bab ii tinjauan pustaka 2.1 pengelasaneprints.umm.ac.id/57574/3/bab ii.pdf · jadwal pembuatan,...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelasan
Las (welding) merupakan suatu cara untuk menyambung benda padat dengan
jalan mencairkannya melalui pemanasan (Widharto, 2007). Pengelasan juga dapat
diartikan sebagai suatu proses penyambungan dua bahan logam sampai titik
rekristalisasi logam, dengan atau tanpa menggunakan bahan tambahan dan
menggunakan energi panas sebagai pencair bahan yang dilas (Bakhori, 2017).
Pengelasan tidak hanya memanaskan dua bagian benda hingga mencair dan
membiarkan membeku kembali, tetapi membuat lasan yang utuh dengan cara
memberikan bahan tambah atau elektroda pada waktu dipanaskan sehingga
mempunyai kekuatan sesuai dengan mutu. Berdasarkan definisi dari Deutche
Industrie Normen (DIN), las adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam atau
logam paduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Sehingga las
(welding) dapat diartikan sebagai suatu teknik menyambungkan logam dengan cara
mencairkan sebagian logam induk dan logam pengisi dengan atau tanpa logam
penambah dan menghasilkan logam kontinue.
Salah satu fungsi dari pengelasan adalah sebagai penyambung dua komponen
yang berbahan logam, sebagai media atau alat pemotongan (Prastita, 2014). Dimana
pada penyambung dua komponen yang berbahan logam, beberapa faktor yang
diperhatikan dalam proses pengelasan adalah prosedur pengelasan, yaitu suatu
perencanaan pelaksanaan penelitian yang meliputi cara pembuatan konstruksi las
yang sesuai rencana dan spesifikasi dengan menentukan semua hal yang diperlukan
8
dalam pelaksanaan tersebut. Selanjutnya faktor produksi pengelasan yang meliputi
jadwal pembuatan, proses pembuatan, alat dan bahan yang dibutuhkan, proses
pengelasan, persiapan pengelasan (meliputi: pemilihan mesin las, penunjukan juru
las, pemilihan elektroda, penggunaan jenis kampuh) (Wiryosumarto et al., 2000).
Pengelasan memiliki sisi kelebihan dan sisi kekurangan, kelebihan dari
pengelasan diantaranya adalah biaya terjangkau, proses relatif lebih cepat, lebih
ringan, bentuk konstruksi lebih variatif, sambungan las bersifat permanen, dan
kekuatan hasil las lebih besar dari pada logam yang disambungkan. Sisi kekurangan
dari pengelasan adalah sambungan yang permanen, rakitan yang telah dilas tidak
dapat dilepas kembali. Sehingga metode pengelasan tidak cocok digunakan untuk
produk yang memerlukan pelepasan rakitan misalnya untuk perbaikan atau
perawatan. Sambungan las juga dapat menimbulkan bahaya akibat adanya cacat
yang sulit dideteksi, sehingga mengurangi kekuatan sambungan, dan dijumpai
distorsi akibat pemuaian dan penyusutan yang tidak seragam (Widodo & Suheni,
2016).
2.2 Klasifikasi Pengelasan
Berdasarkan klasifikasi cara kerja, pengelasan dapat dibagi dalam tiga
kelompok yaitu pengelasan cair, pengelasan tekan, dan pematrian. Pengelasan cair
adalah cara pengelasan dimana sambungan dipanaskan sampai mencair dengan
sumber panas dari busur listrik atau semburan api yang terbakar. Pengelasan tekan
merupakan suatu cara pengelasan dimana sambungan dipanaskan kemudian ditekan
menjadi satu. Pematrian merupakan cara pengelasan dimana sambungan diikat dan
disatukan dengan menggunakan paduan logam yang mempunyai titik cair rendah
9
dan logam induk tidak turut mencair. Namun cara pengelasan yang paling banyak
digunakan adalah pengelasan cair dengan busur (las busur listrik) dan gas (Santoso
et al., 2015).
Pengelasan dibedakan pada cara kerja alat tersebut bekerja dan bentuk
pemanasannya (Wiryosumarto et al., 2000). Klasifikasi pengelasan menurut
(Wiryosumarto et al., 2000) dapat dilihat pada Gambar 2.1
Gambar 2.1 Klasifikasi Pengelasan
(Sumber: Okumura, 2000)
10
2.3 Shielding Metal Arc Welding (SMAW)
Shielding Metal Arc Welding (SMAW) merupakan salah satu mesin las yang
paling sering digunakan dalam suatu pengerjaan proses pengelasan. Shielding
Metal Arc Welding (SMAW) adalah suatu proses pengelasan busur listrik dimana
perpaduan pengelasan logam yang dihasilkan panas yang diperoleh dari busur
listrik yang dikeluarkan diantara ujing elektroda terbungkus dan permukaan logam
dasar yang dilas (Mizhar & Pandiangan, 2014). Bentuk rangkaian proses Shielding
Metal Arc Welding (SMAW) dapat dilihat pada Gambar 2.2
Gambar 2.2 Bentuk rangkaian proses Shielding Metal Arc Welding (SMAW)
(Sumber : Tira, 2016)
Menurut Iswanto et al., (2017) daerah pengelasan Shielding Metal Arc
Welding (SMAW) umumnya dibagi menjadi 3 daerah utama yaitu base metal(BM),
weld metal(WM), dan daerah terpengaruh panas (HAZ).
2.3.1 Proses Pengelasan Shielding Metal Arc Welding (SMAW)
Proses pengelasan Shielding Metal Arc Welding (SMAW) menurut Santoso
(2006) adalah dimana logam induk saat pengelasan mengalami pencairan akibat
pemanasan dari busur listrik yang timbul antara ujung elektroda dan permukaan
benda kerja. Busur listrik dibangkitkan dari suatu mesin las. Elektroda yang
digunakan berupa kawat yang dibungkus pelindung berupa fluks. Selama
11
pengelasan elektrode akan mengalami pencairan bersama dengan logam induk dan
membeku bersama menjadi bagian kampuh las. Proses pemindahan logam
elektroda terjadi pada saat ujung elektroda mencair dan membentuk butir-butir yang
terbawa arus busur listrik yang terjadi. Bila digunakan arus listrik besar maka
butiran logam cair yang terbawa menjadi halus dan sebaliknya bila arus kecil maka
butiran menjadi besar. Skema pengelasan SMAW dapat dilihat pada Gambar 2.3
Gambar 2.3 Skema pengelasan Shielding Metal Arc Welding (SMAW)
(Sumber : Widharto, 2007)
Pola pemindahan logam cair mempengaruhi sifat mampu las dari logam.
Logam mempunyai sifat mampu las yang tinggi bila pemindahan terjadi dengan
butiran yang halus. Pola pemindahan cairan dipengaruhi oleh besar kecilnya arus
dan komposisi dari bahan fluks yang digunakan. Bahan fluks yang digunakan untuk
membungkus elektroda selama pengelasan mencair dan membentuk terak yang
menutupi logam cair yang terkumpul di tempat sambungan dan bekerja sebagai
penghalang oksidasi (Santoso, 2006).
12
2.3.2 Kelemahan Shielding Metal Arc Welding (SMAW)
Proses pengelasan Shielding Metal Arc Welding (SMAW) memiliki beberapa
karakteristik dimana laju pengisianya lebih rendah dibandingkan dengan proses
pengelasan semi-otomatis atau otomatis. Panjang elektroda tetap dan pengelasan
harus dihentikan setelah sebatang elektroda terpakai habis. Puntung elektroda yang
tersisa terbuang dan estimasi waktu juga tebuang untuk mengganti elektroda. Slag
atau terak yang terbentuk harus dihilangkan dari lapisan las sebelum lapisan
berikutnya didepositkan. Langkah-langkah ini mengurangi efesiensi pengelasan
sekitar 50%. Asap dan gas yang terbentuk akibat pengelasan merupakan masalah,
sehingga diperlukan ventilasi memadai pada pengelasan didalam ruang tertutup.
Pandangan mata pada kawah las agak terhalang oleh slag pelindung dan asap yang
menutupi deposit logam. Dibutuhkan juru las yang sangat terampil untuk dapat
menghasilkan pengelasan berkualitas (Sunandar, 2012).
2.3.3 Keuntungan Shielding Metal Arc Welding (SMAW)
Shielding Metal Arc Welding (SMAW) merupakan proses las busur listrik
paling sederhana dan paling serbaguna dibandingkan dengan lainnya. Hal ini
dikarenakan Shielding Metal Arc Welding (SMAW) sederhana dan mudah dalam
mengangkut peralatan dan perlengkapanya, membuat proses Shielding Metal Arc
Welding (SMAW) ini mempunyai aplikasi luas mulai dari perbaikan perpipaan
sampai jalur-jalur perpipaan,dan bahkan untuk pengelasan dibawah laut guna
memperbaiki struktur anjungan lepas pantai (Sunandar, 2012).
Shielding Metal Arc Welding (SMAW) bisa dilakukan pada berbagai lokasi
yang bisa dijangkau dengan sebatang elektroda. Sambungan pada daerah dimana
pandangan mata terbatas masih bisa di las dengan cara membengkokan elektroda.
13
Proses SMAW digunakan untuk mengelas berbagai macam logam ferrous dan non-
ferrous, termasuk baja karbon dan baja paduan rendah, baja tahan karat, paduan
nikel, besi tuang dan berbagai paduan tembaga (Bakhori, 2017).
2.4 Parameter Pengelasan
Parameter yang digunakan untuk melihat hasil pengelasan Shielding Metal
Arc Welding (SMAW) diantaranya adalah kuat arus listrik, sambungan kampuh,
elektroda, tegangan busur, dan posisi pengelasan. Parameter tersebut memiliki
pengaruh yang besar pada performa keberhasilan lasan. Berikut ini merupakan
penjelasan dari parameter pengelasan.
2.4.1 Arus Pengelasan
Menurut Saputra et al., (2014), arus pengelasan merupakan besarnya aliran
atau arus listrik yang keluar dari mesin las. Besar kecilnya arus pengelasan dapat
diatur dengan alat yang ada pada mesin las. Arus las harus disesuaikan dengan jenis
bahan dan diameter elektroda yang di gunakan dalam pengelasan. Busur listrik yang
dihasilkan berasal dari sumber listrik arus bolak-balik (Alternating Current/AC)
atau sumber arus searah (Dirrect Current/DC) yang dihasilkan dari generator arus
searah atau accu. Proses pengelasan SMAW dilakukan dengan menggunakan
energi listrik (AC/DC), energy listrik dikonversikan menjadi energy panas dengan
membangkitkan busur listrik melalui sebuah elektroda (Bintoro, 1999).
Santoso (2006) mengemukakan bahwa besarnya kuat arus las pada
pengelasan yang diperlukan tergantung pada diameter elektroda, tebal bahan yang
dilas, jenis elektroda yang digunakan, geometri sambungan, diameter inti elektroda,
14
dan posisi pengelasan. Daerah las mempunyai kapasitas panas tinggi maka
diperlukan arus yang tinggi.
Kuat arus las merupakan parameter las yang langsung mempengaruhi
penembusan dan kecepatan pencairan logam induk. Makin tinggi arus las maka
akan semakin besar penembusan dan kecepatan pencairannya. Besar arus pada
pengelasan mempengaruhi hasil las, apabila arus terlalu rendah maka perpindahan
cairan dari ujung elektroda yang digunakan sangat sulit dan busur listrik yang
terjadi tidak stabil. Panas yang terjadi tidak cukup untuk melelehkan logam dasar,
sehingga menghasilkan bentuk rigi-rigi las yang kecil dan tidak rata serta
penembusan kurang dalam. Sedangkan apabila arus terlalu besar, maka akan
menghasilkan manik melebar, butiran percikan kecil, penetrasi dalam serta
peguatan matrik las tinggi (Santoso, 2006).
Menurut Santoso dalam Risca (2018), variasi kuat arus pengelasan
memberikan pengaruh besar terhadap nilai kekuatan tarik pada sambungan las.
Rata-rata nilai kekuatan tarik dengan kuat arus rendah akan mengalami penurunan
dari bahan baku yang sudah ada. Sedangkan kuat arus pengelasan yang besar akan
mengalami peningkatan nilai rata-rata kekuatan tarik dari bahan baku material.
Hubungan diameter elektroda dengan arus pengelasan dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Hubungan diameter elektroda dengan arus pengelasan
(Sumber : Saputra et al., 2016)
Berdasarkan penjelasan diatas, maka kuat arus pengelasan yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah 60A, 70A, 80A. Karena pelat yang
Diameter kawat las (mm) Arus las (Ampere)
2.5 60 – 90
2.6 60 – 90
3.2 80 – 130
4.0 150 – 190
5.0 180 – 250
15
digunakan tidak terlalu tebal maka variasi arus yang saya gunakan tidak teerlalu
besar.
2.4.2 Sambungan Kampuh
Salah satu faktor yang mempengaruhi hasil pengelasan adalah pemilihan jenis
kampuh yang sesuai dengan pembebanan yang dapat memperpanjang usia
konstruksi yang dikerjakan (Alip, 1989). Menurut Ardiyanto (2017), kampuh las
harus dirancang untuk pengelasan yang efisien secara ekonomis dan mudah
pelaksanaannya serta untuk meminimalkan cacat las. Jenis kampuh yang sesuai
dengan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kampuh V. Bentuk
kampuh V dapat dilihat pada Gambar 2.4
Gambar 2.4 Bentuk kampuh V
(Sumber : Syaripuddin et al., 2014)
Sambungan tumpul V tunggal dapat dirancang secara tertutup maupun
terbuka. Sambungan ini lebih kuat dibandingkan dengan sambungan tumpul lurus
dalam penggunaannya untuk penyambungan logam dengan pembebanan tekanan
yang besar. Biaya persiapan sambungan akan lebih tinggi dan jumlah pengisian
lebih banyak jika pengisian hanya satu sisi dengan pengelasan berulang.
Berdasarkan hasil penjelasan diatas, pembuatan sudut kampuh sangat
berpengaruh pada hasil pengelasan. Maka dari itu pada penelitian kali ini akan
menggunakan kampuh V dengan dengan sudut kemiringan 60°.
16
2.4.3 Elektroda
Pengelasan SMAW memerlukan kawat las (elektroda) yang terdiri dari satu
inti terbuat dari logam yang dilapisi lapisan campuran kimia. Fungsi dari elektroda
adalah pembangkit dan bahan tambah. Elektroda terdiri dari dua bagian yaitu
bagian berselaput (fluks) dan tidak berselaput merupakan pangkal menjepitkan tang
las. Fungsi dari fluks adalah melindungi logam cair dari lingkungan udara,
menghasilkan gas pelindung, menstabilkan busur (Santoso, 2006).
Menurut (Sonawan, 2003), pemilihan elektroda dalam pengelasan baja tahan
karat didasarkan pada kemiripan komposisi kimia logam induk dan dan kawat las
elektroda. Jadi sebisa mungkn, elektroda dan logam induk sejenis. Pada standar
AWS A5.4 menyatakan elektroda yang tersedia harus sesuai dengan komposisi
logam dasar, namun komposisi kimia sebenarnya dari logam pengisi secara tipikal
lebih tinggi dari logam dasar, karena beberapa elemen sering hilang dalam transfer
melinasi busur. Pada penelitian ini jenis elektroda yan akan digunakan adalah E308-
16 dengan diameter 2,6 mm. Elektrode las dapat dilihat pada Gambar 2.5
Gambar 2.5 Elektroda las
(Sumber: Bintoro, 2005)
Elektroda baja tahan karat menurut klasifikasi AWS (American Welding
Society) A5.4 dinyatakan dengan tanda E XXX(X), yang artinya E menyatakan
elektroda busur listrik, XXX(X) sesudah E menyatakan komposisi stainless steel.
17
X (angka ketiga) menyatakan posisi pengelasan. Angka 1 untuk pengelasan segala
posisi. Angka 2 untuk pengelasan posisi datar dan horisontal.(Anggaretno et al.,
2012). Persyaratan komposisi kimia untuk elektroda pelindung arc staainless steel
shielded metal dapat dilihat pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Persyaratan komposisi kimia elektroda pelindung arc staainless steel shielded metal
AWS
Clasifications
UNS
Number
Composition wt.%
C Cr Ni Mo Nb+Ta Ma Si P S N Cu
E209-XXt W32210 0,06 20,5-24,0 9,5-12,0 1,5-3,0 - 4,0-7,0 0,90 0,04 0,03 0,10-0,30 0,75 E219-XX W32310 0,06 19,0-21,5 5,5-7,0 0,75 - 8,0-10,0 1,00 0,04 0,03 0,10-0,30 0,75
E240-XX W32410 0,06 17,0-19,0 4,0-6,0 0,75 - 10,5-13,5 1,00 0,04 0,03 0,10-0,30 0,75
E307-XX W30710 0,04-0,14 18,0-21,5 9,0-10,7 0,5-1,5 - 3,30-4,75 0,90 0,04 0,03 - 0,75 E308-XX W30810 0,08 18,0-21,0 9,0-11,0 0,75 - 0,5-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75
E308H-XX W30810 0,04-0,08 18,0-21,0 9,0-11,0 0,75 - 0,5-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75
E308L-XX W30813 0,04 18,0-21,0 9,0-11,0 0,75 - 0,5-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75 E308Mo-XX W30820 0,08 18,0-21,0 9,0-12,0 2,0-3,0 - 0,5-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75
E308LMo-XX W30823 0,04 18,0-21,0 9,0-12,0 2,0-3,0 - 0,5-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75
E309-XX W30910 0,15 22,0-25,0 12,0-14,0 0,75 - 0,5-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75 E309H-XX - 0,04-0,15 22,025,0 12,0-14,0 0,75 - 0,5-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75
E309L-XX W30913 0,04 22,0-25,0 12,14,0 0,75 - 0,5-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75
E309Cb-XX W30917 0,12 22,0-25,0 12,0-14,0 0,75 0,70-1,00 0,5-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75 E309Mo-XX W30920 0,12 22,0-25,0 12,0-14,0 2,0-3,0 - 0,5-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75
E309LMo-XX W30923 0,04 22,0-25,0 12,0-14,0 2,0-3,0 - 0,5-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75
E310-XX W31010 0,08-0,20 25,0-28,0 20,0-22,5 0,75 - 1,0-2,5 0,75 0,03 0,03 - 0,75 E310H-XX W31015 0,35-0,45 25,0-28,0 20,0-22,5 0,75 - 1,0-2,5 0,75 0,03 0,03 - 0,75
E310Cb-XX W31017 0,12 25,0-28,0 20,0-22,0 0,75 0,70-1,00 1,0-2M5 0,75 0,03 0,03 - 0,75
E310Mo-XX W31020 0,12 25,0-28,0 20,0-22,0 2,0-3,0 - 1,0-2,5 0,75 0,03 0,03 - 0,75 E312-XX W31310 0,15 28,0-32,0 8,0-10,5 0,75 - 0,5-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75
E316-XX W31610 0,08 17,0-20,0 11,0-14,0 2,0-3,0 - 0,5-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75
E316H-XX W31613 0,04-0,08 17,0-20,0 11,0-14,0 2,0-3,0 - 0,5-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75 E316L-XX W31613 0,04 17,0-20,0 11,0-14,0 2,0-3,0 - 0,5-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75
E317-XX W31710 0,08 18,0-21,0 12,0-14,0 3,0-4,0 - 0,5-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75
E317L-XX W31713 0,04 18,0-21,0 12,0-14,0 3,0-4,0 - 0,5-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75 E318-XX W31910 0,08 17,0-20,0 11,0-14,0 3,0-4,0 6 x %C min,
1,00 max
0,5-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75
E320-XX W88021 0,07 19,0-21,0 32,0-36,0 3,0-4,0 8 x %C min, 1,00
0,5-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75
E320LR-XX W88022 0,03 19,0-21,0 32,0-36,0 2,0-3,0 8 x %C min
0,40 max
1,50-2,50 0,30 0,020 0,015 - 3,0-4,0
E330-XX W88331 0,18-0,25 14,0-17,0 33,0-37,0 0,75 - 1,0-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75
E330H-XX W88335 0,35-0,45 14,0-17,0 33,0-37,0 0,75 - 1,0-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75 E347-XX W34710 0,08 18,0-21,0 9,0-11,0 0,75 8 x %C min,
1,00
0,5-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75
E349-XXefg W34910 0,13 18,0-21,0 8,0-10,0 0,35-0,65 0,75-1,2 0,5-2,5 0,90 0,04 0,03 - 0,75 E383-XX W88028 0,03 26,5-29,0 30,0-33,0 3,2-4,2 - 0,5-2,5 0,90 0,02 0,02 - 0,6-1,5
E385-XX W88904 0,03 19,5-21,5 24,0-26,0 4,2-52 - 1,0-2,5 0,75 0,03 0,02 - 1,2-2,0
E410-XX W41010 0,03 11,0-13,5 0,75 0,7 - 1,0 0,90 0,04 0,03 - 0,75 E410NiMo-XX W41016 0,06 11,0-12,5 4,0-5,0 0,40-0,70 - 1,0 0,90 0,04 0,03 - 0,75
E430-XX W43010 0,10 15,0-18,0 0,6 0,75 - 1,0 0,90 0,04 0,03 - 0,75
E502-XX1/2 W50210 0,10 4,0-6,0 0,4 0,45-0,65 - 1,0 0,90 0,04 0,03 - 0,75 E505-XX1/2 W50410 0,10 8,0-10,5 0,4 0,45-0,65 - 1,0 0,90 0,04 0,03 - 0,75
E630-XX W37410 0,05 16,0-16,75 4,5-5,0 0,75 0,15-0,30 0,25-0,75 0,75 0,04 0,03 - 3,25-4,0
E16-8-2-XX W36810 0,10 14,5-16,5 1,0-2,0 - 0,5-2,5 0,60 0,03 0,03 0,03 - 0,75 E7Cr-XX1/2 W50310 0,10 6,0-8,0 0,4 0,45-0,65 - 1,0 0,90 0,04 0,03 - 0,75
E2209-XX W39209 0,04 21,5-23,5 8,5-10,5 2,5-3,5 - 0,5-2,0 0,90 0,04 0,03 0,08-0,20 0,75
E2553-XX W39553 0,06 24,0-27,0 6,5-8,5 2,9-3,9 - 0,5-1,5 1,0 0,04 0,03 0,10-0,25 1,5-2,5 E2593-XX W39593 0,04 24,0-27,0 8,5-11,0 2,9-3,9 - 0,5-1,5 1,0 0,04 0,03 0,08-0,25 1,5-3,0
(Sumber: Wiryosumarto et al., 2000)
18
Tabel 2.3 Jenis welding Curerent dan posisi Welding
AWS Classification Welding Current Welding Position
EXXX(X)-15 dcep Alld
EXXX(X)-25 dcep H,F
EXXX(X)-16 dcep or ac Alld
EXXX(X)-17 dcep or ac Alld
EXXX(X)-26 dcep or ac H,F
(Sumber: Wiryosumarto et al., 2000)
2.4.4 Tegangan Busur
Tingginya tegangan busur las tergantung pada panjang busur yang digunakan
dan jenis dari elektroda yang digunakan. Pada elektroda yang sejenis tingginya
tegangan busur yang diperlukan perbandingan lurus dengan panjang busur. Panjang
busur yang dianggap baik kira-kira sama dengan garis tengah elektroda (Simanlab,
2017). Selain itu, stabilitas tegangan busur dapat dirasakan dari suara pengelasan
yang stabil (Daryanto, 2012).
Tegangan busur tidak banyak mempengaruhi besarnya masukan panas,
melainkan mempengaruhi bentuk manik las. Pada umumnya tegangan rendah akan
menghasilkan manik las yang sempit, sedangkan tegangan tinggi menghasilkan
manik las yang lebar dan datar (Risca, 2017).
2.4.5 Posisi pengelasan
Posisi pengelasan merupakan pengaturan posisi atau letak gerakan elektrode
las. Posisi pengelasan yang digunakan biasanya tergantung dari letak kampuh-
kampuh atau celah-celah benda kerja yang akan dilas. Posisi-posisi pengelasan
terdiri dari 4 macam posisi, diantaranya adalah posisi pengelasan dibawah tangan
(down hand position), posisi pengelasan mendatar (horizontal position), posisi
∗) Arti simbol: F = datar
V = vertikal
OH = atas kepala
H = horizontal
H-S = horizontal las sudut
19
pengelasan tegak (vertical position), dan posisi pengelasan di atas kepala (over
head position) (Bintoro, 2000). Berikut adalah pengertian posisi-posisi pengelasan:
Posisi dibawah tangan (down hand position)
Gambar 2.6 Posisi dibawah tangan (down hand position)
(Sumber : Prasetyadi, 2016)
Posisi pengelasan yang dilakukan pada permukaan rata/datar dan dilakukan
dibawah tangan. Kemiringan elektroda las sekitar 10º-20º terhada garis vertikal dan
70º-80º terhadap benda kerja (Gunawan et al., 2017).
Posisi pengelasan mendatar (horizontal position)
Gambar 2.7 Posisi pengelasan mendatar (horizontal position)
(Sumber :Gunawan et al., 2017)
Posisi pengelasan secara horizontal biasa disebut dengan proses pengelasan
merata dimana kedudukan benda kerja dibuat tegak dan arah elektroda mengikuti
horizontal. Saat proses pengelasan, elektroda dibuat miring sekitar 5º-10º terhadap
garis vertikal dan 70º- 80º kearah benda kerja (Gunawan et al., 2017).
20
Posisi pengelasan tegak (vertical position)
Gambar 2.8 Posisi pengelasan tegak (vertical position)
(Sumber : Gunawan et al., 2017)
Posisi pengelasan tegak dilakukan arah pengelasannya keatas atau kebawah.
Posisi pengelasan ini termasuk pengelasan yang paling sulit karena bahan cair yang
mengalir atau menumpuk diarah bawah dapat diperkecil dengan kemiringan
elektroda sekitar 10º-15º terhada garis vertikal dan 70º-85º terhadap benda kerja
(Gunawan et al., 2017).
Posisi pengelasan diatas kepala (over head position)
Gambar 2.9 Posisi pengelasan diatas kepala (over head position)
(Sumber : Gunawan et al., 2017)
Posisi pengelasan diatas kepala sangat susah dan berbahaya karena bahan
cair banyak berjatuhan dapat mengenai juru las, oleh karena itu diperlukan
perlengkapan yang serba lengkap antara lain: baju las, sarung tangan, sepatu kulit
21
dan sebagainya. Mengelas dengan posisi ini benda kerja terletak pada bagian atas
juru las dan kedudukan elektroda sekitar 5º-20º terhadap garis vertikal dan 75º-85º
terhadap benda kerja.
Menurut Tarkono (2010) mengemukakan bahwa posisi pengelasan yang
baik adalah dengan menggunakan posisi down hand dan posisi vertikal, karena
kampuh akan terisi penuh oleh logam las. Pada penelitian ini akan menggunakan
posisi down hand (1G).
2.5 Distorsi Spesimen
Wibowo et al., (2016) mengemukakan bahwa distorsi merupakan suatu
perubahan bentuk atau kontur yang diinginkan. Distorsi yang terjadi pada hasil
lasan biasanya berupa bentuk yang sangat rumit. Macam distorsi dapat dibedakan
transverse shrinkage, longitudinal shrinkage, anguler. Adanya proses penyusutan,
pembukuan dan kontraksi termal dari logam las selama proses pengelasan,
spesimen mempunyai kecenderungan untuk menyimpang yang menyababkan
distorsi (Arifin & Hendrianto, 2018).
Arifin & Hendrianto (2018) juga mengemukakan bahwa distorsi mampu
menyebabkan dimensi sambungan las spesimen tidak sesuai dengan dengan desain
yang dibuat, bahkan jika distorsi ini melebihi batas penerimaan standar yang telah
ditentukan, maka sambungan las harus diperbaiki. Gambar 10. Menggambarkan
beberapa macam distorsi yang terjadi saat prosess pengelasan.
22
Gambar 2.10 Macam distorsi saat pengelasan
(Sumber : Arifin & Hendrianto, 2018)
Beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya distorsi spesimen saat proses
pengelasan yaitu 1) pengikatan (tack weld) bagian yang disambung, 2) pemilihan
bentuk kampuh yang tepat sesuai ketebalan benda kerja, 3) teknik weaving, 4) heat
input disesuaikan dengan ketebalan benda kerja, dan 5) penerapan pengelasan
intermiten pada sambungan las yang panjang (Kusdiyarto & Djatmiko, 2018).
2.6 Kekuatan Tarik
Cara mengetahui sifat-sifat suatu bahan maupun mutu hasil lasan, tentu kita
harus mengadakan pengujian terhadap bahan tersebut. Ada empat jenis uji coba
yang biasa dilakukan, salah satunya adalah uji kekuatan tarik (tensile test). Menurut
Saputra et al., (2014), pengujian kekuatan tarik bertujuan untuk mengetahui sifat-
sifat mekanik dan perubahan-perubahannya dari suatu logam terhadap gaya tarik
yang diberikan. Pengujian ini paling sering di lakukan karena merupakan dasar
pengujian-pengujian dan studi mengenai kekuatan bahan.
23
Uji tarik adalah cara pengujian bahan yang paling mendasar. Pengujian ini
sangat sederhana, tidak mahal dan sudah mengalami standarisasi di seluruh dunia,
misalnya di Amerika dengan ASTM E8 dan Jepang dengan JIS 2241. Dengan
menarik suatu bahan maka akan diketahui bagaimana bahan tersebut bereaksi
terhadap tenaga tarikan dan mengetahui sejauh mana material itu bertambah
panjang. Alat eksperimen untuk uji tarik ini harus memiliki cengkeraman (grip)
yang kuat dan kekakuan yang tinggi (highly stiff) (Risca, 2017).
Spesimen uji kekuatan tarik yang digunakan untuk sambungan las harus
diambil dari hasil sambungan las yang dianggap dapat mewakili dari proses
pengelasan. Untuk menentukan sifat-sifat mekanis dari daerah las.
Gambar 2.11 Spesimen uji tarik ASTM E8/E8M
(Sumber: ASTM, 1993)
Pada pengujian tarik beban diberikan secara kontinu dan pelan–pelan
bertambah besar, bersamaan dengan itu dilakukan pengamatan mengenai
perpanjangan yang dialami benda uji dan dihasilkan kurva tegangan-regangan
(Risca, 2017).
24
Gambar 2.12 Kurva tegangan-regangan
(Sumber : Wiryosumarto, 2000)
Tegangan dapat diperoleh dengan membagi beban dengan luas penampang
mula benda uji.
σu = 𝐹𝑢
𝐴𝑜
Dimana:
σu = Tegangan nominal (kg/mm2)
Fu = Beban maksimal (kg)
Ao = Luas penampang mula dari penampang batang (mm2)
Regangan (persentase pertambahan panjang) yang diperoleh dengan
membagi perpanjangan panjang ukur (L) dengan panjang ukur mula-mula benda
uji.
ε = LoL Χ100% = L Lo
−Lo Χ100 %…………………..(2-6)
L = Panjang akhir (mm)
Lo = Panjang awal (mm)
Pembebanan tarik dilakukan terus-menerus dengan menambahkan beban
sehingga akan mengakibatkan perubahan bentuk pada benda berups pertambahan
panjang dan pengecilan luas permukaan dan akan mengakibatkan kepatahan pada
beban. Persentase pengecilan yang terjadi dapat dinyatakan dengan rumus sebagai
berikut:
25
q = ∆𝐴
𝐴𝑜 𝑋100% =
𝐴𝑂−𝐴1
𝐴𝑂𝑋100% … … … … …
Dimana:
q = Reduksi penampang (%)
Ao = Luas penampang mula (mm2)
A1 = Luas penampang akhir (mm2)
Gambar 2.13 Batas elastis dan tegangan luluh 0,2%
(Santoso, 2006)
2.7 Stainless Steel 304
Stainless Steel merupakan salah satu jenis baja telah banyak digunakan dan
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Stainless steel banyak menawarkan
proteksi fisik yang sangat bagus, mudah dibentuk, dekoratif serta dapat didaur ulang
tanpa harus mengurangi kualitas senyawa penyusunnya. Campuran stainless steel
mengandung senyawa kromium dengan presentase sedikitnya 11% yang cukup
untuk dapat membentuk suatu lapisan pasif pada permukaan baja (Ojahan, 2017).
Stainless steel memiliki sifat tidak mudah terkorosi seperti logam baja yang
lain. Stainless steel berbeda dari baja biasa dari kandungan kromnya. Baja karbon
akan terkorosi ketika diekspos pada udara yang lembab. Besi oksida yang terbentuk
bersifat aktif dan akan mempercepat korosi dengan adanya pembentukan oksida
besi yang lebih banyak lagi. Stainless steel memiliki persentase jumlah krom yang
26
memadahi sehingga akan membentuk suatu lapisan pasif kromium oksida yang
akan mencegah terjadinya korosi lebih lanjut (Sumarji, 2011).
Menurut Sumarji (2011), ada berbagai macam jenis dari stainless steel.
Ketika nikel ditambahkan sebagai campuran, maka stainless steel akan berkurang
kegetasannya pada suhu rendah. Apabila diinginkan sifat mekanik yang lebih kuat
dan keras, maka dibutuhkan penambahan karbon. Salah satu jenis stainless steel
yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah stainless steel tipe 304.
Stainless steel tipe 304 merupakan jenis baja tahan karat yang serbaguna. Stainless
steel tipe 304 ini banyak digunakan dalam dunia industri maupun skala kecil.
Penggunaannya antara lain untuk: tanki dan container untuk berbagai macam cairan
dan padatan, peralatan pertambangan, kimia, makanan, dan industri farmasi.
2.7.1 Karakteristik Stainless Steel 304
Stainless steel tipe 304 merupakan salah satu jenis stainless steel yang banyak
dipakai pada dunia industri. Hal ini dikarena stainless steel tipe 304 memiliki sifat
mekanik yang cukup kuat, tahan terhadap korosi, mampu mencegah kontaminasi
dan mudah dibersihkan (Ojahan, 2017). Bentuk stainless steel tipe 304 dapat dilihat
pada Gambar 2.17
Gambar 2.14 Stainless steel tipe 304
(Sumber : Sandra, 2013)
27
Sumarji (2011) mengemukakan bahwa beberapa sifat mekanik yang dimiliki
stainless steel tipe 304 diantaranya adalah kekuatan tarik 646 Mpa, yield strength
270 Mpa, elongation 50%, dan kekerasan 82 HRB. Penggunaan stainless steel tipe
304 meningkat secara signifikan seperti alat kesehatan, kaleng pengemas makanan
dan minuman, mesin produksi pengolah makanan dan minuman, bidang automotif
serta peralatan rumah tangga bahkan fasilitas-fasilitas umum maupun bidang
konstruksi (Ojahan, 2017).
Karakteristik lain dari stainless steel tipe 304 yang menguntungkan adalah
berpenampilan menarik (attractive), tahan korosi (corrosion resistance),
berkekuatan tinggi (high strength) dan rendah perawatan (low maintenance).
Pemilihan bahan dalam penelitian ini dipilih stainless steel 304 tujuannya dalam
hal ini untuk mengimbangi laju korosi. Kelebihan dari bahan stainless steel 304
banyak, murah dan mudah diperoleh dipasaran, sedangkan kelemahan stainless
steel 304 adalah ketahanan korosi dan kekerasan stainless steel 304 lebih rendah
daripada stainless steel 316L (Perdana, 2016).
2.7.2 Komposisi Kimia Stainless Steel 304
Stainless steel 304 mengandung sedikitnya 18% kromium dan 8% nikel, dan
dikombinasikan dengan paling banyak 0,08% karbon. Penambahan unsur-unsur
tertentu dalam paduan stainless steel tipe 304 memiliki tujuan untuk mendapatkan
sifat-sifat yang diinginkan (Mulyaningsih et al., 2014). Sumarji (2011)
menambahkan stainless steel tipe 304 merupakan jenis baja tahan karat austenitic
stainless steel yang memiliki komposisi 0.042%C, 1.19%Mn, 0.034%P, 0.006%S,
28
0.049%Si, 18.24%Cr, 8.15%Ni, dan sisanya Fe. Komposisi kimia stainless steel
tipe 304 dapat dilihat pada Tabel 2.4
Tabel 2.4 Komposisi kimia stainless steel tipe 304
Unsur Minimum (% berat) Maksimum (% berat)
C 0,04 0,04
Si 1,00 1,00
Mn 2,00 2,02
Ni 8,00 10,50
Cr 18,00 20,00
(Sumber : Setiawan & Sungkono, 2017)
Berdasarkan Tabel 2.4 Chromium (Cr) merupakan elemen yang paling
penting dalam stainless steel tipe 304. Keberadaan elemen ini yang menyebabkan
stainless steel menjadi tahan terhadap korosi. Walaupun demikian kondisi
lingkungan tetap menjadi penyebab kerusakan lapisan pelindung tersebut. Tetapi
jika lapisan pelindung sudah tidak lagi terbentuk, maka korosi akan terjadi
(Mulyaningsih et al., 2014). Korosi terjadi akibat adanya oksida logam tersebut
tidak akan terbentuk pada pH rendah (Harmami & Wardhani, 2014).