bab ii landasan teori -...

24
BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan bertujuan untuk mengetahui keaslian karya ilmiah, karena pada dasarnya suatu penelitian tidak beranjak dari awal, akan tetapi berasal dari acuan yang mendasarinya. Untuk mengetahui keaslian penelitian ini dipaparkan beberapa penelitian yang relevan yang telah dimuat dalam bentuk skripsi. Penelitian relevan tersebut di antaranya sebagai berikut: Pertama, Agung Dwi Prasetyo (2006), dalam penelitian yang berjudul “Proses Aktualisasi Diri Tokoh Amid dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari: Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra”. Hasil penelitian ini adalah dalam proses aktualisasi diri tokoh Amid mengalami masalah pada pemenuhan kebutuhan akan rasa aman, karena tokoh Amid adalah anggota DI/ TII yang selalu dikejar oleh tentara republik. Pemenuhan kebutuhan akan rasa aman dapat terpenuhi setelah ada pengampunan dari pemerintah. Aktualisasi diri tokoh Amid dapat tercapai pada saat dirinya dan teman- temannya berperang atas nama republik dalam menumpas gerakan komunis di hutan jati Cigobang. Dalam proses aktualisasi diri tokoh Amid menemui hambatan-hambatan, tetapi hambatan tersebut dapat terlewati, karena sikap tokoh Amid yang berani dalam mengambil resiko-resiko, serta keadaan lingkungan yang juga ikut mendukung untuk tercapainya aktualisasi diri. 7

Upload: truongnhu

Post on 24-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan bertujuan untuk mengetahui keaslian karya

ilmiah, karena pada dasarnya suatu penelitian tidak beranjak dari awal, akan

tetapi berasal dari acuan yang mendasarinya. Untuk mengetahui keaslian

penelitian ini dipaparkan beberapa penelitian yang relevan yang telah dimuat

dalam bentuk skripsi. Penelitian relevan tersebut di antaranya sebagai berikut:

Pertama, Agung Dwi Prasetyo (2006), dalam penelitian yang berjudul

“Proses Aktualisasi Diri Tokoh Amid dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air

karya Ahmad Tohari: Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra”. Hasil penelitian

ini adalah dalam proses aktualisasi diri tokoh Amid mengalami masalah pada

pemenuhan kebutuhan akan rasa aman, karena tokoh Amid adalah anggota

DI/ TII yang selalu dikejar oleh tentara republik. Pemenuhan kebutuhan akan

rasa aman dapat terpenuhi setelah ada pengampunan dari pemerintah.

Aktualisasi diri tokoh Amid dapat tercapai pada saat dirinya dan teman-

temannya berperang atas nama republik dalam menumpas gerakan komunis

di hutan jati Cigobang. Dalam proses aktualisasi diri tokoh Amid menemui

hambatan-hambatan, tetapi hambatan tersebut dapat terlewati, karena sikap tokoh

Amid yang berani dalam mengambil resiko-resiko, serta keadaan lingkungan

yang juga ikut mendukung untuk tercapainya aktualisasi diri.

7

Kedua, Penelitian tentang kepribadian tokoh sudah pernah dilakukan

oleh Nurul Apriliyani (2011) dalam penelitian yang berjudul “Dinamika

Kepribadian Tokoh Enong dalam Novel Dwilogi Padang Bulan karya Andrea

Hirata: Kajian Psikologi Sastra”. Hasil dari penelitian ini adalah pemenuhan

kebutuhan fisiologis melahirkan kepribadian mandiri dan bertanggungjawab,

kebutuhan rasa aman melahirkan kepribadian pemberani, kebutuhan

pengakuan dan kasih sayang melahirkan kepribadian mandiri, kebutuhan

penghargaan melahirkan kepribadian percaya diri, kebutuhan kognitif

melahirkan kepribadian cerdas, kebutuhan estetika melahirkan kepribadian

pekerja keras dan percaya diri, dan kebutuhan aktualisasi diri melahirkan

kepribadian percaya diri dan tidak mudah putus asa. Struktur dinamika

perkembangan dinamika tokoh Enong dibagi menjadi empat tahap

perkembangan yaitu masa kanak-kanak setelah kehidupannya mendapatkan

rintangan menimbulkan kepribadian yang mandiri, masa muda

menggambarkan kepribadian Enong menjadi wanita yang tumbuh dewasa

yang mempunyai kepribadian yang pemberani, masa paruh baya merupakan

potensi yang dimiliki tokoh menjadi seorang pemberani, cerdas, pekerja keras

dan memiliki kepribadian percaya diri, masa tua tidak dijelaskan.

Dari kedua penelitian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persamaan

penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penggunaan pendekatan

psikologi sastra berdasarkan kajian teori psikologi humanistik untuk menganalisis

tokoh utama dalam novel. Adapun perbedaannya yaitu dalam penelitian yang

dilakukan oleh Agus Dwi Prasetyo yang dianalisis adalah masalah atau hambatan-

hambatan yang dialami tokoh Amid dalam proses mengaktualisasikan dirinya,

sedangkan penelitian yang penulis analisis hanyalah wujud aktualisasi diri

yang diperoleh dari tokoh utama, beserta ciri-ciri atau karakteristik yang

dapat membuktikan tokoh utama mampu mengaktualisasikan dirinya. Dalam

penelitian yang dilakukan oleh Nurul Apriliyani yang dianalisis dinamika

atau perubahan kepribadian tokoh Enong dari masa kanak-kanak sampai masa

tua dalam mencapai aktualisasi dirinya, sedangkan penelitian yang penulis

analisis hanyalah kepribadian yang dapat mengantarkan tokoh utama dalam

mengaktualisasikan dirinya, kemudian dianalisis perwujudan aktualisasi diri

yang diperoleh dari tokoh utama. Dengan demikian perbedaannya terletak

pada aspek analisis aktualisasi diri yang diperoleh dari tokoh utama dalam

novel PFN karya Rina Suryakusuma sebagai kajian utama.

B. Landasan Teori

Dalam penelitian terhadap aktualisasi diri tokoh utama dalam novel

PFN karya Rina Suryakusuma, teori-teori yang digunakan berkaitan dengan:

1. Tokoh dalam Karya Sastra

Tokoh ialah pelaku dalam karya sastra. Menurut Sayuti (2000:73-74),

tokoh merupakan elemen struktural fiksi yang melahirkan peristiwa.

Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan

sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelakunya. Hal ini

sesuai dengan pendapat Aminuddin (2011:79), yang mengemukakan

bahwa pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehinggga

terjalin suatu cerita disebut dengan  tokoh. Dalam karya sastra terdapat

beberapa tokoh, namun biasanya hanya ada satu tokoh utama.

Menurut Nurgiyantoro (2010:176-191), tokoh-tokoh cerita dalam

sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan

berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan, yang meliputi:

a) Berdasarkan peranannya dalam suatu cerita, tokoh cerita dibagi menjadi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya sebagai pelengkap saja.

b) Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, yaitu tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma dan nilai-nilai yang ideal bagi pembaca. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan pembaca, dan harapan-harapan pembaca. Tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik.

c) Berdasarkan perwatakannya, tokoh dibagi menjadi dua, yaitu tokoh sederhana (Simple atau flat character) dan tokoh bulat (compleks character). Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu dan watak tertentu saja, Sedangkan tokoh bulat atau tokoh kompleks adalah tokoh yang memiliki kompleksitas yang diungkap dari berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya.

d) Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita dalam sebuah novel, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh statis, tak berkembang (static character) dan tokoh berkembang (developing character). Tokoh statis memiliki sikap dan watak yang relatif tetap, tak berkembang, sejak awal sampai akhir cerita. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot yang dikisahkan.

e) Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap (sekelompok) manusia dari kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh tipikal (typical character) dan tokoh netral (neutral character). tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya, atau sesuatu yang lain yang lebih bersifat mewakili. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri.

Pembedaan antara tokoh utama dan tokoh pembantu dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1) Tokoh Utama

Tokoh utama adalah tokoh yang sangat berperan dalam sebagian

besar peristiwa dalam cerita, biasanya peristiwa itu menyebabkan

terjadinya perubahan sikap terhadap diri tokoh atau perubahan

pandangan pembaca terhadap tokoh tersebut, misalnya menjadi benci,

senang, atau menjadi simpati kepada tokoh tersebut (Baribin, 1985:54).

Tokoh utama merupakan tokoh yang memiliki peranan penting dalam

suatu cerita dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi

sebagian besar cerita, tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu

berhubungan dengan tokoh-tokoh lain (Nurgiyantoro, 2010:176).

Aminuddin (2011:80) menjelaskan bahwa, untuk menentukan

tokoh utama atau tokoh tambahan dalam cerita atau karya fiksi, dapat

dilakukan dengan berbagai cara dan pertimbangan. Pertama, melihat

keseringan kemunculan dalam suatu cerita. Kedua, ditentukan lewat

petunjuk pengarang. Tokoh utama umumnya merupakan tokoh yang

saling memberi komentar yang dibicarakan oleh pengarangnya,

sedangkan tokoh pembantu hanya dibicarakan alakadarnya saja. Selain

itu, lewat judul cerita. Sayuti (2000:73), juga mengajukan tiga cara

penentuan tokoh utama, yaitu tokoh tersebut paling banyak terlibat dalam

tema; tokoh tersebut paling banyak berhubungan dengan tokoh lain; dan

tokoh tersebut paling banyak memerlukan waktu penceritaan.

2) Tokoh Tambahan atau Tokoh Pembantu

Nurgiyantoro (2010:176) menjelaskan bahwa tokoh tambahan atau

tokoh pembantu, yaitu tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau

beberapa kali dalam cerita dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan

yang relatif pendek. Pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam

keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya

hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung

ataupun tak langsung. Definisi lain dijelaskan oleh Aminuddin (2011: 79),

bahwa tokoh tambahan atau tokoh pembantu adalah tokoh yang memiliki

peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi,

melayani, dan mendukung pelaku utama.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh utama adalah

tokoh yang pemunculannya diutamakan dan memiliki peranan penting dalam

sebagian besar peristiwa dalam cerita. Jika dibandingkan dengan tokoh utama,

pemunculan tokoh-tokoh tambahan atau tokoh pembantu dalam keseluruhan

cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada

keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tidak langsung.

Tokoh dan penokohan merupakan dua unsur cerita yang penting.

Penokohan dalam cerita rekaan tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan

tokoh. Istilah ‘tokoh’ menunjuk pada pelaku dalam cerita sedangkan

‘penokohan’ menunjukkan pada sifat, watak atau karakter yang melingkup

diri tokoh itu. Menurut Nurgiyantoro (2010:165), penokohan merupakan

cara pengarang menampilkan atau menggambarkan tokoh atau pelaku itu.

Hal ini sesuai dengan pendapat Suharianto dalam Sangidu (2004:132), yang

mengemukakan bahwa penokohan adalah penggambaran para tokoh cerita,

baik keadaan lahir, maupun batinnya, yang meliputi sifat, sikap, tingkah

laku, pandangan hidup, dan keyakinan. Melalui para tokoh itulah cerita

menjadi lebih nyata dalam angan-angan pembaca.

Menurut cara pengungkapannya, penokohan dapat dicapai dengan dua

cara, yaitu cara analitik (langsung) dan cara dramatik (tidak langsung). Pada

cara analitik, pengarang mengisahkan secara langsung melalui sifat-sifat,

tabiat, latar belakang, pikiran dan perasaan seorang tokoh. Penokohan cara

dramatik dapat diungkapkan melalui berbagai cara, antara lain melalui

pengungkapan lingkungan hidup tokoh-tokoh, cakapan (dialog) tokoh yang

satu dengan tokoh yang lain mengenai tokoh tertentu, dan perbuatan sang

tokoh (Eneste, 1991:25-27).

Menurut Lubis dalam Tarigan (1984: 133-134), ada beberapa cara

yang dapat dipergunakan oleh pengarang untuk melukiskan rupa, watak,

atau pribadi para tokoh, antara lain:

a. Physical description (melukiskan bentuk lahir dari pelakon) b. Portrayal of thought stream or of concious thought (melukiskan

jalan pikiran pelakon atau apa yang terlintas dalam pikirannya) c. Reaction to events (melukiskan bagaimana reaksi pelakon itu

terhadap kejadian-kejadian) d. Direct author analysis (pengarang dengan langsung menganalisis

watak pelakon) e. Discussion of environment (pengarang melukiskan keadaan

sekitar pelakon) f. Reaction of others about/to character (pengarang melukiskan

bagaimana pandangan-pandangan pelakon lain dalam suatu cerita terhadap pelakon utama itu)

g. Conversation of other about character (pelakon-pelakon lainnya dalam suatu cerita memperbincangkan keadaan pelakon utama).

Secara garis besar, teknik pelukisan tokoh dalam karya fiksi dibedakan

ke dalam dua cara, yaitu pelukisan secara langsung dan pelukisan secara

tidak langsung. Pelukisan secara langsung atau disebut juga dengan teknik

analisis adalah pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan

deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung (Nurgiyantoro, 2010: 194-

195). Hal ini sejalan dengan pendapat Mido (1994: 22), yang mengemukakan

bahwa teknik langsung adalah pengarang secara langsung melukiskan tokoh,

baik bidang fisiologi, sosiologi, maupun bidang psikologinya.

Menurut Nurgiyantoro (2010: 201-211), pelukisan tokoh secara tidak

langsung adalah pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan

sikap serta tingkah laku tokoh. Penampilan tokoh secara tidak langsung dapat

dilakukan dengan beberapa cara, yaitu teknik cakapan (melalui percakapan yang

dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita); teknik tingkah laku (melalui tindakan dan

tingkah laku tokoh yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya); teknik pikiran

dan perasaan (melalui keadaan dan jalan pikiran serta perasaan tokoh); teknik

arus kesadaran (teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran

proses mental tokoh, di mana tanggapan indera bercampur dengan kesadaran

dan ketaksadaran pikiran), teknik reaksi tokoh (berdasarkan reaksi tokoh terhadap

suatu kejadian, masalah, keadaan, sikap tingkah-laku orang lain yang berupa

“rangsang” dari luar), teknik reaksi tokoh lain (berdasarkan penilaian kedirian

tokoh utama cerita oleh tokoh-tokoh cerita yang lain dalam sebuah karya sastra),

teknik pelukisan latar (berdasarkan suasana latar atau tempat sekitar tokoh), dan

teknik pelukisan fisik (berdasarkan keadaan fisik tokoh).

Menurut Sayuti (2000: 90-109), penggambaran atau pelukisan tokoh

dapat melalui berbagai metode yaitu: metode diskursif atau cara analitik

merupakan sebuah metode dimana pengarang secara langsung menguraikan

atau menggambarkan keadaan atau karakter tokoh; metode dramatis adalah

pengarang membiarkan tokoh-tokohnya untuk menyatakan diri mereka

sendiri melalui kata-kata, tindakan-tindakan, atau perbuatan mereka sendiri;

dan metode kontekstual yaitu pengarang dalam menggambarkan karakter

tokoh melalui bahasa yang digunakan tokoh-tokoh yang lain.

Menurut Robert Stanton dalam Baribin (1985: 54), yang dimaksud

dengan penokohan atau perwatakan dalam suatu fiksi dapat dipandang

dari dua segi. Pertama, mengacu kepada tokoh yang bermain dalam cerita

fiksi; Kedua, mengacu kepada perbauran dari minat, keinginan, emosi, dan

moral yang membentuk individu yang bermain dalam suatu cerita. Ada dua

macam cara memperkenalkan tokoh dan penokohan dalam fiksi, yaitu:

a. Secara analitik (disebut pula cara singkap), yaitu pengarang langsung memaparkan tentang watak atau karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras hati, penyayang, dan sebagainya;

b. Secara dramatik (disebut pula cara lukis), yaitu penggambaran perwatakan yang tidak diceritakan langsung, tetapi hal itu disampaikan melalui pilihan nama tokoh; melalui penggambaran fisik atau postur tubuh, cara berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain, serta lingkungannya; dan melalui dialog tokoh yang bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain.

Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

teknik penokohan atau pelukisan tokoh dibedakan ke dalam dua cara,

yaitu teknik pelukisan secara langsung dan pelukisan secara tidak langsung.

Pelukisan secara langsung atau disebut juga dengan teknik analisis adalah

pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi,

uraian, atau penjelasan secara langsung tentang sifat-sifat tokoh, keadaan

atau perasaannya. Pelukisan tokoh secara tidak langsung adalah pengarang

tidak mendeskripsikan sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh secara jelas

dan lengkap melainkan disimpulkan pembaca melalui percakapan, pikiran,

dan tingkah laku tokoh.

2. Psikologi Sastra

Psikologi berasal dari bahasa Yunani, psyche yang artinya jiwa, logos

yang berarti ilmu. Jadi psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang menyelidiki

dan mempelajari tingkah laku manusia (Atkinson dalam Minderop, 2010: 3).    

Dalam psikologi terdapat tiga revolusi yang mempengaruhi pemikiran

personologis modern. Revolusi pertama yaitu psikoanalisis, yang

menghadirkan manusia sebagai bentukan dari naluri dan konflik-konflik

struktur kepribadian. Konflik-konflik struktur kepribadian ialah konflik

yang timbul dari pergumulan antara id, ego, dan super ego. Revolusi yang

kedua yaitu behaviorisme, mencirikan manusia sebagai korban yang

fleksibel, pasif, dan penurut terhadap stimulus lingkungan. Kemudian

muncul revolusi yang ketiga, psikologi humanistik, adalah sebuah

“gerakan” yang menampilkan manusia sebagai makhluk yang bebas dan

bermartabat serta selalu bergerak ke arah pengungkapan segenap potensi

yang dimilikinya (Koswara, 1991: 109).

Quthb dalam Sangidu (2004: 38), mengemukakan bahwa karya sastra

adalah untaian perasaan dan realitas sosial (semua aspek kehidupan

manusia) yang telah tersusun baik dan indah. Hasil karya sastra dapat

berupa novel, puisi, cerita pendek, serta drama. Menurut Esten (1978:12),

novel merupakan pengungkapan dari fragmen (cuplikan) kehidupan

manusia (dalam jangka yang lebih panjang) dimana konflik-konflik yang

akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup antara para

pelakunya. Dalam novel diungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada

suatu saat yang tegang, dan pemusatan kehidupan yang tegas.

Tarigan (1984:164), mengemukakan bahwa kata novel berasal dari

kata Latin novellus yang diturunkan pula dari kata novies yang berarti

“baru”. Dikatakan baru karena kalau dibandingkan dengan jenis-jenis sastra

lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka jenis novel ini muncul

kemudian. Novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif atau rekaan. Menurut

Baribin (1985:9), cerita fiksi atau rekaan ialah cerita yang sengaja dikarang

oleh seorang sastrawan untuk dinikmati oleh para pembaca. Ceritanya

diolah berdasarkan pandangan, tafsiran, dan penilaian pengarang mengenai

peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi secara nyata, maupun yang terjadi

hanya dalam khayalan pengarang saja.

Ratna (2011: 342-343), mengemukakan bahwa ada tiga cara

yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi

dengan sastra, yaitu memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai

penulis karya sastra, memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh

fiksional dalam karya sastra, dan memahami unsur-nsur kejiwaan pembaca.

Hal ini sejalan dengan pendapat Wellek dan Werren (1990: 90), bahwa

psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian. Pertama, studi

psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Kedua, studi proses

kreatif. Ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada

karya sastra. Dan keempat, mempelajari dampak karya sastra pada pembaca

(psikologi pembaca). Yang paling berkaitan dengan bidang sastra adalah

pengertian ketiga.

Psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang digunakan untuk

mendekati atau mengkaji suatu karya sastra dari sudut pandang psikologi

(Noor, 2004: 92). Psikologi sastra merupakan ilmu yang memandang karya

sastra sebagai suatu karya yang memuat peristiwa-peristiwa kehidupan

manusia yang diperankan oleh tokoh-tokoh imajiner yang ada di dalamnya

atau mungkin juga diperankan oleh tokoh-tokoh faktual. Hal ini merangsang

untuk melakukan penjelajahan batin atau kejiwaan untuk mengetahui lebih

jauh tentang seluk beluk manusia yang beraneka ragam (Sangidu, 2004: 30).

Psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang diyakini dapat

mencerminkan proses dan aktivitas kejiwaan. Dalam menelaah suatu karya

psikologis, keterlibatan psikologi pengarang dan kemampuan pengarang

menampilkan para tokoh rekaan yang terlibat dengan masalah kejiwaan.

Karya sastra memungkinkan ditelaah melalui pendekatan psikologi karena

karya sastra menampilkan watak para tokoh, walaupun imajinatif, dapat

menampilkan berbagai problem psikologis (Endraswara dalam Minderop,

2010: 54-55).

Psikologi sastra merupakan suatu pendekatan yang mempertimbangkan

segi-segi kejiwaan dan menyangkut batiniah manusia, lewat tinjauan

psikologi akan nampak bahwa fungsi dan peran sastra adalah untuk

menghidangkan citra manusia yang seadil-adilnya untuk memancarkan

bahwa karya sastra pada hakekatnya bertujuan untuk melukiskan kehidupan

manusia (Hardjana,1994:66).

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa psikologi

sastra merupakan kajian karya sastra yang diyakini mencerminkan aktivitas

kejiwaan tokoh-tokoh yang ada dalam karya sastra. Kajian tersebut meliputi:

kajian terhadap pengarang sebagai pencipta karya sastra, kajian terhadap

proses penciptaan karya sastra, kajian terhadap hukum-hukum psikologi

yang diterapkan dalam karya sastra, dan kajian terhadap pengaruh karya

sastra terhadap pembacanya. Daya tarik psikologi sastra terdapat pada

masalah manusia yang melukiskan potret jiwa. Tidak hanya jiwa sendiri

yang muncul dalam sastra, tetapi juga bisa mewakili jiwa orang lain. Setiap

pengarang kerap kali menambahkan pengalaman sendiri dalam karyanya,

dan pengalaman pengarang itu sering pula dialami oleh orang lain.

3. Teori Psikologi Humanistik – Abraham Maslow

Secara garis besar, psikologi humanistik pertama kali dikemukakan

oleh Maslow pada tahun 1954, dalam kepala suratnya yang berbunyi: “Orang-

orang yang menaruh minat pada studi ilmiah tentang kreativitas, cinta, nilai-

nilai yang lebih tinggi, otonomi, pertumbuhan, aktualisasi diri, dan pemuasan

kebutuhan dasar”. Abraham Maslow, seorang teoris kepribadian yang realistik,

dipandang sebagai bapak spiritual, pengembang teori, dan juru bicara yang

paling cakap bagi psikologi humanistik. Terutama pengukuhan Maslow

yang gigih atas keunikan, dan aktualisasi diri manusialah yang menjadi

simbol orientasi humanistik. Ada empat ciri psikologi yang berorientasi

humanistik, yaitu:

1) Memusatkan perhatian pada person yang mengalami dan karenanya berfokus pada pengalaman sebagai fenomena primer dalam mempelajari manusia,

2) Menekankan pada kualitas-kualitas yang khas manusia, seperti memilih, kreativitas, menilai, dan realisasi diri,

3) Menyandarkan diri pada kebermaknaan dalam memilih masalah-masalah yang akan dipelajari dan prosedur-prosedur penelitian yang akan digunakan,

4) Memberikan perhatian penuh dan meletakkan nilai yang tinggi pada kemuliaan dan martabat manusia serta tertarik pada perkembangan potensi yang inheren pada setiap individu. Individu sebagaimana dia menemukan dirinya sendiri serta dalam hubungannya dengan individu-individu lain dan dengan kelompok-kelompok sosial (Misiak, 2005:125-132).

Maslow berasumsi bahwa manusia sejatinya merupakan makhluk yang

baik, sehingga manusia memiliki hak untuk merealisasikan jatidirinya agar

mencapai aktualisasi diri. Manusia yang berupaya memenuhi dan

mengekspresikan potensi dan bakatnya kerap kali terhambat oleh kondisi

masyarakat yang menolaknya. Keadaan semacam ini dapat menyebabkan

seseorang mengalami problem kejiwaan dan ketimpangan perilaku (Krech,

dalam Minderop, 2010: 48).

Dalam teori psikologi humanistik, juga meyakini bahwa manusia

di dalam dirinya memiliki potensi untuk berkembang sehat dan kreatif,

dan jika orang mau menerima tanggungjawab untuk hidupnya sendiri,

maka dia akan menyadari potensinya, mengatasi pengaruh-pengaruh

kuat dari pendidikan orang tua, sekolah, dan tekanan-tekanan sosial lainnya.

Pendekatan humanistik mengarahkan pusat perhatian kepada manusia yang

sehat, kreatif, dan mampu mengaktualisasikan diri. Ilmu jiwa seharusnya

memusatkan analisisnya kepada tema pokok kehidupan manusia, yakni

aktualisasi diri (Alwisol, 2009: 199-201).

Salah satu teori pada psikologi humanistik adalah teori kepribadian

Abraham Maslow, yang menekankan pada hierarki kebutuhan dan motivasi.

Maslow meyakini bahwa manusia dimotivasi oleh kecenderungan atau

kebutuhan untuk mengaktualisasikan, memelihara, dan meningkatkan dirinya.

Kebutuhan-kebutuhan ini bersifat bawaan sebagai kebutuhan dasar jiwa

manusia, yang meliputi kebutuhan fisik dan psikis. Maslow dalam Yusuf

(2008:156-160) berpendapat bahwa motivasi manusia diorganisasikan ke

dalam sebuah hierarki kebutuhan yaitu suatu susunaan kebutuhan yang

sistematis, suatu kebutuhan dasar harus dipenuhi sebelum kebutuhan dasar

lainnya muncul. Kebutuhan ini bersifat instinsik yang mengaktifkan atau

mengarahkan perilaku manusia. Penekanan pendapat Maslow sangat bermanfaat

untuk memahami pengalaman manusia dalam berbagai situasi. Menekankan

pada teori hierarki kebutuhan untuk memahami kebutuhan manusia. Maslow

menyampaikan teori tentang kebutuhan bertingkat yang tersusun sebagai berikut:

1) Kebutuhan Fisiologis

Koswara (1991:119), mengemukakan bahwa kebutuhan fisiologis

adalah kebutuhan dasar yang paling mendesak pemuasannya karena

berkaitan langsung dengan pemeliharaan biologis dan kelangsungan

hidup. Karena merupakan kebutuhan yang paling mendesak, maka

kebutuhan fisiologis akan paling didahulukan pemuasannya oleh individu.

Minderop (2010: 284), juga mendefinisikan kebutuhan fisiologis sebagai

sekelompok kebutuhan dasar yang paling mendesak pemuasannya karena

terkait dengan kebutuhan biologis manusia. Misalnya, kebutuhan pangan,

sandang, papan, seks, oksigen, dan sebagainya, demi kelangsungan hidup

manusia.

Kebutuhan fisiologis ini sangat kuat, dalam keadaan kelaparan dan

kehausan, semua kebutuhan lain ditinggalkan dan orang mencurahkan

semua kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan ini. Seperti orang yang

kekurangan makanan misalnya, karena lapar keinginan yang ada hanyalah

makanan, tidak ada keinginan yang lain, yang dipikirkan, dimimpikan,

dibicarakan, dilakukan, diinginkan semua tentang makanan. Karena

kebutuhan paling mendesak, maka sebelum ini tercapai, tidak akan

bergerak menuju kebutuhan di atasnya. Kebutuhan ini sangat berpengaruh

terhadap tingkah laku manusia dan ia selalu berusaha memenuhinya.

Apabila kebutuhan fisiologis individu telah terpuaskan, dalam diri individu

akan menuntut pemuasan akan kebutuhan rasa aman (Alwisol, 2009: 204).

2) Kebutuhan Rasa Aman

Kebutuhan rasa aman adalah kebutuhan ketika individu dapat

merasakan keamanan, ketentraman, kepastian, dan kesesuaian dengan

lingkungannya. Kebutuhan rasa aman meliputi kebutuhan akan jaminan,

stabilitas, perlindungan, ketertiban, bebas dari ketakutan dan kecemasan.

Ketidakpastian yang dihadapi manusia membuat manusia harus mencapai

sebanyak mungkin jaminan, perlindungan, dan ketertiban menurut

kemampuannya (Minderop, 2010: 280).

Pada dasarnya orang dewasa atau anak-anak yang sehat

mentalnya, ditandai dengan perasaan aman, bebas dari rasa takut, dan

cemas (Yusuf, 2008: 158). Kebutuhan rasa aman sudah muncul sejak

bayi, dalam bentuk menangis atau berteriak ketakutan karena perlakuan

yang kasar atau karena perlakuan yang dirasa sebagai sumber bahaya.

Anak akan merasa lebih aman berada dalam suasana keluarga yang

teratur, terencana, terorganisir, dan disiplin karena suasana semacam itu

mengurangi kemungkinan adanya perubahan dadakan, dan kekacauan

yang tidak terbayangkan sebelumnya. Pengasuhan yang bebas tidak

mengenakan batasan-batasan, misalnya tidak mengatur kapan bayi tidur,

dan kapan makan, akan membuat bayi bingung dan takut, bayi tidak

terpuaskan kebutuhan keamanan dan keselamatannya. Begitu pula

peristiwa-peristiwa orang tua (adu mulut atau pemukulan), perceraian

dan kematian membuat lingkungan tidak stabil atau tidak terduga

sehingga bayi merasa tidak aman (Alwisol, 2009: 204-205).

3) Kebutuhan Rasa Dicintai dan Memiliki

Setelah kebutuhan fisiologis dan rasa aman terpuaskan, kebutuhan

dicintai dan memiliki atau menjadi bagian dari kelompok sosial menjadi

tujuan yang dominan. Orang sangat peka dengan kesendirian, pengasingan,

ditolak lingkungan, dan kehilangan sahabat atau kehilangan cinta. Kebutuhan

rasa dicintai dan memiliki diekspresikan dalam berbagai cara, seperti:

persahabatan, percintaan, atau pergaulan yang lebih luas. Melalui kebutuhan

ini, seseorang mencari pengakuan, dan curahan kasih sayang dari orangtua,

saudara, guru, teman, atau orang dewasa lainnya (Yusuf, 2008: 158).

Maslow menolak pandangan Freud yang mengatakan bahwa cinta

adalah sublimasi dari insting seks. Menurut Maslow, cinta tidak sinonim

dengan seks, cinta adalah hubungan sehat antara sepasang manusia yang

melibatkan perasaan saling menghargai, menghormati, dan mempercayai.

Dicintai dan diterima adalah jalan menuju perasaan yang sehat dan

berharga, sebaliknya, tanpa cinta menimbulkan kesia-siaan, kekosongan,

dan kemarahan (Alwisol, 2009: 205).

Kebutuhan rasa cinta dan memiliki adalah sebuah kebutuhan yang

mendorong manusia untuk melakukan hubungan afektif atau hubungan

emosional dengan orang lain. Hubungan ini dapat berupa hubungan

antara dua jenis kelamin yang berbeda atau sejenis, dan dapat pula

berhubungan dengan kelompok masyarakat tertentu. Kebutuhan ini

ditandai dengan adanya rasa kepemilikan dan cinta, contohnya rasa

kasih-sayang dari orang lain (Minderop, 2010: 296-297).

4) Kebutuhan Rasa Harga Diri

Kebutuhan rasa harga diri adalah adanya rasa penghargaan,

keberhasilan dalam masyarakat, dan harga diri. Menurut Maslow,

kebutuhan penghargaan terbagi dua; pertama, penghargaan dari diri

sendiri yang mencakup keinginan untuk memperoleh kompetensi,

percaya diri, kebebasan, kemandirian, dan kepribadian yang kuat. Kedua,

adanya penghargaan dari orang lain yang mencakup kebutuhan untuk

mencapai prestasi dalam kehidupan sehingga memperoleh penghargaan

dari pihak lain (Minderop, 2010: 301).

Kepuasan kebutuhan harga diri menimbulkan perasaan dan sikap

percaya diri, diri berharga, diri mampu, dan perasaan berguna dan

penting di dunia. Sebaliknya, frustasi karena kebutuhan harga diri tidak

terpuaskan akan menimbulkan perasaan dan sikap canggung, lemah,

pasif, tergantung, penakut, tidak mampu mengatasi tuntutan hidup, dan

rendah diri dalam bergaul. Menurut Maslow, penghargaan dari orang lain

hendaknya diperoleh berdasarkan penghargaan diri kepada diri sendiri.

Orang seharusnya memperoleh harga diri dari kemampuan dirinya

sendiri, bukan dari ketenaran eksternal yang tidak dapat dikontrolnya,

yang membuatnya tergantung kepada orang lain (Alwisol, 2009: 206).

5) Kebutuhan Kognitif

Kebutuhan kognitif diekspresikan sebagai kebutuhan untuk

memahami, mengevaluasi, menjelaskan, mencari sesuatu, dan meneliti.

Menurut Maslow, rasa ingin tahu merupakan ciri mental sehat. Namun,

rasa ingin tahu biasanya terhambat perkembangannya oleh lingkungan,

baik keluarga maupun sekolah. Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan

ini akan menghambat pencapaian perkembangan kepribadian secara

penuh (Yusuf, 2008: 160).

Kebutuhan kognitif menjadi prasyarat mengaktualisasikan diri karena

jumlah pengetahuan sangat penting untuk motivasi mengembangkan potensi

dan perencanaan hidup. Ketika individu mengetahui dengan pasti petunjuk

dimana aktualisasi diri ditemukan, aktualisasi diri membantu memotivasi

untuk mengikuti belajar tambahan. Menurut Maslow, proses pembelajaran

dan pemahaman itu tidak memiliki arti apa-apa jika tidak ditanamkan.

6) Kebutuhan Estetika

Kebutuhan estetika meliputi kebutuhan akan keindahan, kesenian,

musik, yang merupakan bagian dari aspirasi tertinggi dari individu.

Melalui kebutuhan inilah individu dapat mengembangkan kreativitasnya.

 Pada saat ini estetika merupakan suatu kebutuhan, seseorang yang telah

mencapai tingkat kepuasan pada kebutuhan kognitifnya akan mencari

suatu keindahan, kesempurnaan, dan keserasian bentuk pada segala

sesuatu yang berhubungan dengannya. Seperti ketika seseorang telah

mencapai puncak karirnya, dia menginginkan rumah yang indah, mobil

yang bagus, perhiasan, baju yang bagus untuk dinikmati sendiri bukan

sebagai sarana mendapatkan pengakuan dari orang lain, hal ini

merupakan kebutuhan estetika. Menurut Maslow, Kebutuhan estetika

merupakan ciri orang yang sehat mentalnya, karena orang yang sehat

mentalnya ditandai dengan kebutuhan keteraturan, keserasian, atau

keharmonisan dalam setiap aspek kehidupan (Yusuf, 2008: 160).

7) Kebutuhan Aktualisasi Diri

Menurut Maslow dalam Goble (1971: 77), setiap orang harus

berkembang sepenuh kemampuannya. Pemaparan tentang kebutuhan

psikologi untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan menggunakan

kemampuan, oleh Maslow disebut aktualisasi diri. Maslow melukiskan

kebutuhan aktualisasi diri sebagai hasrat untuk makin menjadi diri

sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuan

atau potensi yang dimilikinya.

Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan manusia tertinggi.

Kebutuhan ini tercapai apabila kebutuhan-kebutuhan di bawahnya telah

terpenuhi dan terpuaskan. Menurut Maslow, seseorang akan mampu

mencapai kebutuhan aktualisasi diri apabila mampu melewati masa-masa

sulit yang berasal dari diri sendiri maupun dari luar (Minderop, 2010: 305).

Aktualisasi diri adalah keinginan untuk memperoleh kepuasan

dengan dirinya sendiri, untuk menyadari semua potensi dirinya, untuk

menjadi apa saja yang dia dapat melakukannya, dan untuk menjadi

kreatif dan bebas mencapai puncak prestasi potensinya. Manusia yang

dapat mencapai tingkat aktualisasi diri ini menjadi manusia yang utuh,

memperoleh kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan yang orang lain bahkan

tidak menyadari ada kebutuhan semacam itu. Mereka mengekspresikan

kebutuhan dasar kemanusiaan secara alami, dan tidak mau ditekan oleh

budaya ( Alwisol, 2009: 206).

Kebutuhan aktualisasi diri, dapat didefinisikan sebagai perkembangan

yang paling tinggi dan penggunaan semua bakat, pemenuhan semua kualitas

dan kapasitasnya. Walaupun manusia telah mencapai kebutuhan dalam

tingkat yang lebih rendah, yakni merasa aman secara fisik dan emosional,

mempunyai rasa memiliki dan cinta, merasa berharga, namun akan merasa

kecewa, tidak tenang dan tidak puas jika gagal berusaha memuaskan

kebutuhan akan aktualisasi diri. Bila kondisi ini terjadi, maka manusia

tersebut tidak berada dalam damai dengan dirinya sendiri, dan tidak bisa

dikatakan sehat secara psikologis (Schultz dalam Minderop, 2010: 281-282).

Maslow dalam Koswara (1991: 138-147), mengemukakan bahwa

secara umum, orang yang mencapai aktualisasi diri mempunyai ciri-ciri

sebagai berikut:

1) Orientasinya realistik, mengamati realitas secara efisien. 2) Menerima diri, orang lain dan kodrat atau alam sekitarnya. 3) Spontan, sederhana, dan wajar. 4) Terpusat pada masalah 5) Pemisahan diri dan kebutuhan privasi. 6) Kemandirian dari kebudayaan dan lingkungan 7) Kesegaran dan apresiasi. 8) Pengalaman puncak atau pengalaman mistik 9) Memiliki minat sosial. 10) Hubungan antarpribadi cenderung memiliki hubungan

akrab dengan sedikit orang tercinta. 11) Berkarakter demokratis. 12) Tidak mengacaukan perbedaan antara cara dan tujuan. 13) Rasa humornya filosofik, tidak berlebihan. 14) Kreativitas. 15) Menolak bersetuju dengan kultur.

Dari penjelasan tentang teori kebutuhan bertingkat Abraham Maslow di

atas, maka hierarki kebutuhan dapat digambarkan sebagai berikut:

Bagan 1

Hierarki Kebutuhan – Abraham Maslow

Kebutuhan Aktualisasi diri Kebutuhan Estetika

Kebutuhan Kognitif

Kebutuhan rasa harga diri

Kebutuhan rasa cinta dan memiliki

Kebutuhan akan rasa aman

Kebutuhan Fisiologis

Dari penjelasan tentang teori kebutuhan bertingkat dan bagan hierarki

kebutuhan — Maslow di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan

yang paling mendasar ialah kebutuhan fisiologis, bila kebutuhan ini belum

tercapai dan terpuaskan maka individu tidak akan bergerak mencapai

kebutuhan di atasnya. Jadi, kebutuhan fisiologis harus terpuaskan lebih

dahulu sebelum muncul kebutuhan rasa aman. Sesudah kebutuhan fisiologis

dan rasa aman terpuaskan, baru muncul kebutuhan rasa memiliki dan cinta

(kasih sayang), begitu seterusnya sampai kebutuhan dasar tepuaskan baru

akan muncul kebutuhan aktualisasi diri.

Konsep kebutuhan bertingkat dari Maslow dilanjutkan oleh Graham

dan Baloun dalam Koswara (1991: 132-133) yang menyimpulkan bahwa

secara garis besar konsep kebutuhan individu ada dua aspek. Dua aspek

yang dimaksud adalah :

(a) Apabila suatu kebutuhan telah terpuaskan individu pada saat tersebut

tidak akan berusaha untuk meneruskan pemuasannya, melainkan akan

berusaha memuaskan kebutuhan lain yang lebih tinggi, dan

(b) Kebutuhan yang tingkatannya lebih rendah, pemuasannya lebih

mendesak dan akan didahulukan oleh individu daripada kebutuhan

yang lebih tinggi.

Bagan 2

Alur pikir yang menjadi pijakan penulis adalah sebagai berikut:

 

NOVEL POSTCARD FROM NEVERLAND KARYA RINA SURYAKUSUMA

Hierarki kebutuhan tokoh utama berdasarkan Teori psikologi humanistik Abraham Maslow

Kebutuhan fisiologis

Tokoh utama membutuhkan perlindungan dari ketidaknyamanan karena berkali-kali dilecehkan dan dihina. 

Tokoh utama mencintai pria bule bernama Joshua Leinard begitu juga sebaliknya.

Tokoh utama dituduh merayu Joshua Leinard dan anaknya.

Tokoh utama mendapatkan beasiswa di University of Washington   

Tokoh utama menemukan pondokan di dekadanau yang indahuntuk ditinggalisetelah keluar

dari asrama universi

Tokoh utama menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya meninggal.

Aktualisasi diri tokoh utama dalam novel Postcard from Neverland karya Rina SuryakusKajian Psikologi Humanistik

Kesimpulan

Kebutuhan rasa aman

Kebutuhan rasa cinta dan memiliki

Kebutuhan harga diri

Kebutuhan kognitif

Kebutuhan estetika