bab ii pendidikan akhlakrepository.uinbanten.ac.id/4512/4/bab ii.pdf14 bab ii pendidikan akhlak a....
TRANSCRIPT
14
BAB II
PENDIDIKAN AKHLAK
A. Pengertian Pendidikan Akhlak
1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata didik yang diberi awalan Pe
dan akhiran kan. Mengandung arti (Perbuatan, hal, cara, dan
sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa
yunani, yaitu Paedagogy yang mengandung makna seorang
anak yang pergi dan pulang sekolah diantar seorang pelayan.
Sedangkan pelayan yang mengantar dan menjemput
dinamakan paedagogos. Pendidikan diistilahkan To Educate
yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual.1
Sedangkan dalam kamus Besar Bahasa indonesia pendidikan
ialah Proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
1Wiji Suwarno, Dasar-dasar Ilmu pendidikan, (Jogjakarta: AR-
RUZZ, 2006), 19
15
Adapun definisi pendidikan yang menitikberatkan pada
aspek serta ruang lingkupnya dikemukakan oleh Ahmad D.
Marimba, ia menyatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan
atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan ruhani terdidik menuju
terbentuknya kepribadian yang usaha sadar untuk menyiapkan
peserta didik melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan bagi
peranannyadi masa yang akan datang. Sehingga pendidikan
dapat diartikan sebagai suatu aktifitas sosial penting yang
berfungsi untuk mentransformasikan keadaan suatu
masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Keterkaitan
pendidikan dengan keadaan sosial sangatlah erat, sehingga
pendidikan mungkin mengalami proses spesialisasi dan
institusionalisasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang
yang kompleks dan modern, meski demikian proses
pendidikan secara menyeluruh tidak bisa dilepaskan dari
proses pendidikan informal yang berlangsung di luar
sekolah.2Secara terminologis, para ahli pendidikan
mendefinisikan kata pendidikan dari berbagai tinjauan, ada
2Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2011), 20
16
yang melihat dari kepentingan atau fungsi yang diembannya,
dari proses ataupun dilihat dari aspek yang terkandung di
dalam pendidikan.
Dari beberapa pengertian pendidikan di atas, kalau
ditelaah lebih jauh, meskipun batasan yang dikemukakan para
ahli pendidikan selintas berbeda, terlihat rentang garis merah
bahwa pendidikan merupakan usaha pengembangan kualitas
diri manusia dalam segala aspeknya. Jadi, pendidikan
merupakan aktivitas yang disengaja untuk mencapai tujuan
tertentu dan melibatkan berbagai faktor yang saling berkaitan
antara satu dan yang lainnya, sehingga membentuk satu
system yang saling mempengaruhi.
Dalam konteks Islam Menurut Azyumadi Azra pengertian
pendidikan secara umum yang kemudian dihubungkan
dengan Islam-sebagai suatu system keagamaan-menimbulkan
pengertian pengertian baru yang secara implisit menjelaskan
karakteristik yang dimilikinya. Pengertian pendidikan Islam
yang seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inhern dalam
konotasi Islam “Tarbiyah, Ta‟lim dan Ta‟dib” yang harus
17
dipahami secara bersama sama. Ketiga istilah itu mengandung
makna yang amat dalam menyangkut menusia dan
masyarakat, lingkungan yang dalam hubungannya dengan
Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah istilah itu pula
sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam.3
Hasan Langgulung melihat arti pendidikan dari sisi
fungsi, yaitu : pertama, dari pandangan masyarakat, yang
menjadi tempat bagi berlangsungnya pendidikan sebagai satu
upaya penting pewarisan kebudayaan yang dilakukan oleh
generasi tua kepada generasi muda agar kehidupan
masyarakat tetap berlanjut. Kedua, dari sisi kepentingan
individu, pendidikan diartikan sebagai upaya pengembangan
potensi-potensi tersembunyi yang dimiliki manusia.
Berbeda dengan konsep pendidikan secara umum,
pendidikan Islam memiliki ruang lingkup definisi sebagai Al-
Tarbiyah-Al-Ta‟lim-Al-Ta‟dib Dan Riyadhah, dan secara
esensial keempat kata tersebut memiliki arti kata yang sama
yaitu pendidikan. Secara garis besar Tarbiyah memiliki arti
3Azyumadi Azra, Pendidikan Islam Tradisi Dan Modernisasi Menuju
Melinium Baru, (Jakarta: PT. LOGOS WACANA ILMU, 1999), 5
18
proses pembinaan potensi manusia melalui pemberian
petunjuk yang dijiwai oleh wahyu Illahi, sehingga melalui
upaya tersebut potensi manusia akan tumbuh secara produktif
dan kreatif tanpa menghilangkan etiak illahi yang telah di
tetapkan dalam wahyu-Nya. Al-Ta‟lim lebih menekankan
pada aspek pemberian pengetahuan, pemberian pemahaman,
pengertian, tanggung jawab dan penanaman amanah sehingga
terjadi proses tazkiyah atau pembersihan diri manusi dari
segala kotoran, dan menjadikan diri manusia berada dlam
satu kondisi yang memungkinkan untuk menerima hikmah,
serta mempelajari segala apa yang bermanfaat baginya dan
tidak diketahuinya. Adapun Ta‟dib pada awalnya berasal dari
kata addaba yang berarti memberi adab atau mendidik.
Melalui akar kata tersebut ta’dib bisa diartika sebagai proses
penanaman dan internalisasi pengetahuan tindakan dan
karakter pada diri manusia, sehingga muatan pokok dalam
pendidikan Islam pada hakikatnya adalah interaksi yang
menanamkan adab. Dan Riyadhah yang bisa diartikan sebagai
proses mendidik jiwa anak dengan akhlak, sehingga al-
19
riyadhah juga dapat menjadi alternatif untuk menyambut
pendidikan Islam.4
Dalam rangka yang lebih rinci, Saidan memberikan
pengertian bahwa pendidikan Islam itu merupakan upaya
pelayanan ataupun usaha secara sadar, secara terencana bagi
optimalisasi potensi dasar yang ada dalam diri setiap individu.
Potensi dasar tersebut berupa potensi untuk mengakui Allah
sebagai Tuhan yang menciptakan alam semesta, potensi untuk
menjadi manusia yang baik, potensi untuk mengembangan
naluri kekhalifahan, dan potensi untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan dan lain lain5.
2. Pengertian Akhlak
Menurut pendekatan etimologi perkataan akhlak berasal
dari bahasa arab Jama’ dari bentuk mufradnya Khuluqun
yang mempunyai arti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau
tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian
dengan kata Khalkun yang berarti kejadian serta erat
4Safrudin Aziz, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan
Kontemporer (Depok Sleman Yogyakarta: Kalimedia, 2015), 2-3 5Saidan, Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Hasan Al-Bana
Dan Mohammad Natsir (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011), 44
20
hubungannya dengan Khalik yang berarti Pencipta, dan
Makhluk yang berarti yang Diciptakan.6Dari kata khulqun, hal
ini sangat memungkinkan bahwa tujuan dari akhlak adalah
ajaran yang mengatur hubungan dari manusia kepada sang
Khalik dan makhluk lain. Akhlak juga disamakan dengan
kesusilaan, sopan santun, khuluq merupakan gambaran bentuk
lahiriah manusia, seperti raut wajah, gerak anggota badan dan
seluruh tubuh.
Adapun pengertian akhlak secara terminology, menurut
para ulama sebagai berikut:
a. Menurut Imam Al-Ghazali akhlak adalah hay’at atau
sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya
lahir perbuatan-perbuatan yang spontan tanpa
memerlukan pertimbangan dan pemikiran. Maka jika
sifat tersebut melahirkan suatu tindakan yang terpuji
menurut ketentuan akal dan norma agama, ia
dinamakan akhlak yang baik, tetapi jika ia
6Zulkarnain, Transformasi Nilai-nilai Pendidikan Islam, Manajemen
Berorientasi Link and Match, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 16
21
menimbulkan tindakan yang jahat, maka ia dinamakan
akhlak yang buruk.
b. Menurut Ibnu Maskawaih akhlak merupakan keadaan
jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan
pikiran terlebih dahulu. Keadaan ini terbagi dua, ada
yang berasal dari tabiat aslinya ada pula yang di
peroleh dari kebiasaan yang berulang-ulang. Boleh
jadi, pada mulanya tindakan itu melalui pikiran dan
pertimbangan, kemudian dilakukan terus-menerus,
maka jadilah suatu bakat dan akhlak.
c. Menurut Muhyiddin Ibnu Arabi istilah akhlak
diartikan sebagai suatu keadaan jiwa seseorang yang
mendorong manusia untuk berbuat tanpa melalui
pertimbangan dan pilihan terlebih dahulu. Keadaan
tersebut pada seseorang boleh jadi merupakan tabiat
22
atau bawaan dan boleh jadi juga merupakan kebiasaan
melalui latihan dan perjuangan7
d. Al-Faidh Al-Kasyani menerangkan bahwa akhlak
adalah ungkapan untuk menunjukkan kondisi yang
mandiri dalam jiwa, darinya muncul perbuatan-
perbuatan dengan mudah tanpa didahului perenungan
dan pemikiran.
Adapun definisi akhlak dalam pandangan penulis adalah
suatu keadaan yang melekat pada jiwa seseorang, yang
darinya akan lahir perbuatan-perbuatan secara spontan tanpa
melalui proses pemikiran, pertimbangan, atau penelitian. Jika
keadaan tersebut melahirkan perbuatan yang terpuji menurut
pandangan akal dan syarat Islam ia adalah akhlak yang baik,
jika keadaan tersebut melahirkan perbuatan yang buruk dan
tercela ia adalah akhlak yang buruk. Di samping itu, nilai
akhlak al-karimah juga merupakan tindakan yang manifestatif
dari keimanan manusia dan sebagai modal di dalam perilaku
kehidupan sehari-hari, baik perilaku yang bertalian dengan
7 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010),
14
23
wilayah ketuhanan maupun hubungannya dengan manusia
serta alam lingkungannya. Dengan demikian, kenyataan hidup
yang dihadapi tidak kemudian disikapi dengan gegabah,
terburu-buru, frontal dan tanpa perhitungan.
Sedangkan Sa’adudin mengemukakan bahwa akhlak
mengandung beberapa arti, diantaranya :
a. Tabiat, yaitu sifat dalam diri yang terbentuk oleh manusia
tanpa dikhendaki dan tanpa diupayakan.
b. Adat, yaitu sifat dalam diri yang diupayakan manusia
melalui latihan, yakni berdasarkan keinginan.
c. Watak, cakupannya meliputi hal-hal yang menjadi tabiat
dan hal-hal yang diupayakan hingga menjadi adat.
Secara umum akhlak bersumber dari dua hal yang dapat
terbentuk akhlak baik dan akhlak buruk, tergantung
pembiasaannya, kalau anak membiasakan perilaku buruk,
maka akan menjadi akhlak buruk bagi dirinya, sebaliknya
anak membiasakan perbuatan baik, maka akan menjadi
akhlak yang baik bagi dirinya. Penjelasan tersebut
mengindikasikan bahwa akhlak dapat dipelajari dan
24
diinternalisasikan dalam diri seseorang melalui pendidikan,
diantaranya dengan metode pembiasaan. Dengan adanya
kemungkinan diinternalisasikan nilai-niali akhlak ke dalam
diri anak memungkinkan pendidik melakukan pembinaan
akhlak.
3. Pengertian Pendidikan Akhlak
Setelah dijelaskan secara terpisah mengenai pengertian
pendidikan dan pengertian akhlak, maka dapat disimpulkan
bahwa pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-
dasar akhlak dan keutamaan perangai, tabiat yang harus
dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa analisa
sampai ia menjadi seorang mukallaf, seseorang yang telah
siap mengarungi lautan kehidupan. Ia tumbuh dan
berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada
Allah dan terdidik untuk selalu kuat, ingat bersandar,
meminta pertolongan dan berserah diri kepada-Nya, maka ia
akan memiliki potensi dan respon yang instingtif didalam
25
menerima setiap keutamaan dan kemuliaan, di samping
terbiasa melakukan akhlak mulia.8
Menurut Ali Abdul Halim Mahmud dalam kitabnya
pendidikan akhlak dalam Islam adalah pendidikan yang
mengakui bahwa dalam kehidupan manusia menghadapi hal
baik dan hal buruk, kebenaran dan kebatilan, keadilan dan
kedzaliman, serta perdamaian dan peperangan. Untuk
menghadapi hal-hal yang serba kontra tersebut, Islam telah
menetapkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang membuat
manusia mampu hidup di dunia. Dengan demikian manusia
mampu mewujudkan kebaikan di dunia dan di akhirat, serta
mampu berinteraksi dengan orang-orang yang baik dan jahat.9
Sedangkan pendidikan akhlak sebagaimana dirumuskan
oleh Ibn Miskawaih dan dikutip oleh Abudin Nata,
merupakan upaya ke arah terwujudnya sikap batin yang
mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan-
perbuatan yang bernilai baik dari seseorang. Dalam
8Raharjo, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan
Kontemporer, (Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1999), 63 9Ali Abdul Halim Mahmud, Tarbiyah al-khuluqiyah, 121
26
pendidikan akhlak ini, kriteria benar dan salah untuk menilai
perbuatan yang muncul merujuk pada Al-Quran dan Sunnah
sebagai sumber sebagai sumber tertinggi ajaran Islam.
Dengan demikian maka pendidikan akhlak bisa dikatakan
sebagai pendidikan moral dalam diskursus pendidikan Islam.
Telaah lebih dalam terhadap konsep akhlak yang telah
dirumuskan oleh para tokoh pendidikan Islam masa lalu
seperti Ibn Miskawaih, Al-Qabisi, Ibn Sina, Al-Ghazali, dan
Al-Zarnuji, menunjukan bahwa tujuan puncak pendidikan
akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku
anak didik. Karakter positif ini tiada lain adalah penjelmaan
sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia.
4. Tujuan Pendidikan Akhlak
Para ahli pendidikan telah memberikan definisi tentang
tujuan pendidikan Islam, dimana rumusan atau definisi yang
satu berbeda dari definisi yang lain. Meskipun demikian, pada
hakekatnya rumusan dari tujuan pendidikan Islam adalah
sama, mungkin hanya redaksi dan penekanannya saja yang
27
berbeda. Berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi dari
tujuan pendidikan Islam yang di kemukakan oleh para ahli10
:
a. Abd ar-Rahman Saleh Abdullah, mengungkapkan
bahwa tujuan pokok pendidikan Islam mencakup
tujuan jasmaniah, tujuan rohaniah, dan tujuan mental.
Saleh Abdullah telah mengklasifikasikan tujuan
pendidikan kedalam tiga bidang, yaitu: fisik-materil,
rohani-spiritual, dan mental-emosional. Ketiga-
tiganya harus diarahkan menuju pada kesempurnaan.
Ketiga tujuan ini tentu saja harus tetap dalam satu
kesatuan yang tidak terpisah-pisah
b. Muhammad Athiyah Al-Abrasyi merumuskan tujuan
pendidikan Islam secara lebih rinci. Dia menyatakan
bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk
membentuk akhlak mulia, persiapan menghadapi
kehidupan dunia-akhirat, persiapan untuk mencari
rizki, menumbuhkan semangat ilmiah, dan
menyiapkan profesionalisme subjek didik. Dari lima
10
Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: LKiS Printing
Cemerlang, 2009), 28
28
rincian tujuan pendidikan tersebut, semuanya harus
menuju pada titik kesempurnaan yang salah satu
indikatornya adalah adanya nilai tambah secara
kuantitatif dan kualitatif.
c. Abdul Fatah Jalal menyatakan bahwa tujuan
pendidikan Islam adalah mewujudkan manusia yang
mampu beribadah kepada Allah, baik dengan pikiran,
amal, maupun perasaan.
d. Lebih lanjut mengenai tujuan pendidikan akhlak
Muhammad Athiyah al- Abrasyi memberikan
penjelasan bahwa tujuan dari pendidikan akhlak
adalah untuk membentuk orang-orang yang bermoral
baik, berkeinginan keras, sopan dalam berbicara dan
perbuatan, mulia dalam tingkah laku dan perangai,
bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, jujur
serta ikhlas suci.11 Zakiah Darajat (1995) menyatakan
bahwa perbuatan akhlak mempunyai tujuan langsung
yang dekat, yaitu harga, dan tujuan jauh adalah ridha
11
Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terj.
Bustari, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 104
29
Allah melalui amal shaleh dan jaminan kebahagiaan
dunia dan akhirat.12
Tujuan pendidikan dalam pandangan al-Ghazali adalah
mencapai mardlatillah (Ridha Allah) dan haruslah dihindari dari
tujuan-tujuan duniawi. Karena tujuan duniawi dapat merusak
seluruh proses pendidikan. Dan dapat mendangkalkan arti
pendidikan itu sendiri. Menurut al-Ghazali pendidikan dalam
prosesnya haruslah mengarah pada pendekatan diri kepada Allah
dan kesempurnaan insani, mengarahkan manusia untuk mencapai
tujuan hidupnya yakni bahagia dunia akhirat. Dengan bekal ilmu
maka kebahagiaan seseorang di dunia akan diperoleh, tentunya
diiringi dengan menjalankan perintah-perintah Allah (beribadah).
Al-Ghazali memberikan penegasan bahwa sesungguhnya ilmu
pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang akan menjadi kendala
dalam kehidupan masyarakat dan terhindar dari perbuatan-
perbuatan maksiat. Akan tetapi tergantung pada aplikasinya di
masyarakat, apakah digunakan suatu kebaikan dalam rangka
12
Zakiah Darajat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga Dan Sekolah,
(Jakarta: Ruhama, 1995), 11
30
ibadah kepada Allah atau untuk sikap yang tidak mulia seperti
sombong, ingin memperoleh popularitas dan lain sebagainya.
Islam merupakan agama universal yang mengatur seluruh
seluk beluk kehidupan manusia dan menata hubungan antar
sesama manusia dan lingkungannya agar berjalan dengan
harmonis dan seimbang. Oleh sebab itu, salah satu wadah untuk
menjembatani keinginan tersebut tidak lain adalah dengan
melalui jalur pendidikan, terlebih khusus lagi pendidikan akhlak.
Tujuan untuk menanamkan nilai-nilai akhlak yang mulia.
Sebagaimana dikatakan oleh Naquib al-Attas bahwa tujuan
mencari ilmu pengetahuan dalam Islam adalah menanamkan
kebaikan dalam diri manusia sebagai makhluk individu sekaligus
sosial. Sedangkan tujuan akhirnya adalah menghasilkan manusia
yang baik dan warga negara yang baik pula. "Baik" dalam konsep
manusia yang baik berarti sebagaimana manusia yang beradab,
yaitu meliputi kehidupan material dan spiritual.13
Tujuan pendidikan setidaknya terbagi menjadi dua, yaitu
pendidikan bertujuan mengembangkan aspek batin/rohani dan
13
Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, terj. Haidar
bagir, (Bandung: Mizan, 1980), 54
31
pendidikan bersifat jasmani/lahiriah. Pendidikan bersifat rohani
merujuk kepada kualitas kepribadian, karakter, akhlak dan watak,
kesemua itu menjadi bagian penting dalam pendidikan, kedua
pengembangan terfokus kepada aspek jasmani, seperti
ketangkasan, kesehatan, cakap, kreatif. Pengembangan tersebut
dilakukan di institusi sekolah dan di luar sekolah seperti di dalam
keluarga, dan masyarakat. Tujuan pendidikan berusaha
membentuk pribadi berkualitas baik jasmani dan rohani. Dengan
demikian secara konseptual pendidikan mempunyai peran
strategis dalam membentuk anak didik menjadi manusia
berkualitas, tidak saja berkualitas dalam segi skill, kognitif,
afektif, tetapi juga aspek spiritual. Hal ini membuktikan
pendidikan mempunyai andil besar dalam mengarahkan anak
didik mengembangkan diri berdasarkan potensi dan bakatnya.
Melalui pendidikan anak memungkinkan menjadi pribadi soleh,
pribadi, berkualitas secara skill, kognitif dan spiritual.
Menurut Al-Ghazali tujuan akhir yang ingin dicapai
melalu kegiatan pendidikan ada dua: Pertama, tercapainya
kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada
32
Allah. Kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada
kebahagiaan dunia dan akhirat, tujuan pendidikan yang
dirumuskan Al- Ghazali didasari oleh pemikirannya tentang
manusia yang terdiri atas dua unsur: jasad dan ruh (jiwa).
Keduanya mempunyai sifat yang berbeda tetapi saling mengikat
artinya berbeda dalam sifat tetapi sama dalam tindakan. Jasad
tidak akan dapat bergerak tanpa ruh atau jiwa dan sebaliknya.
Bilamana jasad terpisah dari ruh, namun kelak akan menyatu
kembali untuk menerima balasan atas tindakan yang dilakukan
keduanya ketika di dunia.14
Adapun definisi tujuan pendidikan
yang paling sederhana ialah "Perubahan yang diingini yang
diusahakan oleh proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk
mencapainya, baik pada tingkah laku individu dan pada
kehidupan pribadinya atau pada kehidupan masyarakat dan pada
alam sekitar tentang individu itu hidup, atau pada proses
pendidikan sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu
14
Nur Ahid, Konsep Pendidikan Al-Ghazali; Urgensi Dan
Implementasi Dalam Pendidikan Islam (Jurnal Kependidikan Dan
Kemasyarakatan, 2007), 35
33
aktivitas asasi dan sebagai proporsi diantara professi- professi
asasi dalam masyarakat".
a. Tujuan-tujuan individual yang berkaitan dengan individu-
individu, pelajaran (learning) dan dengan pribadi-pribadi
mereka, dan apa yang berkaitan dengan individu-individu
tersebut pada perubahan yang diinginkan pada tingkah
laku, aktivitas dan pencapaiannya, dan pada pertumbuhan
yang diingini pada pribadi mereka, dan pada persiapan
yang dipastikan kepada mereka pada kehidupan dunia dan
akhirat.
b. Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku
masyarakat umumnya, dan dengan apa yang berkaitan
dengan kehidupan ini tentang perubahan yang diinginkan,
dan pertumbuhan, memperkaya pengalaman dan
kemajuan yang diinginkan.
c. Tujuan-tujuan professional yang berkaitan dengan
pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni,
sebagai professi, dan sebagai suatu aktivitas di antara
aktivitas-aktivitas masyarakat.15
15
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan
Islam, Terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 399
34
Di sisi lain Islam memberikan jawaban yang tegas
sebagaimana di sampaikan dalam firman Allah SWT dalam
suarat Adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya:
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.16
Menyembah atau Ibadah dalam pengertiannya yang
luas berarti mengembangkan sifat-sifat Tuhan pada diri
manusia menurut petunjuk Allah. Sebagaimana dalam al-
asma al-husna yaitu nama-nama allah yang baik. Seperti ar-
Rahman ar-Rahim, al-Malik dan seterusnya.
Mengembangkan sifat-sifat ini pada manusia itulah ibadah.
Misalnya Allah memerintah manusia menjalankan
sembahyang (salah satu ibadah formal) kepada-Nya, dengan
berbuat demikian manusia menjadi suci dari segi rohani,
fikiran dan jasmani. Seperti hadast besar dan kecil. Begitu
juga dengan ibadah-ibadah formal yang lain seperti zakat,
puasa, haji, dan syahadat. Kalau diikuti pula dengan ibadah-
16
Al Qur’anul Karim dan Terjemahannya, (Bogor: Laznaz Dewan
Dakwa, 2007), 523
35
ibadah non formal seperti berdagang, berumah tangga,
menuntut ilmu yang semuanya menurut syarat-syarat yang
ditentukan oleh syariah tentulah sifat-sifat Tuhan yang
banyak itu berkembang pada diri manusia dan ia mendekati
kesempurnaan.17
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan bahwa
tujuan pendidikan menurut al-ghazali adalah sebagai berikut:
1. Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya
adalah kemampuan dan dengan kesadaran diri
melaksanakan ibadah wajib dan sunnah
2. Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah
manusia
3. Mewujudkan profesionalisasi manusia untuk
mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya
4. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci
jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela18
5. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak
Pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada
intinya adalah perbuatan manusia. Perbuatan tersebut
selanjutnya ditentukan kriteria apakah baik atau buruk. Ruang
17
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Al-
Husna Baru, 2003), 299-300 18
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-ghazali Tentang Pendidikan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 60
36
lingkup ajaran akhlak adalah sama dengan ruang lingkup
ajaran Islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan
pola hubungan. Akhlak dalam ajaran Islam mencakup
berbagai aspek, dimulai akhlak terhadap Allah, hingga pada
sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan
benda-benda tak bernyawa). Lebih jelasnya dapat disimak
paparan berikut ini:
a. Akhlak Terhadap Allah
Yang dimaksud dengan akhlak terhadap Allah atau pola
hubungan manusia dengan Allah adalah sikap dan perbuatan
yang seharusnya dilakukan oleh oleh manusia terhadap Allah.
Akhlak terhadap Allah meliputi beribadah kepada-Nya,
mentauhidkan-Nya, berdo’a, berdzikir, dan bersyukur serta
tunduk dan taat kepada Allah.19
Banyak cara yang dilakukan dalam berakhlak kepada
Allah dan kegiatan menanamkan nilai-nilai akhlak kepada
Allah yang sesungguhnya akan membentuk pendidikan
19
Sahriansyah, Ibadah dan Akhlak (Yogyakarta: IAIN Antasari Press,
2014), 152
37
keagaamaan. Diantara nilai-nilai ketuhanan yang sangat
mendasar seperti iman, takwa, ikhlas, tawakal, sabar.20
1) Iman, yaitu sikap bathin yang penuh kepercayaan kepada
Tuhan, Iman merupakan jaminan terbesar yang menjamin
terlaksananya petunjuk dan arahan seseorang.21
Jadi iman
adalah jika seseorang sudah menggantungkan segalanya
kepada Allah maka ia termasuk orang yang beriman. Pada
hakikatnya iman adalah kepercayaan yang tertanam kuat
dalam diri seseorang tanpa ada pengaruh dari luar yang
menjadikannya beriman, dan iman akan ada pada diri
seseorang jika Allah berkehendak untuk ada.
Jika seseorang harus mengarahkan hatinya untuk
Allah, berakhlak dengan akhlak orang-orang mukmin,
mendapatkan keterampilan yang membantunya
melakukan perannya dalam kehidupan ini maka jalan
mudah untuk mewujudkannya adalah kembali kepada Al-
Quran dan berdekatan dengan sumber iman. Semua ini
20
Muhamad Alim, pendidikan agama Islam ( Bandung : PT Remaja
Roadakarya, 2011), 153-154 21
Majdi Hilali, Mengubah hal-hal negative dalam diri ( Jakarta:
Samara Publising, 2008), 134
38
sebagai buah alami dari hidupnya hati dan iman yang
tumbuh dari dalamnya sebagaimana firman Allah Q.S.
Ibrahim 14 : 24-25 yang artinya:
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah
membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti
pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya
(menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya
pada Setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk
manusia supaya mereka selalu ingat.22
Dari uraian di atas mengenai tentang keimanan
sangatlah jelas bahwasannya keimanan akan menghasilkan
sebuah akhlak apabila seseorang sudah beriman dengan
sesungguhnya maka ia akan memiliki akhlak yang
diinginkan Allah. Oleh karena itu, siapa yang tidak
berakhlak dengan orang-orang mukmin, hendaknya ia
22
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya.. 185
39
berinteraksi dengan sumber-sumber keimanan, dan sumber
keimanan yang hakiki adalah Al-Qur’an.
2) Takwa yang telah menjadi perbendaharaan bahasa
Indonesia, berasal dari bahasa arab taqwa yang berarti
takut, menjaga diri, memelihara, tanggung jawab, dan
memenuhi kewajiban. Oleh karena itu orang yang
bertaqwa adalah orang yang takut kepada Allah
berdasarkan kesadaran. Menurut H.A Salim, takwa adalah
sikap mental seseorang yang selalu ingat dan waspada
terhadap sesuatu dalam rangka memelihara dirinya dari
noda dan dosa, selalu berusaha melakukan perbuatan
perbuatan yang baik dan benar, pantang berbuat salah dan
melakukan kejahatan terhadap orang lain, diri sendiri dan
lingkungan.23
Jadi, jika seseorang sudah beriman ia akan
memiliki sikap yang sadar penuh bahwa Allah selalu
mengawasi manusia, kemudian manusia berbuat baik
hanya semata mata karena Allah inilah yang di sebut
akhlakul karimah.
23
Muhamad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam ( Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2006), 361-367
40
3) Ikhlas, yaitu sikap murni dalam tingkah laku dan
perbuatan semata-mata demi memperoleh keridhoan
Allah bebas dari pamrih lahir dan bathin.24
Ikhlas
merupakan perbuatan hati dan ikhlas juga merupakan
pendahuluan sebelum kita mengerjakan sesuatu, yang
dapat disempurnakan dengan hati yang ikhlas. Karena
pondasi awal untuk mengerjakan sesuatu tidak dapat
diketahui secara kasatmata, hanya Allahlah yang dapat
mengetahuinya.
4) Tawakal, yaitu sikap senantiasa bersandar kepada Allah
dengan penuh harapan kepada-Nya, dan keyakinan bahwa
dia akan menolong manusia dalam mencari dan
menemukan jalan yang terbaik. Adapun tawakal menurut
ulama salaf adalah hati yang berserah diri kepada
kekuasaan Allah, seperti mayat yang pasrah kepada orang
yang mengkafani dan memandikannya. Tawakal adalah
sifat berserah diri seutuhnya hanya kepada Allah, jika kita
menyerahkan segala permasalahan hidup ini hanya pada
24
Muhamad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, 362
41
Allah niscaya Allah akan memberikan segala sesuatu
yang kita inginkan, dan sebaliknya jika kita
menggantungkan atau menyerahkan permasalahan kita
kepada selain Allah, maka hanya ada rasa kecewa yang
kita dapat.
5) Sabar, yaitu keteguhan hati dalam menghadapi kesulitan
dan bahaya atau dalam memperoleh kelapangan dan
kecukupan. Juga keteguhan hati dalam meneruskan
pekerjaan dan melanjutkan perjuangan. Imam Al-Ghazali
telah menulis berkenaan dengan keperluan sabar dan
bahwa sabar itu mesti ada dalam keadaan bagaimanapun.
Kesimpulannya sebagai berikut:
Ketahuilah bahwa yang ditemui manusia dalam hidup ini
ada dua macam: Pertama, sesuai dengan kemauan dan
kehendak hati. Kedua, tidak sesuai dengan kehendak hati
bahkan amat dibenci
6) Syukur, yaitu menerima segala sesuatu yang telah Allah
berikan, baik maupun buruknya. Syukur wajib bagi orang
yang mendapat nikmat, sebagai wujud iman. Kondisi
42
yang mendorongnya adalah kegembiraan dan sukacita
terhadap nikmat-nikmat Allah SWT. Kegembiraan
tersebut merupakan manifestasi syukur itu sendiri, karena
hanya diperuntukkan bagi zat-Nya. Syukur sendiri adalah
buah dari iman.
b. Akhlak Terhadap Keluarga
Keluarga merupakan kelompok orang yang mempunyai
hubungan darah atau perkawinan. Keluarga merupakan
bagian dari masyarakat, keluarga itulah yang akan mewarnai
masyarakat. Seperti berbuat baik kepada orang tua dan
kerabat dekat. Oleh sebab itu anak wajib berbuat baik kepada
orangtuanya. Sebagaimana Firman Allah swt Q.S An-Nisa
4:36 yang artinya:
43
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-
Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua
orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-
orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang
jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.25
Islam sangat memberikan perhatian pada silaturahmi antar
anggota keluarga, orang tua, kerabat dekat, paman, sehingga
mereka menjadi akrab. Menyantuni saudara yang kurang
mampu. Sejatinya, kekuatan besar tersebut melandasi seluruh
aspek kehidupan berkeluarga, karena dengan cinta sesuatu
yang berat akan terasa mudah. Dan sebaliknya, jika
seseorang hatinya kosong dari cinta maka orang tersebut
akan cenderung bersifat keras dan kasar, dan pada akhirnya
bisa berakibat tidak baik kelangsungan hidup berkeluarga,
seperti timbulnya penyimpangan-penyimpangan dan
sebagainya.
c. Akhlak Terhadap Lingkungan
Yang dimaksud dengan lingkungan disini adalah segala
sesuatu yang ada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-
25
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya.. 48
44
tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya
akhlak yang diajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan
bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kehalifahan
menurut adanya interaksi manusia dengan sesamanya dan
terhadap alam. Kehalifahan mengandung arti pengayoman,
pemeliharaan serta bimbingan agar setiap makhluk mencapai
tujuan penciptanya, sebagaimana Allah telah menjelaskan
dalam firmannya mengenai perintah diharamkan merusak
muka bumi ini Q.S Al-Baqarah 11-12:
“Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu
membuat kerusakan di muka bumi". mereka menjawab:
"Sesungguhnya Kami orang-orang yang Mengadakan
perbaikan."Ingatlah, Sesungguhnya mereka Itulah
orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka
tidak sadar.”26
26
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an Dan Terjemahnya.. 324
45
6. Metode Pendidikan Akhlak
Guru harus memilih metode pendidikan yang sesuai
dengan usia dan tabiat anak, daya tangkap dan daya tolaknya,
sejalan dengan situasi kepribadian. Al-Ghazali berkata:
Sebagaimana dokter, jikalau mengobati semua orang sakit
dengan satu macam obat saja, niscaya akan membunuh
kebanyakan orang sakit, maka begitu pula guru.Jikalau
menunjukkan jalan kepada murid dengan satu macam saja
dari latihan niscaya membinasakan dan mematikan hati
mereka. Akan tetapi seyogyanyalah memperhatikan
tentang penyakit murid. Tentang keadaan umurnya, sifat
tubuhnya, dan latihan apa yang disanggupinya. Dan
berdasar yang demikian, dibina latihan27
Uraian Al-Ghazali tentang metodik praktis dan
metodik khusus membentuk akhlak mulia menunjukkan
bahwa untuk mengadakan perubahan akhlak tercela anak
adalah dengan menyuruhnya melakukan perbuatan yang
sebaliknya. Hal ini dapat di mengerti karena penyakit jiwa
yang berupa akhlak tercela itu sebagaimana penyakit badan
atau raga. Jika badan sakit panas misalnya, obatnya ialah
yang menurunkan panas. Jika badan menderita penyakit
apapun , maka obatnya adalah membuang penyakit itu.
27 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 100
46
Sedangkan menurut Ibn Miskawaih dalam mencapai
akhlak yang baik terdapat beberapa metode yang
diajukan.28
Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh
untuk berlatih terus menerus dan menahan diri (Al-„Adat Wa
Al-Jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang
sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Latihan ini
terutama diarahkan agar manusia tidak memperturutkan
kemauan jiwa al-syahwaniyyat dan al-ghadabiyyat. Karena
kedua jiwa ini sangat terkait dengan alat tubuh, maka wujud
latihan dan menahan diri dapat dilakukan antara lain dengan
tidak makan dan tidak minum yang membawa kerusakan
tubuh, atau dengan melakukan puasa. Apabila kemalasan
muncul, maka latihan yang patut dilakukan antara lain adalah
bekerja yang di dalamnya mengandung unsur yang berarti,
seperti mengerjakan shalat yang lima, atau melakukan
sebagian pekerjaan baik yang didalamnya mengandung unsur
yang melelahkan.
28
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2003), 22-24
47
Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan atau
pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Adapun
pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud dengan
pernyataan ini adalah pengetahuan dan pengalaman
berkenaan dengan hukum-hukum akhlak yang berlaku bagi
sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia.
Dengan cara ini seseorang tidak akan hanyut kedalam
perbuatan yang tidak baik, karena ia bercermin kepada
perbuatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain.
Manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain,
ia kemudian mencurigai dirinya, bahwa dirinya juga sedikit
banyak memiliki kekurangan seperti orang tersebut lalu
menyelidiki dirinya. Dengan demikian, maka setiap malam
dan siang ia akan selalu meninjau kembali semua
perbuatannya, sehingga tidak satupun perbuatan nya
terhindar dari perhatiannya.
48
Berkaitan dengan pendidikan akhlak, menurut Zuhriyah
nurul ada beberapa metode yang dapat digunakan29
a. Metode Keteladanan (Uswah Hasanah)
Melalui metode ini orang tua atau pendidik dapat
memberi contoh atau teladan bagaimana cara berbicara,
bersikap, beribadah dan sebagainya. Maka anak atau
peserta didik dapat melihat, menyaksikan dan meyakini
cara sebenarnya sehingga dapat melaksanakannya dengan
lebih baik dan lebih mudah.
b. Metode Ceramah
Yaitu penerangan dan penuturan secara lisan oleh
guru terhadap anak didik dikelas. Dengan kata lain dapat
pula dikatakan bahwa metode ceramah atau lecturing itu
adalah suatu cara penyajian informasi melalui penerangan
dan penuturan secara lisan oleh guru terhadap siswanya.
c. Metode Pembiasaan
Metode pembiasaan dilakukan secara bertahap.
Dalam hal ini termasuk mengubah kebiasaan-kebiasaan
29
Zuhriyah Nurul, Penidikan Moral dan Budi Pekerti dalam
Perspektif Perubahan, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2011), 65
49
negatif menjadi kebiasaan atau perilaku positif. Dalam
upaya menciptakan kebiasaan yang baik / positif ini dapat
dilakukan dengan dua cara, antara lain ditempuh dengan
proses bimbingan dan latihan serta dengan cara mengkaji
aturan-aturan Tuhan yang terdapat dialam raya yang
bentuknya amat teratur. Pembiasaan yang baik sangat
penting bagi pembentukan watak anak atau peserta didik
dan juga akan terus berpengaruh pada anak itu sampai
hari tuanya. Menanamkan pembiasaan pada anak-anak
terkadang sukar dan memakan waktu lama. Akan tetapi
segala sesuatu yang telah menjadi kebiasaan akan sukar
pula diubah. Maka dari itu, lebih baik menjaga anak-anak
atau peserta didik supaya mempunyai kebiasaan-
kebiasaan yang baik daripada terlanjur memiliki
kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik.
d. Metode Nasihat
Metode inilah yang sering digunakan oleh orang
tua atau pendidik terhadap anak atau peserta didik dalam
proses pendidikannya. Memberi nasihat tentang kebaikan
50
sebenarnya menjadi kewajiban setiap muslim, seperti
tertera dalam surat al-Ashr ayat 3:
“kecuali orang-orang yang beriman da mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran”.30
e. Metode Kisah atau Cerita
Adalah suatu cara dalam menyampaikan materi
pelajaran dengan menuturkan secara kronologis
bagaimana terjadinya suatu hal, baik yang sebenarnya
ataupun yang rekaan saja. Adapun tujuan yang diharapkan
melalui metode ini adalah : agar anak atau peserta didik
dapat memetik hikmah dan mengambil pelajaran dari
kisah-kisah yang disampaikan.
f. Metode pemberian hadiah dan Hukuman
Metode pemberian hadiah atau reward ini
tujuannya memberikan apresiasi kepada peserta didik
karena telah melakukan tugas dengan baik dan hadiah
30
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an Dan Terjemahnya.. 324
51
yang diberikan tidak harus berupa materi. Sedangkan
hukuman dimaksudkan untuk memberi efek jera kepada
peserta didik agar tidak mengulangi kesalahan-
kesalahannya lagi.
g. Metode Perhatian
Maksud pendidikan dengan perhatian adalah
senantiasa mencurahkan perhatian secara penuh dan
mengikuti perkembangan aspek aqidah dan moral anak,
mengawasi dan memerhatikan kesiapan mental dan sosial
anak, selalu bertanya tentang kondisi fisik dan
kemampuan ilmiahnya. Dapat dipastikan, konsep
pendidikan seperti ini merupakan modal dasar yang
dianggap paling kokoh dalam pembentukan manusia
seutuhnya, insan yang menunaikan hak setiap individu
yang memilikinya dalam kehidupan, dan termotivasi
untuk menunaikan tanggung jawab dan kewajiban secara
sempurna. Dengan adanya usaha seperti itu, akan
terbentuk pribadi muslim yang hakiki, sebagai modal awal
untuk membangun fondasi Islam yang kokoh
52
h. Metode Diskusi
Metode diskusi juga diperhatikan oleh al-Qur’an
dalam mendidik dan mengajar manusia dengan tujuan
lebih memantapkan pengertian dan
sikap pengetahuan mereka terhadap suatu masalah.
Perintah Allah dalam hal ini, agar kita mengajak ke jalan
yang benar dengan hikmah dan
mau‟izhah yang baik dan membantah mereka dengan
berdiskusi dengan cara yang paling baik. Di dalam al-
Qur’an kata diskusi atau al-mujadalah itu diulang
sebanyak 29 kali, terlihat bahwa keberadaan diskusi amat
diakui dalam pendidikan Islam. Namun, sebagaimana
disebutkan di atas, diskusi itu harus didasarkan kepada
cara-cara yang baik. Cara yang baik ini perlu dirumuskan
lebih lanjut, sehingga timbullah etika berdiskusi, misalnya
tidak memonopoli pembicaraan, saling menghargai
pendapat orang lain, kedewasaan pikiran dan emosi,
berpandangan luas, dan seterusnya.
53
7. Materi Pendidikan Akhlak
Untuk mencapai yang telah dirumuskan, Ibn Miskawaih
menyebutkan beberapa hal yang perlu dipelajari, diajarkan
atau dipraktekkan. Sesuai dengan konsepnya tentang manusia,
secara umum Ibn Miskawaih menghendaki agar tercapainya
tujuan pendidikan. Materi-materi dimaksud oleh Ibn
Miskawaih diabdikan pula sebagai bentuk pengbdian kepada
Allah SWT.31
Sejalan dengan uraian tersebut diatas, Ibnu Miskawaih
menyebutkan tiga hal pokok yang dapat dipahami sebagai
materi pendidikan akhlaknya. Tiga hal pokok tersebut adalah
(1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, (2) hal-
hal yang wajib bagi jiwa, dan (3) hal-hal yang wajib bagi
hubungnnya dengan sesama manusia. Ketiga pokok materi
tersebut menurut Ibn Miskawaih dapat diperoleh dari ilmu-
ilmu yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi
dua. Pertama, ilmu-ilmu yang berkitan dengan pemikiran
yang selanjutnya disebut al-ulum al-fikriyah, dan kedua ilmu-
31
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, 12
54
ilmu yang berkaitan dengan indera yang selanjutnya disebut
al-ulum al-bissiyat.
Ibnu Miskawaih tidak memperinci materi pendidikan
yang wajib bagi kebutuhan manusia. Secara sepintas
tampaknya agak ganjil. Materi pendidikan akhlak yang wajib
bagi kebutuhan manusia disebut oleh Ibn Miskawaih antara
lain shalat, puasa, sa’i. Ibn Miskawaih tidak memberi
penjelasan lebih lanjut terhadap contoh yang dianjurkan ini.
Selanjutnya materi pendidikan akhlak yang wajib dipelajari
bagi keperluan jiwa, dicontohkan oleh Ibn Miskawaih dengan
pembahasan tentang akidah yang benar, mengesakan Allah
dengan segala kebesarannya,serta motivasi untuk senang
kepada ilmu. Adapun materi yang terkait dengan keperluan
manusia terhadap manusia lain, dicontohkan dengan materi
dalam ilmu muamalat,pertanian, perkawinan, saling
menasehati , peperangan dan lain-lain.
Selanjutnya karena materi-materi tersebut selalu dikaitkan
dengan pengabdian kepada Tuhan, maka apapun materi yang
terdapat dalam suatu ilmu yang ada, asal semuanya tidak
55
lepas dari tujuan pengabdian kepada Tuhan, Ibn Miskawaih
tampak akan menyetujuinya. Ia menyebut misalnya ilmu
nahwu (tata bahasa). Dalam rangka pendidikan akhlak, Ibn
Miskawaih sangat mementingkan materi yang ada dalam ilmu
ini, karena materi yang ada dalam ilmu ini akan membantu
manusia untuk lurus dalam berbicara. Demikian pula materi
yang ada dalam ilmu manthiq (logika) akan membantu
manusia untuk lurus dalam berfikir.Adapun materi yang
terdapat dalam ilmu pasti seperti ilmu hitung (al-hisab), dan
geometri (al-handasat) membantu manusia untuk terbiasa
berkata benar dan benci kepalsuan. Sementara itu sejarah dan
sastra akan membantu manusia untuk berlaku sopan. Materi
yang ada dalam syari’at sangat ditekankan oleh Ibn
Miskawaih. Menurutnya, dengan mendalami syari’at,
manusia akan teguh pendirian, terbiasa berbuat yang diridhai
Tuhan, dan jiwa siap menerima hikmat hingga mencapai
kebahagiaan (as-sa‟adat).