bab ii kajian pustaka tentang pondok pesantren …digilib.uinsgd.ac.id/18305/8/bab ii kajian...
TRANSCRIPT
22
BAB II
KAJIAN PUSTAKA TENTANG
PONDOK PESANTREN SEBAGAI INSTITUSI KOMUNIKASI DAKWAH
A. Pemikiran Tentang Pesantren
Islam dalam agama yang memandang setiap penganutnya, sebagai
da’i bagi dirinya sendiri dan orang lain, karena Islam tidak menganut
adanya hierarki religius, setiap muslim bertanggungjawab atas
perbuatannya sendiri dihadapan Allah. Ajaran Islam bersifat universal dan
ditujukan kepada seluruh umat manusia, dan kaum Muslim yang memiliki
kewajiban untuk memastikan bahwa ajarannya sampai kepada seluruh
manusia disepanjang sejarah.
Kewajiban berdakwah merupakan perintah yang ditetapkan bagi kaum
beriman sejak awal masa kenabian Muhammad SAW. Allah SWT
memerintahkan Nabi Muhammad SAW., untuk mulai berdakwah sejak
tahun-tahun kerasulannya, dan perintah ini kemudian diluaskan pada seluruh
pengikutnya. Aktivitas dakwah bukan tugas yang harus diemban oleh
sekelompok pendakwah profesional atau aktivitas paro-waktu semata.
Setiap muslim baik yang berpendidikan maupun tidak memiliki tanggung
jawab untuk melakukan pekerjaan dakwah, tanggung jawab itu lebih besar
lagi bagi orang yang berilmu dan arif (Alwi Shihab, 1999: 252-253).
Kehadiran dakwah bagian yang pasti, ada dalam kehidupan umat
beragama. Ajaran agama Islam berkewajiban yang dibebankan oleh agama
23
kepada pemeluknya. Dakwah tersebut yang melanjutkan tugas risalah yang
dibebankan kepada Rasulullah SAW. Jika Rasulullah wajib menyampaikan
syari’at atau agama Allah kepada umat, maka umat juga wajib
menyampaikan ajaran agama Allah kepada manusia agar mau menyambut
seruan Allah dan Rasul-Nya. Maka setiap orang Islam berkewajiban,
memerintahkan kebaikan dan mencegah kejahatan, kemaksiatan dan
kemungkaran. Perintah dalam Alquran dan perintah Rasulullah menunjukan
hukum wajibnya berdakwah. Maka berdosalah orang Islam yang tidak mau
melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya (Umar Hasim, 2000: 5-6).
Fenomena pesantren terhadap kyai menjadi puncak otoritasnya, dan
melalui program pengembangan masyarakatnya yang dirintis sejak
dasawarsa terakhir ini, tampaknya bukan fenomena sosial yang layak
diabaikan. Fenomena semacam itu menarik untuk diperbincangkan, secara
ideal pesantren harus mampu memobilisasi perubahan yang memiliki
relevensi tinggi, bagi kebutuhan masyarakat untuk mengangkat citra, derajat
dan martabat rakyat kecil. Peran kyai dalam transformasi dan rekayasa
sosial dimasyarakat, sanggup membangun sikap emansipatoris wong cilik,
menanamkan watak progresif, serta menggerakan gelombang kesadaran
rakyat jelata untuk terlibat aktif bagi perubahan sosial.
Para ulama pada umumnya mempunyai kharisma, dicintai dan
dipatuhi oleh umat yang jadi pengikutnya, dan dengan sendirinya
mempunyai wibawa oleh umat yang menjadi pengikutnya, serta
berpengaruh, menentukan dalam mengendalikan umat. Para ulama bukan
24
saja memberikan bimbingan mengenai soal keagamaan, tetapi sampai-
sampai kepada masalah pribadi, soal keluarga dan dimintakan petunjuk dari
para ulama. Mereka sebagai pemimpin umat yang non-formal, yang kadang-
kadang mempunyai kekuatan dan pengaruh yang jauh lebih besar dari
pemimpin yang formal menurut ketentuan hukum (Yunan Nasution, 2010:
62).
Pondok pesantren selalu mempunyai misi berdakwah, tidak terlepas
dari tiga pembahasan, yaitu ilmu Ushuludin, ilmu Aqidah dan juga ilmu
Fiqh dan ilmu Tasawuf. Jadi ilmu Ushuludin yang menjadi pokok ilmu-
ilmu Akidah, ilmu Fiqihnya untuk mengatur tatacara ibadanya dan juga ilmu
akhlaknya juga yang disebut-sebut sebagai ilmu tasawufnya. Maksudnya
tasawuf ilmu akhlaknya, karena menurut ketiga pembahasan itu sangat
sentral dalam melakukan segala aktivitas dakwah.
Pesantren dan masjid sebagai sarana dasar pendidikan yang berjalan
berabad-abad lamanya, sehingga selalu dilengkapi dengan pondok
(pesantren) untuk menginap para santri, karena santri tidak hanya datang
dari dekat, akan tetapi dari tempat yang jauh, yang sesuai dengan
kemasyuran dari ulama dan kemasyuran dari lembaga pendidikannya
(Sadili, 2000: 196) .
Pendidikan kitab kuning, terutama di lingkungan pesantren, pada
dasarnya bertujuan untuk menanamkan akhlak mulia, baik sebagai
kesalehan pribadi maupun moralitas sosial. Oleh karena orientasi
pendidikan semacam itu merupakan pembentuk kekuatan ruhanian yang
25
simbolik, seharusnya pendidikan kitab kuning tidak hanya merupakan
satuan pengajaran yang hanya mencerminkan fragmenasi disiplin ilmu
pengetahuan. Sebab, yang lebih penting dari itu adalah tujuan pendidikan
pesantren perlu dibulatkan orientasinya dalam bentuk figur dan kofigurasi
kepribadian (Abdurrahman, , 2000: 85 ).
Peranan pesantren secara sosial mengalami perubahan dari waktu ke
waktu, sebab dalam kesadaran intern umat Islam, lebel Islam kayaknya
masih dilihat secara umum, sehingga belum memberi makna sosiologis
dalam kehidupan bermasyarakat yang luas. Problematikan pesantren bukan
persoalan baru dan ringan, tetapi pesantren membutuhkan pemikiran
alternatif untuk membebaskann dari keterbelengguan hanya pada wawasan
keagamaan.
Pesantren berawal dari penjagaan dengan segala tatanan kehidupan
masyarakat yang jauh dari agama, keyakinan, serta hidup menuju kepada
jalan kebenaran. Pesantren mempunyai fungsi sebagai kumpulan setiap
kelompok untuk merumuskan strategi peperangan melawan penjajahan, dan
merumuskan pengamanan negara. Pondok pesantren memiliki kegiatan
melalui pengajian, pembelajaran dan pengamalan ibadah yang disiapkan
dalam lembaga keislaman. Lembaga keislaman lahir menujukkan kekuatan
pondok pesantren melalui pembelajaran kitab, pembelajaran pengetahuan
dengan berbagai kebutuhan yang diselenggarakan oleh pondok pesantren.
Pondok pesantren mengembangkan keislaman, dengan berbagai cara
26
melalui pembelajaran di dalam masjid, dan pembelajaran di lingkungan
masyarakat yang bertujuan melahirkan generasi ulama.
Lembaga keislaman sangat banyak bermunculan yang bisa
dikembangkan melalui pondok pesantren. Peranan lembaga Islam pada
umumnya melahirkan orang-orang yang menguasai Islam, baik untuk
dirinya, keluarganya dan masyarakat di lingkuangannya. Lembaga paling
tua adalah pondok pesantren. Pada masa lalu sampai sekarang pesantren
memliki kemandirian yang tinggi, baik dalam pendanaan maupun
pengamalan dan pengajaran. Pesantren-pesantren terkenal misalnya
memiliki sumber dana sendiri, berupa sawah dan kolam ikan (balong) yang
menjadi dasar kehidupan pesantren. Santri-santri yang belajar di pesantren
tidak dipungut biaya, tetapi sekarang pesantren sudah mengalami kemajuan
dengan mengadakan infaq atau syariah dengan membuat pemungutan dana
dari kalangan santri. Mereka memasak sendiri dan memenuhi kehidupan
lainnya atas bekal yang dibawanya (Hasbullah, 2010: 40).
Para santri yang tamat dari suatu pesantren pulang ke tempat asalnya
atau tempat istrinya atau tempat lain yang memerlukannya, dan membuka
pesantren yang baru. Ulama pesantren alamamaternya, mendirikan
pesantren itu dari nol, dengan santri beberapa orang saja. Ulama atas
pertolongan Allah, keuletan, kesabaran, dan masyarakat, santrinya dari
tahun ke tahun makin bertambah dan pesantrennya menjadi besar. Ada pula
santri lulusan suatu pesantren dinikahkan dengan anak kyai atau ulama,
27
sehingga dalam bidang pengembangan dakwah berkelanjutan dan dalam
bidang materil bukan masalah besar.
Dewasa ini telah lahir pesantren-pesantren modern dengan
pelopornya. Pesantren modern Gontor di Jawa Timur, lulusan pesantren ini
membangun pesantren ditempat-tempat lain antara lain di kota Bandung,
dengan menggunakan pola dan sistem pengajaran dari pondok pesantren
Gontor. Pesantren yang terpadu antara usaha komersil dan pendidikan Islam
dilakukan oleh Daarut Tauhid di Bandung. Pondok pesantren selain belajar
tentang Islam para santri di pesantren, belajar berkoperasi, mengelola radio
dakwah, mengelola studio yang memproduksi lagu-lagu keislaman dan
lainnya serta menjualnya kepada umum. Para santri belajar olah raga
pertahanan diri (self-defence). Pesantren lain mengembangkan dirinya
melatih para santri dalam bidang agrobisnis. Pesantren ini memiliki jaringan
langganan berupa sepermarket di Bandung dan Jakarta. Pesantren ini
menjadi supplier sayur-mayur yang secara periodik mengirikannya kepada
larangan-larangannya itu.
Beberapa tahun terakhir Pemda Jawa Barat menyelenggarakan
program Santri Raksa Desa dan disusul dengan Santri Raksa Usaha.
Sejumlah santri dari berbagai pesantren dilatih di Bandung antara lain
menembok dan pertukangan kayu. Mereka dikirim ke desa-desa di beberapa
kabupaten. Mereka berdakwah pada malam hari, pada siang harinya mereka
membangun MCK (Mandi, Cuci, Kakus) untuk peningkatan kesehatan
orang desa. Program-program tersebut memberikan penjelasan tentang
28
pondok pesantren dalam aspek pengembangan dakwah, sehingga
menunjukkan bahwa Islam melalui pondok pesantren mencakup seluruh
aspek kehidupan. Kehidupan pondok pesantren memberikan segala fasilitas
demi kenyamanan dan ketentraman hidup di pesantren.
Lembaga pengajian agama Islam yang tumbuh serta diakui
masyarakat, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri
menerima ilmu agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang
sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari Leadership seorang atau
beberapa orang Kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta
independent dalam segala hal”. (Mujamil Qamar, 2010: 2)
Kondisi pesantren yang banyak di kaji oleh para ilmuan seperti
pemaparan tentang pesantren: “suatu tempat yang tersedia untuk para santri
dalam menerima pelajaran-pelajaran agama Islam sekaligus tempat
berkumpul dan tempat tinggalnya”. “suatu tempat pendidikan dan
pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama
sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanent” (Mujamil Qamar,
2010: 2).
Pesantren bertujuan mengembangkan organisasi kelembagaannya
yang mementingkan dalam ajaran Islam yang diisi oleh para santri. Para
santri yang hidup bersama kyai berdampingan satu sama lain di lingkungan
pondok pesantren. Kyai memberikan waktunya untuk santri dalam mengaji
dan mengembangkan segala kehidupan di pesantren yang mewujudkan
perkembangan Islam. Pesantren melahirkan santri-santri yang taat, tawadu
29
dan qonaah serta menjadi contoh/teladan orang banyak di sekitarnya. Atas
dasar itu muncul pameo “jika ingin menghasilkan muslim intelektual
belajarlah di Islamic Studies” di Mc Gill University di Kanada, tetapi kalau
ingin menghasilkan muslim taat, tawadu, qonaah dengan iman Islam yang
kuat, masuklah ke pesantren”. Lembaga Islam dalam organisasi pondok
pesantren memberikan ajaran dalam pemahaman keislaman yang
memumat ajaran Isalan yang berbentuk 10 Pan Ilmu, seperti: ilmu
nahwu/sharaf, ilmu bayan, mantaq, balaghoh, tafsir, hadis, dan lain sebagai
seseuai dengan kaidah mabani asharoh. Lembaga pondok pesantren telah
memberikan perbedaan dalam tingkat sosial dan budaya masyarakat
mengenai pada diri santri zaman dahulu dan zaman sekarang. Pondok
pesantren meliputi berbagam macam bentuk pembelajaran yang sudah
berlaku di pesantren-pesantren Indonesia, terutama provinsi Jawa Barat dan
sudah di terapkan di pondok pesantren masing-masing.
Para pengamat tentang Islam di Jawa yang mendekati masalahnya
dengan mecoba mengkontradiktifkan antara tradisionalisme dan
modernisme (dalam Islam), akan bingung mengikui perkembangan yang
terjadi seperti pondok pesantren Tebuireng. Reformasi yang dijalankan oleh
Tebuireng tidak dicapai dengan meninggalkan sistem tradisional, dan tidak
pula dihubungkan dengan dimaksudkan sebagai satu peumusan kembali
(reformulation) Islam abad pertengahan yang sudah ketinggalan zaman agar
lebih mudah diterima oleh masyarakat masa kini.
30
Semua pesantren telah mengalami perubahan yang sama. Tradisi
pesantren, kini telah terdapat pemisahan antara pesantren-pesantren yang
mengajarkan pengetahuan umum yang tidak tahu atau belum tahu.
Pemisahan ini belum menimbulkan pengelompokan atas dasar sosial
keagamaan yang berbeda dan masih sama-sama terikat sebagai penganut
ahlusunnah wal jama’ah, namun pemisahan tersebut telah menciptakan
perbedaan-perbedaan dalam beberapa hal dalam bentuk aktivitas sosial dan
intelektual, cara-cara berpakaian, gaya hidup, tingkah laku kemasyarakatan,
dan aspirasi pekerjaan. Pondok pesantren terlalu dini untuk mencoba
memperkirakan arah dimasa depan, atau meremehkan perpecahan yang
lebih pundamental yang mungkin akan terjadi. (Zamakhsyari Dhofier, 2015:
197).
Pondok pesantren mengarahkan pada kegiatan dakwah yang
memberikan pembelajaran dan pembekalan ilmu bagi para calon generasi
penerusnya. Kegiatan dakwah sudah ada sejak adanya tugas dan fungsi yang
harus diemban oleh manusia di belantara kehidupan dunia ini. Zaman
terhadap perkembangan zaman ada semangat perjuangan atau ghirah serta
upaya dalam kegiatan dakwah yang tidak pernah padam. Dakwah menjadi
sebuah gerakan yang tidak akan berhenti, terus menerus diperjuangkan oleh
para pengembannya, dalam mempertahan dakwah dari setiap cara yang
dilakukannya. Pondok pesantren memberikan arahan dan pembelajaran
yang menciptakan dakwah kepada diri dan pengembangan ke masyarakat.
31
Dakwah sekarang dipahami bukan hanya proses penyampaian pesan
Isalm dalam bentuk ceramah, khutbah di podium atau di mimbar saja yang
biasa dilakukan para pencermah atau mubaligh, tetapi dakwah merupakan
berbagai aktivitas keislaman yang memberikan dorongan, percomtohan,
penyadaran baik berupa aktivitas lisan atau tulisan (ahsanulqaulan) maupun
aktivitas badan atau perbuatan nyata (absanuamalan) dalam rangka
merealisasikan nilai-nilai ajaran Islam yang dilaksanakan oleh seluruh umat
Islam sesuai dengan kedudukan dan profesinya masing-masing, untuk
mewujudkan kehidupan individu dan kelompok yang salam, hasanh,
thayyibah (adil, makmur, sejahtera) dan memperoleh ridha Allah (Syukriadi
Sambas, 2010: 54).
Pada umumnnya lembaga pondok pesantren yang digunakan kyai
dalam pengajaran yaitu menggunakan cara pembelajaran dengan berbahasa
arab. Pondok pesantren dapat diketahui pembelajaran kitab-kitab yang
biasa diajarkan kepada santrinya, sehingga “ngaji” identik dengan kegiatan
yang mempelajari kitab berbahasa arab yang biasa diungkapan dengan
“ngaji kitab”. Pondok pesantren mengajarkan dengan buku-buku dalam
berbahasa arab yang sangat menarik dalam mengajar kitab kuning yaitu
menggunakan terjemah bahasa Sunda, bahasa Indonesia, bahkan pesantren
yang paling terdahulu memakai bahasa Sunda di wilayah Kacamatan
Cileunyi dan sekitarnya dalam lingkungan Pesantren Sindangsari Al-
Jawami.
32
Pondok pesantren sendiri disamping istilah kitab kuning beredar
juga istilah “kitab klasik” (al-kitab alqadimah,) karena tidak dilengkapi
dengan syakal (sandangan) kitab, kerap disebut kalangan pondok pesantren
sebagai “kitab gundul”. Pondok pesantren berawal dari pengajian dasar di
rumah-rumah, di langgar dan di masjid diberikan secara individual. Seorang
murid mendatangi guru yang akan membacakan beberapa garis quran atau
kitab-kitab bahasa Arab dan menerjemahkannya kedalam bahasa Jawa. Pada
gilirannya, murid mengulangi dan menerjemahkan kata demi kata semirip
mungkin yang dilakukan oleh gurunya.Sistem penerjemahan dibuat
sedemikan rupa sehingga murid diharapkan memahami baik arti maupun
fungsi kata dalam satu kalimat bahasa Arab.
Para murid dapat belajar tata bahasa Arab langsung dari kitab-kitab
tersebut. Murid diharuskan menguasai pembacaan dan terjemahan tersebut
secara tepat dan hanya bisa menerima tambahan pelajaran bila telah
berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya.Para guru pengajian dalam
taraf ini selalu menekankan kualitas dan tidak tertarik untuk mempunyai
lebih dari 3 atau 4 orang. Jika dalam seluruh hidup guru tersebut ia berhasil
menolarkan sekitar 10 murid yang dapat menyelesaikan pengajian dasar ini,
kemudian melanjutkan pelajaran ke pesantren, ia akan dianggap sebagai
seorang guru yang berhasil (Zamakhsyari Dhofier, 2010: 28).
Pondok pesantren dalam sejarahnya menunjukan simbol
kesederhanaan. Artinya pondok-pondok untuk penginapan santri itu
dibangun karena kondisi jarak antara santri dengan Kyai cukup jauh,
33
sehingga memaksa mereka untuk mewujudkan penginapan sekedar dalam
bentuk bilik-bilik di sekitar masjid dan rumah Kyai. Problem penyedian
pondok sebagai penginapan santri selanjutnya melibatkan kebutuhan lahan
bangunan, pembiayaan, penyediaan air, perluasan dapur, perencanaan
pembanguan dan sebagainya. Keterlibatan kebutuhan-kebutuhan tersebut
juga menjadi masalah yang cukup serius kalangan pesantren. Selain karena
desakan dari jumlah santri yang belajar bertambah banyak, juga sebagai
bentuk lembaga pondok pesantren merupakan sebuah rekontruksi sistem
pendidikan yang dipengaruhi segitiga teritorial dan segitiga budaya yang
merupakan arus utama bagi masuknya dan berkembangnya Islam di
Indonesia yaitu Arab, India, dan tradisi lokal Indonesia sendiri.
Tiga katagori tersebut merupakan tiga wilayah yang menjadi faktor
bagi sebuah rekontruksi sistem dakwah, karena wilayah tersebut menjadi
daerah yang sangat berpengaruh terhadap sistem pendidikan di Indonesia, di
Arab kita kenal para ulama-ulama yang berdatangan pada abad ke-7 dengan
segenap ilmu keagamaannya, wilayah India merupakan pusatnya
kebudayaan Hindu Budha yang sehingga kebudayaan tersebut disebarkan ke
wilayah Indonesia, serta tradisi lokal Indonesia yang masih menganut
paham-paham animisme, sehingga dapat mempengaruhi rekontruksi
pembelajaran di Indonesia.
Lembaga pondok pesantren dengan menambah pondok ini disebut
pondok pesantren yang terdiri atas masjid atau langgar (surau), asrama-
asrama penginapan, rumah kyai. Pondok pesantren melambangkann suatu
34
pengembangan dari pengajian di langgar (surau) atau masjid, baik dilihat
dari perspektif jumlah santri, sarana dan prasarana, materi pelajaran, metode
pembelajaran maupun pengorganisasiannya.
Asrama dibangun bertolak dari perancangan strategi pembelajaran
untuk mencapai hasil yang maksimal, sedangkan pondok dibangun bertolak
dari timbulnya problem penginapan kendati juga berimplikasi pada
kelancaran proses pembelajaran. Problem ini hingga sekarang masih
menjadi tantangan pesantren dalam realitasnya salah satu masalah yang
dihadapi pesantren besar terutama yang memiliki santri di atas 500 orang,
penyediaan pondok-pondok untuk tempat tinggal para santri dan gedung-
gedung untuk keperluan ibadah, pengajian, dan pengajaran lain (Qomar,
Mujamil. 2000: 88-89).
Langkah pesantren sangat penting dalam sejarah pesantren dalam
periode millennium ketiga dalam rangka memaksimalkan mutu, isi dan
sistem pembelajaran dengan tetap memelihara keutuhan paham ahlusunnah
wal-jama‟ah. Para kyai sebagai pemimpin pesantren tidak mau membuang
kerangka besar tradisi keilmuan Islam. Pesantren menyelanggarakan
pendidikan formal dan non formal merupakan perwujudan ajaran dan
perintah „wal-ahdzu min jadidin-nafi dalam bidang-bidang aktivitas sosial
intelektual, cara hidup, kebiasaan-kebiasaan sosial, dan dalam aspirasi
profesional. Pesantren tidak sendirian dalam langkah ini, karena sudah
banyak pesantren yang melakukan serupa dan tentunya pada masa-masa
yang akan datang akan bertambah.
35
Banyak keunggulan yang menjadikan santri-santrinya terdidik
sebagai generasi bangsa yang mampu berfikir cerdas dan maju dan bersaing
di tengah masyrakat modern dengan bekal akhlaqul karimah. Pada masa-
masa mendatang, akan semakin banyak putra-putri kyai yang memimpin
lembaga-lembaga pesantren dan membantu orang tua mereka
memodernisasi sistem dan isi program pesantren. Lembagal-lembaga
pesantren kini dengan mudah dapat memperoleh kekuatan baru berupa staf
pengajar yang terdidik dari universitas umum, proses modernisasi pesantren
mengalami tempo yang cepat, pandangan hidup kekinian mewarnai
kehidupan di pesantren. Para kyai semakin bergairah dalam menghadapi
tantang modernitas (Zamakhsyari Dhofier, 2015: 271).
Para kyai pimpinan pesantren menyadari bahwa masyarakat yang
mencintai peantren sudah banyak yang tinggi penghasilannya dan
menginginkan anak-anak mereka memperoleh ilmu agama, ilmu
pengetahuan, keahlian modern, serta penanaman prilaku akhlakul karimah
(moral keislaman yang tinggi) model pesantren (Zamakhsyari Dhofier,
2015: 272). Kesempatan tradisi pesantren untuk memperkuat peran dalam
pembangunan peradaban Indonesia modern saat ini terbuka luas. Para kyai
pemimpin peantren menyadari bahwa saatnya telah tiba bagi tradisi
pesantren memadu modernitas ke dalam pesantrennya untuk memperkuat
posisinya dalam pembangunan peradaban modern. Tradisi pesantren yang
menjadi ujung tombak dalam pembangunan peradaban melayu Nusantara
36
kini perlu tampil, agar Indonesia memperkuat pembangunan sumber daya
manusia (Zamakhsyari Dhofier, 2015: 274).
Akar budaya dan tradisi pesantren kini dinilai sudah sangat kuat
yang dapat menjamin kelangsungan pembentukan watak disiplin, kerja
keras, sikap saling percaya dan menghargai program yang berada di
pesantren yang telah diwariskan turun-temurun selama 800 tahun. Modal
budaya dalam melakukan adaptasi sangat penting agar upaya memperkuat
imajinasi dan visi yang berjangkau jauh ke masa depan tidak tidak
menjadikan bangsa Indonesia kehilangan jati diri. Semuanya itu, diikat
dalam komitmen kerja dengan agenda yang jelas, konkret dan terukur
(Zamakhsyari Dhofier, 2015: 274).
Pada periode sekarang tradisi pesantren sudah memiliki pemikir-
pemikir yang cakap dan menguasai berbagai ilmu pengetahuan serta
tekhnologi, mampu membimbing dan mengawal arah proses perubahan
kemana pesantren harus berkembang. Mereka memiliki ketajaman berfikr
yang dapat memberikan berbagai pilihan strategis yang dapat membimbing
para pemangku tradisi pesantren untuk mengambil peranan lebih besar
dalam pembangunan peradaban Indonesia modern (Zamakhsyari Dhofier,
2015: 274-275).
Kini usaha untuk meramalkan wajah, bentuk, dan isi lembaga-
lembaga pesantren di masa depan sangat dipermudah oleh beberapa
perkembangan: pertama, dengan bertambahnya jumlah lembaga hampir
menjadi 30.000 lembaga pesantren, maka pesantren dapat melakukan variasi
37
perubahan lebih leluasa, dari yang paling kuat bertumpu kepada tradisi
sampai kepada yang dapat memandu modernitas pembelajarab seluas dan
setinggi mungkin.
Kedua, sikap kyai semakin lapang dalam penyelenggaraan
modernisasi pesantren di tengah-tengah perubahan masyarakt Indonesia
yang cepat. Mereka juga tidak dihambat oleh perdebatan pro dan konta
untuk mempertahankan aspek-asoek sistem agama Islam. Tekanan telah
mengarah kepada upaya menyantuni kebutuhan yang bermanfaat bagi umat
Islam. Ketiga, keyakinan bahwa perubahan-perubahan harus
diselenggarakan tanpa merusak aspek-aspek positif kehidupan pedesaan
dimungkinkan oleh perkembangan tekhnologi serta semakin tersedianya
sumber daya pengetahuan informasi melalui internet. Keempat, semakin
tersedianya tenaga-tenaga akademik untuk mengembangkan pembelajaran
ilmu berbasis teknologi di wilayah pedesaan. Kelima, pengaruh
kepemimpinan dan dukungan masyarakat menguat pada periode memasuki
millenium ketiga. Keenam, semakin kuat tuntutan masyarakat perdesaan
untuk memperoleh haknya dalam memperoleh fasilitan kepesantrenan.
Ketujuh, tuntutan pelaksanaan demokrasi yang adil, jujur dan transparan
semakin kuat (Zamakhsyari Dhofier, 2015: 277-279).
Pesantren pada dasawarsa 1988-2008 mampu memadukan
modernitas ke dalam sistem pondok pesantren dalam skala yang luar biasa
kuatnya, karena dukungan dari masyarakat. Para pimpinan pesantren
membiayai kegiatan kepesantrenan tergantung kepada sumbangan
38
pembiayaan dari santri. Tradisi pesantren sebagai penerus tradisi peradaban
melayu nusantara memiliki dasar pandangan keagamaan yang mudah
dipadukan dengan modernitas. Cepatnya aspek modernitas terpadu dalam
tradisi pesantren terbukti pada kenyataan bahwa 70 persen lembaga
pesantren telah mengembangkan sekolahan dan sebagian mendirikan
perguruan tinggi modern. Lembaga pesantren yang masih mengkhususkan
murni agama dan pengkajian kitab-kitab karangan ulama zaman klasik
memang masih cukup banyak, sekitar 30 persen dari 21.521 pesantren.
Keberadaan pesantren yang mengkhususkan kajian kitab-kitab Islam klasik
tersebut justru sangat penting, karena pengkajian kitab-kitab Islam klasik
tetap sangat diperlukan agar paduan tradisi dan modernitas menemukan
ramuan yang seimbang dalam pembangunan peradaban Indonesia modern.
Tradisi pesantren sebagai ujung tombak pembangunan peradaban
melayu nusantara abad ke-15 sampai abad ke-18 menjadikan mayoritas
penduduk melayu nusantara sekarang ini beragama Islam. Pesantren sebagai
peradaban melayu nusantara selama berabad-abad, pesantren yang memiliki
jaringan sosial dan keagamaan yang kuat antar lembaganya di seluruh
provinsi. Jaringan yang kuat tersebut tidak statis dan saling menunjang. Di
bidang politik jaringan mereka sangat elastis tidak terikat hanya dengan satu
partai politik tertentu. Dukungan mereka dapat berubah-ubah menurut
perkembangan politik dan kualitas pribadi pemimpin yang dipilih.
Saat ini, bangsa Indonesia sedang giat membangun peradaban
Indonesia modern. Pelaku pembangunan peradaban Indonesia modern yang
39
dilakukan seluruh rakyat Indonesia. Lembaga-lembaga negara dan
pemerintahan (pusat dan daerah) merumuskan, mengatur strategi dan
memberdayakan semua sumber kekuatan agar pembangunan peradaban
Indonesia modern tercapai secepatnya agar Indonesia tidak tersisihkan
dalam percaturan dan persaingan peradaban.
Masa depan peradaban Indonesia modern haruslah peradaban bangsa
Indonesia yang berbudi luhur yang tingkat keunggulan peradabannya
mampu bersaing dengan peradaban-peradaban dunia lainnya. Pesantren
dapat mencapai tingkat peradaban yang unggul tersebut ekonomi Indonesia
harus tumbuh tinggi setiap tahunnya dan hasilnya dapat merata bagi seluruh
rakyat.
Reaksi kritis terhadap keadaan masa ini, telah ditunjukkam oleh
masyarakat miskin dengan kecenderungan mereka menyekolahkan anaknya
ke pesantren. Para kyai telah menyampaikan reaksinya secara positif dengan
menekankan kembali tujuan-tujuan tradisional mereka. Karier lembaga-
lembaga pesantren pesantren di Indonesia pada saat ini sedang mengalami
perubahan-perubahan yang fuldamental dan turut memainkan peranan
dalam proses transformasi kehidupan modern Indonesia.
Kedudukan ganda ini memang menyulitkan kyai sebagai pimpinan
sebagai pimpinan pesantren, tetapi para kyai sebagai pemimpin-pemimpin
kreatif yang selalu berhasil mengembangkan pesantren dalam dimensi-
dimensi yang baru, dan panorama yang berwajah sangat majemuk
40
kehidupan pesantren sekarang ini, dengan adanya petunjuk kreasi yang
jenius para kyai (Zamakhsyari Dhofier, 2015: 277-281).
B. Pemikiran Sejenis Tentang Dinamika Komunikasi Pesantren
Pembicaraan seputar pondok pesantren, sebenarnya banyak dikaji dan
diteliti baik pondok pesantren dalam bidang bisnis, baik dalam perspektif
budaya dengan tataran kehidupan yang mengembangkan pondok pesantren
dalam keagaaman dan dakwah. Pondok pesantren melahirkan ribuan santri
yang memberikan pemahamam tentang pesantren yang menghasilkan
keberhasilan dunia keislaman serta memperkenalkan dunia yang serba
modern di zaman globalisasi.
Pertama, Sindu Golba, mengkaji sebuah penelitian lembaga pesantren
bahwa lembaga pesantren, termasuk lembaga sudah cukup memakan usia
yang asli berada di Indonesia. Pesantren muncul dalam abad ke-16
mempunyai keberadaan pesantren sebagai wadah untuk memperdalam
agama sekaligus sebagai pusat penyebaran agama Islam di daerah jawa Barat
(Sindo Golba, 2012:1). Pesantren sebagai pusat peradaban dan penyabaran
agama Islam, kemudian penyelenggaraan ini semakin berkembang dengan
munculnya tempat-tempat pengajian dan aliran keagamaan. Pondok
pesantren ini berkembang dengan adanya tempat menginap yakni
“Pesantren”. M. Shulthon Masyhud, meneliti pesantren mempunyai ciri khas
mengembangkan potensi seseorang ke jalan yang benar. Potensi seseorang
melahirkan sebuah dakwah dan pengembangan kemasyarakatan dalam
41
menjalan syariat dan risalah. Pesantren memberikan pemahaman terhadap
kondisi santri dalam pemahaman keagamaan. Membicarakan tentang
keagamaan, mengenalkan bahwa lembaga pesantren, lembaga yang pertama
kali berdiri di Indonesia (M. Shulthon Masyhud, 2012:1).
Kedua, K.H. Amin Haedar, dalam bukunya membahas mengenal
kehidupan pondok pesantren melalui hubungan kyai dengan santri yang
menggambarkan proses interaksi antara kyai dengan santrinya di pondok
pesantren. Referensi lain dari Ushjana Efendi, M.A, dengan judul buku:
“Ilmu komunikasi Teori dan Praktek”, dalam buku tersebut menghasilkan
sebuah interaksi langsung dan tidak langsung (interpersona), komunikasi
massa, dalam sebuah media kelembagaan pesantren.
Ketiga, Amirullah Ahmad (2013:75) dalam bukunya,
memperkenalkan dunia pesantren dalam aspek lingkungan sosial yang
dipadupadankan dengan ajaran Islam tentang “Pemikiran Abu A‟la al-
Maududi tentang Dakwah Islamiyah”. Ini menjelaskan tentang susunan
dakwah yang melalui kelembagaan keislaman serta mempertajam
pemahaman masyarakat yang mengarahakan ke jalan kebenaran yakni agama
Islam (Samsul Munir Amin, 2012:85) .
Keempat, Merleau Ponty dapat menjelaskan lewat proses
penginderaan, analogi yang digunakan adalah apabila manusia melihat sebuah
rumah, maka ia tidak melihat rumah tersebut secara keseluruhan, karena ada
sisi rumah yang tidak dapat terlihat (sisi dalam atau belakang), maka ia hanya
berasumsi tentang bagian yang tidak terlihat (persepsi). Manusia memerlukan
42
lebih banyak pengalaman untuk mengembangkan persepsinya, dalam analogi
ini manusia perlu melihat keseluruhan sisi rumah untuk mendapatkan
persepsi dan gambaran yang lebih jelas dan nyata. Pengertian manusia
terhadap bagian sebuah objek yang tidak dapat manusia serap, itulah yang
merupakan dasar dari persepsi.
Hartanto Hanafi dalam penelitiannya bahwa pengalaman yang bersifat
menyeluruh dalam kehidupan seseorang yang dialaminya akan memperoleh
perkembangan dengan sendiri (Hanafi, 2010: 55). Merleau Ponty
menekankan keutamaan pengalaman hidup agar pemikiran-pemikiran yang
diserap dari pengalaman semakin bertambah, dengan kata lain, kesadaran
dapat dimengerti sebagai konstruksi perseptual yang disusun atas dasar
investigasi fenomenologis melalui proses menyerap. Menurut Horovitz,
fenomenologi disajikan dari sebuah pengalaman melalui alam seseorang yang
bisa dirasakan dalam psikologi (pengetahuan, kepercayaan), fisik (panca
indera), dan citra objek yang telah terbentuk, sebagai tambahan, menurut
Rahmat disebutkan pandangan yang melahirkan persepsi dalam individu
yang menjalankan aktvitas dirinya dan status seseorang untuk mengenalkan
kehidupannya melalui keberagaman sosial yang melalui fase lingkungan, baik
secara internal atau secara eksternal (Hartanto Hanafi, 2010:85).
Berdasarkan uraian di atas tentang pondok pesantren dalam dakwah
Islam terhadap Kyai dan santri, maka dibuatlah matrik penelusuran yang
dilakukan penelitian sebelumnya, antara lain: Arum Ningsih dengan judul
penelitian tesis: “Strategi Bisnis dalam Kewirausahaan Pesantren”,
43
menyimpulkan bahwa informasi dengan keramahan, kesesuaian, dan
keterhubungan. Proses persuasinya yang komunikatif, bagi hasil dalam
sistem agrobisnis, dan penitipan barang dagangan dalam warung
kebersamaan. Tentang Strategi komunikasi dan metode yang digunakannya
pendekatan kualitatif dan studi kasus, teori difusi inovasi dan model AIDDA.
Perbedaan teorinya, Arum menggunakan teori difusi inovasi dan Model
AIDDA sedangakan yang akan diteliti teori fenomenologi persepsi (Arum
Ningsih, 2015).
Kedua, Ahmad Rifai dalam penelitian tesis yang berjudul “Dinamika
Gerakan Dakwah Jamaah Muhammadiyah Kota Bandung”, menyimpulkan
bahwa dinamika dakwah muhammadiyah mengalami pasang surut, metode
dakwah dan aplikasinya terdapat kendala dalam kualitas mubaligh. Dinamika
gerakan dakwah muhammadiyah menggunakan pendekatan kualitatif dan
metode fenomenologi, teori dakwah jamaah, teori komunikasi organisasi dan
komunikasi kelompok, objeknnya berupa organisasi dan teori serta meode
yang akan ditelitinya menggunakan studi kasus (Ahmad Rifai, 2014).
Ketiga, Didin Misbahudin dalam penelitian tesis yang berjudul
“Strategi Dakwah Nu terhadap Masyarakat Pedesaan”, menerangkan
tentang strategi dakwah NU terhadap masyarakat pedesaan dengan
menggunakan dakwah kultural, kesenian dan didukung oleh cara berdakwah
yang bijkasana dan para da’i NU yang senantiasa menjadi teladan. Stratedi
Dakwah NU menggunakan pendekatan sosiologis dan metode deskriptif
44
analitik, teori norma budaya, objek penelitiannya organisasi Nu yang akan
diteliti yaitu Majelis Rasulullah (Didin Mishabuddin, 2012).
Keempat, Aludin dalam penelitian tesis yang berjudul tentang “Peran
Organisasi dalam Program Pembangunan Bandung Agamis”, menerangkan
bahwa program aspirasi masyarakat, berkontribusi dalam mewujudkan
bandung agamis dengan mendorong kerukunan antar Ormas Islam,
mendukung kondisivitas dan menanamkan budaya madani di Kota Bandung
(Aludin, 2013) . Peran Organisasi tersebut menggunakan jenis kualitati dan
studi kasus, teori komunikasi dan organisasi.
Kelima, Ahmad Atho’ Lukman Hakim dalam penelitiannya yang
berjudul “Pesantren dan Perubahan Sosial”, menjelaskan keterkaitan
pesantren dengan perubahan sosial dalam perspektif dan historisnya.
Penjelasan normatif diharapkan menperjelas nilai-nilai dasar yang menjadi
grand theory yang dihayati pesantren dan menjadi basis ideologi gerakannya,
sedangkan penjelasan historis dimaksudkan memaparkan implementasi nilai-
nilai dalam ranah sosial. Penelitian ini menjelaskan tantangan obyektif
kontemporer yang dihadapi pesantren beserta tawaran pradigma pendidikan
pesantren untuk menjadikan pendidikan pesantren relevan dengan jaman
sekarang dan nanti (sholib fi zaman al-bal wal-mustaqbal), penjelasan
pesantren dan perubahaban sosial tersebut menggunakan kajian pustaka dan
menjadikan literatur-literatur klasik yang nota bene tradisi pesantren salaf itu
sendiri menjadi sumber literatur primer. Teori dan metedologi yang
45
digunakan dalam jurnal tersebut pada teori perubahan sosial dan studi kasus
(Ahmad Atho’, 2013).
Keenam, Ali Nurdin dalam penelitian tesis yang berjudul tentang
“Tradisi Komunikasi di Pesantren”, menerangkan bahwa proses komunikasi
yang terjadi antarwarga yaitu Kyai, ustadz, dan santri. Pesantren sebagai
subbudaya yang spesifik mempunyai tata nilai yang berbeda dengan budaya
dominan yang berkembang di masyarakat ser. Tata nilai tersebut membentuk
homogenitas perilaku dan sikap yang berkembang di lingkungan pesantren.
Penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi komunikasi pesantren
direpresentasikan melalui proses komunikasi antara Kyai, ustadz, dan santri
yang terjadi pada tradisi sowan, model komunikasi klasikal, model
komunikasi bandongan, model komunikasi wetonan, model komunikasi
sorogan, model komunikasi musyawarah dan komunikasi dengan
menggunakan simbol “bunyi bel” dan panggilan (Ali Nurdin, 2015). Tradisi
Komunikasi di Pesantren tersebut menggunakan jenis kualitatif dan studi
kasus, teori tradisi komunikasi dan organisasi.
C. Posisi Penelitian Komunikasi Dakwah Pesantren
Penelitian di atas agar tidak ada persamaan, peneliti mendeskripskan dalam
sebuah penelitian yang ditujukan pada konsep komunikasi dakwah, strategi
dakwah, hambatan-hamabatan dan hasil dalam kehadiran dakwah pondok
pesantren Sindangsari Al-Jawami, serta menjaga identitas warga pondok
pesantren Sindangsari Al-Jawami. Penelitian ini difokuskan pada persepsi,
46
interaksi kyai dengan santri, santri dengan santri, serta konteks (level) dakwah
hizbiyah (Jama’ah/organisasi) oleh Kyai dengan santri dari kelembagaan dakwah
pondok pesantren, subjeknya adalah Kyai dan santri serta objeknya pondok
pesantren Sindangsari Al-Jawami.
Lembaga dakwah pondok pesantren Sindangsari Al-Jawami, tidak terlepas
dari ajaran yang di terapkan, tidak melantur kesana kemari dalam ajaran yang
menjelaskan apa yang harus dikedapan. Jadi kalau hari ini kitabnya harus jelas
kitabnya atau ada pedomannya, tidak melantur tidak asal dengar tidak asal bicara
tidak asal rame melakukan dakwah Islamnya, jadi betul-betul memberi ilmu
kepada orang yang awam itu sampai-sampai orang yang tadinya awam sampai
mengerti.
Pondok pesantren Sindangsari Al-Jawami memiliki aktivitas dakwah yang
selalu ditulis terlebih dahulu apa yang harus disampaikan kepada para mustami’,
sehingga dari hasil tulisan-tulisan yang telah lakukan lahirlah sebuah kitab karya
Irsadul Awwam yang mempunyai 7 jilid. Kitab tersebut adalah penjelasannya
mengenai ilmu Ushuludin, Fiqih, dan Tasawuf. Sehingga kitab tersebut menjadi
referensi utama bagi para santri-santrinya.
Pondok pesantren Sindangsari Al-Jawami masih tetap dengan
konsistensinya dengan mengamalkan ilmu agama terhadap santri-santrinya.
Pondok pesantren Al-Jawami sempat merenovasi bangunan pesantren dengan
menambah gedung asrama/kobong karena seiring bertambahnya jumlah santri,
karena sarana untuk menampung para santri masih belum memadai dan hal itu,
sehingga perlu untuk merenovasi gedung asrama Pesantren Sindangsari Al-
47
Jawami. Seperti penambahan asrama putra dan putri, serta bangunan untuk sarana
mandi, mencuci dan sebagainya, sehingga para santri merasa nyaman tinggal di
kobong dengan adanya renovasi dan penambahan gedung asrama.
Pondok pesantren tersebut mempunyai misi dakwah dalam menduduki
tempat dan posisi utama, sentral, strategis, dan menentukan keindahan dan
kesesuaian Islam dengan perkembangan zaman, baik dalam sejarah maupun
prakteknya, sangat ditentukan oleh kegiatan dakwah yang dilakukan umatnya.
Materi dakwah maupun metodenya yang sering memberikan gambaran (image)
dan persepsi yang keliru tentang Islam. Pondok pesantren tentang kesalah
pahaman tentang makna dakwah, menyebabkan kesalah langkahan dalam
perasional dakwah, sehingga dakwah sering tidak membawa perubahan apa-apa,
padahal tujuan dakwah adalah mengubah masyarakat sasaran dakwah kearah
kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera,baik dalam lahiriah maupun
batiniah (Didin Hafifudin, 2001: 67 ).
Dakwah pada dasarnya berfungsi sebagai modal sosial dalam melakukan
upaya pribumisasi Islam kedalam pola-pola kehidupan yang telah diwarnai oleh
kekuatan budaya sebelumnya. Dakwah hadir ditengah-tengah suatu masyarakat
pada umumnya lebih berperan sebagai penghubung kebudayaan yang bergerak
diantara arus kultur yang saling berpengaruh. Hal ini dilakukan terutama melalui
proses fungsionalisasi berbagai pranata yang hidup dan berkembang didalam
masyarakat itu sendiri. Seorang mubaligh/penceramah dalam rangka
menyampaikah tausiyahnya/dakwahnya harus berdasarkan pada kemampuan
dalam bidang ilmu pengetahuan yang memadai dan juga kemampan
48
menyelaraskan antara ucapan dan perbuatan sebagai wujud legitimasi moral dari
apa yang disampaikan, karena lapangan dakwah merupakan medan perjuangan
yang sangat sulit dan kompleks serta membutuhkan tingkat kesabaran yang tinggi.
Peran dakwahnya terlihat pada eksistensi peran pesantren Sindangsari Al-
Jawami kedalam pengajian-pengajian, pengajian Kamis dikalangan ibu-ibu dan
pengajian Mingguan dikalangan bapak-bapak. Berangkat dari hal tersebut, peran
dakwahnya dalam pengertian secara spesifik tabligh, karena menyampaikan nilai-
nilai ajaran lewat pesan-pesan baik itu, melalui murid-murid, ada sebelum
ceramah mengadakan bacaan-bacaan, do’a-do’a tertentu kemudian shalawat baca
kitab kitab-kitab tertentu, terlihat kegiatan dakwahnya melalui dua pengajian itu
pengajian Kemisan dan Mingguan itu pada aspek tabligh.
Dakwah cecara definitif yang berarti mengimplementasikan ajaran-ajaran
Islam dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan menuntut kepada umat Islam
umumnya, pertama keterampilan memahami, merumuskan kehidupan ummat.
Kedua, memiliki keterampilan untuk menggali dan memahami wahyu sebagai
petunjuk untuk diaplikasikan, menjawab tantangan situasi dan kondisi dalam
kehidupan sehari-hari.
Pondok pesantren Sindangsari Al-Jawami membangun aula. Aula tersebut
berfungsi sebagai sarana untuk berdakwah dipengajian, terutama pengajian ibu-
ibu pada hari kamis dan bapak-bapak pada hari minggu serta santri di har-hari
biasa, sehingga sarana tersebut sangat efektif untuk melaksanakan dakwah.
Perkembangannya pengajian rutin Kemisan dan Mingguan merupakan pengajian
biasa berskala kecil yang dilakukan oleh pondok pesantren Sindangsari Al-
49
Jawami, dan hanya diikuti oleh tiga desa, akan tetapi setelah dibangunnya aula
oleh yang pihak pesantren, jama’ah pengajian rutin Kemisan dan Mingguan
menjadi banyak, dalam perkembangannya pengajian rutin Kemisan dan
Mingguan dihadiri oleh puluhan desa yang diluar Desa Cilenyi Wetan, sehingga
dua pengajian rutin ini menjadi sarana dakwah pondok pesantren Sindangsari Al-
Jawami.
Kegiatan pengajian ini menjadi ritunitas dalam 2x seminggu yaitu hari
Kamis dan Minggu menjadi mudah dan nyaman, sehingga para jamaahnya
semakin bertambah dengan dibangunnya sarana dan prasarana untuk melengkapi
kegiatan pengajian rutin tersebut. Aula tersebut dari waktu ke waktu dimanfaatkan
untuk belajar pengajian rutinitas para santri-santrinya yaitu, setiap ba’da Magrib.
Kegiatan pengajian yang dilakukan oleh para santri senior kepada para santri
junior, terkadang para ustadz memberikan pengajian kepada santri-santrinya di
aula tersebut.
Fungsi dan peranan pondok pesantren Sindangsari Al-Jawami sebagai
lembaga dakwah, mempunyai fungsi yang cukup berat dalam mengemban tugas
agama dan risalah nubuwah. Pondok pesantren mempunyai pola tersendiri, sebab
harus berhadapan dengan tantangan di dalam masyarakat yang masih awam
terhadap agama, maupun tantangan zaman yang setiap saat mesti dan harus
berubah sebagai tanda kehidupan dinamis.
Sistem individual ini dalam sistem Islam tradisional disebut sorogan yang
diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan
Alquran. Pengajaran di lingkungan pesantren merupakan sistem bandongan atau
50
sering juga disebut sistem wetonan. Sekelompok murid (antara 5 sampai 500)
mendengarkan guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan sering
kali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan
bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan)
tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Kelompok kelas dari sistem
bandongan ini disebut halaqah yang arti bahasanya lingkaran murid atau
sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru. Pesantren
terkadang diberikan kepada santri-santri baru yang masih memerlukan bimbingan
individual.
Orientasi perlunya menempatkan pondok pesantren menjadi lebih
memperhatikan pribadi dan kepribadian para santri, sesungguhnya tidak cukup
dengan memberikan ruang penuturan, tapi juga perlunya mengangkat problematik
keagamaan yang mereka miliki masing-masing. Misalnya masalah pribadi, yang
sering kali bermuara pada masalah moralitas dan akhlak, tidak mungkin
diselesaikan di kelas tapi hanya bisa dikomunikasikan lewat konsultasi psikologis
“keagamaan”.
Fenomena diatas dapat dijelaskan dengan kejadian sesuatu yang timbul
dengan kondisi yang nyata (Stephen W. Littlejohn, 2012:57). Fenomenologi
tidak beranjak dari kebenaran fenomena seperti yang tampak apa adanya, tetapi
sangat meyakini bahwa fenomena yang tampak itu, yakni objek yang penuh
dengan makna transedental. Fenomena yang tampak itu akan mendapatkan
hakikat kebenenaran, maka harus menorobos melampui fenomena itu sendiri
(Basrowi dan Sukidin, 2002: 30). Tujuan utama fenomenologi akan mempelajari
51
bagaimana fenomena yang dialami dalam kesadaran, pikiran, dan dalam
tindakan, seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau diterima secara
estatis. Fenomenologi mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia
mengkontruksi makna dan konsep-konsep penting, dalam kerangka
intersubjektivitas. Intersubjektif karena pemahaman dalam mengenai dunia yang
dibentuk oleh hubungan antara kyai dengan santri. Makna yang diciptakan dapat
ditelusuri dalam tindakan, karya, dan aktivitas yang dilakukan, tetapi ada peran di
dalamnya..
Pada dasarnya fenomenologi mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran, yang
terentang dari persepsi, gagasan, memori, imajinasi, emosi, hasrat, kemauan,
samapi tindakan, baik itu tindakan sosial maupun dalam bentuk bahasa. Struktur
bentuk-bentuk kesadar tersebut yang dinamakan dengan “kesengajaan”, yang
terhubung langsung dengan sesuatu. Struktur kesadaran dalam pengalaman ini
yang akhirnya membuat makna dan menentukan isi dari pengalaman (content of
exprience). Berikut ini bentuk-bentuk laporan yang dapat dibangun melalui
pendekatan fenomenologi: (1) Kesadaran temporan. (2) Ruang kesadaran
(persepsi). (3) Perhatian (misalnya kegiatan memfokuskan sesuatau dari hal kecil
atau hal umum yang ada di sekelilingnya). (4) Kesadaran dari seseorang. (5)
Pengalaman sadar seseorang. (6) “Diri” dalam peranan yang berbeda-beda (ketika
berfikir/bertindak). (7) Kesadaran akan gerakan dan kehadiran orang lain, (8)
Tujuan dan kesengajaan dari tindakan. (9) Kesadaran akan orang lain (dalam
bentuk empati, intersubjektif, dan kolektivitas). (10) Aktivitas berbahasa
52
(memahami makna orang lain dan komunikasi). (11) Interaksi sosial, aktivitas
sehari-hari dalam lingkungan budaya tertentu.
Fenomenologi yang berkaitan dengan kehidupan pondok pesantren
diperlukan sustu kondisi atau latar belakang, yang memungkinkan bekerjanya
struktur kesadaran dalam pengalaman. Kondisi tersebut mencakup perwujudan,
keterampilan jasmani, konteks budaya, bahasa, praktik sosial dan aspek-aspek
demografis dari sebuah pengalaman sadar, kepada kondisi yang akan membantu
memberikan kesadaran. Fenomenologi telah menjadikan kesadaran yang
sebenarnya sebagai data utama dalam memahami realitas.
Pemikiran tradisi fenomenologis yang secara umum dikaji oleh para ilmuan
dan peneliti komunikasi sebagai berikut; Pertama, fenomenologi yang selalu
dikaitkan dengan tokoh Edmund Husserl salah satu pencetutus tentang fenomena
yang terjadi saat ini. Pendapat tersebut menunjukkan dengan pengalaman dan
perhatian sadar yang dialami oleh manusia kebenaran dan pengetahuan dapat
diperoleh seseorang, tetapi syarat untuk melakukan perhatian alam sadar
(conscious attention) seseorang harus menyingkirkan yang ada pada dirinya yang
sebenarnya (Morissan, 2010: 41).
Komunikasi sosial sangat penting dalam hubungan interpersonal pada
kehidupan sosial manusia. Kehidupan manusia melalui bantuan komunikasi, maka
individu-individu akan mampu mengembangkan relasi sosial dengan individu lain
dalam suatu konteks masyarakat. Bentuk instrumen komunikasi sosial yang
diwujudkan dalam pertukaran simbol melalui penggunaan bahasa. Komunikasi
melibatkan pengiriman dan penerimaan pesan antarindividu.
53
Komunikasi sosial tidak berjalan efektif, maka pemahaman timbal balik
antarindividu menjadi terhambat, terhambatnya pemahaman timbal balik dapat
mengakibatkan terkendalanya hubungan sosial di antara kedua belah pihak yang
terlibat dalam proses komunikasi. Komunikasi merupakan salah satu instrumen
utama yang menghubungkan individu-individu dalam masyarakat.
Manusia dalam melaksanakan proses penyampaian informasi, ide, sikap dan
emosi dari seorang kepada orang lain. Perilaku manusia berbeda dari makhluk
yang lain, perbedaan itu dapat dibandingkan dengan makhluk lain, yaitu binatang.
Binatang mendasarkan setiap perilakunya hanya pada mekanisme yang bersifat
instingtif, sedangkan perilaku manusia sebagai makhluk budaya, dalam konteks
kelompok sosial diatur oleh mekanisme berupa pertukaran simbol-simbol.
Simbol dalam setiap objek atau peristiwa yang secara sosial
melatarbelakangi sesuatu yang lain. Simbol dapat berwujud dalam berbagai
bentuk. Kata-kata tertulis dan kata-kata lisan merupakan contoh paling umum dari
keberadaan sebuah simbol. Bentuk komunikasi simbol dalam bentuk objek,
seperti gaya rambut, cara berbusana, aksesoris, atau instrumen-instrumen lain
yang berfungsi untuk mengkomunikasikan status sosial pemakaiannya. Simbol
komunikasi gerak tubuh, yang misalnya dapat terekspresi ke dalam mimik muka,
dan dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyampaikan suatu pesan dari
seseorang kepada orang lain (Fattah Hanurawan, 2010: 47-48).