bab iv analisis terhadap realitas larangan...

17
BAB IV ANALISIS TERHADAP REALITAS LARANGAN BEKERJA PADA HARI MINGGU DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MELONGUANE E. Hari Minggu Sebagai Hari Yang Disakralkan Larangan bekerja pada hari Mingu merupakan aturan adat yang memiliki keunikan tersendri. Jika dilihat dalam kehidupan masyarakat Melonguane sebagai ibu kota Kabupaten Kepulauan Talaud larangan tersebut yang tetap eksis dan dipatuhi sebagai sebuah aturan adat sungguh merupakan sebuah fenomena yang sangat menarik. Di Melonguane pemeluk agama Kristen memiliki persentasi lebih tinggi dibanding pemeluk agama lain. Jika ditelusuri dari sejarah, terlihat bahwa munculnya praturan adat larangan bekerja pada hari Minggu berawal dari masuknya agama Kristen. Sebagaimana dikatakan oleh Thomas E. O‟Dea bahwa agama dapat memberikan standar nilai dalam suatu masyarakat, mempertahankan dominasi kepentingan dan tujuan kelompok diatas individu dan kedisiplinan kelompok diatas dorongan hati individu. 102 Larangan bekerja pada hari Minggu diadopsi oleh masyarakat Melonguane yang sejak abad ke-16 sudah banyak memeluk agama Kristen. Pengaruh Kekristenan ini membentuk pola adat yang kemudian diimpelementasikan dalam kehidupan praksis masyarakat Melonguane. Sebagaimana 102 Bdk. Thomas E. O’Dea, (Sosiologi Agama: Suatu Pengantar), hal. 23.

Upload: lamhanh

Post on 09-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV ANALISIS TERHADAP REALITAS LARANGAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/5/T2_752010018_BAB IV.pdf · Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu

BAB IV

ANALISIS TERHADAP REALITAS LARANGAN BEKERJA PADA HARI

MINGGU DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MELONGUANE

E. Hari Minggu Sebagai Hari Yang Disakralkan

Larangan bekerja pada hari Mingu merupakan aturan adat yang memiliki

keunikan tersendri. Jika dilihat dalam kehidupan masyarakat Melonguane sebagai ibu

kota Kabupaten Kepulauan Talaud larangan tersebut yang tetap eksis dan dipatuhi

sebagai sebuah aturan adat sungguh merupakan sebuah fenomena yang sangat

menarik.

Di Melonguane pemeluk agama Kristen memiliki persentasi lebih tinggi

dibanding pemeluk agama lain. Jika ditelusuri dari sejarah, terlihat bahwa munculnya

praturan adat larangan bekerja pada hari Minggu berawal dari masuknya agama

Kristen. Sebagaimana dikatakan oleh Thomas E. O‟Dea bahwa agama dapat

memberikan standar nilai dalam suatu masyarakat, mempertahankan dominasi

kepentingan dan tujuan kelompok diatas individu dan kedisiplinan kelompok diatas

dorongan hati individu.102

Larangan bekerja pada hari Minggu diadopsi oleh

masyarakat Melonguane yang sejak abad ke-16 sudah banyak memeluk agama

Kristen.

Pengaruh Kekristenan ini membentuk pola adat yang kemudian

diimpelementasikan dalam kehidupan praksis masyarakat Melonguane. Sebagaimana

102

Bdk. Thomas E. O’Dea, (Sosiologi Agama: Suatu Pengantar), hal. 23.

Page 2: BAB IV ANALISIS TERHADAP REALITAS LARANGAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/5/T2_752010018_BAB IV.pdf · Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu

yang dikatakan oleh J. Prins bahwa dalam sebuah masyarakat yang didominasi oleh

satu agama memiliki pengaruh besar dalam masyarakat tersebut. Selanjutnya ia juga

mengatakan, agama mempunyai pengaruh besar dalam menentukan bagaimana bunyi

hukum dalam suatu masyarakat.103

Larangan bekerja pada hari minggu diberlakukan semenjak masuknya

kekristenan di Melonguane yang tetap dipertahankan hingga sekarang tentunya

dipahami dari ajaran Kristen itu sendiri. Bagi umat Kristen Minggu merupakan hari

yang kudus karena memperingati hari kebangkitan Kristus yakni hari ketiga setelah

kematian. Sabat itu sendiri dalam Perjanjian Lama dipahami sebagai hari perhentian

Allah dalam melakukan proses penciptaan. Demikianpun karena Allah memberkati

hari sabat dan menyucikannya, maka manusia pun harus melakukan hal yang sama

terhadap Sabat-Nya. Hari Minggu bagi orang-orang Kristen di melonguane diberikan

pengertian sabat karena dijadikan sebagai hari untuk beristirahat dari pekerjaan

hingga membentuk konsep larangan bekerja pada hari Minggu, yang diberlakukan

secara turun-temurun.

Pengaruh kekristenan begitu kuat dalam kehidupan masyarakat Melonguane.

Hal ini dapat dipelajari semenjak kekristenan masuk di Sangir-Talaud sekitar tahun

1859, dimana masyarakat setempat diajak oleh para Zendeling agar seluruh anggota

memiliki kesalehan hati dan kesucian hidup. Ibadah hari Minggu adalah ibadah yang

dikhususkan untuk persekutuan dalam rangka mengumpulkan orang-orang Kristen di

103

Bdk. J. Prins,Pengaruh Kristen Terhadap Hukum Adat,(Jakarta: BHRATARA, 1973). 5

Page 3: BAB IV ANALISIS TERHADAP REALITAS LARANGAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/5/T2_752010018_BAB IV.pdf · Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu

tempat itu, dengan tujuan membawa orang-orang kepada kehidupan kekristenan yang

memiliki kesalehan hati dan kesucian hidup.104

Masuknya kekristenan di Sangir-Talaud membawa pengaruh yang kuat bagi

kehidupan masyarakat Melonguane. Kebiasaan beribadah pada hari Minggu dalam

pengajaran Kristen yang diberikan oleh para Zendeling ternyata dikemudian hari

membentuk sebuah kebiasaan. Yang selanjutnya ditetapkan sebagai peraturan adat,

bahwa hari Minggu adalah hari beristirahat dari segala aktivitas kecuali kegiatan

ibadah dan kegiatan sosial.

Dalam peraturan adat larangan bekerja pada hari Minggu terdapat pemisahan

hari yang mengandung unsur sakral dan profan. Hal ini Nampak ketika masyarakat

Melonguane mensakralkan hari Minggu dan mengkhususkannya untuk kegiatan

beribadah dan kegiatan sosial. Menurut Durkheim “Semua kepercayaan religius, yang

sederhana maupun kompleks, memperlihatkan satu ciri umum, yaitu mensyaratkan

pengklasifikasian antara yang sakral dengan yang profan. Hal-hal yang sakral adalah

hal-hal yang dilindungi dan diisolasi oleh larangan-larangan; hal-hal yang profan

adalah hal-hal tempat larangan-larangan itu diterapkan dan harus dibiarkan berjarak

dari hal-hal yang sakral.” Dengan demikian, dunia Yang Sakral merupakan bagian

terpisah dari dunia Yang Profan. Yang Profan tidak dapat memasuki dunia Yang

Sakral. Karena, apabila Yang Profan dapat memasuki dunia Yang Sakral, maka Yang

Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu itu menjadi sakral

104

Bdk. Wawancara, Samuel Maengga (Melonguane: 18 Desember 2011)

Page 4: BAB IV ANALISIS TERHADAP REALITAS LARANGAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/5/T2_752010018_BAB IV.pdf · Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu

bila disakralkan oleh masyarakat tertentu.105

Demikian juga hari Minggu dianggap

sebagai yang sakral dan bekerja dianggap sebagai yang profan. Jika pada hari Minggu

dilaksanakan kegiatan-kegiatan seperti berdagang, bertani, berkebun, menangkap

ikan dan sebagainya (hal-hal-hal yang bukan kegiatan soaial), maka hari Minggu

sebagai yang sakral menjadi tercemar. Untuk menghindari timbulnya pencemaran

inilah hal-hal yang sakral dipagari dengan larangan-larangan atau tabu-tabu.

Demikian pula dengan hari Minggu. Untuk menjaga kesakralannya, maka hari

Minggu tidak diperbolehkan bekerja.106

Karena itulah hari Minggu telah menjadi

bagian dari yang sakral dalam masyarakat Melonguane.

Hal-hal yang sakral dan Profan memiliki ciri-ciri tertentu. Bagi Durkheim

yang sakral dianggap superior, sangat berkuasa, terlarang dari hubungan yang

normal, pantas mendapatkan penghormatan tertinggi, selalu melibatkan kepentingan

besar yaitu kepentingan dan kesejahteraan seluruh kelompok umat, berhubungan

dengan hal-hal yang menyangkut komunitas, berperan sebagai titik utama klaim yang

mempengaruhi seluruh komunitas wilayah sosial. Sedangkan yang profane bersifat

biasa, tidak menarik, masalah kecil, mencerminkan urusan individu sehari-hari,

kegiatan dan urusan pribadi yang lebih kecil atau wilayah urusan personal.107

Uraian diatas memberi penjelasan bahwa hal-hal sakral terutama berkaitan

dengan sebuah masyarakat atau menyangkut urusan komunitas, sedangkan yang

105

Emile Durkheim, The Elementry Form of Religious Life. (Terj. Joseph Word Swain), (London: George Allen & Uwin Ltd., 1976), 52

106 Elizabeth K. Notingham, AGAMA DAN MASYARAKAT: Suatu Pengantar Sosiologi Agama,

(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), 10 107

Emile Durkheim, The Elementry Forms…, 52

Page 5: BAB IV ANALISIS TERHADAP REALITAS LARANGAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/5/T2_752010018_BAB IV.pdf · Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu

profan adalah apa yang menjadi urusan pribadi dari individu. Hari Minggu termasuk

sebagai urusan komunitas yang mempengaruhi wilayah kehidupan sosial dan hari

lainya sebagai yang profane karena menyangkut wilayah pribadi atau personal

masing-masing. Semenjak para Zendeling datang di kepulauan Talaud mengajarkan

aturan beribadah pada hari Minggu, orang-orang Kristen pada waktu itu menaati dan

meneruskan pada generasi selanjutnya. Sejak itulah masyarakat Talaud menjadikan

hari Minggu sebagai objek yang disakralkan. Apa yang dikatakan Emile Durkhaim

mengenai sakral dan profane diinternalisasi secara taat oleh orang-orang di tempat ini

dengan mengkhususkan hari Minggu sebagai hari yang istemewa dibandingkan hari-

hari biasanya.

Keberadaan larangan bekerja pada hari Minggu yang bertahan sampai

sekarang dipengaruhi pula oleh jumlah pemeluk agama kristen yang menempati

urutan tertinggi dari jumlah pemeluk agama lainnya, seperti yang sudah dipaparkan

sebelumnya pada bagian awal bab ini tentunya memiliki peranan yang penting

sehingga larangan bekerja pada hari Minggu menjadi bagian orang Melonguane yang

tetap eksis, dihormati dan dihargai serta dipatuhi oleh seluruh masyarakat yang ada

ditempat ini sebagai aturan dasar bersama dalam melestarikan warisan adat dari

generasi sebelumnya.

Warisan adat larangan bekerja pada hari Minggu dalam masyarakat

Melonguane adalah pembuktian dari pengaruh kekristenan yang kuat. Menurut

Hilman Hadikusuma proses perkembangan hukum adat dipengaruhi oleh berbagai

faktor, yaitu faktor iklim dan keadaan lingkungan serta sifat watak sesuatu bangsa,

Page 6: BAB IV ANALISIS TERHADAP REALITAS LARANGAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/5/T2_752010018_BAB IV.pdf · Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu

bahkan dipengaruhi oleh kepercayaan magi dan animisme peninggalan zaman

leluhur, masuknya pengaruh agama dan oleh adanya kekuasaan pemerintah atasan

atau dikarenakan pergaulan dengan orang-orang asing.108

Pengaruh agama khusnya agama kristen yang kuat ini telah melahirkan aturan

adat larangan bekerja pada hari Minggu yang melegitimasi kekhususan hari Minggu

sebagai hari istimewa dan tidak boleh disamakan atau disejajarkan dengan hari-hari

biasa. Pengaruh agama Kristen secara khusus yang ada di Melonguane, telah

mewariskan aturan adat bersama. Dengan adanya larangan bekerja pada hari Minggu,

aturan adat tersebut diinternalisasikan dalam kehidupan masyarakat sebagai nilai-nilai

moral yang memiliki makna mendalam, dan tak hanya dibatasi secara pemahaman

Kristen yang eksklusif. Tetapi juga nilai-nilai etika dalam kehidupan bersama.

Artinya larangan bekerja pada hari Minggu memiliki muatan kearifan adat untuk

harmonisasi masyarakat, dengan memberikan waktu istirahat tubuh jasmani dari

kelelahan bekerja selama enam hari. Kesempatan itu boleh dinikmati sebagai hari

libur, beribadah, dan bersilaturahmi dengan menggunakan hari Minggu sebagai hari

istirahat.

Larangan bekerja pada hari Minggu yang diberikan pengertian sabat oleh

masyarakat di Melonguane merupakan sebuah aturan adat, juga merupakan hari

istirahat yang dapat digunakan secara efektif untuk beribadah dan bersilaturahmi.

108

Bdk, Hilman Hadikusuma, Pokok-Pokok Pengertian Hukum Adat (Bandung: Alumni, 1980), 16.

Page 7: BAB IV ANALISIS TERHADAP REALITAS LARANGAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/5/T2_752010018_BAB IV.pdf · Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu

Sebagaimana yang tertulis dalam hukum ke empat dari sepuluh hukum yakni

pengudusan hari sabat: 109

“Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: enam hari lamanya engkau akan

bekerja dan melakukan segala pekerjaannmu, tetapi hari ke-tujuh adalah hari

Sabat Tuhan, Allahmu: maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau

atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki,

atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang ditempat

kediamanmu. Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi,

laut dan segala isisnya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya

Tuhan memberkati hari sabat dan menguduskannya” (Kel. 20: 8-11).

Pada awalnya bangsa Yahudi merayakan Hari sabat sebagai hari perhentian

Tuhan dari proses penciptaan-Nya. Berdasarkan keyakinan mereka Tuhan

menciptakan segala sesuatu di dunia selama enam hari dan berhenti pada hari ke

tujuh. Hari ke tujuh atau disebut dengan sabat menjadi hari yang kudus atau sakral

bagi mereka. Karena itu tidak diperbolehkan untuk melakukan berbagai jenis

pekerjaan. Hari sabat benar-benar dikhususkan buat Tuhan dan dipakai sebagai hari

untuk berisirahat. Jika terjadi pelanggaran terhadap sabat ini diyakini telah melanggar

perintah Tuhan.

Secara turun temurun kekudusan hari sabat ini terus dijaga hingga akhirnya

Yesus datang untuk merombaknya. Yesus melanggar aturan ini, Dia memperbolehkan

bekerja pada hari Minggu selagi pekerjaan yang dilakukan adalah untuk menolong

orang lain atau kegiatan-kegiatan sosial. Setelah Yesus mati dan bangkit pada hari ke

tiga yakni hari Minggu, disaat itulah umat Kristen sekarang merayakan Hari Minggu

sebagai Hari Tuhan. Yang dimaksud disini adalah hari untuk memperingati

Kebangkitan Yesus.

109

LAI, Alkitab, (Jakarta: 2009), 92

Page 8: BAB IV ANALISIS TERHADAP REALITAS LARANGAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/5/T2_752010018_BAB IV.pdf · Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu

Beristirahat pada hari Minggu tidak hanya memberikan manfaat rohani bagi

umat kristiani yang mempraktekkanya, tapi juga bagi masyarakat umum. Tanpa

istirahat misalnya, produktivitas bakal menurun. Namun tak semua pekerjaan dilarang

pada hari Minggu. Ada beberapa jenis pekerjaan yang boleh dilakukan, seperti yang

telah diuraikan dalam surat ketetapan larangan bekerja pada hari Minggu, yakni

kegiatan-kegiatan sosial dan beribadah.

Makna mendalam yang ingin disampaikan dalam konteks larangan bekerja pada

hari Minggu ini adalah dengan tidak melakukan aktivitas pada hari Minggu tak

sekedar menaati aturan adat yang berlaku melainkan juga memiliki waktu untuk

beristirahat dari kelelahan jasmani. Larangan ini diberlakukan bagi seluruh

masyarakat dengan maksud agar masyarakat memiliki waktu untuk beristirahat dari

segala aktifitas. Hal ini bukanlah sesuatu yang buruk karena setelah enam hari bekerja

manusia pun butuh satu hari untuk beristirahat dari pekerjaan. Sama seperti Allah

ketika melakukan proses penciptaan Dia pun meluangkan waktu sehari untuk

beristirahat.

Larangan bekerja yang dimaksud bukan berhenti sama sekali dari aktivitas

melainkan boleh melakukaukan kegiatan Sosial. Seperti yang dilakukan Yesus, Dia

merombak hari Sabat namun bukan berarti Ia meniadakan hari Sabat. tapi

pemahamannya mengenai sabat berbeda dengan kaum Farisi. Ketika mereka

sungguh-sungguh mematuhi Hari sabat dengan tidak sama sekali melakukan

pekerjaan apa pun, bagi Yesus justru berbeda Dia melakukan kegiatan-kegiatan

Sosial pada hari tersebut. Dalam larangan bekerja pun demikian, memang terjadi

Page 9: BAB IV ANALISIS TERHADAP REALITAS LARANGAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/5/T2_752010018_BAB IV.pdf · Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu

pelarangan berbagai jenis pekerjaan namun ada pengecualian untuk kegiatan-kegiatan

soial dan Ibadah.

F. Larangan Bekerja Pada Hari Minggu Sebagai Peraturan Adat

Merupakan suatu kewajaran bahwa hakekat manusia adalah untuk mengetahui

bagaimana timbulnya gejala-gejala dalam kehidupan masyarakat. Keingintahuan itu

berwujud sebagai suatu hasrat untuk mengetahui kaidah-kaidah yang secara sadar

maupun tidak sadar menjadi pengatur bagi perikelakuan sehari-hari dari manusia.

Semenjak lahir, manusia telah dianugrahi suatu naluri untuk hidup bersama dengan

orang lain. Akibat adanya naluri tersebut dan atas dasar pikiran, kehendak dan

perasaan timbulah hasrat untuk bergaul yang kemudian dinamakan dengan interaksi

sosial yang dinamis. Interaksi tadi mula-mula berpangkal tolak pada cara yang

merupakan suatu bentuk perbuatan. Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat hidup

dari kelompok manusia. Tata kelakuan dapat meningkat sehingga menjadi adat

istiadat. Adat istiadat merupakan kaedah-kaedah yang tidak hanya dikenal, diakui dan

dihargai akan tetapi juga ditaati.110

Dalam masyarakat Melonguane, terdapat perangkat. Mereka sangat

berpengaruh dalam sistem kemasyarakatan di Melonguane. Perangkat adat ini terdiri

dari Ratumbanua ( sebagai Kepala Adat), Inangu Wanua (sebagai Wakil Kepala adat)

dan Timadu Ruangana (Sebagai kepala ruangan). Fungsi dari perangkat adat ini

adalah menjaga dan mendisiplinkan masyarakat Melonguane serta ikut campur

bilamana diperlukan untuk memelihara ketenteraman, perdamaian, keseimbangan

110

Lih. Bab II., (Sistem adat dalam masyarakat, alinea 1)

Page 10: BAB IV ANALISIS TERHADAP REALITAS LARANGAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/5/T2_752010018_BAB IV.pdf · Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu

lahir dan batin, supaya masyarakat tetap memegang dan menaati warisan-warisan

adat seperti larangan bekerja pada hari Minggu.

Warisan adat larangan bekerja pada hari Minggu ini wajib ditaati oleh

masyarakat, karena ketidaktaatan terhadap larangan tersebut akan menerima sanksi.

Sanksi yang diterima pertama, berasal dari Tuhan, dimana yang melanggar diyakini

berdosa terhadap Tuhan. Keyakinan ini dilatar belakangi oleh sejarah munculnya

larangan bekerja pada hari Minggu yang dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan

tidak bisa di langgar karena berpatokkan dari hukum sabat. Yang dimaksud dengan

hukum sabat ini adalah hukum ke empat dalam sepuluh hukum yaitu mengenai

pengudusan hari sabat. hukum ke empat ini di yakini berasal Tuhan dan harus

dipatuhi. Selain hukum yang berasal dari Tuhan sanksi yang kedua adalah sanksi

moral yakni, mendapat teguran langsung dari perangkat adat.

Larangan bekerja pada hari Minggu, sangat di jaga kelestariannya oleh

perangkat adat di Melonguane. Hal ini terbukti ketika ada warga masyarakat yang

melanggar larangan bekerja pada hari Minggu maka perangkat adat langsung

memberikan teguran.111

Melihat dari sisi kedisiplinan yang diberikan oleh perangkat

adat, maka hal ini jelas merupakan gambaran dari kuatnya sistem adat yang ada di

Melonguane. Pemberlakuan larangan bekerja pada hari minggu bagi seluruh

masyarakat di Melonguane, baik pribumi maupun pendatang dalam kondisi yang

heterogen merupakan fakta dari kuatnya sistem adat di tempat ini.

111

Bdk. Bab III, Persepsi Masyarakat terhadap larangan bekerja pada hari Minggu, Wawancara, W. Aloo’a (Melonguane: 16 Desember 2011)

Page 11: BAB IV ANALISIS TERHADAP REALITAS LARANGAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/5/T2_752010018_BAB IV.pdf · Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu

Faktor internal maupun eksternal tidak memberikan pengaruh yang signifikan

bagi larangan bekerja pada hari minggu. Meskipun disadari di Melonguane sendiri,

sudah banyak mengalami perubahan khususnya dengan hadirnya para pendatang yang

memilih tempat ini sebagai tempat untuk mengadu nasib. Demikian pula dengan

terbentuknya Kabupaten Kepulauan Talaud pada tanggal 2 Juli 2002 yang

memberikan banyak perubahan khususnya dalam strukur pemerintahan, ekonomi,

sosial dan polotik. Tetapi uniknya meskipun keadaan masyarakat ditempat ini

berubah, dari homogen menjadi heterogen peraturan adat larangan bekerja pada hari

Minggu tidak mengalami perubahan. Eksistensi larangan bekerja pada hari Minggu

begitu kuat tertanam dan dipatuhi masyarakat Melonguane, karena berakarnya sistem

adat yang tidak mudah tumbang. Hal itu tercermin dari kehidupan adat setempat.

G. Interaksi Sosial dalam Peraturan Adat Larangan Bekerja Pada Hari

Minggu

Kota Melonguane merupakan ibu kota kabupaten kepulauan Talaud, Propinsi

Sulawesi Utara. Semenjak tahun 2002 dengan adanya pemekaran dari kabupaten

kepulauan Sangihe dan Talaud menjadi Kabupaten Kepulauan Talaud, kota

Melonguane mengalami perubahan jumlah penduduk yang cukup signifikan. Keadaan

masyarakat yang heterogen, dengan membaurnya masyarakat asli dan pendatang,

menjelaskan fakta bahwa terjadinya interaksi sosial dalam peraturan adat larangan

bekerja pada hari Minggu, sehingga peraturan adat ini tetap eksis sampai sekarang.

Durkhaim melihat masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna bagi

kehidupan bersama antara manusia, sesuatu yang berada diatas segala-galanya. Ia

Page 12: BAB IV ANALISIS TERHADAP REALITAS LARANGAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/5/T2_752010018_BAB IV.pdf · Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu

bersifat menentukan dalam perkembangannya.112

Eksistensi peraturan adat larangan

bekerja pada hari Minggu ini, mendapatkan wadah dalam kehidupan masyarakat,

karena masyarakat di tempat ini memberikan peluang bagi bertahannya peraturan

adat ini.

Mengingat konsep masyarakat menunjuk pada bagian masyarakat yang

bertempat tinggal di suatu wilayah (dalam arti geografis) dengan batas-batas tertentu

dimana faktor utama yang menjadi dasarnya adalah interaksi yang lebih besar

diantara anggota-anggotanya, dibandingkan dengan interaksi mereka dengan

penduduk diluar batas wilayahnya. Maka dapat disimpulkan secara singkat bahwa

masyarakat setempat adalah suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai oleh suatu

derajat hubungan sosial tertentu. Konsep ini dijabarkan melalui satu interaksi

kehidupan sosial yang besar inter dan antar individu yang bertempat tinggal di suatu

wilayah yang sama. Masyarakat asli dan masyarakat pendatang yang ada di

Melonguane mengalami interaksi sosial secara bersama, khususnya adat-istiadat

setempat yang menjadi pedoman bersama dalam interaksi dipatuhinya peraturan adat

larangan bekerja pada hari Minggu.

Seperti yang sudah disampaikan dalam bab sebelumnya oleh beberapa tokoh

agama baik Kristen maupun non-Kristen yang melihat pula larangan bekerja pada

hari minggu sebagai hari libur bersama, yang menyediakan banyak kesempatan bagi

warga Kristen untuk beribadah sedangkan bagi yang non Kristen untuk melakukan

112

Djuretna A. Imam Muhni, Moral dan Religi: Menurut Emile Durkhaim & Henri Bergson (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 28

Page 13: BAB IV ANALISIS TERHADAP REALITAS LARANGAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/5/T2_752010018_BAB IV.pdf · Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu

kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial. Maka disinilah nilai-nilai interaksi sosial

masyarakat terhadap peraturan adat larangan bekerja pada hari Minggu dapat terlihat.

Peraturan adat mengenai larangan bekerja pada hari Minggu kalau ditimbang

dari segi ekonomi memberikan dampak yang merugikan bagi masyarakat yang

bergelut dalam kegiatan usaha pertanian, perikanan dan perdagangan. Meskipun

secara ekonomi mereka sedikit mengalami kerugian, tetapi mereka tetap

melaksanakan peraturan adat tersebut sebagai wujud dari respon masyarakat terhadap

interaksi sosial.113

Kendati pernah terjadi pelanggaran, contohnya penarik becak

bermotor (bentor).114

Tetapi dengan mendengarkan teguran dari tokoh adat setempat,

ia kemudian menjadi sadar bahwa larangan bekerja pada hari Minggu adalah aturan

adat yang ditujukan untuk semua warga, maka yang muncul adalah kesadaran moral

untuk melaksanakan aturan adat secara bertanggung jawab. Sikap masyarakat

Melonguane seperti inilah, menunjukkan jati diri masyarakat yang taat adat. Sebagai

wujud dari interaksi sosial masyarakat dan peraturan adat.

Dengan adanya larangan bekerja pada hari Minggu dalam masyarakat

Melonguane, memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk beristirahat dan

meluangkan waktu sejenak bersama keluarga bahkan bisa bersilaturahmi bersama

anggota keluarga. Ketika masyarakat di Melonguane, menjadi masyarakat taat adat,

mereka membangun interaksi sosial yang baik dengan perangkat adat setempat untuk

bersama-sama menjaga warisan budaya leluhur. Dampak positif dari peraturan adat

113

Bdk. Wawancara, Mud (Melonguane: 21 Desember 2011) 114

Bdk. Wawancara, W. Aloo’a (Melonguane: 16 Desember 2011)

Page 14: BAB IV ANALISIS TERHADAP REALITAS LARANGAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/5/T2_752010018_BAB IV.pdf · Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu

larangan bekerja pada hari minggu tentunya dirasakan oleh seluruh masyarakat,

dengan tersedianya banyak waktu untuk kegiatan beribadah, dan melakukan kegiatan-

kegiatan sosial, yang tidak dapat dialakukan secara penuh pada hari-hari biasa.

Sebagai masyarakat yang sudah heterogen, masyarakat Melonguane sudah

melestarikan warisan budaya yaitu peraturan adat larangan bekerja pada hari minggu,

yang merupakan keunikan tersendiri. Fakta dari masyarakat ditempat ini adalah

dengan tidak pernah terjadi konflik inter dan antar masyarakat yang diakibatkan oleh

peraturan adat larangan bekerja pada hari minggu. Harmonisasi yang terjalin, sangat

dirasakan dalam kehidupan keseharian masyarakat di tempat ini. Paradigma warga

masyarakat mengenai peraturan adat larangan bekerja pada hari minggu, tentunya

terbentuk melalui interaksi dan relasi mereka dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Diterbitkannya penetapan peraturan adat larangan bekerja pada hari minggu

tidak hanya dibuat oleh ketua adat sendiri tetapi melibatkan unsur pemerintah

Departemen Agama, Tokoh Adat dan Pihak Gereja, adalah memperkuat eksistensi

aturan adat larangan bekerja pada hari Minggu untuk diberlakukan terhadap seluruh

warga masyarakat Melonguane tanpa terkecuali. Dengan adanya penetapan hukum

adat ini, yang melibatkan unsur pemerintah adat dan gereja adalah menunjukkan kerja

sama yang baik oleh seluruh elemen di masyarakat Melonguane, sebagai upaya untuk

mempertahan budaya yang diwariskan secara turun-temurun.

Page 15: BAB IV ANALISIS TERHADAP REALITAS LARANGAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/5/T2_752010018_BAB IV.pdf · Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu

H. Masyarakat dalam Konteks UUD 1945 BAB X (A)

Melihat realitas peraturan adat larangan bekerja pada hari minggu di

Melonguane, sampai sekarang bukanlah menjadi sebuah persoalan yang memicu

terjadinya konflik inter dan antar masyarakat. Menganalisis eksistensi larangan

bekerja pada hari Minggu sebagai hari yang disakralkan, sebagai peraturan adat dan

sumber interaksi sosial maka hal ini merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri.

Kondisi ini memang dapat dikatakan sebagai fenomena masyarakat yang relatif

kondusif. Hanya saja, ketika kita melihat sebuah realitas dari prespektif terbatas pada

kondisi masa sekarang, berarti kita membatasi kemungkinan-kemungkinan yang akan

terjadi dimasa yang akan datang.

Peraturan adat pada dasarnya adalah bentukan dari sebuah kebiasaan

masyarakat yang diakukan secara terus-menerus dan akhirnya disepakati sebagai

sebuah aturan hidup bersama dalam lingkup masyarakat adat. Peraturan adat tidak

akan menghasilkan sebuah konflik, jika dilakukan berdasarkan rasa keadilan bagi

seluruh mayarakat. Kondisi ini bisa berubah ketika peraturan adat itu sudah tidak

relevan lagi dengan kehidupan masyarakat. Dalam UUD 1945 Bab X-A tentang Hak

Asasi Manusia dijelaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta

mempertahankan hidup dan kehidupannya”.115

Hal ini menjelaskan bahwa yang

utama untuk dilakukan adalah manusia ditempatkan sebagai yang utama dalam

115

Wahid Khudori, UNDANG-UNDANG DASAR ’45 Republik Indonesia, (Jakarta: Mahirsindo Utama, 2009), 25

Page 16: BAB IV ANALISIS TERHADAP REALITAS LARANGAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/5/T2_752010018_BAB IV.pdf · Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu

seluruh dimensi kehidupan sosial. Peraturan adat boleh ada tetapi bukanlah hal yang

diskriminatif bagi manusia itu sendiri.

Kondisi masyarakat Melonguane yang semakin heterogen bisa saja

menghasilkan kemungkinan-kemungkinan yang bertentangan dengan peraturan adat

larangan bekerja pada hari Minggu dimasa yang akan datang. Meskipun pada saat ini

tampaknya paraturan adat ini tetap dipertahankan sebagai warisan budaya turun

temurun, dan masih relevan diberlakukan bagi masyarakat setempat. Untuk itu adalah

arif dan bijakana, ketika mempertimbangkan jauh ke depan masih relevankan

larangan bekerja pada hari Minggu dalam masyarakat Melonguane sebagai sebuah

aturan adat yang tidak bisa diganggu gugat?

Tidaklah menimbulkan sebuah permasalahan jika kebiasaan membatasi diri

dari dalam penduduk asli Melonguane untuk bekerja pada hari Minggu yang dianut

dan ditaati sebagai bagian dari hukum adat setempat, apa lagi hal itu sudah

berlangsung sejak dahulu. Namun yang menjadi persoalan, ketika para pejabat

publik116

ikut campur dengan dalih seolah-olah membuat sesuatu kesepakatan berisi

larangan seperti dimaksud di atas, beruntung sekali bahwa hasil kesepakatan tersebut

belum sempat dituangkan dalam sebuah rancangan Peraturan Daerah (Perda). Karena

kalau sampai hal itu terjadi, maka kabupaten Talaud dapat disamakan dengan

beberapa Kabupaten lainnya di Indonesia, yang getol membuat “Perda Syariat”. Dan

116

Seperti Asisten Tata Praja Sekda Kab. Kep. Talaud dan Kabag Kesra Setda Kab. Kep. Talaud.

Page 17: BAB IV ANALISIS TERHADAP REALITAS LARANGAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2480/5/T2_752010018_BAB IV.pdf · Sakral tersebut akan kehilangan arti kesakralannya. Dan Sesuatu

hal itu bersifat Counter Productive terhadap cita-cita bangsa ini untuk

mempertahankan sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”.

Mengingat masyarakat dinamis bisa berubah kapan saja, maka diperlukan

pencegahan agar peraturan adat larangan bekerja pada hari minggu bukan menjadi

sebuah persoalan yang mengabaikan kepentingan Hak Asasi manusia. larangan

bekerja pada hari minggu hendaknya hanya merupakan sebuah peraturan adat yang

dinamis dan tidak menjadi peraturan yang mengesampingkan Hak Asasi manusia.

serta tidak merupakan suatu peraturan yang baku dan dianggap sebagai sebuah

peraturan yang dianggap langsung berasal dari Tuhan. Dengan adanya kesepakatan

antara pihak-pemerintah, adat dan gereja dalam penetapan larangan bekerja pada hari

Minggu, hendaknya hanya terbatas pada lingkup adat dan tidak dilanjutkan pada

upaya untuk dimuat dalam peraturan daerah (Perda) setempat. Bahkan hendaknya

peraturan ini hanya berlaku bagi orang Melonguane saja.