bab ii memahami konversi agama (suatu kajian …€¦ · masyarakat pun diajar untuk menyadari...
TRANSCRIPT
13
BAB II
MEMAHAMI KONVERSI AGAMA
(SUATU KAJIAN TEORITIS)
2.1 Pendahuluan
Dalam memahami konversi agama, penulis menyajikan beberapa teori dari para ahli guna
memperkaya pemahaman tentang apa itu konversi. Dari beberapa teori yang akan dipaparkan
penulis hanya memilih salah satu sebagai “Grand Theory” untuk digunakan sebagai alat analisa
di bab iv. Mengapa demikian, karena menurut hemat penulis dari beberapa teori yang ada,
Rambo R. Lewis menyajikan sebuah teori yang lebih lengkap dan cocok sebagai alat analisa
hasil penelitian dari bab iii.
Kehidupan sebuah masyarakat pada umumnya akan mengalami yang namanya perubahan,
baik hal yang negatif maupun positif. Perubahan sosial adalah sebagai bagian dari perubahan
kebudayaan, hal demikian merupakan sesuatu yang wajar. Salah satu perubahan yang terdapat
dalam perubahan sosial itu adalah perubahan agama, dari sistem keagamaan satu beralih atau
berpindah ke sistem keagamaan yang lain.1 Dalam istilah sosiologi agama, hal tersebut sering
disebut dengan kata konversi agama.
Konversi agama merupakan hal yang wajar ketika orang menyadari bahwa beragama adalah
kebebasan setiap individu dalam suatu masyarakat. Kebebasan beragama merupakan hak asasi
manusia yang sebenarnya tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun. Negara pun menjamin akan
kebebasan tersebut. Jelas dikatakan dalam UUD 1945, Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
1Soejono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), 341-342.
14
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing”.2 Seharusnya UUD 1945 ini
dipegang teguh oleh warga negaranya, sehingga permasalahan yang ditimbulkan ketika orang
melakukan konversi agama adalah permasalahan negara dengan masyarakatnya. Dalam hal
negara seharusnya memberi perlindungan dan keadilan jika sesuatu yang negatif terjadi terhadap
pelaku konversi agama. Masyarakat pun diajar untuk menyadari makna toleransi, tegang rasa,
saling menghormati, menghargai, sehingga dapat menghindari tindak kekerasan, diskriminasi
dan hal-hal yang merugikan serta memberatkan pelaku konversi tersebut.
Indonesia merupakan negara yang multi religius, artinya banyak agama dan multikultural
artinya banyak budaya dari berbagai daerah. Maka kesadaran pluralisme agama pada masyarakat
sangat penting untuk saling menumbuhkan sikap toleran, menghargai dan menghormati pemeluk
agama satu dengan yang lain. Kesadaran pluralitas akan menolong seseorang menyadari bahwa
sikap superioritas tidak bermanfaat untuk mengerti orang lain lebih baik, sebab Allah mengasihi
semua manusia tanpa terkecuali, dan karenannya harus menjadi sesama atau menjadi sahabat
bagi saudara-saudara kita yang berkepercayaan lain.3
Pluralisme agama bukan berarti pencampuran atau sinkretisme, sebab keunikan masing-
masing agama tetap dapat dipertahankan dan dapat dikomunikasikan dan bukan untuk
diperbandingkan. Keterbukaan semacam ini menumbuhkan perdamaian dan toleransi dan bukan
pada tempatnya lagi saling menghujat, menyalahkan apalagi membunuh.4 Kesadaran ini sangat
penting dimiliki oleh semua masyarakat Indonesia demi terciptanya kondisi yang harmonis, di
tengah-tengah segala perbendaan yang ada; baik suku, ras, terutama agama.
2 http://luthfiwe.blogspot.com/2010/03/implementasi-pasal-29-uud-1945-format.html. diunduh pada 21,
November, 2011. 3 Eka Darmaputera, Teologi Persahabatan Antar Umat Beragama, Dalam Karel Erari, et.al., Keadilan Bagi
Yang Lemah, Buku Peringatan Hari Jadi ke 67 Prof. Dr. Ihrohmi, MA, (Jakarta, Tanpa Penerbit, 1995), 194. 4 M. Amin Abdullah, Kebebasan Beragama atau Dialog Antar-Agama, Dalam J.B. Banawiratma, dkk.,
Hak Asasi Manusia Tantangan Bagi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 58-59.
15
2.2 Teori Konversi Agama
Pada bagian ini penulis akan memaparkan beberapa teori yang relevan untuk memahami
fenomena konversi agama di Dusun Bukitsari Bali. Namun demikian penulis hanya akan
menggunakan satu dari beberapa teori yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Adapun teori
tersebut adalah sebagai berikut:
2.2.1 Teori Konversi Agama Thomas F. O’Dea5
O’Dea berpandangan bahwa dalam sebuah tatanan masyarakat terdapat sebuah kondisi
dan gaya hidup yang tidak sama yang mana melahirkan pandangan, kebutuhan, tanggapan dan
struktur motivasi yang beraneka ragam. Beberapa prinsip keagamaan akan menunjukan secara
jelas kaitan konkrit antara kebutuhan dan pandangan kelompok tertentu ketimbang kelompok
yang lain yang kadangkala kepentingannya tidak tercermin sama sekali. Sebagai contoh soal
pandangan kekristenan bahwa kekalahan Yesus yang duniawi dalam arti luas dianggap
kemenangan dari iblis dan kematian ternyata akan memiliki daya tarik yang lebih besar bagi
beberapa kelas dan lapisan dibanding kelas lain. Dengan demikian kebhinekaan kelompok dalam
masyarakat akan mencerminkan perbedaan jenis kebutuhan keagamaan.
Masyarakat bukan hanya sekedar sebuah struktur sosial tetapi juga merupakan sebuah
proses sosial yang kompleks. Dalam proses tersebut dapat menimbulkan perubahan yang begitu
cepat dan mengakibatkan tampilnya bentuk-bentuk baru serta mengganggu struktur yang sudah
mapan. Hancurnya bentuk-bentuk sosial dan kultural yang telah mapan dan tampilnya bentuk-
bentuk baru merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Dengan demikian jelas berbagai
ragam kelompok yang ada dalam masyarakat dipengaruhi oleh berbagai perubahan sosial.
5 Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama, judul asli: The Sociology of Religion, (Jakarta: CV Rajawali, 1987),
105-119.
16
Hal ini yang dimaksudkan O’Dea meminjam istilah Durkheim sebagai keadaan “anomi”
yaitu: menunjukan keadaan disorganisasi sosial yang mana berbagai bentuk sosial dan kultur
yang telah mapan ambruk. Dia berbicara tentang dua aspek dari masalah ini: Pertama, hilangnya
solidaritas yaitu apabila kelompok-kelompok lama, setiap individu mendapatkan rasa aman dan
respon cenderung ambruk. Kedua, hilangnya konsensus yaitu tumbangnya persetujuan terhadap
nilai-nilai dan norma-norma yang memberikan arah dan makna bagi kehidupan kelompok.
Durkheim memandang hal ini sebagai dua sisi dari satu proses disorganisasi.
Dalam masyarakat pola-pola sosial tampil karena manusia membutuhkannya, dan apabila
pola yang demikian itu mengalami disintegrasi, maka manusia berusaha mencari jalan ke luar
dari kekacauan dan kebingungan yang dihadapinya. Karena pengalaman anomi merupakan
pengalaman yang mengecewakan, maka manusia bisa berbalik agresif menentang sumber-
sumber nyata atau khayal dari kesukaran tersebut. Akhirnya mereka terlibat dalam permasalahan
masyarakat dan berusaha mendapatkan makna baru.
Penderita depresi ekstrim yaitu orang-orang yang tak terpuaskan oleh kelompoknya dan
anomi memperlihatkan daya tanggap yang besar terhadap agama yang mengkhotbahkan pesan
keselamatan yang menunjukan bahwa dunia ini merupakan tempat penderitaan; dan menawarkan
beberapa sarana agar terlepas dari penderitaan itu. enurut O’Dea agama Kristen adalah agama
semacam itu, menawarkan keselamatan melalui partisipasi dalam kemenangan Kristus terhadap
iblis dan kematian.
Weber (O’Dea, 1987: 109-115) dalam pandangannya mengenai kecenderungan hubungan
stratifikasi sosial dan doktrin keagamaan mengungkapkan bahwa kondisi kehidupan
mempengaruhi kecenderungan agama manusia dan kondisi kehidupan memiliki korelasi yang
cukup berarti dengan fakta stratifikasi sosial disemua masyarakat. Namun perkembangan ide,
17
nilai dan praktek tertentu di suatu masyarakat dapat mempengaruhi semua kelas, strata dan
kelompok yang ada dalam masyarakat tersebut. Contoh sederhana yang dikemukakan Weber
tentang kaum buruh industri seperti juga yang diungkapkan Marx, kaum proletar yang tidak
memiliki kelas cenderung mencari agama sebagai solusi mengatasi ketidakberdayaan mereka.
Weber secara umum berbicara tentang kaum elit dan yang tidak memiliki hak istimewa.
Ide-ide seperti keselamatan, dosa, dan kerendahan hati sebenarnya bagi kelas yang memiliki
status sosial tinggi dan yang memiliki privilese ekonomi akan kurang mengembangkan gagasan
keselamatan. Sebaliknya mereka memanfaatkan fungsi agama sebagai pengabsah pola kehidupan
dan kondisi mereka di dunia. Kemudian kebalikan dari hal tersebut bagi kelas yang tidak
mempunyai hak istimewa atau yang sudah tergusur menunjukan kecenderungan untuk
merangkul dan mengembangkan agama-agama penyelamat, menerima pandangan rasional, dan
menerima tentang persamaan derajat. Weber mengatakan selama setiap kebutuhan untuk
keselamatan merupakan ungkapan dari beberapa keadaan yang sulit, maka tatanan sosial atau
ekonomis merupakan sumber yang efektif bagi keselamatan, keyakinan, walaupun mungkin
bukan sumber yang ekslusif satu satunya. Menurut Barber (O’Dea, 1987: 113) situasi rumit yang
dilahirkan oleh tekanan sosial seringkali menyebabkan munculnya gerakan-gerakan mesianik
yang dipimpin oleh para pemimpin kharismatik yang menawarkan keselamatan pada mereka
yang tertindas baik pada dunia ini ataupun dunia nanti.
O’Dea bersependapat dengan Weber dan Durkheim mengungkapkan bahwa ada tiga
masalah pokok yang menonjol berkenaan dengan stratifikasi sosial dan doktrin agama yang
menjadi faktor penyebab terjadinya konversi agama. Pertama, kecenderungan masyarakat pada
doktrin keagamaan tertentu sangat dipengaruhi oleh kedudukan kelas penganutnya. Kedua,
beberapa ide agama mencerminkan karakteristik kondisi manusia yang sangat universal dan
18
karenannya mempunyai daya tarik luas yang mentransendensikan pembagian stratifikasi sosial.
Ketiga, perubahan sosial khususnya disorganisasi sosial yang mengakibatkan hilangnya konsesus
budaya dan solidaritas kelompok, dan membuat manusia berada dalam “situasi mencari
komunitas” yakni pencarian nilai-nilai baru yang akan menjadi anutan mereka dan kelompok-
kelompok di mana mereka akan bergabung. Ini berarti konversi penerimaan agama baru erat
hubungannya dengan kebutuhan dan aspirasi yang sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial orang-
orang yang terlibat di dalamnya, walaupun kasus demikian kondisi sosial bukan satu-satunya
unsur kausal yang ada. O’Dea mendefinisikan konversi berarti suatu reorganisasi personal yang
ditimbulkan oleh identifikasi pada kelompok dan nilai-nilai baru.
O’Dea dalam studinya tentang gereja Pantekosta di kalangan orang-orang Puerto Rico
New York menunjukan pertalian hubungan lapisan tertentu dengan ajaran keagamaan tertentu
dan bagaimana keanggotaan dalam organisasi keagamaan menawarkan jalan keluar dari anomi.
Banyak para pendatang yang merasa tercerabut dari akar kelompok-kelompok lama, merasa
hidup sendiri dan sering diperlakukan tidak layak di metropolis baru. Timbulnya gerakan
Pantekosta di kalangan imigran menunjukan sebuah contoh khas dari pembentukan kelompok
keagamaan baru. Studi ini menunjukan bahwa pembentukan kelompok ini memperlihatkan suatu
reaksi terhadap keadaan anomi yang terkandung dalam imigrasi. Ini merupakan sebuah contoh
pembentukan kembali solidaritas dan perkembangan nilai dan sikap yang baru.
2.2.2 Teori Konversi Agama Max Heirich dan Hendropuspito
Hendropuspita dalam memahami kata “masuk agama” adalah suatu pengertian yang tidak
asing lagi bagi orang Indonesia. Pengertian atau gambaran masuk agama adalah ada orang yang
dulunya belum beragama sama sekali kemudian menerima suatu agama. Kemudian ada orang
19
yang sudah memeluk agama tertentu kemudian pindah ke agama lain. Dalam hal ini kata “masuk
agama” sama artinya dengan “pindah agama“. Kata Latin “conversio” lebih tepat untuk
digunakan arti kata “masuk agama” dan “berpindah agama”. Kata Inggris “conversion” dapat
diberi arti yang sama seperti di atas. Misalnya berpindahnya seorang pemeluk Agama Hindu ke
agama Kristen disebut dengan kata “conversion”. Yang jelas bahwa kata “conversio” dan
“conversion” mempunyai arti lebih luas: berbalik; bertobat; berubah; masuk ke dalam agama.6
Dalam memahami arti konversi yang lebih luas, Hadiwijono mengemukakan pengertian
pindah agama adalah pertobatan. Pertobatan berarti mengubah pikiran atau berganti pikiran,
membelakangi yang semula disembah lalu menghadap Tuhan atau berbalik dari berhala-hala
kepada Allah.7 Pandangan ini adalah pandangan dari persfektif iman Kristen dalam memahami
kata konversi agama.
Pertobatan juga didefinisikan oleh ahli Psikologi Agama yaitu Dister bahwa: pertobatan
secara psikologis dapat dipandang sebagai runtuhnya suatu sintesis mental tertentu, lantas
sintesis yang telah runtuh tersebut diganti dengan sebuah sintesis yang baru. Dister menjelaskan
bahwa pertobatan religius merupakan hal yang selalu meresap sampai ke dalam akar jiwa
manusia sebagai tempat kepribadian seseorang dalam menyusun dan mengorganisasikan diri.
Dengan suatu keputusan memeluk suatu agama secara sungguh-sungguh kemudian masuk ke
dalam suatu perjanjian baru dengan Tuhan, dengan sesama dan dengan dunia pada taraf yang
paling dalam.8
Menurut Heirich konversi agama adalah suatu tindakan dengan mana seseorang atau
kelompok masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan
dengan kepercayaan sebelumnya. Konversi juga dapat diberi deskripsi sebagai suatu tindakan
6 D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Yogyakarta: Kanisius, 1984), 78.
7 Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 401-402.
8 Nico S. Dister, Psikologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 109-110.
20
dengan mana seseorang atau kelompok mengadakan perubahan yang mendalam mengenai
pengalaman dan tingkat keterlibatannya dalam agamanya ketingkat yang lebih tinggi. Dalam
penulisan ini penulis akan menggunakan perngertian yang pertama kata konversi dipahami
sebagai kata masuk atau pindah agama.9
Konversi agama tidak terjadi dengan sendirinya tanpa ada faktor penyebabnya. Dengan
demikian tentulah ada faktor penyebab sehingga hal tersebut terjadi. Menurut Heirich
(Hendropuspito, 1984; 80-83) ada empat faktor yang menyebabkan orang masuk atau pindah
agama. Secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Dari kalangan teologi menyebutnya faktor pengaruh ilahi.
Seseorang atau kelompok masuk atau pindah agama karena didorong oleh karunia Allah.
Tanpa pengaruh khusus dari Allah orang tidak sanggup menerima kepercayaan yang sifatnya
radikal mengatasi insani. Dengan kata lain, untuk berani menerima hidup dengan segala
konsekuensinya diperlukan bantuan istimewa dari Allah yang sifatnya cuma-cuma. Pengaruh
ini dari dunia supra-empiris dan bukanlah kompetensi ilmu-ilmu sosial untuk membahasnya.
2. Faktor kedua datang dari kalangan psikologi: pembebasan dari tekanan batin.
Ketika orang sedang menghadapi situasi yang mengancam dan menekan batinya, tentu
secara psikologis tertekan. Ketika tekanan itu tidak dapat diatasi dengan kekuatannya sendiri,
maka orang lantas mencari kekuatan dari dunia lain. Di situ ia mendapatkan pandangan baru
yang dapat mengalahkan motif-motif atau patokan hidup terdahulu yang selama itu
ditaatinya. Tekanan batin sendiri dapat ditimbulkan oleh faktor: Pertama, masalah keluarga:
kesulitan keluarga, percecokan, kesulitan seks, kesepian dan tidak dapat tempat di hari
9 Ibid., 79. Dikutip dari pandangan Max Heirich, Change of Heart: A Test of Some Widely Held Theories
about Religious Conversion, dlm. American Journal of Sociology, Vol. 83, No. 3, hlm. 654.
21
kerabat. Kedua, keadaan lingkungan yang menekan; merasa terlempar dari kehidupan
kelompoknya lantas hidup sebatang kara. Hancurnya komunitas karena sudah tidak mampu
menjamin kebutuhan-kebutuhan warganya, perubahan status baik perceraian, masalah
pendidikan, rencana kawin dengan beda agama, perubahan pekerjaan. Ketiga, urutan
kelahiran tertentu. Keempat, karena kemiskinan.
3. Faktor ketiga dari kalangan pendidikan: situasi pendidikan.
Dalam ilmu sosial menampilkan argumentasi bahwa pendidikan memainkan peranan kuat
atas terbentuknya disposisi religius seseorang. Lebih lanjut ditemukan banyak fakta dari
pendirian sekolah-sekolah keagamaan yang dipimpin oleh yayasan-yayasan berbagai agama.
Kenyataan menunjukan bahwa sebagian kecil saja dari seluruh jumlah anak didik dari
sekolah tersebut masuk agama yang dipeluk agama pendirinya. Hanya sejauh itu dapat
dibenarkan bahwa sistem pendidikan lewat persekolahan termasuk faktor penyebab orang
melakukan pindah agama.
4. Faktor keempat dari kalangan sosial: aneka pengaruh sosial.
Heirich berpendapat bahwa pengaruh sosial merupakan salah satu alasan mengapa
seseorang dapat melakukan konversi agama. Mengapa demikian? Pertama, karena adanya
pergaulan antar pribadi yang saling mempengaruhi. Kedua, orang diajak masuk kumpulan
yang sesuai dengan seleranya oleh seseorang teman yang akrab. Ketiga, orang diajak
berulang-ulang menghadiri kebaktian keagamaan. Keempat, selama waktu mencari pegangan
baru orang mendapat anjuran dari saudara-saudaranya atau teman dekatnya. Kelima, sebelum
bertobat ada sebuah jalinan hubungan dengan pemimpin agama tertentu.
22
Dari uraian faktor-faktor di atas Heirich mengungkapkan bahwa bukan selalu karena
penyebab tunggal, tetapi adanya kerja sama (kombinasi) dari sejumlah faktorlah yang memberi
pengaruh lebih kuat untuk mengubah pendirian seseorang berpindah atau masuk agama. Dengan
kata lain, perpindahan agama sebagai fakta adalah suatu hasil dari suatu komplek jalinan
pengaruh yang saling bantu membantu.
Pada dasarnya konversi agama terjadi pada seseorang dikarenakan oleh adanya kebutuhan-
kebutuhan hidup sebagai mahluk sosial atau dinamis tidak dapat terpenuhi secara wajar atau
tidak bisa terjamin dengan layak. Di dalam suatu teori sosial dikatakan bahwa manusia adalah
mahluk hidup yang dinamis.10
Maka dari itu untuk memenuhi kebutuhannya maka seseorang
harus mengusahakannya dan belajar dari lingkungannya di mana ia berada. Ketika kebutuhan
tersebut tidak dapat terpenuhi maka memungkinkan seseorang atau kelompok untuk berpindah-
pindah tempat hingga dapat terpenuhi.
Demikian halnya dengan agama, jika seseorang merasakan tidak terpenuhi dalam dirinya
berkaitan dengan apapun itu misalnya nilai, maka orang akan melakukan pindah agama dari satu
agama ke agama lain. Dalam hal itu agama sebagai institusi kelompok sosial (religius)
merupakan salah satu tempat yang final bagi orang untuk mencari nilai-nilai yang dapat
menjamin kebutuhannya tersebut11
di tengah-tengah masyarakat yang selalu dapat saja berubah.
Perubahan sosial sering kali muncul krisis dan menciptakan situasi yang tidak nyaman dan
ketidak kepastian. Jika nilai-nilai sosial yang ada dalam sebuah masyarakat mereka rasakan
10
Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 224-227. 11
M. Muhandar Sulaiman, Ilmu Sosiologi Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung: ERESCO,
1989), 218.
23
sudah tidak lagi memberi mereka jaminan akan kebutuhan hidup kemanusiaanya sebagai mahluk
hidup sosial yang dinamis sehingga akhirnya mencari jaminannya ke agama lain.12
2.2.3 Teori Konversi Agama Menurut Rambo R. Lewis
Lewis mendefinisikan konversi agama dalam lima (5) bentuk, yaitu:13
1. Konversi agama merupakan perubahan sederhana dari adanya sistem keyakinan terhadap
suatu komitmen iman atau keyakinan; dari hubungan ikatan anggota keagamaan dengan
sistem keyakinan yang satu ke sistem keyakinan yang lainnya; atau dari orientasi yang
satu ke orientasi yang lain pada suatu sistem keyakinan tunggal.
2. Konversi agama merupakan suatu perubahan orientasi pribadi seseorang terhadap
kehidupan; dari adanya kehidupan khayalan atau tahayul kepada pembuktian tentang
adanya sesuatu yang Ilahi; dari suatu keyakinan atas tata aturan (larangan) dan ritual
pada sebuah pendirian (keyakinan yang pasti) yang lebih dalam tentang adanya Tuhan;
dari keyakinan terhadap sesuatu yang menakutkan, penghukuman, pembalasan Tuhan
pada suatu kejujuran, cinta kasih, dan hasrat keinginan agung yang mulia.
3. Konversi agama merupakan suatu transformasi kehidupan spiritual (rohani); dari
pandangan kejahatan atau ketidakbenaran terhadap segala sesuatu yang berkenaan
dengan dunia ini kepada pandangan seluruh ciptaan sebagai suatu kekuasaan atau
kesejahteraan milik Tuhan; dari kebencian diri dalam tata (aturan) kehidupan ini untuk
kembali memulai suatu kehidupan yang suci abadi (akhirat); dari pandangan untuk
kepuasan diri sendiri kepada suatu kepastian bahwa Tuhanlah yang menjadi kepuasan
12
Phill Astrid, S.Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, (Bandung: Bhinacipta Karya
Nusantara, 1977), 122-123. 13
Rambo R. Lewis, Understanding Religius Conversion, (London: Yale Univercity Press, 1993), 2-3.
24
penuh (sejati) bagi perasaan manusia; dari keserakahan kepada perhatian bagi
kesejahteraan bersama dan mencari keadilan untuk semua orang.
4. Konversi agama merupakan suatu perubahan yang mendasar tentang kesanggupan-
kesanggupan mengenai kemampuan untuk meningkatkan kelesuan spiritual (rohani)
kepada suatu taraf baru pada keprihatinan, komitmen, dan relasi baru yang mendalam.
5. Konversi agama merupakan suatu usaha berbalik dari kelompok-kelompok keagamaan
yang baru, berbagai cara kehidupan, sistem-sistem keyakinan, serta berbagai model
hubungan terhadap sesuatu yang ilahi ataupun terhadap kenyataan ilmiah.
Apa yang telah dikemukakan oleh Lewis tersebut secara teologis hampir sama
dengan yang dikemukakan oleh Malcolm Brownlee yang mendefinisikan konversi agama
sebagai sebuah pertobatan. Pertobatan berarti berpaling atau membalikan diri dan kembali
kepada Tuhan. Pertobatan berarti cara kehidupan yang berbeda. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa pertobatan berarti perubahan dalam kehidupan invdividu secara pribadi. Perubahan
yang tampak walaupun terdapat perasaan lega dan sukacita, namun pertobatan ini lebih dari
pada sekedar pengalaman yang penuh emosional. Dalam hal ini pertobatan juga disertai oleh
keinginan untuk mengerti ajaran yang benar tentang Tuhan dan ciptaanNya, lebih dari pada
sekedar pandangan intelektual yang baru. Jadi pertobatan berarti suatu perubahan dalam arah
kehidupan seseorang.14
Lewis dalam teorinya mengenai tipe (jenis) dan motif (bentuk) konversi agama15
memberikan keterangan dan pemisahan yang cukup jelas. Berikut adalah mengenai jenisnya
terdiri dari 5 tipologi:
14
Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan: Dasar Teologi bagi Pekerjaan Orang
Kristen Dalam Masyarakat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 26-27. 15
ibid., Rambo R. Lewis…, 12-16.
25
1. Murtad (Apostasy) atau Penyebrangan (Defection)
Dalam tipe ini terdapat penolakan atau penyangkalan dari suatu tradisi keagamaan
ataupun keyakinan sebelumnya oleh para anggota. Perubahan ini sering kali mengarah
kepada peninggian suatu sistem nilai-nilai non religius.
2. Pendalaman (intensivication)
Dalam tipe kedua ini terdapat perubahan komitmen pada suatu keyakinan dan petobat
tetap masih memiliki hubungan dengan keanggotaannya di masa sebelumnya, baik secara
resmi maupun tidak resmi.
3. Keanggotaan (Affiliation)
Tipe ini yaitu jenis konversi berdasarkan hubungan dari seseorang secara individu
maupun kelompok, dari komitmen keagamaan ataupun bukan, minimal pada hubungan
keanggotaan penuh dengan suatu institusi atau komunitas iman.
4. Peralihan (Institutional Transition)
Tipe ini berhubungan dengan perubahan individu ataupun kelompok dari komunitas yang
satu ke komunitas yang lain, dengan suatu tradisi mayoritas.
5. Peralihan Tradisional (Traditional Transition)
Dalam tipe konversi yang kelima ini berhubungan pada perubahan individu ataupun
kelompok dari tradisi agama mayoritas yang satu ke tradisi agama mayoritas yang lain;
perubahan dari satu pandangan atau faham, sistem ritual, simbol umum, maupun gaya
hidup yang satu ke yang lainya sebagai suatu proses kompleks yang sering ada di dalam
konteks hubungan lintas kebudayaan maupun konflik lintas budaya.
26
Berikut adalah berdasarkan motifnya, Lewis menjelaskan dengan enam (6) buah
bentuk:
1. Konversi Intelektual (Intelectual Conversion)
Pada motif ini seseorang mencoba memahami tentang keagamaan atau isu-isu rohani
melalui buku-buku, televisi, artikel-artikel, dan berbagai media lain yang tidak
berhubungan dengan manfaat kontak sosial. Dalam hal ini seseorang dengan aktif
mencoba keluar lalu memperluas alternatifnya. Secara umum keyakinannya menjadi
utama untuk terlibat aktif dalam ritual-ritual keagamaan maupun organisasi-organisasi.
2. Konversi Mistik (Mistic Conversion)
Motif yang kedua ini dianggap sebagai bentuk awal dari konversi, misalnya seperti dalam
kasus Saulus di Tarsus. Konversi berbentuk mistik ini umumnya merupakan suatu yang
terjadi secara mendadak dan meletuskan trauma tentang wawasan atau pandangan yang
dipengaruhi oleh penglihatan-penglihatan, bisikan atau suara, maupun pengalaman-
pengalaman paranormal.
3. Konversi Eksperimental (Experimental Conversion)
Pada motif konversi ini dikarenakan adanya kelonggaran atau kebebasan beragama yang
lebih besar maupun suatu pelipatgandaan pengalaman-pengalaman keagamaan yang
diperoleh. Konversi ekperimental berhubungan dengan perluasan aktif terhadap berbagai
pilihan keagamaan. Di sini potensi petobat adalah memiliki mentalitas untung-untungan
(mencoba-coba) dengan apa yang akan didapatnya dalam kebutuhan (kehidupan) rohani,
apakah dalam berbagai pola aktivitas dalam keagamaan itu dapat mendukung kebenaran
yang mereka butuhkan atau tidak.
27
4. Konversi Batin (Affectional Conversion)
Konversi dalam motif ini menekankan pada ikatan-ikatan antar pribadi sebagai suatu
faktor penting dalam proses konversi. Pusatnya ada pada pengalaman pribadi tentang
cinta kasih, saling menopang, dan dikuatkan dengan suatu kelompok maupun oleh para
pimpinannya.
5. Konversi Pembaharuan (Revivalism Conversion)
Dalam motif konversi ini menggunakan sekumpulan ketegasan untuk mempengaruhi
perilaku. Para individu secara emosional dibangkitkan perilaku-perilaku baru serta
keyakinan-keyakinannya digerakan dengan tekanan yang kuat. Untuk hal tersebut
perjumpaan-perjumpaan pembaharuan mengutamakan kekuatan-kekuatan musik dan
khotbah secara emosional. Lagi pula terhadap pengenalan kelompok, para individu
terkadang mencoba keluar dari anggota keluarganya ataupun kawan-kawannya untuk
mempengaruhi langsung secara keras atas potensi petobat.
6. Konversi Paksaan (Coercive Conversion)
Pada konversi berikut dikarenakan oleh adanya kondisi-kondisi khusus yang perlu
diadakan dalam peraturan atau diatur, sehingga konversi paksaan ini terjadi. Pencucian
otak, mengajak dengan paksa, membentuk pikiran, dan pemprograman label-label yang
lainnya, sebagaimana suatu proses. Sebuah konversi kurang lebih menyesuaikan pada
taraf tersebut, yaitu dari tekanan kuat yang mendalam atas seseorang untuk terlibat,
menyesuaikan, dan mengakuinya. Perampasan kebutuhan pokok (pangan) dan
ketenangan mungkin membuat seseorang tidak dapat menahan diri untuk menyerah
pasrah pada ideologi suatu kelompok dan mentaatinya. Menakut-nakuti dan sedikit
28
tuduhan, penderitaan atau siksaan fisik, dan bentuk-bentuk teror atas kehidupan pribadi
seseorang.
Dari penjelasan tentang motif dan jenis di atas, ternyata konversi muncul bukan tanpa sebab
atau ada tidak dengan sendirinya. Setiap konversi memiliki rangkaian-rangkaian peristiwa atau
kejadian yang mendahuluinya, dan saling berkaitan erat dalam konversi itu. Jadi konversi
bukanlah merupakan suatu moment tunggal yang tiba-tiba terjadi dengan sendirinya, tetapi
merupakan suatu proses.16
Menurut Lewis ada lima macam faktor penyebab orang melakukan konversi agama. Faktor-
faktor tersebut antara lain:17
1. Kebudayaan (Culture). Kebudayaan membangun bentuk intelektual, norma, dan situasi
kehidupan spiritual. Berbagai bentuk mitos, ritual dan simbol suatu kebudayaan
memberikan tuntunan petunjuk bagi kehidupan yang sering kali tidak disadari diadopsi
dan diambil untuk dijadikan jaminan.
2. Masyarakat (Society). Yang dipermasalahkan disini adalah aspek-aspek sosial dan
institusional dari berbagai tradisi (kebiasaan) yang ada dalam konversi yang sedang
berlangsung. Berbagai kondisi sosial pada waktu terjadinya konversi, berbagai hubungan
penting dan institusi dari potensi para petobat serta berbagai karakteristik beserta
berbagai proses kelompok keagamaan pada petobat mempunyai kaitan dengan terjadinya
konversi. Hubungan antara berbagai relasi individual dengan lingkungan matriksnya,
maupun dengan harapan-harapan kelompok yang ada di dalam hubungan saling terkait
juga menjadi pusat perhatian.
16
ibid., Rambo R. Lewis, 5. 17
Ibid.,, 7-12.
29
3. Pribadi (Person). Pada faktor ini meliputi perubahan-perubahan yang bersifat psikologis,
yaitu pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan berbagai tindakan. Transformasi diri,
kesadaran, dan pengalaman yang ada di dalam aspek-aspek subyektif maupun obyektif
dianggap memiliki hubungan dengan terjadinya konversi. Dari suatu studi klasik,
konversi sering kali didahului oleh adanya kesedihan, huru-hara, keputusasaan, konflik
dan rasa menyesal (rasa bersalah) maupun kesulitan-kesulitan lain.
4. Agama (Religion). Agama merupakan sumber dan tujuan konversi. Keagamaan orang-
orang memberi ketegasan bahwa maksud dan tujuan konversi adalah membawa mereka
ke dalam hubungan dengan yang suci (Ilahi) serta memberikannya suatu pengertian dan
maksud yang baru.
5. Sejarah (History). Pada waktu dan tempat yang berbeda konversi pun juga berlainan. Para
orang yang berkonversi kemungkinan memiliki motivasi-motivasi yang berlainan pula, di
kesempatan waktu yang berbeda dalam suatu konteks kejadian atau peristiwa yang
khusus. Namun demikian struktur dan bentuk setiap konversi umumnya sama. Dalam hal
inipun proses konversinya juga dapat berbeda-beda.
Kelima faktor di atas difokuskan menjadi 4 macam faktor saja, yaitu: kebudayaan,
masyarakat, pribadi dan sejarah. Sedangkan faktor agama dijadikan salah satu bagian dari dari
unsur kebudayaan sebagai bagian dari kehidupan seseorang atau kelompok dalam masyarakat.
Geertz melihat semua hal tersebut merupakan kesatuan yang membentuk jaringan yang saling
berkaitan erat.18
Meskipun disini hanya memfokuskan 4 macam faktor pokok, tetapi dasar
pemikirannya tetap sama, dan isinya pun tidak jauh berbeda,yaitu:
18
Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 3-5.
30
1. Kebudayaan; meliputi segala tata nilai dan perilaku dalam sistem-sistem kebudayaan yang
berlaku dalam masyarakat, misalnya pola pandang atau sistem pengetahuan masyarakat,
pencarian ekonomi, politik atau pemerintahan, bangsa, kesenian, dan kekerabatan
2. Masyarakat; meliputi tujuan dan cita-cita, ideologi, orientasi, serta motivasi kelompok atau
masyarakat pada umumnya. Semuanya ini juga memiliki tatanan nilai dasar maupun perilaku
yang terwujud dalam solidaritas, loyalitas, serta integrasi yang ada.
3. Pribadi; meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan perasaan, keinginan, orientasi, dan
motivasi serta pikiran-pikiran yang ada dalam diri pribadi individu.
4. Sejarah; sedangkan yang dimaksud dengan sejarah disini secara singkat adalah bagaimana
asal mula keberadaan beserta peristiwa yang ada pada suatu komunitas kelompok masyarakat
dengan segenap tindakannya sebagai usaha pembentukan dan pengintegrasian.
Keempat faktor di atas menyatu dan mewujud didalam pola tindakan masyarakat sebagai
suatu situasi dan kondisi yang dialami dan dirasakan secara langsung, sehingga dapat
menimbulkan harmoni ataupun konflik, diantara berbagai pihak (pribadi, kelompok, dan
masyarakat).
Lebih jauh Lewis dalam bukunya memaparkan tujuh tingkatan didalam “Stage Model” yang
ditawarkan, model bertingkat dalam menggambarkan secara sistematis proses terjadinya
konversi. Ketujuh hal tersebut yaitu: tingkat pertama konteks, tingkat kedua krisis, tingkat ketiga
pencarian, tingkat keempat pertemuan, tingkat kelima interaksi, tingkat keenam komitmen, dan
tingkat yang terakhir yaitu konsekuensi.19
Sebuah model bertingkat lebih tertuju pada sebuah
proses perubahan yang terjadi setiap waktu, yang biasanya memperlihatkan suatu rangkaian
proses tersebut. Lewis menggunakan model ini bukan sekedar terdiri dari banyak dimensi dan
19
ibid., Rambo R. Lewis, 16-18.
31
sejarah, melainkan juga berorientasi pada proses. Jadi hal tersebut ingin mengatakan bahwa
konversi adalah pendekatan sebagai suatu rentetan elemen-elemen yang ada, yakni interaktif dan
kumulatif sepanjang waktu. Ketujuh urutan, tingkatan, tahapan model tersebut dapat dijelaskan
dan digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Sebuah urutan tingkatan tahapan model
TING. 1 TING. 2 TING. 3 TING. 4 TING. 5 TING. 6 TING. 7
K
O
N
T
E
K
S
K
R
I
S
I
S
P
E
N
C
A
R
I
A
N
P
E
R
T
E
M
U
A
N
I
N
T
E
R
A
K
S
I
K
O
M
I
T
E
M
N
K
O
N
S
E
K
U
E
N
S
I
32
Gambar 2. Sebuah sistem tingkatan/tahapan model
1. Konteks
Konversi mengambil tempat di dalam sebuah konteks dinamik. Konteks ini mencakup
sebuah pandangan yang sangat luas sekali tentang pertentangan, perjumpaan, dan beberapa
faktor dialektik di antara keduanya mempermudah maupun menghambat proses konversi.
Konteks membentuk kealamian, struktur, serta proses konversi. John Gration
menguraikan/menjelaskan demikian: ”di dalam suatu pendirian yang sangat (kuat) setiap
konversi ada di dalam konteks, sebuah konteks yang memiliki berbagai macam segi,
merangkum bidang politik, sosial, ekonomi, serta keagamaan di dalam sebuah kehidupan
seseorang di saat dirinya berkonversi. Jadi apapun pengertian konversi, dia tidak pernah
mengambil tempat di luar sebuah konteks kebudayaan.
KONTEKS
KONSEKUENSI
KRISIS
KOMITMEN INTERAKSI
PERTEMUAN PENCARIAN
33
Konteks merupakan kesatuan superstruktur dan infrasruktur konversi, yang meliputi
dimensi sosial, kebudayaan, keagamaan, serta pribadi. Faktor-faktor kontekstual membuat
kesempatan-kesempatan komunikasi, tersedianya pilihan-pilihan ruang ke-agamaan, dan
mobilitas, fleksibilitas, sumber-sumber daya, mau-pun kesempatan orang banyak. Kekuatan-
kekuatan ini memiliki suatu pengaruh langsung pada siapa orang-orang yang beralih
keyakinan kepercayaannya, dan bagaimana konversi berlangsung. Kebanyakan orang sering
kali diajak, dianjurkan, dihalangi, ataupun dikuatkan pada penerimaan terhadap orang satu
dengan yang lainnya atau penolakan konversi.
Pada tingkat ini dibagi kedalam dua bagian yakni Macrocontext dan Microcontext.
Makro-konteks mengarah kepada lingkungan total, misalnya meliputi ber-bagai elemen
seperti sistem-sitem politik, keagamaan, organisasi-organisasi, keterkaitan berbagai
pemikiran ekologis, berbagai kerja sama antar bangsa, serta sistem-sitem ekonomi.
Kekuatan-kekuatan ini antara satu dengan yang lainnya dapat mempermudah ataupun
menghambat menghalangi konversi, dan pasti mempengaruhi individu seluas
kemasyarakatan mereka. Sedangkan Mikrokonteks menyangkut dunia yang lebih dekat dari
sebuah keluarga seseorang, para sahabat, kelompok etnik, komunitas ke-agamaan, serta
orang-orang yang berada di sekitarnya. Kedekatan ini meliputi permainan sebuah aturan
penting dalam menciptakan perasaan mengenai identitas dan milik pribadi maupun di dalam
membentuk sebuah sentuhan-sentuhan, perasaan-perasaan, mau-pun tindakan-tindakan
seseorang.20
Untuk mendorong diskusi dan memfokuskan perhatian pada issu-issu yang khusus, serta
merangsang riset lebih lanjut, Lewis menunjukkan beberapa hipotesis mengenai berbagai
dinamika konversi. Diantaranya adalah sebagai berikut:
20
ibid., 20-22.
34
1. Kebudayaan-kebudayaan asli suatu daerah tertentu yang stabil, ulet, serta efektif akan
memiliki sedikit orang yang melakukan sebuah konversi. Karena sebuah kebudayaan
yang kuat akan memberikan peng-hargaan yang sesuai dan pelanggar hukum. Dilain hal
orang-orang yang merasa termarginalkan, hubungannya putus dengan dukungan
kebudayaan, memungkinkan mereka melakukan konversi.
2. Kebudayaan-kebudayaan asli suatu daerah tertentu yang berada di dalam krisis akan
memiliki banyak potensi untuk orang melakukan konversi agama dibanding dari
masyarakat yang stabil. Selama sebuah krisis menghebat, hal tersebut mampu menarik
seseorang untuk mencari alternatif-alternatif baru. Sebuah krisis kebudayaan, menjadi
faktor penting mempengaruhi pola-pola konversi, apakah krisis tersebut telah ada secara
eksternal ataupun internal.21
21
Ibid., 41.
KONTEKS
KONSEKUENSI
KRISIS
KOMITMEN INTERAKSI
PERTEMUAN PENCARIAN
35
2. Krisis
Krisis merupakan bagian dari proses seseorang melakukan konversi agama. Para ahli
setuju bahwa beberapa bentuk krisis mendahului terjadinya konversi. Krisis tersebut dapat
terjadi pada kehidupan keagamaan, politik, psikologi atau kebudayaan asli. Di dalam tingkat
ini, terdapat dua pokok isu dasar erat dalam sebuah diskusi terhadap krisis. Pertama adalah
pentingnya isu-isu kontekstual, dan yang kedua adalah kadar keaktifan ataupun kepasifan
dari orang yang beralih keyakinan kepercayaannya atau konversi. 22
Dalam pemaparan mengenai sifat dasar krisis, banyak literatur yang menekankan pada
disintegrasi sosial, penindasan politik, atau juga sebuah peristiwa dramatis. Krisis juga
memiliki sifat dasar lainya, yakni mampu membimbing seseorang kepada hal yang bukan
dramatis, memberikan respon yang sangat kuat untuk mengakui kesalahan atau dosa dan
pada akhirnya melakukan sesuatu perubahan. Sifat dasar dari krisis tersebut akan berlainan
antara orang yang satu dengan yang lain dan dari situasi yang satu ke situasi yang lainnya.
Krisis yang dihadapi oleh seseorang dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab, antara lain:
pengalaman mistik, pengalaman yang terjadi ketika mendekati kematian, sakit penyakit dan
proses mengobati, perasaan dan persepsi bahwa hidup harus memiliki arti dan tujuan,
keinginan manusia yang selalu ingin lebih, mengubah keadaan pikiran atau perasaan agar
berada pada keadaan yang sadar (karena pengaruh obat-obatan terlarang), kepribadian
seseorang yang mudah menyesuaikan diri dalam berbagai lapangan pekerjaan, patologi
(terlalu sering melakukan analisis terhadap psikis orang lain), pengingkaran atas agama,
22
Ibid., 44-45.
36
prinsip, tujuan, tatanan moral, dan stimulus yang berasal dari luar seperti lingkungan dan
kebudayaan, aktivitas penginjilan.23
3. Pencarian
Pencarian merupakan hal yang dilakukan oleh manusia secara terus menerus di dalam
proses kontruksi dan merekontruksi dunianya supaya menghasilkan arti dan makna,
memelihara keseimbangan fisik, serta menjamin secara terus-menerus. Para ahli sosial seperti
James Richardson telah mulai memandang masyarakat sebagai agen-agen yang aktif di
dalam menciptakan arti, makna dan seleksi pilihan-pilihan keagamaan. Satu kata (dari
banyak kemungkinan kata) yang di-masukkan di dalam proses membangun arti, makna,
apapun penyebabnya adalah pencarian (quest).24
Dalam hal ini pelaku konversi menjadi
23
Ibid., 46-54. 24
ibid., 56.
KRISIS
KONSEKUENSI
KONTEKS
KOMITMEN INTERAKSI
PERTEMUAN PENCARIAN
37
pelaku agen aktif, karena mereka dapat mencari kepercayaan-kepercayaan, kelompok-
kelompok, dan organisasi-organisasi yang menyediakan apa yang mereka butuhkan.
Pencarian tersebut dapat terjadi karena tersedianya struktur yang di dalamnya seseorang
dapat bergerak dari emosi, intelektual, lembaga-lembaga agama, komitmen-komiten,
kewajiban-kewajiban sebelumnya menuju pilihan yang baru. Ketika seseorang melakukan
pencarian-pencarian tersebut, tentunya terdapat motivasi yang memperkuatnya dalam
mencapai kebutuhan-kebutuhannya, baik itu motivasi resolusi konflik, gambaran kesalahan,
atau tekanan dalam keluarga.25
Seymour Epstein mengemukakan empat motivasi dasar manusia bertindak, yaitu:
kebutuhan akan pengalaman yang senang dan menjauhi yang buruk, kebutuhan untuk sebuah
sistem yang konseptual, kebutuhan dalam mempertinggi penghargaan diri, dan kebutuhan
dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan-hubungan.26
25
ibid., 56-63. 26
ibid., 63-64.
PENCARIAN
KONSEKUENSI
KONTEKS
KOMITMEN INTERAKSI
PERTEMUAN KRISIS
38
4. Pertemuan/Perjumpaan
Perjumpaan yang dimaksud oleh Lewis dalam tingkatan ini adalah berjumpanya sang
pendorong (misionaris/orang Kristen) dengan pelaku konversi agama. Di mana perjumpaan
terjadi pada tempat atau konteks tertentu.
Di dalam setiap perjumpaan antara sang pendorong dengan orang yang berkonversi
secara potensial, hal yang nyata dari itu adalah terjadinya saling mempengaruhi diantara
mereka. Perjumpaan dipandang sebagai pusaran kekuatan dinamis lapangan di mana
konversi itu terjadi. Sebagai serangkaian linier yang sederhana, hasil dari perjumpaan
tersebut terdapat sebuah penolakan total dan dapat juga terjadi penerimaan yang lengkap
pada orang lain.27
Untuk itu penting menanyakan apa motivasi-motivasi seseorang untuk menjadi
misionaris. Adapun motivasi dari sang pendorong adalah sebagai berikut:
a. Kehendak Tuhan
Orang-orang menjadi misionaris karena mereka mempercayai maksud Tuhan bagi
kehidupan mereka. Para individu bisa jadi mengorbankan waktu, uang, tenaga, maupun
seluruh kehidupan mereka untuk tujuan misi ketika memandang konversi orang lain pada
suatu tradisi keagamaan sebagai kehendak Tuhan.
b. Perintah Kristus
Sebuah perhatian untuk jiwa-jiwa para penyembah berhala yang hilang ketinggalan, dan
merasa kasihan pada orang-orang di luar agama Kristen. Perintah bagi misi secara mendasar
dihidupkan terus oleh perintah Jesus di dalam komisi yang besar. Kepatuhan terhadap
27
Ibid., 87.
39
perintah Yesus telah dibubuhi dengan motivasi bahwa perintah itu telah diberikan karena
kasih Tuhan di dalam Kristus.
c. Nasionalisme
Nasionalisme juga memainkan sebagian motivasi dari para missionaris. Terkadang wakil-
wakil pemerintahan dan gereja bekerjasama untuk menenangkan para penduduk asli yang
tidak senang dengan memperadabkan mereka melalui upaya sekolah misionaris. Di konteks
Amerika Serikat sebagian besar para pengajar demokrasi dan telah mendudukkan contoh
moral pada dunia. Peradaban, demokrasi, dan kristenisasi merupakan pusaran di dalam
sebuah jaringan retorika motivasional yang kompleks, sebuah retorika yang sangat kuat yaitu
para missionaris dari Amerika Serikat yang memberikan personil yang besar, keuangan,
maupun publikasi untuk usaha-usaha pemimpin, keberanian usaha missionaris orang Kristen
untuk memasuki dunia.
d. Pelayanan
Salah satu motivasi-motivasi yang terkuat untuk misi-misi adalah secara sederhana hasrat
menolong banyak orang. Pertolongan itu dapat membawa bentuk perlindungan kesehatan,
kemajuan pendidikan, perluasan ekonomi, dan lain sebagainya.28
Kemudian strategi sang pendorong berhubungan penting dengan jangkauan, tujuan-
tujuan, dan metode-metode konversi yang penting (dalam) membentuk taktik-taktik sang
pendorong maupun pengalaman orang yang berkonversi. Pengujian strategi misionaris,
berguna untuk melihat pada empat komponen utama: kadar proselitisasi, gaya strategi, mode
28
Ibid., 73-75.
40
hubungan, serta manfaat-manfaat potensial sebuah pilihan keagamaan baru yang ditawarkan
pada orang yang berkonversi secara potensial. Bagaimanapun, yang paling utama, perlu
pengujian penggunaan kemampuan sebagai sebuah strategi missionaris secara tersediri.29
Perjumpaan menjadi sebuah peristiwa yang paling baik ketika sang pendorong dan
seseorang yang berkonversi secara potensial bersama-sama dan mengajak di dalam berbagai
proses yang akan menghasilkan konversi, untuk banyak orang. Pertemuan yang sangat
menarik dan kompleks ini merupakan sebuah proses dinamis.
Di masa lalu, para ahli konversi telah memfokuskan studi pada mereka hampir semata-
mata pada orang yang berkonversi, tetapi pada kenyataannya penting dan secara dinamis
saling mempengaruhi antara keberadaan sang pendorong dan orang yang ber-konversi secara
potensial. Sisi-sisi manuver, strategisasi, dan keterlibatan keduanya di dalam berbagai taktik
selama tahap pertemuan. Sang Pendorong memperkirakan target audien yang potensial dan
bentuk-bentuk taktik persuatif untuk membawa orang-orang yang berkonversi ke dalam
komunitas keagamaan. Orang yang ber-konversi juga mencoba mempertinggi kepentingan-
kepentingan terbaik yang merasa dimiliki. Dengan cara-cara itu sang pendorong dan orang
yang berkonversi secara potensial secara timbal balik bertemu dengan masing-masing
kebutuhannya.30
29
Ibid., 76. 30
Ibid., 66-67.
41
5. Interaksi
Untuk orang-orang yang berlanjut dengan sebuah pilihan keagamaan baru setelah awal
pertemuan, mereka berinteraksi dengan mengadopsi kehebatan-kehebatan kelompok
keagamaan. Orang-orang yang berkonversi secara potensial sekarang belajar lebih mengenai
pengajaran, gaya hidup, dan harapan-harapan kelompok, dan dilengkapi dengan
kemungkinan-kemungkinan, baik formal maupun informal, menjadi lebih menyatukan secara
penuh dengan hal itu. Di dalam tahap interaksi, orang yang berkonversi secara potensial
lainnya memilih melanjutkan kontak dan menjadi lebih terlibat, atau sang pendorong
berusaha menopang interaksi tersebut dengan tatanan untuk memperluas kemungkinan
mengajak orang tersebut untuk berkonversi.31
Sebuah pemahaman yang lebih penuh mengenai keefektifan pada tahap interaksi
mungkin berasal dari sebuah diskusi tentang sifat mendasar dari proses pewadahan (distudi
31
Ibid., 102.
PERTEMUAN
KONSEKUENSI
KONTEKS
KOMITMEN INTERAKSI
PENCARIAN
KRISIS
42
secara intensif oleh ahli sosiologi, Arthur Griel dan David Rudy), yang menciptakan sebuah
lingkup pengaruh atau matriks di dalam mana elemen-elemen konversi yang krusial bekerja.
Proses-proses ini menggunakan empat komponen: berbagai macam hubungan, ritual,
pembicaraan, dan peranan. Adapun hal tersebut sebagai berikut:
1. Hubungan-hubungan; menciptakan dan mengkonsolidasikan ikatan-ikatan emosional bagi
kelompok dan realitas perspektif baru hari ke hari.
2. Ritual-ritual; memberikan mode-mode pengidentifikasian integratif dengan dan hubungan
pada gaya hidup yang baru.
3. Pembicaraan; memberikan dan menginterpretasikan sistem, menawarkan panduan dan
pengertian kepada orang yang melakukan konversi.
4. Peranan-peranan; memperkuat suatu keterkaitan pribadi dengan memberi baik pria
ataupun wanita sebuah misi khusus untuk diselesaikan.32
32
Ibid., 107-108.
INTERAKSI
KONSEKUENSI
KONTEKS
KOMITMEN PERTEMUAN
PENCARIAN KRISIS
43
6. Komitmen
Komitmen merupakan bagian dari proses konversi yang perlu dilakukan oleh pelaku
konversi setelah melakukan interaksi yang intensif dengan kelompok agama yang baru.
Ketika interaksi tersebut dilakukan, maka pelaku konversi akan membuat pilihan dengan
komitmen. Komitmen seseorang biasa ditunjukan dengan menjalankan ritual agama yang
baru. Komitmen tersebut dikenal dengan sebutan komitmen ritual, seperti: baptis dan
kesaksian. Karena dengan kedua hal tersebut, memperlihatkan perubahan seseorang dan
partisipasinya di dalam perubahan tersebut, serta orang lain juga dapat melihat keputusan
yang diambil oleh pelaku konversi (menjadi saksi).33
Di dalam tingkat ini terdapat lima
elemen yang melingkupi: membuat keputusan, ritual-ritual, penyerahan, manifestasi
kesaksian yang terkandung di dalam perubahan bahasa dan rekontruksi biografi, dan
perumusan kembali motivasi.34
33
Ibid., 124. 34
Ibid., 125-140.
44
7. Konsekuensi
Ketika seseorang atau kelompok memutuskan untuk melakukan konversi agama,
tentunya telah banyak hal-hal yang dipertimbangkan, termasuk akibat atau yang dalam
tingkatan bagian ini disebut sebagai konsekuensi. Lewis mengemukakan lima pendekatan
untuk menjelaskan tentang konsekuensi-konsekuensi, antara lain: peran bias pribadi dalam
penilaian, observasi-observasi umum, lebih mendalam terkait dengan konsekuensi-
konsekuensi sosial budaya dan historis, konsekuensi psikologi, dan konsekuensi teologi.35
35
Ibid., 142.
KOMITMEN
KONSEKUENSI
KONTEKS
INTERAKSI
PERTEMUAN
PENCARIAN
KRISIS
45
Konsekuensi atau biasa disebut dengan akibat, efek, dampak, dalam konversi agama erat
kaitannya dengan keenam elemen lainya. Dalam proses konversi, setelah individu melalui
krisis yang terjadi dalam batinnya, ia mulai mencari kelompok, komunitas agama yang sesuai
dengan kebutuhannya dan menemukan apa yang dicari, yang kemudian berbagai interaksi
mulai dapat dilakukan serta dikembangkan guna menyatukan diri dengan kelompok,
komunitas maupun agama yang baru sebagai tanda kesiapan atau komitmen. Dari proses
konversi tersebut tentu menimbulkan dampak, yang dapat ditimbulkan dari lingkungan
sekitar, konteks dimana individu tersebut berada, sebagai respon terhadap individu yang
melakukan konversi agama.
Dampak atau konsekuensi yang ditimbulkan dalam suatu proses, termasuk proses
konversi dapat bersifat positif maupun negatif. Menurut Manullang, dalam pengambilan satu
keputusan diiringi dengan adanya sesuatu yang tidak menyenangkan, itulah yang disebut
KONSEKUENSI
KOMITMEN
KONTEKS
INTERAKSI
PERTEMUAN
PENCARIAN
KRISIS
46
dengan dampak yang tidak menyenangkan atau kehilangan keuntungan yang berharga.36
Dengan kata lain dampak tersebut bersifat negatif ketika individu justru kehilangan
keuntungan yang berharga ketika melakukan konversi agama.
Ketujuh model tingkatan di atas dapat dilihat memiliki bagan masing-masing, artinya yang
menjadi pusat dari bagan tersebut adalah topik sesuai dengan permasalahan yang diangkat atau
sesuai kebutuhan. Jadi tidak selamanya selalu konteks atau krisis yang menjadi pusat rentetan
atau proses konversi agama yang sedang terjadi. Dengan demikian hal tersebut dapat berubah-
ubah karena satu dengan yang lain merupakan rentetan peristiwa yang saling terkait dan tidak
dapat dipisahkan.
2.2.4 Teori Konversi Agama Menurut Ni Kadek Surpi Aryadharma
Aryadharma berpandangan konversi agama adalah suatu keadaan seseorang atau
sekelompok orang beralih keyakinan atau berubah dari agama lama masuk menjadi penganut
agama baru. Pandangan ini juga didukung oleh Jalaluddin bahwa secara umum konversi agama
dipahami sebagai berubahnya atau masuknya agama dari satu agama ke agama lain. Konversi
agama menurut etimologi, konversi berasal dari kata “conversion” yang berarti tobat, pindah dan
berubah agama. Dalam bahasa inggris kata “conversion” berarti berubah dari suatu keadaan atau
dari satu agama ke agama lain.37
36
M. Manullang, Pedoman Praktis Pengambilan Keputusan, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1986),
11&19. 37
Ni Kadek Surpi Aryadharma, Membedah kasus Konversi Agama di Bali, ( Surabaya: PARAMITA,
2011), 8.
47
Menurut Aryadharma ada delapan (8) faktor penyebab terjadinya konversi agama. Faktor-
faktor tersebut adalah sebagai berikut:38
1. Ketidakpuasan atas sistem adat dan agama:
Hindu Bali sarat dengan berbagai upacara keagamaan. Dalam hal ini memberi perhatian
pada banten yang menjadi sarana utama persembahyangan umat Hindu di Bali. Ada
pemahaman bahwa banten adalah sarana yang tidak boleh hilang dan dikurangi sama sekali.
Semakin rumit semakin banyak jenis dan jumlahnya dianggap semakin lengkap dan
menunjukan kehinduan ala Bali. Banyaknya banten dibuat juga dianggap sebagai cerminan
rasa bhakti dan menunjukan karakter kehinduan. Mereka melupakan bahwa Hinduisme tidak
stagnasi pada upacara. Stagnasi pada persoalan banten saja sesungguhnya menunjukan
terjadi proses berbalik, yaitu bukan proses pencerahan tetapi pembodohan. Karena hakikat
dari banten sendiri bukan hanya konsep bhakti apalagi sekedar sarana persembahyangan,
namun untuk pengejawantahan jnana dan raja marga.
Kelompok lain berpandangan bahwa banten yang rumit dan banyak jenisnya dianggap
merepotkan dan tipis hubungannya dengan penguatan iman, sehingga banten dapat
disederhanakan. Persepsi yang berbeda ini dapat menyebabkan perdebatan satu dengan yang
lain. Untuk itu perlu dijembatani atara intelektual Hindu dan pembuat banten. Karena terjadi
komersialisasi bagi pembuat banten. Semakin banten rumit, banyak dan mahal akan
menguntungkan mereka.
Perbedaan pandangan ini yang menyebabkan ketidakpuasan yang menyebabkan seseorang
mencari nilai baru. Banten yang besar dan rumit bagi yang memiliki status sosial tinggi
bukan menjadi persoalan. Tetapi bagi masyarakat yang ekonominya menengah kebawah dan
38
Ibid., 99-128.
48
bahkan secara materi kurang, hal ini tentu menimbulkan persoalan dan mulai dipertanyakan
apakah banten terkait langsung dengan iman bahkan keselamatan seseorang. Karena celah
inilah yang mungkin dapat menyebabkan seseorang mencari makna baru atau agama baru.
Diungkapkan Tsang To Hang seorang penginjil di Bali jaman dulu, bahwa: “seumur hidup
orang Bali hidup dengan hemat dan rajin mengumpulkan harta benda dan saat upacara
ngaben tiba, seluruh kekayaan untuk mengongkosi. Jika hal ini tidak mencukupi, mereka
tidak segan-segan menjual atau menggadaikan sawah dan rumahnya atau meminjam uang
dengan bunga yang sangat mencekik demi mendiang dapat naik ke sorga. Setelah ngaben
usai, keluarga yang bersangkutan jatuh miskin bahkan hutangnya menumpuk”. Dari
ungkapan ini menurut hemat penulis kondisi ini sangat mengenaskan dan menyedihkan. Hal
inilah mungkin yang menyebabkan ketidakpuasan dari sistem adat maupun keagamaan.
2. Ekonomi dan kemiskinan: Peristiwa meletusnya Gunung Agung pada tahun 1963, saat itu
orang Kristen memberikan bantuan pangan karena memang mereka sangat membutuhkan.
Kemudian tahun ke tahun karena terpuruknya ekonomi dan kesulitan pangan, orang Kristen
juga hadir memberi bantuan pangan. Hal inilah yang kemudian membuat simpatik terhadap
orang Kristen dan mereka menyatakan langsung mau masuk Kristen (Wijaya, 2007). Hal ini
dibenarkan oleh para tokoh Kristen bahwa kerap kali ketika orang bali datang kepada
pendeta dan bertanya” kalau saya masuk Kristen dapat apa? Kasus ini hampir terjadi
diseluruh pelosok Bali.
Dalam lingkungan Kristen, yang dibangun adalah semangat kasih sesama manusia dan
membantu kesulitan satu dengan yang lain. Jika dalam adat masyarakat Bali ada anggota
yang tidak berpartisipasi dalam pekerjaan adat akan dikenakan sanksi, sementara dalam suka
49
duka Bali-Kristen tidak mengenal sanksi sosial. Lingkungan sosial inilah salah satu pemicu
seseorang keluar dari lingkungan adatnya karena dirasa memberatkan.
3. Krisis individu: Jika seseorang mengalami krisis dalam hidupnya maka perlu penaganan dan
pemaknaan dari lingkungan sekitar dan memberi harapan serta solusi. Jika hal tersebut tidak
didapat dari lingkungan sekitar maka orang tersbut dapat mencari nilai baru. Jika komunitas
yang baru dapat diajak berhubungan dan secara baik dapat menangani masalah-masalah
serta memberi solusi, maka seseorang dapat berpindah di lingkungan dan nilai yang baru.
Persoalan hidup kerap membuat seseorang mempertanyakan agama yang dianutnya dan
Tuhan yang disembah. Keterpurukan ekonomi, ketiadaan pegangan hidup yang memberikan
harapan membuat seseorang berani mengkaji kepercayaannya.
4. Pengaruh ilmu kebatinan, kehausan rohani dan janji keselamatan: Konsep ilmu kebatinan
disini adalah tentang sebuah pemahaman ilmu mistik bahwa keselamatan dapat diperoleh
dari pengalaman rohani. Pada saat itu banyak orang Bali belajar tentang ilmu kebatinan dari
Raden Atmaja Kusuma di Singaraja. Kusuma adalah pendatang dari jawa dan mengajarkan
tentang ilmu kebatinan tersebut. Banyak orang pada waktu itu menjadi pengikutnya dan
ilmu ini berbeda dengan Hindu Bali mengutamakan banten sebagai sarana sembahyang.
Orang-orang yang belajar ilmu kebatinan ini ternyata banyak yang masuk Kristen. Karena
kekristenan disatu sisi ada kemiripan dengan ajaran tersebut yaitu bahwa keselamatan ada
dan dapat diperoleh dari pengalam hidup rohani. Apalagi dilatarbelakangi bahwa guru para
penganut ilmu kebatinan yang dulunya murid Raden Atmaja awal-awal adalah salah satu
seorang penginjil yang bernama Tsang To Hang. Jadi mereka sudah mendengar banyak
tentang kekristenan.
50
Daya tarik yang besar pada kekristenan adalah tentang khotbah dan ajaran adanya
keselamatan. Ajaran tentang menunjukan bahwa dunia tempat penderitaan dan menawarkan
beberapa sarana mengatasi segala penderitaan tersebut. Agama Kristen menawarkan hidup
yang penuh keselamatan dan kemenangan di dalam Tuhan Yesus terhadap iblis (O’Dea,
1985). Karena kehausan rohani dan jaminan keselamatan menjadi sebuah kebutuhan banyak
orang dalam hidupnya dan kekristenan menawarkan hal tersebut. Perkumpulan Kristen
dengan semangat kasih dan persaudaraan dipandang sebagai tempat yang tepat untuk
berlabuh ditengah ketidakpedulian saudara-saudaranya yang beragama Hindu.
5. Keretakan keluarga dan urbanisasi: Keretakan keluarga dan perceraian menjadi salah satu
faktor seseorang melakukan konversi. Keretakan keluarga seperti: kesulitan antar anggota
keluarga, percecokan, kesulitan seks, kesepian batin, tidak mendapat dalam hati kerabat, itu
semua menimbulkan tekanan (stress) psikologis dalam diri seseorang (Hendropuspito,
1993). Persoalan-persoalan tersebut dapat menimbulkan trauma dan merasa dirinya tidak
penting dan mendapat tempat atau bahkan tidak dicintai. Hal ini menyebabkan seseorang
mencari nilai baru dan dengan mudah menerima nilai tersbut seperti kekristenan agar
esistensinya mendapat pengakuan dan penghargaan.
Kemudian fenomena urban juga menjadi salah satu faktornya. Urbanisasi yakni orang yang
berpindah dari desa ke kota dengan alasan tertentu seperti sekolah, mencari pekerjaan dan
sebagainya menjadi salah satu faktor perpindahan agama. Seiring berjalannya waktu, di kota
tersebutlah mereka mulai mengenal kekristenan dan melakukan konversi agama. Hal
tersebut juga disebabkan beberapa faktor antara lain merasa hidup sendiri dan sering
diperlakukan tidak layak di metropolis baru.
51
6. Pernikahan dan urutan kelahiran keluarga: Salah satu penyebab terjadinya konversi juga
disebabkan oleh pernikahan. Mislanya banyak perempuan Bali yang menikah dengan laki-
laki Kristen dan mengikut agama suami. Hal ini menjadi hal yang wajar karena istri
mengikuti suami. Dan kebanyakan dari para perempuan Bali mengatakan tidak berkeberatan
dengan hal tersebut dan sudah mengetahui bahwa akan mengikut agama suami dan menjadi
Kristen.
Dalam sistem kelahiran anak di masyarakat Bali, anak pertama memiliki tanggung jawab
untuk meneruskan dan memelihara pura keluarga dan tempat pemujaan leluhur
(sanggah/merajan). Ia juga akan menggantikan peran ayahnya dalam meneruskan ayah-
ayah banjar, dadia maupun desa adat. Kemudian juga menjadi pemimpin dalam melakukan
manusa yajna (ngaben) bagi orang tuanya. Kadang-kadang peran ini diambil anak laki-laki
yang paling terakhir yang nantinya tetap tinggal di rumah orang tua.
Bagi laki-laki Bali yang sudah masuk Kristen akan bebas dari tanggungjawab tersebut
karena bukan lagi sebagai penanggungjawab. Kemudian bagi anak yang ditengah-tengah
juga lebih memiliki peluang kebebasan untuk berpindah agama karena bukan sebagai
pengemban tanggungjawab. Apalagi anak perempuan Bali lebih mudah berpindah agama
karena anak perempuan secara struktural ia tidak memiliki tanggungjawab yang besar baik
terhadap pura keluarga maupun upacara pengabenan.
7. Propaganda dan penginjilan yang agresif: Agama Kristen merupakan salah satu agama misi,
yakni agama yang harus disebarkan terhadap orang yang belum beragama Kristen. Oleh
karena itu tugas penyebaran bukan saja dilakukan oleh penginjil, tetapi seluruh gereja dan
jemaat. Dengan kata lain setiap individu kristiani secara otomatis mengemban tugas
misionaris.
52
Banyak penginjil-penginjil yang melakukan tugas tersebut datang ke Bali dengan banyak
cara. Baik secara terang-terangan melakukan penginjilan maupun yang bersembunyi-
bersembunyi. Karena penginjilan dapat juga dipahami sebagai sebuah penugasan agung
untuk melaksanakan Amanat Agung.
Banyak nama tokoh misionaris yang menginjil di Pulau Bali . Salah satunya adalah penginjil
Tsang To Hang dari Tionghoa. Awalnya penginjil ini datang dengan tujuan pengintaian
dengan menyamar sebagai touris, melakukan penelitian, menterjemahkan injil ke dalam
bahasa Bali, menjual buku-buku Kristen hingga dikirim khusus untuk penginjilan. Beliau
adalah penginjil terkenal dan banyak jasanya dimana banyak orang menjadi Kristen di Bali.
8. Lemahnya pemahaman teologi Umat Hindu: Pemahaman teologi merupakan hal yang sangat
mutlak dan penting untuk mempertimbangkan seiring dengan pergeseran pola pikir, umat
manusia dewasa ini yang lebih mengutamakan menggunakan akal. Bagi umat Hindu yang
mana Brahmavidya atau teologi hindu yang semestinya dipahami oleh semua umat hindu,
namun kenyataannya hanya dipahami oleh segelintir orang. Selain itu publikasi dikalangan
umat cenderung minim.
Padahal pemahaman teologi yang matang merupakan pondasi utama dalam iman seseorang
ketika akal pikiran menjadi penentu dan pemimpin dalam hidupnya. Selain itu pemahaman
teologi yang minim justru memetik konflik di masyarakat. Sebab perbedaan fisik dan jalan
pemujaan yang dipilih seseorang dapat menjadi pemicu kecurigaan akibat dangkalnya
pemahaman teologi. Dari hal tersebut seseorang akan mudah terombang-ambingkan, bahkan
dengan mudah mencari nilai atau komunitas baru (agama baru) yang lebih meyakinkan
secara teologis dan dapat gampang dipahami.
53
Setiap orang yang melakukan konversi agama tentu memiliki cirri-ciri tertentu, berikut
adalah cirri-cirinya menurut Ramayulis:39
a. Arah pandang dan keyakinan seseorang yang mulai berubah terhadap agama dan
kepercayaan yang selama ini diyakini.
b. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, sehingga perubahan itu bisa
terjadi secara mendadak atau berproses.
c. Yang berubah bukan hanya dalam hal berpindah kepercayaan, namun juga dalam
pandangannya terhadap agama yang dianut.
d. Faktor kejiwaan dan lingkungan memang mempengaruhi, namun tidak melupakan faktor
petunjuk Yang Maha Kuasa.
Jika dilihat dari sudut pandang waktu terjadinya konversi agama, Starbuck mengemukakan
dua tipe, yakni:40
a. Tipe Volitional (perubahan bertahap).
Terjadinya konversi agama di dalam tipe ini berlangsung secara memiliki proses secara
perlahan-lahan, sehingga pada akhirnya akan menjadi kebiasaan rohani yang baru.
Dalam tipe ini tersirat proses perjuangan batin yang tidak mudah.
b. Tipe Selp Surrender (perubahan drastis).
Konversi yang terjadi secara mendadak, tanpa adanya sebuah proses yang dapat
mengubah pendirian seseorang terhadap suatu agama yang dianutnya. Menurut Willian
James, tipe ini biasanya terjadi pada orang yang mendapat petunjuk dari Yang Maha
39
H.Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), 80.
40
Ibid., 82-83.
54
Kuasa. Hal itu dikarenakan gejalanya terjadi dengan sendirinya sehingga orang tersebut
menerima kondisi yang baru itu dengan berserah.
Penido (Ramayulis, 2002), berpendapat bahwa konversi agama mengandung dua unsur:41
a. Unsur yang berasal dari dalam diri atau endogenos origin, yaitu proses perubahan yang
terjadi dalam diri seseorang atau kelompok. Dengan kata lain konversi pada tipe ini
terjadi di dalam batin seseorang yang kemudian membentuk suatu kesadaran untuk
mengadakan suatu transformasi, yang disebabkan oleh adanya krisis dan berdasarkan
pertimbangan pribadi, seseorang akan mengambil keputusan. Proses ini terjadi menurut
gejala psikologis yang bereaksi ketika struktur psikologis yang lama hancur dan seiring
dengan proses tersebut muncul pula struktur psikologis baru yang dipilih.
b. Unsur dari luar atau exogenous origin, yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri
atau kelompok sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok yang
bersangkutan. Kekuatan yang berasal dari luar ini kemudian menekan pengaruhnya
terhadap kesadaran mungkin berupa tekanan batin, sehingga memerlukan penyelesaian
oleh yang bersangkutan.
Dari penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kedua unsur di atas merupakan
faktor yang menyebabkan seseorang melakukan konversi agama. Sebuah konversi yang
dilakukan dengan dipengaruhi dua unsur dari dalam dan luar dari diri seseorang.
41 Ibid., 86.
55
2.2.5 Dampak Sosial Pasca Konversi Agama
Seperti yang diungkapkan oleh Lewis bahwa konversi agama membawa sebuah konsekuensi
atau dampak bagi pelakunya. Dampak yang dimaksud adalah dampak terhadap lingkungan sosial
masyarakat adat setempat maupun terhadap pelaku konversi itu sendiri. Dalam hal ini menurut
Aryadharma ada dua dampak yang terjadi ketika kasus konversi agama terjadi di Bali, yaitu:
1. Goncangan adat akibat konversi agama.
Keputusan yang diambil sebagian kecil masyarakat di Bali untuk berpindah agama dari
sebelumnya beragama Hindu ke Kristen Protestan telah mengakibatkan sejumlah goncangan,
baik ditingkat desa pakraman maupun keluarga. Penghancuran tempat suci Hindu sebagai
bentuk kesetiaan terhadap agama baru telah membuat masyarakat adat di Bali marah dan
tersinggung. Kemudian larangan orang yang sudah Kristen mengambil kegiatan adat di
tempat mereka karena dianggap penyembahan berhala oleh para pemimpin Kristen. Sehingga
hal tersebut menimbulkan resistensi dari masyarakat adat setempat yang berdampak pada
gangguan terhadap orang Kristen hingga sampai terjadi pembakaran gereja. Hal tersebut
gambaran singkat kisah kelam kekristenan di Bali.
Karena itu Ketua Sinode GKPB Bishop Sudira mengatakan bahwa kekristenan akan
diterima dengan baik jika berkembang ditengah budaya. Olehnya gereja-gereja di Bali dalam
hal ini kegiatan-kegiatannya juga dibarengi dengan adat Bali seperti dalam hal berpakaian,
penggunaan gong dalam upacara ibadah, pernikahan dan pemberkatan. Juga pelestarian tari-
tarian dan kesenian Bali digunakan dalam kegiatan Kristen, termasuk bahasa Bali.42
42
Ibid., Ni Kadek Surpi Aryadharma,168-171.
56
2. Keretakan keluarga akibat konversi agama
Keluarga bagi orang Bali bukan hanya satu unit kecil masyarakat, tetapi berhubungan
dengan sanggah pemujaan yang menjadi tanggungjawab segenap keturunan untuk
menlanjutkan pemujaan tersebut. Hilangnya salah satu anggota keluarga yang berpindah
agama berarti pula semakin sedikit yang memanggul tanggungjawab itu. Dalam sejarah
kekristenan disebutkan penganut kekristenan pertama di Bali adalah Nicodemus I Gusti
Wayan Karangasem yang dibabtis 1873, keluarganya menganggap dia sudah mati
(dikucilkan keluarga) karena telah menjadi Kristen. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa
terputusnya hubungan keluarga antara pelaku konversi dengan keluarganya.
Dalam semangat dan nilai multikulturalisme, perbedaan agama semestinya harus dihargai
dan tidak menjadikan seseorang harus terpisah atau berkonflik dengan keluarganya.
Perpindahan agama memang awalnya menimbulkan kegoncangan, tetapi dengan pengertian,
hubungan kekeluargaan dapat terjalin kembali.43
Perubahan dalam sebuah masyarakat adalah hal yang wajar mengingat masyarakat selalu
bergerak secara dinamis. Dalam proses perubahan sosial yang disebabkan adanya konversi
agama dapat menimbulkan disorganisasi. Disorganisasi dapat digambarkan salah satunya adalah
dissolidaritas.44
Dalam dissolidaritas terjadi suatu pergeseran yang dapat menimbulkan
perpecahan satu dengan yang lain. Perpecahan tersebut dapat berwujud pada lunturnya perasaan
saling memiliki, perasaan setia kawan dan perasaan senasib dari satu komunitas tertentu.
Durkheim dalam perhatiannya mengenai masyarakat mengemukakan bahwa solidaritas dan
integritas sosial dapat terancam keberadaannya dengan adanya konflik antar kelompok,
43
Ibid., 171-173. 44
Ibid., Hendropuspito…, 87.
57
penyimpangan, individualisme yang berlebihan dan anomi.45
Jadi ancaman yang dikemukan
Durkheim dalam hal ini dapat menimbulkan dissolidaritas dan disintegritas dalam tatanan
masyarakat tertentu.
Bali adalah masyarakat yang kuat akan hukum adat istiadatnya. Hukum adat inilah yang
berkuasa menjatuhkan “tetegenan” bagi orang yang melanggarnya. Penjatuhan sanksi adat
sebenarnya dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan skala dan niskala serta sebagai
upaya penyadaran dan pembelajaran bagi pelaku pelanggaran. Namun penjatuhan sanksi adat
dipakai juga oleh masyarakat sebagai ajang balas dendam karena mereka kurang paham terhadap
aturan adat.46
Hukum adat begitu berpengaruh dalam masyarakat Bali di kalangan pekraman, sehingga
masyarakat adat sangat takut melanggar hukum adat dan lebih memilih mematuhi aturan yang
telah disepakati. Karena kalau tidak mematuhi aturan tersebut maka akan ada tetegenan yang
harus ditanggungnya. Tetegenan tersebut pasti akan menyengsarakan kelangsungan hidupnya.
Karena hal demikian maka hampir seluruh masyarakat adat khususnya masyarakat yang
beragama Hindu mematuhi peraturan ini. Namun disisi lain berdasarkan penelitian yang
dilakukan, ada beberapa masyarakat Bali beragama Hindu yang tidak mematuhi aturan adat,
seperti keluar dari pekraman Hindu dan pindah ke agama Kristen. Dalam penelitian yang akan
dilakukan akan menyoroti dampak sosialnya sebagai salah satu bentuk dari sanksi adat
(tetegenan) sanksi yang diberikan bagi pelanggar yang telah melakukan konversi agama ini.
45
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: PT. Gramedia anggota IKAPI 1986),
204. Band. Dengan dengan O’Dea. 46
http://www.ireyogya.org/adat/workshop_balix5.htm, diunduh pada 18 april, 2008.
58
2.3 Kesimpulan
Dari paparan teori di atas, maka dapat disimpulkan konversi agama adalah
berpindah/masuknya seseorang dari satu agama atau kepercayaan ke agama atau kepercayaan
lainya. Konversi agama tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan ada faktor-faktor
penyebabnya. Konversi agama terjadi tidak disebabkan oleh peristiwa tunggal namun oleh
berbagai retetan peristiwa, dimana satu dengan lainnya saling mempengaruhi, misalnya: beranjak
dari konteks, kemudian krisis, pencarian, pertemuan, interaksi, komitmen dan bahkan sampai
konsekuensi.
Konversi agama menimbulkan dampak sosial baik terhadap masyarakat setempat maupun
pelaku sendiri. Dampak tersebut misalnya: goncangan adat akibat konversi agama, keretakan
keluarga akibat konversi agama, sanksi adat dan dissolidaritas.