bab iii pendekatan larangan bekerja dalam...

32
BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM LINGKUP SOSIAL ORANG MELONGUANE Dalam Bab III ini akan dipaparkan mengenai gambaran umum kota Melonguane. Dan pada bagian selanjutnya dipaparkan mengenai eksistensi larangan bekerja pada hari Minggu dalam masyarakat Melonguane. Didalamnya terdapat sejarah kemudian bagaimana penerapan dan dampak dari larangan bekerja pada hari minggu serta bagaimana persepsi tokoh agama, tokoh adat maupun masyarakat mengenai larangan bekerja pada hari minggu dalam masyarakat Melonguane. A. Profil Kota Melonguane 1. Kondisi Geografis Kota Melonguane 61 yang terdiri dari Kelurahan Melonguane Barat, Kelurahan Melonguane dan Kelurahan Melonguane Timur merupakan sebuah kota di kepulauan Talaud, Propinsi Sulawesi Utara. Kepulauan Talaud, sebelum pemekaran merupakan bagian dari Kabupaten Sangihe Talaud. Namun pada tahun 2002, kepulauan ini memisahkan diri untuk membentuk wilayah 61 Berdasarkan etimologi kata Melonguane beasal dari bahasa Talaut yang terdiri dua kata yaitu “Melong” dan “Ane”. “Melong” (maelo) artinya Biru dan “ane” (anne) artinya pasir. Jadi Melonguane adalah pasir Biru.Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah menjadi Ibukota Kabupaten Kepulauan Talaud, desa ini bergerak berubah menjadi pusat pemerintahan dan menjadi kota bisnis bahkan di kota ini juga dipusatkan jalur transportasi baik udara maupun laut. Wawancara Ketua Adat, Samuel Maengga (Melonguane, 18 Desember 2011)

Upload: trannhan

Post on 07-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

BAB III

PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM LINGKUP SOSIAL

ORANG MELONGUANE

Dalam Bab III ini akan dipaparkan mengenai gambaran umum kota

Melonguane. Dan pada bagian selanjutnya dipaparkan mengenai eksistensi larangan

bekerja pada hari Minggu dalam masyarakat Melonguane. Didalamnya terdapat

sejarah kemudian bagaimana penerapan dan dampak dari larangan bekerja pada hari

minggu serta bagaimana persepsi tokoh agama, tokoh adat maupun masyarakat

mengenai larangan bekerja pada hari minggu dalam masyarakat Melonguane.

A. Profil Kota Melonguane

1. Kondisi Geografis

Kota Melonguane61

yang terdiri dari Kelurahan Melonguane Barat,

Kelurahan Melonguane dan Kelurahan Melonguane Timur merupakan sebuah

kota di kepulauan Talaud, Propinsi Sulawesi Utara. Kepulauan Talaud, sebelum

pemekaran merupakan bagian dari Kabupaten Sangihe – Talaud. Namun pada

tahun 2002, kepulauan ini memisahkan diri untuk membentuk wilayah

61

Berdasarkan etimologi kata Melonguane beasal dari bahasa Talaut yang terdiri dua kata

yaitu “Melong” dan “Ane”. “Melong” (maelo) artinya Biru dan “ane” (anne) artinya pasir. Jadi

Melonguane adalah pasir Biru.Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

menjadi Ibukota Kabupaten Kepulauan Talaud, desa ini bergerak berubah menjadi pusat

pemerintahan dan menjadi kota bisnis bahkan di kota ini juga dipusatkan jalur transportasi baik udara

maupun laut. Wawancara Ketua Adat, Samuel Maengga (Melonguane, 18 Desember 2011)

Page 2: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

administrasi baru menjadi Kabupaten Kepulauan Talaud, yang beribukota di

Melonguane. Daerah ini merupakan daerah bahari dengan luas lautnya sekitar

37.800 Km² (95,24%) dan luas wilayah daratan 1.251,02 Km². Terdapat tiga

pulau utama di Kabupaten Kepulauan Talaud, yaitu Pulau Karakelang, Pulau

Salibabu, dan Pulau Kabaruan. Selain itu terdapat juga pulau-pulau kecil

disekitarnya temasuk pulau Miangas yang berbatasan dengan sudut tenggara

negara Filifina serta negara – negara kecil di samudera pasific. Diantara pulau

yang ada, pulau Karakelang adalah pulau yang memiliki luas wilayah terbesar

dari gugusan pulau-pulau yang ada di Kepulauan Talaud, luasnya lebih dari 1000

km2.62

Kabupaten kepulauan Talaud merupakan bagian integaral dari Provinsi

Sulawesi Utara dan merupakan kabupaten pemekaran dari kabupaten kepulauan

Sangihe yang terdiri dari 19 Kecamatan yakni:63

1. Kecamatan Kabaruan

2. Kecamatan Damau

3. Kecamatan Salibabu

4. Kecamatan Lirung

5. Kecamatan Moronge

6. Kecamatan Melonguane

7. Kecamatan Melonguane Timur

62

D. Brilman, Kabar Baik Di Bibir Pasifik, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan 2000), hal. 14-15 63

Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Talaud, Melonguane Dalam Angka 2011,

(Melonguane: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Talaud, 2011), 3

Page 3: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

8. Kecamatan Beo

9. Kecamatan Beo Selatan

10. Kecamatan Beo Utara

11. Kecamatan Rainis

12. Kecamatan Pulutan

13. Kecamatan Tampanama

14. Kecamatan Nanusa

15. Kecamatan Essang

16. Kecamatan Essang Selatan

17. Kecamatan Gemeh

18. Kecamatan Karatung

19. Kecamatan Miangas

Dari 19 kecamatan di kepulauan Talaud, Melonguane merupakan Ibu

Kotanya. Kecamatan Melonguane terdiri dari 13 Desa dimana 3 Desa berstatus

sebagai Kelurahan dan 10 Desa berstatus Desa. Sebagaian Besar Desa di

Kecamatan Melonguane berbatasan langsung dengan laut. Terdapat dua alternatif

transportasi yang rutin melayani jasa transportasi dari ibu kota propinsi menuju

Kepulauan Talaud yaitu, pertama menggunakan kapal laut dari Pelabuhan

Manado, yang ditempuh sekitar 10 jam perjalanan laut, bersandar di pelabuhan

Melonguane atau di pelabuhan Beo. Yang kedua adalah menggunakan pesawat

terbang, dari bandara Sam Ratulangi Manado menggunakan pesawat yang

ditempuh hanya sekitar 45 menit, mendarat di bandara Melonguane.

Page 4: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

a) Kota Melonguane berbatasan langsung dengan :64

Sebelah Utara : Kec. Beo Selatan

Sebelah Timur : Kec. Melonguane Timur

Sebelah Selatan : Selat Lirung

Sebelah Barat : Selat Lirung

b) Jarak dari Kota Melonguane ke Ibukota Propinsi : 280 km

2. Kondisi Demografi

Berdasarkan data statistik pada tahun 2010, jumlah penduduk di

Kecamatan Melonguane Mencapai10.058 Jiwa dengan kepadatan penduduk

sebesar 1.423,23 Jiwa/Km2. Jumlah ini mencapai kenaikan 10%

dibandingkan tahun 2009 yang mencapai jumlah penduduk sebesar 9.749 Jiwa

dengan kepadatan penduduk sebesar 79,34 Jiwa/Km2 Kenaikan ini

disebabkan karena bertambahnya penduduk dari luar Kecamatan Melonguane

yang ingin menetap di Kecamatan Melonguane.65

Kelurahan/Desa yang memiliki jumlah penduduk tertinggi adalah

Kelurahan Melonguane Barat dengan jumlah penduduk mencapai 2.052 Jiwa

dengan Kepadatan Penduduk 509,18 Jiwa/Km2 Jumlah ini mencapai kenaikan

sebesar 5% dibandingkan tahun 2009 yang mencapai jumlah penduduk

sebesar 1993 Jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 464,57 Jiwa/Km2.

Jumlah penduduk laki-laki di Kecamatan Melonguane lebih besar di

bandingkan jumlah penduduk perempuan, hal ini dapat dilihat pada tabel sex

64

Ibid., 4 65

Ibid., 13

Page 5: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

rasio penduduk. Sebagian besar mata pencaharian penduduk Kecamatan

melonguane adalah Petani dengan jumlah petani 1054 Jiwa. Untuk lebih jelas

lihatlah table berikut:

Tabel 1 : Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Di Kota Melonguane

2010.66

Kelurahan Penduduk Jumlah

Laki-laki Perempuan

Melonguane 667 580 1.247

Melonguane

Timur

987 981 1.965

Melonguane

Barat

1.101 951 2.052

Jumlah 2.755 2.512 5264

Sumber: Kepala Kelurahan Melonguane, Melonguane Barat,

Melonguane Timur.

66

Ibid., 15

Page 6: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

Tabel 2 : Banyaknya Penduduk Menurut Mata Pencaharian

Di Kota Melonguane

201067

Kelurahan Petani Pedagang Nelayan PNS Pegawai

Swasta

ABRI Lainnya

Melonguane 801 511 117 116 233 162 852

Melonguane

Timur

163 44 55 176 25 35 30

Melonguane

Barat

90 15 20 272 15 27 31

Jumlah 1054 570 192 564 273 198 913

Sumber: Kepala Kelurahan Melonguane, Melonguane Barat,

Melonguane Timur.

Pertanian merupakan mata pencaharian pokok dari sebagian besar

masyarakat Melonguane. Hal ini disebabkan oleh banyaknya sumber

pertanian yang tersedia. Sumber pertanian yang paling dominan ditempat ini

adalah pala, kelapa dan cengkih. Mata pencaharian kedua yang paling

dominan adalah pedagang. Banyaknya pedagang disebabkan karena

meningkatnya jumlah penduduk yang berakibat pada meningkatnya

permintaan barang untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Pedagang

67

Ibid., 22

Page 7: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

yang hadir di Melonguane berasal dari berbagai tempat dengan latar belakang

agama dan kebudayaan yang berbeda. Kehadiran para pedagang ini membantu

pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat.

Pekerjaan berikutnya yang domina adalah PNS. Sebagai ibu kota

kabupaten dengan Melonguane sebagai pusat pemerintahan membuka banyak

peluang bagi masyarakat untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Hal ini membuat ketertarikan masyarakat untuk datang ke kota Melonguane

dan mengikuti pengangkatan sebagai PNS. Pekerjaan lainnya setelah PNS

adalah pegawai swasta, Abri dan Nelayan.

Tabel : 3. Banyaknya Penduduk Menurut Agama dan Kepercayaan

Di Kota Melonguane

2010.68

68

Ibid.,

Kelurahan Kristen

Protestan

Kristen

Katolik

Islam Hindu Budha

Melonguane 1.133 43 71 0 0

Melonguane

Timur

1.779 30 169 0 0

Melonguane

Barat

1.627 102 23 3 4

Jumlah 4.539 175 263 3 4

Page 8: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

Sumber: Kepala Kelurahan Melonguane, Melonguane Timur dan

Melonguane Barat,

Tabel 4: Banyaknya Tempat Ibadah

Di Kota Melonguane69

Kelurahan Gereja Mesjid Mushalla Pura Vihara

Melonguane 10 1 1 0 0

Melonguane

Timur

2 0 0 0 0

Melonguane

Barat

4 0 0 0 0

Jika dilihat dari data statistik di atas maka pemeluk agama kristen

menempati urutan tertinggi dalam jumlah. Demikian pun dengan banyaknya

bangunan tempat ibadah. Fakta ini membuktikan bahwa presentasi agama

Kristen menempati posisi tertinggi. Hal ini tentunya berhubungan dengan

sejarah masuknya kekristenan di tempat ini. Kekristenan masuk di tempat ini

sekitar tahun 1861 dibawa oleh para zendeling-tukang yang sebelumnya

mengunjungi pulau-pulau di Sangihe. Para zendeling ini berusaha untuk

membenahi jemaat. Mereka ingin supaya seluruh anggota memiliki kesalehan

hati dan kesucian hidup. Secara negatif mereka memberantas kepercayaan

takhyul, kebiasaan minum-minuman keras dan perkawinan poligami yang

banyak terdapat dikalangan orang Kristen. Secara positif, mereka secepat

mungkin mulai menggunakan bahasa daerah sebagai ganti bahasa Melayu.

69

Ibid., 46-47

Page 9: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

Bahkan jumlah kebaktian diperbanyak, terlebih pada hari Minggu. Paginya

dilaksanakan persekutuan ibadah, dilanjutkan dengan katekisasi dan sekolah

Minggu.70

Dari fakta sejarah masuknya kekristenan yang telah diuraikan diatas,

maka dari sinilah cikal bakal munculnya larangan bekerja pada hari minggu.

3. Sejarah Kota Melonguane71

Awalnya kota Melonguane adalah sebuah desa. Desa Melonguane

merupakan Desa yang baru dibuka oleh orang yang baru berdiam dipenghujung

“Arangaca” mereka membuka tempat yang bernama Sobouane atau Melonguane

yang letaknya sangat strategis memanjang disepanjang pantai Melonguane. Pada

masa bangsa Belanda berkuasa di Negara Republik Indonesia, dikenal dengan

istilah pemerintahan Presidentil dan Petshoder. Sekitar tahun 1875 diadakanlah

perkunjungan ke desa-desa di wilayah Pemerintahan Lirung. Salah satu desa yang

dikunjungi adalah tempat pemukiman beberapa keluarga di Arangaca, pada waktu

itu dipimpin oleh seorang kepala desa Atasen Maengga. Rombongan tersebut

menumpang sebuah perahu dan saat itu cuaca tidak bersahabat, sehingga perahu

yang ditumpangi terbalik karena terpaan ombak. Akibat dari keadaan pelabuhan

yang sewaktu-waktu tidak bersahabat itu petshoder dan presidenti menganjurkan

kepada kepala desa untuk pindah ke lokasi yang lebih aman, yang pelabuhannya

baik.

70

Th. Van den End, Ragi Carita 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 136-137 71

Wawancara Ketua Adat, Samuel Maengga, 18 Desember 2012.

Page 10: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

Kepala desa Arangaca Atasen Maengga waktu itu bertitik tolak pada

anjuran dan saran dari presidentil dan petshoder yang terus berkunjung pada

waktu itu terus mengumpulkan kepala keluarga yang dipimpinnya untuk

bermusyawarah mengambil titik mufakat memindahkan desa Arangaca ke salah

satu lokasi yang aman, yang pelabuhannya baik. Mufakat bersama hasil

pemikiran disatukan untuk membuka tempat menjadi lokasi yang baru pada bulan

Oktober tahun 1876. Tempat yang dimufakati adalah Sobouane (Lobo).

Kemudian diganti dengan nama Melonguane.72

Suatu tempat yang baik, rata, tak

ada sungai dan tak ada gunung, pasirnya putih dan merupakan suatu teluk yang

diapit oleh kedua tanjung Dapapaca/Batupalili dan disebelah utara tanjung

Dalungulahu Inapongere.

Pada Tahun 1876 Bulan Oktober Kepala desa arangaca “Atasen Maengga”

memimpin dua puluh dua kepala Keluarga di Arangaca membuka Melonguane

sebagai lokasi baru dan pada bulan Maret tahun 1877 mereka pindah ke

Melonguane sebagai tempat pemukiman baru disitu mereka hidup rukun dan

damai.

Sementara itu pula ada tempat pemukiman lain bernama desa Bolang

Alelo yang dipimpin oleh seotang kepala desa bernama Mores Essing. Atas

penilaian dan penglihatan Jogugu, bahwa kesehatan kepala desa Bolang Alelo

72

Menurut kepala adat desa Melonguane bahwa Melonguane terbagi dari dua kata yaitu “Melong” dan “Ane”.Melong artinya pasir putih dan Ane artinya pantai Dalam artian, Melonguane adalah pantai yang pasirnya putih dan halus; Wawancara dengan kepala adat Melonguane, M. Aengga. tanggal 5 Januari 2012

Page 11: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

semakin tidak mengizinkan untuk memegang tampuk pemerintahan, maka Jogugu

Matanusa mengangkat Kristian Madopo Sawutu untuk menerima tugas mewakili

Mores Essing. Atas mupakat bersama berdasarkan pemerintah Jogugu, supaya

desa Bolang Alelo bergabung dengan desa baru di Melonguane. Pada tanggal 1

April tahun 1902 Madopo Sawutu membawa masyarakat desa Bolang Alelo di

Melonguane, sebagai satu desa yang makmur, atas pimpinan kepala desanya

Atasen Maengga dan Kristian Madopo Sawutu sebagai wakilnya. Jadi Desa

Melonguane adalah gabungan dari penduduk yang ada di tempat pemukiman

Desa Arangaca dan pemukiman Desa Bolang Alelo.

Seiring berjalannya waktu, desa Melonguane yang dahulunya hanya di

tempati beberapa keluarga telah berkembang hingga pada tahun 2006 pemerintah

di Talaud berinisiatif untuk membagi desa Melonguane menjadi tiga kelurahan

yaitu kelurahan Melonguane Barat, kelurahan Melonguane Tengah dan kelurahan

Melonguane Timur.

4. Sejarah Masuknya Agama di Talaud

Sejak tahun 1550 kebudayaan Islam telah dijumpai digugusan kepulauan

ini. Menurut Scheneke, kehadiran agama dan kebudayaan Islam melalui dua

jurusan: yang pertama, dari utara yaitu Mindanao, merupakan lanjutan dari

Malaka, Sumatra, Brunai, ke pulau Talaud dan Sangihe. Dan yang kedua dari arah

Ternate sebagai lanjutan dari Jawa, Ambon, Bacan, Tidore, Ternate dan Sangihe

besar (kira-kira tahun 1540).73

73

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat-Istiadat Daerah Sulawesi Utara, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1983), 176

Page 12: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

Beberapa tahun sesudah masuknya agama Islam masuk pula agama

Kristen. Hal ini ditandai dengan dampak pengaruhnya pada zaman VOC. Dimana,

mulai tahun 1670-an, agama Kristen ini lebih banyak dijalankan dengan

menggunakan bahasa setempat (bahasa daerah). Dengan demikian masuknya

agama Kristen di kepulauan Talaud tidak dapat dilepaskan dari kedatangan

bangsa Portugis dan Belanda di daerah tersebut.74

5. Sistem Kepercayaan

Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen di kepulauan Sangihe dan

Talaud, bahkan sampai sekarang masih ada yang mempercayai adanya anggapan

bahwa ada satu dunia yang berada di „luar‟ dan di „atas‟ dunia yang ada dan

didiami sekarang, „dunia gaib‟ “(superanatural). Dunia gaib ini merupakan

tempat-tempat dewa bermukin. Dan satu-satunya dewa (duata atau ruata)75

yang

mendiami dunia gaib itu ialah Chenggonalangi, merupaan dewa tertinggi (high

god), mahakusa, pencipta, dan berkuasa atas semua dewa yang ada.

Ghenggonalangi adalah Duatangsalulung, (Dewa alam semesta).76

Selain Chenggonalangi, ada juga dewa-dewa tertentu dan menguasai

lapangan-lapangan hidup, seperti duata langitta (dewa langit), duata

mbinangunanna (dewa alam), mawendo (dewa laut), aditinggi (dewa gunung api

Siau) datu ngkasuang (raja orang mati) dan sebagainya. Dewa-dewa ini dulunya

74

Ibid 75

Duata menurut Brilman, berasal dari kata Dewata (sansekerta). Kata ini sekarang tidak berarti lagi dewa (bagi orang Sangihe dan talaud), karena oleh para Zending dan Missi dipakai sebagai terjemahan dari kata “Allah”. D. Brilman, De Zending Op de Sangir en Talaud eilanden, 1938, 10.

76 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat-Istiadat Daerah Sulawesi Utara (Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1983), 198

Page 13: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

dipuja melalui upacara-upacara tertentu. Sekarang hampir tidak ada lagi upacara-

upacara pemujaan dilakukan. Orang-orang Sangihe dan Talaud juga mempercayai

adanya makhluk-makhluk halus yang berdiam dimana-mana, misalnya di gunung-

gunung, di sungai, di batu-batu besar, di tanjung-tanjung, di pohon, di teluk dan

tempat-tempat lainnya. Makhluk ini mempunyai kuasa tertentu dan sering

mengganggu manusia. Selain itu ada juga makhluk-makhluk halus yang

merupakan penjelmaan atau jiwa-jiwa nenek moyang yang telah meninggal dari

makhluk tersebut sering dibutuhkan pertolongan. 77

Makhluk-makhluk halus atau jin-jin yang dipercayai antara lain

disebutkan jin kabanasa, yang asalnya dari pohon enau, pehang (jin sungai),

menangkaru (jin dari dalam tanah) dan banyak ragam makhluk lainnya. Ada juga

anggapan bahwa setiap benda tertentu, apakah terujud pada benda-benda tertentu,

apakah itu terujud pada benda-benda alamiah seperti batu, pohon, akar-akaran

tertentu, atau juga benda-benda hasil ciptaan manusia dan dimiliki oleh nenek

moyang, seperti keris, pedang, gelang, baju dan lain-lain; maupun anggota badan

manusia seperti rambut, kuku, kotoran telinga dan sebagainya, mempunyai

kekuatan-kekuatan gaib. Benda-benda dan anggota-anggota badan ini sampai

sekarang masih dipercayai sebagai „sesuatu yang bermakna‟ dalam hidup.Bahkan

banyak yang digunakan dalam pengobatan tradisionil.

Kepercayaan akan adanya orang sakti, atau benda-benda sakti pun banyak

ditemukan dan berhubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada. Meskipun

demikian kepercayaan-kepercayaan diatas hingga kini semakin hilang, dan

77

Ibid

Page 14: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

digantikan dengan kepercayaan/keyakinan sesuai ajaran agama yang dianut

(Kristen, Islam dan Katolik).78

6. Sistem Kesatuan hidup dan Kekerabatan Komunitas Melonguane

(Talaud)

“Wanua” atau kampung (desa) merupakan kesatuan hidup yang terkecil

yang ada di kepulauan Talaud. Setiap wanua atau kampung (desa) dikepalai oleh

seorang yang memegang pemerintahan dan disebut kepala kampung atau Opolao,

atau juga yang dinamakan Kapiten Laut. Opolao atau Kapiten Laut, dibantu oleh

beberapa Juru tulis dan meweteng. Sedangkan di bidang adat terdapat satu dewan

yang dikepalai oleh Ratumbanua (sebagai ketua adat). Inangu Wanua (sebagai

wakil ketua adat), dan Timadu Ruangana (sebagai ketua ruanganna).79

Keluarga batih (nucleat family), merupakan satuan inti dalam kekerabatan

yang terdapat pada lingkungan sosial orang Sangihe dan Talaud. Setiap keluarga

batih ini menempati rumahnya masing-masing. Dengan beberapa kekecualian

adanya beberapa keluarga batih senior dan kelurga batih junior sering merupakan

satu rumah tangga. Hubungan-hubungan yang terjadi dalam keluarga batih,

tidaklah terbatas pada usia semasa anak-anak, akan tetapi tetap berlaku apabila

yang bersangkutan telah menginjak usia dewasa (secara biologis maupun secara

sosial).80

Beberapa keluarga batih, bergabung dan membentuk satu kelompok

kekerabatan yang dalam bahasa Talaud disebut ruanganna. Setiap keluarga batih

78 Ibid., 199

79Ibid., 213

80 Soerjono Soekanto, Hukum Adat INDONESIA(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), 44

Page 15: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

yang bergabung ini tidak asal saja membentuk satu kelompok, tetapi hubungan

kekerabatan dalam kelompok ini diperhitungkan atau dikembalikan kepada nenek

moyang tertentu sebagai pangkal perhitungan.

Dalam satu desa sering terdiri lebih dari satu kelompok kekerabatan

(ruanganna), dan juga ada keanggotaan satu kelompok kekerabatan ini meliputi

satu desa. Ruangan ini merupakan suatu kelompok kekerabatan yang berkorporasi

(corpotat kingroups) pada beberapa puluh tahun yang lalu mempunyai fungsi

antara lain:81

a. Memegang hak atas tanah milik komunal

b. Mengatur perkawinan dengan adat exogami,

c. Sebagai kesatuan yang menjalankan aktivitas kerjasama pangan kehidupan,

dan

d. Merupakan suatu kesatuan hidup setempat

Di Melonguane sistem adat masih sangat kuat dalam mengatur

harmonisasi warga masyarakat. Sistem adat yang masih berlaku ini berfungsi

untuk mengikat warga masyarakat dalam kekerabatan yang kuat. Terdapat 7

kelompok kekerabatan (ruanganna) dalam masyarakat Melonguane. Yakni:82

1. Ruanganna Maengga

2. Ruanganna Mansa

3. Ruanganna Masarahe

4. Ruanganna Sawedulung

81

Ibid., 214 82

Wawancara, Samuel Maengga (Wawancara: 18 Desember 2011)

Page 16: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

5. Ruanganna Essing

6. Ruanganna Timpua

7. Ruanganna Untulangi

Struktur Adat

Ratumbanua Inanguwanua

1. Ruanganna Maengga

2. Ruanganna Mansa

3. Ruanganna Masarahe

4. Ruanganna Sawedulung

5. Ruanganna Essing

6. Ruanganna Timpua

7. Ruanganna Untulangi

Dari segi historisnya, tujuh kekerabatan ini dibentuk sejak pertama kali

Melonguane berdiri oleh inisiatif tujuh keluarga besar yang ada pada waktu itu.

Tujuan dibentuknya adalah untuk mempererat kekerabatan diantara tujuh rumpun

keluarga besar tersebut. Misalnya dalam persekutuan ibadah dan kegiatan-

kegiatan sosial seperti kegiatan pertanian, membantu orang sakit, membantu

aggota ruanganna dalam pembangunan rumah bahkan membantu keluarga jika

salah seorang dari anggota keluarganya mau melangsungkan acara pernikahan.

Dalam melakukan kegiatan pertanian setiap anggota yang terkait sebagai

ikatan kekerabatan (ruanganna) bekerjasama (gotong royong) misalnya ketika

dilakukan kegiatan bercocok tanam. Seluruh kegiatan ini diawali dengan satu

Page 17: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

upacara “malintuku harela”, atau upacara mengeluarkan/menurunkan semua alat

yang diapakai dalam kegiatan bercocok tanam dari rumah.

Tujuh sistem kekerabatan (ruanganna) di kota Melonguane, sampai saat

ini masih tetap ada. Hal itu terwujud dengan adanya persekutuan ibadah-ibadah

dari ketujuh ruanganna yang disebut sebagai „ibadah ruanganna’. Ibadah ini

dilakukan sekali dalam seminggu, juga diadakan ibadah syukur tahun ruanganna,

yang diadakan untuk memasuki tahun baru. Sebagai ungkapan syukur terhadap

Tuhan atas penyertaan-Nya dalam setahun yang lampau. Dalam persekutuan ini,

yang hadir bukan hanya anggota dari satu kerukunan saja, melainkan anggota

rukun yang lain. Dengan demikian kerukunan ini dibentuk juga untuk

mempererat kekerabatan, bukan hanya dengan setiap anggota rukun melainkan

juga dengan anggota rukun lainnya.

7. Bahasa

Bahasa sehari-hari penduduk yang mendiami kepulauan Talaud adalah

bahasa daerah setempat, yakni bahasa Talaud. Bahasa Talaud termasuk pada

rumpun bahasa Austronesia atau Melayu Polinesia yang tergolong dalam bahasa-

bahasa Philipina. Dalam hal pemakaian bahasa sebagai alat komunikasi, terdiri

atas bahasa umum, yang digunakan dalam pergaulan hidup sehari-hari diantara

sesama teman; bahasa halus (bahasa sastra) yang biasanya digunakan pada

upacara tertentu.

Page 18: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

8. Aktivitas Orang Melonguane pada Hari Minggu

Sejak kota Melonguane ditetapkan sebagai ibu kota Kabupaten

Kepulauan Talaud, kota Melonguane bergerak berubah menjadi pusat

pemerintahan dan menjadi kota bisnis. Bahkan di kota ini juga dipusatkan jalur

transportasi baik udara maupun laut. Penduduk Melonguane pada awalnya adalah

kelompok sosial homogen yang dalam perkembangannya menjadi sebuah

komunitas kota yang heterogen. Disebut demikian karena sejak proses pemekaran

menjadi ibukota Kabupaten Talaud, Melonguane didatangi banyak pendatang,

yang berasal dari berbagai tempat. Hal ini menyebabkan terjadinya keberagaman

dalam masyarakat.

Sebagai pusat pemerintahan, ketersediaan peluang kerja dalam bidang

tersebut relatif besar. Adanya peluang ini menyebabkan banyaknya pendatang

yang mendiami kota Melonguane. Para pendatang tersebut berasal dari berbagai

tempat diluar Kabupaten Talaud untuk bekerja antara lain sebagai guru, perawat,

polisi, tentara dan Pegawai Negeri Sipil di berbagai kantor. Bagi pegawai kantor

rutinitas pekerjaan yang mereka jalani dimulai dari hari Senin sampai Jumat,

sementara Sabtu dan Minggu tidak merupakan hari kerja. Sedangkan bagi para

guru mulai dari TK sampai SMA/SMK menjalani kegiatan rutin mulai dari hari

Senin sampai Sabtu, hari Minggu adalah hari libur.

Selain sebagai pusat pemerintahan, kota Melonguane juga merupakan

pusat bisnis. Karena itu di kota ini terdapat sebuah pasar yang menjual berbagai

Page 19: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

kebutuhan masyarakat dan beroperasi setiap hari. Terdapat perbedaan aktivitas

pasar di antara hari Senin-Sabtu dan di hari Minggu. Dari hari senin sampai sabtu,

pasar ini beroprasi dari pukul 04.00 sampai 22.00 WITA, sedangkan di hari

Minggu pasar dan pertokoan hanya beroprasi dari pukul 04.00 wita -06.00 WITA

dan dari pukul 18.00 sampai 22.00 WITA. Pada hari Minggu terlihat ada jenjang

waktu antara pukul 06-00 pagi sampai 18.00 sore. Di antara jenjang waktu

tersebut tidak diperbolehkan melakukan aktivitas pasar berdasarkan surat

ketetapan peraturan adat larangan bekerja pada hari Minggu.

B. KASUS LARANGAN BEKERJA DALAM LINGKUP SOSIAL

MELONGUANE

1. Sejarah Munculnya Kasus Larangan Bekerja pada Hari Minggu

Ketika ditelusuri asal-usul munculnya larangan bekerja pada hari

Minggu dalam lingkup sosial Melonguane, maka ditemukanlah hal-hal yang

melatarbelakangi pemberlakuan larangan tersebut sampai sekarang. Menurut

salah seorang warga setempat yang diwawancarai diperoleh keterangan,

bahwa larangan ini sebenarnya sudah ada sejak lama dan berlaku dalam

kehidupan komunitas asli Melonguane. Kendatipun larangan tersebut sudah

diterapkan namun tidak dapat dikatakan secara pasti sejak kapan (tanggal,

bulan dan tahun). Namun larangan ini sudah ada sejak dahulu dan

Page 20: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

diberlakukan sebagai sebuah tradisi secara turun-temurun dalam komunitas

adat Melonguane.83

Menurut ketua adat Melonguane, kebiasaan tradisional tersebut

dipengaruhi oleh agama Kristen, ketika kekristenan masuk di tempat ini.

Setelah penduduk asli di tempat ini masuk agama Kristen dan kegiatan

beribadah pada hari Minggu aktif dilaksanakan, mulailah masyarakat

memberlakukan hari Minggu sebagai hari istirahat dari segala aktivitas.

Kebiasaan ini berlangsung terus-menerus hingga akhirnya ditetapkanlah hari

Minggu sebagai hari yang sakral dan tidak boleh dicemari dengan kegiatan-

kegiatan duniawi. Sejak itulah larangan bekerja pada hari Minggu menjadi

ikatan moral masyarakat yang harus dipatuhi dan wajib dilaksanakan oleh

masyarakat Melonguane.84

Ketentuan ini diberlakukan tidak hanya untuk satu agama saja,

melainkan bagi seluruh penduduk yang mendiami kota Melonguane. Sebab

diberlakukannya larangan ini sudah sejak lama diakui penduduk setempat.

Dari generasi ke generasi tradisi ini di sosialisasikan secara komunal melalui

pertemuan keluarga, pertemuan adat dan pertemuan kampong. Bahkan dalam

acara-acara adat maupun resmi. Secara tradisional larangan ini dalam

sejarahnya bisa disosialisasikan kepada masing-masing penganut agama

83

Wawacara, N. Kasumbala (Melonguane: 18 Desember 2011) 84

Wawancara, Samuel Maengga (Melonguane, 18 Desember 2011)

Page 21: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

Kristen Protestan, Kristen Katolik, Islam, Hindu dan Budha oleh ketua adat

setempat dalam acara pernikahan, syukuran yang melibatkan ketua adat.

Larangan bekerja pada hari Minggu sudah menjadi sebuah

kesepakatan dalam masyarakat Melonguane. Kesepakatan yang

dilatarbelakangi oleh kekristenan inilah sampai sekarang menjadi ikatan moral

bersama. Penerapan Kesepakatan ini yang tidak hanya mengikat satu

golongan atau penganut satu agama saja, melainkan kesepakatan untuk untuk

semua penduduk Melonguane. Jadi, dalam realitas orang Melonguane,

larangan bekerja ini menjadi sebuah aturan adat yang tidak bisa berubah

dalam waktu singkat. Karena telah menjadi kebiasaan turun temurun. Namun

tidak menutup kemungkinan, bahwa suatu saat peraturan adat ini akan

berubah seiring berkembangnya kehidupan masyarakat setempat, mengingat

ketentuan yang tercantum dalam UUD 1945 yang terkait dengan dasar

kebebasan beragama sebagai warga negara Indonesia.

2. Penetapan Kesepakatan Larangan bekerja pada hari Minggu sebagai

Peraturan Adat

Sejak kekristenan masuk di Talaud khususnya di Melonguane pada

tahun 1670-an, setiap tatanan dalam lingkup kehidupan sosial mengalami

perubahan dan mempengaruhi tatanan hukum adat setempat. Kekristenan

ternyata mempu mempengaruhi citra hukum adat dalam penduduk

Melonguane. Masyarakat Melonguane yang sudah memeluk agama

Page 22: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

Kristen melakukan penerapan asas-asas hukum-kristen dalam kehidupan

mereka sehari-hari hari, sebagaimana tercantum dalam Alkitab.

Hukum Kristen yang diberlakukan salah satunya mengenai

larangan bekerja pada hari Minggu. Larangan ini ditetapkan untuk

menghormati hari Tuhan. Dimana hari Minggu dipisahkan dari hari-hari

lainnya dan dianggap sebagai hari yang sakral. Ketika ada yang

melanggarnya diyakini akan mendapat sanksi dari Tuhan yaitu berdosa

terhadap Tuhan.

Dalam lingkup masyarakat homogen, larangan ini ditetapkan

tujuannya adalah agar tercipta sebuah keharmonisan dengan memberikan

waktu atau meluangkan waktu sehari dalam seminggu untuk bersekutu

dengan Tuhan. Larangan bekerja pada hari Minggu, karena diberlakukan

terus menerus pada akhirnya menjadi kebiasaan dan ditetapkanlah sebagai

peraturan adat dalam masyarakat.

Sejak masyarakat homogen berubah menjadi heterogen, larangan

ini terus diberlakukan. Hingga adanya surat kesepakatan untuk

mempertahankan pemberlakuan peraturan adat ini. Penetapan peraturan

adat larangan bekerja pada hari Minggu tidak hanya dibuat oleh ketua adat

sendiri tetapi melibatkan unsur pemerintah daerah, Kakandep Agama,

Dewan Adat dan Pihak GERMITA serta Tokoh Masyarakat atau Tokoh

Adat di Melonguane. Pada hari/tanggal : Jumat, 27 April 2007, bertempat

Page 23: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

pada ruangan rapat kantor bupati Kabupaten Kepulauan Talaud

ditetapkanlah sebuah kesepakatan dalam Rapat Lembaga Adat

Melonguane dengan hasil keputusan sebagai berikut:

1. Hari Minggu dikhususkan orang Talaud telah turun-temurun

sangat dipatuhi untuk tidak melakukan program kegiatan usaha

pertanian, perikanan, perdagangan dan program kegiatan

pembangunan lainnya, kecuali ibadah, penanganan bencana alam

dan bencana sosial.

2. Maka khusus kegiatan perdagangan pasar dihari Minggu hanya

boleh berlaku pada jam 03.00s/d 06.00 wita. Dan dibuka kembali

jam 18.00 wita.85

Setelah ditetapkan surat kesepakatan dalam Rapat Lembaga Adat

Melonguane, maka hal ini merupakan babak baru dalam sejarah larangan

bekerja pada hari Minggu dalam masyarakat Melonguane ditetapkan

secara tertulis. Surat kesepakatan ini diterbitkan dan disosialisasikan

dalam institusi-institusi pemerintah, adat, dan kepada seluruh elemen

masyarakat sebagai dasar bersama untuk mematuhi larangan bekerja pada

hari Minggu yang sudah secara turun temurun diberlakukan.

85

Surat Kesepakatan Rapat Lembaga Adat Melonguane dengan Unsur Pemerintah Daerah,

Kakandep Agama, dengan Adat dan GERMITA serta Tokoh Masyarakat / Tokoh Adat di Melonguane.

(Melonguane, 27 April 2007).

Page 24: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

3. Penerapan dan Dampak dari Larangan bekerja pada Hari Minggu

dalam Komunitas Melonguane.

Menurut penuturan dari beberapa narasumber, larangan bekerja

pada hari Minggu memiliki keterkaitan dengan pengudusan hari sabat.

Berdasarkan perintah Tuhan untuk menguduskan hari sabat maka hari

Minggu dilarang untuk bekerja. Menurut mereka larangan ini sudah

dilakukan sejak lama, dan harus dipertahankan.86

Sejak dahulu masyarakat Melonguane yang sebagian besar bermata

pencaharian sebagai petani pergi ke kebun dan tinggal selama beberapa

hari. Mereka membuat gubuk kemudian menetap disana. Menurut bapak

BS yang diwawancarai, selama enam hari terhitung mulai senin sampai

sabtu mereka tinggal di sebuah gubuk sambil bertani sedangkan pada hari

sabtu sore mereka turun ke kampung mempersiapkan segala sesuatu untuk

beribadah pada hari Minggu.87

Menurut seorang pedagang beragama Islam, larangan bekerja pada

hari Minggu merupakan peraturan adat yang harus dipatuhi, tapi ia juga

menyadari dampak dari larangan ini adalah kerugian dari mata

pencahariannya. Karena dihari tersebut ia tak dapat berdagang seperti

hari-hari biasanya. Waktunya untuk berdagang sangat terbatas yakni

dimulai jam 18.00 (jam 6 sore). Jadi dengan adanya larangan bekerja pada

hari Minggu membatasi aktivitas perekonomian dan menyebabkan

86

Wawancara, A. Tasumewada, S. Maengga, A. Maengga (Melonguane: 18 Desember 2011) 87

Wawancara, B. Sawilan ( Melonguane: 17 Desember 2011)

Page 25: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

omsetnya berkurang tak seperti hari-hari biasanya.88

Salah seorang

pedagang beragama Kristen juga memiliki pandangan yang sama.89

Berbeda dengan seorang pedagang beragama Kristen lainnya,

ketika diwawancara. Menurutnya larangan bekerja pada hari Minggu

memiliki dampak positif karena meskipun omsetnya tak seperti hari

biasanya, namun pada hari itu ia bisa pergunakan untuk berkumpul

bersama keluarganya. Jadi ia tidak keberatan dengan larangan tersebut.90

Hal yang sama juga diutarakan oleh seorang yang bermata pencaharian

sebagai petani. Ia tak keberatan dengan mematuhi peraturan adat larangan

bekerja pada hari Minggu. Menurutnya hari Minggu adalah hari Tuhan

dan dikuduskan, jadi tidak ada salahnya untuk beristirahat pada hari

tersebut.91

Sebagai ibu kota kabupaten, tentunya banyak dikunjungi para

pendatang dari berbagai daerah, yang membuat masyarakat menjadi

heterogen. Di tengah-tengah masyarakat heterogen peraturan adat yang

seharusnya diberlakukan dalam masyarakat homogen, masih terus

diberlakukan dalam masyarakat heterogen. Keanekaragaman agama,

budaya dan pekerjaan tidak mempengaruhi pemberlakuan larangan

bekerja pada hari Minggu. Terlebih ketika larangan itu diberlakukan

secara resmi melalui surat penetapan.

88

Wawancara, Mud (Melonguane: 21 Desember 2011) 89

Wawancara, Oskar Saranaung (Melonguane: 21 Desember 2011) 90

Wawancara, A. Maengga (Melonguane: 20 Desember 2001 ) 91

Wawancara, B. Sawilan (Melonguane: 17 Desember 2011)

Page 26: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

C. Persepsi Tokoh Adat, Tokoh Agama dan Masyarakat Kristen maupun

Non Kristen Mengenai Larangan Bekerja pada Hari Minggu.

1. Persepsi Tokoh Adat

Tokoh adat di Melonguane yang paling berperan adalah ketua adat.

Ketua adat ditempat ini berperan sebagai bapak dari Masyarakat, ia

mengetahui masyarakat sebagai suatu keluarga besar, ia adalah pemimpin

pergaulan hidup dalam masyarakat. Ketua adat berfungsi untuk

menyelesaikan soal-soal perkawinan, soal warisan, soal pemeliharaan anak

yatim dan soal memelihara setiap peraturan adat atau adat-istiadat yang

diwariskan oleh nenek moyang. Dengan kata lain tidak ada satu lapangan

pergaulan hidup di dalam masyarakat yang tertutup bagi ketua adat untuk ikut

campur bilamana diperlukan dalam memelihara ketenteraman, perdamaian,

keseimbangan lahir dan batin.

Dengan mengingat fungsi ketua adat, maka sebagai ketua adat

Melonguane ia merasa betapa pentingnya menjaga dan menegakkan setiap

peraturan adat yang berlaku dalam masyarakat termasuk peraturan adat

larangan bekerja pada hari Minggu.Tujuannya agar peraturan adat atau adat

istiadat yang telah diwariskan, tidak akan punah melainkan tetap terpelihara

agar terciptanya keharmonisan dan kerukunan serta keteraturan hidup dalam

masyarakat.

Page 27: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap Ratumbanua (ketua

adat), ia mengutarakan bahwa “saya sebagai ketua adat tetap berada pada posisi

saya, untuk menjaga setiap peraturan adat termasuk larangan bekerja pada hari

Minggu agar ditaati oleh seluruh masyarakat tak terkecuali siapapun dia, agama

apa pun dia atau apapun pekerjaannya. Sebagai peraturan adat yang diwariskan

oleh nenek moyang, hal ini dirasa penting untuk dilestarikan. Cara pelestariannya

adalah kami sebagai perangkat adat senantiasa mengingatkan seluruh masyarakat

yang tingal di Melonguane dengan mengumumkan pada acara-acara pernikahan,

ibadah digedung gereja, ibadah pemakaman bahkan dalam acara umat non-

Kristen untuk mematuhi ketetapan adat larangan bekerja pada hari Minggu. Jika

sudah termasuk sebagai warga masyarakat Melonguane, mau tak mau harus

menaati setiap peraturan yang ada”. Selanjutnya juga dikatakan bahwa, sistem

adat di Melonguane sangat kuat yakni menjaga harmonisasi masyarakat. Hal itu

dapat terlihat dimana jarang sekali terjadi konflik karena masyarakat memegang

adat sebagai aturan hidup bersama.92

Disampaikan pula oleh perangkat adat lainya yang berperan sebagai

Inanguwanua (wakil ketua adat). Ia mengatakan bahwa “larangan bekerja

pada hari Minggu adalah peraturan adat yang wajib dipatuhi oleh seluruh

masyarakat Melonguane tanpa terkecuali. Peraturan adat ini sudah berlaku

secara turun temurun dan harus dipertahankan secara arif. Memperhatikan

sikap masyarakat terhadap adat maka saya memberikan apresiasi pada

92

Wawancara, Samuel Maengga (Melonguane: 18 Desember 2011)

Page 28: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

masyarakat karena sampai sekarang tetap patuh pada peraturan adat ini. Jika

ada pelanggaran dari warga masyarakat maka akan dikenakan sanksi moral

berupa teguran dari kami sebagai tokoh adat, sehingga mereka menjadi malu

dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Selain itu ada pula sanksi yang

diyakini secara turun-temurun yaitu sanksi yang berasal dari Tuhan. Bagi

yang melanggar dianggap berdosa terhadap Tuhan. Sanksi ini berlaku bagi

orang Kristen maupun non-Kristen yang mendiami kota Melonguane.93

Senada dengan hal yang disampaikan oleh Inanguwanua, Ratu

Ruangan (salah seorang staf adat), menjelaskan bahwa larangan bekerja pada

hari Minggu bukanlah bentuk diskriminasi. Larangan ini dimaksudkan, selain

masyarakat perlu menjaga aturan adat yang sudah ada sejak turun-temurun, di

samping itu agar masyarakat juga memiliki waktu untuk beristirahat dari

segala aktivitas dan rutinitas selama enam hari. Hal lainya adalah untuk lebih

mengikat tali kekeluargaan dengan melakukan silaturahmi pada hari Minggu

yang adalah hari libur dari aktivitas masing-masing. Diakui memang ada

warga masyarakat yang melanggar peraturan adat larangan bekerja pada hari

Minggu, tapi setelah diberi teguran dan pengertian, yang bersangkutan

menyadari bahwa larangan tersebut tidak hanya belaku bagi dirinya melainkan

bagi seluruh warga masyarakat sebagai aturan yang wajib dipatuhi bersama.94

93

Wawancara, Edison Adam (Melonguane 18 Desember 2011) 94

Wawancara, Elisabet Lindo (Melonguane: 17 Desember 2011)

Page 29: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

2. Persepsi Tokoh Agama Kristen dan non-Kristen

Larangan bekerja pada hari Minggu sampai sekarang dipatuhi

dengan baik oleh masyarakat di Melonguane pada umumnya. Menurut

salah seorang tokoh agama Kristen di Melonguane, larangan bekerja pada

hari Minggu penting untuk terus dipertahankan. Karena mengingat setelah

enam hari bekerja, diperlukan waktu beristirahat dari segala jenis

pekerjaan. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa hari Minggu adalah

hari sabat. Di samping mengingat dan menghormati hari Tuhan, sebagai

manusia panting juga meluangkan waktu untuk beribadah dan bersekutu

dengan Tuhan.95

Seorang Pendeta yang melayani di Jemaat GERMITA (Gereja

Masehi Injili di Talaud) Sangkundiman Melonguane Timur menjelaskan

bahwa larangan bekerja pada hari Minggu berasal dari agama Kristen,

larangan ini memiliki dampak positif dalam kehidupan persekutuan jemaat

di Gereja maupun dalam ibadah-ibadah Rumah Tangga. Dengan adanya

larangan ini secara otomatis anggota jemaat berhenti sejenak dari berbagai

aktivitas dan mengkhususkan waktu mereka untuk beribadah.96

Pada saat mewawancarai salah seorang tokoh agama non Kristen

(Tokoh Agama Islam), penulis menemukan bahwa peraturan adat larangan

bekerja pada hari Minggu tidak menimbulkan masalah baginya sebagai

95

Wawancara, Andris Tasumewada (Melonguane: 15 Desember 2011) 96

Wawancara, pendeta A. F., Unas-Tampenawas (Melonguane: 19 Desember 2011)

Page 30: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

pendatang. Hal ini di sampaikan oleh Haji Kasim bahwa “saya menyadari

dalam setiap daerah memiliki peraturan adat masing-masing. Dan salah

satu peraturan adat di Melonguane ini adalah larangan bekerja pada hari

Minggu. Sebagai pendatang saya menyadari bahwa saya harus mematuhi

peraturan adat ini. Hari Minggu memang bukanlah hari beribadah bagi

kami, tapi dengan adanya larangan bekerja pada hari Minggu kami bisa

menggunakannya untuk kegiatan sosial. Mengingat lamanya saya tinggal

di tempat ini sudah sekitar 37 tahun jadi saya merasa tak keberatan dengan

adanya peraturan adat larangan bekerja pada hari Minggu. Meskipun patut

diakui dengan memperhatikan ada sebagian keberatan dari warga jemaah

yang baru mendiami Melonguane terlebih setelah pemekaran menjadi ibu

kota kabupaten. Banyak pendatang baru di Melonguane masih merasa

asing dengan larangan bekerja pada hari Minggu. Pernah juga mereka

melanggar aturan adat itu dengan tetap melakukan aktivitas perdagangan

dan transportasi (bentor/becak bermotor). Dengan kegiatan itu, mereka di

tegur oleh tokoh adat Melonguane. Namun saya percaya lama-kelamaan

mereka akan terbiasa dan menerima larangan bekerja pada hari Minggu

sebagai aturan adat untuk dipatuhi bersama”. 97

3. Persepsi Masyarakat Umum

Masyarakat Melonguane yang heterogen adalah gambaran

masyarakat yang sudah kompeks. Pada waktu penulis mengadakan

97

Wawancara, Haji Kasim (Melonguane 16 Desember 2011)

Page 31: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

penelitian, ditemukanlah berbagai komentar dari profesi masyarakat yang

berbeda-beda berkenaan dengan larangan bekerja pada hari Minggu di

Melonguane.

Seperti dituturkan oleh bapak BS yang berprofesi sebagai petani,

ia berujar bahwa larangan bekerja pada hari Minggu tidaklah terlalu

menjadi beban baginya karena setelah enam hari melakukan usaha

pertanian, perlu adanya waktu untuk beristirahat di rumah dan

bercengkramah dengan keluarga. Terlebih khusus bisa meluangkan waktu

untuk beribadah. Karena biasanya selama enam hari ia bekerja dari pagi

hingga petang dan tidak memiliki waktu luang bagi keluarga bahkan

untuk beristirahat serta melepaskan lelah dari pekerjaannya.98

Disampaikan pula oleh salah seorang masyarakat yang bekerja

sebagai nelayan.Menurutnya, “larangan bekerja pada hari Minggu

tidaklah membatasi aktivita saya, karena saya juga membutuhkan waktu

untuk beristirahat. Selain itu di hari Minggu juga biasanya saya gunakan

untuk bersilaturahmi dengan keluarga yang berada diluar kampung.99

Penulis juga mewawancarai salah seorang pedagang untuk

mengetahui persepsinya mengenai larangan bekerja pada hari Minggu.

Menurut penuturannya larangan bekerja pada hari Minggu memang

mengurangi pendapatanya dibanding hari-hari biasanya. Tapi ketika di

98

Wawancara, Benyamin Sawilan (Melonguane:17 Desember 2011) 99

Wawancara, M. Malese (Melonguane: 17 Desember 2011)

Page 32: BAB III PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/4/T2_752010018_BAB III... · Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah

pikir-pikir jika saya berjualan pada hari Minggu pasti tak ada pembelinya

karena pada hari itu di gunakan untuk beristirahat. Selain itu di hari

minggu bisa saya gunakan waktu untuk perpergian/piknik bersama

keluarga, atau sebagai kesempatan untuk bersefresing dan hal itu sangat

menyenangkan”.100

Selain beberapa orang dari berbagai bidang pekerjaan yang

berbeda yang telah diwawancarai, penulis juga melakukan wawancara

terhadap seorang pembawa kendaraan bentor (becak-bermotor), mengenai

larangan bekerja pada hari Minggu. Ia berpendapat bahwa “larangan

bekerja pada hari Minggu sedikit menghambat usahaku, karena

mengurangi pendapatan. Pernah suatu hari saya menarik penumpang pada

hari minggu, saya di tegur oleh salah seorang tokoh adat.Ia mengingatkan

bahwa hari minggu tidak boleh dilakukan berbagai aktivitas selain

beribadah. Dengan demikian saya menyadari meskipun hal itu

menimbulkan sedikit kerugian, tapi sebagai masyarakat yang mendiami

Melonguane, mau tak mau saya harus mematuhi peraturan yang berlaku

dalam masyarakat tersebut”.101

100

Wawancara, M. Tasumewada (16 Desember 2011) 101

Wawancara, W. Aloo’a (Melonguane: 16 Desember 2011)