bab ii tinjauan pustaka a. burnouteprints.mercubuana-yogya.ac.id/4054/2/bab ii .pdf · 20 bab ii...
TRANSCRIPT
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Burnout
1. Pengertian Burnout pada Perawat
Istilah burnout pertamakali diperkenalkan Bardley pada tahun 1969
dalam sebuah artikel tentang Treathment Programme for Juvenile Delinquents
(Schaufeli & Buunk, 1996). Namun tokoh yang dianggap sebagai penemu dan
penggagas istilah burnout yakni Herbert Freudenberger, penulis artikel tentang
fenomena burnout pada tahun 1974 (Gunarsa, 2004).
Freudenberger & Maslach (dalam Kristensen, 2005) menggunakan
istilah burnout berdasarkan pada pengamatan tingkah laku para sukarelawan
setelah bertahun-tahun bekerja di lingkungan yang mengalami masalah sosial
masyarakat dan penuh kekurangan. Para sukarelawan mengalami kelelahan
mental, kehilangan komitmen dan penurunan motivasi kerja. Freudenberger
memberikan ilustrasi tentang apa yang dirasakan oleh penderita burnout seperti
gedung yang terbakar habis (burned-out) dan setelah terbakar hanya tampak
kerangka luarnya saja. Demikian halnya dengan orang yang mengalami
burnout, segalanya tampak utuh dari luar, namun di dalamnya kosong dan
penuh masalah (Gunarsa, 2004).
Schaufeli & Greenglass (dalam Kristensen dkk, 2005) mengatakan,
burnout sebagai suatu keadaan negatif, meliputi kelelahan emosi, fisik dan
mental yang disebabkan oleh keterlibatan pada suatu pekerjaan dalam jangka
waktu lama, dimana pekerjaan tersebut menuntut banyak keterlibatan emosi.
21
Burnout merupakan respon individu terhadap stres yang dialami dalam situasi
kerja, ditandai kelelahan fisik dan psikis, perasaan tidak berdaya serta
berkembangnya konsep diri negatif terhadap pekerjaan maupun kehidupan
individu (Farber, dalam Nevi dkk, 2005). Adapun menurut Cherniss (dalam
Schaufeli & Buunk, 1996), burnout sebagai suatu proses perubahan sikap dan
perilaku individu terhadap pekerjaan, menjadi perilaku serta sikap negatif
sebagai dampak dari tekanan pekerjaan.
Maslach & Jackson (dalam Kristensen dkk, 2005) mendefinisikan
burnout sebagai suatu sindrom kelelahan emosi, sikap kurang menghargai atau
kurang memiliki pandangan positif terhadap orang lain, menurunnya
pencapaian prestasi diri dan kemampuan dalam menjalankan tugas-tugas rutin
yang merupakan akibat stres berkepanjangan. Cherniss (dalam Sutjipto, 2001)
menyatakan, burnout merupakan perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk
reaksi menarik diri secara psikologis dari pekerjaan, menjaga jarak dan
bersikap sinis terhadap klien, membolos, sering terlambat serta keinginan
berpindah kerja. Sementara itu, Freudenberger (dalam Gunarsa, 2004)
menegaskan, seseorang dengan sikap antusias tinggi dan penuh semangat pada
awal bekerja biasanya mempunyai idealisme tinggi pula. Akan tetapi stres
demi stres yang dialami terus menerus secara kronis menyebabkan orang
tersebut mengalami perubahan motivasi hingga akhirnya mengalami burnout.
Burnout dalam penelitian ini difokuskan pada perawat. Perawat adalah
mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan
keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang diperoleh melalui
pendidikan keperawatan (Undang Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992,
22
dalam Gaffar, 1999). Perawat memiliki tanggung jawab untuk mengawasi,
melaporkan dan merawat kesehatan pasien secara konstan. Perawat dituntut
memiliki nilai kerja yang lebih berhubungan dengan nilai kemanusiaan,
sebagai representasi pengembangan kognitif hasil kebutuhan biologis, interaksi
sosial dan tuntutan kemakmuran atau kesejahteraan kelompok (Schwarzt,
1999).
Perawat sebagai pelayan kemanusiaan atau human sevices yang biasa
bekerja dan berhubungan erat dengan masyarakat, cenderung lebih sering
memunculkan reaksi emosional sebagai akibat stres maupun ketidakpuasan
terhadap situasi kerja berlebihan serta berkepanjangan. Respon terhadap situasi
yang menuntut secara emosional karena adanya tuntutan penerima pelayanan
yang memerlukan bantuan, pertolongan, perhatian maupun perawatan dari
pemberi pelayanan adalah pemicu munculnya burnout (Maslach, 1982).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, burnout merupakan
sindrom psikologis yang biasanya muncul karena tekanan-tekanan pekerjaan
dalam rentang waktu cukup panjang, ditandai kelelahan emosi, kelelahan fisik,
sikap kurang menghargai atau kurang memiliki pandangan positif terhadap
orang lain dan menurunnya pencapaian prestasi diri serta kemampuan dalam
melakukan tugas-tugas rutin.
2. Dimensi Burnout
Dimensi burnout yang digunakan pada penelitian ini adalah dimensi
burnout secara umum. Adapun pembahasan dimensi burnout secara spesifik
terhadap perawat dalam penelitian ini mengacu pada dimensi burnout
23
sebagaimana dikemukakan Maslach & Jackson (dalam Kristensen dkk, 2005)
yang meliputi: emotional exhaustion, depersonalization dan reduced personal
accomplishment.
a. Emotional exhaustion, merupakan sindrom kelelahan emosi karena
keterlibatan emosi yang menyebabkan energi dan sumber-sumber diri
terkuras oleh satu pekerjaan. Gejala ini ditandai adanya perasaan lelah akibat
banyaknya tuntutan yang diajukan pada dirinya, sehingga menguras sumber-
sumber emosional, seperti perasaan frustrasi, putus asa, sedih, tidak berdaya,
tertekan, apatis terhadap pekerjaan dan merasa terbelenggu oleh tugas-tugas
dalam pekerjaan. Pemberi pelayanan merasa tidak memiliki energi untuk
melakukan pekerjaan dan menjadi mudah tersinggung serta cepat marah
tanpa alasan yang jelas.
b. Depersonalization, merupakan sikap kurang menghargai atau kurang
memiliki pandangan positif terhadap orang lain. Perilaku yang muncul
adalah memperlakukan orang lain secara kasar, tidak berperasaan, kurang
perhatian dan kurang sensitif terhadap kebutuhan orang lain.
c. Reduced personal accomplishment, merupakan kegagalan meraih hal-hal
penting dalam hidup atau penurunan pencapaian prestasi diri. Gejala ini
ditandai adanya perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, pekerjaan dan
kehidupan serta merasa belum mampu melakukan sesuatu yang bermanfaat
bagi orang lain.
Sementara itu, dimensi burnout menurut Schaufeli & Greenglass
(dalam Kristensen dkk, 2005), terdiri dari: kelelahan emosi, kelelahan fisik dan
kelelahan mental.
24
a. Kelelahan emosi (Emotional exhaustion), merupakan suatu keadaan
kelelahan pada individu yang berhubungan dengan perasaan pribadi,
ditandai adanya perasaan tidak berdaya dan depresi dengan ciri-ciri antara
lain: rasa bosan, mudah tersinggung, sinisme, terus menerus mengeluh, tidak
peduli terhadap tujuan, sia-sia, putus asa, sedih dan tertekan.
b. Kelelahan fisik (Physical exhaustion), merupakan suatu kelelahan yang
bersifat sakit fisik dan energi fisik. Sakit fisik serta emosional ini ditandai
sakit kepala, demam, sakit punggung, ketegangan pada otot leher, sulit tidur,
mual, gelisah, letih dan lemah.
c. Kelelahan mental (Mental exhaustion), merupakan suatu kondisi kelelahan
pada individu yang berhubungan dengan rendahnya penghargaan diri dan
depersonalization. Kelelahan mental ini dicirikan melalui munculnya
perasaan tidak berharga, rasa benci, rasa gagal, kurang bersimpati pada
orang lain, sikap negatif terhadap orang lain, cenderung merasa bodoh
dengan dirinya, pekerjaan dan kehidupan, konsep diri rendah, tidak
berkompeten serta tidak puas dengan hidup yang dijalani.
Baron & Paulus (1991), menyimpulkan empat komponen untuk
menjelaskan gejala burnout, diantaranya: kelelahan fisik (physical exhaustion),
kelelahan emosi (emotional exhaustion), kelelahan mental atau sikap (mental
or attitudinal exhaustion) dan pencapaian diri yang rendah (feelings of low
personal accomplishment).
a. Kelelahan fisik (Physical exhaustion), merupakan suatu kondisi fisik yang
ditandai gejala kekurangan energi dan merasakan kelelahan sepanjang
waktu. Individu sering mengeluhkan gejala-gejala penyakit fisik, seperti:
25
sakit kepala, mual, sulit tidur dan perubahan dalam kebiasaan makan
(hilangnya nafsu makan).
b. Kelelahan emosi (Emotional exhaustion), merupakan suatu kondisi pada
individu yang ditandai perasaan tidak berdaya, depresi dan merasa
terperangkap dalam pekerjaan. Pada kondisi ini, rasa lelah muncul begitu
saja tanpa diawali pengeluaran energi yang berarti. Rasa lelah tidak dapat
hilang meskipun individu melakukan istirahat selama beberapa hari.
Kelelahan ini menyebabkan individu cenderung mengasihani diri sendiri,
mudah marah, merasa kesepian dan kehilangan semangat kerja.
c. Kelelahan mental atau sikap (Mental or attitudinal exhaustion), merupakan
suatu kondisi pada individu dengan kecenderungan menganggap individu
yang ditolongnya sebagai objek belaka. Pada kondisi ini, individu menjadi
tidak peka, kurang bersimpati dan bersikap sinis terhadap individu lain.
Individu memiliki sikap negatif terhadap individu lain dan cenderung
bersikap masa bodoh terhadap diri sendiri, pekerjaan dan kehidupannya.
Kelelahan ini nampak dari sikap pilih kasih, acuh dan masa bodoh,
menyalahkan serta kurang toleransi terhadap individu lain yang ditolongnya.
d. Pencapaian diri yang rendah (Feelings of low personal accomplishment),
merupakan suatu kondisi pada individu yang ditandai adanya anggapan
individu belum mencapai banyak hasil di masa lalu dan mungkin tidak akan
berhasil di masa mendatang. Pada kondisi ini, timbul perasaan tidak berdaya
dan frustrasi, karena individu merasa usahanya sia-sia serta tidak berarti,
sehingga individu akan berhenti berusaha serta menjadi apatis.
26
Sebagaimana pendapat para ahli di atas, terlihat bahwa dimensi burnout
meliputi: kelelahan emosi, kelelahan fisik, kelelahan mental dan sikap
(depersonalisasi) serta penurunan pencapaian prestasi diri atau pencapaian diri
yang rendah. Kelelahan emosi ditandai perasaan mudah bosan, cepat
tersinggung, sinis, mengeluh tiada henti serta tidak peduli lagi terhadap tujuan.
Sementara itu, kelelahan fisik direfleksikan melalui sakit kepala, sakit
punggung, demam, tegang pada otot leher, insomnia, mual, letih dan lemah
serta nafsu makan terganggu.
Kelelahan mental dan sikap atau depersonalisasi, ditunjukkan dengan
kecenderungan sikap yang senantiasa memberi evaluasi negatif terhadap orang
lain, berperilaku kasar, tidak berperasaan, tidak care dan kurang sensitif
terhadap kebutuhan orang lain. Adapun penurunan pencapaian prestasi diri atau
pencapaian diri rendah, ditandai munculnya perasaan tidak berharga, gagal,
konsep diri rendah, tidak berkompeten serta tidak puas dengan hidup yang
dijalani, sehingga individu akan berhenti berusaha dan menjadi apatis.
Dimensi burnout yang akan digunakan sebagai alat ukur dalam
penelitian ini adalah gabungan dimensi burnout dari teori Maslach & Jackson
(dalam Kristensen dkk, 2005) serta Schaufeli & Greenglass (dalam Kristensen
dkk, 2005). Alasannya, pada teori Maslach & Jackson tidak terdapat dimensi
kelelahan fisik sebagaimana dalam teori Schaufeli & Greenglass. Sementara
itu, dimensi kelelahan mental yang terdapat pada teori Schaufeli & Greenglass
secara definisi dimensi maupun gejala yang ditimbulkan, diasumsikan sama
dengan dimensi depersonalisasi dalam teori Maslach & Jackson.
27
Dapat dikatakan, dimensi dari kedua teori tersebut saling melengkapi,
hingga membentuk dimensi emotional exhaustion, physical exhaustion,
depersonalization dan reduced personal accomplishment. Alasan lain bahwa,
dimensi tersebut sudah cukup menjelaskan tentang gejala-gejala burnout dan
bisa dijadikan indikator oleh peneliti untuk mengukur sejauhmana sindrom
burnout yang biasa dialami perawat dikaitkan dengan efikasi diri.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan, dimensi burnout
meliputi: emotional exhaustion, physical exhaustion, mental or attitudinal
exhaustion (depersonalization) dan reduced personal accomplishment atau
feelings of low personal accomplishment. Pada dimensi kelelahan emosional,
biasanya akan memunculkan perasaan frustrasi, putus asa, tertekan dan
terbelenggu oleh pekerjaan. Dimensi depersonalisasi ditandai munculnya sikap
negatif, kasar, menjaga jarak dan tidak peduli terhadap lingkungan sekitar.
Sementara itu, dimensi reduced personal accomplishment ditunjukkan melalui
sikap tidak puas terhadap diri sendiri, pekerjaan bahkan kehidupan.
3. Cara-cara atau Intervensi Menurunkan Burnout
Berbagai upaya menurunkan burnout dapat dilakukan dengan beberapa
macam intervensi. Intervensi untuk mengatasi burnout telah dilakukan oleh
para peneliti melalui pendekatan psikologis, seperti koping fokus emosi dalam
menurunkan kecenderungan burnout pada perawat (Savitri, 2010), pengaruh
musik shalawat terhadap penurunan burnout karyawan (Ulfa, 2008) dan terapi
tawa untuk menurunkan kecenderungan burnout pada guru pendamping
anak berkebutuhan khusus (Hayati, Widyana, & Sholichah, 2012).
28
Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode pelatihan untuk
mengetahui sejauh mana pengaruh pelatihan efikasi diri terhadap penurunan
burnout yang biasa dialami perawat. Pelatihan adalah kegiatan yang bertujuan
memperbaiki dan membantu mengembangkan sikap, perilaku, keterampilan
dan pengetahuan peserta (Nitisemito, 1992). Alasan memilih pelatihan, karena
peneliti menganggap, pelatihan merupakan intervensi yang dirasa cukup efektif
sebagai pembelajaran langsung, sehingga semua peserta dapat terlibat secara
aktif dalam setiap sesi pelatihan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Silberman (1998), bahwa pembelajaran melalui pengalaman merupakan
metode paling efektif untuk meningkatkan pemahaman dalam proses pelatihan.
Subjek dapat melakukan aktivitas, memperhatikan, menganalisis aktivitas,
mencari pemahaman analisis lalu menerapkan pengetahuan dan pemahaman ke
dalam perilaku.
Pelatihan efikasi diri yang diberikan, diharapkan mampu membantu
meningkatkan efikasi diri perawat dengan harapan burnout yang dialami juga
akan mampu diminimalisir. Efikasi diri akan tampak pada tindakan yang
dipilih ketika dihadapkan pada situasi tertentu, dalam pola pikir serta reaksi
emosional yang dimunculkan. Sebagaimana ungkapan Bandura (1986) bahwa
individu yang memiliki efikasi diri tinggi, pada saat menghadapi situasi
menekan akan berusaha lebih keras dan bertahan lama serta lebih aktif dalam
berusaha daripada individu yang mempunyai efikasi diri rendah.
Individu akan lebih berani menetapkan target atau tujuan yang akan
dicapai, berusaha melakukan tugas atau tindakan untuk mencapai tujuan dan
berupaya beradaptasi dengan berbagai rintangan dalam pekerjaan termasuk
29
burnout yang dialami. Hal itu berlaku pula bagi para perawat, bilamana efikasi
diri yang dimiliki tinggi, maka burnout karena tuntutan-tuntutan pekerjaan
niscaya akan mampu diatasi.
B. Pelatihan Efikasi Diri
1. Pengertian Efikasi Diri
Efikasi diri merupakan sebuah keyakinan tentang sejauhmana individu
memperkirakan kemampuan dalam melaksanakan suatu tugas atau tindakan
yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil (Bandura, 1997). Dalam
kehidupan sehari-hari, efikasi diri mengarahkan seseorang untuk menghadapi
tantangan. Individu dengan efikasi diri tinggi akan lebih tekun, sedikit merasa
cemas dan tidak mengalami depresi, sedangkan individu yang memilki efikasi
rendah, kurang memiliki keterampilan sosial, tanggapan terhadap lingkungan
disertai kecemasan, keinginan menghindari interaksi interpersonal serta
cenderung lebih depresi (Bandura, 1997).
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa efikasi diri
adalah sebuah keyakinan tentang sejauhmana individu memperkirakan
kemampuan dalam melaksanakan suatu tugas atau tindakan yang diperlukan
untuk mencapai suatu hasil.
2. Pengertian Pelatihan Efikasi Diri
Menurut Nitisemito (1992), pelatihan adalah kegiatan yang bertujuan
memperbaiki, mengembangkan sikap, perilaku, keterampilan dan pengetahuan
peserta. Pelatihan merupakan program yang diselenggarakan perusahaan untuk
30
memfasilitasi karyawan agar memperoleh kompetensi yang berkaitan dengan
pekerjaannya (Noe, 2005). Kompetensi tersebut mencakup pengetahuan,
keterampilan dan perilaku yang bisa meningkatkan kinerja karyawan. Metode
dalam pelatihan bisa menggunakan teknik diskusi, ceramah efektif serta proses
pembelajaran langsung dan aktif, dimana para peserta dilibatkan secara aktif
dalam setiap sesi pelatihan.
Efikasi diri merupakan hasil proses kognitif berupa keputusan,
keyakinan atau pengharapan individu (Bandura, 1997). Individu yang merasa
mampu atau memiliki efikasi diri tinggi akan melihat stresor bukan sebagai
ancaman, sebagaimana individu dengan efikasi diri rendah memandangnya.
Apabila individu merasa tidak dapat mengendalikan situasi dan lingkungan
yang sedang dihadapi atau dirasa mengancam, individu akan mudah gelisah
serta cemas. Sebaliknya, jika individu merasa mampu menghadapi tekanan
lingkungan, maka individu tidak akan merasa cemas. Individu akan melihat
situasi dan lingkungan menekan sebagai sesuatu yang menantang, kemudian
melakukan tindakan matang serta sudah diperhitungkan.
Sudarmaji (dalam Priyantoro, 2002) menyatakan, efikasi diri memiliki
peranan dalam pengendalian reaksi terhadap ancaman dan tekanan, dimana
keyakinan akan kemampuan yang dimiliki turut menentukan individu untuk
mencoba mengatasi situasi sulit ataupun tidak. Individu yang memiliki efikasi
diri tinggi akan berusaha lebih keras mengatasi semua kesulitan. Individu akan
berusaha mengerahkan seluruh kemampuan sumber daya kognitif, motivasi
dan menentukan atau merencanakan tindakan untuk mencapai situasi yang
diinginkan.
31
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa, pelatihan
efikasi diri merupakan kegiatan tersistematis dan terorganisir melalui proses
pembelajaran langsung serta aktif dengan tujuan meningkatkan keyakinan agar
individu mampu memperkirakan kemampuan dalam melaksanakan suatu
tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil.
3. Dimensi Efikasi Diri
Menurut Bandura (1997), efikasi diri seseorang dibedakan atas dasar
beberapa dimensi yang memiliki implikasi terhadap prestasi, antara lain:
a. Magnitude (tingkat kesulitan tugas)
Dimensi tingkat kesulitan tugas berkaitan dengan derajat kesulitan tugas
ketika individu merasa mampu melakukannya. Jika individu dihadapkan
pada tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya, maka efikasi
diri individu mungkin akan terbatas pada tugas-tugas yang mudah, sedang
atau bahkan tugas-tugas paling sulit. Hal itu sesuai batas kemampuan untuk
memenuhi tuntutun perilaku pada masing-masing tingkatan. Dimensi ini
memiliki implikasi terhadap pemilihan perilaku yang dirasa mampu
dilakukan dan menghindari perilaku di luar batas kemampuannya.
b. Generality (luas bidang perilaku)
Dimensi generalisasi berkaitan dengan luas bidang tugas yang dilakukan.
Beberapa keyakinan individu terbatas pada suatu aktivitas maupun situasi
tertentu dan beberapa keyakinan menyebar pada serangkaian aktivitas serta
situasi yang bervariasi.
32
c. Strength (kemantapan keyakinan)
Dimensi kemantapan keyakinan berkaitan dengan keteguhan hati terhadap
keyakinan pada diri individu, bahwa individu akan berhasil menghadapi
suatu masalah. Dimensi ini seringkali harus menghadapi rasa frustrasi, luka
dan berbagai rintangan lainnya dalam mencapai suatu hasil tertentu.
Sebagaimana pemaparan tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa,
dimensi efikasi diri individu meliputi berbagai keyakinan individu tidak hanya
terbatas pada kemampuan atau kompetensi dalam suatu bidang tertentu. Lebih
jauh, dimensi efikasi diri juga berkaitan dengan kesanggupan dan kekuatan hati
individu dalam menghadapi berbagai situasi serta lingkungan menekan untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
Efikasi diri dalam penelitian ini diungkap lebih spesifik berdasarkan
tugas dan wewenang perawat, karena waktu perawat lebih banyak dihabiskan
di tempat kerja yang berhubungan dengan rutinitas tugas-tugas keperawatan,
sehingga efikasi diri perawat akan muncul seiring permasalahan di tempat
kerja. Selain itu, tugas dan wewenang perawat yang tertuang dalam job
deskripsi perawat bisa dijadikan indikator untuk menilai sejauhmana efikasi
diri perawat sesuai tugas-tugas keperawatan yang dilaksanakan. Adapun tugas
dan wewenang perawat yang dijadikan acuan untuk mengungkap efikasi diri
perawat dalam penelitian ini berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia
Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, yaitu:
a. Pemberi asuhan keperawatan di bidang upaya kesehatan perorangan
b. Pemberi asuhan keperawatan di bidang upaya kesehatan masyarakat
c. Penyuluh dan konselor bagi klien
33
d. Pengelola pelayanan keperawatan
e. Peneliti keperawatan
f. Pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang
g. Pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.
Dalam upaya meningkatkan dan membentuk efikasi diri melalui
pelatihan ini, terjadi beberapa tahapan proses yang dikemukakan oleh Bandura
(1997), yaitu
a. Proses kognitif
Pengaruh efikasi diri pada proses kognitif individu sangat bervariasi.
Pertama, efikasi diri yang kuat akan mempengaruhi tujuan pribadi individu.
Semakin kuat efikasi diri, maka akan semakin tinggi tujuan yang ditetapkan
individu. Penguatan efikasi diri tersebut berasal dari komitmen individu
terhadap tujuan yang hendak dicapai. Individu dengan efikasi diri yang
kuat akan mempunyai cita-cita tinggi, mengatur rencana dan berkomitmen
pada diri sendiri untuk mencapai tujuan itu. Kedua, individu yang memiliki
efikasi diri kuat akan menyiapkan langkah-langkah antisipasi jika usaha
pertama gagal dilakukan.
b. Proses motivasi
Efikasi diri memainkan peranan penting dalam pengaturan motivasi diri,
karena sebagian besar motivasi manusia dibangkitkan secara kognitif.
Individu memotivasi diri sendiri dan menuntun tindakan-tindakan yang
dilakukan menggunakan pemikiran-pemikiran tentang masa depan,
sehingga individu akan membentuk kepercayaan mengenai apa yang dapat
dilakukan. Individu akan mengantisipasi hasil-hasil dari tindakan untuk
merealisasikan masa depan yang berharga.
34
Ketika menghadapi kesulitan, individu yang ragu terhadap kemampuan
dirinya akan lebih cepat mengurangi usaha-usaha yang dilakukan atau
menyerah. Sebaliknya, individu yang memiliki keyakinan kuat terhadap
kemampuan dirinya akan melakukan usaha lebih besar ketika individu
gagal menghadapi tantangan. Kegigihan atau ketekunan kuat pada diri
individu mendukung pencapaian suatu performansi yang optimal. Efikasi
diri akan berpengaruh terhadap aktivitas yang dipilih, keras tidaknya dan
tekun tidaknya individu dalam mengatasi masalah yang sedang dihadapi.
c. Proses afeksi
Dalam efikasi diri individu, terdapat kemampuan coping untuk mengatasi
stress dan depresi yang dialami pada situasi sulit serta menekan, selain
mempengaruhi tingkat motivasi individu. Efikasi diri memegang peranan
penting dalam kecemasan, yakni mengontrol terjadinya stres. Individu yang
memikirkan ketidakmampuan coping dalam diri dan memandang banyak
aspek lingkungan sekitar sebagai situasi mengancam penuh bahaya, pada
akhirnya hanya akan membuat individu membesar-besarkan ancaman yang
mungkin terjadi dan mudah merasa khawatir terhadap hal-hal yang jarang
terjadi. Melalui pikiran-pikiran tersebut, individu akan menekan diri sendiri
dan meremehkan kemampuan yang dimiliki.
d. Proses seleksi
Proses seleksi akan mempengaruhi pemilihan aktivitas atau tujuan yang
akan diambil oleh individu. Individu cenderung menghindari aktivitas dan
situasi yang dipercayai telah melampaui batas kemampuan coping dalam
dirinya, namun individu telah siap melakukan aktivitas menantang dan
35
memilih situasi yang dinilai mampu untuk diatasi. Perilaku individu ini
akan memperkuat kemampuan, minat dan jaringan sosial yang
mempengaruhi kehidupan, hingga akhirnya akan berpengaruh terhadap
arah perkembangan personal. Hal itu karena pengaruh sosial berperan
dalam pemilihan lingkungan, berlanjut untuk meningkatkan kompetensi,
nilai-nilai dan minat-minat tersebut dalam waktu lama setelah faktor-faktor
yang mempengaruhi keputusan keyakinan telah memberikan pengaruh
awal.
Berdasarkan asumsi tersebut dinyatakan bahwa, efikasi diri dapat
dibentuk melalui proses kognitif, proses motivasi, proses afeksi dan proses
seleksi. Keempat proses tersebut menunjang dalam meningkatkan keyakinan
individu menjadi lebih baik, memantapkan keyakinan individu terhadap
kompetensinya serta meningkatkan kemantapan individu terhadap penguasaan
berbagai aktivitas luas yang tidak hanya pada domain tertentu saja.
4. Konsep Operasional Pelatihan Efikasi Diri
Pelatihan efikasi diri untuk menurunkan burnout pada perawat akan
diberikan berdasarkan konsep operasional pelatihan efikasi diri dengan
mengacu sumber-sumber efikasi diri yang dikemukakan oleh Bandura (1986),
yaitu pengalaman akan kesuksesan, pengalaman individu lain, persuasi verbal
dan kondisi fisiologis. Adapun hal-hal yang akan diajarkan meliputi:
a. Pengalaman sukses yang pernah dicapai individu pada masa lalu
Pengalaman akan kesuksesan merupakan sumber paling besar pengaruhnya
terhadap efikasi diri individu, karena didasarkan pada pengalaman otentik.
36
Pengalaman akan kesuksesan menyebabkan efikasi diri individu meningkat,
sementara kegagalan yang berulang mengakibatkan menurunnya efikasi diri,
khususnya jika kegagalan terjadi ketika efikasi diri individu belum benar-
benar terbentuk secara kuat. Kegagalan juga dapat menurunkan efikasi diri,
apabila kegagalan tersebut tidak merefleksikan kurangnya usaha atau
pengaruh dari keadaan luar.
b. Pengalaman sukses melalui model sosial
Pengalaman individu lain adalah pengalaman yang diperoleh melalui model
sosial. Individu tidak tergantung pada pengalaman sendiri tentang kegagalan
dan kesuksesan sebagai sumber efikasi dirinya. Efikasi diri individu juga
dipengaruhi oleh pengalaman individu lain. Pengamatan individu akan
keberhasilan individu lain dalam bidang tertentu akan meningkatkan efikasi
diri individu tersebut pada bidang yang sama.
Efikasi diri individu akan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang
lain, sebaliknya efikasi diri individu akan menurun apabila mengamati orang
yang memiliki kemampuan sama dengan diri individu ternyata mengalami
kegagalan. Jika figur yang diamati berbeda dengan diri individu, pengaruh
pengalaman figur tidak begitu besar. Sebaliknya, saat mengamati kegagalan
figur yang setara dengan dirinya, individu cenderung tidak mau melakukan
apa yang pernah gagal dilakukan figur yang diamati dalam jangka waktu
lama. Terdapat dua keadaan yang memungkinan efikasi diri individu mudah
dipengaruhi oleh pengalaman individu lain, yaitu kurangnya pemahaman
individu tentang kemampuan orang lain dan kurangnya pemahaman individu
akan kemampuan sendiri.
37
c. Memberikan bujukan atau sugesti untuk percaya kepada diri sendiri
Peruasi verbal adalah bujukan atau sugesti untuk percaya bahwa individu
dapat mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapi. Persuasi verbal ini
dapat mengarahkan individu untuk berusaha lebih gigih dalam mencapai
tujuan dan kesuksesan.
d. Mengenali kondisi fisiologis individu
Keadaan fisiologis adalah sebuah situasi yang menekan kondisi emosional.
Gejolak emosi, kegelisahan mendalam dan keadaan fisiologis memberikan
isyarat terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan, sehingga situasi menekan
cenderung dihindari. Informasi keadaan fisik seperti jantung berdebar,
keringat dingin dan gemetar menjadi isyarat bagi individu bahwa situasi
yang dihadapi berada di atas kemampuan dirinya. Ketika individu merasa
fisiologisnya dalam kondisi tidak baik, individu dapat mengantisipasi
dengan melakukan relaksasi atau mendengarkan musik yang digemari. Hal
itu dapat membantu memperbaiki kondisi fisiologis menjadi lebih baik.
Keempat sumber efikasi diri menurut Bandura tersebut menjadi acuan
dalam pembuatan program pelatihan efikasi diri. Setiap sumbernya diharapkan
terwakili dalam beberapa sesi kegiatan pada rancangan modul pelatihan. Selain
itu, setiap sesi pelatihan diharapkan dapat menjadi media pembentukan efikasi
diri peserta secara optimal dan memenuhi proses psikologis yang dibutuhkan.
Adapun rangkaian kegiatan yang dilakukan pada pelatihan efikasi diri
ini, meliputi: pembukaan, pelaksanaan pelatihan, evaluasi pelatihan serta
penutup. Berikut ini adalah uraian setiap sesi pelatihan beserta tujuan yang
hendak dicapai, diantaranya:
38
1. Sesi Awal (Pembukaan dan Ice Breaking)
Sesi ini menekankan pada pengenalan antar peserta dan fasilitator
serta membangun motivasi peserta agar bersemangat mengikuti pelatihan
dengan memberikan permainan yang bertujuan menghilangkan ketegangan,
sehingga suasana menjadi cair dan para peserta lebih akrab.
2. Sesi I (Pengalaman akan kesuksesan)
Pada sesi ini akan diberikan materi aku mampu yang bertujuan
memberikan pengalaman keberhasilan yang pernah dicapai individu pada
masa lalu. Peserta diminta mengidentifikasi prestasi atau pengalaman sukses
yang pernah diraih selama hidup. Peserta akan diberikan pemahaman bahwa,
semakin sulit tugas, jika berhasil melakukan bisa membuat efikasi diri
semakin tinggi. Melalui kerja sendiri, bisa lebih meningkatkan efikasi diri
dibanding kerja kelompok dan dibantu orang lain.
3. Sesi II (Pengalaman individu lain)
Pada sesi ini akan diberikan materi modelling yang bertujuan
memberikan pengalaman keberhasilan yang diperoleh individu lain atau
melalui model sosial. Peserta diminta mencoba mengaplikasikan keterampilan
model peran dalam kehidupannya.
4. Sesi III (Persuasi verbal dan afirmasi diri)
Sesi ini bertujuan meningkatkan pemahaman peserta bahwa efikasi
diri dapat diperoleh dan diperkuat melalui persuasi verbal dari model peran
serta penetapan positif dari diri sendiri.
39
5. Sesi IV (Keadaan fisiologis)
Pada sesi ini akan diberikan materi relaksasi dan mendengarkan lagu
serta melihat video clips. Sesi ini bertujuan memberikan pemahaman kepada
peserta bahwa peserta harus mampu mengenali kondisi fisiologis dan
mengontrol emosi yang sedang dimilikinya. Keadaan fisiologis berupa emosi
yang kuat, takut, cemas dan stres dapat mengurangi efikasi diri. Oleh karena
itu, relaksasi diharapkan dapat menjadi mediator pengontrol perasaan cemas,
takur dan stress, hingga pada akhirnya efikasi diri menjadi meningkat.
6. Sesi Evaluasi
Sesi ini bertujuan melihat sejauhmana pemahaman para peserta
terhadap materi yang diberikan, kondisi peserta selama pelatihan, kondisi
trainer atau fasilitator terkait penguasaan dan penyampaian materi pelatihan
serta cara interaksi dengan peserta. Evaluasi juga dilakukan untuk mengetahui
kondisi secara umum yang meliputi fasilitas pelatihan, kenyamanan ruang
pelatihan, kesiapan alat yang digunakan serta proses pelatihan secara
menyeluruh.
7. Sesi Penutup
Pada sesi ini akan diberikan hadiah bagi peserta paling aktif sekaligus
menutup rangkaian acara pelatihan efikasi diri.
Berdasarkan uraian di atas, sumber efikasi diri melalui pengalaman
akan kesuksesan disampaikan pada sesi 1 dan 2, sedangkan sumber efikasi diri
melalui pengalaman individu lain disampaikan pada sesi 2 dan 3. Sementara
itu, sumber efikasi diri melalui persuasi verbal dan afirmasi diri serta kondisi
fisiologis disampaikan pada sesi 4. Gambaran mengenai hubungan setiap sesi
40
pelatihan dengan sumber efikasi diri terangkum dalam bagan alur logika
pelatihan efikasi diri berikut ini:
Gambar 1.
Bagan Alur Logika Pelatihan Efikasi Diri
C. Pelatihan Efikasi Diri untuk Menurunkan Burnout pada Perawat
Perawat sebagai ujung tombak rumah sakit memiliki peran sangat penting,
mengingat perawat adalah bagian tenaga paramedik yang memberikan perawatan
kepada pasien secara langsung dan intensif. Secara universal, perawat berada pada
garis depan untuk memberikan perawatan tanpa henti pada pasien, bahkan lebih
banyak daripada yang diberikan oleh dokter (Glazer & Beehr, 2002). Perawat
selalu berhadapan dengan hal-hal monoton dan rutin, ruang kerja sumpek bagi
yang bertugas di bangsal, harus berhati-hati menangani peralatan di ruang operasi,
hingga bertindak cepat namun tepat dalam menangani penderita yang masuk Unit
Gawat Darurat (Santosa, dalam Hadi, 1987).
Selama menjalani pekerjaan, perawat sering menghadapi pasien yang
bermasalah, dituntut untuk selalu membantu, memperhatikan dan peka terhadap
SESI II
SESI III
SESI IV
SESI I Pengalaman akan kesuksesan
Pengalaman individu lain
Persuasi verbal dan afirmasi diri
Keadaan fisiologis
41
kebutuhan pasien. Hal itu disebabkan, hubungan yang terjadi antara pemberi dan
penerima pelayanan merupakan hubungan asimetris (Maslach, 1993). Berhadapan
terus menerus dengan hal-hal seperti itu membuat perawat semakin rentan
mengalami burnout (Maslach, 1982).
Burnout yang merupakan sikap menarik diri secara psikologis dari
pekerjaan sebagai reaksi atas stres dan ketidakpuasan terhadap situasi kerja
berlebihan atau berkepanjangan menurut Cherniss (1980), merupakan suatu
keadaan yang tidak dapat dihindari oleh perawat dalam menjalankan tugasnya
sebagai pelayan kesehatan. Kondisi stres dimungkinkan terjadi karena adanya
tekanan hidup yang dialami perawat, baik bersumber dari permasalahan
kehidupan maupun masalah pekerjaan. Menurut Fakhsianoor & Dewi (2014),
kondisi stres pada perawat yang tergolong tinggi akan memudahkan munculnya
burnout pada perawat. Berawal dari tekanan pekerjaan kemudian berkembang
menjadi stres berkepanjangan pemicu burnout, disinyalir dapat mempengaruhi
kondisi psikologis perawat, dimana akan muncul sikap negatif, sinisme, frustrasi,
perasaan ditolak dan gagal (Mc Ghee, dalam Irawati, 2002).
Menurut Bandura (1997) semua proses perubahan psikologis dalam diri
individu sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya efikasi diri dan efikasi diri ini
berpengaruh besar terhadap perilaku individu. Efikasi diri akan tampak pada
tindakan yang dipilih ketika dihadapkan pada situasi tertentu, dalam pola pikir
serta reaksi emosional yang dimunculkan. Individu yang memiliki efikasi diri
tinggi, pada saat menghadapi situasi menekan akan berusaha lebih keras dan
bertahan lama serta lebih aktif dalam berusaha daripada individu yang mempunyai
efikasi diri rendah (Bandura, 1986).
42
Dalam situasi sulit, individu dengan efikasi diri rendah cenderung mudah
menyerah, lari dari tanggung jawab dan tidak berani menghadapi tantangan.
Individu menganggap, bahwa pada dasarnya tidak mampu mengerjakan segala
sesuatu yang ada di sekitarnya (Judge & Erez, dalam Ghufron, 2010). Hal itu
bertolak belakang dengan individu yang memiliki efikasi diri tinggi, dimana
individu percaya bahwa individu mampu melakukan sesuatu untuk mengubah
kejadian-kejadian di sekitarnya (Ghufron, 2010). Ketika individu memiliki efikasi
diri tinggi, cenderung akan berupaya melakukan tugas atau tindakan untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan dan berusaha beradaptasi dengan berbagai
rintangan (Bandura, 1986). Efikasi diri pada kehidupan sehari-hari akan tampak
pada tindakan yang dipilih, jika dihadapkan pada situasi tertentu, dalam pola pikir
serta reaksi emosional yang dimunculkan (Schaufeli & Buunk, 1996).
Alwisol (2009) menyatakan, efikasi diri dapat diperoleh, diubah dan
ditingkatkan melalui salah satu atau kombinasi empat sumber efikasi diri
sebagaimana yang diungkapkan oleh Bandura (1986), yakni pengalaman akan
kesuksesan, pengalaman individu lain, persuasi verbal dan kondisi fisiologis
individu. Pengalaman akan kesuksesan diharapkan dapat memberi pengaruh kuat
dalam diri perawat, sehingga efikasi diri meningkat dan perawat lebih struggle
dalam menjalani hidup. Pengalaman otentik akan kesuksesan berupa pencapaian
prestasi masa lalu dapat membantu meningkatkan efikasi diri perawat, bilamana
efikasi diri sudah terbentuk secara kuat. Menurut Bandura (1997), performa yang
berhasil akan meningkatkan ekspektasi mengenai kemampuan dan meningkatkan
efikasi diri secara proporsional dengan kesulitan dari tugas tersebut.
43
Pengalaman individu lain atau model sosial sebagai salah satu sumber
efikasi diri, diharapkan turut berperan dalam pembentukan efikasi diri. Efikasi diri
akan meningkat saat individu mengobservasi pencapaian individu lain yang
mempunyai kompetensi setara (Bandura, 1997). Sementara itu, persuasi verbal
berupa bujukan ataupun sugesti agar individu percaya bahwa dirinya mampu
mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam hidup, diharapkan dapat
memberi pengaruh besar terhadap efikasi diri. Pengaruh sumber ini cukup
terbatas, tetapi di bawah kondisi yang tepat, persuasi dari orang lain dapat
meningkatkan efikasi diri (Bandura, 1997).
Meningkatkan efikasi diri melalui persuasi verbal bisa menjadi efektif,
jika kegiatan yang ingin didukung untuk dicoba berada dalam jangkauan perilaku
individu. Bandura (1986) berhipotesis bahwa, daya yang lebih efektif dari sugesti
berhubungan langsung dengan status dan otoritas yang dipersepsikan individu
pelaku persuasi. Persuasi verbal ini dimungkinkan dapat mengarahkan individu
untuk berusaha lebih gigih dalam mencapai tujuan maupun kesuksesan.
Adapun kondisi fisiologis dan emosional seseorang merupakan sumber
terakhir dari efikasi diri (Bandura, 1997). Sumber efikasi diri terkait keadaan
fisiologis berupa situasi yang menekan kondisi emosional ini akan berpengaruh
kuat terhadap efikasi diri. Hal tersebut dikarenakan, pada kondisi tertentu,
keadaan fisiologis berupa peningkatan emosi yang tidak berlebihan, disinyalir
akan mampu meningkatkan efikasi diri individu.
Merujuk pada sumber efikasi diri yang dikemukakan Bandura, dapat
diasumsikan bahwa, keempat sumber efikasi diri tersebut mampu membantu
perawat meningkatkan efikasi diri yang dimiliki. Ketika perawat memiliki efikasi
44
diri tinggi, perawat diharapkan mampu mengelola burnout dengan baik, perawat
akan sanggup melakukan semua tugas tanpa melihat kesulitan yang dihadapi.
Perawat tidak akan menghindari tugas yang diberikan dan selalu yakin memiliki
jalan keluar dalam setiap kesulitan, sehingga tekanan mental yang berakibat
kelelahan emosi serta fisik dapat diminimalisir. Namun sebaliknya, jika perawat
memiliki efikasi diri rendah, maka kecenderungan stres berkepanjangan pemicu
burnout akan mudah muncul. Efikasi diri yang tinggi membantu individu
mengatasi berbagai tekanan dan hambatan serta dapat meminimalisir burnout
(Maharani, 2011).
Sebuah fakta menunjukkan, pelatihan efikasi diri berhasil meningkatkan
jumlah penganggur memperoleh pekerjaan melalui pelatihan efikasi diri (Eden &
Aviram, 1993). Hal itu membuktikan. peningkatan efikasi diri membantu individu
mengendalikan situasi menekan yang dihadapi secara lebih efektif, sehingga
performansinya meningkat setelah mengikuti pelatihan efikasi diri. Menggaris
bawahi apa yang dikatakan Eden & Aviram (1993), peneliti mencoba
mensinergikan dengan pendapat Bandura (1997), bahwa individu yang memiliki
efikasi diri tinggi mempunyai keyakinan mampu berperilaku tertentu untuk dapat
mencapai hasil yang diinginkan. Individu dengan efikasi diri tinggi akan lebih giat
dan tekun dalam berusaha maupun saat mengatasi kesulitan. Sebaliknya, individu
yang memiliki efikasi diri rendah, cenderung mengurangi usaha atau menyerah
ketika dihadapkan pada suatu permasalahan.
Jika keempat sumber efikasi diri tersebut dapat berpengaruh secara
signifikan terhadap efikasi diri perawat melalui pelatihan efikasi diri, tidak
mustahil perawat akan memiliki keyakinan yang mantap dan efikasi diri semakin
45
meningkat. Perawat akan mampu melakukan segala sesuatu untuk mencapai hasil
atau tujuan dengan mudah dan harapan terhadap hasil yang diterima cenderung
positif. Perawat akan lebih yakin dalam melakukan tugas-tugas keperawatan,
hingga pekerjaan yang dirasa sulit dan melampaui batas kemampuan tidak harus
dihindari, tetapi dapat dihadapi dengan bijak serta kemantapan hati. Hal tersebut
akan memudahkan perawat dalam membentuk tujuan dan menetapkan target yang
lebih tinggi, bahkan tidak menutup kemungkinan berimplikasi terhadap
penurunan burnout yang biasa dialami karena tuntutan pekerjaan sebagai seorang
pelayan kesehatan.
Beberapa tahapan proses dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan dan
membentuk efikasi diri melalui pelatihan sebagaimana yang dikemukakan
Bandura (1997), yaitu: proses kognitif, proses motivasi, proses afeksi dan proses
seleksi. Pengaruh efikasi diri yang kuat pada proses kognitif individu sangat
mempengaruhi tujuan pribadi individu. Semakin kuat efikasi diri, maka akan
semakin tinggi tujuan yang ditetapkan individu. Penguatan efikasi diri tersebut
berasal dari komitmen individu terhadap tujuan yang hendak dicapai. Individu
yang memiliki efikasi diri kuat akan menyiapkan langkah-langkah antisipasi jika
usaha pertama gagal dilakukan.
Pada proses motivasi, individu akan memotivasi diri sendiri dan menuntun
tindakan-tindakan yang dilakukan menggunakan pemikiran-pemikiran tentang
masa depan, sehingga individu akan membentuk kepercayaan mengenai apa yang
dapat dilakukan. Individu yang memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuan
diri akan melakukan usaha lebih besar ketika gagal menghadapi tantangan. Akan
tetapi, individu yang ragu terhadap kemampuan diri akan lebih cepat mengurangi
usaha-usaha yang dilakukan saat menghadapi kesulitan.
46
Dalam efikasi diri individu juga terdapat proses afeksi, dimana terdapat
kemampuan coping untuk mengatasi stres dan depresi yang dialami pada situasi
sulit serta menekan. Individu yang memikirkan ketidakmampuan coping dalam
diri dan memandang banyak aspek lingkungan sekitar sebagai situasi mengancam
penuh bahaya, hanya akan membesar-besarkan ancaman dan mudah merasa
khawatir terhadap sesuatu hal yang akan terjadi.
Sementara itu, proses seleksi sebagai upaya meningkatkan efikasi diri
individu melalui pelatihan akan mempengaruhi pemilihan aktivitas atau tujuan
individu. Individu cenderung menghindari situasi yang diyakini telah melampaui
batas kemampuan coping dalam dirinya, namun individu telah siap melakukan
aktivitas menantang dan memilih situasi yang dinilai mampu untuk diatasi.
Mensinyalir adanya pengaruh pelatihan efikasi diri untuk menurunkan
burnout pada perawat, peneliti mencoba mengkorelasikan dengan penelitian
eksperimen yang telah dilakukan oleh Dewi (2014) tentang Pengaruh Pelatihan
Efikasi Diri sebagai Pendidik terhadap Penurunan Burnout pada Guru di Sekolah
Inklusi. Hasil penelitian menunjukkan, adanya pengaruh pelatihan efikasi diri
sebagai pendidik terhadap penurunan burnout pada guru di sekolah inklusi,
dimana guru yang diberikan pelatihan efikasi diri sebagai pendidik memiliki
tingkat burnout lebih rendah dibandingkan guru yang tidak diberikan pelatihan
efikasi diri.
Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, terbukti bahwa
pelatihan efikasi diri cukup efektif untuk memberikan pengaruh baik pada subjek
penelitian. Pelatihan efikasi diri disinyalir mampu memberikan andil dalam
menurunkan burnout bagi subjek penelitian. Selanjutnya, peneliti akan mencoba
47
mengkaji lebih dalam tentang kebenaran hal tersebut melalui penelitian tentang
pengaruh pelatihan efikasi diri untuk menurunkan burnout pada perawat.
Gambar 2.
Alur Pelatihan Efikasi Diri Dapat Menurunkan Burnout
D. Landasan Teori
Dalam teorinya, Albert Bandura menekankan dua hal penting yang sangat
mempengaruhi perilaku manusia yaitu pembelajaran observasional (modelling)
yang lebih dikenal dengan teori pembelajaran sosial dan regulasi diri. Teori ini
Pelatihan Efikasi Diri
Pengalaman
kesuksesan
Pengalaman
individu lain
Persuasi
verbal
Keadaan
fisiologis
Efikasi diri meningkat
Proses kognitif Proses motivasi Proses afeksi Proses seleksi
Burnout rendah
Kelelahan emosi menurun
Kelelahan fisik menurun
Kelelahan mental menurun
Pencapaian diri rendah meningkat
48
menjelaskan mengenai hubungan antara tingkah laku, person atau kognitif dan
lingkungan, dimana individu berada.
Menurut teori pembelajaran sosial Bandura ini, ketiga aspek tersebut
saling mempengaruhi dalam membentuk sikap individu. Lingkungan bukan
merupakan faktor utama dalam membentuk perilaku individu, namun merupakan
faktor yang penting untuk mengarahkan dan mempengaruhi individu dalam
membentuk perilaku. Lingkungan memberikan pengarahan terhadap perilaku
individu dengan memberikan konsekuensi pada setiap perilaku yang dilakukan.
Kognitif dan persepsi yang dimiliki individu merupakan faktor yang menjadi
suatu acuan bagi individu dalam membentuk perilaku dengan kesadaran akan
konsekuensi yang diakibatkan dari perilakunya tersebut.
Dalam model ini, faktor person (kognitif) memainkan peranan sangat
penting. Faktor person (kognitif) yang ditekankan oleh Bandura adalah efikasi
diri. Bandura mendefinisikan efikasi diri sebagai sebuah keyakinan tentang
sejauhmana individu memperkirakan kemampuan dalam melaksanakan suatu
tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil. Efikasi diri juga
berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi
diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalah dan tidak akan
menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak
berhasil. Menurut Bandura, individu yang memiliki efikasi diri tinggi akan sangat
mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu, karena individu
memiliki kepercayaan penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini menurut
Bandura, akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan.
49
Efikasi diri dapat dikelola, dilatih dan dikembangkan melalui berbagai
macam intervensi, salah satunya adalah pelatihan. Pelatihan efikasi diri bertujuan
menguatkan sisi kognitif dengan cara persepsi yang pada awalnya adalah
ketidakmampuan terhadap diri sendiri menjadi yakin dan mampu untuk
mengorganisasikan dan mengambil tindakan yang dibutuhkan dalam mengatasi
setiap situasi maupun permasalahan yang dihadapi. Pelatihan dalam sesi
pengalaman akan kesuksesan bertujuan memberikan pengalaman keberhasilan
yang pernah dicapai individu pada masa lalu. Sesi pengalaman individu lain
menjadi cara bagi individu untuk belajar mengamati keberhasilan individu lain di
lingkungan sekitarnya. Sesi persuasi verbal bertujuan menguatkan keyakinan
individu bahwa individu mampu melakukan tugas yang sedang dijalani. Sesi
kondisi fisiologis dengan pemberian relaksasi bertujuan agar individu dapat
mengontrol emosi, sehingga efikasi diri dapat meningkat.
Dewi (2014) mengutarakan bahwa pelatihan efikasi diri dapat mengubah
persepsi ketidakmampuan terhadap diri sendiri menjadi yakin dan mampu untuk
mengorganisasikan dan mengambil tindakan yang dibutuhkan dalam mengatasi
setiap situasi maupun permasalahan yang dihadapi, sehingga kelelahan fisik,
kelelahan emosi, pencapaian diri yang rendah dan sikap kurang menghargai orang
lain dapat menurun.
Ketika individu memiliki efikasi diri yang tinggi, individu akan mampu
melakukan tugas untuk mencapai tujuan. Individu akan mampu meraih hal
tersebut tanpa kesulitan berarti. Individu cenderung memiliki banyak cara atau ide
ketika menghadapi kesulitan dan berupaya keluar dari masalah yang dihadapi.
Perilaku yang ditunjukkan individu menjadi lebih positif, individu merasa yakin
dan mantap dalam melaksanakan tugas, berani menghadapi tantangan maupun
50
kesulitan, terhindar dari perasaan tidak berdaya, tidak mudah menyerah oleh
keadaan, memiliki mental dan fisik yang kuat, selalu memiliki pandangan positif
dan menghargai orang lain dan mampu berprestasi dalam berbagai bidang serta
mampu mengelola tekanan-tekanan pekerjaan yang berakibat burnout. Hal
tersebut akan berefek terhadap lingkungan sekitar individu, dimana reaksi yang
ditunjukkan lingkungan secara otomatis menjadi positif, suasana kerja yang
sumpek dan mudah memancing emosi atau stres, menjadi terasa nyaman dan lebih
kondusif.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, teori pembelajaran sosial
(social learning theory) dari Bandura didasarkan pada reciprocal determinism
(determinis resiprokal atau konsep saling mempengaruhi), beyond reinforcement
(tanpa penguatan eksternal) dan self-regulation and cognition (pengaturan diri dan
kognisi).
E. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka hipotesis yang dapat diajukan
dalam penelitian ini ada 2. Hipotesis pertama adalah ada perbedaan burnout
setelah diberikan pelatihan efikasi diri pada kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol. Artinya, perawat yang diberikan pelatihan efikasi diri memiliki tingkat
burnout lebih rendah dibandingkan perawat yang tidak diberikan pelatihan efikasi
diri. Hipotesis kedua, yaitu ada perbedaan burnout pada kelompok eksperimen
sebelum dan setelah diberikan pelatihan efikasi diri. Artinya, tingkat burnout
perawat menjadi lebih rendah setelah diberikan pelatihan efikasi diri
dibandingkan sebelum diberi pelatihan efikasi diri.
51