bab ii landasan teori -...
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan bertujuan untuk mengetahui keaslian karya
ilmiah, karena pada dasarnya suatu penelitian tidak beranjak dari awal, akan
tetapi berasal dari acuan yang mendasarinya. Untuk mengetahui keaslian
penelitian ini dipaparkan beberapa penelitian yang relevan yang telah dimuat
dalam bentuk skripsi. Penelitian relevan tersebut di antaranya sebagai berikut:
Pertama, Agung Dwi Prasetyo (2006), dalam penelitian yang berjudul
“Proses Aktualisasi Diri Tokoh Amid dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air
karya Ahmad Tohari: Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra”. Hasil penelitian
ini adalah dalam proses aktualisasi diri tokoh Amid mengalami masalah pada
pemenuhan kebutuhan akan rasa aman, karena tokoh Amid adalah anggota
DI/ TII yang selalu dikejar oleh tentara republik. Pemenuhan kebutuhan akan
rasa aman dapat terpenuhi setelah ada pengampunan dari pemerintah.
Aktualisasi diri tokoh Amid dapat tercapai pada saat dirinya dan teman-
temannya berperang atas nama republik dalam menumpas gerakan komunis
di hutan jati Cigobang. Dalam proses aktualisasi diri tokoh Amid menemui
hambatan-hambatan, tetapi hambatan tersebut dapat terlewati, karena sikap tokoh
Amid yang berani dalam mengambil resiko-resiko, serta keadaan lingkungan
yang juga ikut mendukung untuk tercapainya aktualisasi diri.
7
Kedua, Penelitian tentang kepribadian tokoh sudah pernah dilakukan
oleh Nurul Apriliyani (2011) dalam penelitian yang berjudul “Dinamika
Kepribadian Tokoh Enong dalam Novel Dwilogi Padang Bulan karya Andrea
Hirata: Kajian Psikologi Sastra”. Hasil dari penelitian ini adalah pemenuhan
kebutuhan fisiologis melahirkan kepribadian mandiri dan bertanggungjawab,
kebutuhan rasa aman melahirkan kepribadian pemberani, kebutuhan
pengakuan dan kasih sayang melahirkan kepribadian mandiri, kebutuhan
penghargaan melahirkan kepribadian percaya diri, kebutuhan kognitif
melahirkan kepribadian cerdas, kebutuhan estetika melahirkan kepribadian
pekerja keras dan percaya diri, dan kebutuhan aktualisasi diri melahirkan
kepribadian percaya diri dan tidak mudah putus asa. Struktur dinamika
perkembangan dinamika tokoh Enong dibagi menjadi empat tahap
perkembangan yaitu masa kanak-kanak setelah kehidupannya mendapatkan
rintangan menimbulkan kepribadian yang mandiri, masa muda
menggambarkan kepribadian Enong menjadi wanita yang tumbuh dewasa
yang mempunyai kepribadian yang pemberani, masa paruh baya merupakan
potensi yang dimiliki tokoh menjadi seorang pemberani, cerdas, pekerja keras
dan memiliki kepribadian percaya diri, masa tua tidak dijelaskan.
Dari kedua penelitian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persamaan
penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penggunaan pendekatan
psikologi sastra berdasarkan kajian teori psikologi humanistik untuk menganalisis
tokoh utama dalam novel. Adapun perbedaannya yaitu dalam penelitian yang
dilakukan oleh Agus Dwi Prasetyo yang dianalisis adalah masalah atau hambatan-
hambatan yang dialami tokoh Amid dalam proses mengaktualisasikan dirinya,
sedangkan penelitian yang penulis analisis hanyalah wujud aktualisasi diri
yang diperoleh dari tokoh utama, beserta ciri-ciri atau karakteristik yang
dapat membuktikan tokoh utama mampu mengaktualisasikan dirinya. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Nurul Apriliyani yang dianalisis dinamika
atau perubahan kepribadian tokoh Enong dari masa kanak-kanak sampai masa
tua dalam mencapai aktualisasi dirinya, sedangkan penelitian yang penulis
analisis hanyalah kepribadian yang dapat mengantarkan tokoh utama dalam
mengaktualisasikan dirinya, kemudian dianalisis perwujudan aktualisasi diri
yang diperoleh dari tokoh utama. Dengan demikian perbedaannya terletak
pada aspek analisis aktualisasi diri yang diperoleh dari tokoh utama dalam
novel PFN karya Rina Suryakusuma sebagai kajian utama.
B. Landasan Teori
Dalam penelitian terhadap aktualisasi diri tokoh utama dalam novel
PFN karya Rina Suryakusuma, teori-teori yang digunakan berkaitan dengan:
1. Tokoh dalam Karya Sastra
Tokoh ialah pelaku dalam karya sastra. Menurut Sayuti (2000:73-74),
tokoh merupakan elemen struktural fiksi yang melahirkan peristiwa.
Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan
sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelakunya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Aminuddin (2011:79), yang mengemukakan
bahwa pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehinggga
terjalin suatu cerita disebut dengan tokoh. Dalam karya sastra terdapat
beberapa tokoh, namun biasanya hanya ada satu tokoh utama.
Menurut Nurgiyantoro (2010:176-191), tokoh-tokoh cerita dalam
sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan
berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan, yang meliputi:
a) Berdasarkan peranannya dalam suatu cerita, tokoh cerita dibagi menjadi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya sebagai pelengkap saja.
b) Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, yaitu tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma dan nilai-nilai yang ideal bagi pembaca. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan pembaca, dan harapan-harapan pembaca. Tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik.
c) Berdasarkan perwatakannya, tokoh dibagi menjadi dua, yaitu tokoh sederhana (Simple atau flat character) dan tokoh bulat (compleks character). Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu dan watak tertentu saja, Sedangkan tokoh bulat atau tokoh kompleks adalah tokoh yang memiliki kompleksitas yang diungkap dari berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya.
d) Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita dalam sebuah novel, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh statis, tak berkembang (static character) dan tokoh berkembang (developing character). Tokoh statis memiliki sikap dan watak yang relatif tetap, tak berkembang, sejak awal sampai akhir cerita. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot yang dikisahkan.
e) Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap (sekelompok) manusia dari kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh tipikal (typical character) dan tokoh netral (neutral character). tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya, atau sesuatu yang lain yang lebih bersifat mewakili. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri.
Pembedaan antara tokoh utama dan tokoh pembantu dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1) Tokoh Utama
Tokoh utama adalah tokoh yang sangat berperan dalam sebagian
besar peristiwa dalam cerita, biasanya peristiwa itu menyebabkan
terjadinya perubahan sikap terhadap diri tokoh atau perubahan
pandangan pembaca terhadap tokoh tersebut, misalnya menjadi benci,
senang, atau menjadi simpati kepada tokoh tersebut (Baribin, 1985:54).
Tokoh utama merupakan tokoh yang memiliki peranan penting dalam
suatu cerita dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi
sebagian besar cerita, tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu
berhubungan dengan tokoh-tokoh lain (Nurgiyantoro, 2010:176).
Aminuddin (2011:80) menjelaskan bahwa, untuk menentukan
tokoh utama atau tokoh tambahan dalam cerita atau karya fiksi, dapat
dilakukan dengan berbagai cara dan pertimbangan. Pertama, melihat
keseringan kemunculan dalam suatu cerita. Kedua, ditentukan lewat
petunjuk pengarang. Tokoh utama umumnya merupakan tokoh yang
saling memberi komentar yang dibicarakan oleh pengarangnya,
sedangkan tokoh pembantu hanya dibicarakan alakadarnya saja. Selain
itu, lewat judul cerita. Sayuti (2000:73), juga mengajukan tiga cara
penentuan tokoh utama, yaitu tokoh tersebut paling banyak terlibat dalam
tema; tokoh tersebut paling banyak berhubungan dengan tokoh lain; dan
tokoh tersebut paling banyak memerlukan waktu penceritaan.
2) Tokoh Tambahan atau Tokoh Pembantu
Nurgiyantoro (2010:176) menjelaskan bahwa tokoh tambahan atau
tokoh pembantu, yaitu tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau
beberapa kali dalam cerita dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan
yang relatif pendek. Pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam
keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya
hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung
ataupun tak langsung. Definisi lain dijelaskan oleh Aminuddin (2011: 79),
bahwa tokoh tambahan atau tokoh pembantu adalah tokoh yang memiliki
peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi,
melayani, dan mendukung pelaku utama.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh utama adalah
tokoh yang pemunculannya diutamakan dan memiliki peranan penting dalam
sebagian besar peristiwa dalam cerita. Jika dibandingkan dengan tokoh utama,
pemunculan tokoh-tokoh tambahan atau tokoh pembantu dalam keseluruhan
cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada
keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tidak langsung.
Tokoh dan penokohan merupakan dua unsur cerita yang penting.
Penokohan dalam cerita rekaan tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan
tokoh. Istilah ‘tokoh’ menunjuk pada pelaku dalam cerita sedangkan
‘penokohan’ menunjukkan pada sifat, watak atau karakter yang melingkup
diri tokoh itu. Menurut Nurgiyantoro (2010:165), penokohan merupakan
cara pengarang menampilkan atau menggambarkan tokoh atau pelaku itu.
Hal ini sesuai dengan pendapat Suharianto dalam Sangidu (2004:132), yang
mengemukakan bahwa penokohan adalah penggambaran para tokoh cerita,
baik keadaan lahir, maupun batinnya, yang meliputi sifat, sikap, tingkah
laku, pandangan hidup, dan keyakinan. Melalui para tokoh itulah cerita
menjadi lebih nyata dalam angan-angan pembaca.
Menurut cara pengungkapannya, penokohan dapat dicapai dengan dua
cara, yaitu cara analitik (langsung) dan cara dramatik (tidak langsung). Pada
cara analitik, pengarang mengisahkan secara langsung melalui sifat-sifat,
tabiat, latar belakang, pikiran dan perasaan seorang tokoh. Penokohan cara
dramatik dapat diungkapkan melalui berbagai cara, antara lain melalui
pengungkapan lingkungan hidup tokoh-tokoh, cakapan (dialog) tokoh yang
satu dengan tokoh yang lain mengenai tokoh tertentu, dan perbuatan sang
tokoh (Eneste, 1991:25-27).
Menurut Lubis dalam Tarigan (1984: 133-134), ada beberapa cara
yang dapat dipergunakan oleh pengarang untuk melukiskan rupa, watak,
atau pribadi para tokoh, antara lain:
a. Physical description (melukiskan bentuk lahir dari pelakon) b. Portrayal of thought stream or of concious thought (melukiskan
jalan pikiran pelakon atau apa yang terlintas dalam pikirannya) c. Reaction to events (melukiskan bagaimana reaksi pelakon itu
terhadap kejadian-kejadian) d. Direct author analysis (pengarang dengan langsung menganalisis
watak pelakon) e. Discussion of environment (pengarang melukiskan keadaan
sekitar pelakon) f. Reaction of others about/to character (pengarang melukiskan
bagaimana pandangan-pandangan pelakon lain dalam suatu cerita terhadap pelakon utama itu)
g. Conversation of other about character (pelakon-pelakon lainnya dalam suatu cerita memperbincangkan keadaan pelakon utama).
Secara garis besar, teknik pelukisan tokoh dalam karya fiksi dibedakan
ke dalam dua cara, yaitu pelukisan secara langsung dan pelukisan secara
tidak langsung. Pelukisan secara langsung atau disebut juga dengan teknik
analisis adalah pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan
deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung (Nurgiyantoro, 2010: 194-
195). Hal ini sejalan dengan pendapat Mido (1994: 22), yang mengemukakan
bahwa teknik langsung adalah pengarang secara langsung melukiskan tokoh,
baik bidang fisiologi, sosiologi, maupun bidang psikologinya.
Menurut Nurgiyantoro (2010: 201-211), pelukisan tokoh secara tidak
langsung adalah pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan
sikap serta tingkah laku tokoh. Penampilan tokoh secara tidak langsung dapat
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu teknik cakapan (melalui percakapan yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita); teknik tingkah laku (melalui tindakan dan
tingkah laku tokoh yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya); teknik pikiran
dan perasaan (melalui keadaan dan jalan pikiran serta perasaan tokoh); teknik
arus kesadaran (teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran
proses mental tokoh, di mana tanggapan indera bercampur dengan kesadaran
dan ketaksadaran pikiran), teknik reaksi tokoh (berdasarkan reaksi tokoh terhadap
suatu kejadian, masalah, keadaan, sikap tingkah-laku orang lain yang berupa
“rangsang” dari luar), teknik reaksi tokoh lain (berdasarkan penilaian kedirian
tokoh utama cerita oleh tokoh-tokoh cerita yang lain dalam sebuah karya sastra),
teknik pelukisan latar (berdasarkan suasana latar atau tempat sekitar tokoh), dan
teknik pelukisan fisik (berdasarkan keadaan fisik tokoh).
Menurut Sayuti (2000: 90-109), penggambaran atau pelukisan tokoh
dapat melalui berbagai metode yaitu: metode diskursif atau cara analitik
merupakan sebuah metode dimana pengarang secara langsung menguraikan
atau menggambarkan keadaan atau karakter tokoh; metode dramatis adalah
pengarang membiarkan tokoh-tokohnya untuk menyatakan diri mereka
sendiri melalui kata-kata, tindakan-tindakan, atau perbuatan mereka sendiri;
dan metode kontekstual yaitu pengarang dalam menggambarkan karakter
tokoh melalui bahasa yang digunakan tokoh-tokoh yang lain.
Menurut Robert Stanton dalam Baribin (1985: 54), yang dimaksud
dengan penokohan atau perwatakan dalam suatu fiksi dapat dipandang
dari dua segi. Pertama, mengacu kepada tokoh yang bermain dalam cerita
fiksi; Kedua, mengacu kepada perbauran dari minat, keinginan, emosi, dan
moral yang membentuk individu yang bermain dalam suatu cerita. Ada dua
macam cara memperkenalkan tokoh dan penokohan dalam fiksi, yaitu:
a. Secara analitik (disebut pula cara singkap), yaitu pengarang langsung memaparkan tentang watak atau karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras hati, penyayang, dan sebagainya;
b. Secara dramatik (disebut pula cara lukis), yaitu penggambaran perwatakan yang tidak diceritakan langsung, tetapi hal itu disampaikan melalui pilihan nama tokoh; melalui penggambaran fisik atau postur tubuh, cara berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain, serta lingkungannya; dan melalui dialog tokoh yang bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
teknik penokohan atau pelukisan tokoh dibedakan ke dalam dua cara,
yaitu teknik pelukisan secara langsung dan pelukisan secara tidak langsung.
Pelukisan secara langsung atau disebut juga dengan teknik analisis adalah
pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi,
uraian, atau penjelasan secara langsung tentang sifat-sifat tokoh, keadaan
atau perasaannya. Pelukisan tokoh secara tidak langsung adalah pengarang
tidak mendeskripsikan sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh secara jelas
dan lengkap melainkan disimpulkan pembaca melalui percakapan, pikiran,
dan tingkah laku tokoh.
2. Psikologi Sastra
Psikologi berasal dari bahasa Yunani, psyche yang artinya jiwa, logos
yang berarti ilmu. Jadi psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang menyelidiki
dan mempelajari tingkah laku manusia (Atkinson dalam Minderop, 2010: 3).
Dalam psikologi terdapat tiga revolusi yang mempengaruhi pemikiran
personologis modern. Revolusi pertama yaitu psikoanalisis, yang
menghadirkan manusia sebagai bentukan dari naluri dan konflik-konflik
struktur kepribadian. Konflik-konflik struktur kepribadian ialah konflik
yang timbul dari pergumulan antara id, ego, dan super ego. Revolusi yang
kedua yaitu behaviorisme, mencirikan manusia sebagai korban yang
fleksibel, pasif, dan penurut terhadap stimulus lingkungan. Kemudian
muncul revolusi yang ketiga, psikologi humanistik, adalah sebuah
“gerakan” yang menampilkan manusia sebagai makhluk yang bebas dan
bermartabat serta selalu bergerak ke arah pengungkapan segenap potensi
yang dimilikinya (Koswara, 1991: 109).
Quthb dalam Sangidu (2004: 38), mengemukakan bahwa karya sastra
adalah untaian perasaan dan realitas sosial (semua aspek kehidupan
manusia) yang telah tersusun baik dan indah. Hasil karya sastra dapat
berupa novel, puisi, cerita pendek, serta drama. Menurut Esten (1978:12),
novel merupakan pengungkapan dari fragmen (cuplikan) kehidupan
manusia (dalam jangka yang lebih panjang) dimana konflik-konflik yang
akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup antara para
pelakunya. Dalam novel diungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada
suatu saat yang tegang, dan pemusatan kehidupan yang tegas.
Tarigan (1984:164), mengemukakan bahwa kata novel berasal dari
kata Latin novellus yang diturunkan pula dari kata novies yang berarti
“baru”. Dikatakan baru karena kalau dibandingkan dengan jenis-jenis sastra
lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka jenis novel ini muncul
kemudian. Novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif atau rekaan. Menurut
Baribin (1985:9), cerita fiksi atau rekaan ialah cerita yang sengaja dikarang
oleh seorang sastrawan untuk dinikmati oleh para pembaca. Ceritanya
diolah berdasarkan pandangan, tafsiran, dan penilaian pengarang mengenai
peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi secara nyata, maupun yang terjadi
hanya dalam khayalan pengarang saja.
Ratna (2011: 342-343), mengemukakan bahwa ada tiga cara
yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi
dengan sastra, yaitu memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai
penulis karya sastra, memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh
fiksional dalam karya sastra, dan memahami unsur-nsur kejiwaan pembaca.
Hal ini sejalan dengan pendapat Wellek dan Werren (1990: 90), bahwa
psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian. Pertama, studi
psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Kedua, studi proses
kreatif. Ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada
karya sastra. Dan keempat, mempelajari dampak karya sastra pada pembaca
(psikologi pembaca). Yang paling berkaitan dengan bidang sastra adalah
pengertian ketiga.
Psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang digunakan untuk
mendekati atau mengkaji suatu karya sastra dari sudut pandang psikologi
(Noor, 2004: 92). Psikologi sastra merupakan ilmu yang memandang karya
sastra sebagai suatu karya yang memuat peristiwa-peristiwa kehidupan
manusia yang diperankan oleh tokoh-tokoh imajiner yang ada di dalamnya
atau mungkin juga diperankan oleh tokoh-tokoh faktual. Hal ini merangsang
untuk melakukan penjelajahan batin atau kejiwaan untuk mengetahui lebih
jauh tentang seluk beluk manusia yang beraneka ragam (Sangidu, 2004: 30).
Psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang diyakini dapat
mencerminkan proses dan aktivitas kejiwaan. Dalam menelaah suatu karya
psikologis, keterlibatan psikologi pengarang dan kemampuan pengarang
menampilkan para tokoh rekaan yang terlibat dengan masalah kejiwaan.
Karya sastra memungkinkan ditelaah melalui pendekatan psikologi karena
karya sastra menampilkan watak para tokoh, walaupun imajinatif, dapat
menampilkan berbagai problem psikologis (Endraswara dalam Minderop,
2010: 54-55).
Psikologi sastra merupakan suatu pendekatan yang mempertimbangkan
segi-segi kejiwaan dan menyangkut batiniah manusia, lewat tinjauan
psikologi akan nampak bahwa fungsi dan peran sastra adalah untuk
menghidangkan citra manusia yang seadil-adilnya untuk memancarkan
bahwa karya sastra pada hakekatnya bertujuan untuk melukiskan kehidupan
manusia (Hardjana,1994:66).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa psikologi
sastra merupakan kajian karya sastra yang diyakini mencerminkan aktivitas
kejiwaan tokoh-tokoh yang ada dalam karya sastra. Kajian tersebut meliputi:
kajian terhadap pengarang sebagai pencipta karya sastra, kajian terhadap
proses penciptaan karya sastra, kajian terhadap hukum-hukum psikologi
yang diterapkan dalam karya sastra, dan kajian terhadap pengaruh karya
sastra terhadap pembacanya. Daya tarik psikologi sastra terdapat pada
masalah manusia yang melukiskan potret jiwa. Tidak hanya jiwa sendiri
yang muncul dalam sastra, tetapi juga bisa mewakili jiwa orang lain. Setiap
pengarang kerap kali menambahkan pengalaman sendiri dalam karyanya,
dan pengalaman pengarang itu sering pula dialami oleh orang lain.
3. Teori Psikologi Humanistik – Abraham Maslow
Secara garis besar, psikologi humanistik pertama kali dikemukakan
oleh Maslow pada tahun 1954, dalam kepala suratnya yang berbunyi: “Orang-
orang yang menaruh minat pada studi ilmiah tentang kreativitas, cinta, nilai-
nilai yang lebih tinggi, otonomi, pertumbuhan, aktualisasi diri, dan pemuasan
kebutuhan dasar”. Abraham Maslow, seorang teoris kepribadian yang realistik,
dipandang sebagai bapak spiritual, pengembang teori, dan juru bicara yang
paling cakap bagi psikologi humanistik. Terutama pengukuhan Maslow
yang gigih atas keunikan, dan aktualisasi diri manusialah yang menjadi
simbol orientasi humanistik. Ada empat ciri psikologi yang berorientasi
humanistik, yaitu:
1) Memusatkan perhatian pada person yang mengalami dan karenanya berfokus pada pengalaman sebagai fenomena primer dalam mempelajari manusia,
2) Menekankan pada kualitas-kualitas yang khas manusia, seperti memilih, kreativitas, menilai, dan realisasi diri,
3) Menyandarkan diri pada kebermaknaan dalam memilih masalah-masalah yang akan dipelajari dan prosedur-prosedur penelitian yang akan digunakan,
4) Memberikan perhatian penuh dan meletakkan nilai yang tinggi pada kemuliaan dan martabat manusia serta tertarik pada perkembangan potensi yang inheren pada setiap individu. Individu sebagaimana dia menemukan dirinya sendiri serta dalam hubungannya dengan individu-individu lain dan dengan kelompok-kelompok sosial (Misiak, 2005:125-132).
Maslow berasumsi bahwa manusia sejatinya merupakan makhluk yang
baik, sehingga manusia memiliki hak untuk merealisasikan jatidirinya agar
mencapai aktualisasi diri. Manusia yang berupaya memenuhi dan
mengekspresikan potensi dan bakatnya kerap kali terhambat oleh kondisi
masyarakat yang menolaknya. Keadaan semacam ini dapat menyebabkan
seseorang mengalami problem kejiwaan dan ketimpangan perilaku (Krech,
dalam Minderop, 2010: 48).
Dalam teori psikologi humanistik, juga meyakini bahwa manusia
di dalam dirinya memiliki potensi untuk berkembang sehat dan kreatif,
dan jika orang mau menerima tanggungjawab untuk hidupnya sendiri,
maka dia akan menyadari potensinya, mengatasi pengaruh-pengaruh
kuat dari pendidikan orang tua, sekolah, dan tekanan-tekanan sosial lainnya.
Pendekatan humanistik mengarahkan pusat perhatian kepada manusia yang
sehat, kreatif, dan mampu mengaktualisasikan diri. Ilmu jiwa seharusnya
memusatkan analisisnya kepada tema pokok kehidupan manusia, yakni
aktualisasi diri (Alwisol, 2009: 199-201).
Salah satu teori pada psikologi humanistik adalah teori kepribadian
Abraham Maslow, yang menekankan pada hierarki kebutuhan dan motivasi.
Maslow meyakini bahwa manusia dimotivasi oleh kecenderungan atau
kebutuhan untuk mengaktualisasikan, memelihara, dan meningkatkan dirinya.
Kebutuhan-kebutuhan ini bersifat bawaan sebagai kebutuhan dasar jiwa
manusia, yang meliputi kebutuhan fisik dan psikis. Maslow dalam Yusuf
(2008:156-160) berpendapat bahwa motivasi manusia diorganisasikan ke
dalam sebuah hierarki kebutuhan yaitu suatu susunaan kebutuhan yang
sistematis, suatu kebutuhan dasar harus dipenuhi sebelum kebutuhan dasar
lainnya muncul. Kebutuhan ini bersifat instinsik yang mengaktifkan atau
mengarahkan perilaku manusia. Penekanan pendapat Maslow sangat bermanfaat
untuk memahami pengalaman manusia dalam berbagai situasi. Menekankan
pada teori hierarki kebutuhan untuk memahami kebutuhan manusia. Maslow
menyampaikan teori tentang kebutuhan bertingkat yang tersusun sebagai berikut:
1) Kebutuhan Fisiologis
Koswara (1991:119), mengemukakan bahwa kebutuhan fisiologis
adalah kebutuhan dasar yang paling mendesak pemuasannya karena
berkaitan langsung dengan pemeliharaan biologis dan kelangsungan
hidup. Karena merupakan kebutuhan yang paling mendesak, maka
kebutuhan fisiologis akan paling didahulukan pemuasannya oleh individu.
Minderop (2010: 284), juga mendefinisikan kebutuhan fisiologis sebagai
sekelompok kebutuhan dasar yang paling mendesak pemuasannya karena
terkait dengan kebutuhan biologis manusia. Misalnya, kebutuhan pangan,
sandang, papan, seks, oksigen, dan sebagainya, demi kelangsungan hidup
manusia.
Kebutuhan fisiologis ini sangat kuat, dalam keadaan kelaparan dan
kehausan, semua kebutuhan lain ditinggalkan dan orang mencurahkan
semua kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan ini. Seperti orang yang
kekurangan makanan misalnya, karena lapar keinginan yang ada hanyalah
makanan, tidak ada keinginan yang lain, yang dipikirkan, dimimpikan,
dibicarakan, dilakukan, diinginkan semua tentang makanan. Karena
kebutuhan paling mendesak, maka sebelum ini tercapai, tidak akan
bergerak menuju kebutuhan di atasnya. Kebutuhan ini sangat berpengaruh
terhadap tingkah laku manusia dan ia selalu berusaha memenuhinya.
Apabila kebutuhan fisiologis individu telah terpuaskan, dalam diri individu
akan menuntut pemuasan akan kebutuhan rasa aman (Alwisol, 2009: 204).
2) Kebutuhan Rasa Aman
Kebutuhan rasa aman adalah kebutuhan ketika individu dapat
merasakan keamanan, ketentraman, kepastian, dan kesesuaian dengan
lingkungannya. Kebutuhan rasa aman meliputi kebutuhan akan jaminan,
stabilitas, perlindungan, ketertiban, bebas dari ketakutan dan kecemasan.
Ketidakpastian yang dihadapi manusia membuat manusia harus mencapai
sebanyak mungkin jaminan, perlindungan, dan ketertiban menurut
kemampuannya (Minderop, 2010: 280).
Pada dasarnya orang dewasa atau anak-anak yang sehat
mentalnya, ditandai dengan perasaan aman, bebas dari rasa takut, dan
cemas (Yusuf, 2008: 158). Kebutuhan rasa aman sudah muncul sejak
bayi, dalam bentuk menangis atau berteriak ketakutan karena perlakuan
yang kasar atau karena perlakuan yang dirasa sebagai sumber bahaya.
Anak akan merasa lebih aman berada dalam suasana keluarga yang
teratur, terencana, terorganisir, dan disiplin karena suasana semacam itu
mengurangi kemungkinan adanya perubahan dadakan, dan kekacauan
yang tidak terbayangkan sebelumnya. Pengasuhan yang bebas tidak
mengenakan batasan-batasan, misalnya tidak mengatur kapan bayi tidur,
dan kapan makan, akan membuat bayi bingung dan takut, bayi tidak
terpuaskan kebutuhan keamanan dan keselamatannya. Begitu pula
peristiwa-peristiwa orang tua (adu mulut atau pemukulan), perceraian
dan kematian membuat lingkungan tidak stabil atau tidak terduga
sehingga bayi merasa tidak aman (Alwisol, 2009: 204-205).
3) Kebutuhan Rasa Dicintai dan Memiliki
Setelah kebutuhan fisiologis dan rasa aman terpuaskan, kebutuhan
dicintai dan memiliki atau menjadi bagian dari kelompok sosial menjadi
tujuan yang dominan. Orang sangat peka dengan kesendirian, pengasingan,
ditolak lingkungan, dan kehilangan sahabat atau kehilangan cinta. Kebutuhan
rasa dicintai dan memiliki diekspresikan dalam berbagai cara, seperti:
persahabatan, percintaan, atau pergaulan yang lebih luas. Melalui kebutuhan
ini, seseorang mencari pengakuan, dan curahan kasih sayang dari orangtua,
saudara, guru, teman, atau orang dewasa lainnya (Yusuf, 2008: 158).
Maslow menolak pandangan Freud yang mengatakan bahwa cinta
adalah sublimasi dari insting seks. Menurut Maslow, cinta tidak sinonim
dengan seks, cinta adalah hubungan sehat antara sepasang manusia yang
melibatkan perasaan saling menghargai, menghormati, dan mempercayai.
Dicintai dan diterima adalah jalan menuju perasaan yang sehat dan
berharga, sebaliknya, tanpa cinta menimbulkan kesia-siaan, kekosongan,
dan kemarahan (Alwisol, 2009: 205).
Kebutuhan rasa cinta dan memiliki adalah sebuah kebutuhan yang
mendorong manusia untuk melakukan hubungan afektif atau hubungan
emosional dengan orang lain. Hubungan ini dapat berupa hubungan
antara dua jenis kelamin yang berbeda atau sejenis, dan dapat pula
berhubungan dengan kelompok masyarakat tertentu. Kebutuhan ini
ditandai dengan adanya rasa kepemilikan dan cinta, contohnya rasa
kasih-sayang dari orang lain (Minderop, 2010: 296-297).
4) Kebutuhan Rasa Harga Diri
Kebutuhan rasa harga diri adalah adanya rasa penghargaan,
keberhasilan dalam masyarakat, dan harga diri. Menurut Maslow,
kebutuhan penghargaan terbagi dua; pertama, penghargaan dari diri
sendiri yang mencakup keinginan untuk memperoleh kompetensi,
percaya diri, kebebasan, kemandirian, dan kepribadian yang kuat. Kedua,
adanya penghargaan dari orang lain yang mencakup kebutuhan untuk
mencapai prestasi dalam kehidupan sehingga memperoleh penghargaan
dari pihak lain (Minderop, 2010: 301).
Kepuasan kebutuhan harga diri menimbulkan perasaan dan sikap
percaya diri, diri berharga, diri mampu, dan perasaan berguna dan
penting di dunia. Sebaliknya, frustasi karena kebutuhan harga diri tidak
terpuaskan akan menimbulkan perasaan dan sikap canggung, lemah,
pasif, tergantung, penakut, tidak mampu mengatasi tuntutan hidup, dan
rendah diri dalam bergaul. Menurut Maslow, penghargaan dari orang lain
hendaknya diperoleh berdasarkan penghargaan diri kepada diri sendiri.
Orang seharusnya memperoleh harga diri dari kemampuan dirinya
sendiri, bukan dari ketenaran eksternal yang tidak dapat dikontrolnya,
yang membuatnya tergantung kepada orang lain (Alwisol, 2009: 206).
5) Kebutuhan Kognitif
Kebutuhan kognitif diekspresikan sebagai kebutuhan untuk
memahami, mengevaluasi, menjelaskan, mencari sesuatu, dan meneliti.
Menurut Maslow, rasa ingin tahu merupakan ciri mental sehat. Namun,
rasa ingin tahu biasanya terhambat perkembangannya oleh lingkungan,
baik keluarga maupun sekolah. Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan
ini akan menghambat pencapaian perkembangan kepribadian secara
penuh (Yusuf, 2008: 160).
Kebutuhan kognitif menjadi prasyarat mengaktualisasikan diri karena
jumlah pengetahuan sangat penting untuk motivasi mengembangkan potensi
dan perencanaan hidup. Ketika individu mengetahui dengan pasti petunjuk
dimana aktualisasi diri ditemukan, aktualisasi diri membantu memotivasi
untuk mengikuti belajar tambahan. Menurut Maslow, proses pembelajaran
dan pemahaman itu tidak memiliki arti apa-apa jika tidak ditanamkan.
6) Kebutuhan Estetika
Kebutuhan estetika meliputi kebutuhan akan keindahan, kesenian,
musik, yang merupakan bagian dari aspirasi tertinggi dari individu.
Melalui kebutuhan inilah individu dapat mengembangkan kreativitasnya.
Pada saat ini estetika merupakan suatu kebutuhan, seseorang yang telah
mencapai tingkat kepuasan pada kebutuhan kognitifnya akan mencari
suatu keindahan, kesempurnaan, dan keserasian bentuk pada segala
sesuatu yang berhubungan dengannya. Seperti ketika seseorang telah
mencapai puncak karirnya, dia menginginkan rumah yang indah, mobil
yang bagus, perhiasan, baju yang bagus untuk dinikmati sendiri bukan
sebagai sarana mendapatkan pengakuan dari orang lain, hal ini
merupakan kebutuhan estetika. Menurut Maslow, Kebutuhan estetika
merupakan ciri orang yang sehat mentalnya, karena orang yang sehat
mentalnya ditandai dengan kebutuhan keteraturan, keserasian, atau
keharmonisan dalam setiap aspek kehidupan (Yusuf, 2008: 160).
7) Kebutuhan Aktualisasi Diri
Menurut Maslow dalam Goble (1971: 77), setiap orang harus
berkembang sepenuh kemampuannya. Pemaparan tentang kebutuhan
psikologi untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan menggunakan
kemampuan, oleh Maslow disebut aktualisasi diri. Maslow melukiskan
kebutuhan aktualisasi diri sebagai hasrat untuk makin menjadi diri
sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuan
atau potensi yang dimilikinya.
Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan manusia tertinggi.
Kebutuhan ini tercapai apabila kebutuhan-kebutuhan di bawahnya telah
terpenuhi dan terpuaskan. Menurut Maslow, seseorang akan mampu
mencapai kebutuhan aktualisasi diri apabila mampu melewati masa-masa
sulit yang berasal dari diri sendiri maupun dari luar (Minderop, 2010: 305).
Aktualisasi diri adalah keinginan untuk memperoleh kepuasan
dengan dirinya sendiri, untuk menyadari semua potensi dirinya, untuk
menjadi apa saja yang dia dapat melakukannya, dan untuk menjadi
kreatif dan bebas mencapai puncak prestasi potensinya. Manusia yang
dapat mencapai tingkat aktualisasi diri ini menjadi manusia yang utuh,
memperoleh kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan yang orang lain bahkan
tidak menyadari ada kebutuhan semacam itu. Mereka mengekspresikan
kebutuhan dasar kemanusiaan secara alami, dan tidak mau ditekan oleh
budaya ( Alwisol, 2009: 206).
Kebutuhan aktualisasi diri, dapat didefinisikan sebagai perkembangan
yang paling tinggi dan penggunaan semua bakat, pemenuhan semua kualitas
dan kapasitasnya. Walaupun manusia telah mencapai kebutuhan dalam
tingkat yang lebih rendah, yakni merasa aman secara fisik dan emosional,
mempunyai rasa memiliki dan cinta, merasa berharga, namun akan merasa
kecewa, tidak tenang dan tidak puas jika gagal berusaha memuaskan
kebutuhan akan aktualisasi diri. Bila kondisi ini terjadi, maka manusia
tersebut tidak berada dalam damai dengan dirinya sendiri, dan tidak bisa
dikatakan sehat secara psikologis (Schultz dalam Minderop, 2010: 281-282).
Maslow dalam Koswara (1991: 138-147), mengemukakan bahwa
secara umum, orang yang mencapai aktualisasi diri mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
1) Orientasinya realistik, mengamati realitas secara efisien. 2) Menerima diri, orang lain dan kodrat atau alam sekitarnya. 3) Spontan, sederhana, dan wajar. 4) Terpusat pada masalah 5) Pemisahan diri dan kebutuhan privasi. 6) Kemandirian dari kebudayaan dan lingkungan 7) Kesegaran dan apresiasi. 8) Pengalaman puncak atau pengalaman mistik 9) Memiliki minat sosial. 10) Hubungan antarpribadi cenderung memiliki hubungan
akrab dengan sedikit orang tercinta. 11) Berkarakter demokratis. 12) Tidak mengacaukan perbedaan antara cara dan tujuan. 13) Rasa humornya filosofik, tidak berlebihan. 14) Kreativitas. 15) Menolak bersetuju dengan kultur.
Dari penjelasan tentang teori kebutuhan bertingkat Abraham Maslow di
atas, maka hierarki kebutuhan dapat digambarkan sebagai berikut:
Bagan 1
Hierarki Kebutuhan – Abraham Maslow
Kebutuhan Aktualisasi diri Kebutuhan Estetika
Kebutuhan Kognitif
Kebutuhan rasa harga diri
Kebutuhan rasa cinta dan memiliki
Kebutuhan akan rasa aman
Kebutuhan Fisiologis
Dari penjelasan tentang teori kebutuhan bertingkat dan bagan hierarki
kebutuhan — Maslow di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan
yang paling mendasar ialah kebutuhan fisiologis, bila kebutuhan ini belum
tercapai dan terpuaskan maka individu tidak akan bergerak mencapai
kebutuhan di atasnya. Jadi, kebutuhan fisiologis harus terpuaskan lebih
dahulu sebelum muncul kebutuhan rasa aman. Sesudah kebutuhan fisiologis
dan rasa aman terpuaskan, baru muncul kebutuhan rasa memiliki dan cinta
(kasih sayang), begitu seterusnya sampai kebutuhan dasar tepuaskan baru
akan muncul kebutuhan aktualisasi diri.
Konsep kebutuhan bertingkat dari Maslow dilanjutkan oleh Graham
dan Baloun dalam Koswara (1991: 132-133) yang menyimpulkan bahwa
secara garis besar konsep kebutuhan individu ada dua aspek. Dua aspek
yang dimaksud adalah :
(a) Apabila suatu kebutuhan telah terpuaskan individu pada saat tersebut
tidak akan berusaha untuk meneruskan pemuasannya, melainkan akan
berusaha memuaskan kebutuhan lain yang lebih tinggi, dan
(b) Kebutuhan yang tingkatannya lebih rendah, pemuasannya lebih
mendesak dan akan didahulukan oleh individu daripada kebutuhan
yang lebih tinggi.
Bagan 2
Alur pikir yang menjadi pijakan penulis adalah sebagai berikut:
NOVEL POSTCARD FROM NEVERLAND KARYA RINA SURYAKUSUMA
Hierarki kebutuhan tokoh utama berdasarkan Teori psikologi humanistik Abraham Maslow
Kebutuhan fisiologis
Tokoh utama membutuhkan perlindungan dari ketidaknyamanan karena berkali-kali dilecehkan dan dihina.
Tokoh utama mencintai pria bule bernama Joshua Leinard begitu juga sebaliknya.
Tokoh utama dituduh merayu Joshua Leinard dan anaknya.
Tokoh utama mendapatkan beasiswa di University of Washington
Tokoh utama menemukan pondokan di dekadanau yang indahuntuk ditinggalisetelah keluar
dari asrama universi
Tokoh utama menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya meninggal.
Aktualisasi diri tokoh utama dalam novel Postcard from Neverland karya Rina SuryakusKajian Psikologi Humanistik
Kesimpulan
Kebutuhan rasa aman
Kebutuhan rasa cinta dan memiliki
Kebutuhan harga diri
Kebutuhan kognitif
Kebutuhan estetika