bab ii tinjauan pustaka 2.1 lanjut usia penuaan merupakan

27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanjut Usia Penuaan merupakan proses normal perubahan yang berhubungan dengan waktu, sudah dimulai sejak lahir dan berlanjut sepanjang hidup. Usia tua adalah fase akhir dari rentang kehidupan (Fatmah, 2010). Menurut Departemen Kesehatan RI (2010) dalam Sony (2011), menua merupakan proses alami yang dihadapi oleh setiap individu dengan adanya perubahan kondisi fisik, psikologis dan sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Meningkatnya usia menyebabkan seseorang menjadi rentan terserang berbagai macam penyakit. Usia lanjut adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade (Notoadmojo, 2010). Menurut WHO, lansia dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu: 1. Usia pertengahan (middle age) : usia 45-59 tahun 2. Lansia (elderly) : usia 60-74 tahun 3. Lansia tua (old) : usia 75-90 tahun 4. Usia sangat tua (very old) : usia di atas 90 tahun Lanjut usia merupakan proses alamiah dan berkesinambungan yang mengalami perubahan anatomi, fisiologis, dan biokimia pada jaringan atau organ yang pada akhirnya memengaruhi keadaan fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan. Universitas Sumatera Utara

Upload: buixuyen

Post on 12-Jan-2017

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lanjut Usia

Penuaan merupakan proses normal perubahan yang berhubungan dengan

waktu, sudah dimulai sejak lahir dan berlanjut sepanjang hidup. Usia tua adalah

fase akhir dari rentang kehidupan (Fatmah, 2010).

Menurut Departemen Kesehatan RI (2010) dalam Sony (2011), menua

merupakan proses alami yang dihadapi oleh setiap individu dengan adanya

perubahan kondisi fisik, psikologis dan sosial yang saling berinteraksi satu sama

lain. Meningkatnya usia menyebabkan seseorang menjadi rentan terserang

berbagai macam penyakit.

Usia lanjut adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses

perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade (Notoadmojo,

2010). Menurut WHO, lansia dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu:

1. Usia pertengahan (middle age) : usia 45-59 tahun

2. Lansia (elderly) : usia 60-74 tahun

3. Lansia tua (old) : usia 75-90 tahun

4. Usia sangat tua (very old) : usia di atas 90 tahun

Lanjut usia merupakan proses alamiah dan berkesinambungan yang

mengalami perubahan anatomi, fisiologis, dan biokimia pada jaringan atau organ

yang pada akhirnya memengaruhi keadaan fungsi dan kemampuan badan secara

keseluruhan.

Universitas Sumatera Utara

11

2.1.1 Perubahan-perubahan Fisiologis pada Lanjut Usia

Perubahan fisiologis yang berhubungan dengan aspek gizi pada lansia dan

pengaruhnya yaitu:

1. Semakin berkurangnya indera penciuman dan perasa umumnya membuat

lansia kurang dapat menikmati makanan dengan baik. Hal ini sering

menyebabkan kurangnya asupan pada lansia atau penggunaan bumbu seperti

kecap atau garam yang berlebihan yang tentunya dapat berdampak kurang baik

bagi kesehatan lansia.

2. Berkurangnya sekresi pada saliva dapat menimbulkan kesulitan dalam menelan

dan dapat mempercepat terjadinya proses kerusakan pada gigi.

3. Menurunnya sekresi pepsin dan enzim proteolitik mengakibatkan pencernaan

protein tidak efisien.

4. Menurunnya sekresi garam empedu menggangu proses penyerapan lemak dan

vitamin A, D, E, K.

5. Terjadinya penurunan motilitas usus, sehingga memperpanjang waktu singgah

(transit time) dalam saluran gastrointestinal yang mengakibatkan pembesaran

perut dan konstipasi.

6. Menurunnya sekresi HCl. HCl merupakan faktor ekstrinsik yang membantu

penyerapan vitamin B12 dan kalsium, serta utilisasi protein. Kekurangan HCl

dapat menyebabkan lansia mudah terkena osteoporosis, defisiensi zat besi yang

menyebabkan anemia sehingga oksigen tidak dapat diangkut dengan baik.

Universitas Sumatera Utara

12

2.1.2 Kebutuhan Gizi Lanjut Usia

1. Angka Kebutuhan Zat Gizi pada Lanjut Usia

Pertambahan usia akan menimbulkan beberapa perubahan, baik secara fisik

maupun mental. Perubahan ini akan memengaruhi kondisi seseorang dari aspek

psikologis, fisiologis dan sosioekonomi.

Menurut Departemen Kesehatan RI (2003), Angka Kecukupan Gizi (AKG)

setiap individu akan berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing pada

umumnya dihitung berdasarkan kebutuhan kalori atau energi. Hal ini tergantung

pada kondisi kesehatan, berat badan aktual, gizi untuk lansia pria dan wanita

sedikit berbeda karena adanya perbedaan dalam ukuran dan komposisi tubuh.

Berikut ini adalah Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada lansia:

a. Energi

Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 2012, secara umum

kecukupan gizi yang dianjurkan untuk lansia pada laki-laki adalah 2325 kalori dan

pada wanita adalah 1900 kalori. Kebutuhan energi pada lansia menurun

sehubungan dengan penurunan metabolisme basal (sel-sel banyak inaktif) dan

kegiatan fisik cenderung menurun.

b. Karbohidrat

Lansia dianjurkan untuk mengonsumsi karbohidrat kompleks karena

mengandung vitamin, mineral, dan serat daripada mengonsumsi karbohidrat

murni seperti gula. Lansia sebaiknya mengoonsumsi 60-65% karbohidrat sebagai

kebutuhan energi.

Universitas Sumatera Utara

13

c. Protein

Kecukupan protein sehari yang dianjurkan pada lansia adalah sekitar 0,8

gram/kg BB atau 15-25 % dari kebutuhan energi. Untuk lansia dianjurkan

memenuhi kebutuhan protein terutama dari protein nabati dan protein hewani

dengan perbandingan 2:1. Jumlah protein yang diperlukan untuk laki-laki lansia

adalah 65 gram/hari dan wanita 57 gram/hari yang terdiri 15% protein ikan, 10%

protein hewani lain dan 75% protein nabati.

d. Lemak

Kebutuhan lemak untuk lansia lebih sedikit karena akan meningkatkan

kadar kolesterol dalam darah, pada lansia dianjurkan konsumsi lemak jangan lebih

dari 15 % kebutuhan energi. Lansia juga sebaiknya mengonsumsi lemak nabati

daripada lemak hewani untuk mencegah penumpukan lemak tubuh.

e. Vitamin

Lansia dianjurkan untuk meningkatkan konsumsi makanan kaya vitamin A,

D, dan E untuk mencegah penyakit degeneratif (sebagai antioksidan). Selain itu

konsumsi makanan yang banyak mengandung vitamin B12, asam folat, vitamin

B1 dan vitamin C juga dianjurkan untuk mencegah risiko penyakit jantung.

f. Mineral

Lansia dianjurkan untuk mengonsumsi makanan sumber besi (Fe), zinc

(Zn), selenium (Se), dan kalsium (Ca) untuk mencegah anemia dan osteoporosis,

serta meningkatkan daya tahan tubuh.

Universitas Sumatera Utara

14

Lansia juga dianjurkan untuk meningkatkan asupan zat gizi mikro lainnya

seperti fosfor (P), kalium (K), natrium (Na), dan magnesium (Mg) untuk

metabolisme dalam tubuh.

g. Air dan Serat

Air sangat penting untuk melancarkan proses metabolisme tubuh dan

mengeluarkan sisa pembakaran energi dalam tubuh. Oleh karena itu dianjurkan

untuk minum air putih minimal 8 gelas per hari.

Serat juga dianjurkan untuk lansia agar buang air besar menjadi lancar,

mencegah penyerapan kolesterol dan menghindari penumpukan kolesterol dalam

tubuh.

2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebutuhan Gizi pada Lanjut Usia

Rincian faktor yang memengaruhi kebutuhan dan kecukupan zat gizi lansia

dijelaskan berikut ini (Fatmah, 2010):

a. Usia

Seiring pertambahan usia, kebutuhan zat gizi karbohidrat dan lemak

menurun, sedangkan kebutuhan protein, vitamin dan mineral meningkat karena

ketiganya berfungsi sebagai antioksidan untuk melindungi sel-sel tubuh dari

radikal bebas.

b. Jenis Kelamin

Dibandingkan lansia wanita, lansia pria lebih banyak memerlukan kalori,

protein, dan lemak. Ini disebabkan karena perbedaan tingkat aktivitas fisik.

Universitas Sumatera Utara

15

c. Faktor Lingkungan

Perubahan lingkungan sosial seperti perubahan kondisi ekonomi karena

pensiun dan kehilangan pasangan hidup dapat membuat lansia merasa terisolasi

dari kehidupan sosial dan mengalami depresi. Akibatnya, lansia kehilangan nafsu

makan yang berdampak pada penurunan status gizi lansia.

d. Penurunan Aktivitas Fisik

Semakin bertambahnya usia seseorang, maka aktivitas fisik yang

dilakukannya semakin menurun. Penurunan aktivitas fisik pada lansia harus

diimbangi dengan penurunan asupan kalori untuk mencapai keseimbangan energi

dan mencegah terjadinya obesitas.

e. Kemunduran Biologis

Memasuki usia senja, seseorang akan mengalami beberapa perubahan, baik

secara fisik maupun biologis. Hal ini akan memengaruhi proses pencernaan,

penyerapan dan penggunaan zat gizi di dalam tubuh. Oleh karena itu, asupan gizi

untuk lansia harus disesuaikan dengan perubahan kemampuan organ-organ tubuh

lansia sehingga dapat mencapai kecukupan gizi lansia yang optimal.

f. Penyakit

Usia lanjut merupakan usia saat risiko terkena penyakit degeneratif paling

besar selama daur kehidupan. Jika seorang lansia memiliki penyakit degeneratif,

maka asupan gizinya sangat penting untuk diperhatikan, serta disesuaikan dengan

ketersediaan dan kebutuhan zat gizi pada lansia.

Universitas Sumatera Utara

16

2.2 Hipertensi pada Lanjut Usia

Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan penyakit yang ditandai

dengan peningkatan tekanan darah melebihi normal yaitu tekanan sistolik di atas

140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg (WHO/ISH, 2012). Hipertensi

atau penyakit tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada pembuluh darah

yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat

sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan (Suoth, et al., 2014).

Lanjut usia membawa konsekuensi meningkatnya berbagai penyakit

kardiovaskular, infeksi dan gagal jantung. TDS (tekanan darah sistolik) meningkat

sesuai dengan peningkatan usia, akan tetapi TDD (tekanan darah diastolik)

meningkat seiring dengan TDS sampai sekitar usia 55 tahun, yang kemudian

menurun oleh karena kekakuan arteri akibat aterosklerosis.

Hipertensi Sistolik Terisolasi (HST) adalah suatu faktor risiko

kardiovaskuler penting pada lansia, dua faktor yang bisa meramalkan terjadinya

hipertensi sistolik adalah kekakuan arteri dan pantulan gelombang carotid secara

dini. Hipertensi Sistolik Terisolasi (HST) jelas berhubungan dengan kejadian

stroke, penyakit jantung koroner, gagal jantung, ukuran jantung, gagal ginjal dan

pengecilan ukuran ginjal. Tekanan darah sistolik >160 mmHg menyebabkan

kematian 2 kali lipat akibat berbagai penyebab, kematian akibat kardiovaskuler 3

kali lipat pada wanita dan meningkatkan morbiditas kardiovaskuler 2,5 kali lipat

pada kedua jenis kelamin. Bahkan HST stadium I dengan tekanan sistolik 140-

159 mmHg dan tekanan diastolik <90 mmHg menyebabkan peningkatan

morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler secara signifikan.

Universitas Sumatera Utara

17

2.2.1 Epidemiologi Hipertensi

Penyakit hipertensi telah menjadi masalah utama dalam kesehatan

masyarakat yang ada di Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia

(Ardiansyah, 2012). Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah hasil Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) Balitbangkes tahun 2013, prevalensi hipertensi di

Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada umur ≥18 tahun sebesar 25,8

persen dengan tertinggi di Bangka Belitung (30,9%).

Diperkirakan sekitar 80% kenaikan kasus hipertensi terutama di negara

berkembang tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, diperkirakan

menjadi 1,115 milyar kasus di tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada angka

penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk saat ini (Ardiansyah,

2012).

Di negara maju saat ini tekanan darah yang terkontrol (TDS <140, TDD <90

mmHg) hanya terdapat 20% pasien hipertensi. Keberhasilan pengobatan yang

rendah pada usia lanjut diakibatkan juga oleh karena banyak dokter tidak

mengobati hipertensi usia lanjut sampai optimal (kurang dari 140/90). Pada usia

lanjut, prevalensi gagal jantung dan stroke tinggi, yang keduanya merupakan

akibat dari hipertensi. Oleh karena itu pengobatan hipertensi penting sekali dalam

mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular (Suhardjono, 2006).

Telah diperhitungkan bahwa seorang pria berusia 55 tahun dengan tekanan

darah sistolik 160 mmHg, mempunyai risiko masalah vascular dalam 10 tahun

mendatang sekitar 14%. Baik pria maupun wanita hidup lebih lama dan 50% dari

mereka yang berusia di atas 60 tahun akan menderita hipertensi sistolik terisolasi

Universitas Sumatera Utara

18

(TDS 160 mmHg dan diatolik 90 mmHg). Dengan menurunkan tekanan darah

telah terbukti mengurangi insiden gagal jantung, mengurangi demensia, dan dapat

membantu mempertahankan fungsi kognitif lansia.

2.2.2 Klasifikasi Hipertensi

1. Hipertensi Essensial/Primer

Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktoral yang timbul terutama

karena interaksi antara faktor-faktor risiko tertentu. Jenis hipertensi ini tidak jelas

penyebabnya dan merupakan sebagian besar ± 90% dari seluruh kejadian

hipertensi. Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol

(Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).

Penyebab utama hipertensi yaitu gaya hidup modern, sebab dalam gaya

hidup modern situasi penuh tekanan dan stres. Dalam kondisi tertekan, adrenalin

dan kortisol dilepaskan ke aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan

tekanan darah. Gaya hidup yang penuh kesibukan juga membuat orang kurang

berolah raga dan berusaha mengatasi stresnya dengan merokok, minum alkohol

atau kopi sehingga berisiko terkena hipertensi. Kedua yaitu pola makan yang

salah dan yang ketiga adalah berat badan berlebih.

2. Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang penyebabnya dapat

diketahui, sering berhubungan dengan beberapa penyakit misalnya ginjal, jantung

koroner, diabetes, kelainan sistem syaraf pusat. Hipertensi sekunder diderita

sekitar 5% pasien hipertensi (Weber dkk., 2014).

Universitas Sumatera Utara

19

2.2.3 Gejala Klinis Hipertensi

Hipertensi adalah penyakit yang biasanya tanpa gejala.

Sebagian besar

penderita hipertensi tidak merasakan gejala penyakit. Namun demikian, secara

tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan

dengan tekanan darah tinggi. Ada kesalahan pemikiran yang sering terjadi pada

masyarakat bahwa penderita hipertensi selalu merasakan gejala penyakit.

Kenyataannya justru sebagian besar penderita hipertensi tidak merasakan adanya

gejala penyakit.

Hipertensi terkadang menimbulkan gejala seperti sakit kepala, nafas pendek,

pusing, nyeri dada, palpitasi, dan epistaksis. Gejala-gejala tersebut berbahaya jika

diabaikan, tetapi bukan merupakan tolak ukur keparahan dari penyakit hipertensi

(WHO, 2013).

2.2.4 Faktor Risiko Hipertensi

1. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Diubah

a) Umur

Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang maka

semakin besar risiko terserang hipertensi. Arteri kehilangan elastisitasnya atau

kelenturannya seiring bertambahnya umur. Dengan bertambahnya umur, risiko

terjadinya hipertensi meningkat. Umumnya seseorang yang berisiko menderita

hipertensi adalah usia diatas 45 tahun dan serangan darah tinggi baru muncul

sekitar usia 40 walaupun dapat terjadi pada usia muda (Kumar, 2005).

Universitas Sumatera Utara

20

Bertambahnya umur maka risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar

sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar

40% dengan kematian sekitar di atas 65 tahun. Pada usia lanjut, hipertensi

ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan diastolik sebagai bagian tekanan yang

lebih tepat dipakai dalam menentukan ada tidaknya hipertensi.

b) Jenis Kelamin

Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa

muda, tetapi lebih banyak menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60%

penderita hipertensi adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan

hormon estrogen setelah menopause. Peran hormon estrogen adalah

meningkatkan kadar HDL yang merupakan faktor pelindung dalam pencegahan

terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan hormon estrogen dianggap

sebagai adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause,

wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini

melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana

terjadi perubahan kuantitas hormon estrogen sesuai dengan umur wanita secara

alami.

c) Keturunan (Genetik)

Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga

itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan

peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium

Universitas Sumatera Utara

21

terhadap sodium individu dengan orang tua yang menderita hipertensi daripada

orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi (Wade, 2003).

Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat

hipertensi dalam keluarga. Seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar

untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi.

Menurut Rohaendi (2008), tekanan darah tinggi cenderung diwariskan dalam

keluarganya. Jika salah seorang dari orang tua ada yang mengidap tekanan darah

tinggi, maka akan mempunyai peluang sebesar 25% untuk mewarisinya selama

hidup. Jika kedua orang tua mempunyai tekanan darah tingi maka peluang untuk

terkena penyakit ini akan meningkat menjadi 60%.

2. Faktor Risiko yang Dapat Diubah

a) Merokok

Merokok dapat menurunkan kadar kolesterol baik (HDL) dalam darah. Jika

kadar HDL turun maka jumlah kolesterol dalam darah yang akan diekskresikan

melalui hati juga akan berkurang. Hal ini dapat mempercepat proses

arteriosklerosis penyebab hipertensi (Sustrani, 2004). Rokok akan mengakibatkan

vaokonstriksi pembuluh darah perifer dan pembuluh di ginjal sehingga terjadi

peningkatan tekanan darah.

Universitas Sumatera Utara

22

b) Kegemukan

Berat badan merupakan faktor determinan pada tekanan darah pada

kebanyakan kelompok etnik di semua umur. Menurut Hull (2001) perubahan

fisiologis dapat menjelaskan hubungan antara kelebihan berat badan dengan

tekanan darah, yaitu terjadinya resistensi insulin dan hiperinsulinemia, aktivasi

saraf simpatis dan sistem reninangiotensin, dan perubahan fisik pada ginjal.

Peningkatan konsumsi energi juga meningkatkan insulin plasma, dimana

natriuretik potensial menyebabkan terjadinya reabsorpsi natrium dan peningkatan

tekanan darah secara terus menerus (Cortas, 2008).

c) Stress

Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui saraf simpatis yang

dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Apabila stres berlangsung

lama dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang menetap.

d) Latihan Fisik

Latihan fisik atau olahraga dapat menjaga tubuh tetap sehat. Penelitian

membuktikan bahwa orang yang berolahraga memiliki faktor risiko lebih rendah

untuk menderita penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan kolesterol tinggi.

Oleh karena itu, latihan fisik seperti berolahraga antara 30-45 menit sebanyak

>3x/hari penting sebagai pencegahan primer dari hipertensi (Cortas, 2008).

Universitas Sumatera Utara

23

e) Faktor Tingkat Konsumsi Karbohidrat pada Hipertensi

Karbohidrat berfungsi sebagai sumber energi, bahan pembentuk berbagai

senyawa tubuh, bahan pembentuk asam amino esensial, metabolisme normal

lemak, menghemat protein, meningkatkan pertumbuhan bakteri usus,

mempertahankan gerak usus, meningkatkan konsumsi protein, mineral dan

vitamin (Baliwati, et al., 2010).

Hiperlipidemia adalah keadaan meningkatnya kadar lipid darah dalam

lipoprotein (kolesterol dan trigliserida). Hal ini berkaitan dengan intake lemak dan

karbohidrat dalam jumlah yang berlebihan dalam tubuh. Keadaan tersebut akan

menimbulkan resiko terjadinya artherosklerosis.

Metabolisme karbohidrat menyebabkan terjadinya hiperlipidemia yaitu

mulai dari pencernaan karbohidrat di dalam usus halus berubah menjadi

monosakarida galaktosa dan fruktosa di dalam hati kemudian dipecah menjadi

glikogen dalam hati dan otot. Kemudian glikogen dipecah menjadi glukosa diubah

dalam bentuk piruvat dipecah menjadi asetil KoA sehingga akhirnya terbentuk

karbondioksida, air dan energi. Bila energi tidak diperlukan, asetil KoA tidak

memasuki siklus TCA tetapi digunakan untuk membentuk asam lemak,

melakukan esterifikasi dengan gliserol (diproduksi dalam glikolisis) dan

menghasilkan trigliserida. Pembuluh darah koroner yang menderita

artherosklerosis selain menjadi tidak elastis, juga mengalami penyempitan

sehingga tahanan aliran darah dalam pembuluh koroner juga naik, yang nantinya

akan memicu terjadinya hipertensi (Hull, 2001).

Universitas Sumatera Utara

24

f) Faktor Tingkat Konsumsi Protein pada Hipertensi

Protein berperan penting dalam pembentukan struktur, fungsi, regulasi sel-

sel makhluk hidup dan virus. Protein juga bekerja sebagai neurotransmiter dan

pembawa oksigen dalam darah (hemoglobin) dan berguna sebagai sumber energi

tubuh. Dalam kondisi normal, protein dibutuhkan oleh tubuh sekitar 0,8-1

gr/kgBB/hari dengan perbandingan protein nabati dan hewani yaitu 3:1.

Pada dua studi observasional yaitu INTERMAP dan The Chicago Western

Electric Study telah membuktikan adanya hubungan sumber protein nabati dengan

penurunan tekanan darah, sedangkan sumber protein hewani tidak berpengaruh

terhadap tekanan darah. Para peneliti dari Boston University memberikan alasan

yang berbeda mengapa perlu mengonsumsi diet tinggi protein untuk menurunkan

risiko hipertensi jangka panjang. Mereka yang mengonsumsi rata-rata 100g

protein sehari mengalami penurunan sebesar 40% terhadap risiko hipertensi

dibandingkan dengan mereka yang memiliki asupan paling rendah untuk protein

dalam diet.

Penelitian yang diterbitkan dalam American Journal of Hypertension,

menemukan bahwa orang dengan asupan tinggi protein, terlepas dari protein

hewani atau nabati, secara signifikan memiliki tekanan darah sistolik dan diastolik

lebih rendah setelah 4 tahun masa tindak lanjut. Penelitian ini menunjukkan

bahwa risiko hipertensi dapat dengan mudah diatasi dengan mengubah diet,

karena protein memberikan manfaat vaskular, hal ini bisa juga bermanfaat untuk

mengoptimalkan asupan protein untuk kesehatan jantung.

Universitas Sumatera Utara

25

g) Faktor Tingkat Konsumsi Lemak pada Hipertensi

Lemak merupakan simpanan energi bagi manusia. Lemak dalam bahan

makanan berfungsi sebagai sumber energi, menghemat protein dan thiamin,

membuat rasa kenyang lebih lama (karena proses pencernaan lemak lebih lama),

pemberi cita rasa dan keharuman yang lebih baik. Fungsi lemak dalam tubuh

adalah sebagai zat pembangun, pelindung kehilangan panas tubuh, penghasil asam

lemak esensial, pelarut vitamin A, D, E, K, sebagai prekusor dari prostaglandin

yang berperan mengatur tekanan darah, denyut jantung dan lipofisis (Yuniastuti,

2007).

Konsumsi lemak yang berlebihan akan meningkatkan kadar kolesterol

dalam darah terutama kolesterol LDL dan akan tertimbun dalam tubuh. Timbunan

lemak yang disebabkan oleh kolesterol akan menempel pada pembuluh darah

yang lama-kelaman akan terbentuk plaque. Terbentuknya plaque dapat

menyebabkan penyumbatan pembuluh darah atau aterosklerosis. Pembuluh darah

yang terkena aterosklerosis akan berkurang elastisitasnya dan aliran darah ke

seluruh tubuh akan terganggu serta dapat memicu peningkatan volume darah dan

tekanan darah yang disebut dengan hipertensi.

h) Faktor Asupan Garam (Natrium)

Natrium (Na) bermanfaat bagi tubuh untuk mempertahankan keseimbangan

cairan tubuh dan mengatur tekanan darah. Namun, natrium yang masuk dalam

darah secara berlebihan dapat menahan air sehingga meningkatkan volume darah.

Meningkatnya volume darah mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding

Universitas Sumatera Utara

26

pembuluh darah sehingga jantung harus memompa lebih keras untuk mendorong

volume darah yang meningkat melalui ruang yang semakin sempit dan akibatnya

adalah hipertensi (Anggraini dkk, 2008).

Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di

dalam cairan ekstraseluer meningkat. Untuk menormalkannya, cairan instraseluler

ditarik keluar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya

volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah.

Garam bukanlah satu-satunya sumber natrium yang masuk ke dalam aliran

darah, walaupun kandungan natrium dalam garam dapur cukup tinggi yaitu sekitar

40%. Mono Sodium Glutamat (MSG) atau lebih dikenal dengan merek dagang

vetsin dan soda pembuat roti juga merupakan sumber natrium. Konsumsi MSG

yang berlebihan juga berdampak pada kenaikan tekanan darah.

Berikut merupakan beberapa bahan-bahan makanan yang mengandung

natrium yang sering dikonsumsi sehari-hari yang disajikan dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kandungan Natrium Beberapa Bahan Makanan (mg/100 gr)

Bahan Makanan Kandungan

Natrium (mg) Bahan Makanan

Kandungan

Natrium (mg)

Daging sapi 93 Bihun goreng instan 928

Hati sapi 110 Mentega 780

Ginjal sapi 200 Margarin 950

Telur bebek 191 Roti cokelat 500

Telur ayam 158 Roti putih 530

Ikan ekor kuning 59 Jambu monyet, biji 26

Sardin 131 Pisang 18

Udang segar 185 Mangga manalagi 70

Teri kering 885 Teh 50

Susu sapi 36 Ragi 610

Cakalang, perut 230 Sumber: Tabel Komposisi Pangan Indonesia, 2009.

Universitas Sumatera Utara

27

i) Tingkat Konsumsi Serat

Serat merupakan jenis karbohidrat yang tidak terlarut. Serat dapat dibedakan

atas serat kasar (crude fiber) dan serat makanan (dietary fiber). Serat makanan

adalah komponen makanan yang berasal dari tanaman yang tidak dapat dicerna

oleh enzim pencernaan manusia. Serat makanan total terdiri dari komponen serat

makanan yang larut (misalnya: pektin, gum) dan yang tidak dapat larut dalam air

(misalnya selulosa, hemiselulosa, lignin). Kadar serat makanan berkisar 2-3 kali

serat kasar.

Menurut laporan hasil Riskesdas tahun (2013), menunjukkan 93,6%

masyarakat Indonesia kurang mengonsumsi serat. Menurut penelitian yang

dilakukan oleh Baliwati dkk (2010), menunjukkan bahwa mengonsumsi serat

sangat menguntungkan karena dapat mengurangi pemasukan energi dan tidak

mengalami status gizi obesitas yang pada akhirnya dapat menurunkan risiko

penyakit tekanan darah tinggi.

Serat bukanlah zat yang dapat diserap oleh usus. Namun peranannya sangat

penting karena pada penderita gizi lebih dapat mencegah atau mengurangi resiko

penyakit degeneratif. Serat larut lebih efektif dalam mereduksi plasma kolesterol

yaitu LDL dan meningkatkan kadar HDL (Baliwati, et al., 2010). Serat pangan

dapat membantu meningkatkan pengeluaran kolesterol melalui feces dengan jalan

meningkatkan waktu transit bahan makanan melalui usus kecil.

Kandungan nilai serat berbagai bahan makanan yang sering dikonsumsi

sehari-hari dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Universitas Sumatera Utara

28

Tabel 2.2 Nilai Serat Berbagai Bahan Makanan (g/ 100 gram)

Bahan Makanan Kandungan

Serat (g) Bahan Makanan

Kandungan

Serat (g)

Beras hitam 20,1 Sagu 4,7

Beras jagung 10,0 Biji nangka 8

Keripik ubi 14,3 Oncom ampas kacang hijau 12,3

Biji mente 0,9 Kacang hijau 7,5

Kecipir 10,7 Kacang kedelai goreng 7,6

Kacang ercis 28,6 Kacang koro 7,5

Kacang merah 26,3 Keripik tempe abadi besar 3,5

Lamtoro dengan kulit 15,4 Mangga manalagi 11,8

Rebung 9,7 Mangga kuini 6,5

Daun singkong 2,4 Abon sapi 7,5 Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan, 2009

2.2.5 Komplikasi Hipertensi pada Lansia

1. Arterosklorosis

Arterosklorosis merupakan suatu penyakit pada dinding pembuluh darah

yakni lapisan dalamnya menjadi tebal karena timbunan lemak yang dinamakan

plaque atau suatu endapan keras yang tidak normal pada dinding arteri. Pembuluh

darah mendapat pukulan paling berat, jika tekanan darah terus menerus tinggi dan

berubah, saluran darah tersebut menjadi sempit dan aliran darah menjadi tidak

lancar.

2. Penyakit Jantung

Penyumbatan pembuluh darah dapat menyebabkan gagal jantung. Hal ini

terjadi karena pada penderita hipertensi kerja jantung akan meningkat, sehingga

terjadi pembengkakan jantung dan semakin lama otot jantung akan mengendor

serta berkurang elastisitasnya. Akhirnya jantung tidak mampu lagi memompa dan

menampung darah dari paru-paru sehingga banyak cairan tertahan di paru-paru

Universitas Sumatera Utara

29

maupun jaringan tubuh lain yang dapat menyebabkan sesak nafas. Kondisi ini

disebut gagal jantung (Sutanto, 2010).

3. Penyakit Ginjal

Penyakit tekanan darah tinggi dapat menyebabkan pembuluh darah pada

ginjal mengerut sehingga aliran zat-zat makanan menuju ginjal terganggu dan

mengakibatkan kerusakan sel-sel ginjal. Jika hal ini terjadi secara terus menerus

maka sel-sel ginjal tidak bisa berfungsi lagi. Apabila tidak segera diatasi maka

akan menyebabkan kerusakan parah pada ginjal yang disebut sebagai gagal ginjal

terminal (Sutanto, 2010).

2.3 Konsumsi Makanan

Pola konsumsi makanan adalah susunan makanan yang merupakan suatu

kebiasaan yang dimakan seseorang mencakup jenis, frekuensi dan jumlah bahan

makanan rata-rata per orang per hari yang umum dikonsumsi atau dimakan

penduduk dalam jangka waktu tertentu (Harap VY, 2012). Dalam hal konsumsi

pangan, permasalahan yang dihadapi tidak hanya mencakup ketidakseimbangan

komposisi makanan yang dikonsumsi, tetapi juga masalah belum terpenuhinya

kecukupan gizi.

Tingkat konsumsi makanan yaitu mencakup kualitas dan kuantitas suatu

hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan

tubuh di dalam susunan hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lain.

Kuantitas menunjukkan kwantum masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan

Universitas Sumatera Utara

30

tubuh. Jika susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari sudut kualitas

atau kuantitas, maka tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan gizi yang sebaik-

baiknya (Sediaoetama, 2004).

2.3.1 Konsumsi Makanan Pemicu dan Pencegah Hipertensi

Hipertensi sering mengakibatkan keadaan yang berbahaya karena

keberadaannya sering kali tidak disadari dan kerap tidak menimbulkan keluhan

yang berarti sampai suatu waktu terjadi komplikasi jantung, otak, ginjal, mata,

pembuluh darah, atau organ-organ vital lainnya. Namun demikian penyakit

hipertensi sangat dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi masyarakat. Pola

hidup sehat dan pola makan sehat merupakan pilihan tepat untuk menjaga diri

terbebas dari hipertensi (Suoth, et al., 2014).

1. Konsumsi Makanan Pemicu Hipertensi

Konsumsi makanan pemicu hipertensi merupakan setiap makanan yang

dikonsumsi yang dapat menaikkan tekanan darah sehingga menyebabkan

hipertensi. Untuk mencegah terjadinya hipertensi, sebaiknya menghindari atau

setidaknya mengurangi untuk mengonsumsi makanan-makanan yang menjadi

pemicu hipertensi ini.

Beberapa jenis makanan yang menjadi pemicu hipertensi adalah sebagai

berikut:

1. Makanan tinggi kolesterol, seperti daging sapi, daging kambing, daging atau

kulit ayam, udang.

2. Makanan yang diawetkan, seperti ikan asin, telur asin, dendeng, teri kering.

Universitas Sumatera Utara

31

3. Makanan tinggi natrium, seperti biskuit, keripik

4. Susu dan Olahannya, seperti susu full cream, mentega, margarin

2. Konsumsi Makanan Pencegah Hipertensi

Konsumsi makanan pencegah hipertensi merupakan setiap makanan yang

dikonsumsi yang dapat menurunkan dan menormalkan kembali tekanan darah

sehingga mencegah terjadinya hipertensi. Untuk mencegah terjadinya hipertensi,

sebaiknya mengonsumsi makanan-makanan yang dapat mencegah hipertensi ini

dan untuk penderita hipertensi juga dianjurkan untuk mengonsumsi makanan

terebut untuk menormalkan kembali tekanan darah.

a) Hindari untuk mengonsumsi lemak jenuh seperti makanan yang digoreng dan

dan lemak dari daging olahan

b) Tingkatkan asupan nutrisi dari biji-bijian utuh, kacang-kacangan seperti kacang

tanah, kacang hijau, jagung.

c) Perbanyak konsumsi buah-buahan seperti pisang, semangka, jeruk, nenas,

pepaya dan sayur-sayuran seperti tomat, kentang, daun singkong, buncis,

wortel, sawi, labu.

d) Konsumsi lauk hewani seperti ikan air tawar, ikan tongkol dan daging ayam

tanpa kulit.

e) Konsumsi lauk nabati, seperti tahu dan tempe.

Universitas Sumatera Utara

32

2.3.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsumsi Makanan

Menurut Fatmah (2010), faktor-faktor yang dapat memengaruhi konsumsi

makanan adalah keterbatasan ekonomi, penyakit-penyakit kronis, pengaruh

psikologis, kesalahan dalam pola makan, kurangnya pengetahuan tentang gizi dan

cara pengolahannya, serta menurunnya energi.

2.3.3 Metode Pengukuran Konsumsi Makanan

1. Metode Frekuensi Makanan

Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi

konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu

seperti hari, minggu, bulan ataupun tahun. Selain itu dengan metode frekuensi

makanan akan diperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara

kualitatif, tapi karena periode pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan

individu berdasarkan ranking tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling

sering digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi.

Kuesioner konsumsi makanan memuat tentang daftar bahan makanan atau

makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut pada periode tertentu.

Bahan makanan yang ada dalam kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi

dalam frekuensi yang cukup sering oleh responden (Supariasa et al., 2002).

Langkah-langkah metode frekuensi makanan menurut Supariasa et al.

(2002) adalah sebagai berikut:

1) Responden diminta untuk memberi tanda pada daftar makanan yang tersedia

pada kuesioner mengenai frekuensi penggunaannya dan ukuran porsinya.

Universitas Sumatera Utara

33

2) Lakukan rekapitulasi tentang frekuensi penggunaan jenis-jenis bahan makanan

terutama bahan makanan yang merupakan sumber-sumber zat gizi tertentu

selama periode tertentu pula.

Kelebihan metode frekuensi makanan menurut Supariasa et al. (2002)

adalah sebagai berikut:

1) Relatif murah dan sederhana.

2) Dapat dilakukan sendiri oleh responden.

3) Tidak membutuhkan latihan khusus.

4) Dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan

makan.

Kekurangan metode frekuensi makanan menurut Supariasa et al. (2002)

adalah sebagai berikut:

1) Tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari.

2) Sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data.

3) Cukup menjemukan bagi pewawancara.

4) Perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan

makanan yang akan masuk dalam daftar kuesioner.

5) Responden harus jujur dan mempunyai motivasi tinggi.

2. Metode Food Recall 24 Hours

Tingkat konsumsi makanan dapat diukur dengan menggunakan metode food

recall 24 hours. Prinsip dari metode recall 24 jam dilakukan dengan mencatat

jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu.

Universitas Sumatera Utara

34

Menurut E-Siong, Dop, Winichagoon (2004) untuk survei konsumsi gizi individu

lebih disarankan menggunakan metode food recall 24 jam konsumsi gizi

dikarenakan darisisi kepraktisan dan kevalidan data masih dapat diperoleh dengan

baik selama yang melakukan sudah terlatih.

Pada metode ini, responden disuruh menceritakan semua yang dimakan dan

diminum selama 24 jam yang lalu (kemarin). Biasanya dimulai sejak responden

bangun pagi kemarin sampai istirahat tidur malam harinya, atau dapat juga

dimulai dari waktu saat dilakukan wawancara mundur ke belakang sampai 24 jam

penuh. Apabila pengukuran hanya dilakukan satu kali (1 x 24 jam), maka data

yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan

individu. Food recall 24 hours sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya

tidak berurutan sehingga dapat menghasilkan gambaran asupan gizi secara lebih

optimal dan bervariasi (Supariasa et al. 2002).

Hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa dengan recall 24 jam, data

yang diperoleh cenderung lebih bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk

mendapatkan data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan individu

ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat URT (sendok, gelas, piring dan

lain-lain) atau ukuran lainnya yang biasa digunakan sehari-hari (Supariasa et al.,

2002).

Kelebihan metode recall 24 jam menurut Supariasa et al. (2002) adalah

sebagai berikut:

1) Mudah melaksanakannya serta tidak terlalu membebani responden.

Universitas Sumatera Utara

35

2) Biaya relatif murah, karena tidak memerlukan peralatan khusus dan tempat

yang luas untuk wawancara.

3) Cepat, sehingga dapat mencakup banyak responden.

4) Dapat digunakan untuk merespon yang buta huruf.

5) Dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu

sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari.

Kekurangan metode recall 24 jam menurut Supariasa et al. (2002) adalah

sebagai berikut:

1) Tidak dapat menggambarkan asuapan makanan sehari-hari, bila hanya

dilakukan recall satu hari.

2) Ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden.

3) The flat syndrome yaitu kecenderungan bagi responden yang kurus untuk

melaporkan konsumsinya lebih banyak (over estimate) dan bagi responden

yang gemuk cenderung melaporkan lebih sedikit (under estimate).

4) Membutuhkan tenaga atau petugas yang terlatih dan terampil dalam

menggunakan alat-alat bantu URT dan ketepatan alat bantu yang dipakai

menurut kebiasaan masyarakat.

5) Responden harus diberi motivasi dan penjelasan tentang tujuan dari penelitian.

6) Untuk mendapatkan gambaran konsumsi makanan sehari-hari, recall jangan

dilakukan pada saat panen, hari pasar, hari akhir pekan, pada saat melakukan

upacara-upacara keagamaan, selamatan dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara

36

2.4 Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian

2.4.1 Kerangka Konseptual

Variabel Bebas

Variabel Terikat

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

2.4.2 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian dan kerangka konseptual di atas, maka hipotesis

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Ada hubungan tingkat konsumsi karbohidrat, protein, lemak, natrium, dan serat

dengan hipertensi pada lansia di Desa Mekar Bahalat, Kecamatan Jawa Maraja

Bah Jambi, Kabupaten Simalungun.

Hipertensi pada Lansia

Jenis dan Frekuensi Makanan

Pemicu dan Pencegah

Hipertensi

Tingkat Konsumsi Karbohidrat,

Protein, Lemak, Natrium dan

Serat

Universitas Sumatera Utara