bab iii pendekatan larangan bekerja dalam...
TRANSCRIPT
BAB III
PENDEKATAN LARANGAN BEKERJA DALAM LINGKUP SOSIAL
ORANG MELONGUANE
Dalam Bab III ini akan dipaparkan mengenai gambaran umum kota
Melonguane. Dan pada bagian selanjutnya dipaparkan mengenai eksistensi larangan
bekerja pada hari Minggu dalam masyarakat Melonguane. Didalamnya terdapat
sejarah kemudian bagaimana penerapan dan dampak dari larangan bekerja pada hari
minggu serta bagaimana persepsi tokoh agama, tokoh adat maupun masyarakat
mengenai larangan bekerja pada hari minggu dalam masyarakat Melonguane.
A. Profil Kota Melonguane
1. Kondisi Geografis
Kota Melonguane61
yang terdiri dari Kelurahan Melonguane Barat,
Kelurahan Melonguane dan Kelurahan Melonguane Timur merupakan sebuah
kota di kepulauan Talaud, Propinsi Sulawesi Utara. Kepulauan Talaud, sebelum
pemekaran merupakan bagian dari Kabupaten Sangihe – Talaud. Namun pada
tahun 2002, kepulauan ini memisahkan diri untuk membentuk wilayah
61
Berdasarkan etimologi kata Melonguane beasal dari bahasa Talaut yang terdiri dua kata
yaitu “Melong” dan “Ane”. “Melong” (maelo) artinya Biru dan “ane” (anne) artinya pasir. Jadi
Melonguane adalah pasir Biru.Kota Melonguane, dahulu adalah sebuah desa pesisir kecil. Setelah
menjadi Ibukota Kabupaten Kepulauan Talaud, desa ini bergerak berubah menjadi pusat
pemerintahan dan menjadi kota bisnis bahkan di kota ini juga dipusatkan jalur transportasi baik udara
maupun laut. Wawancara Ketua Adat, Samuel Maengga (Melonguane, 18 Desember 2011)
administrasi baru menjadi Kabupaten Kepulauan Talaud, yang beribukota di
Melonguane. Daerah ini merupakan daerah bahari dengan luas lautnya sekitar
37.800 Km² (95,24%) dan luas wilayah daratan 1.251,02 Km². Terdapat tiga
pulau utama di Kabupaten Kepulauan Talaud, yaitu Pulau Karakelang, Pulau
Salibabu, dan Pulau Kabaruan. Selain itu terdapat juga pulau-pulau kecil
disekitarnya temasuk pulau Miangas yang berbatasan dengan sudut tenggara
negara Filifina serta negara – negara kecil di samudera pasific. Diantara pulau
yang ada, pulau Karakelang adalah pulau yang memiliki luas wilayah terbesar
dari gugusan pulau-pulau yang ada di Kepulauan Talaud, luasnya lebih dari 1000
km2.62
Kabupaten kepulauan Talaud merupakan bagian integaral dari Provinsi
Sulawesi Utara dan merupakan kabupaten pemekaran dari kabupaten kepulauan
Sangihe yang terdiri dari 19 Kecamatan yakni:63
1. Kecamatan Kabaruan
2. Kecamatan Damau
3. Kecamatan Salibabu
4. Kecamatan Lirung
5. Kecamatan Moronge
6. Kecamatan Melonguane
7. Kecamatan Melonguane Timur
62
D. Brilman, Kabar Baik Di Bibir Pasifik, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan 2000), hal. 14-15 63
Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Talaud, Melonguane Dalam Angka 2011,
(Melonguane: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Talaud, 2011), 3
8. Kecamatan Beo
9. Kecamatan Beo Selatan
10. Kecamatan Beo Utara
11. Kecamatan Rainis
12. Kecamatan Pulutan
13. Kecamatan Tampanama
14. Kecamatan Nanusa
15. Kecamatan Essang
16. Kecamatan Essang Selatan
17. Kecamatan Gemeh
18. Kecamatan Karatung
19. Kecamatan Miangas
Dari 19 kecamatan di kepulauan Talaud, Melonguane merupakan Ibu
Kotanya. Kecamatan Melonguane terdiri dari 13 Desa dimana 3 Desa berstatus
sebagai Kelurahan dan 10 Desa berstatus Desa. Sebagaian Besar Desa di
Kecamatan Melonguane berbatasan langsung dengan laut. Terdapat dua alternatif
transportasi yang rutin melayani jasa transportasi dari ibu kota propinsi menuju
Kepulauan Talaud yaitu, pertama menggunakan kapal laut dari Pelabuhan
Manado, yang ditempuh sekitar 10 jam perjalanan laut, bersandar di pelabuhan
Melonguane atau di pelabuhan Beo. Yang kedua adalah menggunakan pesawat
terbang, dari bandara Sam Ratulangi Manado menggunakan pesawat yang
ditempuh hanya sekitar 45 menit, mendarat di bandara Melonguane.
a) Kota Melonguane berbatasan langsung dengan :64
Sebelah Utara : Kec. Beo Selatan
Sebelah Timur : Kec. Melonguane Timur
Sebelah Selatan : Selat Lirung
Sebelah Barat : Selat Lirung
b) Jarak dari Kota Melonguane ke Ibukota Propinsi : 280 km
2. Kondisi Demografi
Berdasarkan data statistik pada tahun 2010, jumlah penduduk di
Kecamatan Melonguane Mencapai10.058 Jiwa dengan kepadatan penduduk
sebesar 1.423,23 Jiwa/Km2. Jumlah ini mencapai kenaikan 10%
dibandingkan tahun 2009 yang mencapai jumlah penduduk sebesar 9.749 Jiwa
dengan kepadatan penduduk sebesar 79,34 Jiwa/Km2 Kenaikan ini
disebabkan karena bertambahnya penduduk dari luar Kecamatan Melonguane
yang ingin menetap di Kecamatan Melonguane.65
Kelurahan/Desa yang memiliki jumlah penduduk tertinggi adalah
Kelurahan Melonguane Barat dengan jumlah penduduk mencapai 2.052 Jiwa
dengan Kepadatan Penduduk 509,18 Jiwa/Km2 Jumlah ini mencapai kenaikan
sebesar 5% dibandingkan tahun 2009 yang mencapai jumlah penduduk
sebesar 1993 Jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 464,57 Jiwa/Km2.
Jumlah penduduk laki-laki di Kecamatan Melonguane lebih besar di
bandingkan jumlah penduduk perempuan, hal ini dapat dilihat pada tabel sex
64
Ibid., 4 65
Ibid., 13
rasio penduduk. Sebagian besar mata pencaharian penduduk Kecamatan
melonguane adalah Petani dengan jumlah petani 1054 Jiwa. Untuk lebih jelas
lihatlah table berikut:
Tabel 1 : Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Di Kota Melonguane
2010.66
Kelurahan Penduduk Jumlah
Laki-laki Perempuan
Melonguane 667 580 1.247
Melonguane
Timur
987 981 1.965
Melonguane
Barat
1.101 951 2.052
Jumlah 2.755 2.512 5264
Sumber: Kepala Kelurahan Melonguane, Melonguane Barat,
Melonguane Timur.
66
Ibid., 15
Tabel 2 : Banyaknya Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Di Kota Melonguane
201067
Kelurahan Petani Pedagang Nelayan PNS Pegawai
Swasta
ABRI Lainnya
Melonguane 801 511 117 116 233 162 852
Melonguane
Timur
163 44 55 176 25 35 30
Melonguane
Barat
90 15 20 272 15 27 31
Jumlah 1054 570 192 564 273 198 913
Sumber: Kepala Kelurahan Melonguane, Melonguane Barat,
Melonguane Timur.
Pertanian merupakan mata pencaharian pokok dari sebagian besar
masyarakat Melonguane. Hal ini disebabkan oleh banyaknya sumber
pertanian yang tersedia. Sumber pertanian yang paling dominan ditempat ini
adalah pala, kelapa dan cengkih. Mata pencaharian kedua yang paling
dominan adalah pedagang. Banyaknya pedagang disebabkan karena
meningkatnya jumlah penduduk yang berakibat pada meningkatnya
permintaan barang untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Pedagang
67
Ibid., 22
yang hadir di Melonguane berasal dari berbagai tempat dengan latar belakang
agama dan kebudayaan yang berbeda. Kehadiran para pedagang ini membantu
pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat.
Pekerjaan berikutnya yang domina adalah PNS. Sebagai ibu kota
kabupaten dengan Melonguane sebagai pusat pemerintahan membuka banyak
peluang bagi masyarakat untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Hal ini membuat ketertarikan masyarakat untuk datang ke kota Melonguane
dan mengikuti pengangkatan sebagai PNS. Pekerjaan lainnya setelah PNS
adalah pegawai swasta, Abri dan Nelayan.
Tabel : 3. Banyaknya Penduduk Menurut Agama dan Kepercayaan
Di Kota Melonguane
2010.68
68
Ibid.,
Kelurahan Kristen
Protestan
Kristen
Katolik
Islam Hindu Budha
Melonguane 1.133 43 71 0 0
Melonguane
Timur
1.779 30 169 0 0
Melonguane
Barat
1.627 102 23 3 4
Jumlah 4.539 175 263 3 4
Sumber: Kepala Kelurahan Melonguane, Melonguane Timur dan
Melonguane Barat,
Tabel 4: Banyaknya Tempat Ibadah
Di Kota Melonguane69
Kelurahan Gereja Mesjid Mushalla Pura Vihara
Melonguane 10 1 1 0 0
Melonguane
Timur
2 0 0 0 0
Melonguane
Barat
4 0 0 0 0
Jika dilihat dari data statistik di atas maka pemeluk agama kristen
menempati urutan tertinggi dalam jumlah. Demikian pun dengan banyaknya
bangunan tempat ibadah. Fakta ini membuktikan bahwa presentasi agama
Kristen menempati posisi tertinggi. Hal ini tentunya berhubungan dengan
sejarah masuknya kekristenan di tempat ini. Kekristenan masuk di tempat ini
sekitar tahun 1861 dibawa oleh para zendeling-tukang yang sebelumnya
mengunjungi pulau-pulau di Sangihe. Para zendeling ini berusaha untuk
membenahi jemaat. Mereka ingin supaya seluruh anggota memiliki kesalehan
hati dan kesucian hidup. Secara negatif mereka memberantas kepercayaan
takhyul, kebiasaan minum-minuman keras dan perkawinan poligami yang
banyak terdapat dikalangan orang Kristen. Secara positif, mereka secepat
mungkin mulai menggunakan bahasa daerah sebagai ganti bahasa Melayu.
69
Ibid., 46-47
Bahkan jumlah kebaktian diperbanyak, terlebih pada hari Minggu. Paginya
dilaksanakan persekutuan ibadah, dilanjutkan dengan katekisasi dan sekolah
Minggu.70
Dari fakta sejarah masuknya kekristenan yang telah diuraikan diatas,
maka dari sinilah cikal bakal munculnya larangan bekerja pada hari minggu.
3. Sejarah Kota Melonguane71
Awalnya kota Melonguane adalah sebuah desa. Desa Melonguane
merupakan Desa yang baru dibuka oleh orang yang baru berdiam dipenghujung
“Arangaca” mereka membuka tempat yang bernama Sobouane atau Melonguane
yang letaknya sangat strategis memanjang disepanjang pantai Melonguane. Pada
masa bangsa Belanda berkuasa di Negara Republik Indonesia, dikenal dengan
istilah pemerintahan Presidentil dan Petshoder. Sekitar tahun 1875 diadakanlah
perkunjungan ke desa-desa di wilayah Pemerintahan Lirung. Salah satu desa yang
dikunjungi adalah tempat pemukiman beberapa keluarga di Arangaca, pada waktu
itu dipimpin oleh seorang kepala desa Atasen Maengga. Rombongan tersebut
menumpang sebuah perahu dan saat itu cuaca tidak bersahabat, sehingga perahu
yang ditumpangi terbalik karena terpaan ombak. Akibat dari keadaan pelabuhan
yang sewaktu-waktu tidak bersahabat itu petshoder dan presidenti menganjurkan
kepada kepala desa untuk pindah ke lokasi yang lebih aman, yang pelabuhannya
baik.
70
Th. Van den End, Ragi Carita 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 136-137 71
Wawancara Ketua Adat, Samuel Maengga, 18 Desember 2012.
Kepala desa Arangaca Atasen Maengga waktu itu bertitik tolak pada
anjuran dan saran dari presidentil dan petshoder yang terus berkunjung pada
waktu itu terus mengumpulkan kepala keluarga yang dipimpinnya untuk
bermusyawarah mengambil titik mufakat memindahkan desa Arangaca ke salah
satu lokasi yang aman, yang pelabuhannya baik. Mufakat bersama hasil
pemikiran disatukan untuk membuka tempat menjadi lokasi yang baru pada bulan
Oktober tahun 1876. Tempat yang dimufakati adalah Sobouane (Lobo).
Kemudian diganti dengan nama Melonguane.72
Suatu tempat yang baik, rata, tak
ada sungai dan tak ada gunung, pasirnya putih dan merupakan suatu teluk yang
diapit oleh kedua tanjung Dapapaca/Batupalili dan disebelah utara tanjung
Dalungulahu Inapongere.
Pada Tahun 1876 Bulan Oktober Kepala desa arangaca “Atasen Maengga”
memimpin dua puluh dua kepala Keluarga di Arangaca membuka Melonguane
sebagai lokasi baru dan pada bulan Maret tahun 1877 mereka pindah ke
Melonguane sebagai tempat pemukiman baru disitu mereka hidup rukun dan
damai.
Sementara itu pula ada tempat pemukiman lain bernama desa Bolang
Alelo yang dipimpin oleh seotang kepala desa bernama Mores Essing. Atas
penilaian dan penglihatan Jogugu, bahwa kesehatan kepala desa Bolang Alelo
72
Menurut kepala adat desa Melonguane bahwa Melonguane terbagi dari dua kata yaitu “Melong” dan “Ane”.Melong artinya pasir putih dan Ane artinya pantai Dalam artian, Melonguane adalah pantai yang pasirnya putih dan halus; Wawancara dengan kepala adat Melonguane, M. Aengga. tanggal 5 Januari 2012
semakin tidak mengizinkan untuk memegang tampuk pemerintahan, maka Jogugu
Matanusa mengangkat Kristian Madopo Sawutu untuk menerima tugas mewakili
Mores Essing. Atas mupakat bersama berdasarkan pemerintah Jogugu, supaya
desa Bolang Alelo bergabung dengan desa baru di Melonguane. Pada tanggal 1
April tahun 1902 Madopo Sawutu membawa masyarakat desa Bolang Alelo di
Melonguane, sebagai satu desa yang makmur, atas pimpinan kepala desanya
Atasen Maengga dan Kristian Madopo Sawutu sebagai wakilnya. Jadi Desa
Melonguane adalah gabungan dari penduduk yang ada di tempat pemukiman
Desa Arangaca dan pemukiman Desa Bolang Alelo.
Seiring berjalannya waktu, desa Melonguane yang dahulunya hanya di
tempati beberapa keluarga telah berkembang hingga pada tahun 2006 pemerintah
di Talaud berinisiatif untuk membagi desa Melonguane menjadi tiga kelurahan
yaitu kelurahan Melonguane Barat, kelurahan Melonguane Tengah dan kelurahan
Melonguane Timur.
4. Sejarah Masuknya Agama di Talaud
Sejak tahun 1550 kebudayaan Islam telah dijumpai digugusan kepulauan
ini. Menurut Scheneke, kehadiran agama dan kebudayaan Islam melalui dua
jurusan: yang pertama, dari utara yaitu Mindanao, merupakan lanjutan dari
Malaka, Sumatra, Brunai, ke pulau Talaud dan Sangihe. Dan yang kedua dari arah
Ternate sebagai lanjutan dari Jawa, Ambon, Bacan, Tidore, Ternate dan Sangihe
besar (kira-kira tahun 1540).73
73
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat-Istiadat Daerah Sulawesi Utara, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1983), 176
Beberapa tahun sesudah masuknya agama Islam masuk pula agama
Kristen. Hal ini ditandai dengan dampak pengaruhnya pada zaman VOC. Dimana,
mulai tahun 1670-an, agama Kristen ini lebih banyak dijalankan dengan
menggunakan bahasa setempat (bahasa daerah). Dengan demikian masuknya
agama Kristen di kepulauan Talaud tidak dapat dilepaskan dari kedatangan
bangsa Portugis dan Belanda di daerah tersebut.74
5. Sistem Kepercayaan
Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen di kepulauan Sangihe dan
Talaud, bahkan sampai sekarang masih ada yang mempercayai adanya anggapan
bahwa ada satu dunia yang berada di „luar‟ dan di „atas‟ dunia yang ada dan
didiami sekarang, „dunia gaib‟ “(superanatural). Dunia gaib ini merupakan
tempat-tempat dewa bermukin. Dan satu-satunya dewa (duata atau ruata)75
yang
mendiami dunia gaib itu ialah Chenggonalangi, merupaan dewa tertinggi (high
god), mahakusa, pencipta, dan berkuasa atas semua dewa yang ada.
Ghenggonalangi adalah Duatangsalulung, (Dewa alam semesta).76
Selain Chenggonalangi, ada juga dewa-dewa tertentu dan menguasai
lapangan-lapangan hidup, seperti duata langitta (dewa langit), duata
mbinangunanna (dewa alam), mawendo (dewa laut), aditinggi (dewa gunung api
Siau) datu ngkasuang (raja orang mati) dan sebagainya. Dewa-dewa ini dulunya
74
Ibid 75
Duata menurut Brilman, berasal dari kata Dewata (sansekerta). Kata ini sekarang tidak berarti lagi dewa (bagi orang Sangihe dan talaud), karena oleh para Zending dan Missi dipakai sebagai terjemahan dari kata “Allah”. D. Brilman, De Zending Op de Sangir en Talaud eilanden, 1938, 10.
76 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat-Istiadat Daerah Sulawesi Utara (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1983), 198
dipuja melalui upacara-upacara tertentu. Sekarang hampir tidak ada lagi upacara-
upacara pemujaan dilakukan. Orang-orang Sangihe dan Talaud juga mempercayai
adanya makhluk-makhluk halus yang berdiam dimana-mana, misalnya di gunung-
gunung, di sungai, di batu-batu besar, di tanjung-tanjung, di pohon, di teluk dan
tempat-tempat lainnya. Makhluk ini mempunyai kuasa tertentu dan sering
mengganggu manusia. Selain itu ada juga makhluk-makhluk halus yang
merupakan penjelmaan atau jiwa-jiwa nenek moyang yang telah meninggal dari
makhluk tersebut sering dibutuhkan pertolongan. 77
Makhluk-makhluk halus atau jin-jin yang dipercayai antara lain
disebutkan jin kabanasa, yang asalnya dari pohon enau, pehang (jin sungai),
menangkaru (jin dari dalam tanah) dan banyak ragam makhluk lainnya. Ada juga
anggapan bahwa setiap benda tertentu, apakah terujud pada benda-benda tertentu,
apakah itu terujud pada benda-benda alamiah seperti batu, pohon, akar-akaran
tertentu, atau juga benda-benda hasil ciptaan manusia dan dimiliki oleh nenek
moyang, seperti keris, pedang, gelang, baju dan lain-lain; maupun anggota badan
manusia seperti rambut, kuku, kotoran telinga dan sebagainya, mempunyai
kekuatan-kekuatan gaib. Benda-benda dan anggota-anggota badan ini sampai
sekarang masih dipercayai sebagai „sesuatu yang bermakna‟ dalam hidup.Bahkan
banyak yang digunakan dalam pengobatan tradisionil.
Kepercayaan akan adanya orang sakti, atau benda-benda sakti pun banyak
ditemukan dan berhubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada. Meskipun
demikian kepercayaan-kepercayaan diatas hingga kini semakin hilang, dan
77
Ibid
digantikan dengan kepercayaan/keyakinan sesuai ajaran agama yang dianut
(Kristen, Islam dan Katolik).78
6. Sistem Kesatuan hidup dan Kekerabatan Komunitas Melonguane
(Talaud)
“Wanua” atau kampung (desa) merupakan kesatuan hidup yang terkecil
yang ada di kepulauan Talaud. Setiap wanua atau kampung (desa) dikepalai oleh
seorang yang memegang pemerintahan dan disebut kepala kampung atau Opolao,
atau juga yang dinamakan Kapiten Laut. Opolao atau Kapiten Laut, dibantu oleh
beberapa Juru tulis dan meweteng. Sedangkan di bidang adat terdapat satu dewan
yang dikepalai oleh Ratumbanua (sebagai ketua adat). Inangu Wanua (sebagai
wakil ketua adat), dan Timadu Ruangana (sebagai ketua ruanganna).79
Keluarga batih (nucleat family), merupakan satuan inti dalam kekerabatan
yang terdapat pada lingkungan sosial orang Sangihe dan Talaud. Setiap keluarga
batih ini menempati rumahnya masing-masing. Dengan beberapa kekecualian
adanya beberapa keluarga batih senior dan kelurga batih junior sering merupakan
satu rumah tangga. Hubungan-hubungan yang terjadi dalam keluarga batih,
tidaklah terbatas pada usia semasa anak-anak, akan tetapi tetap berlaku apabila
yang bersangkutan telah menginjak usia dewasa (secara biologis maupun secara
sosial).80
Beberapa keluarga batih, bergabung dan membentuk satu kelompok
kekerabatan yang dalam bahasa Talaud disebut ruanganna. Setiap keluarga batih
78 Ibid., 199
79Ibid., 213
80 Soerjono Soekanto, Hukum Adat INDONESIA(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), 44
yang bergabung ini tidak asal saja membentuk satu kelompok, tetapi hubungan
kekerabatan dalam kelompok ini diperhitungkan atau dikembalikan kepada nenek
moyang tertentu sebagai pangkal perhitungan.
Dalam satu desa sering terdiri lebih dari satu kelompok kekerabatan
(ruanganna), dan juga ada keanggotaan satu kelompok kekerabatan ini meliputi
satu desa. Ruangan ini merupakan suatu kelompok kekerabatan yang berkorporasi
(corpotat kingroups) pada beberapa puluh tahun yang lalu mempunyai fungsi
antara lain:81
a. Memegang hak atas tanah milik komunal
b. Mengatur perkawinan dengan adat exogami,
c. Sebagai kesatuan yang menjalankan aktivitas kerjasama pangan kehidupan,
dan
d. Merupakan suatu kesatuan hidup setempat
Di Melonguane sistem adat masih sangat kuat dalam mengatur
harmonisasi warga masyarakat. Sistem adat yang masih berlaku ini berfungsi
untuk mengikat warga masyarakat dalam kekerabatan yang kuat. Terdapat 7
kelompok kekerabatan (ruanganna) dalam masyarakat Melonguane. Yakni:82
1. Ruanganna Maengga
2. Ruanganna Mansa
3. Ruanganna Masarahe
4. Ruanganna Sawedulung
81
Ibid., 214 82
Wawancara, Samuel Maengga (Wawancara: 18 Desember 2011)
5. Ruanganna Essing
6. Ruanganna Timpua
7. Ruanganna Untulangi
Struktur Adat
Ratumbanua Inanguwanua
1. Ruanganna Maengga
2. Ruanganna Mansa
3. Ruanganna Masarahe
4. Ruanganna Sawedulung
5. Ruanganna Essing
6. Ruanganna Timpua
7. Ruanganna Untulangi
Dari segi historisnya, tujuh kekerabatan ini dibentuk sejak pertama kali
Melonguane berdiri oleh inisiatif tujuh keluarga besar yang ada pada waktu itu.
Tujuan dibentuknya adalah untuk mempererat kekerabatan diantara tujuh rumpun
keluarga besar tersebut. Misalnya dalam persekutuan ibadah dan kegiatan-
kegiatan sosial seperti kegiatan pertanian, membantu orang sakit, membantu
aggota ruanganna dalam pembangunan rumah bahkan membantu keluarga jika
salah seorang dari anggota keluarganya mau melangsungkan acara pernikahan.
Dalam melakukan kegiatan pertanian setiap anggota yang terkait sebagai
ikatan kekerabatan (ruanganna) bekerjasama (gotong royong) misalnya ketika
dilakukan kegiatan bercocok tanam. Seluruh kegiatan ini diawali dengan satu
upacara “malintuku harela”, atau upacara mengeluarkan/menurunkan semua alat
yang diapakai dalam kegiatan bercocok tanam dari rumah.
Tujuh sistem kekerabatan (ruanganna) di kota Melonguane, sampai saat
ini masih tetap ada. Hal itu terwujud dengan adanya persekutuan ibadah-ibadah
dari ketujuh ruanganna yang disebut sebagai „ibadah ruanganna’. Ibadah ini
dilakukan sekali dalam seminggu, juga diadakan ibadah syukur tahun ruanganna,
yang diadakan untuk memasuki tahun baru. Sebagai ungkapan syukur terhadap
Tuhan atas penyertaan-Nya dalam setahun yang lampau. Dalam persekutuan ini,
yang hadir bukan hanya anggota dari satu kerukunan saja, melainkan anggota
rukun yang lain. Dengan demikian kerukunan ini dibentuk juga untuk
mempererat kekerabatan, bukan hanya dengan setiap anggota rukun melainkan
juga dengan anggota rukun lainnya.
7. Bahasa
Bahasa sehari-hari penduduk yang mendiami kepulauan Talaud adalah
bahasa daerah setempat, yakni bahasa Talaud. Bahasa Talaud termasuk pada
rumpun bahasa Austronesia atau Melayu Polinesia yang tergolong dalam bahasa-
bahasa Philipina. Dalam hal pemakaian bahasa sebagai alat komunikasi, terdiri
atas bahasa umum, yang digunakan dalam pergaulan hidup sehari-hari diantara
sesama teman; bahasa halus (bahasa sastra) yang biasanya digunakan pada
upacara tertentu.
8. Aktivitas Orang Melonguane pada Hari Minggu
Sejak kota Melonguane ditetapkan sebagai ibu kota Kabupaten
Kepulauan Talaud, kota Melonguane bergerak berubah menjadi pusat
pemerintahan dan menjadi kota bisnis. Bahkan di kota ini juga dipusatkan jalur
transportasi baik udara maupun laut. Penduduk Melonguane pada awalnya adalah
kelompok sosial homogen yang dalam perkembangannya menjadi sebuah
komunitas kota yang heterogen. Disebut demikian karena sejak proses pemekaran
menjadi ibukota Kabupaten Talaud, Melonguane didatangi banyak pendatang,
yang berasal dari berbagai tempat. Hal ini menyebabkan terjadinya keberagaman
dalam masyarakat.
Sebagai pusat pemerintahan, ketersediaan peluang kerja dalam bidang
tersebut relatif besar. Adanya peluang ini menyebabkan banyaknya pendatang
yang mendiami kota Melonguane. Para pendatang tersebut berasal dari berbagai
tempat diluar Kabupaten Talaud untuk bekerja antara lain sebagai guru, perawat,
polisi, tentara dan Pegawai Negeri Sipil di berbagai kantor. Bagi pegawai kantor
rutinitas pekerjaan yang mereka jalani dimulai dari hari Senin sampai Jumat,
sementara Sabtu dan Minggu tidak merupakan hari kerja. Sedangkan bagi para
guru mulai dari TK sampai SMA/SMK menjalani kegiatan rutin mulai dari hari
Senin sampai Sabtu, hari Minggu adalah hari libur.
Selain sebagai pusat pemerintahan, kota Melonguane juga merupakan
pusat bisnis. Karena itu di kota ini terdapat sebuah pasar yang menjual berbagai
kebutuhan masyarakat dan beroperasi setiap hari. Terdapat perbedaan aktivitas
pasar di antara hari Senin-Sabtu dan di hari Minggu. Dari hari senin sampai sabtu,
pasar ini beroprasi dari pukul 04.00 sampai 22.00 WITA, sedangkan di hari
Minggu pasar dan pertokoan hanya beroprasi dari pukul 04.00 wita -06.00 WITA
dan dari pukul 18.00 sampai 22.00 WITA. Pada hari Minggu terlihat ada jenjang
waktu antara pukul 06-00 pagi sampai 18.00 sore. Di antara jenjang waktu
tersebut tidak diperbolehkan melakukan aktivitas pasar berdasarkan surat
ketetapan peraturan adat larangan bekerja pada hari Minggu.
B. KASUS LARANGAN BEKERJA DALAM LINGKUP SOSIAL
MELONGUANE
1. Sejarah Munculnya Kasus Larangan Bekerja pada Hari Minggu
Ketika ditelusuri asal-usul munculnya larangan bekerja pada hari
Minggu dalam lingkup sosial Melonguane, maka ditemukanlah hal-hal yang
melatarbelakangi pemberlakuan larangan tersebut sampai sekarang. Menurut
salah seorang warga setempat yang diwawancarai diperoleh keterangan,
bahwa larangan ini sebenarnya sudah ada sejak lama dan berlaku dalam
kehidupan komunitas asli Melonguane. Kendatipun larangan tersebut sudah
diterapkan namun tidak dapat dikatakan secara pasti sejak kapan (tanggal,
bulan dan tahun). Namun larangan ini sudah ada sejak dahulu dan
diberlakukan sebagai sebuah tradisi secara turun-temurun dalam komunitas
adat Melonguane.83
Menurut ketua adat Melonguane, kebiasaan tradisional tersebut
dipengaruhi oleh agama Kristen, ketika kekristenan masuk di tempat ini.
Setelah penduduk asli di tempat ini masuk agama Kristen dan kegiatan
beribadah pada hari Minggu aktif dilaksanakan, mulailah masyarakat
memberlakukan hari Minggu sebagai hari istirahat dari segala aktivitas.
Kebiasaan ini berlangsung terus-menerus hingga akhirnya ditetapkanlah hari
Minggu sebagai hari yang sakral dan tidak boleh dicemari dengan kegiatan-
kegiatan duniawi. Sejak itulah larangan bekerja pada hari Minggu menjadi
ikatan moral masyarakat yang harus dipatuhi dan wajib dilaksanakan oleh
masyarakat Melonguane.84
Ketentuan ini diberlakukan tidak hanya untuk satu agama saja,
melainkan bagi seluruh penduduk yang mendiami kota Melonguane. Sebab
diberlakukannya larangan ini sudah sejak lama diakui penduduk setempat.
Dari generasi ke generasi tradisi ini di sosialisasikan secara komunal melalui
pertemuan keluarga, pertemuan adat dan pertemuan kampong. Bahkan dalam
acara-acara adat maupun resmi. Secara tradisional larangan ini dalam
sejarahnya bisa disosialisasikan kepada masing-masing penganut agama
83
Wawacara, N. Kasumbala (Melonguane: 18 Desember 2011) 84
Wawancara, Samuel Maengga (Melonguane, 18 Desember 2011)
Kristen Protestan, Kristen Katolik, Islam, Hindu dan Budha oleh ketua adat
setempat dalam acara pernikahan, syukuran yang melibatkan ketua adat.
Larangan bekerja pada hari Minggu sudah menjadi sebuah
kesepakatan dalam masyarakat Melonguane. Kesepakatan yang
dilatarbelakangi oleh kekristenan inilah sampai sekarang menjadi ikatan moral
bersama. Penerapan Kesepakatan ini yang tidak hanya mengikat satu
golongan atau penganut satu agama saja, melainkan kesepakatan untuk untuk
semua penduduk Melonguane. Jadi, dalam realitas orang Melonguane,
larangan bekerja ini menjadi sebuah aturan adat yang tidak bisa berubah
dalam waktu singkat. Karena telah menjadi kebiasaan turun temurun. Namun
tidak menutup kemungkinan, bahwa suatu saat peraturan adat ini akan
berubah seiring berkembangnya kehidupan masyarakat setempat, mengingat
ketentuan yang tercantum dalam UUD 1945 yang terkait dengan dasar
kebebasan beragama sebagai warga negara Indonesia.
2. Penetapan Kesepakatan Larangan bekerja pada hari Minggu sebagai
Peraturan Adat
Sejak kekristenan masuk di Talaud khususnya di Melonguane pada
tahun 1670-an, setiap tatanan dalam lingkup kehidupan sosial mengalami
perubahan dan mempengaruhi tatanan hukum adat setempat. Kekristenan
ternyata mempu mempengaruhi citra hukum adat dalam penduduk
Melonguane. Masyarakat Melonguane yang sudah memeluk agama
Kristen melakukan penerapan asas-asas hukum-kristen dalam kehidupan
mereka sehari-hari hari, sebagaimana tercantum dalam Alkitab.
Hukum Kristen yang diberlakukan salah satunya mengenai
larangan bekerja pada hari Minggu. Larangan ini ditetapkan untuk
menghormati hari Tuhan. Dimana hari Minggu dipisahkan dari hari-hari
lainnya dan dianggap sebagai hari yang sakral. Ketika ada yang
melanggarnya diyakini akan mendapat sanksi dari Tuhan yaitu berdosa
terhadap Tuhan.
Dalam lingkup masyarakat homogen, larangan ini ditetapkan
tujuannya adalah agar tercipta sebuah keharmonisan dengan memberikan
waktu atau meluangkan waktu sehari dalam seminggu untuk bersekutu
dengan Tuhan. Larangan bekerja pada hari Minggu, karena diberlakukan
terus menerus pada akhirnya menjadi kebiasaan dan ditetapkanlah sebagai
peraturan adat dalam masyarakat.
Sejak masyarakat homogen berubah menjadi heterogen, larangan
ini terus diberlakukan. Hingga adanya surat kesepakatan untuk
mempertahankan pemberlakuan peraturan adat ini. Penetapan peraturan
adat larangan bekerja pada hari Minggu tidak hanya dibuat oleh ketua adat
sendiri tetapi melibatkan unsur pemerintah daerah, Kakandep Agama,
Dewan Adat dan Pihak GERMITA serta Tokoh Masyarakat atau Tokoh
Adat di Melonguane. Pada hari/tanggal : Jumat, 27 April 2007, bertempat
pada ruangan rapat kantor bupati Kabupaten Kepulauan Talaud
ditetapkanlah sebuah kesepakatan dalam Rapat Lembaga Adat
Melonguane dengan hasil keputusan sebagai berikut:
1. Hari Minggu dikhususkan orang Talaud telah turun-temurun
sangat dipatuhi untuk tidak melakukan program kegiatan usaha
pertanian, perikanan, perdagangan dan program kegiatan
pembangunan lainnya, kecuali ibadah, penanganan bencana alam
dan bencana sosial.
2. Maka khusus kegiatan perdagangan pasar dihari Minggu hanya
boleh berlaku pada jam 03.00s/d 06.00 wita. Dan dibuka kembali
jam 18.00 wita.85
Setelah ditetapkan surat kesepakatan dalam Rapat Lembaga Adat
Melonguane, maka hal ini merupakan babak baru dalam sejarah larangan
bekerja pada hari Minggu dalam masyarakat Melonguane ditetapkan
secara tertulis. Surat kesepakatan ini diterbitkan dan disosialisasikan
dalam institusi-institusi pemerintah, adat, dan kepada seluruh elemen
masyarakat sebagai dasar bersama untuk mematuhi larangan bekerja pada
hari Minggu yang sudah secara turun temurun diberlakukan.
85
Surat Kesepakatan Rapat Lembaga Adat Melonguane dengan Unsur Pemerintah Daerah,
Kakandep Agama, dengan Adat dan GERMITA serta Tokoh Masyarakat / Tokoh Adat di Melonguane.
(Melonguane, 27 April 2007).
3. Penerapan dan Dampak dari Larangan bekerja pada Hari Minggu
dalam Komunitas Melonguane.
Menurut penuturan dari beberapa narasumber, larangan bekerja
pada hari Minggu memiliki keterkaitan dengan pengudusan hari sabat.
Berdasarkan perintah Tuhan untuk menguduskan hari sabat maka hari
Minggu dilarang untuk bekerja. Menurut mereka larangan ini sudah
dilakukan sejak lama, dan harus dipertahankan.86
Sejak dahulu masyarakat Melonguane yang sebagian besar bermata
pencaharian sebagai petani pergi ke kebun dan tinggal selama beberapa
hari. Mereka membuat gubuk kemudian menetap disana. Menurut bapak
BS yang diwawancarai, selama enam hari terhitung mulai senin sampai
sabtu mereka tinggal di sebuah gubuk sambil bertani sedangkan pada hari
sabtu sore mereka turun ke kampung mempersiapkan segala sesuatu untuk
beribadah pada hari Minggu.87
Menurut seorang pedagang beragama Islam, larangan bekerja pada
hari Minggu merupakan peraturan adat yang harus dipatuhi, tapi ia juga
menyadari dampak dari larangan ini adalah kerugian dari mata
pencahariannya. Karena dihari tersebut ia tak dapat berdagang seperti
hari-hari biasanya. Waktunya untuk berdagang sangat terbatas yakni
dimulai jam 18.00 (jam 6 sore). Jadi dengan adanya larangan bekerja pada
hari Minggu membatasi aktivitas perekonomian dan menyebabkan
86
Wawancara, A. Tasumewada, S. Maengga, A. Maengga (Melonguane: 18 Desember 2011) 87
Wawancara, B. Sawilan ( Melonguane: 17 Desember 2011)
omsetnya berkurang tak seperti hari-hari biasanya.88
Salah seorang
pedagang beragama Kristen juga memiliki pandangan yang sama.89
Berbeda dengan seorang pedagang beragama Kristen lainnya,
ketika diwawancara. Menurutnya larangan bekerja pada hari Minggu
memiliki dampak positif karena meskipun omsetnya tak seperti hari
biasanya, namun pada hari itu ia bisa pergunakan untuk berkumpul
bersama keluarganya. Jadi ia tidak keberatan dengan larangan tersebut.90
Hal yang sama juga diutarakan oleh seorang yang bermata pencaharian
sebagai petani. Ia tak keberatan dengan mematuhi peraturan adat larangan
bekerja pada hari Minggu. Menurutnya hari Minggu adalah hari Tuhan
dan dikuduskan, jadi tidak ada salahnya untuk beristirahat pada hari
tersebut.91
Sebagai ibu kota kabupaten, tentunya banyak dikunjungi para
pendatang dari berbagai daerah, yang membuat masyarakat menjadi
heterogen. Di tengah-tengah masyarakat heterogen peraturan adat yang
seharusnya diberlakukan dalam masyarakat homogen, masih terus
diberlakukan dalam masyarakat heterogen. Keanekaragaman agama,
budaya dan pekerjaan tidak mempengaruhi pemberlakuan larangan
bekerja pada hari Minggu. Terlebih ketika larangan itu diberlakukan
secara resmi melalui surat penetapan.
88
Wawancara, Mud (Melonguane: 21 Desember 2011) 89
Wawancara, Oskar Saranaung (Melonguane: 21 Desember 2011) 90
Wawancara, A. Maengga (Melonguane: 20 Desember 2001 ) 91
Wawancara, B. Sawilan (Melonguane: 17 Desember 2011)
C. Persepsi Tokoh Adat, Tokoh Agama dan Masyarakat Kristen maupun
Non Kristen Mengenai Larangan Bekerja pada Hari Minggu.
1. Persepsi Tokoh Adat
Tokoh adat di Melonguane yang paling berperan adalah ketua adat.
Ketua adat ditempat ini berperan sebagai bapak dari Masyarakat, ia
mengetahui masyarakat sebagai suatu keluarga besar, ia adalah pemimpin
pergaulan hidup dalam masyarakat. Ketua adat berfungsi untuk
menyelesaikan soal-soal perkawinan, soal warisan, soal pemeliharaan anak
yatim dan soal memelihara setiap peraturan adat atau adat-istiadat yang
diwariskan oleh nenek moyang. Dengan kata lain tidak ada satu lapangan
pergaulan hidup di dalam masyarakat yang tertutup bagi ketua adat untuk ikut
campur bilamana diperlukan dalam memelihara ketenteraman, perdamaian,
keseimbangan lahir dan batin.
Dengan mengingat fungsi ketua adat, maka sebagai ketua adat
Melonguane ia merasa betapa pentingnya menjaga dan menegakkan setiap
peraturan adat yang berlaku dalam masyarakat termasuk peraturan adat
larangan bekerja pada hari Minggu.Tujuannya agar peraturan adat atau adat
istiadat yang telah diwariskan, tidak akan punah melainkan tetap terpelihara
agar terciptanya keharmonisan dan kerukunan serta keteraturan hidup dalam
masyarakat.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap Ratumbanua (ketua
adat), ia mengutarakan bahwa “saya sebagai ketua adat tetap berada pada posisi
saya, untuk menjaga setiap peraturan adat termasuk larangan bekerja pada hari
Minggu agar ditaati oleh seluruh masyarakat tak terkecuali siapapun dia, agama
apa pun dia atau apapun pekerjaannya. Sebagai peraturan adat yang diwariskan
oleh nenek moyang, hal ini dirasa penting untuk dilestarikan. Cara pelestariannya
adalah kami sebagai perangkat adat senantiasa mengingatkan seluruh masyarakat
yang tingal di Melonguane dengan mengumumkan pada acara-acara pernikahan,
ibadah digedung gereja, ibadah pemakaman bahkan dalam acara umat non-
Kristen untuk mematuhi ketetapan adat larangan bekerja pada hari Minggu. Jika
sudah termasuk sebagai warga masyarakat Melonguane, mau tak mau harus
menaati setiap peraturan yang ada”. Selanjutnya juga dikatakan bahwa, sistem
adat di Melonguane sangat kuat yakni menjaga harmonisasi masyarakat. Hal itu
dapat terlihat dimana jarang sekali terjadi konflik karena masyarakat memegang
adat sebagai aturan hidup bersama.92
Disampaikan pula oleh perangkat adat lainya yang berperan sebagai
Inanguwanua (wakil ketua adat). Ia mengatakan bahwa “larangan bekerja
pada hari Minggu adalah peraturan adat yang wajib dipatuhi oleh seluruh
masyarakat Melonguane tanpa terkecuali. Peraturan adat ini sudah berlaku
secara turun temurun dan harus dipertahankan secara arif. Memperhatikan
sikap masyarakat terhadap adat maka saya memberikan apresiasi pada
92
Wawancara, Samuel Maengga (Melonguane: 18 Desember 2011)
masyarakat karena sampai sekarang tetap patuh pada peraturan adat ini. Jika
ada pelanggaran dari warga masyarakat maka akan dikenakan sanksi moral
berupa teguran dari kami sebagai tokoh adat, sehingga mereka menjadi malu
dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Selain itu ada pula sanksi yang
diyakini secara turun-temurun yaitu sanksi yang berasal dari Tuhan. Bagi
yang melanggar dianggap berdosa terhadap Tuhan. Sanksi ini berlaku bagi
orang Kristen maupun non-Kristen yang mendiami kota Melonguane.93
Senada dengan hal yang disampaikan oleh Inanguwanua, Ratu
Ruangan (salah seorang staf adat), menjelaskan bahwa larangan bekerja pada
hari Minggu bukanlah bentuk diskriminasi. Larangan ini dimaksudkan, selain
masyarakat perlu menjaga aturan adat yang sudah ada sejak turun-temurun, di
samping itu agar masyarakat juga memiliki waktu untuk beristirahat dari
segala aktivitas dan rutinitas selama enam hari. Hal lainya adalah untuk lebih
mengikat tali kekeluargaan dengan melakukan silaturahmi pada hari Minggu
yang adalah hari libur dari aktivitas masing-masing. Diakui memang ada
warga masyarakat yang melanggar peraturan adat larangan bekerja pada hari
Minggu, tapi setelah diberi teguran dan pengertian, yang bersangkutan
menyadari bahwa larangan tersebut tidak hanya belaku bagi dirinya melainkan
bagi seluruh warga masyarakat sebagai aturan yang wajib dipatuhi bersama.94
93
Wawancara, Edison Adam (Melonguane 18 Desember 2011) 94
Wawancara, Elisabet Lindo (Melonguane: 17 Desember 2011)
2. Persepsi Tokoh Agama Kristen dan non-Kristen
Larangan bekerja pada hari Minggu sampai sekarang dipatuhi
dengan baik oleh masyarakat di Melonguane pada umumnya. Menurut
salah seorang tokoh agama Kristen di Melonguane, larangan bekerja pada
hari Minggu penting untuk terus dipertahankan. Karena mengingat setelah
enam hari bekerja, diperlukan waktu beristirahat dari segala jenis
pekerjaan. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa hari Minggu adalah
hari sabat. Di samping mengingat dan menghormati hari Tuhan, sebagai
manusia panting juga meluangkan waktu untuk beribadah dan bersekutu
dengan Tuhan.95
Seorang Pendeta yang melayani di Jemaat GERMITA (Gereja
Masehi Injili di Talaud) Sangkundiman Melonguane Timur menjelaskan
bahwa larangan bekerja pada hari Minggu berasal dari agama Kristen,
larangan ini memiliki dampak positif dalam kehidupan persekutuan jemaat
di Gereja maupun dalam ibadah-ibadah Rumah Tangga. Dengan adanya
larangan ini secara otomatis anggota jemaat berhenti sejenak dari berbagai
aktivitas dan mengkhususkan waktu mereka untuk beribadah.96
Pada saat mewawancarai salah seorang tokoh agama non Kristen
(Tokoh Agama Islam), penulis menemukan bahwa peraturan adat larangan
bekerja pada hari Minggu tidak menimbulkan masalah baginya sebagai
95
Wawancara, Andris Tasumewada (Melonguane: 15 Desember 2011) 96
Wawancara, pendeta A. F., Unas-Tampenawas (Melonguane: 19 Desember 2011)
pendatang. Hal ini di sampaikan oleh Haji Kasim bahwa “saya menyadari
dalam setiap daerah memiliki peraturan adat masing-masing. Dan salah
satu peraturan adat di Melonguane ini adalah larangan bekerja pada hari
Minggu. Sebagai pendatang saya menyadari bahwa saya harus mematuhi
peraturan adat ini. Hari Minggu memang bukanlah hari beribadah bagi
kami, tapi dengan adanya larangan bekerja pada hari Minggu kami bisa
menggunakannya untuk kegiatan sosial. Mengingat lamanya saya tinggal
di tempat ini sudah sekitar 37 tahun jadi saya merasa tak keberatan dengan
adanya peraturan adat larangan bekerja pada hari Minggu. Meskipun patut
diakui dengan memperhatikan ada sebagian keberatan dari warga jemaah
yang baru mendiami Melonguane terlebih setelah pemekaran menjadi ibu
kota kabupaten. Banyak pendatang baru di Melonguane masih merasa
asing dengan larangan bekerja pada hari Minggu. Pernah juga mereka
melanggar aturan adat itu dengan tetap melakukan aktivitas perdagangan
dan transportasi (bentor/becak bermotor). Dengan kegiatan itu, mereka di
tegur oleh tokoh adat Melonguane. Namun saya percaya lama-kelamaan
mereka akan terbiasa dan menerima larangan bekerja pada hari Minggu
sebagai aturan adat untuk dipatuhi bersama”. 97
3. Persepsi Masyarakat Umum
Masyarakat Melonguane yang heterogen adalah gambaran
masyarakat yang sudah kompeks. Pada waktu penulis mengadakan
97
Wawancara, Haji Kasim (Melonguane 16 Desember 2011)
penelitian, ditemukanlah berbagai komentar dari profesi masyarakat yang
berbeda-beda berkenaan dengan larangan bekerja pada hari Minggu di
Melonguane.
Seperti dituturkan oleh bapak BS yang berprofesi sebagai petani,
ia berujar bahwa larangan bekerja pada hari Minggu tidaklah terlalu
menjadi beban baginya karena setelah enam hari melakukan usaha
pertanian, perlu adanya waktu untuk beristirahat di rumah dan
bercengkramah dengan keluarga. Terlebih khusus bisa meluangkan waktu
untuk beribadah. Karena biasanya selama enam hari ia bekerja dari pagi
hingga petang dan tidak memiliki waktu luang bagi keluarga bahkan
untuk beristirahat serta melepaskan lelah dari pekerjaannya.98
Disampaikan pula oleh salah seorang masyarakat yang bekerja
sebagai nelayan.Menurutnya, “larangan bekerja pada hari Minggu
tidaklah membatasi aktivita saya, karena saya juga membutuhkan waktu
untuk beristirahat. Selain itu di hari Minggu juga biasanya saya gunakan
untuk bersilaturahmi dengan keluarga yang berada diluar kampung.99
Penulis juga mewawancarai salah seorang pedagang untuk
mengetahui persepsinya mengenai larangan bekerja pada hari Minggu.
Menurut penuturannya larangan bekerja pada hari Minggu memang
mengurangi pendapatanya dibanding hari-hari biasanya. Tapi ketika di
98
Wawancara, Benyamin Sawilan (Melonguane:17 Desember 2011) 99
Wawancara, M. Malese (Melonguane: 17 Desember 2011)
pikir-pikir jika saya berjualan pada hari Minggu pasti tak ada pembelinya
karena pada hari itu di gunakan untuk beristirahat. Selain itu di hari
minggu bisa saya gunakan waktu untuk perpergian/piknik bersama
keluarga, atau sebagai kesempatan untuk bersefresing dan hal itu sangat
menyenangkan”.100
Selain beberapa orang dari berbagai bidang pekerjaan yang
berbeda yang telah diwawancarai, penulis juga melakukan wawancara
terhadap seorang pembawa kendaraan bentor (becak-bermotor), mengenai
larangan bekerja pada hari Minggu. Ia berpendapat bahwa “larangan
bekerja pada hari Minggu sedikit menghambat usahaku, karena
mengurangi pendapatan. Pernah suatu hari saya menarik penumpang pada
hari minggu, saya di tegur oleh salah seorang tokoh adat.Ia mengingatkan
bahwa hari minggu tidak boleh dilakukan berbagai aktivitas selain
beribadah. Dengan demikian saya menyadari meskipun hal itu
menimbulkan sedikit kerugian, tapi sebagai masyarakat yang mendiami
Melonguane, mau tak mau saya harus mematuhi peraturan yang berlaku
dalam masyarakat tersebut”.101
100
Wawancara, M. Tasumewada (16 Desember 2011) 101
Wawancara, W. Aloo’a (Melonguane: 16 Desember 2011)