bab ii - ptk the frontiers of new … · web viewmemberikan tanggapan terhadap kesimpulan kelompok...

70
MODEL - Konstruktivisme - Hipotesis Deduktif - Inquiry Ilmiah, Kritis, Mengadili, Toleran, Skeptis, Kerjasama, dll

Upload: vothuan

Post on 08-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MODEL

- Konstruktivisme

- Hipotesis Deduktif

- Inquiry

Ilmiah, Kritis, Mengadili,

Toleran, Skeptis, Kerjasama, dll

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Hakikat Pengetahuan Menurut Konstruktivisme

Cukup lama diterima bahwa pengetahuan merupakan refleksi realita yang

terlepas dari pengamat, artinya pengetahuan bersifal objektif. Pendapat lain

dikemukakan oleh penganut realisme yang menyatakan bahwa pengetahuan

adalah merupakan tiruan dari realita di dalam pikiran kita (Bodner, 1986: 874).

Penganut realisme akan membenarkan pendapat bahwa pengetahuan dapat

dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Pendapat lain juga

diberikan oleh para penganut rasionalisme menyatakan bahwa pengetahuan ada

secara apriori di dalam pikiran manusia. Pengetahuan diperoleh melalui berpikir

dan terlepas dari pengalaman manusia.

Namun akhir-akhir ini, terlebih dalam bidang sains, diterima bahwa

pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar. Pengetahuan lebih

dianggap sebagai suatu proses konstruksi yang terus-menerus berkembang.

Menurut Piaget (dalam Suparno, 1997: 18) sejarah revolusi sains menunjukkan

perubahan konsep-konsep pengetahuan yang penting. Konstruktivisme adalah

salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah

konstruk kita sendiri (Von Glasersfeld dalam Suparno, 1997: 18). Von Glaserfeld

menegaskan hahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan kenyataan. Pengetahuan

selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui interaksi

1

seseorang dengan lingkungan. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep,

dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan. Proses

pembentukan ini berjalan terus-menerus dengan setiapkali mengadakan

reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru.

Para konstruktivis menjelaskan bahvva saru-satunya alat bagi seseorang

untuk mengetahui sesuatu adalah inderanya. Seseorang berinteraksi dengan objek

dan lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan

merasakannya. Misalnya dengan mengamati air, bermain air, dan menimbang air

seseorang membangun gambaran tentang air. Para konstruktivis percaya bahwa

pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan

itu tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang ke pada otak orang

lain. Murid sendinlah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan

menyesuaikan terhadap pengalaman-peagalaman mereka. Konstruktivis

menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah konstruksi kita

sendiri, maka mereka menolak kemungkinan transfer pengetahuan dari seseorang

kepada orang lain. Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat ditransfer

begitu saja dari pikiran yang mempunyai pengetahuan ke pikiran orang yang

belum mempunyai pengetahuan. Bahkan bila seorang guru bermaksud

mentransfer konsep, ide, dan pengertian kepada seorang murid, pemindahan itu

harus diinterpretasikan dan dikonstruksi oleh siswa lewat pengalamannya (Von

Giasersfeld dalam Suparno, 1997: 20). Banyaknya siswa yang salah menangkap

apa yang diajarkan oleh gurunya menunjukkan bahwa pengetahuan itu tidak dapat

begitu saja dipindahkan, melainkan harus dikonstruksi atau paling sedikit

diinterpretasikan sendiri oleh siswa.

2

Dalam proses konstruksi itu, menurut Von Glasersfeld (dalam Suparno,

1997: 20) diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut: (1) kemampuan

mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan

membandingkan, dan kemampuan untuk lehih menyukai pengalaman yang satu

daripada yang lain. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali

pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi

dengan pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan membandingkan sangat

penting untuk dapat menarik sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman

khusus serta melihat kesamaan dalam perbedaannya untuk dapat membuat

klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan.

Pandangan konstrukuvisme ini akan melahirkan model konstruktivis

dalam belajar dan mengaiar. Strategi pembelajaran yang berlandaskan

eistemologi konstruktivis mengaku subjektivitas observasi. Apa yang kita lihat

adalah suatu interpretasi terhadap pengalaman kita yang didasarkan atas struktur

kognitif yang kita miliki (Sadia, 1996: 3).

Teori struktur yang dikemukakan oleh Piaget merupakan akar dari

pandangan konstruktivisme. Piaget (1970: 78) menyatakan bahwa untuk

mengetahui suatu objek kita harus melakukan aksi terhadap objek tersebut dan

mentransformasikannya. Menurut Piaget, menjadi tahu adalah suatu proses aktif

dalam mana individu berinteraksi dengan lingkungan dan mentransformasikannya

di dalam pikiran dengan menggunakan struktur-struktur yang telah ada dalam

pikiran.

3

2.1.2 Implikasi Model Konstruktivis dalam Pembelajaran

Ada beberapa batasan tentang belajar yang dikemukakan oleh para

penganut konstruktivisme. Menurut kaum konstruktivisme, belajar merupakan

proses aktif siswa mengkonstruksi-arti teks, dialog, pengalaman fisis dan lain-lain

Belajar juga merupakan proses mengasimilasi dan menghubungkan informasi

baru dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya

dikembanykan. Jelas bahwa bagi konstruktivisme, kegiatan belajar adalah

kegiatan yang aktif. Di mana siswa membangun sendiri pengetahuannya. Siswa

mencari arti sendiri dan yang mereka pelajari. Ini merupakan proses

menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada

dalam pikiran mereka (Dahar, 1989: 112). Menurut konstruktivisme, siswa

sendirilah yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Mereka sendiri yang

membuat penalaran atas apa yang dipelajarinya dengan cara mencari makna,

membandingkan dengan apa yang telah ia ketahui serta menyelesaikan

ketegangan antara apa yang telah ia ketahui dengan apa yang ia perlukan dalam

pengalaman baru. Pendapat lain dikemukakan oleh Shymansky dan Kyle (dalam

Sadia, 1996: 11), bahwa belajar merupakan pengkonstruksian pengetahuan oleh

individu-individu sebagai pemberian makna atas data sensori dalam hubungannya

dengan pengetahuan sebelumnya. Dengan demikian, belajar dapat didefinisikan

sebagai pembentukan makna secara aktif oleh pebelajar terhadap masukan sensori

haru yang didasarkan atas struktur kognitif vang telah dimiliki sebelumnya.

Fosnot (dalam Suparno, 1997: 62) mengemukakan bahwa bagi kaum

konstruktivisme, belajar adalah sualu proses organik untuk memenuhi sesuatu

bukanr suatu proses mekanik untuk mengumpulkan fakta. Belajar itu suatu

4

perkembangan pemikiran dengan membuat kerangka pengertian yang berbeda.

Pebelajar harus punya pengalaman dengan membuat hipotesis, mengetes

hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mengadakan refleksi, dan

lain-lain untuk membentuk konstruksi yang baru. Siswa harus membentuk

pengetahuan mereka sendiri dan guru membantu sebagai mediator dalam proses

pembentukan itu. Belajar yang berani terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik,

pengertian, dan dalam proses selalu memperbarui tingkat pemikiran yang tidak

lengkap.

Proses belajar dalam model konstruktivis bercirikan oleh hal-hal sebagai

berikut (Suparno, 1997: 61).

1) Belajar berani memberi makna. Makna yang diciptakan oleh sisvva berasal

dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi ini

dipengaruhi pengertian yang telah dipunyai.

2) Konstruksi arti adalah proses yang terus-menerus. Setiapkali berhadapan

dengan fenomena atau persoalan yang baru akan diadakan rekonstruksi baik

secara kuta maupun lemah.

3) Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta melainkan lebih merupakan

suutu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Suatu

perkembangan menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran

seseorang.

4) Proses belaiar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam

keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut.

5) Pengetahuan awal siswa sangat mempengaruhi stimulus mana yang akan

diikuti atau dipilihnya.

5

6) Masukan vang diperhatikan dan dipilih tidak segera mempunyai makna bagi

siswa bersangkutan.

7) Siswa membuat hubungan-hubungan antara masukan sensori dan gagasan-

gagasan yang telah ada pada dirinya dianggap relevan.

8) Siswa mengkonstrusi makna dan hubungan-hubungan antara masukan sensori

dan pengatahuan yang lelah dimilikinya.

9) Siswa mungkin menguji puakna-makna yang disusun yang berlawanan dengan

memori dan pengalaman yang dirasakannya.

10) Siswa mungkin memasukkaii konstruksi-konstruksi ke dalam salah satu

memori dengan menghubungkan pada gagasan-gagasan yang ada atau dengan

cara melakukan restrukturisasi gagasan-gagasannya.

11) Siswa akan meletakkan beberapa status pada konstruksi baru dan akan

menerima atau menolaknya.

(Tasker, 1992: 29-30)

Bertolak dan pandangan konstruktivis yang menyatakan bahwa

pengetahuan dibangun dalam pikiran siswa, maka penganut konstruktivis

menghendaki adanya pergeseran yang tajam dalam perspektif bagi individu-

individu vang berdiri di muka kelas sebagai guru. Suatu pergeseran dari seorang

yang mengajar menjadi seorang fasilitator dan mediator. Bagi kaum konstruktivis,

mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa,

melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri

pengalamannya. Mengajar berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk

pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersifat kritis, dan mengadakan

jastifikasi (Bettencourt dalam Suparno, 1996: 65). Menurut prinsip konstruktivis,

6

seorang pengajar berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar

proses belajar siswa berjalan dengan baik. Fungsi mediator dan fasilitator dapat

dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut:

a) Menyediakan pengalaman belajar yang memungkunkan siswa bertanguung

jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu jelas

memberikan ceramah bukanlah tugas utama pengajar.

b) Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif.

Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses

belajar siswa.

c) Memonitor dan membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.

Menurut Sadia (1996: 27) guru dalam kapasitasnva sebayai fasilitatir atau

mediator mempunyai ciri-ciri: 1) menyiapkan kondisi yang kondusif bagi

berlangsungnya proses pembelajaran dengan menyajikan problem-problem yang

menantang bagi siswa, 2) berupaya unmk menggali dan memahami pengetahuan

awal siswa, 3) selalu menggunakan pengetahuan awal siswa baik dalam

merancang maupun mengimplementasikan program pembelajaran. 4) berusaha

untuk merangsang dan memberi kesempatan yang luas kepada siswa untuk

mengemukakan gagasan-gagasannya, 5) lebih menekankan kepada argumentasi

atas respon siswa dan pada benar salahnya, 6) tidak melakukan upaya transfer

pengetahuan kepada siswa dan selalu sadar bahwa pengetahuan dibangun di

dalam pikiran siswa, 7) menggunakan strategi pengubah konseptual dalam upaya

mengubah miskonsepsi-miskonsepsi yang dibawa siswa menuju konsepsi ilmiah,

dan 8) menyiapkan dan menyajikan pada saat yang tepat berbagai konflik kognitif

7

dan contoh tandingan yanu dapat mengarahkan siswa dalam merekonstruksi

gagasan-gagasannya menuju pengetahuan ilmiah.

Karena siswa harus membangun sendiri pengetahuan mereka, seorang

pengajar harus melihat mereka bukan sebagai lembaran kertas kosong. Mereka

sudah membawa pengetahuan awal. Pengetahuan yang mereka punyai adalah

dasar untuk membangun pengetahuan selanjutnya, karena itu pengajar perlu

mengerti pada taraf mana pengetahuan mereka. Tuga pengajar adalah membantu

agar siswa mampu mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasinya

yang konkret maka strategi mengajar perlu juga disesuaikan dengan kebutuhan

dan situasi siswa.

2.5.3 Siklus Belajar Hipotesis-Deduktif

Sesuai dengan prinsip mengajar menurut model konstruktivis seperti yang

telah dikemukakan di atas, di mana mengajar bukan sebagai proses di mana

gagasan-gagasan pengajar diteruskan pada siswa, melainkan sebagai proses untuk

mengubah gagasan-gagasan siswa yang sudah ada yang mungkin salah. Dasar

pemikiran para konstruktivis ialah, bahwa pengajaran efektif menghendaki agar

pengajar mengetahui bagaimana siswa memandang fenomena yang menjadi

subjek pengajaran. Pelajaran kemudian dikembangkan dari gagasan yang telah

ada. Salah satu strategi mengajar untuk menerapkan model konstruktivis ialah

penggunaan siklus belajar (Herron dalam Dahar, 1989: 164). Siklus belajar terdiri

atas tiga fase, yaitu fase ekplorasi, fase pengenalan konsep dan aplikasi konsep.

8

a) Fase Ekplorasi

Tahap eksplorasi konsep merupakan tahap awal siklus belajar. Tujuan dari

tahap ini adalah memberikan kesempatan pada siswa untuk menerapkan

pengetahuan awalnya, untuk membentuk minat dan prakarsa serta tetap menjaga

keingintahuan mereka tentang topik yang sedang dipelajari. Trowbridge dan

Vybee (1990: 306). Pada fase eksplorasi para siswa belajar melalui aksi dan reaksi

mereka sendiri dalam suatu situasi baru. Dalam fase ini mereka kerapkali

menyelidiki suatu fenomena dengan bimbingan minimal. Fenomena baru itu

seharusnya menimbulkan pertanyaan-pertanyaan atau kekomplekan yang tidak

dapat mereka pecahkan dengan gagasan-gagasan mereka yang ada atau dengan

pola-pola penalaran yang biasa mereka gunakan. Dengan kata lain, fase ini

menyediakan kesempatan bagi pra siswa untuk menyuarakan gagasan-gasan

mereka yang bertentangan dan dapat menimbulkan perdebatan dan suatu analisis

mengenai mengapa mereka mempunyai gagasan-gagasan demikian. Eksplorasi

juga membawa para siswa pada identifikasi suatu pola keteraturan dalam

fenomena yang diselidiki.

b) Fase Pengenalan Konsep

Fase pengenalan konsep dimulai dengan memperkenalkan suatu konsep

yang ada hubungannya dengan fenomena yang diselidiki dan didiskusikan dalam

konteks apa yang telah diamati selama fase eksplorasi, kemudian baru dikenalkan

secara konseptual. Kunci fase ini adalah untuk menampilkan konsep-konsep

secara sederhana, jelas dan langsung. Penjelasan diberikan dari suatu tindakan

atau proses agar konsep-konsep dibuat sederhana, dapat dipahami dan jelas.

Proses penjelasan memberikan suatu penggunaan umum istilah-istilah yang

9

berkaitan dengan konsep. Perhatian siswa diarahkan pada aspek-aspek tertentu

dari pengalaman eksplorasi. Konsep-konsep diperkenalkan secara formal dan

langsung.

c) Fase Aplikasi Konsep

Pada fase aplikasi konsep menyediakan kesempatan bagi para siswa untuk

menggunakan konsep-konsep yang telah diperkenalkan untuk menyelidiki lebih

lanjut sifat-sifat lain dari fenomena yang sudah diamati. Siswa dapat mencari

contoh-contoh lain sesuai dengan konsep-konsep yang telah diterima. Tujuan dari

fase ini adalah agar siswa dapat melakukan generalisasi atau mentransfer ide-ide

ke dalam contoh yang lain dan menguatkan kembali gagasan-gagasan siswa agar

sesuai dengan konsep ilmiah. Ketiga fase digambarkan pada gambar.

Gambar 21 Fase-fase Siklus Belajar(Dikutip dan Lawson, 1995: 138)

10

Term Introduction

Exploration

ConceptApplication

Term Introduction

Exploration

ConceptApplication

Term Introduction

Exploration

ConceptApplication

Gambar di atas menunjukkan bahwa siklus belajar terdiri dan 3 fase yaitu:

eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Jika siklus belajar digunakan

untuk merancang suatu kurikulum maka akan terbentuk kurikulum spiral. Istilah

dan konsep pada pembelajaran sebelumnya sering diaplikasikan dalam bagian

atau siklus helajar. Tahap eksplorasi sering membutuhkan aplikasi dari yang

sebelumnya. Tahap pengenalan konsep sering mengarahkan kepertanyaan-

pertanvaan dengan memberi siswa kesempatan untuk bekerja dengan pemahaman

sendiri untuk mencapai aplikasi dan konsep baru.

Lawson (1995: 139) mengemukakan tiga macam siklus belajar yaitu (1)

siklus belajar deskriptif. (2) siklus belajar empirik-induktif, dan (3) siklus belajar

hipotesis-deduktif. Siklus belajar deskriptif dimulai dengan eksplorasi dengan

menceritakan apa yang terjadi pada lingkungan dan konteks tertentu. Dalam siklus

belajar Empirik-induktif para siswa juga menemukan dan memberikan suatu pola

empirik dalam suaru kontek khusus eksplorasi tetapi mereka selanjutnva

mengemukakan sebab-sebab yang mungkin tentang terjadinya pola itu. Hal ini

membutuhkan penggunaan penalaran analogi untuk mentranfer konsep-konsep

yang telah dipelajari dalam konteks-konteks lain pada konteks baru pengenalan

konsep. Konsep-konsep itu dapat diperkenalkan oleh para siswa, guru, atau

kedua-duanya. Dengan kata lain, pengamatan-pengamatan dilakukan secara

deskriptif- tetapi bentuk siklus ini menghendaki lebih jauh yaitu mengemukakan

sebab dan menguji sebab itu. Bentuk siklus belajar yang ketiga yaitu hipotesis-

deduktif, dimulai dengan pertanyaan. Para siswa diminta untuk merumuskan

jawaban-jawaban (hipotesis-hipotesis) yang mungkin terhadap pertanyaan itu.

Selanjutnya para siswa diminta untuk menurunkan konsekuensi-konsekuensi logis

11

dan hipotesis-hipotesis ini, dan merencanakan serta melakukan eksperimen-

eksperimen untuk menguji hipotesis-hipotesis itu (eksplorasi). Analisis hasil-

hasil eksperimen menyebabkan beberapa hipotesis ditolak, sedangkan yang

lainnya diterima, dan konsep-konsep dapat diperkenalkan (pengenalan konsep).

Akhirnya konsep-konsep yang relevan dan pola-pola penalaran yang terlibat dan

didiskusikan, dapat diterapkan pada situasi-situasi lain dikemudian hari (aplikasi

konsep). Merumuskan hipotesis-hipotesis melalui deduksi logis dengan hasil

empirik, diperlukan dalam siklus belajar ini. Siklus belajar ini sangat cocok

diterapkan pada siswa yang telah memiliki konsepsi awal dan kemampuan

kognitif yang memadai untuk mengembangkan pertanyaan kausal dalam menguji

dan memperbaiki konsepsi awal mereka.

Langkah-langkah dalam menggunakan siklus belajar Hipotesis-Deduktif

(Lawson,1995: 141) adalah sebagai berikut:

1) Guru mengidentifikasi beberapa konsep dalam pembelajaran

2) Guru mengidentifikasi fenomena yang berkaitan dengan konsep yang

dipelajari

3) Pada fase eksplorasi, siswa menggali fenomena di atas sehingga muncul

beberapa pertanyaan

4) Hipotesis atau dugaan sementara siswa akan muncul, dan didiskusikan di

dalam kelas yang disusun dalam kelompok-kelompok kecil dan kemudian

merencanakan atau mendesain eksperimen (pengujian hipotesis)

5) Siswa melakukan eksperimen (pengujian hipotesis) sendiri

12

6) Pada fase pengenalan konsep, data hasil penyelidikan dibandingkan dan

dianalisis istilah-istilah dan konsep diperkenalkan sehingga hipotesis yang

diajukan diterima atau ditolak.

7) Pada fase aplikasi konsep, malalui diskusi kelas maka konsep yang telah

dipelajari diterapkan pada situasi baru.

8) Evaluasi adalah untuk menilai perubahan-perubahan dalam situasi baru

Kedelapan langkah tersebut dapat digambarkan seperti gambar 2.2

Gambar 2.2 Sintaks Siklus Belajar Hipotesis-Deduktif

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa siklus belajar Hipotesis-Deduktif

memberikan model pembelajaran yang sedemikian rupa, sehingga para siswa

mampu mengemukakan gagasan yang sudah mereka miliki dan menguji serta

mendiskusikan gagasan tersebut secara terbuka. Hal ini akan membantu siswa

untuk membangun konsep secara konstruktif, sehingga dapat mengurangi

13

Langkah 1Identifikasi Konsep

Oleh Guru

Langkah 2Identifikasi Fenomena

Oleh Guru

Langkah 3Eksplorasi Menggali

FenomenaOleh Siswa

Langkah 4Perumusan Hipotesis

Oleh Siswa

Langkah 5Siswa Melakukan

Eksperimen

Langkah 6Pengenalan Konsep

Langkah 7Aplikasi Konsep

Langkah 8Evaluasi

miskonsepsi pada diri siswa dan meningkatkan konsepsi ilmiah, yang akhirnya

akan memberi kontribusi pada peningkatan prestasi belajar siswa.

Berkaitan dengan hubungan siklus belajar dengan pengetahuan, awal,

Lawson (1995: 155) telah menemukan hubungan penting antara miskonsepsi dan

penggunaan siklus belajar. Lawson percaya bahwa penggunaan siklus belajar

memberikan keuntungan pada siswa untuk mengungkapkan pengetahuan awal

atau miskonsepsi mereka dan memberi kesempatan berargumentasi dan

memperdebatkan ide-ide mereka iru, dengan kata lain melalui siklus belajar

memberikan kesempatan kepada siswa untuk menumbuhkembangkan sifat kritis

mereka yang merupakan salah satu ciri sikap ilmiah.

2.1.4 Model Pembelajaran Inkuairi

Salah satu pendekatan ilmiah untuk memperoleh pengetahuan dapat

dilakukan dengan cara menyelidikinya sendiri (inquiry). Pada pendekatan ini apa

yang kita peroleh sebagian besar didasarkan oleh hasil usaha kita sendiri atas

dasar-dasar yang kita miliki. Dalam pengajaran IPA, mengajarkan melalui model

seperti ini tentunya akan membawa dampak besar bayi perkembangan mental

yang positif pada siswa, sebab melalui pengajaran ini siswa mempunyai

kesempatan yang luas untuk mencari dan menemukan sendiri apa yang

dibutuhkannya.

Model pembelajaran inkuari adalah suatu teknik instruksional di mana

dalam proses belajar-mengajar siswa dihadapkan dengan suatu masalah

(Winatapura,1993: 222). Piaget (dalam Dahar dan Liliasari, 1986: 25)

memberikan definisi fungsional dari pendekatan inkuiri adalah pendidikan yang

14

mempersiapkan situasi bagi anak untuk melakukan eksperimen sendiri, dalam arti

luas ingin melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, ingin menggunakan

simbul-simbul, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan mencari jawaban atas

pertanyaannya sendiri, menghubungkan penemuan yang satu dengan yang lain,

membandingkan apa yang ditemukannya dengan yang ditemukan anak-anak

lainnya.

Sedangkan Kuslan dan Stone (dalam Dahar dan Liliasari,1986: 25)

memberikan definisi sebagai berikut: Pengajaran inkuiri merupakan pengajaran

dimana para siswa mempelajari peristiwa-peristiwa ilmiah dengan pendekatan dan

jiwa para ilmuwan. Kuslan dan Stone juga memberikan definisi operasional

tentang pendekatan inkuiri. Menurut mereka proses belajar mengajar dengan

pendekatan inkuiri ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut:

(1) Menggunakan keterampilan-keterampilan proses IPA

(2) Jawaban-jawaban yang dicari tidak diketahui lebih dahulu. Jawaban-jawaban

ini tidak ditemukan dalam buku pelajaran, sebab buku-buku pelajaran yang

dipilih berisi pertanyaan-pertanyaan dan saran-saran untuk menemukan

jawaban, bukan memberikan jawaban.

(3) Para siswa berhasrat sekali untuk menemukan pemecahan masalah proses

belajar mengajar berpusat pada pertanyaan. Suatu masalah ditemukan

dipersempit hingga terlihat ada kemungkinan masalah ini dapat dipecahkan

oleh siswa.

(4) Hipotesis dirumuskan oleh siswa untuk membimbing penyelidikan

15

(5) Para siswa mengusulkan cara-cara pengumpulan data dengan melakukan

eksperimen, mengadakan pengamatan, membaca, dan menggunakan sumber

lain.

(6) Para siswa melakukan penelitian secara individu atau kelompok untuk

mengumpulkan data yang diperlukan untuk menguji hipotesis.

(7) Para siswa mengolah data sehingga mereka sampai pada kesimpulan

sementara.

Dan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan inkuiri

lebih menekankan pada pencarian pengetahuan daripada perolehan pengetahuan.

Bentuk pengajaran terutama memberi motivasi kepada siswa untuk menyelidiki

masalah-masalah yang ada dengan menggunakan cara-cara, dan keterampilan

ilmiah dalam rangka mencari penjelasan-penjelasannya. Maksud utama dari

pengajaran ini adalah untuk menolong siswa mengembangkan keterampilan-

keterampilan penemuan ilmiah (scientific inquiry). Bentuk pengajaran ini tentunya

akan menarik bagi siswa untuk menyeiidiki sejumlah informasi dalam rangka

mencari pemecahan masalahnya. Dalam pengajaran ini siswa dilatih

mengembangkan fakta-fakta, membangun konsep-konsep dan menarik

kesimpulan umum atau teori-teori vang menerangkan fenomena-fenomena yang

dihadapkan kepadanya.

Pengajaran dengan model inkuari baik diberikan kepada siswa karena:

(a) Model ini akan meningkatkan potensi intelektual siswa. Sebab melalui model

ini siswa diberi kesempatan untuk mencari dan menemukan keteraturan hal-

hal yang saling berhubungan meialui kerangka pengamatan dan

pengalamannya sendiri.

16

(b) Jika siswa telah berhasil dalam penemuannya, ia akan memperoleh kepuasan

intelektual, yang datang dari diri siswa sendiri yang merupakan suatu hadiah

intrinsik. Kegiatan kognisi siswa akan lebih dipengaruhi oleh hadiah intrinsik

dari pada hadiah ekstrinsik, milatnya pujian dari guru.

(c) Belajar bagaimana melakukan penemuan hanya dapat dicapai secara efektif

melalui proses melakukan penemuan.

(d) Belajar dengan model pembelajaran inkuiri akan memperpanjang proses

ingatan. Inkuari dimulai dengan menimbulkan peristiwa yang

membingungkan siswa.

Keadaan tentunya akan mendorong siswa untuk berusaha menemukan arti

fenomena yang dihadapinya. Untuk memperoleh pengertian mengenai fenomena

yang dihadapinya, siswa harus mampu menggunakan kekomplekkan proses

berfikir dan harus terampil menghubung-hubungkan data menjadi konsep dan

menggunakan konsep-konsep yang diperoleh untuk mengidentifikasi prinsip-

pnnsip kausal. Langkah-langkah yang digunakan dalam penyajian materi dengan

model inkuari adalah sebagai berikut:

(a) Phase berhadapan dengan masalah

Phase ini merupakan saat penyajian masalah. Setelah penyajian masalah

siswa tentunya akan mulai bertanya-tanya pada diri sendiri, atau kepada guru.

Selanjutnya tentu siswa dan guru akan mencoba memberikan jawabannya. Namun

dalam hal ini dialog antara guru dan siswa harus diatur sedemikian rupa sehingga

jawaban guru hanya terbatas pada jawaban ya atau tidak. Pertanyaan terbuka

harus dihindarkan dan siswa tidak boleh meminta guru menjelaskan tentang

fenomena yang dihadapinya.

17

Dalam hal ini siswa harus memusatkan, menyusun dan melacak sendiri

fakta-fakta untuk menuju pemecahan masalah yang dihadapi. Jadi setiap

pertanyaan yang diajukan dapat dianggap sebagai suatu hipotesis terbatas.

(b) Phase pengumpulan data pengujian

Pada phase ini siswa berusaha untuk mengumpulkan data informasi

sebanyak-banyaknya, tentang masalahnya yang mereka hadapi. Data tersebut

dapat diperoleh berdasarkan kondisi objek atau menguji bagaimana proses

terjadinya masalah tersebut.

(c ) Phase pengumpulan data dalam eksperimen

Pada phase ini dilakukan isolasi terhadap data-data yang menjadi esensi

masalah yane dihadapi. Siswa dapat mengintrogasikan elemen-elemen dari hasil

isolasi ke dalam situasi masalah, untuk melihat apakah peristiwanya akan menjadi

lain.

(d) Phase formulasi penjelasan

Pada phase ini guru dapat merumuskan penjelasan untuk membimbing

siswa pada pemecahan masalah yang terarah bagi siswa yang menemui kesulitan

dalam mengemukakan informasi yang mereka peroleh untuk memberikan uraian

yang jelas, mereka dapat memberikan penjelasan yane sederhana saja dan tidak

mendetail.

(e) Phase analisis proses inkuairi

Pada phase ini siswa diminta untuk menganalisis pola-pola penemuan

mereka. Dengan demikian siswa akan banyak memperoleh tipe-tipe informasi,

yang sebelumnya tidak dimiliki siswa. Hal ini penting bagi siswa, sebab hal

18

tersebut dapat melengkapi dan memperbanyak data yang relevan serta menunjang

untuk menentukan pemecahan masalah (Winatapura 1993: 219).

Kelima phase yang diuraikan di atas dapat digambarkan seperti bagan di bawah:

Gambar 2.3 Sintak Model Pemelajaran Inkuairi

19

Phase IBerhadapan dengan masalah

Phase IIPengumpulan data pengujian

Phase IIIPengumpulan data

Phase IVFormulasi Penjelasan

Phase VAnalisis proses inkuari

Sebagai contoh proses pembelajaran dalam sub pokok bahasan hukum Ohm

seperti tabel 2.1

Tabel 2.1Kegiatan Guru dan Siswa dalam Implementasi Model Pembelajaran Inquiri

A. Fase berhadapan dengan masalahKegiatan Guru Kegiatan Siswa

1. Mengemukakan pertanyaan/masalah yang dapat memotivasi siswa untuk mengemukakan pendapatnya, seperti:a. Bagaimanakah hubungan antara

beda potensial dengan kuat arus jika sebuah resistor dihubungkan dengan sumber GGL.

1. Menjawab pertanyaan guru sesuai dengan pengetahuan awal yang mereka miliki

B. Fase pengumpulan data pengujianKegiatan Guru Kegiatan Siswa

1. Meminta siswa berusaha untuk mengumpulkan data informasi sebanyak-banyaknya tentang masalah yang mereka hadapi

2. Menyiapkan informasi yang dibutuhkan siswa

1. Menggali informasi terkait dengan masalah yang dihadapi

2. Melakukan diskusi kelompok untuk merumuskan hipotesis

3. Menyampaikan hipotesis

C. Fase pengumpulan data dalam eksperimenKegiatan Guru Kegiatan Siswa

1. Meminta siswa untuk menyiapkan alat/ bahan untuk eksperimen hukum Ohm

2. Meminta siswa untuk merancang dan melakukan eksperimen hukum Ohm

3. Membimbing proses eksperimen dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan siswa dan mengarahkan siswa untuk menguji hipotesis melalui pertanyaan- pertanyaan penuntun

1. Menyiapkan alat/bahan secara berkelompok

2. Secara berkelompok melakukan eksperimen hukum Ohm

3. Bertanya seputar masalah dan proses eksperimen yang dilakukan

4. Menguji hipotesis5. Menganalisis data untuk membuat

kesimpulan

D. Fase formulasi penjelasanKegiatan Guru Kegiatan Siswa

1. Melalui diskusi kelas guru meminta siswa untuk mengemukakan kesimpulan yang mereka peroleh

2. Meminta siswa membandingkan hasil yang mereka peroleh dan memberikan tanggapan terhadap kesimpulan siswa yang lain

4. Menyampaikan kesimpulan di depan kelas dan menanggapi pertanyaan siswa lain

5. Memberikan tanggapan terhadap kesimpulan siswa yang lain

6. Menjawab pertanyaan guru berdasarkan hasil eksperimen

20

3. Mengarahkan diskusi dengan cara mengklarifikasi kesimpulan yang salah, memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk membimbing siswa pada pemecahan masalah yang terarah

Analisis proses inkuiriKegiatan Guru Kegiatan Siswa

1. Meminta siswa untuk menganalisis pola-pola penemuan mereka melalui membuat grafik V terhadap 1

2. Evaluasi

1. Secara individu menganalisis pola-pola penemuan mereka

2. Mengerjakan soal-soal

Contoh sederhana lain penyajian materi melalui model inkuairi dalam

proses belajar mengajar yaitu mengenai konsep pemuaian air pada waktu

membeku. Untuk mulai proses inkuairi guru dapat melontarkan masalah: mengapa

es beku terapung di air? Dari pertanyaan ini siswa tentu akan mulai bertanya dan

mencoba menganalisis permasalahan tersebut. Pada proses selanjutnya siswa

diharapkan mulai berusaha untuk mengumpulkan data mengenai objek yang

dipermasalahkan. Mungkin siswa mempelajari dulu sifat-sitat fisik dari air dan es.

Dalam hal ini juga siswa tentunya akan lebih memperhatikan bagaimana proses

pembekuan air itu berlangsung dan proses perubahan apa saja yang mengenainya.

Selanjutnya siswa diharapkan mampu mengidenrifikasi data penting dari berbagai

data yang diperoleh sebelumnya. Pemilihan data penting tentunya didasarkan atas

konsep terapung yang sudah dimilikinya. Siswa tentunya akan menyelidiki hal

seperti: berat, volume, suhu dan sebagainya pada air dan es batu. Dan hasil ini

guru mulai mengarahkan siswa dalam konsep yang dimiliki tentang terapung dan

dipadukan dengan pengarahan yang diberikan guru, siswa tentunya akan dengan

mudah memecahkan masalah yang dihadapinya.

21

Kelebihan model inkuairi menurut Winatapura (1993: 224) antara lain:

(a) Model pengajaran jadi berubah dari yang bersifat penyajian informasi oleh

guru kepada siswa dimana proses mentalnya berkadar rendah, menjadi

pengajaran yang menekankan kepada proses pengolahan informasi sebagai

suatu proses mental berkadar tinggi. Dalam hal ini siswa secara aktif mencari

dan mengolah sendiri informasi.

(b) Pengajaran berubah dari pengajaran yang terfokus pada guru menjadi bentuk

pengajaran yang terfokus pada siswa. Guru memberi kebebasan belajar kepada

siswa dan peran guru lebih banyak bersifat membimbing.

(c) Siswa akan mengeni konsep-konsep dasar dan ide-ide secara lebih baik.

(d) Membantu siswa dalam menggunakan ingatan dalam transfer konsep yang

dimilikinya kepada situasi-situasi proses bejajar yang baru

(e) Mendorong siswa untuk berfikir intuitif dan merumuskan hipotesisnya sendiri.

(f) Memberi kepuasan yang bersifat intrinsik

(g) Kegiatan belajar inkuiri dapat membentuk dan mengembangkan konsep diri

(self concept) pada diri siswa. Secara psikologis siswa lebih terbuka terhadap

pengalaman-pengalaman baru, berkeinginan untuk selalu mengambil dan

mengekploiasi kesempatan-kesempatan yang ada, lebih kreatif.

(h) Memungkinkan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber

belajar yang tidak hanya menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber

belajar.

(i) Dapat memperdalam dan memperkaya materi yang dipelajari sehingga

retensinya menjadi lebih baik.

22

Bruner (dalam Dahar dan Liliasari, 1986: 27-28) mengemukakan

pendekatan inkuiri memberikan kebaikan-kebaikan sebagai berikut:

(1) Pendekatan inkuiri meningkatkan potensi intelektual siswa. Hal ini disebabkan

karena siswa diberikan kesempatan untuk mencari dan menemukan

keteraturan-keteraturan dan hal-hal yang berhubungan dengan pengamatan

dan pengalaman sendiri.

(2) Karena siswa telah berhasil dalam penemuannya, ia memperoleh suatu

kepuasan intelektual yang datang dari dalam suatu hadiah intrinsik.

(3) Siswa dapat belajar bagaimana melakukan penemuan, hanya melalui proses

melakukan penemuan itu sendiri.

(4) Belajar melalui inkuiri memperpanjang proses ingatan atau dengan kata lain

hal-hal yang dipelajari melalui inkuiri iebih lama dapat diingat.

Lebih jauh Trowbridge dan Bybee (1973: 210-212) pendekatan inkuiri

memberikan kebaikan sebagai berikut:

(1) Pengajaran menjadi lebih berpusat pada anak (Instruction becomes student

centered). Salah satu prinsip psikologi tentang belajar menyatakan bahwa

makin besar keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar, makin besar

kemampuan belajarnya. Kalau diperhatikan pengajaran yang menggunakan

pendekatan inkuiri maka terlihat bahwa para siswa tidak hanya belajar tentang

konsep-konsep atau prinsip-prinsip tetapi juga tentang pengarahan diri sendiri,

tanggung jawab, komunikasi sosial, dan sebagainya.

(2) Proses belajar melalui inkuiri dapat membentuk dan mengembangkan konsep

diri pada diri siswa (Inquiry learning builds the self-concept of the student).

Setiap orang mempunyai konsep diri. Bila kita mempunyai konsep diri yang

23

baik, maka secara psikologis diri kita akan merasa aman, terbuka terhadap

pengalaman-pengalaman baru, berkeinginan untuk mencoba-coba dan

menyelidiki, lebih kreaktif, bermental sehat, dan akhirnya menjadi orang yang

berguna. Untuk menjadi orang yang berkonsep diri yang baik kita perlu

melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan. Dengan melibatkan diri ini kita dapat

lebih mengenal diri kita. Pengajaran dengan pendekatan inkuiri memberikan

kesempatan-kesempatan untuk melibatkan diri, dengan demikian memberi

lebih banyak kesempatan kepada siswa-siswa untuk mengenal diri mereka dan

mengembangkan konsep din mereka.

(3) Tingkat pengharapan bertambah (Expectancy level increases). Bagian dan

konsep din seseorang ialah tingkat pengharapannya. Ini berarti bahwa siswa

mempunyai harapan bahwa ia akan dapat menyelesaikan suatu tugas tanpa

tergantung pada orang lain. Dari pengalaman-pengalaman yang berhasil dalam

menggunakan kemampuan-kemampuan menyelidiki ia menyadari bahwa

"Saya dapat memecahkan suatu masalah tanpa pertolongan guru, orang tua,

atau orang lain".

(4) Pendekatan inkuiri dapat mengembangkan bakat (Inquiry learning develops

talent). Individu memiliki suatu kumpulan lebih dari 120 bakat; salah satu

bakat adalah bakat akademik. Makin banyak kebebasan dalam proses belajar

mengajar, makin besar kemungkinan bagi siswa untuk mengembangkan bakal-

bakatnya yang lain, misalnya bakat kreatif, bakat sosial, dan bakat-bakat lain.

Mengajar dengan pendekatan inkuiri memberi banyak kebebasan kepada

siswa. Dengan demikian memberi kesempatan lebih banyak untuk

mengembangkan bakat-bakat selain bakat akademik.

24

(5) Pendekatan inkuiri dapat menghindari siswa dari cara-cara belajar dengan

menghafal.

(6) Pendekatan inkuiri memberikan waktu pada siswa untuk mengasimilasi dan

mengakomodasi informasi. Pada umumnya para guru ingin cepat-cepat

menyelesaikan pelajaran. Mereka tidak memberi cukup waktu kepada siswa

untuk berpikir dalam hubungannya dengan pelajaran yang diberikan. Siswa

memerlukan waktu untuk menyerap informasi yang diberikan guru hingga

menjadi bermakna baginya. Piaget percaya, bahwa tidak akan terjadi proses

belajar yang sejati, apalagi siswa tidak bertindak terhadap informasi secara

mental, dan mengasimilasi atau mengakomodasi apa yang dijumpainya dalam

lingkungannya. Apalagi hal ini tidak terjadi, maka pelajaran itu akan cepat

hilang atau dilupakan.

Sund dan Trowbridge (1973: 67-73) mengemukakan tiga macam

pendekatan inkuiri yaitu: inkuiri terpimpin (Guided inquiry), inkuiri bebas (Free

inquiry), dan inkuiri bebas yang dimodifikasikan (Modified free inquiry). Ciri-ciri

ketiga pendekatan tersebut sebagai berikut:

Dalam proses belajar mengajar dengan pendekatan inkuiri terpimpin siswa

memperoleh petunjuk-petunjuk seperlunya. Petunjuk-petunjuk itu pada umumnya

berupa pertanyaan-pertanyaan yang bersifat membimbing. Pendekatan ini

terutama digunakan bagi para siswa yang belum berpengalaman belajar dengan

pendekatan inkuiri. Pada tahap permulaan diberikan lebih banyak bimbingan,

lambat laun bimbingan itu dikurangi.

Dalam proses belajar mengajar dengan pendekatan inkuiri bebas, siswa

melakukan penelitian sendiri sebagai seorang ilmuwan. Dalam proses

25

pembelajaran melalui inkuiri bebas siswa melakukan penelitian sendiri,

eksperimen dilakukan sendiri dan kesimpulan tentang hasil percobaan juga

diperoleh sendiri. Peran guru sangat kecil selama proses pembelajaran. Hasil

penelitian dibeberapa universitas di luar negeri untuk mahasiswa yang pintar

menunjukkan bahwa manasiswa baru bisa mengikuti type pembelajaran inkuiri

bebas jika diberikan arahan yang terbatas. Pada kenyataannya pendekatan inkuiri

bebas yang murni sukar diterapkan pada siswa. Sebab pada umumnya para siswa

itu sewaktu-waktu masih memerlukan bimbingan guru.

Dalam situasi belajar mengajar dengan pendekatan inkuiri bebas yang

dimodifikasikan, guru yang menyiapkan masalah bagi siswa dan menyiapkan

situasi sehingga memungkinkan siswa menemukan sendiri konsep-konsep yang

sedang dipelajari, sebagai contoh pengajar bisa mempersiapkan situasi sebagai

berikut.

1) Disini telah disediakan beberapa macam cermin. Cari tahu sebanyak mungkin

tentang sifat bayangan.

2) Disini telah disediakan beberapa peralatan untuk mempelajari gerak. Aturlah

dengan cara yang anda tentukan untuk mempelajari gerakan dari sebuah objek.

3) Telah disediakan beberapa alat untuk mempelajari rangkaian listrik. Lakukan

hal-hal yang perlu untuk mengetahui sebanyak mungkin tentang hal tersebut.

4) Dengan garam ini, lakukan apa saja untuk menentukan unsur-unsur fisika dan

kimianya.

Dalam pembelajaran inkuiri bebas yang dimodifikasikan siswa diberi

motivasi untuk memecahkan masalah yang bisa diiakukan dalam kelompok atau

perorangan. Guru adalah sebagai nara sumber yang memberikan bantuan terbatas

26

yang diperlukan agar siswa tidak frustasi atau menemukan kegagalan. Rantuan

yang diberikan guru dalam bentuk pertanyaan yang membantu siswa untuk

memikirkan langkah-langkah pengamatan selanjutnya. Pertanyaan ini bisa

diajukan secara tepat bisa memotivasi siswa untuk mendapatkan ide-ide

investigasi kreaktif. Inkuiri bebas yanp dimodifikasikan juga telah bisa diterapkan

oleh banyak pengajar dan berhasil (Sund dan Trowbriuge, 1973:71).

Berdasarkan uraian di atas maka dalam implementasi kedua model

pembelajaran dalam penelitian ini dapat dijelaskan seperti tabel 2.2:

Tabel 2.2Fase dan Sintaks Model Pembelajaran Siklus BelajarHipotesis-Deduktif dan Model Pembelajaran Inkuiri

Fase/Sintaks Model Pembelajaran Siklus Belajar Hipotesis-Deduktif

Model Pembelajaran Inkuiri

Fase 1. Fase ekplorasi2. Fase pengenalan konsep3. Fase penanaman konsep

1. Fase berhadapan dengan masalah

2. Fase pengumpulan data pengujian

3. Fase pengumulan data dalam pengujian

4. Fase formulasi penjelasan5. Fase analisis proses inkuiri

Sintaks 1. Identifikasi konsep oleh guru

2. Identifikasi fenomena oleh guru

3. Menggali fenomena oleh siswa terkait dengan masalah yang dihadapi

4. Perumusan hipotesis oleh siswa

5. Siswa melakukan eksperimen

6. Pengenalan konsep7. Aplikasi konsep8. Evaluasi

1. Siswa berhadapan dengan masalah dan perumusan hipotesis

2. Pengumpulan data pengujian3. Siswa melakukan eksperimen4. Formulasi penjelasan5. Analisis proses inkuiri6. Evaluasi

27

Kegiatan siswa dan guru untuk kedua model pembejaiaran diiktisarkan dalam

tabel 2.3 dan tabel 2.3

Tabel 2.3Kegiatan Guru dalam Pelaksanaan Perlakuan

Model Siklus Belajar Hipoteis-Deduktif Model Pembelajaran Inkuiri1. Menyajikan masalah/pertanyaan2. Meminta siswa untuk membuat

hipotesis terhadap pertanyaan yang diajukan guru

3. Meminta siswa untuk menyiapkan alat/bahan yang akan dipergunakan dalam percobaan

4. Meminta siswa untuk mendesain dan melakukan percobaan sesuai dengan langkah-langkah yang ada dalam petunjuk praktikum, untuk menguji hipotesis mereka

5. Meminta siswa melakukan diskusi kelompok tentang hasil percobaan mereka sehingga siswa sampai pada kesimpulan

6. Meminta siswa untuk melaporkan hasil diskusi kelompok dalam diskusi kelas dan meminta tanggapan pada kelompok yang lain

7. Memberikan penjelasan konsep-konsep yang sedang dipelajari berdasarkan masalah-masalah fisika

8. Melakukan evaluasi, jika ada siswa yang belum memahami konsep yang dipelajari akan dilakukan eksplorasi kembali

1. Mengemukakan masalah/ pertanyaan untuk memotivasi siswa mengemukakan pendapat

2. Meminta siswa berusaha untuk mengumpulkan data informasi sebanyak-banyaknya tentang masalah yang mereka hadapi

3. Menyiapkan informasi yang dibutuhkan siswa dan menjawab pertanyaan siswa

4. Meminta siswa membuat hipotesis dan menetapkan hipotesis untuk dikaji lebih lanjut

5. Meminta siswa untuk menyiapkan alat/bahan untuk percobaan

6. Meminta siswa untuk merancang dan melakukan percobaan

7. Membimbing proses percobaan dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan siswa dan mengarahkan siswa untuk menguji hipotesis melalui pertanyaan-pertanyaan penuntun

8. Meminta siswa untuk menyampaikan kesimpulan hasil percobaan mereka melalui diskusi kelas

9. Meminta siswa membandingkan hasil yang mereka peroleh dan memberikan tanggapan terhadap kesimpulan siswa yang lain

10. Mengarahkan diskusi dengan cara mengklarifikasi kesimpulan yang salah, memberikan pertanyaan- pertanyaan untuk membimbing siswa pada pemecahan masalah yang terarah

11. Meminta siswa untuk menganalisis pola-pola penemuan mereka

12. Melakukan evaluasi

28

Tabel 2.4Kegiatan Siswa dalam Pelaksanaan Perlakuan

Model Siklus Belajar Hipotesis-Deduktif Model Pembelajaran Inkuiri1. Berdiskusi dalam kelompok kecil

untuk membuat hipotesis kemudian hasil diskusi kelompok disajikan di dalam kelas

2. Menyiapkan alat/bahan eksperimen3. Secara berkelompok melakukan

percobaan4. Setelah semua data terkumpul, siswa

secara berkelompok melakukan diskusi tentang hasil pengamatan mereka untuk membuat kesimpulan

5. Melaporkan di depan kelas kesimpulan yang mereka buat

6. Menanggapi kesimpulan kelompok siswa yang lain

7. Mendengarkan penjelasan guru8. Secara individu mengerjakan soal-

soal yang diberikan oleh guru

1. Menggali informasi terkait dengan masalah yang dihadapi

2. Melakukan diskusi kelompok untuk merumuskan hipotesis

3. Menyampaikan hipotesis di depan kelas

4. Menyiapkan alat/bahan percobaan5. Secara berkelompok melakukan

percobaan6. Menggali informasi seputar

masalah dan proses percobaan yang dilakukan

7. Menganalisis data untuk membuat kesimpulan

8. Menyampaikan kesimpulan di depan kelas

9. Memberikan tanggapan terhadap kesimpulan kelompok siswa yang lain

10. Menganalisis pola-pola penemuan mereka

11. Mengerjakan soal-soal yang diberikan guru

2.1.6 Sikap ilmiah

Sikap ilmiah didefinisikan sebagai suatu pendirian (kccendrungan) pola

tindakan terhadap suatu stimulus tertentu yang selalu berorientasi pada ilmu

pengetahuan dan metode ilmiah. Yang dimaksud dengan metode ilmiah adalah

cara khusus yang digunakan seorang ilmuwan unruk memecahkan masalah yang

dihadapinya. Secara garis besar metode ilmiah lerdiri dua kegiatan utama yaitu;

(1) observasi atau pengamatan, (2) eksperimen atau percobaan. Menurut Gega

(1977: 77), sikap ilmiah mencakup aspek-aspek; rasa ingin tahu, berpikir kritis,

29

obyektif, terbuka terhadap kritik, adanya ketekunan, dan memiliki kemampuan

menyelidiki.

Beberapa contoh dari aspek sikap ilmiah:

(a) Rasa ingin tahu

Siswa yang memperhatikan suatu objek atau kejadian secara tiba-tiba

berkeinginan untuk mempelajari lebih dalam tentang hal itu maka siswa tersebut

mempunyai rasa ingin tahu. Mereka dapat memberikan bukti-bukti dari

keingintahuan mereka dengan cara: memeriksa beberapa materi, bertanya tentang

objek-objek dan kejadian, dan menunjukkan ketertarikan terhadap hasil

eksperimen.

(b) Berpikir kritis

Siswa yang mengembangkan saran-saran dan kesimpulan-kesimpulan

dengan bukti-bukti merupakan siswa yang berpikir secara kritis. Mereka dapat

menunjukkan pikiran kritis mereka melalui pemyataan verbal yaitu: menggunakan

bukti-bukti untuk membenarkan kesimpulan mereka, menunjukkan perbedaan

dalam laporan dengan teman sekelasnya; merubah ide-ide respon mereka menjadi

bukti.

(c) Memiliki kemampuan menyelidiki

Siswa yang mampu menghasikan ide-ide baru merupakan siswa yang

memiliki kemampuan menemukan sesuatu. Siswa ini menunjukkan pemikiran

orisinil mereka dalam menginterpretasikan. Mereka dapat memberikan bukti-bukti

dan kemampuan menemukan sesuatu melalui pemyataan verbal atau dengan cara:

menggunakan peralatan dengan cara yang tidak biasanya, contohnya voltmeter

yang biasanya digunakan untuk mengukur beda tegangan digunakan untuk

30

mengukur suhu sehingga hasil pengukuran Iebih akurat dan bisa mengatasi

keterbatasan jumlah alat ukur, mengusulkan penelitian-penelitian baru.

(d) Ketekunan

Siswa yang mempertahankan sebuah ketertarikan terhadap sebuah masalah

atau kejadian untuk kurun waktu yang lebih lama dibandingkan teman sekelas

mereka disebut siswa yang tekun. Mereka tidak mudah jauh dari aktivitas mereka.

Mereka dapat memberikan bukti-bukti dari ketekunan dengan cara: melanjutkan

investigasi material setelah kesenangan mereka telah hilang, mengulang sebuah

eksperimen, melengkapi atau menyelesaikan sebuah aktivitas walaupun teman

sekelas mereka telah menyelesaikannya terlebih dahulu.

Menurut Ndraka (1985: 16) mengemukakan bahwa sikap ilmiah

merupakan sikap yang dimiliki oleh golongan orang yang tidak menerima begitu

saja tentang suatu hal, melainkan memandang hal itu menimbulkan tanda tanya,

dan memerlukan suatu jawaban. Dengan kata lain bahwa sikap ilmiah merupakan

sikap yang memungkinkan seseorang untuk berpikir dan bertindak secara ilmiah.

Menurut Ndraha(1985:18) ada beberapa ciri sikap ilmiah yakni:

a. Rasa ingin tahu, artinya seseorang yang selalu terdorong lebih banyak

mengetahui dengan membaca, bertanya kepada orang lain, dan melalui

pengamatan langsung.

b. Obyektif terhadap fakta, artinya sikap menerima sesuai dengan keadaan yang

diamati.

c. Sikap teliti, artinya membiasakan diri dalam mengumpulkan data dan

melakukan eksperimen untuk menghindari kesalahan atau memperkecil

kesalahan.

31

d. Terbuka, artinya bersedia mempertimbangkan pendapat atau penemuan orang

lain, sekalipun pendapat atau penemuan itu berbeda dengan penemuannya

sendiri.

e. Skeptisme (kritis), artinya sikap yang selalu mengajukan pertanyaan.

f. Membiasakan diri untuk bekerjasama di dalam memecahkan masalah

g. Memiliki rasa inisiatif terhadap suatu masalah yang dihadapinya

h. Bersifat jujur, aninya mencatat hal-hal sesuai dengan kenyataan, tidak

mengada-ada, meskipun terkadang menemukan hal yang tidak sesuai dengan

yang diharapkan.

i. Tekun artinya tidak lekas putus asa dan tidak cepat mengambil keputusan atau

kesimpulan.

j. Dapat membedakan antara fakta dan pendapat

k. Sanggup mengubah kesimpulan dari hasil eksperimen bila ada bukti-bukti

yang meyakinkan benar.

Perujudan awal dari sikap ilmiah ditunjukkan dari keinginan untuk

mencari jawaban terhadap permasalahan melalui pengamatan langsung,

melakukan percobaan, menguji suatu hipotesis.

Lebih jauh Narendra Vidya (dalam, Sujanem 2001: 6) mengungkapkan

bahwa The progress of science is marked not only by an accumulation of facts,

but emergency of scientific method und of scientific attitude. Jadi dalam

pembelajaran IPA(sains) tidak hanya difokuskan pada aspek kognitif saja berupa

penghapalan rumus-rumus, konsep-konsep atau fakta-fakta saja, namun lebih

diarahkan pada penyediaan kondisi yang kondusif, sehingga siswa mendapat

pengalaman langsung untuk terlibat secara aktif dalam proses-proses ilmiah yang

32

melekat pada pelajaran IPA itu sendiri sepeni mengamati, menggolongkan,

menaksirkan, meramalkan, merencanakan meneliti suatu masalah, sehingga siswa

menemukan sendiri konsep-konsep atau prinsip-prinsip IPA.

Harlen (1992: 40) membedakan dua macam sikap ilmiah yaitu (1) Sikap

terhadap sains sebagai sesuatu kekuatan untuk kemajuan (2) sikap terhadap objek

dan kejadian-kejadian dalam lingkup yang dipelajari sebagai aktivitas ilmiah.

Agar siswa memiliki sikap positif terhadap sains maka mereka harus memiliki

pandangan yang benar tentang sains. Sampai saat ini masih ada dua pandangan

yang berbeda tentang sains. Disatu sisi sains dianggap sebagai sumber senjata

penghancur dan teknologi yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Di sisi lain,

sains dianggap sebagai sumber keajaiban dunia modern dalam menyediakan

kemajuan medis, memperluas pengalaman manusia di luar bumi, dan

memungkinkan penemuan yang menuju pada teknologi komputer dan informasi.

Siswa tidak mempunyai pengetahuan atau pengalaman yang cukup tentang

aktivitas ilmiah. Mereka membentuk opini dan sikap terhadap sains hasil dari

penerimaan prasangka orang dewasa. Menurut Harlen (1992: 39) sikap siswa

mempengaruhi keinginan siswa untuk ikut dalam aktivitas tertentu dan cara

mereka merespon pada seseorang, objek atau situasi. Keinginan berpartisipasi

adalah modal utama dan pernbelajaran yang efektif. Kualitas sikap dan personal

berikut adalah penting pada setiap tingkat pendidikan sains: rasa ingin tahu,

respek terhadap fakta atau bukti, keinginan untuk mentoleransi ketidakpastian,

kritis. tekun, kreatifitas dan daya cipta, terbuka, peka atau sensitif terhadap

lingkungan hidup dan tak hidup, dan bekerjasama dengan siswa lain. Sikap-sikap

itu berkembang melalui dukungan dan contoh. Guru harus menghindarkan siswa

33

dari opini dan sikap negatif yang diprasangkakan oleh orang-orang dewasa

terhadap sains. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun sikap ilmiah, yang

meliputi: rasa ingin tahu, respek terhadap fakta atau bukti, kemauan untuk

mengubah pandangan, dan berfikir kritis (Harlen, 1992: 40).

(a) Rasa ingin tahu

Rasa ingin tahu membimbing siswa untuk mencari dan menggali

pengalaman-pengalaman baru, dan itu sangat penting baginya untuk mengenal

lingkungan. Keinginantahuan siswa bisa ditingkatkan dengan memperluas

kesempatan mereka untuk metakukan investigasi sebagai tangan pertama. Rasa

ingin tahu siswa dapat dilihat dari indikator-indikator berikut; (1) memperhatikan

dan tertarik terhadap hal-hal baru, (2) menunjukkan perhatian terhadap observasi

secara hati-hati dan rinci, (3) mengajukan bermacam-macam pertanyaan tentang

informasi-informasi yang diperolehnya, (4) secara spontan menggunakan sumber-

sumber informasi untuk mengetahui sesuatu yang baru atau tidak umum.

(b) Respek terhadap fakta atau bukti

Respek terhadap fakta atau bukti merupakan pusat aktivitas ilmiah.

Walaupun beberapa gagasan baru lahir dari imajinasi, gagasan tersebut tidak akan

berumur panjang tanpa dukungan bukti-bukti yang layak dan masuk akal. Sikap

respek siswa terhadap fakta dapat dilihat dari indikator berikut: (1) melaporkan

apa yang terjadi seeara aktual walaupun itu bertentangan dengan apa yang

diharapkannya, (2) menyangsikan dan mengecek bagian-bagian fakta yang tidak

cocok dengan pola dari penemuan lain, (3) meragukan kesimpulan atau

interpretasi berdasarkan bukti-bukti yang belum cukup, (4) memperlakukan

34

gagasan atau simpulan sebagai sesuatu yang bersifat sementara dan terbuka untuk

ditantang dengan bukti-bukti baru.

(c) Kemauan untuk mengubah pandangan

Kemauan untuk mengubah pandangan karena adanya bukti-bukti baru

yang sangat kuat untuk meruntuhkan pandangan semula, sering disebut sebagai

fleksibilitas. Indikator sikap ini meliputi : (1) siap mengubah pandangannya ketika

ada bukti-bukti meyakinkan bertentangan dengan pandangan semula, (2)

mempertimbangkan gagasan-gagasan alternatif terhadap pandangannya sendiri,

(3) secara spontan mencari gagasan-gagasan alternatif dibandingkan tetap

mempertahankan pandangan semula, (4) merealisasikan pengubahan atau

penghentian gagasan lama pada saat muncul gagasan baru yang lebih masuk akal

terhadap fakta.

(d) Berfikir kritis

Dalam konteks aktivitas sains, berfikir kritis meningkatkan potensi belajar

dari pengalaman dan aktivias kelas. Indikator-indikator tindakan siswa yang

menunjukkan sikap berfikir kritis : (1) kemauan untuk meninjau apakah mereka

telah mengerjakan sesuatu dengan mempertimbangkan hal-hal yang masih bisa

diperbaiki. (2) mempertimbangkan penggunaan prosedur-prosedur alternatif, (3)

menentang cara-cara investigasi atau hasil interpretasi yang menyimpang, (4)

berfikir keras terhadap investigasi sebelumnya dalam perencanaan dan hasil-

hasilnya.

Lebih jauh Harlen (1992: 97) menyatakan ada empat sikap yang perlu

dipertimbangkan sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari pembelajaran

sains yaitu: rasa ingin tahu, respek terhadap fakta atau bukti, keinginan untuk

35

mengubah pandangan, dan berfikir kritis. Untuk menumbuhkembangkan atau

mendorong sikap ilmiah siswa ada tiga jenis peranan utama guru yakni:

memperlihatkan contoh, memberikan penguatan dengan pujian dan persetujuan,

dan memberikan kesempatan untuk mengembangkan sikap.

(a) Memperlihatkan sebuah contoh

Pemberian contoh sikap yang pernah diambil guru sebagai contoh dan

pandangannya sendiri yang telah diubah bisa bisa mempunyai dampak yang

penting pada keinginan murid untuk mengganti pandangannya. Saya kira lebih

gampang berenang pada air dalam daripada air dangkal tapi penelitian

menunjukkan bahwa itu tidak menunjukkan perbedaan.

(b) Memberikan penguatan dengan pujian dan persetujuan

Siswa mengambil sikap tidak hanya dari contoh tapi juga dari perasaan

mereka memperoleh persetujuan atau tidak. Kerika murid menunjukkan tanda

sikap yang positif, ini penting untuk mendorong kebiasaan dengan pujian atau

tanda yang lain dari persetujuan. Ini jauh lebih ditaati dan pada mengecilkan sikap

negatif. Bagi siswa yang sikap ilmiahnya kurang akan mampu mengetahui dan

persetujuan yang diberikan pada siswa yang lain. Sebagai contoh mengacu pada

sifat kritis, jika siswa tidak membuat perbandingan yang jelas pada pengalaman

mereka, guru seharusnya menyarankan siswa agar berfikir tentang itu sebelumnya

atau mempelajari sesuatu yang penting tentang penelitian jenis ini sehingga

penelitian terlaksana dengan baik, jelas lebih disukai untuk mendorong pengakuan

kesalahan pada kesempatan mendatang.

36

(c) Memberikan kesempatan

Semasih siswa menunjukkan keinginan untuk berbuat, harus diberikan

kesempatan untuk beraktivitas. Memberikan objek baru adalah memberikan

kesempatan pada siswa untuk mengembangkan sikap ingin tahu, mendiskusikan

hasil eksperimen, memberikan kesempatan kepada siswa untuk berfikir kriris. Jika

kesempatan tidak diberikan kepada siswa maka sikap ilmiah tidak bisa

berkembang.

Menurut Magno (dalam Karhami, 2000: 5) salah satu cara untuk

mengembangkan sikap ilmiah adalah dengan memperlakukan anak seperti

ilmuwan muda sewaktu anak mengikuti kegiatan pembelajaran sains. Ilmuwan

adalah seorana pemecah masalah, yang terbiasa melakukan penelitian dan

pengujian secara terencana sehingga diperoleh suatu temuan baru. Temuannya

akan cendrung sarat dengan misteri. Karena ketekunan dan kerja keras

ilmuwanlah maka rahasia alam dapat terungkap. Karena itu, seorang saintis selalu

memiliki curiosity yage tinggi. Saintis selalu mempertanyakan setiap prilaku

alam. Setelah itu, saintis berupaya menjawabnya melalui proses sentifik.

Barangkali kejadian buah apel jatuh ke permukaan bumi tidaklah aneh karena

telah sering terlihat. Tetapi pernahkah kita bertanya, mengapa buah apel itu jatuh

ke bumi? Mengapa buah apel tidak jatuh ke planet yang lain? Kalau dua materi

selalu memiliki gaya tarik menarik, mengapa bukan bumi yang jatuh ke buah

apel? Dulu misteri alam ini bukan pertanyaan mudah untuk dijawab karena

mengundang para ilmuwan pada abad ke 16 dan 17 untuk mencari jawabannya.

Sir Isaac Newton, seorang saintis asal Inggris mampu menjawab teka teki itu

Wospakrik (dalam Karhami, 2000: 5).

37

Selain itu ilmuwan selalu melakukan beberapa kegiatan saintifik, misalnya

mereka terbiasa mengamati, mengaplikasikan pengetahuan, berhipotesa,

merencanakan penelitian, menyusun inferensi logis, atau mengkomonikasikan

temuan. Ilmuwan juga memiliki sikap ilmiah seperti jujur dalam merekam data

faktual, tekun dalam menyelesaikan tugas, terbuka pada kebenaran ilmiah dan

selalu mendahulukan kebenaran yang diperoleh dengan cara dan metode ilmiah,

kritis dalam menanggapi setiap preposisi/pernyataan/pendapat, dan kreatif

sewaktu melakukan percobaan/penelitian. Ikhwal dengan anak usia sekolah,

perlakuannya tentu saja tidak terlalu menuntut persis seperti ilmuwan sekaliber

Newton yang terbiasa mengumpulkan data secara lengkap dan teliti, dan yang

terbiasa menarik kesimpulan secara logis dan rasional. Namun tahapan-tahapan

dan kebiasaan seorang ilmuwan tetap dapat dilatihkan kepada anak-anak termasuk

anak usia SD. Kalau ini dilakukan, bukan tidak mungkin prilaku ilmiah dan

scientific attitude dimiliki lulusan sekolah. Sejumlah scientific attitude ini dapat

dikembangkan dan ditingkatkan jika siswa diperlakukan dan dianggap sebagai

seorang saintis muda di kelas. Untuk maksud ini siswa memerlukan lebih banyak

doing science dari pada listening to scientific knoledge. Dengan kata lain

peningkatan scientific altitude dapat berlangsung jika pengajaran IPA disajikan

guru dengan mengurangi ceramah dan meningkatkan peran fasilitator melalui

kegiatan aktivitas IPA yang mendorong siswa doing science seperti pengamatan,

pengujian, dan penelitian.

Siswa yang memiliki sikap ilmiah yang baik akan selalu terdorong untuk

terlibat secara aktif dalam proses belajar. Salah satu dari aspek sikap ilmiah adalah

rasa ingin tahu. Siswa mau belajar bila dalam lubuk hatinya ada keinginan untuk

38

mengetahui sesuatu. Dalam proses belajar mengajar, jelas kelihatan siswa yang

memiliki sifat ingin tahu yang tinggi dia akan berusaha mengajukan pertanyaan-

pertanyaan atau menanyakan masalah-masalah yang belum dipahami benar dan

menunjukkan minat yang tinggi terhadap penstiwa-peristiwa atau obyek-obyek

yang menyentuh inderanya seperti dalam kegiatan praktikum, diskusi, dsb.

Pembatasan terhadap rasa ingin tahu siswa oleh guru akan mematikan kreativitas

belajar siswa, dan akan berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa.

Sikap ilmiah siswa dapat ditumbuhkan dan dikembangkan melalui

kegiatan laboratorium sedangkan kegiatan ini bisa dilakukan melalui penerapan

model belajar inkuiri. Keterlibatan siswa secara aktif baik fisik maupun mental

dalam kegiatan laboratorium akan membawa pengaruh terhadap pembentukan

tindakan siswa yang selalu didasarkan pada hal-hal yang bersifat ilmiah.

Telah diketahui bahwa IPA itu mencakup dua hal yaitu IPA sebagai

produk dan IPA sebagai proses. Produk IPA berupa fakta-fakta, konsep-konsep,

prinsip- prinsip, dan hukum-hukum. Cara kerja memperoleh produk IPA sering

disebut proses IPA. Dalam proses IPA terkandung keterampilan-keterampilan dan

sikap. Keterampilan-keterampilan ini disebut keterampilan proses IPA yang

terdiri dari: (1) pengamatan, (2) pengklasirifikasian, (3) pengukuran, (4)

pengidentifikasian dan pengendalian variabel, (5) perumusan hipotesa (6)

perancangan eksperimen, (7) penyimpulan hasil eksperimen, dan (8)

pengkomunikasian hasil eksperimen (Iskandar, 1997: 4). Karena itu sering

dikatakan bahwa proses mendapatkan IPA merupakan bagian IPA yang tidak

dapat dipisahkan dari IPA itu. IPA tidak hanya fakta tetapi juga proses.

39

Dalam memecahkan suatu masalah seorang ilmuwan sering berusaha

mengambil sikap tertentu yang memungkinkan usaha mencapai hasil yang

diharapkan, sikap itu dikenal dengan nama sikap ilmiah (Iskandar, 1997: 11).

Menurut Iskandar (1997 :12 ) ada beberapa ciri sikap ilmiah yakni:

(a) Obyektif terhadap fakta. Obyektif artinya tidak dicampuri oleh perasaan

senang atau tidak senang terhadap sesuatu. Jika fakta menunjukkan bahwa

sesuatu itu hitam, maka ia menyatakan hal itu hitam meskipun menurut

pendapatnya seharusnya itu putih.

(b) Tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan bila belum cukup data yang

menyokong kesimpulan itu. Misalnya seorang ilmuwan menemukan suatu

jenis tumbuhan berbunga merah, ia tidak segera menyatakan bahwa semua

tumbuhan itu berbunga merah. Bila ia mempunyai dugaan atau hipotesis

bahwa semua tumbuhan jenis itu berbunga merah, maka ia harus menguji

hipotesanya dengan mengumpulkan sejumlah data. Mungkin ia mencari dan

berusaha mengamati bunganya. Bila telah cukup banyak tumbuhan yang

diamati, dan ternyata semuanya berbunga merah, barulah ia mengemukakan

suatu kesimpulan. Kesimpulan yang dikemukakan itupun biasanya dinyatakan

secara berhati-hati, misalnya sepanjang yang diamati, tumbuhan jenis ini

berbunga merah.

(c) Berhati terbuka, artinya bersedia mempertimbangkan pendapat atau penemuan

orang lain, sekalipun pendapat atau penemuan itu bertentangan dengan

penemuannya sendiri. Bila cukup data menunjukkan bahwa penemuannya

sendiri salah, ia tidak ragu-ragu menolak penemuannya sendiri dan menerima

penemuan orang lain.

40

(d) Tidak mencampuradukkan fakta dengan pendapat

(e) Bersifat hati-hati

(f) Ingin menyelidiki

Lebih jauh Iskandar (1997: 17) menyatakan, bila diajarkan menurut cara

yang tepat, IPA merupakan suatu mata pelajaran yang memberikan kesempatan

latihan berfikir kritis. Banyak contoh memecahkan masalah yang memerlukan

daya berfikir yang kritis, menarik kesimpulan dan serangkaian percobaan juga

merupakan latihan berfikir kritis. Karena itu, bila IPA diajarkan melalui

percobaan-percobaan yang dilakukan sendiri oleh siswa, maka IPA tidaklah

merupakan suatu pelajaran yang bersifat hafalan belaka seperti pelajaran IPA

yang banyak kita jumpai di sekolah-sekolah.

2.1.7 Penelitian-penelitian yang Relevan

Berbagai strategi mengajar model konstruktivis telah diterapkan dalam

usaha meningkatkan prestasi belajar fisika dan menumbuhkembangkan sikap

ilmiah, diantaranya:

41

DAFTAR PUSTAKA

Anastasi, A., & Urbina, S. 1998. Tes Psikologi, Edisi Bahasa Indonesia dari Psychological Testing, 7 th ed. Jakarta: PT Prenhalindo.

Anonim. 2001. Laporan Pelaksanaan Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2000/2001. Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng

Anonim. 2002. Laporan Pelaksanaan Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2001/2002. Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng.

Anonim. (tanpa tahun). Kalibrasi Instrumen, Pengolahan Data, dan Pemanfaatan Internet: Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.

Bodner,G. M. 1986 Constructivism A Theory of Knowledge. Purdue University. Journal of Chemical Education. Vol. 63 No. 10

Campbell, D.T. dan Stanley, J.C. 1963. Experimental and Quasi-Experimental Designs for Research. Chicago: Rand Me Nally College Publishing Company.

Dahar, R. W. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Dahar, R. W. dan Liliasari. 1986. Interaksi Belajar Mengajar IPA. Jakarta: Universitas Terbuka.

Dantes, N. 1983. Penilaian Layanan Bimbingan Konseling. Singaraja: FKIP Unud.

Depdikbud. 1994. Kurikulum SMU: GBPP Mata Pelajaran Fisika kelas I,II, III. Jakarta: Depdikbud.

Fernandes, H. J. X. 1984. Testing and Measurement. Jakarta: Nasional Educational Planning, Evaluation and Curriculum Development.

Fraenkel, J. R. Wallen, N. E. 1993. How to Design and Evaluate Research, in Education. Second Edition. New York: Me Graw-Hill, Inc.

Furqon. 1999. Statiska Terapan untuk Penelitian. Bandung : CV Alfabeta

Gega, P. C. 1977. Science In Elementar Education. Canada: John Wiley and Sons Inc.

Guilford, J.P. 1973. Fundamental Statistic in Psychologis and Education. New York: Me Graw-Hili Book Company.

Hadi, S. 1988. Statistic. Yogyakarta: UGM

42

Hair, J. R. J.F., Anderson, R. E.,Tatham, C.R. L.31ack, W. C. 1998. Multivariate Data Analysis, Fifth Edition. Prentice-Hall International, Inc

Harlen, W. 1991. The Teaching Of Science. London: David Fulton Publishers.

Iskandar, S. M. 2001. Penerapan Konstruktivisme dalam Pembelajaran Kimia di SMU. Jurnal Ilmu Kimia dan Pembelajarannya: Jurusan Kimia, FMIPA Universitas Negeri Malang.

——— 1997. Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Karhami, K. A. 2000. Sikap Ilmiah Sebagai Wahana Pengembangan Unsur Budi Pekerti (Kajian Melalui Sudut Pandang Pengajaran IPA). Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 027, Tahun ke-6, November 2000.

Koyan, W. 2002. Pengaruh Jenis Tes Formatif dan Kemampuan Penalaran Verbal Terhadap Hasil Belajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Disertasi Doktor (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.

Lawson, A. E. 1995. Science Teaching and The Development of Thinking. California: Wadsworth Publishing Company.

Mardana, I.B.P., Sudiatmika, A. A. I. R., Suwindra, P. 1998. Intensifikasi Pelaksanaan Kegiatan Labolatorium dalam Pembelajaran IPA Sebagai Upaya Meningkatkan Minat, Sikap Ilmiah, dan Prestasi belajar IPA Siswa Kelas II SLTP Negeri 1 Singaraja. Laporan Penelitian. Singaraja: STKIP Singaraja.

Montgomery, D. C. 1984. Design and Analysis of Experiment. Second Edition. New York: John Wiley & Sons.

Mulyasa. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Ndraka, T. 1985. Teori Metodologi Administrasi. Jakatra: Bina Aksara.

Norusis, M. J. 1990. SPSS Advanced Statistics User's Guide: SPSS Inc.

Piaget, J. 1970. Genetic Epislemology. New York: Columbia University Press.

Rapi, N.K. dan Sujanem, R. 2000. Optimalisasi Kegiatan Labolatorium yang Berorientasi pada Pendekatan STM dalam Pembelajaran Fisika sebagai Upaya untuk Meningkatkan Sikap Ilmiah dan Hasil Belajar Siswa Kelas II SMUN 3 Singaraja. Laporan Penelitian. Singaraja: STKIP Singaraja.

43

Rapi, N. K. dan Sujanem, R. 2001. Implementasi Model Siklus Belajar Hipotsis- Deduktif untuk Meningkatkan Kualitas Hasil belajar Siswa Kelas b SMUN 1 Singaraja. Laiporan. Penelitian. Singaraja: IKIP Negeri Singaraja.

Sadia, I. W. 1996. Model Konstruktivis dalam Belajar dan Mengajar. Makalah. Disajikan Dalam Seminar Metode Pembelajaran MIPA di Jurusan Pendidikan MIPA STKIP Singaraja, tanggal 1 Maret 1996, di Singaraja.

———, 1996. Pengaruh Prior Knowledge dan Strategi Conceptual Change dalam Pembelajaran IPA. Laporan Penelitian. Singaraja: STKIP Singaraja.

——––, 1990. Dampak Pengajaran Fisika dengan Metode Discovery-Inquiry Terhadap Sikap Ilmiah, Konsep Diri dan Sifat Mandiri, serta Hubungannya dengan Prestasi Belajar Siswa Kelas II Jurusan Al SMA Negeri se Propinsi Bali. Laporan Penelitian: Universitas Udayana Denpasar.

Santoso, S. 2002. Buku Latihan SPSS Statisrik Multivariat. Jakarta: Gramedia.

Subratha, 1. N. dan Kariasa, I. N. 2000. Upaya Meningkatkan Sikap Ilmiah dan Kualitas Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar Melalui Pembelajaran IPA dengan Pedekatan Keterampilan Proses. Laporan Penelitian. Singaraja: IKIPN Singaraja.

Sudiatmika, A.A.I.R. 1997. Penguasaan Konsep Zat dan Wujudnya melalui Siklus Belajar Empiris-Induktif. Bandung: Thesis (tidak dipublikasikan) PPS IKIP Bandung.

Sudjana, N. 1999. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sudjana. 1996. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Sudjana. 2002. Penelitian dan Penilaian Pendidikan, Bandung: Sinar Baru.

Sujanem, R. dan Adiarta, A. 2001. Upaya Peningkatan Sikap Ilmiah Siswa, Literasi Sains dan Teknologi dalam Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar Melalui Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat. Laporan Penelitian. IKIP Negeri Singaraja.

Suma, K., Sadia, I. W., Tika, K., Santyasa, W., Suastra, I.W. 1997. Pengaruh Penerapan Strategi Siklus Belajar Terhadap Perubahan Konsepsi Siswa dan Penguasaan Dinamika Gerak Lurus Di Sekolah Menengah Umum. Laporan Penelitian: STKIP Singaraja.

Sund, R. B. dan Trowbridge, L.W. 1973. Teaching Science by Inquiry in the Secondary School. Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company.

44

Suparnoo, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Suryabrata, S. 2000. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: Andi.

Tasker, R. 1992. Effective Teaching What Can A Constructivist view of Learning Offer. The Australian Science Teachers Journal. Vol.38 No. 1.

Trowbridge, L.W. & Bybee, R. W. 1990. Becoming a Secondary School Science Teacher. Ohio: Merrill Publishing Company.

Winatapura, U. S. 1993. Strategi Belajar Mengajar IP A. Jakarta ; Univp;-Aas Terbuka Depdikbud.

45