bab ii tinjauan pustaka a. academic burnout pada …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4582/3/bab...
TRANSCRIPT
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Academic Burnout pada Mahasiswa yang Bekerja
1. Pengertian Academic Burnout
Menurut Yang (2004) academic burnout mengacu pada stres, beban
atau faktor psikologis lainnya karena proses pembelajaran yang diikuti
mahasiswa sehingga menunjukkan keadaan kelelahan emosional,
kecenderungan untuk depersonalisasi, dan perasaan prestasi pribadi yang
rendah. Kemudian menurut Schaufeli, dkk. (2002) menambahkan bahwa
academic burnout mengacu pada perasaan lelah karena tuntutan studi,
memiliki sikap sinis terhadap tugas-tugas perkuliahan, dan perasaan tidak
kompeten sebagai mahasiswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Rad, dkk.
(2017) yang mendefinisikan academic burnout sebagai kurangnya minat
seseorang dalam memenuhi tugas, rendahnya motivasi, dan kelelahan
karena persyaratan pendidikan sehingga munculnya perasaan yang tidak
diinginkan dan perasaan tidak efisien. Pendapat lain dikemukakan oleh
Muna (2013) yang mengatakan bahwa academic burnout adalah suatu
kondisi mental dimana seorang mahasiswa mengalami kebosanan yang amat
sangat untuk melakukan aktivitas belajar, dan kebosanan tersebut membuat
motivasi belajar mahasiswa menurun, timbulnya rasa malas yang besar, dan
menurunnya prestasi belajar.
15
Mahasiswa yang bekerja adalah individu yang menuntut ilmu pada
jenjang perguruan tinggi dan berstatus aktif yang juga menjalankan usaha
atau sedang berusaha mengerjakan suatu tugas yang diakhiri buah karya
yang dapat dinikmati oleh orang yang bersangkutan (Dudija, 2012).
Berdasarkan data National Center for Education Statistics (NCES), pada
tahun 2007 sebanyak 40% mahasiswa bekerja lebih dari 20 jam per minggu
(Planty et al., dalam Dadgar, 2012). Mahasiswa yang bekerja harus dapat
membagi waktu dan tanggung jawab terhadap komitmen dari kedua
aktivitas tersebut. Hal inilah yang membuat mahasiswa menghabiskan
sebagian waktu, energi serta tenaga, ataupun pikirannya untuk bekerja
(Mardelina & Muhson, 2017). Kondisi tersebut membuat mahasiswa
kesulitan dalam mengatur atau membagi waktu antara bekerja dan kuliah,
sehingga aktivitas mereka bertambah dan cenderung mengabaikan tugasnya
sebagai seorang mahasiswa untuk belajar serta mengerjakan tugas-tugas
yang diberikan oleh dosen (Mardelina & Muhson, 2017).
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa academic
burnout pada mahasiswa yang bekerja adalah mahasiswa yang memiliki
perasaan lelah karena tuntutan studi dari proses pembelajaran yang diikuti
sehingga memiliki kecenderungan untuk depersonalisasi, perasaan prestasi
pribadi yang rendah, dan perasaan tidak kompeten sebagai mahasiswa.
16
2. Dimensi Academic Burnout
Menurut Yang (2004) dimensi dari academic burnout ada tiga, yaitu:
a. Kelelahan emosional, disebabkan oleh tuntutan emosional dan psikologis
yang berlebih dan biasanya berdampingan dengan perasaan frustasi dan
ketegangan.
b. Keengganan untuk studi atau sinisme, mengacu kepada ketidakpekaan
atau sikap sinis terhadap pekerjaan yang sedang dihadapi.
c. Kurangnya keinginan untuk berprestasi, berkurangnya keinginan untuk
berprestasi terjadi ketika seseorang menampilkan kecenderungan untuk
mengevaluasi diri sendiri negatif, sebuah penurunan perasaan kompetensi
kerja, dan peningkatan perasaan inefficacy.
Kemudian menurut Schaufeli, dkk. (2002) academic burnout memiliki
tiga dimensi, yaitu:
a. Exhaustion. Dimensi ini mengacu pada perasaan lelah tetapi tidak
merujuk langsung kepada orang lain sebagai sumber umum. Leiter &
Maslach (2000) menyatakan bahwa dimensi ini mengarah pada perasaan
emosional yang berlebihan dan perasaan terkurasnya sumber daya
emosional. Individu merasa kekurangan energi untuk menghadapi hari
lain atau orang lain.
b. Cynicism. Dimensi ini ditandai dengan ketidakpedulian atau sikap
menjauh terhadap perkuliahan yang dijalani, tidak harus dengan orang
lain.
17
c. Reduce of Professional Efficacy. Dimensi ini meliputi aspek sosial dan
nonsosial dalam pencapaian akademik. Leiter & Maslach (2000)
menyatakan bahwa individu akan merasa tidak berdaya, merasa semua
tugas yang diberikan berat. Ketika merasa tidak efektif maka
mahasiswa cenderung mengembangkan rasa tidak mampu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dimensi-dimensi
academic burnout menurut Yang dan Schaufeli, dkk. yang terdiri dari
kelelahan emosional, keengganan untuk studi atau sinisme, mengurangnya
keinginan untuk berprestasi, exhaustion, cynicism, dan reduce of
professional efficacy. Dalam hal ini peneliti memilih dimensi academic
burnout menurut Yang (2004) yang terdiri dari kelelahan emosional,
keengganan untuk studi atau sinisme, dan mengurangnya keinginan untuk
berprestasi yang akan digunakan untuk mengetahui academic burnout pada
mahasiswa yang bekerja karena indikator dari dimensi-dimensi tersebut
telah sesuai dengan subjek yang akan peneliti teliti dibandingkan dengan
dimensi yang disampaikan oleh Schaufeli, dkk. (2002).
3. Faktor yang mempengaruhi Academic Burnout
Menurut Maslach, et al., (2001) burnout terdiri dari 2 faktor, yaitu:
a. Faktor situasional. Pada faktor ini terdapat karakteristik pekerjaan,
karakteristik jabatan, dan karakteristik organisasi.
1) Karakteristik pekerjaan yaitu meliputi (a) keanekaragaman
keterampilan yaitu banyaknya keterampilan yang diperlukan untuk
18
melakukan pekerjaan, (b) identitas tugas adalah identitas tugas yang
memungkinkan individu untuk melaksanakan tugas seutuhnya, (c) arti
tugas yaitu tugas penting yang mengacu pada seberapa besar dampak
pekerjaan terhadap orang lain, (d) otonomi yaitu karakteristik
pekerjaan yang memberikan kebijakan dan kendali tertentu bagi
individu atas keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan, dan (e)
umpan balik mengacu pada informasi yang memberi tahu individu
tentang seberapa baik prestasi kerja yang telah dicapai selama bekerja.
2) Karakteristik jabatan merupakan unsur dari jabatan yang dapat dilihat
dan ditentukan dari hasil kerja, bahan kerja dan perangkat yang
digunakan.
3) Karakteristik organisasi adalah suatu perilaku dan tingkah laku suatu
institusi terhadap kondisi yang ada di luar institusi itu maupun di
dalam institusi itu sendiri.
b. Faktor individual. Faktor ini meliputi karakteristik demografik,
karakeristik kepribadian, dan sikap kerja.
1) Karakteristik demografik terdiri dari jenis kelamin, latar belakang
etnis, usia, status perkawinan, latar belakang pendidikan.
2) Karakeristik kepribadian terdiri dari (a) konsep diri rendah yaitu
individu yang tidak percaya diri dan memiliki penghargaan terhadap
diri sendiri yang redah (Cherniss dalam Salama, 2014), (b) kebutuhan
diri yang terlalu besar adalah aktualisasi diri, aktualisasi diri
merupakan keinginan yang dimiliki individu untuk menjadi diri
19
sepenuhnya, dan mengaktualisasikan potensi yang dimiliki (Maslow,
1970), (c) kemampuan yang rendah dalam mengendalikan emosi,
kemampuan mengendalikan dan mengolah emosi baik dari dalam diri
maupun orang lain merupakan pengertian dari kecerdasan emosi.
Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengatur diri kita sendiri
dengan orang lain secara efektif (Goleman, 2003), (d) locus of control
eksternal merupakan suatu keyakinan terhadap peristiwa-peristiwa
yang terjadi karena alasan-alasan yang tidak ada hubungannya dengan
tingkah laku individu sehingga di luar usaha untuk mengontrolnya, (e)
introvert merupakan kepribadian individu yang tertutup sehingga
individu cenderung memilih sendiri atau bertemu sedikit orang
(Nursyahrurahmah, 2017), (f) keyakinan akan kemampuan diri oleh
Bandura disebut sebagai self efficacy (Bandura dalam Rustika, 2016).
Ugwu, dkk. (dalam Arlinkasari & Akmal, 2017) menyarankan agar
mahasiswa memiliki self-efficacy yang memadai untuk melindungi
diri dari potensi academic burnout. Konsep self-efficacy juga berlaku
dalam konteks akademis sehingga dapat disebut juga sebagai
academic self-efficacy.
Beberapa penelitian yang dipaparkan Zimmerman (dalam
Nugraheni, 2016) mendukung pernyataan Bandura (dalam Nugraheni,
2016), yaitu academic self-efficacy dapat memprediksi pilihan
aktivitas, tingkat usaha, seberapa lama bertahan dalam usahanya, dan
reaksi emosi. Shankland, dkk. (dalam Rachmah, 2013) menemukan
20
bahwa mahasiswa dengan academic self-efficacy yang tinggi akan
mampu mengatasi berbagai tuntutan sebagai mahasiswa di perguruan
tinggi. Mahasiswa juga menunjukkan kurangnya kecemasan,
rendahnya gejala depresi, kepuasan hidup yang lebih besar, dan
prestasi akademik yang lebih baik.
3) Sikap kerja merupakan sikap seseorang terhadap pekerjaannya yang
mencerminkan pengalaman yang menyenangkan dan tidak
menyenangkan dalam pekerjaannya serta harapan-harapannya
terhadap pengalaman masa depan (Kenneth, 1992).
Menurut Gold dan Roth (dalam Khairani & Ifdil, 2015) burnout terdiri
dari lima faktor, antara lain:
a. Lack of Social Support (Kurangnya Dukungan Sosial)
Gold dan Roth menjelaskan bahwa kurangnya dukungan sosial telah
ditemukan dapat meningkatkan burnout pada beberapa penelitian.
Enam fungsi dukungan sosial, yaitu: mendengarkan, dukungan
profesional, tantangan profesional, dukungan emosional, tantangan
emosional, dan berbagi realitas sosial. Mendengarkan dalam artian
memberikan saran atau membuat penilaian. Dukungan emosional
dimaknai dengan adanya seseorang yang selalu mendampingi dan
menghargai apa yang di lakukan. Hal tersebut merupakan fungsi yang
paling penting untuk mengurangi burnout. Dari pernyataan tersebut
dapat disimpulkan bahwa pentingnya dukungan sosial dan dukungan
emosional sehingga dapat meminimalkan burnout yang dialami.
21
b. Demographic Factors (Faktor Demografis)
Penelitian telah secara konsisten melaporkan bahwa burnout lebih
mungkin terjadi pada pria daripada wanita dan individu yang masih
lajang. Melihat temuan dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
laki-laki lebih rentan terhadap burnout daripada wanita. Laki-laki lebih
membutuhkan dukungan dan bantuan sosial. Kurangnya dukungan
sosial terhadap laki-laki dapat menyebabkan perasaan terasing dan
kekecewaan, yang mengarah ke burnout jika tidak diidentifikasi dan
langkah-langkah pencegahan yang diambil. Seseorang yang masih
single juga mengalami tingkat burnout yang lebih tinggi. Orang-orang
yang masih sendiri sering kekurangan dukungan sosial di rumah dan
menghabiskan berjam-jam dengan aktivitas di luar rumah. Ketika
imbalan diharapkan tidak konsisten dengan upaya yang dilakukan,
perasaan kekecewaan, kesepian dan bahkan kemarahan bisa menjadi
konsekuensinya. Imbalan tidak dianggap sebagai sepadan dengan
usaha, maka hasilnya adalah rasa ketidakpuasan yang ekstrim. Perlunya
dukungan sosial dan interaksi dengan orang lain sangat penting bagi
mahasiswa yang masih single.
c. Self-Concept (Konsep diri)
Studi tentang burnout menunjukkan bahwa individu dengan konsep diri
yang tinggi lebih mudah melawan stres dan lebih mungkin untuk
mempertahankan rasa prestasi pribadi saat belajar di bawah tekanan.
22
Seseorang sering merasa bahwa rasa harga diri dan rasa memiliki
terpengaruh ketika bahwa menjadi kecewa dan putus asa.
d. Role Conflict and Role Ambiguity (Peran Konflik dan Peran
Ambiguitas)
Individu memiliki rasa konflik ketika peran dan tuntutan yang tidak
pantas, tidak kompatibel, dan tidak konsisten dibebankan pada mereka.
Ketika dua atau lebih perilaku peran yang tidak konsisten ini dialami
oleh seorang individu, maka akibatnya adalah konflik peran. Ketika
individu tersebut tidak dapat mendamaikan inkonsistensi antara
perilaku peran yang diharapkan, mahasiswa mengalami konflik.
Sedangkan ambiguitas peran adalah ketika seseorang tidak memiliki
informasi yang konsisten mengenai tujuan mahasiswa, tanggung jawab,
hak, dan kewajiban dan bagaimana mereka dapat melaksanakannya
dengan baik.
e. Isolation (Isolasi)
Saat dimana individu sebagai pemula disuatu profesi dengan keyakinan
mahasiswa sekarang akan menjadi milik kelompok tersebut. Namun
kenyataannya kondisi tersebut membuat individu rentan mendapatkan
kritik. Sehingga kurangnya dukungan sosial menghasilkan perasaan
kesepian dan isolasi. Di mana individu merasa perasaan tidak ditangani,
kekecewaan adalah perkembangan alami yang akhirnya mengarah ke
burnout.
23
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat faktor-faktor
yang mempengaruhi academic burnout menurut Maslach, et al., dan Gold
dan Roth yang terdiri dari faktor situasional, faktor individual, lack of social
support, demographic factors, self-concept, role conflict and role ambiguity,
dan isolation. Berdasarkan uraian faktor yang mempengaruhi burnout di
atas, peneliti berfokus pada salah satu faktor yang mempengaruhi academic
burnout menurut Maslach, et al., (2001) yaitu faktor individu. Berdasarkan
faktor-faktor yang dipaparkan di atas, keyakinan akan kemampuan diri
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi academic burnout.
Keyakinan dalam kemampuan diri oleh Bandura disebut sebagai self-
efficacy (Bandura dalam Rustika, 2016). Konsep self-efficacy juga berlaku
dalam konteks akademis sehingga dapat disebut juga sebagai academic self-
efficacy. Academic self-efficacy didefinisikan sebagai penilaian diri sendiri
atas suatu kemampuan untuk mengatur dan melaksanakan kegiatan belajar
untuk mencapai hasil prestasi berdasarkan jenis pendidikan yang ditentukan
(Bandura, 1995).
Beberapa penelitian yang dipaparkan Zimmerman (dalam Nugraheni,
2016) mendukung pernyataan Bandura (dalam Nugraheni, 2016), yaitu
academic self-efficacy dapat memprediksi pilihan aktivitas, tingkat usaha,
seberapa lama bertahan dalam usahanya, dan reaksi emosi. Pada penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Arlinkasari dan Akmal (2017) ditemukan
hasil uji korelasi antara Maslach Burnout Inventory-Student Survey (MBI-
SS) dengan Academic Self-Efficacy Scale diperoleh koefisien korelasi r = -
24
0,365 dengan taraf signifikasi p= ˂0,00 sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan negatif antara academic self-efficacy dengan academic
burnout. Apabila academic self-efficacy pada mahasiswa rendah maka
kecenderungan untuk mengalami academic burnout tinggi dan sebaliknya
apabila academic self-efficacy tinggi maka kecenderungan untuk mengalami
academic burnout rendah.
B. Academic Self-efficacy
1. Pengertian academic self-efficacy
Menurut Zajacova, dkk. (2005) academic self-efficacy mengacu pada
keyakinan mahasiswa terhadap kemampuannya dalam melaksanakan tugas–
tugas akademik seperti mempersiapkan diri untuk ujian dan menyusun
makalah. Sedangkan Bandura (1995) mendefinisikan academic self-efficacy
sebagai penilaian diri sendiri atas suatu kemampuan untuk mengatur dan
melaksanakan kegiatan belajar untuk mencapai hasil prestasi berdasarkan
jenis pendidikan yang ditentukan. Menurut Khotimah, Carolina, dan
Handarini (2016) efikasi diri akademik diartikan sebagai keyakinan individu
terhadap kemampuannya, semakin individu yakin terhadap kemampuannya,
maka semakin besar usaha yang dilakukannya karena mahasiswa yakin
kemampuannya tersebut dapat membantu dalam mengerjakan suatu tugas
dan membantu menghadapi hambatan atau rintangan untuk mencapai
prestasi akademik yang tinggi.
25
Mahasiswa dengan tingkat academic self-efficacy yang tinggi ketika
menghadapi masalah akademik tidak akan mudah menyerah dan mencoba
untuk menemukan solusi yang tepat untuk memecahkan masalah mereka
(Charkhabi dkk., dalam Arlinkasari & Akmal, 2017). Hal senada juga
disampaikan oleh Baron dan Byrne (dalam Lidya & Darmayanti, 2015)
yang mendefinisikan academic self-efficacy sebagai keyakinan individu
terhadap kemampuannya untuk mengerjakan tugas, untuk mengatur
aktivitas belajarnya sendiri, untuk mewujudkan harapan akademik baik
harapan akademik dari diri sendiri maupun dari orang lain.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa academic self-
efficacy adalah keyakinan mahasiswa terhadap kemampuan mahasiswa
dalam mengerjakan tugas-tugas akademik, untuk mengatur aktivitas
belajarnya sendiri, untuk mewujudkan harapan akademik baik harapan
akademik dari diri sendiri maupun dari orang lain.
2. Dimensi academic self-efficacy
Menurut Zajacova, dkk. (2005) ada empat dimensi dari academic self-
efficacy, yaitu:
a. Interaction at school. Dimensi ini merupakan keyakinan tentang
kemampuan diri untuk berinteraksi dengan orang-orang yang terlibat di
perguruan tinggi seperti berbicara dengan professor/dosen, mencari
pertolongan dan informasi di kampus, berbicara dengan staf kampus,
berpartisipasi dalam diskusi kelas, dan memahami peraturan di kampus.
26
b. Academic performance out of class. Keyakinan mahasiswa dalam
menampilkan kemampuan dirinya selama di luar perkuliahan seperti
belajar, menjaga/ fokus pada bacaan yang diperlukan, menuliskan
makalah, menyelesaikan tugas tepat waktu, persiapan untuk ujian,
meningkatkan kemampuan membaca dan menulis, meneliti makalah,
dan memahami buku yang dipelajari.
c. Academic performance in class. Keyakinan mahasiswa dalam
menampilkan kemampuan dirinya ketika mengikuti perkuliahan yaitu
mengerjakan ujian dengan baik, mengikuti beberapa ujian pada minggu
yang sama, meraih peringkat yang saya inginkan, dan mengikuti kelas
yang dianggap berat dengan baik.
d. Managing work, family, and school. Keyakinan mahasiswa dalam
mengatur pekerjaan, keluarga, dan perkuliahan secara efektif.
Menurut Bandura (1995) academic self-efficacy terdiri dari tiga
dimensi, yaitu:
a. Level (tingkat kesulitan tugas). Dimensi ini mengacu pada tingkat variasi
di berbagai tingkat tugas, variasi tingkat tugas tersebut digolongkan dari
tugas yang sederhana, cukup sulit, dan tugas yang sulit.
b. Generality (kemantapan keyakinan). Dimensi ini berkaitan dengan
keyakinan diri diseluruh kegiatan, seperti materi pelajaran yang berbeda.
c. Strength (tingkat kekuatan). Dimensi ini berkaitan dengan keyakinan
mahasiswa dalam menampilkan kemampuan dirinya ketika mengikuti
perkuliahan.
27
Berdasarkan uraian di atas, academic self-efficacy memiliki berbagai
dimensi dari teori yang berbeda yang disampaikan oleh Zajacova dan
Bandura. Dimensi-dimensi academic self-efficacy meliputi interaction at
school, academic performance out of class, academic performance in class,
managing work, family, and school, level, generality, dan strength. Pada
penelitian ini, peneliti memilih dimensi academic self-efficacy dari
Zajacova, dkk. (2005) yang terdiri dari interaction at school, academic
performance out of class, academic performance in class, managing work,
family, and school yang akan digunakan untuk mengetahui academic self-
efficacy pada mahasiswa yang bekerja karena dimensi tersebut lebih jelas
dan mudah dimengerti sehingga dapat memudahkan peneliti untuk
melakukan penelitian dibandingkan dengan dimensi yang disampaikan oleh
Bandura (1995).
C. Hubungan antara academic self-efficacy dengan academic burnout
Menurut Yang (2004) academic burnout mengacu pada stres, beban
atau faktor psikologis lainnya karena proses pembelajaran yang diikuti
mahasiswa sehingga menunjukkan keadaan kelelahan emosional,
kecenderungan untuk depersonalisasi, dan perasaan prestasi pribadi yang
rendah. Menurut Law (dalam Arlinkasari & Akmal, 2017) mahasiswa yang
mengalami academic burnout akan melewatkan kelas (ketidakhadiran),
tidak mengerjakan tugas dengan baik, dan mendapat hasil ujian yang buruk
hingga akhirnya berpotensi untuk dikeluarkan dari perguruan tinggi. Ada
28
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi academic burnout, salah satunya
yaitu faktor individual. Faktor individual yang dapat menyebabkan burnout
adalah keyakinan dalam kemampuan diri atau disebut sebagai self efficacy
(Bandura dalam Rustika, 2016), Dalam penelitian ini self efficacy yang
dimaksud adalah academic self-efficacy.
Hal ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Arlinkasari dan Akmal (2017) yang menunjukkan bahwa academic self-
efficacy berhubungan secara signifikan dengan academic burnout. Hasil
penelitian Ugwu dkk., Charkabi dkk., Rahmati (dalam Arlinkasari &
Akmal, 2017) menunjukkan bahwa academic self-efficacy berhubungan
secara signifikan dengan academic burnout dan kedua variabel tersebut
berkorelasi negatif. Beberapa penelitian yang dipaparkan Zimmerman
(dalam Nugraheni, 2016) mendukung pernyataan Bandura (dalam
Nugraheni, 2016), yaitu academic self-efficacy dapat memprediksi pilihan
aktivitas, tingkat usaha, seberapa lama bertahan dalam usahanya, dan reaksi
emosi. Self-efficacy dapat mempengaruhi pilihan perilaku, besar usaha yang
dikeluarkan dan seberapa lama bertahan ketika mengalami hal yang tidak
menyenangkan, pola pikiran, dan reaksi emosi. Individu dengan self-efficacy
yang tinggi cenderung memilih kegiatan menantang, terus berusaha keras
dan tetap bertahan dalam usahanya walaupun mengalami hal tidak
menyenangkan. Perilaku tersebut terpolakan dalam pikiran dan
tercerminkan dalam reaksi emosinya (Nugraheni, 2016).
29
Menurut Komarraju dan Nadler (dalam Nugraheni, 2016) academic
self-efficacy yang baik akan membuat mahasiswa menjalankan aktivitasnya
secara optimal. Mahasiswa akan menilai bahwa dirinya mampu
menjalankan rangkaian perilaku demi tercapainya target dan menunjukkan
bahwa mahasiswa tersebut optimis. Target akademis akan diraih dengan
usaha yang tekun meskipun melalui berbagai tantangan dan kesibukan,
sehingga seorang mahasiswa yang bekerja perlu memiliki sifat pantang
menyerah dan konsisten dengan target awalnya. Jika gagal dalam mencapai
target, maka akan terus berusaha mencari ilmu agar menemukan solusi
alternatif hingga tujuan awal tercapai. Individu dengan academic self-
efficacy yang tinggi akan cenderung berusaha terus-menerus untuk
mencapai target walaupun mengalami kesulitan (Komarraju & Nadler dalam
Nugraheni, 2016). Kemudian mahasiswa dengan academic self-efficacy
yang baik dapat menghasilkan dan mampu menguji berbagai alternatif
tindakan ketika mahasiswa tidak mencapai keberhasilan pada awalnya.
Mahasiswa dengan tingkat academic self-efficacy yang tinggi ketika
menghadapi masalah akademik tidak akan mudah menyerah dan mencoba
untuk menemukan solusi yang tepat untuk memecahkan masalah mahasiswa
(Charkhabi dkk., dalam Arlinkasari & Akmal, 2017). Individu dengan self-
efficacy tinggi cenderung dapat bertahan dan terhindar dari academic
burnout (Lailani, 2015). Sedangkan menurut Zarina (dalam Fitrianti dkk.,
2011) individu dengan academic self-efficacy rendah cenderung merasa
tidak yakin akan berhasil, tidak mempunyai kegigihan dalam mencapai
30
tujuan, kurang memiliki tanggung jawab secara pribadi dan kurang
menginginkan hasil dari kemampuan optimalnya, dan kurang mampu
mengontrol stres dan kecemasan. Sehingga menurut Rahmati (dalam
Arlinkasari & Akmal, 2017) mahasiswa yang tidak memiliki academic self-
efficacy yang memadai menjadi rentan terhadap academic burnout.
Menurut Zajacova, dkk. (2005) academic self-efficacy mengacu pada
keyakinan mahasiswa terhadap kemampuannya dalam melaksanakan tugas–
tugas akademik seperti mempersiapkan diri untuk ujian dan menyusun
makalah. Lebih lanjut dijelaskan terdapat empat dimensi academic self-
efficacy yaitu interaction at school, academic performance out of class,
academic performance in class, dan managing work, family, and school.
Dimensi interaction at school adalah dimensi yang membahas mengenai
keyakinan individu tentang kemampuan diri untuk berinteraksi dengan
orang-orang yang terlibat di perguruan tinggi (Zajacova dkk., 2005).
Individu yang memiliki kemampuan interaction at school merupakan
individu yang dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasarnya di
lingkungan pendidikan, dalam hal ini di sekolah atau perguruan tinggi. Hal
ini menandakan bahwa interaction at school dapat berupa penilaian individu
terhadap diri sendiri yang berkaitan dengan keadaan lingkungan sekolah
atau perguruan tinggi sehingga individu dapat mempersiapkan dan
memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasarnya di dalam lingkungan tersebut
(Kartasasmita, 2017).
31
Individu dengan kemampuan interaction at school yang baik akan
mampu untuk berinteraksi dengan orang-orang di perguruan tinggi, seperti
berbicara dengan professor atau dosen saat berada di lingkungan kampus,
dapat mencari pertolongan dan mencari informasi di kampus, mampu dan
tidak malu untuk berbicara dengan staf kampus, berpartisipasi dalam diskusi
kelas secara aktif, dan memahami peraturan di kampus dengan baik
(Zajacova dkk., 2005). Sehingga individu akan membangkitkan rasa percaya
diri, penghargaan diri, rasa yakin akan kemampuan diri, rasa berguna serta
yakin kehadirannya diperlukan. Individu dengan interaction at school
sedang mempunyai kecenderungan sama dengan individu yang mempunyai
interaction at school tinggi. Perbedaannya adalah individu yang mempunyai
interaction at school sedang cenderung untuk bergantung pada penerimaan
sosial dan sangat mendukung sistem nilai di lingkungan (Tambunan, 2001).
Sebaliknya, mahasiswa dengan interaction at school yang rendah
cenderung bersikap individualitas, tidak berani mencoba hal-hal baru,
cenderung pasif dalam diskusi kelas, dan kurang mampu bergaul dengan
orang-orang di lingkungan kampus (Jasmadi & Azzama, 2016). Sehingga
individu akan memiliki perasaan yang negatif terhadap diri sendiri,
termasuk hilangnya percaya diri dan kemampuannya, merasa gagal
mencapai keinginan, mengkritik diri sendiri, penurunan produktivitas,
destruktif yang diarahkan pada orang lain, perasaan tidak mampu, mudah
tersinggung dan menarik diri secara sosial (Hariyanto dalam Jasmadi &
Azzama, 2016). Maka dari itu individu yang memiliki interaction at school
32
rendah cenderung merasa bahwa dirinya tidak mampu (Tambunan, 2001),
dan hal ini dapat menyebabkan individu mengalami academic burnout.
Pada dimensi academic performance out of class mengacu pada
keyakinan mahasiswa dalam menampilkan kemampuan dirinya selama di
luar perkuliahan (Zajacova dkk., 2005). Academic performance out of class
sangat berpengaruh di dalam kehidupan. Banyak individu dalam hidupnya
kurang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan luarnya
(Komara, 2016). Individu dengan kemampuan academic performance out of
class yang baik akan menampilkan kemampuan dirinya dalam hal belajar
secara mandiri, membaca dan fokus pada bacaan yang diperlukan,
menuliskan makalah, menyelesaikan tugas tepat waktu, mempersiapkan
ujian dengan baik, meningkatkan kemampuan dalam membaca dan menulis,
meneliti makalah, dan memahami buku yang dipelajari (Zajacova dkk.,
2005). Sehingga mahasiswa yang memiliki academic performance out of
class yang baik memiliki keyakinan yang tinggi dan selalu berusaha
mengembangkan potensi diri secara maksimal serta menunjukan yang
terbaik dari dirinya dibuktikan dengan sebuah pencapaian prestasi. Hal ini
sangat mempengaruhi kesuksesan dalam belajar dan bekerja, dalam
lingkungan keluarga, dan hubungan sosial dengan orang lain (Komara,
2016).
Sebaliknya, mahasiswa yang memiliki academic performance out of
class yang kurang baik akan belajar di bawah kendali orang lain, tidak
menyelesaikan tugas tepat waktu, tidak memiliki keyakinan untuk mampu
33
mengatasi masalah yang dihadapi dalam proses belajar di luar perkuliahan,
tidak merencanakan sendiri kegiatan belajarnya, tidak berusaha
melaksanakan rencana kegiatan belajar sebaik mungkin, dan cenderung
tidak yakin dengan hasil tugasnya sendiri (Saefullah, Siahaan, & Sari,
2013). Sehingga mahasiswa memiliki keyakinan yang rendah sehingga tidak
mampu mengembangkan bakat, minat, dan potensi yang ada di dalam
dirinya dan tidak mampu mengaktualisasikan diri dengan maksimal serta
bersifat pasif (Komara, 2016). Lebih lanjut dijelaskan kurangnya academic
performance out class akan menyebabkan mahasiswa tidak dapat
menyelesaikan tugas dan memecahkan masalah yang rumit. Menurut
Rahman (2007) individu yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dan
menghadapi masalah yang ada dilingkungannya dapat dihinggapi rasa lelah
secara fisik, mental maupun emosional dan hal inilah yang dapat
menimbulkan academic burnout.
Dimensi academic performance in class adalah keyakinan mahasiswa
dalam menampilkan dirinya ketika mengikuti perkuliahan (Zajacova dkk.,
2005). Dimensi ini merupakan sarana untuk pemenuhan diri (Kartasasmita,
2017). Hal ini untuk melihat adanya kemungkinan seorang mahasiswa dapat
belajar sesuai dengan minat, kemampuan dan kebiasaan yang ada pada
mahasiswa tersebut. Pada saat yang bersamaan pula menerima umpan balik
dan juga dorongan untuk berprestasi (Kartasasmita, 2017). Individu dengan
academic performance in class yang optimal akan menampilkan
kemampuannya dalam mengerjakan ujian dengan baik, mengikuti beberapa
34
ujian pada minggu yang sama, meraih peringkat yang diinginkan, dan
mengikuti kelas yang dianggapnya berat dengan baik (Zajacova dkk., 2005).
Menurut Noble et al., (2008), academic performance in class yang
optimal berhubungan dengan peningkatan hasil akademik, kehadiran di
sekolah atau perguruan tinggi, perilaku prososial, keamanan sekolah atau
perguruan tinggi dan kesehatan mental. Sehingga individu dengan academic
performance in class yang tinggi akan mampu mempelajari dan memahami
informasi secara efektif serta menunjukkan keterlibatan dalam perilaku
sosial yang sehat dan memuaskan (Awartani, Whitman, & Gordon, 2002).
Kemudian individu dengan tingkat academic performance in class yang
tinggi dapat melihat dan menyikapi permasalahan dengan bijak dan penuh
pertimbangan (Rakasiswi, Zulharman, & Firdaus, 2015).
Sebaliknya, apabila academic performance in class yang dimiliki
mahasiswa tidak optimal individu akan sering melanggar peraturan kampus
ataupun kelas, membolos untuk menghindari perkuliahan yang berat, sering
tidak tepat waktu dalam menyelesaikan tugas, tidak mengikuti ujian sesuai
jadwal, dan tampak enggan berusaha untuk mencapai hasil belajar yang
lebih baik (Pratiwi, 2015), maka mahasiswa akan kesulitan dalam
menghadapi perkuliahan atau pekerjaan, merasa tidak mampu, rendah diri,
canggung, dan bahkan tidak percaya diri dengan kemampuan yang
dimilikinya (Irawati & Hajat, 2012). Sehingga individu dengan academic
performance in class rendah cenderung akan mengevaluasi diri rendah yang
berpengaruh besar terhadap kebahagiaan dan kepuasan akademiknya
35
(Amato, 1994), maka individu akan menyikapi permasalahan-permasalahan
yang ada dengan kurang bijak, mudah menyerah, dan cenderung
menghindar (Rakasiswi, Zulharman, & Firdaus, 2015).
Dimensi yang terakhir yaitu dimensi managing work, family, and
school. Dimensi ini membahas mengenai keyakinan mahasiswa dalam
mengatur pekerjaan, keluarga, dan perkuliahan secara efektif (Zajacova
dkk., 2005). Menurut Wenno (dalam Fisher dkk, 2018) managing work,
family, and school merupakan hal yang dilakukan individu dalam membagi
waktu baik di tempat kerja dan aktivitas lain di luar kerja yang di dalamnya
terdapat individual behaviour dimana hal ini dapat menjadi sumber konflik
pribadi dan menjadi sumber energi bagi diri sendiri. Individual behavior
yaitu dimana individu melakukan suatu tindakan bagi dirinya sendiri yaitu
baik dalam bekerja maupun melakukan kegiatan untuk dirinya sendiri di
luar jam kerja seperti berkuliah. Hal ini dilakukan oleh individu apabila
individu telah berkeluarga maka ia akan memiliki tanggung jawab untuk
hidup berkeluarga dan menjalankan pekerjaan dan perkuliahan sebagai
tanggung jawab sehingga apabila individu tidak dapat mengatur waktu
untuk ketiga hal ini maka dapat terjadi konflik dimana individu harus
mengatur waktu untuk keluarga, pekerjaan, dan perkuliahan. Mahasiswa
yang bekerja harus dapat membagi waktu dan tanggung jawab terhadap
komitmen dari aktivitas-aktivitas yang dilakukannya. Hal inilah yang
membuat mahasiswa menghabiskan sebagian waktu, energi serta tenaga,
ataupun pikirannya (Mardelina & Muhson, 2017). Individu yang memiliki
36
managing work, family, and school yang baik dapat mengatur waktu dengan
baik, dapat menyelesaikan tugas diperkuliahan dan pekerjaan tepat waktu,
dapat mengatur waktu luang untuk keluarga, sehingga individu akan dapat
bekerja dengan baik sesuai dengan tanggung jawab yang ada dan memiliki
kedisiplinan dalam mengurus perkuliahan maupun pekerjaan (Wenno,
2018). Sedangkan apabila individu tidak dapat mengatur waktu maka
individu dapat dikatakan tidak memiliki managing work, family, and school
yang baik sehingga individu mengalami ketidakseimbangan waktu kerja,
keluarga, dan kuliah maka individu akan merasakan konflik yang membuat
dirinya tidak nyaman baik dalam bekerja maupun dalam keluarga. Sehingga
apabila dalam bekerja merasakan ketidaknyamanan maka performa kerja
individu dapat terganggu yang mengakibatkan academic burnout (Wenno,
2018).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa academic self-efficacy
dapat mempengaruhi academic burnout. Hal ini berarti semakin tinggi
academic self-efficacy maka semakin rendah academic burnout pada
mahasiswa yang bekerja. Sebaliknya, semakin rendah academic self-efficacy
maka semakin tinggi academic burnout pada mahasiswa yang bekerja.
Maka dari itu mahasiswa yang bekerja harus memiliki interaction at school,
academic performance out of class, academic performance in class, dan
managing work, family, and school yang baik sehingga dapat menghadapi
tuntutan tugas perkuliahan dan pekerjaan sehingga dapat menghindari
academic burnout.
37
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengajukan hipotesis yaitu
terdapat hubungan negatif antara academic self-efficacy dengan academic
burnout pada mahasiswa yang bekerja. Semakin tinggi academic self-
efficacy maka semakin rendah academic burnout pada mahasiswa yang
bekerja. Begitu pun sebaliknya, semakin rendah academic self-efficacy
maka semakin tinggi academic burnout pada mahasiswa yang bekerja.