyeri dengan menggunakan
terapi dingin, terapi panas, tekanan, getaran atau pijatan (DeLaune & Ladner,
2011). Stimulasi kutaneus dapat memberikan peredaan nyeri sementara yang
efektif. Stimulasi kutaneus mendistraksi klien dan memfokuskan perhatian pada
stimulus taktil, mengalihkan dari sensasi menyakitkan sehingga mengurangi
persepsi nyeri. Selain itu, stimulasi kutaneus juga dipercaya dapat menghasilkan
pelepasan endorfin yang menghambat transmisi stimulus nyeri serta menstimulasi
17
serabut saraf sensorik A-beta berdiameter besar, sehingga menurunkan transmisi
impuls nyeri melalui serabut A-delta dan C yang lebih kecil (Kozier, 2010).
7) Aromaterapi
Aromaterapi merupakan suatu metode dalam relaksasi yang menggunakan
minyak esensial dalam pelaksanaan dan berguna untuk kesehatan fisik, emosi dan
spirit seseorang. Bau yang dihasilkan dari Aromaterapi berkaitan dengan gugus
steroid di dalam kelenjar keringat yang disebut osmon yang mempunyai potensi
sebagai penenang kimia alami yang akan merangsang neurokimia otak. Bau yang
menyenangkan akan menstimulasi thalamus untuk mengeluarkan enfaklin.
Enfaklin memiliki fungsi sebagai penghilang rasa sakit alami. Enfaklin juga
memiliki fungsi dalam menghasilkan perasaan sejahtera (Solehati, 2015 dikutip
oleh Armin, 2018)
8) Kompres Hangat
Kompres hangat merupakan salah satu metode non farmakologi yang
dianggap sangat efektif dalam menurunkan nyeri atau spasme otot. Panas dapat
dialirkan melalui konduksi, konveksi dan konversi. Nyeri akibat memar, spasme
otot, dan arthritis berespon baik terhadap peningkatan suhu karena dapat
melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan aliran darah lokal (Oktasari, 2014)
9) Biofeedback
Biofeedback adalah suatu proses dimana individu belajar untuk memahami
serta memberi pengaruh respon fisiologis atas diri mereka terhadap nyeri
(DeLaune & Ladner, 2011). Biofeedback adalah penatalaksanaan yang
memberikan informasi tentang bagaimana proses fisiologis dalam tubuh dapat
terpengaruh secara negatif oleh rasa sakit kronis. Biofeedback kemudian
18
membantu pasien dalam belajar bagaimana meningkatkan kontrol atas proses ini
dan memperkuat kemampuan untuk mempertahankan kontrol ketika terlibat
dalam kegiatan sehari-hari. Ini hanya satu alat untuk meningkatkan kontrol atas
kehidupan dan nyeri (Mayo, 2006 dikutip oleh Husna 2018)
B. Nyeri
1. Definisi Nyeri
International Association for Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri
sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat akut yang
dirasakan dalam kejadian-kejadian saat terjadi kerusakan (Andarmoyo, 2016)
Nyeri adalah pengalaman sensori nyeri dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial.
Nyeri merupakan alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan
kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan dengan
beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan (Smeltzer , 2002)
2. Teori tentang Nyeri
a. Teori Gate-Kontrol (Teori Pengendalian Gerbang)
Teori gate control merupakan teori yang mengungkapkan bahwa nyeri
memiliki komponen emosional dan kognitif serta sensasi secara fisik. Teori ini
mengatakan bahwa impuls nyeri dapat diatur dan dihambat oleh mekanisme
pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Impuls-impuls nyeri akan melewati
gerbang ketika gerbang dalam posis terbuka dan akan dihentikan ketika gerbang
19
ditutup. Penutupan gerbang merupakan dasar terhadap intervensi nonfarmakologis
dalam penangan nyeri. (Potter & Perry, 2010)
Teori gate control menggambarkan ada mekanisme pintu gerbang pada
ujung saraf tulang belakang yang dapat meningkatkan atau menurunkan aliran
impuls saraf dari saraf perifer menuju sraf pusat. Menurut teori ini, sensasi nyeri
dihantarkan sepanjang saraf sensori menuju ke otak. Selain itu, teori ini
menekankan pengembangan mekanisme kendali nyeri dalam tubuh dan
memberikan penejelasan yang dapat diterima untuk pendekatan kendali nyeri non
interventif atau teknologi rendah yang mencakup metode psikologis, masase
punggung dan stimulasi saraf elektrik transkutaneus (Indrayani, 2016)
b. Endogenus opiat Theory
Teori ini mengatakan bahwa terdapat substansi seperti opiat yang terjadi
secara alami di dalam tubuh, substansi ini disebut dengan endorfine. Endorfine
mempengaruhi transmisi impuls yang diinterpretasikan sebagai nyeri. Endorfine
bertindak sebagai neurotransmitter maupun neuromodulator yang menghambat
transmisi dari pesan nyeri. Kegagaln dalam melepaskan endorfine memungkinkan
terjadinya nyeri (Andarmoyo, 2016)
c. Specificity Theory (Teori Pemisahan)
Menurut teori ini, rangsangan sakit masuk ke medulla spinalis melalui
kornu dorsalis yang bersinaps di daerah posterior, kemudian naik ke tractus lissur
dan menyilang di garis median ke sisi lainnya, berakhir di korteks sensoris tempat
rangsangan nyeri tersebut diteruskan (Andarmoyo, 2016). Teori pemisahan tidak
menunjukkan karteristik multidimensi dari nyeri, teori ini hanya melihat nyeri
20
secara sederhana yakni paparan biologis tanpa melihat variasi dari efek psikologis
individu (Prasetyo,2010)
d. Pattern Theory (Teori Pola)
Nyeri disebabkan oleh berbagai reseptor sensori yang di rangsang oleh
pola tertentu. Nyeri merupakan akibat stimulasi reseptor yang menghasilkan pola
tertentu dari impuls saraf. Teori ini bertujuan bahwa rangsangan yang kuat
mengakibatkan berkembangnya gaung secara terus menerus pada spinal cord
sehingga saraf transmisi nyeri bersifat hipersensitif yang mana rangsangan dengan
intensitas rendah dapat menghasilkan transmisi nyeri (Andarmoyo, 2016)
3. Fisiologi Nyeri
Nyeri dapat berasal dari dalam ataupun luar sistem saraf. Nyeri yang
berasal dari luar sistem saraf dinamakan nyeri nosiseptif. Sedangkan nyeri yang
berasal dari dalam dinamakan nyeri neurogenik atau neuropatik. Nyeri dapat
dirasakan ketika stimulus yang berbahaya mencapai serabut-serabut saraf
nyeri.Terdapat empat proses fisiologi nyeri nosiseptif yaitu transduksi, transmisi,
persepsi dan modulasi (Mc Caffery & Pasero, 1999) dalam Potter & Perry (2010):
a. Transduksi
Transduksi nyeri adalah proses rangsangan yang mengganggu sehingga
menimbulkan aktifitas listrik di reseptor nyeri. Stimulasi suhu, kimia atau
mekanik biasanya dapat menyebabkan nyeri. Energi dari stimulasi-stimulasi ini
dapat diubah menjadi energi listrik. Transduksi dimulai di perifer, ketika stimulus
terjadinya nyeri mengirimkan impuls yang melewati serabut saraf nyeri perifer
yang terdapat di panca indera, maka akan menimbulkan potensial aksi. Kerusakan
jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya
21
menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan
menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-
zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi
nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.
b. Transmisi
Setelah proses transduksi selesai, transmisi impuls nyeri dimulai.
Kerusakan sel dapat disebabkan oleh stimulus suhu, mekanik, atau kimiawi yang
mengakibatkan pelepasan neurotransmitter eksitatori, seperti prostaglandin,
bradikinin, kalium, histamin dan substansi P. Substansi yang peka terhadap nyeri
yang terdapat di sekitar serabut nyeri di cairan ekstraselular, menyebabkan
inflamasi. Serabut nyeri memasuki medula spinalis melalui tulang belakang dan
melewati beberapa rute hingga berakhir di gray matter (lapisan abu-abu) medula
spinalis. Substansi P dilepaskan di tulang belakang yang menyebabkan terjadinya
transmisi sinapsis dari saraf perifer aferen ke sistem saraf spinotalamik, yang
melewati sisi yang berlawanan. Transmisi nyeri melibatkan proses penyaluran
impuls nyeri dari tempat transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal di
medulla spinalis dan jaringan neuron-neuron pemancar yang naik dari medulla
spinalis ke otak. Modulasi nyeri melibatkan aktifitas saraf melalui jalur-jaur saraf
desenden dari otak yang dapat memengaruhi transmisi nyeri setinggi medulla
spinalis.
c. Persepsi
Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi
merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek
psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ tubuh
22
yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan
sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya
terhadap stimulus kuat yang secaara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri (nociseptor) ada yang bermiyelin
dan ada juga yang tidak bermiyelin dari syaraf aferen.
d. Modulasi
Modulasi merupakan proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi
disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi
antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input
nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden
yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin,
noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis.
Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk
menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang
menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri
Menurut Perry & Potter (2005) dalam Judha (2012) faktor-faktor yang
mempengaruhi nyeri adalah sebagai berikut:
a. Usia
Usia merupakan faktor penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada
anak-anak dan lansia. Perkembangan, yang ditemukan diantara kelompok usia ini
dapat mempengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia terhadap nyeri. Anak yang
masih kecil mempunyai kesulitan mengungkapkan dan mengekspresikan nyeri.
23
b. Jenis Kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara makna dalam respon
terhadap nyeri. Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang merupakan suatu
faktor dalam mengekspresikan nyeri. Toleransi sejak lama telah menjadi subyek
penelitian yang melibatkan pria dan wanita, akan tetapi toleransi terhadap nyeri
dipengaruhi oleh faktor-faktor biokimia dan merupakan hal yang unik pada setiap
individu tanpa memperhatikan jenis kelamin.
c. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh
kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri. Ada
perbedaan makna dan sikap dikaitkan dengan nyeri diberbagai kelompok budaya.
Sosialisasi budaya menentukan perilaku psikologi seseorang. Dengan demikian,
hal ini dapat mempengaruhi pengeluaran fisiologis opiat endogen dan sehingga
terjadilah persepsi nyeri.
d. Makna Nyeri
Pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi dengan nyeri dikaitkan
dengan latar belakang budaya individu tersebut. Individu mempersepsikan nyeri
dengan cara berbeda jika nyeri tersebut memberikan kesan ancaman, kehilangan,
hukuman dan tantangan. Derajat dan kualitas nyeri yang dipersiapkan nyeri klien
berhubungan dengan makna.
e. Perhatian
Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat
sedangkan upaya pengalihan dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun.
24
f. Ansietas
Ansietas dapat meningkatkan persepsi nyeri tetapi nyeri juga dapat
menimbulkan suatu perasaan ansietas. Stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem
limbik dapat memproses reaksi emosi seseorang, khususnya ansietas. Sistem
limbik dapat memproses reaksi emosi seseorang terhadap nyeri, yakni
memperburuk atau menghilangkan nyeri.
g. Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri, rasa kelelahan menyebabkan
sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Apabila
keletihan disertai kesulitan tidur, maka persepsi nyeri terasa lebih berat dan jika
mengalami suatu proses periode tidur yang baik maka nyeri akan berkurang.
h. Pengalam Sebelumnya
Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu akan
menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang. Individu yang
mengalami nyeri sejak lama tanpa pernah sembuh maka akan mucul rasa takut.
i. Gaya Koping
Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat merasa
kesepian, gaya koping mempengaruhi mengatasi nyeri.
j. Dukungan Keluarga dan Sosial
Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri adalah kehadiran
orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka terhadap klien. Walaupun
nyeri dirasakan, kehadiran orang yang bermakna bagi pasien akan meminimalkan
kesepian dan ketakutan. Apabila tidak ada keluarga atau teman, seringkali
pengalaman nyeri membuat klien semakin tertekan, sebaliknya tersedianya
25
seseorang yang memberi dukungan sangatlah berguna karena akan membuat
seseorang merasa lebih nyaman.
5. Klasifikasi Nyeri
Nyeri dikategorikan dengan durasi atau lamanya nyeri berlangsung yaitu
nyeri akut dan nyeri kronis ( Potter & Perry, 2010)
a. Nyeri akut
Nyeri akut bersifat melindungi, memiliki penyebab yang dapat
diidentifikasi, berdurasi pendek dan memiliki sedikit kerusakan jaringan serta
respon emosional. Nyeri akut ditangani dengan atau tanpa pengobatan setelah
jaringan yang rusak sembuh. Nyeri akut yang tidak tertangani akan berubah
menjadi nyeri kronis. Nyeri akut dapat mengancam proses pemulihan seseorang
yang berakibat pada bertambahnya waktu rawat, peningkatan resiko komplikasi
karena imobilisasi dan tertundanya proses rehabilitasi.
b. Nyeri kronis
Nyeri kronis berlangsung lebih lama dari yang diharapkan, tidak selalu
memiliki penyebab yang dapat diidentifikasi dan dapt memicu penderitaan yang
teramat sangat bagi seseorang.
6. Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran keparahan nyeri yang dirasakan oleh
seseorang. Pengukuran intensitas nyeri bersifat subyektif dan individual.
Pengukuran nyeri dengan pendekatan subyektif dilakukan dengan menggunakan
respon fisiologi tubuh terhadap nyeri yang dirasakan seseorang (Tamsuri, 2007)
26
7. Pengukuran Skala Nyeri
a. Numeric Rating Scale (NRS)
Metode ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari
intensitas nyeri. Pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari
angka 0-10. 0 menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan 10 menggambarkan
nyeri yang hebat. Klasifikasi skala nyeri tersebut terbagi dalam 4 kategori dengan
gambar skala terdapat pada lampiran :
Tabel 1
Karakteristik Nyeri
Skala Karakteristik Nyeri
0 Tidak nyeri
1 Sangat sedikit gangguan, kadang terasa seperti tusukan kecil
2 Sedikit gangguan, terasa seperti tusukan yang lebih dalam
3 Gangguan cukup dihilangkan dengan pengalihan perhatian
4 Nyeri dapat diabaikan dengan beraktifitas/ melakukan pekerjaan,
masih dapat dialihkan
5 Rasa nyeri tidak bisa diabaikan lebih dari 30 menit
6 Rasa nyeri tidak bisa diabaikan untuk waktu yang lama, tapi masih bisa
bekerja
7 Sulit untuk berkonsentrasi, dengan diselingi istirahat/tidur kamu masih
bisa bekerja/berfungsi dengan sedikit usaha
8 Beberapa aktifitas fisik terbatas. Kamu masih bisa membaca dan
berbicara dengan usaha. Merasakan mual dan pusing
9 Tidak bisa berbicara, menangis, mengerang, dan merintih tak dapat
dikendalikan, penurunan kesadaran, mengingau
10 Tidak sadarkan diri/pingsan
Sumber: (Potter & Perry, 2006) dalam Armin (2018)
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan
27
4-6 : Nyeri sedang
7-9 : Nyeri berat
10 : Nyeri sangat hebat
b. Visual Analog Scale
Visual Analog Scale merupakan skala nyeri yang berbentuk garis lurus
yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada
setiap ujungnya. VAS adalah pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif
karena klien dapat mengindentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa
memilih satu kata atau satu angka (Judha, 2012)
c. Face Pain Rating Scale
Pengukuran skala nyeri menggunakan wajah yaitu terdiri dari 6 wajah
yang tersenyum untuk tidak nyeri hingga wajah yang menangis untuk nyeri hebat.
Berikut ini skala nyeri wajah yang terdiri dari 6 ilustrasi gambar wajah yang dapat
dilihat pada gambar yang terdapat pada lampiran.
Keterangan:
1) Tidak nyeri : 0
2) Nyeri ringan : 1-3
3) Nyeri sedang : 4-6
4) Nyeri berat : 7-9
5) Nyeri hebat : 10
28
C. Senam Dismenore
1. Definisi Senam Dismenore
Senam dismenore merupakan aktivitas fisik yang dapat digunakan untuk
mengurangi nyeri saat menstruasi. Saat melakukan senam, tubuh akan
menghasilkan endorhpin. Hormon endorphin yang semakin tinggi akan
menurunkan atau meringankan nyeri yang dirasakan seseorang sehingga
seseorang menjadi lebih nyaman, gembira, dan melancarkan pengiriman oksigen
ke otot (Ningsih, 2011). Senam dismenore memiliki fokus membantu peregangan
seputar otot perut, panggul dan pinggang, selain itu senam tersebut dapat
memberikan sensasi rileks yang berangsur-angsur serta mengurangi nyeri jika
dilakukan secara teratur (Badriyah, 2004 dalam Ismarozi, 2015)
Senam dismenore ini merupakan salah satu teknik relaksasi. Olahraga atau
latihan fisik dapat menghasilkan hormon endorphin. Hormon ini dapat berfungsi
sebagai obat penenang alami yang diproduksi otak yang melahirkan rasa nyaman
dan untuk mengurangi rasa nyeri pada saat kontraksi. Olahraga terbukti dapat
meningkatkan kadar β-endorphin empat sampai lima kali di dalam darah. Semakin
banyak melakukan senam/olahraga maka akan semakin tinggi pula kadar β-
endorphin. Pada saat melakukan senam maka β-endorphin akan keluar dan
ditangkap oleh reseptor didalam hipotalamus dan sistem limbic yang memiliki
fungsi untuk mengatur emosi dan stress agar produksi hormon penyebab nyeri
haid dalam hipotalamus dan sistem limbic yaitu adrenalin, esterogen,
progesterone dan prostaglandin dapat dikendalikan serta nyeri haid dapat
berkurang atau hilang (Harry, 2007). Kadar endorphin beragam diantara individu,
seperti halnya faktor-faktor seperti kecemasan yang mempengaruhi kadar
29
endorphin. Individu dengan endorphin yang banyak akan lebih sedikit merasakan
nyeri. Sama halnya aktivitas fisik yang berat diduga dapat meningkatkan
pembentukan endorphin dalarn sistem kontrol desendens (Smeltzer & Bare,
2002).
Senam dismenore dilakukan secara teratur dengan memperhatikan
kontinuitasnya, frekuensi yang sebaiknya dilakukan 3-4 kali dalam satu
mingguatau 5 –7 hari sebelum menstruasi, durasi yaitu 30-45 menit setiap kali
melakukan senam. Selain hal tersebut senam dismenore dilakukan dengan waktu
yang tepat yaitu setiap sore hari karena konsentrasi endorphin terendah ditemukan
pada saat malam hari dan tertinggi pada saat pagi hari (Wirakusumah, 2004).
2. Manfaat Senam Dismenore
Sallika (2010) dalam Sadjarwo (2016) mengatakan bahwa senam
dismenore dapat membantu mengurangi dismenore dapat diatasi dengan
melakukan senam khusus yaitu senam dismenore yang fokusnya membantu
peregangan seputar otot perut, panggul dan pinggang dengan senam tersebut dapat
memberikan sensasi rileks yang berangsur-angsur dapat mengurangi nyeri sebab
dengan melakukan senam dismenore dapat menghasilkan hormon endorphin.
Endorphin yang disekresikan ini berhubungan dengan teori “gate control” dari
yang mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka
dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan ditutup. Salah satu cara menutup
mekanisme pertahanan ini adalah dengan merangsang sekresi endorphin
(penghilang nyeri alami) yang akan menghambat pelepasan impuls nyeri.
30
3. Metode Senam Dismenore
Menurut Marlinda (2013) dalam Puspitasari (2018) menyatakan bahwa
frekuensi dan lama latihan senam menggunakan pola yang sama dengan takaran
olahraga secara umum yaitu prinsip frekuensi, intensitas dan time (FIT) yang
meliputi:
a. Frekuensi latihan 2-4 kali dalam 1 minggu
b. Intensitas latihan 60-90% dari DNM
c. Lama latihan 20-60 menit dalam satu kali latihan
Gerakan senam dismenore adalah sebagai berikut:
a. Gerakan Pemanasan
1) Tarik nafas dalam melalui hidung, sampai perut menggelembung dan
tangan kiri terangkat. Tahan sampai beberapa detik dan hembuskan nafas
lewat mulut
2) Kedua tangan berada di perut samping, anggukkan kepala ke bawah dan
ke atas sebanyak 8 kali dan ulangi sebanyak 2 kali
3) Kedua tangan berada di perut samping, patahkan leher ke kiri dan ke
kanan sebanyak kali lalu ulangi sebanyak 2 kali
4) kedua tangan berada di perut samping, tengokkan kepala ke kanan-kiri
sebanyak 8 kali dan ulangi sebanyak 2 kali
5) Putar bahu secara bersamaan ke arah depan sebanyak 8 kali dan ulangi
sebanyak 2 kali
6) Putar bahu secara bersamaan ke arah belakang sebanyak 8 kali dan ulangi
sebanyak 2 kali
31
b. Gerakan Inti
1) Gerak Badan I
a) Berdiri dengan tangan direntangkan ke samping dan kaki
direnggangkan kira-kira 30 sampai 35 cm
b) Bungkukkan badan ke arah pinggang dan berputar ke arah kiri, lalu
gerakkan tangan kanan menyentuh kaki kiri tanpa membengkokkan
lutut
2) Gerak Badan II
a) Berdiri dengan tangan berada di samping dan kaki berada ada posisi
sejajar
b) Angkat tangan sampai melewati kepala dengan posisi lurus ke depan
bersamaan lakukan posisi kuda-kuda dengan satu kaki berada di depan
dan satu kaki berada di belakang.
c) Lakukan gerakkan secara bergantian dari kanan ke kiri
d) Lakukan gerakkan sebanyak 4 kali pada masing-masing posisi
c. Gerakan Pendinginan
1) Lengan dan tangan, genggam tangan kerutkan lengan dengan kuat tahan
dan lepaskan.
2) Tungkai dan kaki, luruskan kaki (dorso fleksi)
3) Seluruh tubuh, kontraksikan/ kencangkan semua otot sambil nafas dan
pelan pelan lalu relaks (bayangkan hal yang menyenangkan)
4. Hubungan Senam Dismenore terhadap Dismenore
Senam dismenore merupakan salah satu metode non farmakologi yang
dapat mengurangi dismenore. Senam Dismenore termasuk teknik relaksasi.
32
Olahraga atau senam dapat merangsang produksi hormon endorfin. Hormon
endorfin berfungsi sebagai obat penenang alami yang diproduksi otak yang
melahirkan rasa nyaman dan mampu mengurangi rasa nyeri pada saat kontraksi.
Olahraga terbukti dapat meningkatkan hormon endorfin empat sampai lima kali di
dalam darah. Semakin banyak melakukan senam atau olahraga maka akan
semakin tinggi kadar endorfin dalam tubuh. Seseorang yang melakukan senam
atau olahraga akan mengeluarkan endorfin dan ditangkap oleh reseptor dalam
hipotalamus dan sistem limbik yang berfungsi untuk mengatur emosi. (Potter &
Perry, 2010 dalam Puspitasari , 2018)
Penelitian Suparto (2011) dalam Luthfia (2014) tetang efektifitas senam
dismenore dalam mengurangi dismenore pada 15 siswi sebagai responden
menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan, bahwa senam dismenore
mampu mengurangi dismenore. Hal ini didukung juga penelitian oleh Martchelina
(2011) dalam Marlinda (2013) dengan “Pengaruh Senam Dismenore terhadap
Penurunan Tingkat Nyeri Saat Menstruasi Pada Siswi Usia 12-17 Tahun SMA 31
di Cipedak Kecamatan Jagakarsa” yaitu rata-rata penurunan tingkat nyeri pada
pengukuran pertama sebesar 5,6%. Rata-rata penurunan tingkat nyeri pada
pengukuran kedua sebesar 3,2%, dari kedua hasil tersebut dapat diketahui
terdapat selisih penurunan sebesar 2,4%. Hasil dari p-value sebesar 0,000
sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya pengaruh senam Dismenore terhadap
penurunan tingkat nyeri saat menstruasi pada siswi di SMA 31 Cipedak
Kecamatan Jagakarsa.
33
D. Stimulasi Kutaneus
1. Definisi Stimulasi Kutaneus
Stimulasi kutaneus atau counterstimulation merupakan istilah yang
digunakan untuk mengidentifikasi tekhnik yang dipercaya dapat mengaktivasi
opioid endogeneous dan sistem analgesia monoamnie. Stimulasi kutaneus efektif
dengan cara menurunkan pembengkakan, menurunkan kekakuan dan
meningkatkan serabut saraf berdiameter besar untuk menghambat serabut saraf
berdiameter kecil sebagai penyampai atau reseptor nyeridengan menggunakan
terapi dingin, terapi panas, tekanan, getaran atau pijatan (DeLaune & Ladner,
2011).
Stimulasi kutaneus dapat memberikan peredaan nyeri sementara yang
efektif. Stimulasi kutaneus mendistraksi klien dan memfokuskan perhatian pada
stimulus taktil, mengalihkan dari sensasi menyakitkan sehingga mengurangi
persepsi nyeri. Selain itu, stimulasi kutaneus juga dipercaya dapat menghasilkan
pelepasan endorfin yang menghambat transmisi stimulus nyeri serta menstimulasi
serabut saraf sensorik A-beta berdiameter besar, sehingga menurunkan transmisi
impuls nyeri melalui serabut A-delta dan C yang lebih kecil (Kozier, 2010).
Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk meredakan
nyeri. Stimulasi yang diberikan dapat menyebabkan terjadinya pelepasan
endorphin yang akan memblok transmisi stimulus nyeri. Teori gate-control
mengungkapkan bahwa stimulasi kutaneus dapat mengaktifkan transmisi dari
serabut saraf sensori A-beta yang lebih besar dan cepat. Hal ini menutup “gerbang
“sehingga menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dengan diameter yang
kecil (Potter & Perry, 2010).
34
2. Manfaat Stimulasi Kutaneus
Stimulasi kutaneus memiliki beberapa manfaat, yaitu sebagai berikut :
a. Melebarkan pembuluh darah dan memperbaiki peredaran darah di
dalam jaringan sehingga penyaluran zat asam dan bahan makanan ke
sel-sel diperbesar dan pembuangan dari zat-zat yang tidak dipakai akan
diperbaiki. Aktivitas dari sel yang meningkat dapat mengurangi rasa
sakit dan akan menunjang proses penyembuhan luka, radang setempat
seperti bisul yang besar, radang sendi, abses, dan radang empedu
b. Memberikan efek mengurangi ketegangan pada otot-otot yang kaku
c. Meningkatkan perasaan yang rileks baik fisik maupun psikologis
d. Pemberian stimulasi kutaneus yang benar dapat mengurangi persepsi
terhadap nyeri dan membantu meredakan ketegangan otot yang dapat
meningkatkan intensitas nyeri
e. Menurunkan kecemasan, intensitas nyeri, tekanan darah, dan denyut
jantung secara bermakna (Mook & Chin, 2004 di dalam Putri, 2013).
3. Metode Stimulasi Kutaneus
Teknik untuk stimulasi kutaneusini dilakukan dengan beberapa
pendekatan, salah satu metode yang dilakukan ialah mengusap kulit klien secara
perlahan dan berirama dengan gerakan sirkular dengan kecepatan 60 kali usapan
per menit selama 3-10 menit (Potter & Perry, 2010 dalam Muawanah, 2018).
Gerakan dimulai pada bagian tengah punggung bawah kemudian kearah atas area
belahan bahu kiri dan kanan (Ester, 2005).
Menurut Lindquist (2014) dalam adapun cara pemijatan stimulasi kutaneus
adalah sebagi berikut :
35
a. Pengaturan Ruangan
1) Pastikan suhu ruangan yang nyaman
2) Atur pencahayaan,pastikan cahaya tidak terlalu terang/redup
3) Pastikan ruangan tenang dan jauh dari kebisingan
b. Pasien
1) Sebelum memulai pemijatan ajarkan kepda pasien untuk relaksasi atau
berikan kesempatan kepada pasien jika ingin ke kamar mandi
2) Bantu pasien untuk mengatur posisi yang nyaman
3) Minta pasien untuk membuka pakaian agar bagian belakang terbuka
4) Jaga privasi pasien
c. Stimulasi kutaneus
1) Gunakan telapak tangan dan jari untuk pemijatan
2) Pastikan tangan pemijat hangat
3) Gunakan lotion nonallergenic
4) Letakkan telapak tangan di daerah sacral pada setiap sisi tulang belakang
5) Tekan secara lembut dan perlahan
6) Lambat, berirama, lakukan pemijatan secara sirkuler ke atas pada setiap
sisi tulang belakang menuju area sakral
7) Kemudian lambat, berirama, pemijatan melingkat digunakan untuk
pemijatan dari atas ke bawah pada setiap sisi tulang belakang menuju area
sakral
8) Pemijatan dilakukan sebanyak 3 kali pijatan dengan 60 kali usapan untuk
1 kali pijatan selama 3-5 menit
36
9) Pemijatan harus dilakukan sampai selesai tanpa melepaskan tangan dari
area punggung belakang
d. Penyelesaian
1) Lepaskan tangan secara perlahan dari tulang belakang
2) Bantu pasien merapikan pakaianya kembali
3) Rapikan kembali temppat tidur
4) Beritahu pasien untuk tetap terhidrasi
4. Pengaruh Stimulasi Kutaneus Terhadap Dismenore
Stimulasi Kutaneus (Slow Stroke back Massage) adalah tindakan masase
punggung dengan usapan yang perlahan. Efek dari Stimulasi Kutaneus (Slow
Stroke back Massage) ini, menyebabkan pelepasan endorphin, sehingga memblok
transmisi stimulus nyeri. Teori gate control mengatakan bahwa stimulasi kulit
mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori A-Beta yang lebih besar dan lebih
cepat. Proses ini menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan delta-A yang
berdiameter kecil sehingga gerbang sinaps menutup transmisi implus nyeri.
Stimulasi kutaneus pada tubuh secara umum sering dipusatkan pada punggung
dan bahu (Smeltzer, 2002).
Stimulasi kutaneus akan merangsang serabut-serabut perifer untuk
mengirimkan impuls melalui dorsal horn pada medulla spinalis, saat impuls yang
dibawa oleh serabut A-Beta mendominasi maka mekanisme gerbang akan
menutup sehingga impuls nyeri tidak dihantarkan ke otak.Tidak terjadinya
penurunan nyeri pada responden yang mengalami nyeri berat, dikarenakan pada
saat dilakukan intervensi responden sudah tidak mampu lagi mengatasi nyeri yang
dialaminya karena nyerinya bersifat berat. Akibat nyerinya berat menimbulkan
37
ketegangan, sehingga konsentrasi responden hanya terpusat pada nyeri yang
dialaminya. Hal ini sesuai dengan pendapat Wijayakusuma (2006) sumber
ketegangan otot dapat memicu timbulnya rasa nyeri. Sedangkan yang tidak
mengalami penurunan nyeri pada nyeri sedang dan ringan karena responden sudah
sering mengalami nyeri haid dan jarak antara masase dengan pertama timbul rasa
nyeri agak lama. Masase akan merangsang serabut-serabut perifer untuk
mengirimkan impuls melalui dorsal horn pada medulla spinalis, saat impuls yang
dibawa oleh serabut A-Beta mendominasi maka mekanisme gerbang akan
menutup sehingga impuls nyeri tidak dihantarkan ke otak (Potter & Perry, 2010)
Teori Gate Control menyatakn bahwa impuls nyeri dapat diatur dan juga
dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Mekanisme
pertahanan ini dapat ditemukan pada sel-sel gelatinosa substansia yang berada
dalam kornu dorsalis pada medula spinalis, talamus, dan sistem limbik (Potter &
Perry, 2010).
Teori ini mengungkapkan bahwa impuls nyeri akan dihantarkan apabila
sebuah pertahanan dibuka dan impuls nyeri akan dihambat apabila pertahanan
ditutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar terapi untuk
mengurangi nyeri. Keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol
desenden dari otak akan mengatur proses pertahanan. Melalui mekanisme
pertahanan, neuron delta-A dan C akan melepas substansi P untuk
mentransmisikan impuls. Penelitian yang dilakukan oleh Anisa (2015) tentang
pengaruh stimulasi kutaneus terhadap intensitas nyeri haid di SMA
Muhammadiyah Yogyakarta sebelum dilakukan intervensi didapatkan 53,3% (16
38
orang) dengan nyeri sedang dan setelah dilakukan intervensi didapatkan 50% (15
orang) dengan skala nyeri ringan.
E. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai faktor yang telah didefinisikan sebagai masalah
yang penting. Kerangka teori yang baik akan menjelaskan secara teoritis pertautan
antar variabel yang akan diteliti. Kerangka teori dalam penelitian ini dapat dilihat
pada gambar 1.
Sumber: Prawirohardjo (2010), Varney (2007)
Gambar 1. Kerangka Teori
Penurunan
dismenore
Terapi Farmakologis
1. Obat-obatan analgetik
2. Terapi hormonal
3. Obat nonsteroid
prostaglandin
4. Dilatasi kanalis sevikalis
Terapi Non Farmakologis
1. Kompres hangat
2. Konsumsi herbal
3. Akupuntur
4. Akupresure
5. Olahraga (Senam
Dismenore)
6. Relaksasi
7. Massase (Stimulasi
Kutaneus)
8. Homeopati
9. Aromaterapi
10. Biofeedback
39
F. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah suatu uraian dan
visualisasi hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya,
atau antar variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin
diteliti (Notoadmodjo, 2018). Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini dapat
dilihat pada gambar 2.
Gambar 2.
Kerangka Konsep
G. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau
ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu
konsep pengertian tertentu, misalnya umur, jenis kelamin, pendidikan, status
perkawinan, pekerjaan, pengetahuan, pendapatan, penyakit dan sebagainya.
Berdasarkan hubungan fungsional atau peranannya variabel dibedakan menjadi
variabel independen dan variabel dependen. Variabel independen merupakan
variabel yang mempengaruhi, sedangkan variabel dependen adalah variabel yang
dipengaruhi. (Notoadmodjo, 2018). Penelitian ini menggunakan variabel
independen yaitu senam dismenore dan stimulasi kutaneus serta variabel
dependen yaitu penurunan dismenore.
Senam Dismenorea
Stimulasi Kutaneus
Penurunan
Dismenore
40
H. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan
penelitian yang berperan mengarahkan dalam mengidentifikasi variabel-variabel
yang akan diteliti (diamati) (Notoatmodjo, 2018). Hipotesis dalam penelitian ini
adalah “Ada perbedaan efektifitas senam dismenore dengan stimulasi kutaneus
terhadap penurunan dismenore”.
I. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah batasan ada variabel-variabel yang diteliti agar
variabel tersebut dapat diukur dengan menggunakan instrumen atau alat ukur
(Notoatmodjo, 2018). Definisi operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada
tabel 2.
41
Tabel 2
Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Cara
Ukur
Alat
Ukur
Hasil
Ukur Skala Ukur
Senam
Dismenore
Gerakan yang
dilakukan oleh
seseorang pada saat
nyeri menstruasi yang
terdiri dari 3 macam
gerakkan yaitu
gerakkan pemanasan,
gerakan inti (berfokus
pada peregangan otot
perut, panggul dan
pinggang) serta
gerakkan pendinginan
yang dilakukan selama
30-45 menit dengan
frekuensi 1 kali sehari
selama 2 hari
Observasi Checklist Melakukan
senam
Dismenore
Nominal
Stimulasi
Kutaneus
Usapan yang dilakukan
pada seseorang saat
nyeri menstruasi
dengan usapan secara
melingkar yang
dipusatkan di
punggung dan bahu
dilakukan secara
perlahan selama 3-5
menit sebanyak 60 kali
usapanuntuk satu kali
pijatan dan diberikan
sebanyak 3 kali pijatan
dilakukan 1 kali sehari
selama 2 hari
Observasi Checklist Melakukan
stimulasi
kutaneus
Nominal
Dismenore Rasa sakit yang
dirasakan oleh siswi
saat menstruasi pada
punggung dan perut
bagian bawah
Observasi NRS
(Numeric
Rating
Scale)
Skala nyeri
0-10
Rasio