bab ii tinjauan pustaka a. burnout

16
15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Burnout 1. Pengertian Burnout Istilah burnout pertama kali dikemukakan Freudenberg, seorang psikiater di New York pada tahun 1974. Sebagai seorang psikiater, Freudenberg melihat banyak sukarelawan yang awalnya semangat membantu pasien, tiba- tiba mengalami penurunan motivasi dan komitmen kerja, penurunan ini disertai dengan gejala kelelahan fisik dan mental. Menurut Maslach & Schaufeli (Schaufeli, 2008) burnout merupakan kelelahan baik secara fisik maupun emosional yang menyebabkan berkembangnya konsep diri negatif, kurangnya konsentrasi, dan sikap kerja yang buruk. Pendapat lain menyatakan burnout sebagai keadaan lelah atau frustasi yang disebabkan terhalangnya pencapaian sehingga muncul perubahan sikap dan perilaku yang menyebabkan seseorang menarik diri secara psikologis dari pekerjaannya, biasanya seseorang menjadi cenderung menjaga jarak dengan klien atau bersikap sinis terhadap mereka (Pangesti, 2012). Selain menyebabkan perubahan sikap, biasanya burnout diikuti dengan menurunnya prestasi kerja seperti menurut Ivancevich (2006), burnout adalah proses psikologis yang disebabkan stres kerja yang tidak terlepaskan, sehingga menyebabkan kelelahan emosi, perubahan kepribadian, dan perasaan serta penurunan pencapaian. Siagian (2009) berpendapat bahwa burnout adalah

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Burnout

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Burnout

1. Pengertian Burnout

Istilah burnout pertama kali dikemukakan Freudenberg, seorang

psikiater di New York pada tahun 1974. Sebagai seorang psikiater, Freudenberg

melihat banyak sukarelawan yang awalnya semangat membantu pasien, tiba-

tiba mengalami penurunan motivasi dan komitmen kerja, penurunan ini disertai

dengan gejala kelelahan fisik dan mental. Menurut Maslach & Schaufeli

(Schaufeli, 2008) burnout merupakan kelelahan baik secara fisik maupun

emosional yang menyebabkan berkembangnya konsep diri negatif, kurangnya

konsentrasi, dan sikap kerja yang buruk. Pendapat lain menyatakan burnout

sebagai keadaan lelah atau frustasi yang disebabkan terhalangnya pencapaian

sehingga muncul perubahan sikap dan perilaku yang menyebabkan seseorang

menarik diri secara psikologis dari pekerjaannya, biasanya seseorang menjadi

cenderung menjaga jarak dengan klien atau bersikap sinis terhadap mereka

(Pangesti, 2012).

Selain menyebabkan perubahan sikap, biasanya burnout diikuti dengan

menurunnya prestasi kerja seperti menurut Ivancevich (2006), burnout adalah

proses psikologis yang disebabkan stres kerja yang tidak terlepaskan, sehingga

menyebabkan kelelahan emosi, perubahan kepribadian, dan perasaan serta

penurunan pencapaian. Siagian (2009) berpendapat bahwa burnout adalah

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Burnout

16

kondisi mental, emosional, dan kelelahan fisik yang disebabkan stres yang

berlanjut dan tidak teratasi. Menurut Greenberg (2002) burnout adalah dampak

dari stres kerja baik secara psikologis, psikofisiologis dan perilaku yang sifatnya

merugikan.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, burnout adalah kondisi

kelelahan kerja yang diakibatkan stres kerja yang tidak tertangani, sehingga

mengakibatkan penurunan pencapaian, perubahan sikap, dan masalah baik fisik

maupun psikologis pada seorang pekerja.

2. Gejala Burnout

Orang-orang yang cenderung mengalami burnout adalah mereka yang

bekerja pada bidang sosial atau pelayanan publik seperti yang dijelaskan

Maslach (Darmawan, Silviandari, Susilawati, 2015) burnout adalah stres yang

dialami individu dengan pekerjaan yang secara langsung berhadapan dengan

manusia sebagai penerima pelayanan, dengan kata lain burnout lebih sering

terjadi pada orang-orang yang bekerja pada bidang sosial atau pelayanan

masyarakat.

Burnout dapat diketahui dari beberapa gejala yang dialami pekerja,

menurut Greenberg (Darmawan, Silviandari, & Susilawati, 2015) gejala

burnout adalah

a. Berkurangnya selera humor (diminished sense of humor)

b. Mengabaikan waktu istirahat (skipping rest and food breaks)

c. Jam lembur meingkat tanpa libur (increased overtime and no vacation)

d. Meningkatnya keluhan fisik (increased physical complaints)

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Burnout

17

e. Menarik diri dari lingkungan sosial (social withdrawal)

f. Berubahnya kinerja dalam pekerjaan (changed job performance)

g. Mengkonsumsi obat pribadi (self medication)

h. Perubahan dari dalam diri (internal changed)

3. Dimensi - Dimensi Burnout

Menurut Maslach, Schaufeli dan Leiter (2001) burnout dapat

dikategorikan menjadi tiga dimensi yaitu:

a. Kelelahan Emosi (Emotional Exhausted)

Kelelahan emosi disebabkan oleh terkurasnya energi secara

emosional untuk menghadapi situasi akibat beban kerja atau tuntutan

pekerjaan. Perasaan frustrasi, putus asa, tertekan, sedih, mudah

tersinggung, merasa terbebani dengan tugas yang ada, mudah marah tanpa

alasan yang jelas merupakan beberapa kondisi yang dapat

menggambarkan kelelahan emosi. Dalam bidang pelayanan

sosial,kelelahan emosi dapat menguras tenaga penyedia layanan untuk

terlibat dengan klien, sehingga menjadi kurang responsif terhadap

kebutuhan klien atau penerima layanan.

b. Depersonalisasi (Depersonalization)

Depersonalisasi adalah perasaan dimana seseorang merasa

kehilangan realitas diri, dan merasa bertingkah laku seperti orang lain atau

seperti robot. Depersonalisasi juga menyebabkan berkembangnya sikap

dan perasaan yang negatif terhadap klien atau penerima pelayanan.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Burnout

18

Depersonalisasi berkaitan dengan sikap negatif, kasar menjaga jarak

dengan orang lain, menarik diri dan tidak peduli dengan sekitarnya.

c. Penurunan Prestasi Pribadi (Reduced Personal Accomplishment)

Penurunan prestasi pribadi seseorang berkaitan dengan penurunan

kompetensi diri, motivasi dan produktifitas kerja hal ini dapat disebabkan

oleh rasa bersalah karena tujuan kerja yang tidak tercapai dan perasaan

rendah diri yang disertai kurangnya penghargaan pada diri sendiri.

Biasanya penurunan prestasi pribadi ditunjukkan dengan sikap tidak

ramah saat melayani klien, kurang peduli pada orang lain, rasa empati

berkurang, merasa aktivitas yang dilakukan tidak berguna.

Menurut Baron & Greenberg (Farhati & Rosyid, 1996) burnout

memiliki 4 dimensi, yaitu:

a. Kelelahan fisik (physical exhaustion), ditandai dengan keluhan

gangguan fisik seperti sakit kepala, mual, selalu merasa letih, daan

diikuti dengan perubahan pola makan dan tidur.

b. Kelelahan emosional (emotional exhaustion), ditandai dengan

perasaan cemas, depresi, frustasi, mudah tersinggung, tempramen

buruk tanpa alasan yang jelas.

c. Kelelahan mental (mental exhaustion), ditandai dengan munculnya

sikap sinis terhadap klien, selalu berpikiran negatif pada orang lain,

dan memandang buruk diri sendiri.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Burnout

19

d. Rendahnya penghargaan diri (low of accomplishment), ditandai

dengan perasaan yang selalu merasa tidak puas segala dimensi dalam

diri.

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, peneliti akan menegaskan

bahwa penelitian ini mmenggunakan teori dimensi yang dikemukakan oleh

Maslach, Schaufeli dan Leiter (2001) yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi,

dan penurunan prestasi pribadi.

4. Faktor – Faktor Penyebab Burnout

Maslach, Schaufeli & Leiter (2001) menjelaskan faktor yang dapat

menyebabkan burnout dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Faktor situasional (situational factor)

1) Job characteristic, banyak penelitian yang menyatakan bahwa burnout

adalah akibat dari kelebihan beban kerja dimana terlalu banyak

pekerjaan yang harus diselesaikan dalam satu waktu dan terjadi terus

menerus. Selain beban kerja, beberapa penelitian juga membahas

mengenai konflik peran dan ambiguitas peran yang memiliki korelasi

rendah sampai tinggi dengan burnout.

2) Occupational characteristic, pekerjaan dengan peran yang ambigu

mempunyai kontribusi besar pada stres dan burnout. Adanya konflik

peran merupakan faktor yang berpotensi menimbulkan burnout, konflik

peran ini muncul karena job desc atau tuntutan pekerjaan tidak sesuai

dan bertentangan dengan apa yang menjadi pekerjaan utama.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Burnout

20

3) Organizational characteristic, burnout dapat dipengaruhi oleh budaya

organisasi, gaya kepemimpinan atasan, dukungan rekan kerja,

semuanya dapat berpengaruh pada kelelahan emosi yang dapat berlanjut

pada terjadinya bunout.

b. Faktor individu (individual factor).

1) Demograpic characteristic, karakteristik berhubungan dengan usia,

jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, dan sebagainya. Usia

pekerja yang relatif muda cenderung lebih mudah mengalami burnout

karena pengalaman kerjanya yang masih sedikit sehingga belum

berpengalaman menghadapi burnout. Sebenarnya belum ada penelitian

yang menyatakan bahwa wanita cenderung lebih mudah mengalami

burnout dibanding pria begitu juga sebaliknya. Tingkat pendidikan,

seseorang tingkat pendidikan rendah cenderung lebih mudah mengalami

burnout dibanding yang tidak menyelesaikan pendidikannya. Status

perkawinan, pekerja yang belum menikah cenderung lebih tinggi pada

mereka yang lajang dibandingkan yang telah menikah karena pekerja

yang telah menikah akan memeperoleh dukungan dari pasangan, namun

kecenderungan burnout pada wanita lebih tinggi saat telah memiliki

anak.

2) Personality characteristic, karakteristik seseorang dapat

mempengaruhi kecenderungan burnout, bagaimana cara ia mengatasi

masalah yang dialami dan memiliki coping stres yang baik

kecenderungan burnout- nya tentu semakin rendah.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Burnout

21

3) Job attitudes, setiap orang memiliki sikap dan harapan yang berbeda

dalam bekerja, seseorang dengan harapan yang terlalu tinggi akan

membuat seseorang bekerja terlalu keras sehingga dapat menimbulkan

stres berkelanjutan yang dapat menyebabkan burnout.

Menurut Schaufeli dan Buunk (2003), burnout memiliki beberapa

faktor penyebab yaitu:

a. Banyaknya tuntutan pekerjaan (quantitative job demands)

Pekerja dengan tuntutan pekerjaan yang berlebih ditambah dengan

tenggat waktu yang singkat akan mudah merasa tertekan dan mengalami

kelelahan emosional. Tuntutan pekerjaan dapat berupa jumlah jam

kerja, kontak langsung dengan klien,dan beban permasalahan yang

dialami klien.

b. Permasalahan peran (role problems)

Konflik peran biasanya dihadapi pekerja yang memiliki peran

ganda yang harus dilakukan secara bersamaan. Konflik peran dalam

pekerjaan akan menimbulkan ambiguitas mengenai apa yang harus

dilaksanakan atau dikerjakan pekerja sehingga dapat menghambat

pekerjaannya.

c. Kurangnya dukungan sosial (lack of social support)

Dukungan sosial yang diterima pekerja dapat menjadi motivasi

sebagai penghambat dampak dari stres kerja. Banyaknya dukungan

sosial dari orang terdekat yang diterima pekerja akan membuat pekerja

lebih mampu untuk menghadapi masalah yang berkaitan dengan

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Burnout

22

tuntutan pekerjaan. Sumber dukungan sosial dapat berasal dari keluarga,

pasangan, atasan, rekan kerja, dan sahabat dari pekerja itu sendiri.

d. Kurangnya aktivitas regulasi diri (lack of self-regulatory activity)

Aktivitas regulasi diri bagi seorang pekerja berperan untuk

membantu mengatur pencapaian yang diinginkan, aktivitas yang

dilakukan biasanya dapat membantu untuk menentukan target,

mengevaluasi kesuksesan mencapai target dan penghargaan pada diri

sendiri. Kurangnya aktivitas regulasi diri pada pekerja dapat memicu

burnout sebab dapat memicu penurunan prestasi pribadi dan tidak

adanya penghargaan pada diri sendiri.

e. Berhubungan dengan tuntutan klien (client-related demands)

Pekerja dalam bidang pelayanan masyarakat akan sering

berinteraksi dengan klien yang memiliki masalah. Permasalahan klien

yang dihadapi cukup beragam tergantung dalam bidang apa pekerja

tersebut bekerja. Tuntutan dari permasalahan klien yang beragam,

disampaikan dengan emosi, sampai klien yang ingin permasalahannya

diselesaikan terlebih dahulu menjadi tekanan yang menyebabkan stres

sehingga dapat memicu burnout.

Berdasarkan uraian di atas munculnya burnout dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor, menurut Maslach, Schaufeli & Leiter (2001) faktor yang

mempengaruhi burnout adalah faktor situasional dan individu, faktor situasional

sendiri terbagi menjadi karakteristik pekerjaan (job characteristic), karakteristik

jabatan (occupational characteristic), dan karakteristik organisasi (organizational

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Burnout

23

characteristic). Faktor individu terdiri dari demographic characteristic yang

berhubungan dengan usia, jenis kelamin, pendidikan, dan status perkawinan.

Karakteristik pribadi (personality characteristic) dan sikap seseorang terhadap

pekerjaannya (job attitude). Sedangkan menurut Schaufeli & Buunk (2003),

burnout dapat dipengaruhi oleh banyaknya tuntutan pekerjaan, permasalahan peran,

kurangnya dukungan sosial, kurangnya aktivitas regulasi diri, dan berhubungan

dengan tuntutan klien. Penelitian ini menggunakan faktor yang dikemukaan

Schaufeli & Buunk (2003) mengenai permasalahan peran, di mana faktor tersebut

sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian yaitu mengenai work-

family conflict. Work-family conflict atau konflik peran antara pekerjaan dengan

peran dalam keluarga sebagai istri atau Ibu diangkat dalam penelitian ini karena

peneliti merasa tertarik terhadap wanita karir yang telah berkeluarga, apakah dalam

menjalankan kedua perannya para wanita karir ini mengalami konflik yang

membuat perannya pada dua hal tersebut tidak imbang dan bagaimana pengaruh

konflik tersebut terhadap pekerjaan atau kinerjanya.

B. Work – Family Conflict

1. Pengertian Work – Family Conflict

Pekerjaan dan keluarga merupakan dua hal yang sangat penting bagi

kehidupan orang dewasa yang telah mampu untuk bekerja dan berkeluarga.

Menurut Greenhaus & Beutell (Greenhaus, Allen, & Spector, 2006), work-

family conflict diartikan sebagai suatu bentuk konflik peran ganda di mana

tekanan peran antara pekerjaan dan keluarga bertentangan dalam beberapa hal.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Burnout

24

Frone (2000) mendefinisikan work-family conflict sebagai bentuk dari konflik

peran dimana tuntutan antara peran dalam pekerjaan dan keluarga tidak dapat

selaras dalam beberapa hal. Work-family conflict seringkali timbul saat salah

satu peran menuntut lebih banyak perhatian dibandingkan peran lainnya. Paden

& Buchler (Apollo & Cahyadi, 2012) mengungkapkan bahwa work-family

conflict merupakan konflik yang muncul akibat harapan berbeda antara dua

peran yang dimiliki seseorang. Netemeyer, dkk (Apollo & Cahyadi, 2012)

mendefinisikan work-family conflict atau konflik peran ganda adalah konflik

yang muncul sebagai sebab dari tanggung jawab pekerjaan yang menimbulkan

ketegangan dalam keluarga. Wallace (2005) mendefinisikan work-family

conflict sebagai masalah yang terjadi saat tanggungjawab pekerjaan melebihi

tanggungjawab dalam keluarga.

Work-family conflict adalah konflik yang disebabkan dari adanya

ketidakseimbangan peran antara tanggungjawab dalam keluarga dan pekerjaan

yang dialami pekerja (Boles et al, dalam Retnaningrum 2016). Menurut Frone

(2000) work-family confict memiliki hubungan kuat dengan depresi dan

kecemasan, hal ini lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Sumber

utama work-family conflict adalah masalah yang dihadapi oleh wanita dengan

peran ganda sebagai pekerja dan Ibu dalam keluarga. Wanita cenderung lebih

mudah mengalami stres saat menjalani peran ganda karena wanita cenderung

memikirkan dan melakukan lebih banyak hal terkait dengan peran yang dijalani

seperti bagaimana harus mendidik anak, mengurus rumah tangga,

menyelesaikan tuntutan sebagai pekerja yang terkadang semua itu di luar

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Burnout

25

kemampuan yang dimiliki sehingga akan lebih cepat merasa depresi. Cinnamon

& Rich (2002) menjelaskan bahwa jumlah anak, waktu yang dihabiskan untuk

mengurus urusan rumah tangga dan pekerjaan, serta kurangnya dukungan dari

pasangan dan keluarga, dapat memicu terjadinya work-family conflict.

Berdasarkan definisi dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa work-

family conflict adalah konflik peran ganda antara pekerjaan dan keluarga yang

saling bertentangan sehingga berdampak pada terhambat dan tidak

maksimalnya performa pada salah satu peran, biasanya terjadi pada wanita yang

memiliki lebih banyak hal untuk dikerjakan dalam peran di keluarga dan tetap

harus dapat menyelesaikan tuntutan sebagai pekerja, sehingga work-family

conflict berdampak pada individu itu sendiri, keluarga, dan pekerjaannya.

2. Dimensi - Dimensi Work – Family Conflict

Menurut Greenhaus & Beutell (1985) membagi work-family conflict 3

dimensi, yaitu:

a. Time - based conflict

Time-based conflict adalah konflik yang terjadi ketika waktu yang

digunakan untuk menjalankan satu peran, misalnya pada pekerjaan tidak

dapat digunakan untuk menjalankan peran dalam keluarga. Hal ini berarti

seseorang yang mengalami work-family conflict tidak dapat menjalani dua

peran sekaligus secara bersamaan. Dalam menjalankan setiap peran apabila

salah satu peran menuntut lebih banyak perhatian maka peran yang lain

harus dikorbankan. Misalnya jika seorang pekerja harus membawa

pekerjaan kantor ke rumah, maka waktu yang seharusnya digunakan untuk

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Burnout

26

keluarga mau tidak mau akan dikorbankan untuk menyelesaikan pekerjaan

kantor tersebut.

b. Strain - based conflict

Strain - based conflict adalah konflik yang terjadi akibat ketegangan

atau tekanan yang timbul karena tuntutan salah satu peran membuat

seseorang sulit memenuhi tuntutan peran lainnya. Ketegangan ini dapat

memicu keadaan emosional, stres, cemas, dan sakit fisik seperti hipertensi

bahkan serangan jantung. Misalnya, masalah dalam keluarga dapat

mengganggu produktivitas pekerjaan, begitu juga sebaliknya.

c. Behavior-based conflict

Behavior-based conflict adalah konflik yang muncul akibat dari

kewajiban dari salah satu peran memunculkan suatu perilaku yang

bertentangan dengan norma yang terapkan peran lainnya. Misalnya seorang

Ibu yang bekerja sebagai polisi atau tentara, diharuskan untuk berperilaku

keras dan tegas selama bertugas di tempat kerja, saat berada di rumah atau

dalam lingkungan keluarga harus menjadi sosok yang keibuan dan

penyayang bagi keluarganya.

Kossek dan Ozeki (Rantika dan Sunjoyo, 2010) membagi work-family

conflict menjadi 2 (dua) dimensi, yaitu:

1. Work Interfering With the Family (WIF) adalah konflik atau masalah yang

timbul saat peran seseorang dalam pekerjaan mengganggu atau mengambil

porsi perannya dalam keluarga.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Burnout

27

2. Family Interfering With the Work (FTW) adalah konflik atau masalah yang

timbul saat peran seseorang dalam keluarga mengganggu atau mengambil

porsi perannya dalam pekerjaan.

Berdasarkan uraian di atas penelitian ini akan memperjelas bahwa penelitian

ini menggunakan dimensi work-family conflict menurut Greenhaus & Beutell

(1985) yaitu time-based conflict, strain-based conflict, dan behavior based karena

peneliti ingin menyelaraskan antara teori dan dimensi dengan menggunakan satu

tokoh yang sama dalam penelitian.

C. Hubungan antara work-family conflict dengan burnout

Salah satu faktor yang mempengaruhi burnout adalah faktor individu, di

mana faktor individu ini terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan, status

pernikahan, karakteristik, dan bagaimana seseorang bersikap terhadap

pekerjaannya Maslach, Schaufeli & Leiter (2001). Menurut Maslach & Schaufeli

(Shaufeli, 2008), burnout merupakan keadaan di mana seseorang mengalami

kelelahan baik secara fisik maupun emosional yang menyebabkan berkembangnya

konsep diri yang negatif, berkurangnya konsentrasi, dan sikap kerja yang buruk.

Menurut Greenhaus & Beutell (Greenhaus, Allen, & Spector, 2006), work-family

conflict dapat diartikan sebagai suatu konflik peran ganda yang disebabkan karena

tekanan peran antara pekerjaan dan keluarga bertentangan dalam beberapa hal.

Work-family conflict atau konflik peran ganda menurut Greenhaus & Beutell

(1985), memiliki beberapa dimensi yaitu time-based conflict, strain-based conflict,

dan behavior-based conflict. Time-based conflict berkaitan dengan keseimbangan

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Burnout

28

waktu dalam membagi peran antara pekerjaan dan keluarga. Sebagaimana diketahui

apabila lebih banyak waktu di tempat kerja akan membuat tidak adanya waktu

untuk keluarga, apalagi bekerja dengan waktu tidak menentu yang mengharuskan

lembur dan bekerja di hari libur dapat menjadi penyebab munculnya work-damily

conflict (Staines and Pleck, 1984, dalam Coban dan Ayse, 2016). Konflik yang

muncul ketika salah satu peran menuntut lebih banyak perhatian sehingga

menghabiskan lebih banyak waktu daripada yang seharusnya, akan mempengaruhi

peran lainnya. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Susanti & Ekayati

(2013) bahwa seorang wanita karir yang memiliki anak akan merasa membutuhkan

waktu yang lebih besar pada perannya dalam keluarga sehingga menyebabkan

seseorang dapat kesulitan membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan. Kim-

Wan (1991) dalam penelitiannya menyatakan bahwa time-based conflict memiliki

hubungan dengan burnout.

Strain-based conflict timbul ketika ketegangan atau stres yang ada pada

salah satu peran menghambat pemenuhan tuntutan peran lain (Dierdorff &

Ellington, 2008). Dalam konteks ini konflik yang muncul disebabkan karena

ketidak nyamanan kerja, kurangnya wewenang, kondisi kerja, dan mudahnya akses

melalui teknologi sepanjang waktu pada karyawan bahkan di luar jam kerja

(Schenewark, 2008, dalam Coban dan Ayse, 2016). Seorang wanita karir dalam

perannya sebagai Ibu, dituntut untuk dapat merawat dan mendidik anak, mengurus

suami dan rumah, dan tuntutan lainnya. Tuntutan tersebut dapat menghasilkan stres

atau tekanan tambahan yang membuat pekerja wanita atau Ibu yang bekerja ini

lebih sulit untuk melakukan dengan baik perannya sebagai wanita karir atau pekerja

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Burnout

29

di mana pekerja yang bergerak dalam bidang pelayanan harus berhadapan dengan

klien dan segala tuntutan maupun keluhan mereka. Kesulitan memenuhi tuntutan

salah satu peran tersebut dapat menimbulkan stres, kecemasan, dan ketegangan

yang menghambat pemenuhan peran lainnya sehingga dapat memicu timbulnya

burnout.

Behavior-based conflict atau masalah yang bersumber dari ketidaksesuaian

perilaku yang muncul akibat tuntutan salah satu peran akan berpengaruh terhadap

peran lainnya (Dierdorff & Ellington, 2008). Ketika seseorang mengalami kesulitan

dalam perilakunya dan tidak dapat mengubah perilakunya saat harus menjalankan

peran lainnya baik dalam pekerjaan maupun keluarga dapat mengakibatkan

terjadinya behavior-based conflict (Greenhaus dan Beutell, 1985, dalam Coban dan

Ayse, 2016). Seorang Ibu yang terbiasa berperilaku penuh kasih dan lembut

terhadap anak, saat dalam pekerjaannya sebagai seorang polisi dan harus

menghadapi kasus dengan anak-anak sebagai pelakunya, memiliki kemungkinan

untuk tidak dapat bertindak tegas terhadap pelaku dan terjadi berulang kali pada

setiap kasus. Hal ini tentunya dapat mempengaruhi pendapat atasan terhadap

kinerja bawahannya tersebut dan menurunkan prestasi pribadi bawahan.

Menurunnya prestasi pribadi dapat menyebabkan seseorang merasa bersalah dan

kurang menghargai diri sendiri. Perasaan kurang menghargai diri sendiri dan

perasaan tidak berguna merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan

burnout.

Konflik peran ganda yang dialami pekerja dapat menyebabkan terjadinya

burnout, hal ini didukung oleh penelitian Kuntari (2014) bahwa work-family

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Burnout

30

conflict adalah salah satu penyebab burnout, pekerja menjadi cemas karena

beberapa masalah terkait dengan pasangan atau karena tidak cukup waktu

menjalankan peran dalam keluarga ditambah beban dan tanggung jawab pekerjaan

dapat memicu terjadinya burnout. Selain itu, work-family conflict juga dapat

memicu perilaku menyimpang di tempat kerja.

D. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini

adalah hubungan positif antara work-family conflct dengan burnout, di mana

semakin tinggi skor work-family conflict semakin tinggi pula skor burnout,

demikian juga sebaliknya, semakin rendah skor work-family conflict maka semakin

rendah juga skor burnout.