bab ii tinjauan pustaka 2.1 landasan teori 2.1.1 pisa
TRANSCRIPT
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 PISA
Program of Internasional Student Assessment biasa disebut PISA
merupakan salah satu penilaian yang diinisiasi oleh (OECD) yang berkedudukan
di Paris, Prancis. Menurut OECD (2016) program yang diadakan 3 tahun sekali
ini, Indonesia telah berpartisipasi mulai tahun 2000 dan pertama kali diikuti oleh
43 negara peserta. Setiap diadakan PISA, terdapat bidang yang menjadi fokus
penilaian. Fokus utama PISA 2000 adalah pada penilaian literasi membaca, PISA
2003 berfokus pada literasi matematika, fokus utama PISA 2006 fokus pada
literasi sains, fokus utama PISA 2009 adalah literasi membaca, dan pada PISA
2012 berfokus pada literasi matematika dan pada PISA 2015 berfokus pada
literasi sains. PISA dinilai setiap tiga tahun sekali untuk memberi informasi dan
mendukung pengambilan keputusan kebijakan pendidikan di negara-negara.
Siklus tiga tahun memberi negara informasi yang tepat waktu yang mencakup
data dan analisis untuk mempertimbangkan dampak keputusan kebijakan dan
program terkait. Jika lebih sering itu tidak akan memberikan waktu yang cukup
untuk perubahan dan inovasi untuk menunjukan peningkatan atau penurunan, jika
lebih jarang itu berarti penurunan kinerja tidak dapat segera ditangani.
Desain dan implementasi studi berada dalam tanggungjawab konsorsium
internasional yang beranggotakan lembaga penelitian dan pengujian yang
12
http://repository.unimus.ac.id
13
terkemuka di dunia yaitu Educational Testing Service (ETS), the Australian
Council For Educational Research (ACER), the Netherlands National Institute
For Educational Measurement (Citogroep), the National Institute For
Educational Policy Research in Japan (NIER), dan WESTAT United States.
Teknis penyelenggaraan studi PISA dikoordinasikan oleh konsorsium
internasional yang diketuai oleh (ACER) yang berkedudukan di Melbourne,
Australia. Setiap tiga tahun diadakannya PISA, Negara-negara yang mengikuti
PISA selalu bertambah. Pada tahun 2000 PISA diikuti 41 negara. Pada tahun 2003
PISA diikuti oleh 40 negara. Pada tahun 2006 PISA diikuti 57 negara. Pada tahun
2009 diikuti 65 negara. Pada tahun 2012 diikuti 65 negara. Pada tahun 2015 PISA
diikuti 72 negara. Gambaran Negara PISA pada tahun 2015 terdapat pada gambar
2.1
Gambar 2.1 Negara-negara yang mengikuti PISA tahun 2015
http://repository.unimus.ac.id
14
Tujuan PISA adalah untuk mengukur prestasi literasi membaca,
matematika, dan sains siswa sekolah berusia 15 tahun di negara-negara peserta.
Bagi Indonesia, manfaat yang dapat diperoleh antara lain adalah untuk
mengetahui posisi prestasi literasi siswa Indonesia bila dibandingkan dengan
prestasi literasi siswa di negara lain dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Oleh karena itu, hasil studi ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan
dalam perumusan kebijakan untuk peningkatan mutu pendidikan (OECD, 2016).
Menurut OECD (2016) PISA merupakan survei tiga tahunan yang sedang
berlangsung untuk menilai sejauh mana siswa berumur 15 tahun medekati akhir
wajib belajar telah memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang penting
untuk partisipasi penuh dalam masyarakat modern. PISA merupakan program
yang ditunjukan untuk mengevaluasi sistem pendidikan 72 negara pada tahun
2015. Soal PISA matematika dibuat berdasarkan masalah dan tantangan dalam
pribadi, pekerjaan, sosial, dan aspek ilmiah dari kehidupan siswa. PISA sangat
penting untuk mengetahui pemahaman tentang sejauh mana siswa siap untuk
menerapkan matematika untuk memahami permasalahan dan memecahkan
masalah. Hal tersebut berarti penilaian pada usia 15 tahun memberikan indikasi
awal bagaimana individu dapat merespon di kemudian hari dengan beragam
situasi yang akan mereka hadapi yang melibatkan matematika.
2.1.2 SOAL PISA
Soal PISA merupakan soal yang berkaitan dengan permasalahan
kehidupan sehari-hari. Menurut Stacey dalam Dewantara (2018) fokus dari PISA
http://repository.unimus.ac.id
15
adalah menekankan pada dan kompetensi siswa yang diperoleh dari sekolah dan
dapat digunakan dalam kehidupan sehari - hari dan dalam berbagai situasi. Soal
PISA matematika memiliki konten, konteks, dan level berbeda-beda seperti pada
gambar 2.2
Gambar 2.2 Framework Soal PISA
Menurut OECD (2016) soal PISA terdapat empat konten yaitu konten ruang dan
bentuk (space and shape), perubahan dan hubungan (change and relationship),
bilangan (quantity) dan probabilitas atau ketidakpastian (uncertainty). Menurut
OECD (2016) soal PISA matematika yang diujikan merupakan permasalahan
matematika dalam kehidupan sehari-hari dalam beberapa konteks yaitu konteks
personal (pribadi), occupational (pekerjaan), societal (kemasyarakatan), dan
scientific (ilmiah).
Proses pengerjaan soal PISA matematika menurut OECD (2016) ada tiga
tahapan yaitu pertama formulate atau merumuskan yaitu menunjukkan seberapa
efektif siswa dapat mengenali dan mengidentifikasi peluang untuk menggunakan
matematika dalam masalah kemudian memberikan struktur matematika yang
http://repository.unimus.ac.id
16
diperlukan untuk merumuskan bahwa masalah dikontekstualisasikan ke dalam
bentuk matematika. Kedua Employ atau memperkerjakan yaitu menunjukkan
seberapa baik siswa dapat melakukan perhitungan dan manipulasi serta
menerapkan konsep dan fakta. Pada tahap ini siswa tahu solusi masalah
matematika serta merumuskan secara matematis. Terakhit tahap interpret atau
menafsikan yaitu menunjukkan seberapa efektif siswa dapat merefleksikan solusi
matematika atau kesimpulan, menafsirkannya dalam konteks masalah dunia nyata,
dan menentukan hasil atau kesimpulan.
Menurut OECD (2016) Soal PISA matematika dibuat dalam beberapa
tingkat kesulitan dalam pengerjaannya. Tingkat kesulitan soal PISA mulai dari
level 1 hingga level 6 yang digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan
literasi matematika siswa. Penjelasan setiap tingkatan level PISA matematika
dapat dilihat pada tabel 2.1
Tabel 2.1 Ringkasan Deskripsi Enam Tingkat Kemampuan Matematika di
PISA 2015
Level Batas Atas
Nilai
Deskripsi
1 358 Pada level satu, siswa dapat memecahkan masalah dasar
di mana informasi yang relevan disajikan secara eksplisit,
dan situasinya langsung dan sangat terbatas cakupannya.
Siswa pada level ini dapat menangani situasi di mana
aktivitas komputasi yang diperlukan jelas dan tugas
matematika dasar, seperti operasi aritmatika sederhana satu
http://repository.unimus.ac.id
17
langkah, atau untuk menjumlahkan kolom tabel sederhana
dan membandingkan hasilnya. Mereka dapat membaca dan
menafsirkan tabel angka sederhana; ekstrak data dan
lakukan perhitungan sederhana; gunakan kalkulator untuk
menghasilkan data yang relevan; dan mengekstrapolasi
dari data yang dihasilkan, menggunakan penalaran dan
perhitungan dengan model linier sederhana.
2 420 Pada level dua, siswa dapat menafsirkan tabel sederhana
untuk mengidentifikasi dan mengekstrak informasi
kuantitatif yang relevan, dan dapat menafsirkan model
kuantitatif sederhana (seperti hubungan proporsional) dan
menerapkannya menggunakan perhitungan aritmatika
dasar. Mereka dapat mengidentifikasi tautan antara
informasi tekstual yang relevan dan data tabular untuk
menyelesaikan masalah kata; menafsirkan dan menerapkan
model-model sederhana yang melibatkan hubungan
kuantitatif; mengidentifikasi perhitungan sederhana yang
diperlukan untuk memecahkan masalah langsung ke depan;
melakukan perhitungan sederhana yang melibatkan operasi
aritmatika dasar; memesan 2 dan 3 digit angka bulat dan
angka desimal dengan satu atau dua tempat desimal; dan
menghitung persentase.
3 482 Di Level 4, siswa dapat menafsirkan instruksi dan situasi
http://repository.unimus.ac.id
18
yang kompleks; menghubungkan informasi numerik
berbasis teks ke representasi grafis; mengidentifikasi dan
menggunakan informasi kuantitatif dari berbagai sumber;
menyimpulkan aturan sistem dari representasi yang tidak
dikenal; merumuskan model numerik sederhana; mengatur
model perbandingan; dan jelaskan hasilnya. Mereka dapat
melakukan perhitungan yang akurat dan lebih kompleks
atau berulang, seperti menambahkan 13 kali dalam format
jam / menit; melakukan perhitungan waktu menggunakan
data yang diberikan tentang jarak dan kecepatan
perjalanan; melakukan pembagian sederhana dari banyak
dalam konteks; melakukan perhitungan yang melibatkan
urutan langkah-langkah; dan secara akurat menerapkan
algoritma numerik yang diberikan yang melibatkan
sejumlah langkah. Siswa pada level ini dapat melakukan
perhitungan yang melibatkan penalaran proporsional, dapat
dibagi atau persentase dalam model sederhana dari situasi
yang kompleks.
4 545 Siswa dapat bekerja secara efektif dengan model eksplisit
untuk situasi kompleks dan konkret yang mungkin
melibatkan kendala atau panggilan untuk membuat asumsi.
Mereka dapat memilih dan mengintegrasikan representasi
yang berbeda, termasuk simbolis, menghubungkan mereka
http://repository.unimus.ac.id
19
langsung ke aspek situasi dunia nyata. Siswa pada tingkat
ini dapat memanfaatkan keterbatasan mereka berbagai
keterampilan dan dapat bernalar dengan beberapa
wawasan, dalam konteks langsung. Mereka dapat
membangun dan berkomunikasi penjelasan dan argumen
berdasarkan interpretasi, argumen, dan tindakan mereka.
5 607 Pada Level 5, siswa dapat merumuskan model
perbandingan dan membandingkan hasil untuk menentukan
harga tertinggi, dan menafsirkan informasi kompleks
tentang situasi dunia nyata (termasuk grafik, gambar, dan
tabel kompleks, misalnya dua grafik menggunakan skala
yang berbeda). Mereka dapat menghasilkan data untuk dua
variabel dan mengevaluasi proposisi tentang hubungan di
antara mereka. Siswa dapat mengkomunikasikan alasan
dan argumen; mengenali pentingnya angka untuk menarik
kesimpulan; dan memberikan argumen tertulis
mengevaluasi proposisi berdasarkan data yang diberikan.
Mereka dapat membuat estimasi menggunakan
pengetahuan tentang kehidupan sehari-hari; menghitung
perubahan relatif dan / atau absolut; menghitung rata-rata;
menghitung perbedaan relatif dan / atau absolut, termasuk
perbedaan persentase, diberikan data perbedaan mentah;
dan dapat mengkonversi unit (misalnya perhitungan yang
http://repository.unimus.ac.id
20
melibatkan area dalam unit yang berbeda).
6 669 Di Tingkat 6 dan di atas, siswa membuat konsep dan
bekerja dengan model proses kuantitatif yang kompleks
dan hubungan; menyusun strategi untuk memecahkan
masalah; merumuskan kesimpulan, argumen, dan
penjelasan yang tepat; menafsirkan dan memahami
informasi yang kompleks, dan menautkan banyak sumber
informasi yang kompleks; menafsirkan informasi grafis
dan menerapkan penalaran untuk mengidentifikasi,
membuat model dan menerapkan pola numerik. Mereka
dapat menganalisis dan mengevaluasi pernyataan
interpretatif berdasarkan data yang diberikan; bekerja
dengan ekspresi formal dan simbolik; merencanakan dan
mengimplementasikan perhitungan berurutan dalam
konteks yang kompleks dan asing, termasuk bekerja
dengan angka besar, misalnya untuk melakukan urutan
konversi mata uang, memasukkan nilai dengan benar dan
hasil pembulatan. Siswa pada level ini bekerja secara
akurat dengan pecahan desimal; mereka menggunakan
penalaran tingkat lanjut mengenai proporsi, representasi
geometris kuantitas, kombinatorik dan hubungan bilangan
bulat; dan mereka menafsirkan dan memahami ekspresi
formal hubungan antar angka, termasuk dalam konteks
http://repository.unimus.ac.id
21
ilmiah.
Sumber: Pisa 2015 Results Excellence and Equity in EducationVolume I
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa dari deksripsi pada level 6 memuat
beberapa indikator dari pemecahan masalah menurut NCTM, sehingga dalam soal
PISA level 6 merupakan soal kemampuan mencipta (Kemendikbud, 2014).
Hasil PISA yang terfokus pada literasi matematika pada siklus sebelumnya
yaitu pada tahun 2012 dapat dilihat pada gambar 2.3. berikut :
Gambar 2.3 Hasil Pisa Tahun 2012.
Hasil PISA juga dapat dilihat secara detail terkait fokus literasinya, sebagaimana
terfokus pada tahun 2012, diketahui rerata matematika yang dapat dilihat pada
gambar 2.4. berikut :
http://repository.unimus.ac.id
22
Gambar 2.4. Hasil Rerata PISA Matematika pada tahun 2012
Berdasarkan hasil analisis PISA 2003-2009 juga menunjukkan bahwa sebagian
besar siswa Indonesia tidak mampu menyelesaikan permasalahan matematika
level tinggi (Widjaja, 2011). Menurut Wardhani dalam, (Setiawan et al., 2014)
mengemukakan bahwa soal-soal PISA sangat menuntut kemampuan penalaran
dan pemecahan masalah. Menurut Zulkardi, Z., & Santoso, B. Dalam Rokhima
dan Suparman (2015) Rendahnya hasil studi PISA dikalangan siswa Indonesia
selama ini disebabkan oleh sejumlah faktor, diantaranya siswa Indonesia tidak
terbiasa dengan soal yang berbau pemodelan dan kurangnya buku teks
matematika yang menekankan pada pemecahan masalah sehari-hari yang diujikan
PISA.
2.1.3 Pemecahan Masalah
Menurut Siswono dalam Intan (2016), pemecahan masalah adalah suatu
proses atau upaya individu untuk merespons atau mengatasi halangan atau
kendala ketika suatu jawaban atau metode jawaban belum tampak jelas. Menurut
Anwar & Amin dalam Netriwati, (2013) Pemecahan masalah diartikan sebagai
http://repository.unimus.ac.id
23
suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan. Menurut Lestari (2016)
Kemampuan pemecahan masalah sangat terkait dengan kemampuan siswa dalam
membaca dan memahami bahasa soal cerita, menyajikan dalam model
matematika, merencanakan perhitungan dari model matematika, serta
menyelesaikan perhitungan dari soal-soal yang tidak rutin.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut maka pemecahan masalah dapat
dikatakan sebagai proses yang ditempuh oleh seseorang sebagai suatu usaha
mencari jalan keluar dari suatu kesulitan.
2.1.4 Kemampuan Pemecahan Masalah
Istilah kemampuan berasal dari kata mampu yang berarti kuasa, dapat, dan
sanggup. Keadaan sanggup yang dimaksud adalah sanggup melakukan suatu
pekerjaan atau sanggup dalam menyelesaikan suatu masalah. Siswa mempunyai
tingkat kemampuan yang berbeda-beda. Hal ini tidak terlepas dari faktor-faktor
yang mendukung kemampuan dasar siswa tersebut. Diantaranya yaitu hasrat dan
kecintaannya untuk terus mempelajari dan mengembangkan diri, kemauan keras
dan juga disiplin diri untuk tetap gigih dalam belajar. (Purwanti, 2016)
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa dalam menyelesaikan masalah siswa
mempunya tingkat kemampuan yang berbeda-beda karena dipengaruhi oleh bakat
yang dibawanya sejak lahir serta lingkungan yang ada di sekitarnya. Namun untuk
mengetahui tingkat kemampuan siswa dalam belajar dapat diukur dari prestasi
yang diperolehnya dalam pelajaran tersebut.
http://repository.unimus.ac.id
24
Salah satu cara untuk mengukur tingkat kemampuan siswa dalam
memecahkan masalah dapat menggunakan tingkatan kemampuan menurut
Vermont Department of Education. Menurut Departemen Pendidikan Vermont
dalam Nafi’an (2011) tingkat kemampuan siswa dalam memecahkan masalah
dapat dikategorikan sebagai berikut : Levels One (a) No work is present, or (b) No
part of the solution is correct,or (c) Some work is present but the work doesn't
support the answer given. Levels Two (a) The solution is correct for only part of
the problem and there is workto support these correct part, or (b) The solution
contains mathematical error which leads to an incompleteor incorrect answer.
Levels Three (a) The answer is correct and the work the sollution support the
answer.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan
pemecahan masalah adalah suatu kesanggupan dalam menyelesaikan masalah
dengan tingkat kemampuan pemecahan yang berbeda-beda.
2.1.5 Pentingnya Pemecahan Masalah
Menurut Kristianti dalam Intan, (2016) Salah satu tujuan pembelajaran
matematika adalah mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, ini
menandakan bahwa pemecahan masalah merupakan salah satu kemampuan yang
sangat penting diasah dalam pembelajaran matematika. Dengan demikian,
pemecahan masalah matematis dapat membantu seseorang memahami informasi
yang tersebar di sekitarnya secara lebih baik.
http://repository.unimus.ac.id
25
Penyelesaian masalah merupakan komponen penting dari kurikulum
matematika dan di dalamnya terdapat inti dari aktivitas matematika. Sehingga
tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah
merupakan tujuan utama dalam pembelajaran matematika dengan begitu
pentingnya mengenai kemampuan pemecahan masalah matematika dalam
pembelajaran matematika sehingga ada yang menjuluki bahwa pemecahan
masalah adalah jantungnya matematika (Soifer dalam Kartono et al., 2014).
Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, dan Singapore telah
menetapkan kemampuan pemecahan masalah matematika sebagai tujuan utama
pembelajaran matematika dalam kerangka kurikulum mereka disamping tujuan
lainnya (Kaur & Har, dalam Kartono et al., 2014).
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa aspek kemampuan
pemecahan masalah menjadi sangat penting ketika kemampuan tersebut dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya kemampuan memecakan
masalah kehidupan, yang tidak dapat dihindari oleh setiap orang. Hal inilah yang
sebenaranya direkomendasikan oleh kurikulum matematika sekolah di Indonesia
terkait dengan kemampuan pemecahan masalah matematika. Alasan yang
mendasari hal ini adalah karena pemecahan masalah
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pemecahan
masalah menjadi sangat penting karena pemecahan masalah adalah jantungnya
matematika yang mana menjadi tujuan utama dalam pembelajaran matematika,
bahkan melalui latihan rutin dan strategi pengajaran keterampilan pemecahan
masalah akan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada siswa serta
http://repository.unimus.ac.id
26
dapat mengembangkan kognitif siswa secara umum, mendorong kreatifitas,
mengembangkan kemampuan menulis dan verbal yang merupakan bagian dari
proses aplikasi matematika, dan dapat memotivasi siswa untuk belajar
matematika, apalagi ketika kemampuan tersebut dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, khususnya kemampuan memecakan masalah kehidupan,
yang tidak dapat dihindari oleh setiap orang.
2.1.6 Indikator Pemecahan Masalah
Menurut National Council of Teacher of Mathematic (NCTM) untuk
mengukur kemampuan pemecahan masalah matematika siswa maka terdapat
indikator-indikator, diantaranya:
1. Siswa dapat mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan,
dan kecukupan unsur yang diperlukan,
2. Siswa dapat merumuskan masalah matematik atau menyusun model
matematik,
3. Siswa dapat menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah
(sejenis dan masalah baru) dalam atau diluar matematika,
4. Siswa dapat menjelaskan hasil sesuai permasalahan asal, dan
5. Siswa dapat menggunakan matematika secara bermakna.
Indikator pemecahan masalah yang digunakan adalah indikator pemecahan
masalah menurut NCTM, karena pada indikator tersebut dapat menjadi solusi atas
persoalan yang dibutuhkan, sebagaimana penelitian yang dilaksanakan Yusuf
http://repository.unimus.ac.id
27
dalam Novita, et al., (2012) bahwa kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal-soal
PISA tahun 2012 adalah kesuitan dalam memahami soal, mengubah pernyataan
nyata kedalam bentuk model matematika, memecahkan masalah. Sehingga
dengan menggunakan indikator tersebut diharapkan mampu memudahkan siswa
dalam pemecahan masalah pada soal PISA level 6 tahun 2012.
2.2 Hasil Penelitian Relevan
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, ada beberapa
penelitian yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang peneliti akan
lakukan.
Penelitian yang dilakukan Nuriani (2017) berjudul analisis soal model PISA
dalam buku siswa matematika kelas VII SMP/MTs semester I. Hasil penelitian
menunjukan bahwa buku matematika kelas VII semester I kurikulum 2013 sudah
memuat soal serupa pisa dengan presentasi masih tergolong rendah. Dalam
penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan soal-soal dalam
buku matematika kelas VII semester I kurikulum 2013 berdasarkan model PISA.
Penelitian yang dilakukan oleh Yulianto (2017) berjudul analisis tingkat
kesulitan soal pemechan masalah dalam buku siswa pelajaran matematika
peminatan SMA kelas X kurikulum 2013. Hasil analisis menunjukkan bahwa: 1)
Terdapat 40 butir soal pemecahan masalah dari keseluruhan soal dalam buku, 2)
Terdapat 97,50% jenis soal pemecahan masalah rutin dan 2,50% jenis soal
pemecahan masalah non rutin, 3) Pada buku siswa pelajaran matematika soal-soal
pemecahan masalah menggunakan jenis bilangan cacah 45%, bilangan negatif
http://repository.unimus.ac.id
28
5%, bilangan desimal 40%, dan bilangan pecahan 10%, 4) Kecukupan data pada
soal terhitung lengkap, dan beberapa soal ada yang mirip dengan soal
sebelumnya. Dari hasil analisis setiap soal pemecahan masalah dapat disimpulkan
persentase tingkat kesulitan soal. Persentase tingkat kesulitan soal dalam kategori
mudah sebesar 17,5%, ketegori sedang adalah 57,5%, dan kategori sukar adalah
25%. Dari persentase tersebut buku siswa pelajaran matematika termasuk
memiliki proporsi tingkat kesulitan soal yang baik.
2.3 Kerangka Berpikir
Pendidkan merupakan suatu hal yang perlu menjadi perhatian semua pihak
dimana tujuan dari pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Namun pada kenyataannya
Indonesia belum mampu mencapai tujuan tersebut, rendahnya mutu pendidikan di
Indonesia dapat dilihat dari hasil studi internasional yang sering disebut sebagai
Tes PISA, ketika hasil PISA Indonesia rendah maka secara tidak langsung juga
menunjukan hasil literasi matematika siswa Indonesia pada kancah internasional,
terkhusus pada soal PISA level 6 dengan menguji kemampuan mencipta siswa.
Selain itu adanya hasil PISA matematika Indonesia yang rendah dapat diketahui
dari beberapa observasi sekolah yang telah mengikuti Tes PISA (SMA N 01
SEMARANG, SMP MUH. 01 PURBALINGGA, dan MAN PURWOKERTO 2),
rendahnya hasil PISA tentu menjadi suatu persoalan yang perlu dilirik Indonesia,
http://repository.unimus.ac.id
29
dengan kemampuan kreatifitas (mencipta) yang rendah tentu sangat berpengaruh
terhadap mutu pendidikan di Indonesia, rendahnya mutu pendidikan secara tidak
langsung sangat berpengaruh terhadap mutu Sumber Daya Manusia (SDM)
sehingga dapat menjadi kendala dalam tercapainya tujuan pendidikan, selain itu
didukung dengan pentingnya tingkat pemecahan masalah soal PISA level 6 tahun
2012, yang dapat membantu siswa dalam mempelajari indikator yang perlu
ditingkatkan dalam mempersiapkan mengikuti Tes PISA pada perionde
berikutnya yaitu tahun 2021.
Berdasarkan beberapa kendala dalam pencapaian tujuan tersebut
menunjukan perlu adanya sebuah penelitian untuk mengetahui seberapa besar
tingkat pemecahan masalah pada soal PISA level 6. Pemecahan masalah adalah
suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan suatu
solusi/jalan keluar untuk suatu masalah yang spesifik (Syaharuddin, 2016).
Dengan diketahuinya tingkat pemecahan masalah tentu akan berpengaruh positif
terhadap proses belajar untuk dapat meningkatkan kemampuan yang dimiliki,
yang mana dengan kemampuan pemecahan masalah yang tinggi merupakan salah
satu cara untuk dapat menyelesaikan soal PISA berskala tinggi terkhusus pada
soal PISA level 6 (mencipta). Dengan adanya pengetahuan akan tingkat
pemecahan masalah dalam soal level 6, maka ini akan dijadikan sebagai pedoman
untuk dapat lebih meningkatkan kembali hasil PISA pada periode selanjutnya.
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif. Penelitian diambil
dari beberapa sampel dari kota Semarang, Purbaligga, dan Banyumas dengan
menggunakan teknik purpose sampling dimana pengambilan sampel berdasarkan
http://repository.unimus.ac.id
30
sekolah yang pernah mengikuti Tes PISA pada periode sebelumnya. Berdasarkan
hal tersebut dapat diperoleh hasil dari penelitian yaitu diperoleh hasil analisis atas
tingkat pemecahan masalah soal PISA yang perlu ditingkatkan oleh siswa dalam
menyelesaikan soal PISA matematika level 6 pada Tes yang akan datang, seperti
pada Gambar 2.5 berikut :
http://repository.unimus.ac.id
31
Tujuan Pendidikan & PISA
1. Tujuan Pendidikan adalah Untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
2. Tujuan Program for International Student Assessment (PISA) itu sendiri adalah
untuk peningkatan mutu pendidikan yang mana hasil studi PISA diharapkan
dapat digunakan sebagai masukan dalam perumusan kebijakan untuk
peningkatan mutu pendidikan.”(OECD, 2013).
Permasalahan:
1. Tujuan Pendidikan belum tercapai (rendahnya kemampuan berfikir kreatif siswa)
2. Hasil PISA Indonesia rendah.
3. Hasil PISA matematika tahun 2009 siswa belum mampu menyelesaikan soal level
6.
4. Berdasarkan hasil beberapa observasi sekolah yang telah mengikuti tes PISA
kemampuan mencipta siswa masih rendah.
SOLUSI
Dampak Kemampuan Mencipta Rendah :
2 Siswa tidak mampu berfikir secara kreatif
untuk memecahkan masalah.
3 Siswa tidak mampumenciptakan strategi
pemecahan masalah yang baik.
4 Siswa tidak dapat menyelesaikan soal.
Dampak Rendahnya
Hasil PISA Matematika :
1. Rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM).
2. Rendahnya Mutu Pendidikan Di Indonesia.
3. Terhambatnya Tujuan Pendidikan Di
Indonesia.
.
Hasil
Mengetahui hasil analisis
tingkat pemecahan
masalah dalam soal PISA
Matematika pada level 6
tahun 2012.
Tingkat Pemecahan Masalah
1. Mengetahui indikator pemecahan masalah yang perlu ditingkatkan siswa dalam
menyelesaikan soal PISA level 6.
2. Mempersiapkan Tes PISA pada periode selanjutnya dengan meningkatkan
kemampuan sswa berdasar pada indikator pemecahan masalah dalam soal PISA level
6.
3. Kemampuan pemecahan masalah sangat diperlukan dalam menyelesaikan soal PISA.
(Wardhani dalam,Setiawan dkk, 2014).
Indikator Pemecahan Masalah (NCTM)
1. Mengidentifikasi Masalah.
2. Menyusun Model Matematik.
3. Menerapkan Strategi dalam berbagai
masalah.
4. Menjelaskan Hasil Permasalahan.
5. Menggunakan Matematis Secara Bermakna.
Gambar 2.5 Kerangka Berfikir
http://repository.unimus.ac.id