bab ii pendekatan teoritis tentang agama, masyarakat dan...

27
BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ADAT E. Agama dan Masyarakat 1. Konsep Sakral dan Profan Sebagai Acuan Dasar Agama Sesuatu yang sakral dan profan tidaklah dapat di pisahkan dari agama karena agama selalu ditandai oleh sikap sakral. Ada berbagai pendapat mengenai definisi Agama. Di antaranya menurut Hendropuspito: Agama merupakan suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas lainnya. 16 Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan, bahwa agama adalah sebuah sistem buatan manusia dengan menggunakan kekuatan non empiris yang dipercayai dan didayagunakan untuk memperoleh keselamatan bagi masyarakat di dalamnya. Atau dengan kata lain dapat disimpulkan, bahwa pengertian agama menurut Hendropuspito bersifat sosial. Hal ini berkaitan dengan penjelasan agama menurut Durkheim. Bagi Durkheim Agama pada dasarnya merupakan sesuatu yang kolektif dan bahwa dasar dari agama adalah tentang yang Sakral. Dia mengembangkan suatu definisi mengenai religi, bahwa “religi merupakan sekumpulan keyakinan dan praktek yang berkaitan dengan sesuatu yang sakral, yakni sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-keyakinan dan upacara 16 D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Gunung Mulia, 1986), 34

Upload: hathien

Post on 16-Feb-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN

ADAT

E. Agama dan Masyarakat

1. Konsep Sakral dan Profan Sebagai Acuan Dasar Agama

Sesuatu yang sakral dan profan tidaklah dapat di pisahkan dari agama

karena agama selalu ditandai oleh sikap sakral. Ada berbagai pendapat mengenai

definisi Agama. Di antaranya menurut Hendropuspito:

“Agama merupakan suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh

penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non

empiris yang dipercayainya dan didayagunakan untuk mencapai

keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas lainnya”.16

Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan, bahwa agama adalah sebuah

sistem buatan manusia dengan menggunakan kekuatan non empiris yang

dipercayai dan didayagunakan untuk memperoleh keselamatan bagi masyarakat

di dalamnya. Atau dengan kata lain dapat disimpulkan, bahwa pengertian agama

menurut Hendropuspito bersifat sosial. Hal ini berkaitan dengan penjelasan

agama menurut Durkheim. Bagi Durkheim Agama pada dasarnya merupakan

sesuatu yang kolektif dan bahwa dasar dari agama adalah tentang yang Sakral.

Dia mengembangkan suatu definisi mengenai religi, bahwa “religi merupakan

sekumpulan keyakinan dan praktek yang berkaitan dengan sesuatu yang sakral,

yakni sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-keyakinan dan upacara

16

D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Gunung Mulia, 1986), 34

Page 2: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

yang berorientasi kepada suatu komunitas moral tunggal di mana masyarakat

memberikan kesetiaan dan tunduk kepadanya”.17

Bagi Durkheim agama terdiri

dari dua hal yakni sakral dan profan. Dalam agama, sakral dan profan merupkan

dua entitas yang selalu dipisahkan karena kedua hal ini selalu bertolak-belakang.

Durkheim dalam tulisannya menegaskan bahwa agama umat manusia

entah sederhana atau kompleks sekalipun, memperlihatkan karakteristiknya yang

umum, baik secara riil maupun ideal, yakni suatu pembedaan (distinksi) antara

hal-hal yang sakral dengan profan. Keduanya merupakan suatu prinsip kejiwaan

yang ada dalam dinamika hidup agama umat manusia. Distinksi antara dunia

sakral dan profan tidak dapat dilepaspisahkan dalam masyarakat beragama.

Sakral (sacred) merupakan hal-hal yang terlarang dan ditujukan kepada sesuatu

yang tunggal, di mana masyarakat memberikan kesetiaan untuk tunduk

kepadanya.18

Berkaitan erat dengan yang sakral atau suci adalah yang tidak suci;

mencakup apa saja yang dalam keadaan tertentu dianggap mencemarkan yang

suci itu. Untuk menghindari timbulnya pencemaran inilah hal-hal yang sakral

dipagari dengan larangan-larangan atau tabu-tabu.19

Sebagaimana yang

dikatakan oleh Durkheim:

17

Emile Durkheim, Sejarah Agama: The Elementry Form of Religious Life, (Terj: Inyiak Ridwan Muzir) (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), 8

18 Emile Durkheim, The Elementry Form of Religious Life. (Terj. Joseph Word Swain), (London:

George Allen & Uwin Ltd., 1976), 8 19

Elizabeth K. Notingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), 10

Page 3: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

“Sacred things are those which the interdictions protect and isolate;

profane things, those to which these interdictions are appalied and

which must remain at distance from the first”.20

Dengan demikian, dunia “yang sakral” merupakan bagian terpisah dari

dunia “yang profane”. Yang Profan tidak dapat memasuki dunia Yang Sakral.

Karena, apabila Yang Profan dapat memasuki dunia Yang Sakral, maka Yang

Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu itu menjadi

sakral bila disakralkan oleh masyarakat tertentu. Bellah dalam

“Introduction”nya yang ditulisnya dalam buku Durkheim On Morality and

Society, antara lain juga mengemukakan, bahwa yang sakral adalah

masyarakat itu sendiri.21

Dari definisinya tentang agama ia antara lain dengan

jelas menunjukan bahwa perhatian agama adalah tentang hal-hal yang sakral.

Berikut ini:

“Religious beliefs are the representations which express the nature of sacred

things and the relations which they sustain either with each other or with

profane things.”22

Asal-usul ide tentang “Yang Sakral” melahirkan sejumlah

kepercayaan dalam agama. Durkheim menjelaskan bahwa agama secara

sosial, mencari asal-usul agama dalam tingkat kehidupan sosial (bukan

pada tingkat pribadi). Di mana agama menjadi sumber inspirasi bagi

para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup serta mentaati aturan

yang berlaku dalam hidup bersama. Karena agama juga menjawab

problem dan kebutuhan individu maupun kebutuhan pribadi. Ide

20

Emile Durkheim, The Elementary Forms…,52 21

Robert N. Bellah (Ed.), Emile Durkheim, On Morality and Society, (Chichago and London: The Universitas of Chichago Press, 1973), x

22 Ibid

Page 4: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

keagamaan lahir dari lingkungan sosial. Dengan demikian agama

adalah ekspresi dari masyarakat, suatu sistem ide dengan mana

individu-individu menjadi bagian dari masyarakat. Kekuatan

keagamaan merupakan kekuatan manusia, kekuatan moral. Karena

setiap masyarakat adalah sui generis, maka agama adalah juga sui

generis.23

Hal yang sakral dan profan memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri yang

sakral dan profan bagi Durkheim adalah sebagai berikut:

“All known religious beliefs, whether simple of complex, present one

common characteristic: they presuppose a classification of all the

things, real and ideal of which men think, into two classes or

opposed groups, generally designated by two distinct terms which

are translated weel enough by the world profane and sacred.This

division of the world into two domains, the one containing all that is

sacred the other all that is profane, is the distinctive trait of religious

thought; the beliefs, myths, dogmas and legends are either

representations or system of representation which express the nature

of sacred things, the virtues powers which are attributed to them, or

their relations with each other and with profane things”. 24

Uraian di atas pada intinya memberi penjelasan bahwa hal-hal sakral

muncul terutama berkaitan dengan apa yang menjadi konsentrasi sebuah

masyarakat, sedangkan yang profan adalah apa yang menjadi urusan pribadi

dari individu.

23

Emile Durkheim, The Elementary Forms…, 205, 209, 255, 256, 229 24

Ibid., 52

Page 5: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

2. Fungsi Agama dalam Masyarakat

Agama memiliki beberapa fungsi bagi manusia, di antaranya fungsi

pertama adalah mengatur kehidupan kolektif. Di sini agama memberi prinsip-

prinsip abadi untuk mengatur kehidupan bersama. Prinsip itu diperlukan

sebagai arah bersama, terutama karena dunia ini terus berubah. Fungsi yang

kedua ialah agama melengkapi pengetahuan manusia dalam usaha menemukan

realitas tertinggi. Manusia memiliki akal budi yang digunakan untuk

memahami agama yang dipandang sebagai buah pewahyuan Sang Realitas

Tertinggi itu sendiri. Jawaban manusia dengan imannya tergantung juga pada

pemahamannya. Dengan demikian, bagi manusia agama akan terus berkembang

menjadi dinamis. Dan fungsi yang ketiga, tidak terlepas dari fungsi kedua yakni

membantu manusia untuk menemukan egonya sendiri, menemukan jati dirinya

sebagai makhluk yang berhadapan dengan penciptanya yang pada akhirnya

mendukung pemahamannya akan jati dirinya dan diharapkan dapat lebih

memperjelas arah hidupnya sebagai pribadi tercipta.25

Selain ketiga fungsi diatas, bagi Durkheim Agama berfungsi sebagai

pembangkit perasaan sosial memberikan simbol dan ritual-ritual yang

memungkinkan masyarakat mengekspresikan perasaan mereka yang selalu

terikat dengan komunitasnya. Karena itu agama merupakan sesuatu yang

bersifat sosial dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian yang paling

25

AL Andang, Agama, Yang Berpijak dan Berpihak, Frans Magnis Suseno dalam “Kata Pengantar” (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 92.

Page 6: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

berharga dalam kehidupan sosial, agama melayani masyarakat, dengan

menyediakan ide, ritual dan kesadaran akan perasaan tertentu yang akan

menuntun seseorang dalam hidup bermasyarakat, untuk kemudian memperkuat

eksistensi masyarakat itu sendiri.na itu

3. Masyarakat Sebagai Sebuah Komunitas

Durkheim melihat masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna

bagi kehidupan bersama antar manusia, sesuatu yang berada diatas segala-

galanya. Ia bersifat menentukan dalam perkembangannya. Hal-hal yang

paling dalam pada jiwa manusia pun berada di luar diri manusia sebagai

individu, misalnya kepercayaan keagamaan, kategori alam pikir, kehendak

bahkan hasrat untuk bunuh diri. Hal-hal tersebut bersifat sosial dan terletak

dalam masyarakat.26

Yang dimaksud oleh Durkheim disini adalah masyarakat

ada dalam diri individu. Masyarakat bukan melulu jumlah individu-individu

namun tidak lepas dari individu itu sendiri. Disini Durkheim menolak suatu

realisme yang mengakui mayarakat sebagai suatu realitas yang berada “di

atas” individu yang membentuknya. Masyarakat tidaklah transenden dan juga

tidak metafisik, melainkan (nature) – alamiah. Sifat alamiahnya terdiri atas

fakta bahwa ia merupakan pembentuk atau pengelola kebudayaan.

Dari persekutuan individu-individu timbullah ide-ide, cita-cita, bahasa,

kebiasaan, adat-istiadat, simbol-simbol dan norma-norma moral yang

26

Bnd. Djuretna A. Imam Muhni, Moral & Religi: Menurut Emile Durkheim & Henri Bergson (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 28.

Page 7: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

keseluruhannya merupakan kesatuan.27

Durkheim mengajukan suatu kategori

fakta dengan sifat-sifat khas yang jelas yaitu cara bertindak berfikir dan

merasa semuanya berada diluar individu dan memiliki kekuatan menguasai,

dengan demikian dapat mengatur individu. Maksudnya di sini adalah setiap

individu membentuk suatu jenis gejala baru dengan istilah sosial, sumbernya

adalah kehidupan bersama.

Masyarakat yang hidup bersama untuk jangka waktu cukup lama ini

menghasilkan kebudayaan. Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup

pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan

sebagainya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.28

Bergson

berpendapat bahwa manusia ini ingin hidup bersama bukan karena persamaan,

melainkan perbedaan yang terdapat dalam sifat, kedudukan dan sebagainya.

Berdasarkan adat, sifat meniru perasaan solidaritas dalam golongan keluarga,

suku bangsa, negara dan seterusnya akan menjadi kuat dan luas. Ikatan solider

ini berlainan sifatnya ke dalam dan ke luar. Yang ke dalam merupakan ikatan

diantara anggota-anggotanya sedangkan ikatan ke luar, artinya ikatan terhadap

lain golongan.29

Masyarakat juga merupakan suatu kesatuan yang selalu berubah,

karena proses masyarakat yang menyebabkan berubahan itu. Dalam zaman

biasa, masyarakat mengenal kehidupan teratur dan aman, disebabkan oleh

27

Ibid., 38 28

Soerjono, Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali, 1982), 166 29

Hassan Shadily, Sosiologi: Untuk Masyarakat Indonesia, ( Jakarta: Bina Aksara, 1983), 57

Page 8: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

pengorbanan sebagian kemerdekaan dari anggota-anggotanya, baik dengan

paksa maupun sukarela. Pengorbanan yang dimaksudkan disini adalah

menahan nafsu makan atau kehendak sewenang-wenang, untuk

mengutamakan kepentingan dan keamanan bersama. Dengan paksa berarti

tunduk kepada hukum-hukum yang telah ditetapkan (negara, perkumpulan

dan sebagainya), dengan sukarela berarti menurut adat dan berdasarkan

keinsyafan akan persaudaraan dalam kehidupan berasama itu.30

Masyarakat yang dimaksudkan oleh Durkheim dalam menganalisis

tindakan-tindakan kemanusiaan adalah masyarakat sebagai komunitas.

Meskipun dalam bahasa Prancis digunakan kata societe dan dalam bahasa

Inggris society, masyarakat bagi Durkheim berakar pada kata Latin

communitas, bukan societas.31

Perkataan society dalam arti umum

diterjemahkan dalam bahasa Indeonesia dengan masyarakat, yaitu suatu badan

atau kumpulan manusia yang hidup bersama sebagai suatu anggota

masyarakat. Society dalam arti masyarakat umum lain pula artinya dari pada

community. Community menunjukan arti masyarakat yang terbatas.32

Umpamanya masyarakat Melonguane. Jadi masyarakat yang dimaksud

penulis disini sama dengan yang dimaksud oleh Durkheim yakni masyarakat

sebagai Community.

30

Ibid., 50 31

Bnd. Djuretna A. Imam Muhni, Moral & Religi: Menurut Emile Durkheim & Henri Bergson (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 30

32 Hassan Shadily, Sosiologi: Untuk Masyarakat Indonesia..., 60

Page 9: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

Istilah Community (komunitas) dapat diterjemahkan sebagai

“masyarakat setempat”, istilah ini menunjuk pada warga-warga sebuah desa,

kota, suku atau suatu bangsa. Apabila anggota-anggota suatu kelompok baik

dalam jumlah besar maupun kecil, hidup bersama sedemikian rupa sehingga

mereka merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-

kepentingan hidup yang utama, maka kelompok tadi disebut masyarakat

setempat. Masyarakat setempat dapat menunjuk pada bagian masyarakat yang

bertempat tinggal di suatu wilayah (dalam arti geografis) dengan batas-batas

tertentu dimana faktor utama yang menjadi dasarnya adalah interaksi yang

lebih besar diantara anggota-anggotanya, dibandingkan dengan interaksi

mereka dengan penduduk diluar batas wilayahnya.33

Maka dapat disimpulkan secara singkat bahwa masyarakat setempat

adalah suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai oleh suatu derajat

memiliki hubungan sosial tertentu. Didalamnya terdapat kelompok-kelmpok

dan golongan-golongan lainnya yang dinamakan keluarga, kelas, mungkin

juga sedikit kasta dimana terdapat aksi-reaksi dan kesadaran akan adanya

anggota-anggota lain yang menyebabkan orang-orang itu berhati-hati terhadap

kepentingan-kepentingan sesamanya didalam kelompok masing-masing dan

terhadap masyarakat luas. Baik untuk kepentingan sendiri, kepentingan

golongan dan sebagainya orang pada umumnya hidup menurut yang

33

Bnd. Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, Bryan S. Turner, Kamus Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 98-99.

Page 10: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

diharapkan oleh golongan itu yakni mengikuti atau menaati adat, kebiasaan

dan undang-undang resmi yang berlaku.

Masyarakat seluruhnya itu memang merupakan wadah dimana

kebudayaan seluruhnya tercipta dan tumbuh, dan sekaligus membatasi

kebebasan pribadi para anggotanya.34

Dengan kata lain masyarakat

merupakan suatu sistem sosial yang menjadi wadah dari pola-pola interaksi

sosial atau hubungan interpersonal maupun hubungan antar kelompok sosial.35

Masyarakat manusia berbeda dengan masyarakat hewan. Yang membedakan

hal tersebut adalah manusia mengenal perubahan. Manusia mengenal masa

depan, mengenal kemungkinan-kemungkinan akan berhasil atau gagal,

manusia juga dikaruniai insting dan intelegensi. Disamping intelegensi

manusia dikaruniai apa yang disebut intuisi.36

Manusia merupakan “homo

religious” (manusia beragama), karena itulah religi memiliki pengaruh besar

dalam sebuah masyarakat.

F. Sistem Adat dalam Masyarakat

Adalah suatu hakekat manusia untuk sedapat mungkin mengetahui

bagaimana timbulnya gejala-gejala dalam kehidupan masyarakat. Keinginan tadi

antara lain juga berwujud sebagai suatu hasrat untuk mengetahui tentang kaidah-

kaidah yang secara sadar maupun tidak sadar menjadi pengatur bagi perikelakuan

sehari-hari dari manusia. Sejak lahir manusia telah dianugerahi suatu naluri untuk

34

Hassan Shadily, Sosiologi: Untuk Masyarakat Indonesia…, 61-62 35

Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 91 36

Djuretna A. Imam Muhni, Moral & Religi…, (Yogyakarta: Kanisius: 1994), 16

Page 11: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

hidup bersama dengan orang-orang lain. Akibat adanya naluri tersebut dan atas

dasar fikiran, kehendak dan perasaan timbulah hasrat untuk bergaul yang

kemudian dinamakan dengan interaksi sosial yang dinamis. Interaksi tadi mula-

mula berpangkal tolak pada cara yang merupakan suatu bentuk perbuatan.

Apabila bentuk perbuatan tersebut dirasakan sebagai sesuatu yang baik, maka

perbuatan tersebut mungkin menjadi kebiasaan atau perbuatan diulang-ulang

dalam bentuk yang sama. Dengan demikian kebiasaan-kebiasaan itu menjadi tata

kelakuan. Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat hidup dari kelompok manusia.

Tata kelakuan yang kekal serta kuat integritasnya dengan pola-pola perikelakuan

masyarakat, dapat meningkat kekuatan mengikatnya sehingga menjadi adat

istiadat. Adat istiadat merupakan kaedah-kaedah yang tidak hanya dikenal, diakui

dan dihargai akan tetapi juga ditaati.

Adat-istiadat mempunyai pengaruh yang kuat dalam masyarakat.

Kekuatan mengikatnya tergantung pada masyarakat atau bahagian masyarakat

yang mendukung adat istiadat tersebut yang terutama berpangkal tolak pada

perasaan keadilannya.37

1. Adat dan Kebiasaan

Adat merupakan pencerminan dari kepribadian suatu bangsa. Setiap

bangsa memiliki adat kebiasaan yang berbeda-beda. Perbedaan ini merupakan

unsur terpenting yang memberikan identitas terhadap bangsa yang

bersangkutan. Dalam Negara Republik Indonesia juga terdapat berbagai adat

37

Soekanto & Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Hukum Adat (Bandung: Alumni, 1981), 14

Page 12: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

yang dimiliki oleh daerah-daerah, suku-suku bangsa, meskipun berbeda

namun dasar dan sifatnya adalah satu, yaitu ke-Indonesiaannya. Oleh karena

itu adat bangsa Indonesia dikatakan “Bhineka” (berbeda-beda di daerah suku

bangsanya), “Tunggal Ika” (tetapi tetap satu juga yaitu sifat keindonesiaanya).

Istilah adat ini berasal dari bahasa Arab „adah’ yang artinya kebiasaan,

yaitu sesuatu yang sering berulang. Tapi kebiasaan dalam arti adat adalah

kebiasaan normatif yang telah berwujud aturan tingkah laku yang berlaku

didalam masyarakat dan dipertahankan oleh masyarakat. Oleh karena adat

adalah kebiasaan yang normatif dan dipertahankan oleh masyarakat, maka

walaupun ia tidak berulang tapi harus dilaksanakan, apabila tidak

dilaksanakan maka masyarakat akan mengadakan reaksi. Selanjutnya

perbedaan adat dan kebiasan dapat dilihat dari pemakaiannya, adat dipakai

secara turun-temurun sedangkan kebiasaan mudah berubah dan tidak turun-

temurun.38

Pada umumnya adat dibagi atas 4 bagian, yaitu:

1. Adat yang sebenar adat. Ini adalah merupakan undang-undang alam. Dimana

dan kapanpun dia tetap akan sama, antara lain adat air membasahi, adat api

membakar dan sebagainya.

2. Adat istiadat. Ini adalah peraturan pedoman hidup di seluruh daerah ini yang

diperturunaikkan selama ini, waris yang dijawek pusako nan ditolong, artinya

38

Hilman Hadikusumah, Pokok-Pokok Pengertian Hukum Adat (Bandung: Alumni, 1980), 16

Page 13: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

diterima oleh generasi yang sekarang dari generasi yang dahulu supaya dapat

kokoh berdirinya.

3. Adat nan teradat. Ini adalah kebiasaan setempat. Dapat ditambah ataupun

dikurang menurut tempat dan waktu.

4. Adat yang diadatkan. Ini adalah adat adat yang dapat dipakai setempat seperti

dalam satu daerah adat menyebut dalam perkawinan mempelai harus memakai

pakaian kebesaran, kalau tidak helat tidak akan terjadi; tapi pada waktu

sekarang karena sukar mencari pakaian kebesaran itu maka pakaian bisa saja

dipakai oleh mempelai tadi.

Frank L. Cooley dalam penelitiannya di Maluku memahami adat

dalam beberapa hal. Pertama, adat sebagai keniasaan-kebiasaan dalam

kehidupan; dan kedua, kebiasaan dalam hidup berkenan dengan tetap

dilakukannya hal-hal tertentu yang dianggap wajib bagi seluruh masyarakat

dan harus dilakukan menurut aturan yang telah ditetapkan.39

2. Hukum Adat

Menurut beberapa sarjana misalnya Bushar Muhammad (1961) dan

vsn Dijk (1960), istilah hukum adat merupakan terjemahan dari istilah dalam

bahasa asing yaitu “adatrecht”. Istilah ini diperkenalkan oleh van

Vollenhoven dan murid-muridnya.

39

Bnd. 39

Ermila Jamal, Pemahaman Masyarakat Pelauw Tentang Agama Dan Adat (Suatu

Kajian Sosio – Religi Terhadap Masyarakat Pelauw di Pulau Haruku – Maluku Tengah), (Salatiga:

Universitas Kristen Satya Wacana, 2007), 36

Page 14: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

Istilah hukum adat bukan rangkaian istilah hukum dan istilah adat

melainkan sebagai terjemahan dari istilah buatan orang Belanda yang disebut

adatrech. Untuk pertama kalinya istilah ini dipakai oleh Snouck Hurgronye

dadalam buku karangan yang berjudul Orang-orang Aceh dengan maksud

untuk menyatakan adanya adat-adat yang mempunyai akibat hukum. Istilah

ini kemudian diambil Van Volenhoven menjadi istilah teknis ilmu

pengetahuan hukum didalam bukunya berjudul Hukum adat Hindia Belanda.40

Berikut ini ada beberapa pengertian para`sarjana hukum mengenai

hukum adat yang di kutib oleh Surojo Wignjodipuro sebagai berikut:41

a. Prof. Dr. Supomo

Dalam karangannya mengenai “Beberapa catatan mengenai

kedudukan hukum adat”, memberi pengertian-pengertian-hukum-adat sebagai

hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislative (unstautory law)

meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh

peraturan-peraturan yang berwajib, tapi tetap ditaati dan didukung oleh rakyat.

b. Dr. Sukanto

Dalam bukunya “meninjau hukum adat Indonesia” mengartikan

hukum adat sebagai kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan,

tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, mempunyai akibat

hukum.

40

Ibid., 20 41

Bnd. Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: Gunung Agung: 1983), 14-15

Page 15: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

c. Mr. J. H. P. Bellefroid

Dalam bukunya “Inleiding tot de recchtswetenschap in Nederland”

member pengertian hukum adat sebagai peraturan hidup yang meskipun tidak

diundangkan oleh penguasa tapi tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan

keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.

d. Prof. M.M. Djojodigueno S.H

Dalam bukunya “Asas-asas hukum adat” menurutnya “hukum adat

adalah hukum yang tidak bersumber pada peraturan-peraturan”.

Dari keempat pendapat para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa

hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis namun wajib dijalankan

oleh masyarakat. ada pendapat lain pula mengenai hal tersebut. Menurut

Abdulrahman dalam jurnal “Jurnal Pluralisme Hukum” bahwa Hukum adat

merupakan bagian dari adat yang merupakan perasaan langsung dari perasaan

keadilan dan kepatutan dari rakyat mengenai hubungan kemasyarakatan.42

3. Sejarah Hukum Adat

Hukum Adat yang kita kenal sekarang telah ada sejak dulu bahkan

sejak manusia ada di bumi dan hidup sebagai makhluk sosial. Hukum ini juga

dinamakan dengan hukum kebiasaan. Soleman menyatakan timbulnya hukum

kebiasaan karena manusia pada hakekatnya merupakan makhluk sosial.

Menurut Hilman Hadikusuma proses perkembangan hukum adat

dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor iklim dan keadaan lingkungan

42

H. Abdulrahman., Hukum Adat dalam Perkembangan Hukum Pluralisme Indonesia (Jurnal Pluralisme Hukum, 2007)

Page 16: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

serta sifat watak sesuatu bangsa, begitu pula ia dipengaruhi oleh kepercayaan

magi dan animism peninggalan zaman leluhur, masuknya pengaruh agama

dan oleh adanya kekuasaan pemerintah atasan atau dikarenakan pergaulan

dengan orang-orang asing.43

Di Indonesia, faktor magi dan animisme memiliki pengaruh yang

begitu besar, sehingga tidak dapat atau belum dapat hilang didesak oleh

agama yang kemudian datang. Hal ini terlihat dalam wujud pelaksanaan-

pelaksanaan upacara adat yang bersumber pada kepercayaan kepada

kekuasaan-kekuasaan serta kekuatan-kekuatan gaib, yang dapat dimohon

bantuannya. Animisme percaya bahwa segala sesuatu di alam ini bernyawa.

Dan animism ini bercabang dua, yaitu: fetisisme yakni yang memuja jiwa-

jiwa yang ada pada segala sesuatu dalam alam semesta serta memiliki

kemampuan yang jauh lebih besar dari kemampuan manusia. Kedua yakni

Spiritisme yang memuja roh-roh leluhur dan roh-roh lainnya, yang baik

maupun yang jelek sifatnya; percaya bahwa roh-roh dimaksud hidup dalam

dunia ini juga.

Faktor kedua adalah faktor agama (Hindu, Islam dan Kristen). Faktor

agama Hindu kurang lebih apa abad ke-8 dibawah oleh orang-orang India

masuk ke Indonesia dengan membawa agamanya yang berlainan dengan

kepercayaan Bangsa Indonesia. Pengaruh agama Hindu terbesarnya terdapat

di Bali, tapi pengaruh dalam hukum adatnya sedikit sekali. Berikutnya adalah

faktor agama Islam. Agama ini di bawah masuk di Indonesia oleh pedagang-

43

Ibid., Hilman Hadikusuma, 15

Page 17: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

pedagang dari Malaka dan Iran pada akhir abad ke-14 dan permulaan abad ke-

15. Agama ini tersebar pesat sekali di Indonesia. penyebarannya berlangsung

secara damai dengan jalan perkawinan oleh karena itu dapat meresap pada

bangsa Indonesia. pengaruh terbesar nyata sekali terlihat dalam hukum

perkawinan yaitu dalam cara melangsungkan dan memutuskan perkawinan

dan lembaga wakaf. Faktor ketiga yakni Agama Kristen. Agama ini dibawa

oleh pedagang-pedagang bangsa Barat masuk Indonesia. kemudian meluas

melalui Zending dan missie ke seluruh kepulauan yang ada di Indonesia.

Pengaruh terbesarnya juga terlihat dalam perkawinan dan resepsinya.44

Namun perkawinan menurut agama ini selalu diikuti dengan perkawinan

menurut adat. Hal ini masih dilakukan dibeberapa tempat termasuk di

Melonguane

Faktor kekuasaan yang lebih tinggi dari pada persekutuan hukum adat

yaitu kekuasaan-kekuasaan yang meliputi daerah-daerah yang lebih luas dari

pada wilayah satu persekutuan hukum, seperti kekuasaan raja-raja.

4. Sifat Hukum Adat

Pada hakekatnya hukum adat bersifat tidak tertulis artinya tidak akan

dijumpai bahan-bahan hukum yang bersifat tertulis. Sehubungan dengan itu

maka hukum adat mempunyai sifat yang mudah untuk menyesuaikan diri,

sehingga hukum adat itu akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut

dilakukan tidak dengan cara menghapuskan dan mengganti aturan-aturan yang

44

Ibid., Surojo Wignjodipuro, 33-34

Page 18: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

ada dengan yang lain secara spontan, akan tetapi perubahan itu akan terjadi

karena pengaruh dari situasi-situasi tertentu dalam proses kehidupan

masyarakat. Setiap masyarakat secara pasti akan mengalami perubahan.

Demikian juga dengan hukum yang berlaku dalam masyarakat.perubahan itu

terjadi karena terjadi perubahan dalam cara berfikir masyarakat yang

disebabkan karena antara lain situasi-situasi tertentu dalam proses kehidupan

masyarakat itu.45

G. Pengaruh Agama Kristen Terhadap Hukum Adat

Agama memiliki pengaruh yang besar dalam sebuah masyarakat. Setiap

agama memiliki peraturan yang harus dipatuhi oeh setiap anggotanya tak terkecuali

dengan agama Kristen. Menurut J Prins Agama Kristen dalam hukum mempunyai

pengaruh yang mengakibatkan pengidividuan, pembedaan dan sekularisasi.46

Sosiologi Hukum menyatakan bahwa agama dapat mempunyai pengaruh

besar dalam menentukan isi hukum dalam suatu masyarakat. Dalam hukum adat hal

tersebut juga menjadi kenyataan. Apabila orang berbicara mengenai pengaruh agama

dalam hukum adat, pada umumnya yang diutarakan adalah unsur atau pengaruh

agama yang kini dianut oleh masyarakat. Agama yang datang dari luar seperti Hindu,

Islam dan Kristen. Perlu disadari pula bahwa sebelum agama-agama ini masuk, adat

sudah mengandung corak keagamaan asli (bahkan mungkin sesudah) menganut

agama yang baru.

45

Soleman Biasane Taneko, Dasar-dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1981), 24-25

46 J. Prins, Pengaruh Kristen Terhadap Hukum Adat, Jakarta: BHRATARA, 1973. 32

Page 19: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

Berkaitan dengan pengaruh agama terhadap hukum adat, terdapat

teori receptio in complex. Teori ini dikemukakan oleh Mr. W.C. van den Berg,

Guru Besar di Delf dan Penasihat bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam pada

Pemerintah kolonial Belanda. Dikenal dengan teori “receptio in complexu”. Menurut

Teori ini jika seseorang memeluk suatu agama maka ia akan menerima seluruh

hukum agama itu. Jika diluaskan maka dapat dikatakan, jika suatu masyarakat

menerima suatu agama baru maka masyarakat yang bersangkutan akan menerima

hukum agama baru itu seluruhnya. Atas dasar pandangan tersebut maka orang

menganggap bahwa hukum adat identik dengan hukum agama yang dipeluk

masyarakat bersangkutan.47

Menurut teori ini juga adat-istiadat dan hukum (termasuk hukum adat) suatu

masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama yang dianut oleh masyarakat yang

bersangkutan. Latar belakang dari teori ini adalah bahwa apabila suatu masyarakat

telah memeluk suatu agama, maka harus mengikuti hukum-hukum atau ajaran-ajaran

agama dengan setia.48

Kesalahan identifikasi ini dimana bagian terbesar hukum adat diidentifikasi

sebagai hukum agama oleh pembuat ordonansi, kemudian ditentang oleh Sbouck

Hurgronje dan van Vollenhoven karena tidak sesuai dengan kenyataan yang berlaku

ketika itu. Pada kenyataannya memang tidak semua ajaran agama diterima dan

47

AGAMA DAN ADAT: Suatu Pemikiran tentang Kehidupan Beragama Sekaligus Beradat (Jakarta: Proyek Penerangan, Bimbingan dan Da’wah/Khotbah Agama Protestan Dep. Agama. RI, 1976), 23-24

48 Soleman Biasane Taneko, Dasar-dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat…, 27

Page 20: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

menjadi hukum adat, sebagaimana dilihat dalam hubungan manusia dengan Tuhan

maupun dalam hubungan manusia dengan manusia. Sesungguhnya menyamakan

hukum agama adat dan hukum keagamaan memang tidak sesuai kenyataan dan akan

menyulitkan peradilan, tetapi tidak berarti bahwa hukum adat tidak mengandung

unsur-unsur agama. Oleh karenanya hingga saat ini hukum adat selalu masih

diartikan dengan hukum yang mengandung unsur-unsur agama, disamping unsur-

unsur adatnya.49

Apakah yang menjadi latar belakang dari perundang-undangan dimasa Hindia

Belanda dahulu memakai istilah peraturan keagamaan (godsdienstige weten), adalah

dikarenakan pemerintah Belanda ketika membuat Undang-undang ketatanegaraan

tersebut pada tahun 1947 dipengaruhi oleh teori Van Den Berg dan Salmon Keyzer

yang disebut reception in complex atau penerimaan secara bulat. Menurut teori ini

maka adat-istiadat dan hukum sesuatu golongan masyarakat adalah resepsi

seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Jadi hukum adat

sesuatu golongan masyarakat adalah hasil penerimaan bulat dari hukum agama yang

dianut oleh golongan masyarakat itu.50

49

Ibid, 22 50

Hilman Hadikusumah, Pokok-pokok Pengertian Hukum Adat (Bandung: ALUMNI, 1980), 21.

Page 21: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

H. Hari Minggu dan Hari Sabat

Bangsa Yahudi sejak purbakala merayakan Sabat untuk memperingati hari

Allah berhenti setelah menggenapi karya penciptaan alam semesta. Mereka

merayakan hari sabat pada hari shabbat kodesh dalam kalender Masehi hari itu

disebut hari Sabtu sedangkan Umat Kristen sejak abad pertama merayakan Sabat

pada hari Minggu (hari pertama) sesuai kalender Masehi. Sejarah gereja mencatat

bahwa Yesus Kristus bangkit dari kematian pada hari Minggu menurut kalender

Masehi. Hari kebangkitan itu disebut Hari Tuhan, hari Yesus Kristus berhenti

setelah menggenapi karya penyelamatan manusia. Karena itu Umat Kristen mula-

mula merayakan Hari Tuhan pada hari Minggu dan disebut sebagai hari sabat. 51

Minggu dalam kamus besar bahasa Indonesia merupakan hari pertama

dalam jangka waktu satu Minggu.52

Minggu memiliki sejarahnya sehingga

menjadi hari yang dikuduskan. Kalender modern pertama seperti yang kita miliki

sekarang mulai berlaku pada tahun 45 SM oleh Julius Caesar. Nama-nama hari

seperti yang ada sekarang juga digunakan sejak itu. Karena bangsa Babel

menyembah planet-planet, banyak orang mulai menyebut hari-hari dalam pekan

dengan nama-nama planet.53

Namun orang-orang Ibrani dan para penulis Alkitab

tidak pernah melakukan demikian. Itulah sebabnya mengapa, meskipun nama-

nama hari seperti yang ada sekarang – misalnya Minggu, Senin dan seterusnya –

51

Diakses dari: http/Sabat&Adat/hari_sabat_vs_hari_tuhan.htm, Senin, 19 Maret, 2012, 18.30 WIB

52Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai

Pustaka,2002) 53

A. Jan Marcussen, Undang-undang Hari Minggu Nasional: Kekuatan-kekuatan dunia bersatu di tengah krisis yang hebat, (Yayasan Komunikasi Kristen Indonesia, 1999), 88

Page 22: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

sudah ada ketika zaman Kristus, para penulis-penulis Alkitab tidak pernah

merujuk kepada hari-hari dengan nama ini, oleh karena pernah nama-nama itu di

yakini berasal dari kekafiran.

Agama tua dari zaman Babel dan Persia yang menyebutkan nama-nama

hari dalam pekan sesuai nama-nama planet adalah agama Mithra. Yang ilahnya

dipopulerkan oleh Zoroazter di Persia sekitar tahun 630. Oleh sebab Mithra

dianggap sebagai ilah yang besar, para serdadu Romawi menjadi penyembah-

penyembahnya. Dalam perjalanan mereka membawa gagasan penamaan hari-hari

dalam pekan menurut nama-nama planet diantara suku-suku Teutonik, yang

sekarang dikenal sebagai wilayah Jerman. Bangsa Teuton ini menggantikan

beberapa ilah mereka dengan planet-planet untuk nama-nama hari (ini terjadi

sebelum zaman Kristus). Nama-nama ini diberlakukan dan digunakan sampai

sekarang. Berikut ini merupakan daftar ilah-ilah Teutonik dan hari-hari dalam

pekan, yakni:54

Matahari -- Hari Minggu Sunday

Bulan – Hari Senin Monday

Tiu – Hari Selasa Tuestdey

Woden – Hari Rabu Wednesday

Thor – Hari Kamis Thursday

54

Ibid.,

Page 23: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

Figg – Hari Jumat Friday

Seturn – Hari Sabtu Saturday

Dengan melihat penjelasan di atas, dapatlah dikatakan bahwa bagi

agama Mithra, nama “Minggu” di gunakan sebagai hari pertama yang berasal

dari nama dewa Matahari. Dewa ini dianggap sebagai dewa tertinggi dan

dikuduskan karena itulah Minggu menjadi hari yang kudus bagi mereka.

Berbeda dengan agama Mithra, Agama Kristen Menguduskan Hari Minggu

untuk memperingati kebangkitan Yesus. Dengan demikian Minggu dikatakan

sebagai hari pertama sabat. Sabat itu sendiri terdapat juga dalam Perjanjian

lama, bagi bangsa Israel disucikan karena untuk memperingati hari

peristirahatan Allah dari proses penciptaan-Nya. dan Allah pun menghendaki

agar manusia melakukan hal yang sama terhadap Sabat-Nya.

Salah satu ayat Alkitab dalam Perjanjian Lama yang berbicara tentang

Sabat dalam adalah Salah satu dari sepuluh hukum taurat khususnya hukum

ke empat berbicara mengenai sabat adalah sebagai berikut:

“Ingatlah akan hari Sabat supaya menyucikannya. Enam hari

lamanya hendaklah engkau bekerja dan melaksanakan semua

tugasmu, tetapi hari yang ke tuju ialah sabat Tuhan Allahmu; pada

hari itu jangan kamu melakukan pekerjaan apapun juga, baik kamu

atau anakmua laki-laki, atau pelayanmu perempuan, atau binatang-

binatangmu, ataupun orang asingmu yang ada didalam pintu-pintu

gerbangmu. Karena dalam enam hari Tuhan teah menjadikan langit

dan bumi, dan beristirahat pada hari ke tujuh.Sebab itu Tuhan

memberkati hari sabat itu dan menyucikannya.” (Kel. 20:8-11).

Page 24: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

Ternyata pada perintah yang ke empat dari hukum Taurat itu terdapat

adanya beberapa kewajiban hukum bagi manusia untuk dilaksanakan, yaitu:55

1). Adanya kewajiban untuk selalu ingat akan hari Sabat Tuhan, dan

menyucikannya untuk memperingati Tuhan Allah sebagai pencipta, yang

telah menciptkan langit dan bumi dalam enam hari dari minggu pertama

kejadian yang lalu.

2). Adanya kewajiban untuk bekerja selama enam hari pada setiap

minggu, karena Tuhan Allah sendiri telah bekerja menciptakan langit dan

bumi selama itu.

3). Adanya kewajiban untuk berhenti dan beristirahat pada hari yang ke

tujuh, karena itulah sabat Tuhan Allah kita. Sabat=Istirahat, berhenti atau

libur.

4). Adanya kewajiban untuk selalu mengkhususkan dan menyucikan hari

Sabat Tuhan, karena Tuhan sendiri memberkati dan menyucikannya.

Sabat (שבת shabbāṯ, "istirahat" atau "berhenti bekerja" dalam bahasa

Ibrani, atau Shabbos dalam ucapan Ashkenazi), adalah hari istirahat

setiap Sabtu dalam Yudaisme. Hari Sabat dirayakan dari saat sebelum

matahari terbenam pada hari Jumat hingga tibanya malam pada hari Sabtu.

Perayaan ini dilakukan oleh banyak orang Yahudi dengan berbagai tingkat

keterlibatan dalam Yudaisme. Dari kata Sabat ini diperoleh

55

John Terinathe, Hari Sabat Dan Persiapan Memasuki Kerajaan Daud (Jakarta: Nubuatan Berbicara, 1997), 23.

Page 25: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

istilah Sabbath dalam bahasa Inggris, Sabt dalam bahasa Arab (بت س ,(ال

dan Sabtu dalam bahasa Indonesia. Dari kata ini pula muncul konsep

sabatikal, yaitu berhenti bekerja pada Sabat. Orang Yahudi menganggap

peringatan Sabat, sebagai hari ke-7 setiap minggu, tidak terputus sejak

ditetapkan saat Allah menciptakan alam semesta, dimana manusia diciptakan

pada hari ke-6.56

Berdasarkan etimologi, kata benda sabat dari akar kata Ibrani

syin-bet-tau berasal dari kata kerja dengan akar kata yang sama yang

mengandung arti berhenti dari sesuatu.57

Dari berbagai penjelasan diatas maka

dapat disimpulkan bahwa sabat merupakan hari beristirahat atau berhenti dari

pekerjaan.

Perayaan hari Sabat adalah peringatan hari ke tujuh, hari Tuhan selesai

mencipta alam semesta. Mengingat dan menguduskan hari Sabat adalah

perintah keempat dari Sepuluh Perintah Allah. Alkitab Perjanjian Lama

mencatat tiga jenis hukum yang berlaku bagi bangsa Yahudi, yaitu hukum

Taurat atau Sepuluh Perintah Allah, hukum tata ibadah dan hukum

masyarakat. Sepuluh Perintah Allah dianggap sebagai hukum yang paling suci

karena ditulis sendiri oleh tangan Allah pada dua loh batu, sedangkan hukum

tata ibadah dan hukum masyarakat diberikan melalui nabi Musa.58

56

Di akses dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Sabat,, Selasa, 6 Maret 2012, 07.43 WIB 57

Di akses dari: http://www.sarapanpagi.org/sabat-vt311.html., Selasa, 7 Februari 2012, 15.03 WIB

58 Diakses dari: http://bengcumenggugat.wordpress.com/2011/02/02/hari-sabat-bukan-

hari-sabtu/. Pada hari Kamis, 29 Maret 2012, 11.34 WIB

Page 26: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

Perayaan Sabat adalah perayaan agama yang paling suci bagi bangsa

Israel yang dimulai saat matahari tenggelam pada hari Jumat hingga Sabtu

malam ketika 3 bintang muncul di langit. Bangsa Israel merayakan hari Sabat

sebagai peringatan atas tiga hal yaitu:59

1. Selesainya penciptaan alam semesta oleh Allah pada hari ketujuh.

2. Hari pembebasan dari perbudakan bangsa Mesir.

3. Kerinduan akan kedatangan Mesias.

Sabat dalam perjanjian lama berbeda dengan sabat dalam Perjanjian

Baru. Jika sabat dalam perjanjian lama dirayakan pada hari ketujuh atau sesuai

kalender Masehi pada hari Sabtu. Maka sabat dalam perjanjian baru justru

dirayakan pada hari Minggu. Karena itu umat Kristen sejak jaman para Rasul

hingga sekarang merayakan Sabat pada hari Minggu dan menyebutnya sebagai

Hari Tuhan. Perayaan sabat adalah untuk memperingati:60

1. Selesainya penciptaan alam semesta oleh Allah pada hari ketujuh.

2. Selesainya pekerjaan penebusan oleh Kristus, kebangkitan Kristus dari

kematian pada hari ketiga.

3. Kerinduan akan kedatangan Kristus yang kedua kali.

Dari penjelasan di atas mengenai sabat dalam perjanjian lama dan perjanjian

baru, maka terdapat berbedaan. Sabat dalam Perjanjian Lama yakni hari ketujuh atau

59

Ibid 60

Ibid

Page 27: BAB II PENDEKATAN TEORITIS TENTANG AGAMA, MASYARAKAT DAN ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/3/T2_752010018_BAB I… · para penganutnya untuk menimba nilai-nilai hidup

dalam kalender Masehi disebut Sabtu sedangkan sabat Perjanjian Baru yaitu hari

pertama sabat (Minggu) ketika Yesus bangkit dari antara orang mati pada hari

Minggu pagi kurang lebih pada tahun 33 Masehi. Jadi hari Minggu tidak sama

dengan Hari sabat.