bab ii tinjauan pustaka 2.1 penuaan 2.1.1 definisi penuaan 2.pdf3. menurut depkes ri (2009), batasan...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penuaan
2.1.1 Definisi Penuaan
Penuaan bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut
dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan
kemampuan dan fungsi tubuh baik secara fisik maupun psikologis
(Pudjiastuti, 2003).
Menurut Arya Govinda et al (2009), proses menua bukanlah
sesuatu yang terjadi hanya pada orang berusia lanjut, melainkan
suatu proses normal yang berlangsung sejak maturitas dan berakhir
dengan kematian.
Adapun batasan umur lanjut usia adalah :
1. Menurutpasal 1 ayat 2, 3, 4 UU R.I No 13 Tahun 1998,
kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang
telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.
2. Menurut World Health Organization (WHO), batasan usia
lanjut meliputi usia pertengahan (Middle Age) antara usia 45-59
tahun, usia lanjut (Elderly) usia antara 60-74 tahun, usia lanjut
tua (Old) usia antara 75-90 tahun, usia sangat tua (Very Old)
usia 90 tahun keatas.
9
3. Menurut Depkes RI (2009), batasan usia lanjut terbagi dalam
tiga kelompok yaitu masa usia lanjut awal usia antara 46 sampai
55 tahun, masa usia lanjut akhir usia antara 56 sampai 65 tahun,
masa usia lanjut usia 65 sampai keatas kelompok usia lanjut
yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita
penyakit berat, atau cacat. Di Indonesia, batasan lanjut usia
adalah 60 tahun keatas.
Mengenai batasan–batasan usia lanjut diatas maka Penulis
tertarik membahas tentang batasan usia lanjut berusia 60-74
tahun menurut World Health Organization (WHO), karena pada
usia 60 tahun proses penuaan sudah tampak dimana terjadi
gangguan pada penglihatan, pendengaran, kepadatan tulang
berkurang, menurunnya kekuatan otot, elastisitas sendi,
koordinasi, kecepatan dan waktu reaksi sehingga menyebabkan
gangguan keseimbangan statis.
2.1.2 Proses Penuaan
Menurut Boedhi Darmojo R (1999), beberapa istilah yang
digunakan dalam proses menua adalah : gerontology, geriatri, dan
longevity.
Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari proses menua dan
semua aspek sosiologi, biologi,dan sejarah yang terkait dengan
penuaan. Geriatri merujuk pada pemberian pelayanan kesehatan
10
untuk usia lanjut. Sementara longevity merujuk pada lama hidup
seseorang individu (Boedhi Darmojo R, 1999).
Menurut Siti Setiati et al (2009), membicarakan fisiologis
proses penuaan tidak dapat dilepaskan dengan pengenalan konsep
homeostenosis oleh Walter Cannon (1940).
Menurut Siti Setiati et al (2009), terdapat beberapa istilah yang
digunakan oleh gerontologist ketika membicarakan proses menua:
1. Aging (bertambahnya umur) : menunjukkan efek waktu atau
suatu proses perubahan yang terjadi secara spontan.
2. Senescensce (menjadi tua) : hilangnya kemampuan sel untuk
membelah dan berkembang (dan seiring waktu akan
menyebabkan kematian).
3. Homeostenosis : penyempitan atau berkurangnya cadangan
homeosttais yang terjadi selama penuaan dan setiap sistem
organ.
Menjadi tua atau aging adalah suatu proses menghilangnya
kemampuan jaringan secara perlahan-lahan untuk memperbaiki atau
mengganti diri dan mempertahankan struktur, serta fungsi
normalnya. Akibatnya tubuh tidak dapat bertahan terhadap
kerusakan atau memperbaiki kerusakan tersebut (Cunnningham,
2003).
Proses penuaan ini akan terjadi pada seluruh organ tubuh
meliputi organ dalam tubuh seperti : jantung, paru-paru, ginjal,
11
indung telur, otak, dan lain-lain,juga organ terluar dan terluas tubuh,
yaitu kulit (Cunnningham, 2003 ; Yaar & Gilchrest, 2007).
2.1.3 Penurunan Sistem Tubuh Pada Proses Penuaan
Penurunan yang terjadi pada sistem tubuh pada proses penuaan yang
meliputi :
1. SistemSensoris
A. Sistem Visual
Sistem penglihatan erat kaitannya dengan presbiopi (old
sight), lensa kehilangan elastisitas dan kaku, otot penyangga
lensa lemah dan kehilangan tonus sehingga ketajaman
penglihatan dan daya akomodasi berkurang (Martono,2009).
B. SistemVestibular
Gangguan pendengaran disebabkan keran koagulasi cairan
yang terjadi selama otitis media. Hilangnya sel-sel rambut
koklear, reseptor sensoris primer pendengaran. Penyebab lain
sindrom meniere dengan gejala seperti mual, muntah, vertigo,
telinga terasa penuh, tintinus, dan hilangnya daya pendengaran
dan aquostikneoroma (Pudjiastuti, 2003).
2. Sistem Muskuloskeletal
A. Jaringan (kolagen dan elastin).
Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit,
tendon, tulang, kartilago, dan jaringan pengikat mengalami
perubahan menjadi bentangan cross lingking yang tidak teratur.
12
Penurunan hubungan tarikan linier pada jaringan kolagen
merupakan salah satu alasan penurunan mobilitas pada jaringan
tubuh. Setelah kolagen mencapai puncak fungsi dan daya
mekaniknya karena penuaan, tensile strength dan kekakuan dari
kolagen mulai menurun. Kolagen dan elastin yang merupakan
jaringan ikat pada jaringan penghubung mengalami perubahan
kualitatif dan kuantitatif sesuai penuaan. Perubahan kolagen
penyebab penurunan fleksibilitas pada usia lanjut sehingga
menimbulkan dampak berupa nyeri, sehingga penurunan
kemampuan meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak
dari duduk keberdiri, jongkok dan berjalan berakibat dalam
melakukan aktifitas harian, sangat efisien jika dari awal ada
pelatihan untuk menjaga mobilitas (Pudjiastuti, 2003).
B. Kartilago
Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan
mengalami granulasi sehingga permukaan sendi menjadi rata.
Kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan
degenerasi menjadi cenderung ke arah progresif. Proteoglikan
merupakan komponen dasar matriks kartilago berkurang dan
hilang secara bertahap. Setelah matrik mengalami deteriorasi,
jaringan fibril pada kolagen kehilangan kekuatan, dan akhirnya
kartilago cenderung mengalami fibrilasi. Kartilago mengalami
kalsifikasi dibeberapa tempat, seperti pada tulang rusuk dan
13
tiroid. Fungsi kartilago menjadi tidak efektif, tidak hanya
sebagai peredam kejut, tetapi juga sebagai permukaan sendi
yang berpelumas dan berakibat rentan pada gesekan. Perubahan
ini sering terjadi besar penumpu berat badan, sehingga sendi
sering mengalami peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan
gerak, kelemahan pada otot, gangguan keseimbangan, gangguan
koordinasi sehingga berakibat pada daily activity (Nitz, 2004).
C. Tulang
Berkurangnya kepadatan tulang, trabekula longitudinal
menjadi tipis, dan trabekula transversal terabsorsi kembali.
Menjadikan jumlah spongiosa berkurang dan tulang kompakta
menjadi tipis. Penurunan esterogen menjadi osteoklas tidak
terkendali, penurunan penyerapan di kalsium, usus, peningkatan
kanal haversi sehingga tulang keropos. Berkurangnya jaringan
dan ukuran tulang secara keseluruhan menyebabkan kekuatan
dan kekakuan tulang menurun. Sehingga sering terjadi nyeri,
deformitas, dan fraktur (Martono,2009).
Dengan bertambahnya usia, proses perusakan dan
pembentukan tulang melambat terutama pada saat
pembentukan. Hal ini dikarenakan menurunnnya aktifitas tubuh
mengakibatkan menurunnya hormon estrogen pada wanita dan
beberapa hormon lainnya (parahormon dan kalsitonin) trabekula
14
tulang menjadi lebih berongga dan memjadi mudah patah tulang
akibat benturan ringan atau spontan (Martono,2009).
D. Otot
Otot-otot mengalami atrofi karena selain berkurangnya
aktifitas juga akibat gangguan metabolik atau denervasi saraf,
hal ini dapat diatasi dengan memperbaiki pola hidup (olahraga
atau aktifitas yang terprogram). Salah satu parameter fisiologi
yang terpengaruh oleh umur dan latihan fisik adalah kekuatan
otot. Kekuatan otot naik saat umur 20 tahun dan maksimalnya
umur 55 tahun. semakin bertambah usia, besar otot dan
kekuatan otot akan berkurang. Berkurang nya besar otot
disebabkan berkurang jumlah serta ukuran serabut otot,
peningkatan jaringan penghubung. Dampak perubahan
morfologis otot adalah penurunan kekuatan otot, penurunan
fleksibilitas, peningkatan waktu reaksi dan penurunan
fungsional otot (Nitz, 2004).
E. Sendi
Jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament, fasia
penurunan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi, dan klasifikasi
pada kartilago dan kapsul sendi. Signovial sendi terjadi
perubahanan berupa tidak ratanya permukaan sendi, fibrilasi
pembentukan celah dan lekukan dipermukaan tulang rawan,
erosi tulang rawan hialin menyebabkan ebumasi tulang dan bisa
15
terjadi pembentukan kista dirongga subkondral dan sumsum
tulang. Sehingga sendi mengalami kehilangan fleksibilitasnya
yang menyebabkan terjadinya penurunan luas gerak sendi
(Pudjiastuti, 2003).
3. Sistem Somatosensoris
Pada usia lanjut mengalami penurunan koordinasi dan
kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Penuaan
menyebabkan penurunan persepsisensoris dan respon motorik pada
sistem saraf pusat dan penurunan reseptor proprioseptif. Sistem
saraf pusat pada usia lanjut mengalami morfologis dan biokimia,
karena berkurangnya kandungan protein dan lemak pada otak
sehingga otak jadi ringan. Akson, dendrit dan badan sel saraf
banyak mengalami kematian, sedangkan yang hidup mengalami
perubahan. Dendrit berfungsi untuk komunikasi antar sel saraf
mengalami perubahan menjadi lebih tipis dan kehilangan kontak
antar saraf. Daya hantar saraf mengalami penurunan 10% sehingga
gerakan menjadi lamban. Akson pada medulaspinalis menurun
37%. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi kognitif, koordinasi,
kekuatan otot, refleks, proprioseptif keseimbangan, perubahan
postur dan peningkatan reaksi (Martono,2009).
16
2.2 Keseimbangan
2.2.1 Defenisi Keseimbangan
Seperti yang dikemukakan oleh Harsono (1988, hal :224)
bahwa “Keseimbangan berhubungan dengan koordinasi diri, dan
dalam beberapa keterampilan, juga dengan agilitas”. Dengan
demikian untuk menjaga keseimbangan dalam melakukan kegiatan
jasmani, maka gerakan-gerakan yang dilakukan perlu dikoordinasi-
kan dengan baik sebagai usaha untuk mengontrol semua gerakan.
Menurut Muchammad Sajoto (1988, hal:58) tentang
kemampuan menguasai letak titik berat badan yang lebih dikenal
dengan istilah keseimbangan bahwa “Keseimbangan atau balance
adalah kemampuan seseorang mengendalikan organ-organ syaraf
ototnya selama melakukan gerakan-gerakan yang cepat dengan
perubahan letak titik berat badan yang secara pula baik dalam
keadaan statis maupun lebih-lebih dalam keadaan gerak dinamis”.
Lebih lanjut Harsono (1988, hal :223) mengemukakan bahwa
keseimbangan atau balance adalah “Kemampuan untuk
mempertahankan sistem neuromuscular kita dalam kondisi statis,
atau mengontrol sistem neuromuscular tersebut dalam suatu posisi
atau sikap yang efisien selagi kita bergerak”.
Menurut M. Irfan (2010), dalam bukunya Fisioterapi Pada Insan
Stroke, keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan
kesetimbangan tubuh ketika ditempatkan pada berbagai posisi.
17
Menurut Ann Thomson (tanpa tahun), keseimbangan adalah
kemampuan untuk mempertahankan tubuh dalam posisi
kesetimbangan dalam keadaan statik atau dinamik, serta
menggunakan aktifitas otot minimal.
Menurut O’ Sullivan (1995), keseimbangan adalah kemampuan
untuk mempertahankan pusat gravitasi pada bidang tumpu terutama
ketika saat posisi tegak.
Menurut Depkes (1996), keseimbangan juga merupakan
kemampuan untuk mempertahankan sikap tubuh yang tepat pada
saat melakukan gerak.
2.2.2 Klasifikasi Keseimbangan
Adapun klasifikasi keseimbangan terbagi dua jenis, menurut
Muchamad Sajoto (1988, hal :54) yaitu:
1. Keseimbangan Statis
Keseimbangan statis adalah kemampuan mempertahankan sikap
tubuh dalam kondisi diam atau tetap. Misalnya : duduk, berdiri,
berdiri satu kaki, atau berdiri diatas papan keseimbangan.
Keseimbangan statis dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
sistem sensoris dan muskuloskeletal. Kemampuan tubuh untuk
mempertahankan keseimbangan dan kestabilan postur pada saat
kita berdiri tidak dapat dipisahkan dari faktor lingkungan dan
sistem regulasi yang berperan dalam pembentukan
keseimbangan. Tujuan dari tubuh mempertahankan
18
keseimbangan adalah untuk menyanggah tubuh melawan
gravitasi dan faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat
massa tubuh agar seimbang dengan bidang tumpu, serta
menstabilisasi bagian tubuh ketika bagian tubuh lain bergerak.
2. Keseimbangan Dinamis
Keseimbangan dinamis adalah kemampuan mempertahankan
tubuh dalam kondisi bergerak dari suatu posisi ke posisi yang
lain, misalnya : berjalan, dan berlari.
2.2.3 Komponen-komponen Pengontrol Keseimbangan
Komponen-komponen pengontrol keseimbangan menurut
Chandler (2000), adalah :
2. Sistem Informasi Sensoris
Sistem informasi sensoris meliputi visual, vestibular, dan
somatosensoris.
A. Visual
Visual memegang peran penting dalam sistem
sensoris. Cratty & Martin (1969), menyatakan bahwa
keseimbangan akan terus berkembang sesuai umur, mata
akan membantu agar tetap fokus pada titik utama untuk
mempertahankan keseimbangan, dan sebagai monitor tubuh
selama melakukan gerak statik atau dinamik. Penglihatan
juga merupakan sumber utama informasi tentang
lingkungan dan tempat kita berada, penglihatan memegang
19
peran penting untuk mengidentifikasi dan mengatur jarak
gerak sesuai lingkungan tempat kita berada. Penglihatan
muncul ketika mata menerima sinar yang berasal dari obyek
sesuai jarak pandang.
Dengan informasi visual, maka tubuh dapat
menyesuaikan atau bereaksi terhadap perubahan bidang
pada lingkungan aktivitas sehingga memberikan kerja otot
yang sinergis untuk mempertahankan keseimbangan tubuh
(Irfan, 2010).
B. Sistem Vestibular
Komponen vestibular merupakan sistem sensoris
yang berfungsi penting dalam keseimbangan, kontrol
kepala, dan gerak bola mata. Reseptor sensoris vestibular
berada di dalam telinga. Reseptor pada sistem vestibular
meliputi kanalissemisirkularis, utrikulus, serta sakulus.
Reseptor dari sistem sensoris ini disebut dengan sistem
labyrinthine. Sistem labyrinthine mendeteksi perubahan
posisi kepala dan percepatan perubahan sudut. Melalui
refleks vestibuleoccular, mereka mengontrol gerak mata,
terutama ketika melihat objek yang bergerak. Mereka
meneruskan pesan melalui saraf kranialis VIII ke nukleus
vestibular yang berlokasi di batang otak. Beberapa stimulus
20
tidak menuju nukleus vestibular tetapi ke serebelum,
formatioretikularis, thalamus dan korteks serebri (Canan,t.t)
Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari
reseptor labyrinth, retikular formasi, dan serebelum.
Keluaran (output) dari nucleus vestibular menuju ke motor
neuron melalui medulaspinalis, terutama ke motor neuron
yang menginervasi otot-otot proksimal, kumparan otot pada
leher dan otot-otot punggung (otot-otot postural). Sistem
vestibular bereaksi sangat cepat sehingga membantu
mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol
otot-otot postural (Canan,t.t)
C. Somatosensoris
Sistem somatosensoris terdiri dari taktil atau
proprioseptif serta persepsi-kognitif. Informasi
proprioseptif disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis
medulla spinalis. Sebagian besar masukan (input)
proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula yang
menuju ke korteks serebri melalui lemniskusmedialis dan
thalamus (Irfan, 2010).
Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam
ruang sebagian bergantung pada impuls yang datang dari
alat indra dalam dan sekitar sendi. Alat indra tersebut
adalah ujung-ujung saraf yang beradaptasi lambat di
21
sinovial dan ligamentum. Impuls dari alat indra ini dari
reseptor raba di kulit dan jaringan lain, serta otot di proses
di korteks menjadi kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang
(Irfan,2010).
3. ResponOtot-Otot Postural yang Sinergis (Postural Muscles
Response Synergies).
Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada
waktu dan jarak dari aktivitas kelompok otot yang diperlukan
untuk mempertahankan keseimbangan dan kontrol postur.
Beberapa kelompok otot baik pada ekstremitas atas maupun
bawah berfungsi mempertahankan postur saat berdiri tegak serta
mengatur keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan.
Keseimbangan pada tubuh dalam berbagai posisi hanya akan
dimungkinkan jika respon dari otot-otot postural bekerja secara
sinergi sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik tumpu, gaya
gravitasi, dan alignment tubuh (Nugroho, 2011).
Kerja otot yang sinergi berarti bahwa adanya respon yang
tepat (kecepatan dan kekuatan) suatu otot terhadap otot yang
lainnya dalam melakukan fungsi gerak tertentu (Nugroho, 2011)
4. KekuatanOtot (Muscle Strength)
Kekuatan otot umumnya diperlukan dalam melakukan
aktivitas. Semua gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari
adanya peningkatan tegangan otot sebagai respon motorik.
22
Kekuatan otot dapat digambarkan sebagai kemampuan
otot menahan beban baik berupa beban eksternal (eksternal
force) maupun beban internal (internal force). Kekuatan otot
sangat berhubungan dengan sistem neuromuskuler yaitu
seberapa besar kemampuan sistem saraf mengaktifasi otot untuk
melakukan kontraksi. Sehingga semakin banyak serabut otot
yang teraktifasi, maka semakin besar pula kekuatan yang
dihasilkan otot tersebut (Nugroho, 2011).
Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat
untuk mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya gaya
dari luar. Kekuatan otot tersebut berhubungan langsung dengan
kemampuan otot untuk melawan gaya gravitasi serta beban
eksternal lainnya yang secara terus menerus mempengaruhi
posisi tubuh (Nugroho, 2011).
5. Adaptive Systems
Kemampuan adaptasi akan memodifikasi input sensoris
dan keluaran motorik (output) ketika terjadi perubahan tempat
sesuai dengan karakteristik lingkungan (Canan, t.t).
6. Lingkup Gerak Sendi (Joint Range of Motion)
Kemampuan sendi untuk membantu gerak tubuh dan
mengarahkan gerakan terutama saat gerakan yang memerlukan
keseimbangan yang tinggi (Nugroho, 2011). Pada saat
23
melakukan gerakan interaksi komponen-komponen pengontrol
keseimbangan dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 2.1 Komponen-komponen Keseimbangan (Chandler,2000).
2.2.4 Faktor-Faktor YangMempengaruhi Keseimbangan
Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan menurut
Suhartono (2005), adalah :
1. Pusat Gravitasi (Center of Gravity – COG)
Pusat gravitasi terdapat pada semua objek, pada benda,
pusat gravitasi terletak tepat di tengah benda tersebut. Pusat
gravitasi adalah titik utama pada tubuh yang akan
mendistribusikan massa tubuh secara merata. Bila tubuh selalu
24
ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang.
Pada manusia, pusat gravitasi berpindah sesuai dengan arah atau
perubahan berat. Pusat gravitasi manusia ketika berdiri tegak
adalah tepat di atas pinggang diantara depan dan belakang
vertebra sakrum kedua. Derajat stabilitas tubuh dipengaruhi oleh
empat faktor, yaitu : ketinggian dari titik pusat gravitasi dengan
bidang tumpu, ukuran bidang tumpu, lokasi garis gravitasi
dengan bidang tumpu, serta berat badan (Nugroho, 2011).
2. Garis Gravitasi (Line of Gravity – LOG)
Garis gravitasi merupakan garis imajiner yang berada
vertikal melalui pusat gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan
antara garis gravitasi, pusat gravitasi dengan bidang tumpu
adalah menentukan derajat stabilitas tubuh (Piscopo dan Balley,
1981). Hubungan garis gravitasi dan posisi tubuh dapat dilihat
pada gambar dibawah ini :
25
Gambar 2.2 Garis Gravitasi dan Posisi Tubuh (Dhaenkpedro, 2009).
3. BidangTumpu (Base of Support – BOS)
Bidang tumpu merupakan bagian dari tubuh yang
berhubungan dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi
tepat berada di bidang tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang.
Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area bidang tumpu.
Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas.
Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding
berdiri dengan satu kaki. Semakin dekat bidang tumpu dengan
26
pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi. Posisi tubuh
ketika berdiri dapat dilihat kesimetrisannya dengan kaki selebar
sendi pinggul, lengan di sisi tubuh, dan mata menatap ke depan.
Walaupun posisi ini dapat dikatakan sebagai posisi yang paling
nyaman, tetapi tidak dapat bertahan lama, karena seseorang
akan segera berganti posisi untuk mencegah kelelahan. Pada
posisi berdiri seimbang, susunan saraf pusat berfungsi untuk
menjaga pusat massa tubuh (center of body mass) dalam
keadaan stabil dengan batas bidang tumpu tidak berubah kecuali
tubuh membentuk batas bidang tumpu lain, misalnya :
melangkah (Piscopo dan Balley, 1981). Hubungan pusat
gravitasi dengan luas bidang tumpu dalam berbagai posisi yang
mempengaruhi stabilitas tubuh dapat dilihat pada gambar
dibawah ini :
27
Gambar 2.3 Bidang Tumpu (Dhaenkpedro, 2009).
4. Kecepatan Reaksi
Kecepatan reaksi adalah waktu yang diperlukan untuk
memberikan respon kinetik setelah menerima suatu stimulus
atau rangsangan, karena melalui stimulus reaksi tersebut
mendapat sumber dari : visual, vestibular, rabaan maupun
gabungan antara pendengaran dan rabaan (Wahjoeadi, 2000).
5. Koordinasi Neuromuskular
Koordinasi neuromuskular merupakan kemampuan untuk
mengintegrasi indera (visual, auditori, dan proprioceptive untuk
mengetahui jarak pada posisi tubuh) dengan fungsi motorik
untuk menghasilkan akurasi dan kemampuan gerak (Piscopo
dan Balley, 1981).
28
2.2.5 Resiko Jatuh Pada Usia Lanjut
Menurut Kane (1994), jika keseimbangan postural usia lanjut
tidak dikontrol, maka akan dapat meningkatkan resiko jatuh pada
usia lanjut. Gangguan keseimbangan akan mengakibatkan resiko
jatuh pada usia lanjut (Siburian, 2006). Jatuh merupakan masalah
fisik yang sering dialami oleh usia lanjut akibat proses penuaan
(Pudjiastuti, 2003). Jatuh dapat mengakibatkan nyeri, terkilir, patah
tulang, kelumpuhan, bahkankematian. Hal inimenimbulkan rasa
takut dan hilangnya rasa percaya diri sehingga usia lanjut membatasi
aktivitasnya sehari-hari yang menyebabkan menurunnya kualitas
hidup (quality of life) pada usia lanjut yang mengalaminya
(Stockslager & Schaeffer, 2008). Penurunan kekuatan otot
ekstrimitas bawah dapat mengakibatkan kelambanan gerak, langkah
pendek, kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan lebih gampang
goyah, susah atau terlambat mengantisipasi bila terjadi gangguan
seperti terpeleset dan tersandung. Beberapa indikator ini dapat
meningkatkan risiko jatuh pada usia lanjut (Darmojo, 2009).
2.3 Latihan Jalan Tandem
2.3.1 Sejarah dan Defenisi Jalan Tandem
Berdasarkan sejarah jalan tandem ditemukan oleh ahli
neorologis Jerman bernama Morist Heinrich Romberg (1795-1873).
Latihan Jalan Tandem merupakan suatu tes dan juga latihan
yang dilakukan dengan cara berjalan menentukan garis lurus dalam
29
posisi tumit kaki menyentuh jari kaki yang lainnya sejauh 3-6 meter
(Batson et al., 2009). Latihan ini dapatmeningkatkan keseimbangan
postural bagian lateral, yang berperan dalam mengurangi resiko
jatuh pada usia lanjut. Latihan ini bertujuan untuk melatih sistem
proprioseptif yaitu untuk melatih sikap atau posisi tubuh,
mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh.
Merupakan salah satu metode untuk menumbuhkan kebiasaan dalam
mengontrol postur tubuh langkah demi langkah yang dilakukan
dengan bantuan kognisi dan koordinasi otot trunk, lumbal spine,
pelvic, hip, otot-otot perut hingga ankle (Batson et al., 2009).
Menurut Batson et al (2009) latihan jalan tandem ada dua
bentuk latihan yaitu latihan jalan tandem maju dan latihan jalan
tandem mundur.
Latihan jalan tandem biasanya digunakan untuk tes
koordinasi, atau biasanya dilakukan pada tes neorologis dan juga
digunakan pada tes untuk pengemudi mabuk. Hal ini berdasarkan
beberapa penelitian bahwa setidaknya membutuhkan dua atau tiga
indra dalam menjaga keseimbangan berdiri, dan berjalan yaitu
proprioseptif, vestibular, dan visual. Menjaga keseimbangan dalam
posisi dinamis bergantung pada sensory pathways yang dilakukan
oleh corticospinal (pyramidal) tract dan medial lateral vestibular
tract. Sensori motor intergration centre yang dilakukan oleh
cerebellum dan dorsal collum medial lemniskus tract.
30
Menurut Batson et al (2009) gangguan latihan jalan tandem
dapat terjadi pada kondisi ataksia sensorik. Hal ini dikarenakan
kekurangan :
1. Vitamin B12 (cobalamin).
2. Kondisi yang mengganggu collum dorsalis spinal cord,
contohnya tabesdorsalis (neurosyphilis).
3. Kondisi yang mengganggu saraf saraf sensoris (sensori
pheripheralneorophaty), contohnya poly radiculoneuro-
phatydemielinasi inflamasi kronis (CIDP).
Latihan Jalan Tandem adalah bisa dilakukan pada gangguan
keseimbangan pada kasus gangguan keseimbangan karena usia,
fraktur extremitas inferior, dislokasi extremitas inferior, HNP, LBP,
stroke, vertigo.
Latihan jalan Tandem bukanlah untuk latihan fungsi
cerebellum. Seseorang dengan kondisi ataksia cebellar tidak mampu
menjaga keseimbangan bahkan dengan kondisi mata terbuka, bahkan
ketika langkah pertamanya. Maka jalan tandem bertujuan untuk
systemproprioceptive pathways function (Batson et al., 2009).
Menurut Miriam E. Nelson, PhD. Ada tiga tingkat neraca
dalam pelatihan jalan tandem, diantaranya :
31
1. Tingkat satu : menggunakan satu tangan untuk menyeimbangkan
diri pada saatmelakukan latihan jalan tandem.
2. Tingkat dua : menggunakan kedua tangan untuk menyeimbang-
kan diri pada saat kehilangan keseimbangan pada
saat latihan jalan tandem.
3. Tingkat tiga : kondisi mata tertutup dan tidak menggunakan
tangan kecuali pada saat kehilangan keseimbangan
pada waktu latihan jalan tandem.
Analisa jalan tandem dilihat dari gerakan kaki dan dimana
letak tekanan pada area telapak kaki dan cara bergerak maju. Dalam
gangguan cerebellar atau kelemahan vestibular dapat menghasilkan
gerakan yang condong kesisi yang terkena. Gerakan-gerakan
korektif kecil merupakan hal yang normal, itu menunjukkan bahwa
seseorang dapat merasakan input proprioseptif yang diterima.
Gerakan bergoyang juga menunjukkan kesadaran kedudukannya
dalam suatu tempat (Batson et al., 2009).
Keuntungan Latihan Jalan Tandem adalah Latihan Jalan
Tandem merupakan salah satu dari latihan balance exercise melatih
sikap tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan
tubuh dan meningkatkan kekuatan otot extrmitas inferior.
32
Sedangkan kekurangan Latihan Jalan Tandem adalah
gangguan cerebellar atau kelemahan vestibular dapat menghasilkan
penyimpangan berjalan ke sisi yang lemah. Individu dengan
gangguan vestibular akut atau kronis bisanya gagal tes ini.
Latihan Jalan Tandem sangat spesifik dan sering non
localizing. Kebanyakan ahli kesehatan merasa bahwa jatuh ke satu
sisi tidak selalu menunjukkan sisi lesi. Beberapa individu yang sehat
mungkin juga mengalami kesulitan dalam melakukan latihan jalan
tandem, sehingga untuk menentukan adanya gangguan vestibular
dibutuhkan tes tambahan yang lebih spesifik misalnya romberg test
dan lain- lain (Batson et al., 2009).
2.3.2 Tujuan Latihan Jalan Tandem
Jalan tandem merupakan salah satu latihan yang bertujuan
melatih sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan,
koordinasi otot dan gerakan tubuh. Latihan jalan tandem digunakan
pula untuk melatih parameter yang terkait dengan keseimbangan
individu, kontrol mutlak atas mobilitas dan ketepatan mobilitas
(Batson et al., 2009).
Selain digunakan sebagai latihan, jalan tandem juga
digunakan sebagai tes dalam membantu diagnosa pada ataksia
terutama ataksia trunkal yang disebabkan oleh kerusakan
vermisserebelar atau jaringan yang terkait, karena penderita
33
gangguan ini memiliki pola jalan yang goyah dan memiliki basis
yang lebar (Batson et al., 2009).
Jalan tandem juga digunakan sebagai tes untuk menentukan
kemampuan individu untuk mengkoordinasikan gerakan motoriknya.
Individu dengan masalah koordinasi gerak motoriknya tidak akan
lulus dalam tes ini (Batson et al., 2009).
2.3.3 Teknik Pelaksanaan Latihan Jalan Tandem
Tehnik Pelaksanaan Latihan Jalan Tandem menurut Batson
et al., 2009 adalah :
1. Jalan Tandem Maju
Subjek diminta untuk berjalan maju pada jalur (satu garis
lurus) dengan menempatkan kaki kanan menyentuh tumit kaki
kiridan berjalan sejauh 3-6 meter. Lakukan sebanyak10 kali
kemudian istirahat.
2. Jalan Tandem Mundur
Subjek diminta untuk berjalan mundur pada jalur (satu
garis lurus) dengan menempatkan kaki kanan kebelakang dengan
ujung jari-jari menyentuh tumit kaki kiri dan berjalan sejauh 3-6
meter. Lakukan sebanyak 10 kali kemudian istirahat.
Latihan Jalan Tandem dapat dilakukan dengan mata terbuka
dan tertutup. Latihan Jalan Tandem yang dilakukan dengan mata
yang terbuka akan lebih mudah untuk dilakukan karena adanya
korelasi visual terhadap vestibular dan propriseptif. Sedangkan
34
Jalan Tandem yang dilakukan dengan mata tertutup dilakukan
untuk menguji fungsi vestibular. Latihan dan tes ini akan
berhasil dilakukan jika input dari cerebelar dan proprioseptif
normal.
Dosis yang dianjurkan untuk dapat menghasilkan
keseimbangan yang adekuat adalah 4-8 minggu (Batson et al.,
2009).
2.3.4 Mekanisme Latihan Jalan Tandem Meningkatkan
Keseimbangan Statis Pada Usia Lanjut.
Latihan proprioseptif akan menginformasikan presisi gerak
dan refleks muscular yang berkontribusi pada pembentukan stabilitas
dinamis sendi. Tujuan latihan proprioseptif adalah untuk melatih
kembali jaras afferent untuk mengembangkan sensasi gerakan sendi
dan aktivitasi mototrik pada sistem saraf pusat. Latihan proprioseptif
sangat penting untuk dilakukan karena umpan balik proprioseptif
akan meningkatkan dan mempertahankan stabilitas fungsional sendi
(Batson et al., 2009).
Latihan proprioseptif harus memakai teknik yang
membangkitkan aktivasi otot pronator dan supinator kaki dalam
melatih koordinasi, proprioseptif dan otot stabilisator pergelangan
kaki. Aktivasi ko-kontraksi ini diupayakan terjadi secara semi
otomatis, kerena sejatinya aktivitas stabilisasi merupakan sistem
yang berlangsung pada central pattern generator (CPG). Pada
35
perkembangan manusia fungsi CPG yang benar menjadi bergantung
pada integrasi saraf yang lebih tinggi, yaitu pada sistem saraf pusat,
pada cortex cerebral. Aktivasi otot sekuensi temporal melibatkan
CPG spinal dan integrasi sirkuit neural dengan input pusat otak yang
lebih tinggi. Untuk mencapai gerakan semi otomatis yang dimaksud
maka latihan proprioseptif juga melibatkan gerakan yang lambat
dalam setiap perpindahan gerak dan posisi untuk memberikan
kesempatan pada nuclei subcortal dan basal ganglia untuk
menganalisa sensasi posisi yang mengirimkan umpan balik berupa
kontraksi otot yang diharapkan. Latihan inilah yang kemudian akan
diadaptasi pada CPG sebagai stabilitas fungsional yang baru (Batson
et al., 2009).
Latihan proprioseptif ini bermanfaat meningkatkan
keseimbangan pada usia lanjut dikarenakan menurunnya fungsi
motorik pada sistem saraf pusat, sehingga dengan aktivasi motorik
tersebut meningkatkan respon proprioseptif yang dapat
meningkatkan stabilitas sendi dan meningkatkan keseimbangan pada
usia lanjut. Latihan proprioseptif yang hanya menghasilkan neural
adaptasi dapat dilatih selama 2-4 minggu, namun proprioseptif yang
adekuat dihasilkan dengan latihan yang dilakukan selama 4-8
minggu, karena pada waktu tersebut telah terjadi adaptasi neural dan
adaptasi serabut otot. Keseimbangan yang adekuat dicapai ketika
proprioseptif yang didukung oleh rekruitmen motor unit yang
36
meningkatkan dan adanya hipertropi (adaptasi serabut otot) yang
membantu dalam stabilitas sendi dan kekuatan otot dengan dosis
yang dianjurkan untuk dapat menghasilkan keseimbangan yang
adekuat adalah 4-8 minggu (Batson et al., 2009).
2.4 Latihan Swiss Ball
2.4.1 Definisi Latihan Swiss Ball
Latihan Swiss Ball adalah sebuah bola yang sangat besar,
dipompa, dan terbuat dari karet. Latihan Swiss Ball ditemukan di
Italia pada tahun 1960 yang digunakan untuk menstabilkan otot yang
tidak stabil menjadi lebih stabil karena dengan bola yang terbuat dari
karet ini akan mengaktifkan otot yang sudah lama tidak melakukan
fungsinya menjadi teraktifitas kembali (Gaur et al., 2012).
Latihan Swiss Ball adalah suatu bentuk latihan yang
meningkatkan respon untuk menjadi seimbang dalam suatu keadaan
duduk dimana diharuskan bergerak ke kiri dan kanan ditambah
dengan kemampuan untuk mengambil atau meraih sesuatu yang
berada di posisi yang ditentukan fisioterapis. Latihan ini
menggunakan kemampuan dari otot trunk, lumbal spine, pelvic, hip,
otot-otot perut dan otot-otot kecil sepanjang spine sesuai dengan
alignment tubuh yang simetris dan menjadi lebih stabil (Browne,
2006).
Menurut jurnal fisioterapi dan okupasi terapi adalah Gaur
et al (2012), Swiss Ball atau Gym Ball atau juga disebut Ball
37
Exercise terkenal sejak beberapa dekade lalu, yang membuat bola
jenis ini menjadi salah satu benda yang digunakan dalam aktivasi
rekreasi seperti dalam gymnasium (senam), latihan rumahan dan
digunakan sebagai salah satu benda terapi dalam klinik-klinik,
tempat fitnes, pelatihan atlit dan latihan-latihan alternative seperti
yoga dan pilates. Fleksibilitas bola inimembuatnya menjadi
perangkat yang umum digunakan dalam berbagai kegiatan seperti
terapi fisik dan juga latihan, juga digunakan dalam program angkat
berat dan terapi ginekologi.
Latihan Swis Ball tidak hanya digunakan sebagai treatment
tetapi untuk mempertahankan kondisi tubuh. Latihan ini sangat
mudah dan aman dan dapat digunakan oleh semua jenjang usia, laki-
laki maupun wanita (Gaur et al., 2012).
Menurut penelitian oleh Waiss (1994) latihan Swiss Ball
dapat memperindah progresifitas sebesar 6 derajat sekitar 25 % dari
181 pasien dan peningkatan stabilitas 57 %.
Latihan Swiss Ball dapat meningkatkan keseimbangan statis
dan dinamis, dapat meningkatkan proprioseptif dan dapat
meningkatkan fungsional (Browne, 2006). Latihan Swiss Ball dapat
diberikan pada kasus Stroke, LBP, scoliosis, kyphosis, lardosis.
Keuntungan Latihan Swiss Ball adalah latihan yang
direkomendasikan sebagai latihan dengan intensitas rendah untuk
meningkatkan perbaikan postur, keseimbangan dan umpan balik
38
saraf. Latihan ini digunakan pada kasus klinis dan rehabilitasi.
Permukaan tidak stabil pada bola mengurangi stress disekitar
pinggul dan daerah pinggang, mengganti rangsangan proprioseptif
dengan peningkatan motor control dari otot core yang penting untuk
keseimbangan(Gaur et al., 2012).
Menurut penelitian Gaur et al (2012), dalam beberapa
penelitian manfaat ball exercise ini mempunyai validitas untuk
memperkuat dan meningkatkan aktivasi otot. Dibandingkan dengan
perangkat konvensional lainnya ball exercie dinyatakan lebih efektif
dalam meningkatkan amplitudo sinyal EMG (Electro Myo Graphic)
selama latihan otot-otot perut yang dikaitkan dengan input
proprioseptif.
Sedangkan kekurangan Latihan Swiss Ball adalah latihan ini
digunakan untuk meningkatkan stabilisasi, keseimbangan dan
merangsang perubahan proprioseptif menjadi motor control, tetapi
tidak meningkatkan kekuatan otot (Behmet, 2002). Karena itu
latihan Swiss Ball direkomendasikan sebagai latihan untuk intensitas
rendah yang memperbaiki posisi sendi, postur, keseimbangan, dan
feedback input saraf.
2.4.2 Tujuan Latihan Swiss Ball
Menurut penelitian Gaur et al (2012), dalam beberapa
penelitian manfaat ball exercise ini mempunyai validitas untuk
memperkuat dan meningkatkan aktivasi otot. Dibandingkan dengan
39
perangkat konvensional lainnya ball exercise dinyatakan lebih
efektif dalam meningkatkan amplitudo sinyal EMG (electro
myografich) selama latihan otot-otot perut yang dikaitkan dengan
input proprioseptif. Latihan Swiss Ball digunakan untuk memperkuat
semua otot trunk dari atas sampai kebawah dan kedepan atau
kebelakang, menciptakan keseimbangan yang memungkinkan
seseorang untuk berdiri tegak, tubuh pada satu alignment dengan
kaki dan tangan.
2.4.3 Tehnik Pelaksanaan Latihan Swiss Ball
Menurut penelitian Gaur et al., 2012, tehnik pelaksanaan
latihan Swiss Ball untuk meningkatkan keseimbangan statis pada
usia lanjut adalah sebagai berikut :
Subjek diminta mengambil benda diarah depan (menggunakan
tangan yang mana saja) diarah samping kanan menggunakan tangan
kanan, diarah samping kiri menggunakan tangan kiri. Masing-
masing sisi dilakukan sebanyak 10 repetisi. Dosis yang dianjurkan
untuk dapat menghasilkan keseimbangan yang adekuat adalah 4-8
minggu (Gaur et al., 2012).
2.4.4 Mekanisme Latihan Swiss Ball terhadap Keseimbangan Statis
Pada Usia Lanjut
Latihan menggunakan Swiss Ball ini merupakan suatu bentuk
latihan yang meningkatkan respon untuk menjadi seimbang dalam
suatu keadaan duduk dimana diharuskan bergerak kekiri dan
40
kekanan ditambah dengan kemampuan untuk mengambil atau
meraih sesuatu yang berada diposisi yang ditentukan kedepan atau
samping kiri ataupun kanan sebanyak 10 repetisi.
Latihan menggunakan Swiss Ball ini meningkatkan
proprioseptif lumbal yang berperan utama dalam menjaga postur
tubuh tetap tegak dan keseimbangan yang memadai pada orang
dewasa sehat (Gaur et al., 2012).
Latihan ini bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot-otot
core, meningkatkan proprioseptif sehingga dapat dilakukan dalam
waktu 2-4 minggu saja tanpa adanya adaptasi bentuk serabut otot,
namun keseimbangan yang adekuat didukung oleh adaptasi neural
dan adaptasi serabut otot sehingga memerlukan waktu latihan 4-8
minggu (Gaur et al., 2012).
Menurut penelitian Gaur et al (2012), dalam beberapa
penelitian manfaat ball exercise ini memperkuat dan meningkatkan
aktivasi otot. Dibandingkan dengan perangkat konvensional lainnya
latihan Swiss Ball dinyatakan lebih efektif dalam meningkatkan
aplitudo sinyal EMG (elektro myo graphic) selama latihan otot-otot
perut yang dikaitkan dengan input proprioseptif.
2.5 TUGT (Time Up and Go Test)
TUGT (Time Up and Go Test) merupakan salah satu alat ukur pada
gangguan keseimbangan.
41
Pelaksanaannya adalah subjek berjalan sesuai dengan kemampuannya
menempuh jarak 3 meter menuju ke dinding, kemudian berbalik tanpa
menyentuh dinding dan berjalan kembali menuju kursi dan kemudian duduk
kembali bersandar.
Waktu dihitung sejak aba-aba “mulai” hingga subjek duduk bersandar
kembali terhitung 10 detik sampai 3 menit. Nilai Rerata pada TUGT dapat
dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 2.1 Nilai Normal Time Up and Go Test
Umur Jenis Kelamin Nilai rata-rata
(detik)
Nilai Normal
(detik)
60-69 Laki-laki 8 4-12
60-69 Perempuan 8 4-12
70-79 Laki-laki 9 5-13
70-79 Perempuan 9 5-15
80-89 Laki-laki 10 8-12
80-89 Perempuan 11 5-17
Sumber : Nilai Normal Time Up and Go Test (Jacobs & Fox, 2008)
Jika skor < 14 detik; 87% tidak ada resiko tinggi untuk jatuh
Jika skor ≥ 14 detik; 87% resiko tinggi untuk jatuh
Subjektidak diperbolehkan mencoba atau berlatih lebih dulu,
stopwatch mulai menghitung setelah pemberian aba-aba mulai dan berhenti
menghitung saat subyek kembali pada posisi awal atau duduk. Bila kurang
dari 10 detik, maka subjek dikatakan normal. Bila kurang dari 20 detik,
maka dapat dikatakan baik. Subjek dapat berjalan sendiri tanpa
membutuhkan bantuan. Namun bila lebih dari 30 detik, maka subjek
dikatakan memiliki problem dalam berjalan dan membutuhkan bantuan saat
berjalan. Sedangkan pada subjek yang lebih lama dari 40 detik harus
42
mendapat pengawasan yang optimal karena sangat beresiko untuk jatuh
(Shumway, 2000). Nilai normal pada usia lanjut sehatumur 75 tahun, rata-
rata waktu tempuh yang dibutuhkan adalah 8,5 detik (Podsiadlo et.al.,
1991).