arso tunggal menyiasati globalisasi -...

28
221 Bab Tujuh Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi Ngèli nanging Ora Kèli Dari studi terhadap Arso Tunggal, penulis menemukan “kata kunci” gerakan paguyuban ini, yaitu: ngèli nanging ora kèli (hanyut tapi tidak terhanyut). Paguyuban Arso Tunggal dapat mengikuti arus global tapi tidak terhanyut oleh arus tersebut. Paguyuban ini tetap bertahan pada budaya dan kearifan lokal Jawa, menggunakan budaya dan kearifan lokal Jawa tersebut sebagai landasan untuk menyikapi globalisasi. Hal tersebut dibuktikan dengan penemuan formulasi obat-obat bio fito farmaka yang dilandasi pengetahuan tentang pengobatan tradisional Jawa. Pengembangan pengobatan yang dilakukan Arso Tunggal merupakan respons terhadap obat- obatan kimiawi dari luar negeri yang mendominasi pasar Indonesia. Obat-obat hasil riset itu didasarkan pada kearifan lokal Jawa; sebagai pengembangan budaya dan kearifan lokal yang dipadukan dengan teknologi modern, mencerminkan pendekatan “berpikir global, bertindak lokal.”

Upload: truongthuan

Post on 29-Jun-2018

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

221

Bab Tujuh

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

Ngèli nanging Ora Kèli

Dari studi terhadap Arso Tunggal, penulis menemukan

“kata kunci” gerakan paguyuban ini, yaitu: ngèli nanging ora kèli (hanyut tapi tidak terhanyut). Paguyuban Arso Tunggal

dapat mengikuti arus global tapi tidak terhanyut oleh arus

tersebut. Paguyuban ini tetap bertahan pada budaya dan

kearifan lokal Jawa, menggunakan budaya dan kearifan lokal

Jawa tersebut sebagai landasan untuk menyikapi globalisasi.

Hal tersebut dibuktikan dengan penemuan formulasi

obat-obat bio fito farmaka yang dilandasi pengetahuan tentang

pengobatan tradisional Jawa. Pengembangan pengobatan yang

dilakukan Arso Tunggal merupakan respons terhadap obat-

obatan kimiawi dari luar negeri yang mendominasi pasar

Indonesia. Obat-obat hasil riset itu didasarkan pada kearifan

lokal Jawa; sebagai pengembangan budaya dan kearifan lokal

yang dipadukan dengan teknologi modern, mencerminkan

pendekatan “berpikir global, bertindak lokal.”

Page 2: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Jawa Menyiasati Globalisasi

222

Berpikir global dipraktikkan dalam kerja sama dengan

Jepang. Bertindak lokal, karena landasan yang dipakai adalah

budaya dan kearifan lokal Jawa dalam pengobatan, hasilnya

dimanfaatkan untuk masyarakat, baik di dalam negeri maupun

internasional. Langkah itu dapat disebut sebagai “dari Jawa

untuk Indonesia,” bahkan “Jawa untuk dunia.”1

Dalam perspektif “Jawa untuk dunia” itu konsep “Jawa

menyiasati globalisasi” berada. Jawa yang dimodernisasikan,

dikembangkan dengan menjalin kerja sama dengan pihak luar

negeri dan penerapan teknologi modern, namun tidak kehi-

langan jatidiri dan larut dalam arus global. Itulah ketahanan

budaya dan kearifan lokal untuk menangkal globalisasi.

Di bidang pertanian, aktivitas Arso Tunggal sebagai gerak-

an menyiasati globalisasi lebih jelas. Kegiatan SPOR merupakan

respons terhadap gerakan revolusi hijau yang berkembang

dalam ranah globalisasi. Melalui SPOR, paguyuban ini mem-

bangkitkan kembali varietas-varietas lokal yang sudah terdesak

oleh revolusi hijau tersebut.

Sistem Pertanian Organik Rasional merupakan salah satu

sistem dalam gerakan pertanian organik yang menggugat re-

volusi hijau. Revolusi hijau dinilai telah menurunkan kuantitas

dan kualitas produksi pangan, mengakibatkan biaya produksi

pertanian makin mahal dan berbagai persoalan lingkungan.

Melalui SPOR, Arso Tunggal membuktikan, bahwa dalam sek-

tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem pertanian

1 Kekuatan budaya dan kearifan lokal Jawa itu sudah pernah dibuktikan

oleh Boedi Oetomo sebagai gerakan berbasis budaya Jawa, yang berhasil menangkal budaya penjajah Belanda, bahkan kemudian menjadi tonggak kebangkitan nasional Indonesia (Ekopriyono, 2008). Seperti semangat Boedi Oetomo, semangat Arso Tunggal adalah melakukan revitalisasi Jawa, bahwa budaya Jawa dapat digunakan sebagai pembangkit budaya-budaya lokal untuk memberi kontribusi terhadap kejayaan nasional Indonesia.

Page 3: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

223

asing dengan pemakaian sarana produksi kimiawi anorganik.

Melalui SPOR pula, Arso Tunggal membangkitkan kemandirian

petani dan kelestarian daya dukung lingkungan.

Mengapa Arso Tunggal menjalin kerja sama dengan

Sumitomo Jepang? Beberapa pertimbangannya antara lain:

1. Pemerintah Indonesia kurang menghargai hasil karya

warga negaranya sendiri;

2. Pemerintah Indonesia tidak menyediakan dana yang

cukup untuk kegiatan riset yang dilakukan dengan

Sumitomo;

3. Kerja sama dengan pihak luar itu sebagai “jembatan”

untuk mengembangkan budaya dan kearifan lokal Ja-

wa ke dunia internasional;

4. Kerja sama tersebut sebagai sikap terhadap Peme-

rintah Indonesia yang tidak menghargai hasil karya

anak bangsanya sendiri.

Dalam konteks kerja sama tersebut, menurut penulis,

Arso Tunggal menggarisbawahi pendapat Giddens (2000), yaitu

globalisasi bukan tentang saling ketergantungan ekonomi, me-

lainkan tentang transformasi waktu dan ruang dalam kehidupan

manusia. Peristiwa di tempat yang jauh, berkaitan atau tidak

berkaitan dengan ekonomi, memengaruhi manusia secara lebih

langsung dan segera daripada yang pernah terjadi sebelumnya.

Sebaliknya, keputusan yang diambil seseorang sebagai individu-

individu seringkali memiliki implikasi global.

Gerakan Arso Tunggal juga dapat dilihat sebagai sikap

terhadap pandangan dikotomis Pang Lixin dalam Bleeding Horse Pub, Dublin yang dimuat di Far Eastern Economic

Review 24 Juni 2004. “This is globalization, this is the world today. You fit in or it will throw you out,” kata Lixin. Global-

isasi menghadapkan semua orang kepada pilihan take it or get

Page 4: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Jawa Menyiasati Globalisasi

224

left behind. Seseorang hanya dihadapkan pada dua pilihan, ikut

larut atau terpental keluar dari arus global.

Arso Tunggal membuktikan diri sebagai gerakan yang

tidak terhanyut tapi juga tidak terpental dari arus global seperti

disebutkan oleh Lixin. Kegiatan yang dilakukan memang

bekerja sama dengan pihak luar negeri, memanfaatkan ilmu

pengetahuan dan teknologi global, namun kerja sama itu justru

dilakukan demi kepentingan lokal, yaitu pengembangan budaya

dan kearifan lokal Jawa.

Dalam konteks pemikiran itu, maka Arso Tunggal adalah

komunitas lokal yang tidak menentang, melainkan menyiasati

globalisasi demi kebangkitan budaya dan kearifan lokal Jawa.

Dalam kegiatannya, paguyuban ini selalu mengangkat nilai-nilai

kemanusiaan yang menjadi landasan gerakan. Kegiatan bidang

pengobatan dan pertanian yang dilakukan merupakan aplikasi

pemahaman bahwa humanisme kejawèn harus menghasilkan

karya nyata yang bermanfaat bagi masyarakat, bukan hanya

berhenti pada olah rasa yang hanya bermuara pada ketenangan

jiwa secara pribadi. Karya nyata yang dihasilkan paguyuban ini

sebagai praktik tahapan krenteg-karep-karsa-karya untuk

menghadapi globalisasi.

Secara kelembagaan, saat ini masih tergolong kecil,2

namun Arso Tunggal memiliki etos yang kuat untuk mengubah

keadaan menjadi lebih baik.

Pandangan Arso Tunggal, menurut penulis, layak diseja-

jarkan dengan pandangan ekonom Jerman E.F. Schumacher

2 Jumlah anggota Arso Tunggal yang aktif di sarasehan Reboan hanya

sekitar 15-20 orang. Jumlah pengurusnya pun hanya 12 orang. Jumlah pasien yang datang pada setiap pelayanan pengobatan berkisar antara 50 orang dan sudah banyak petani yang memanfaatkan hasil pengembangan pertanian Arso Tunggal.

Page 5: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

225

(1993) yang mengkritik perilaku perusahaan-perusahaan besar

yang kejam dan tidak memperhatikan lingkungan usaha mau-

pun aspek manusiawi kegiatan usaha. Etos gerakan Paguyuban

Arso Tunggal juga dapat disandingkan dengan semangat berdi-

kari Bung Karno, perjuangan swadesi Mahatma Gandhi, gerak-

an kemanusiaan Bunda Teresa, gerakan Sarvodaya Shramadana

A.A. Ariyaratne di Sri Lanka yang menerapkan empat prinsip

kehidupan, yaitu: pemerataan distribusi kesejahteraan, harmoni

dan rasa hormat, perbaikan material, dan tidak ada diskriminasi

sosial.

Inti gerakan-gerakan itu sama, yaitu perjuangan dapat

dilakukan mulai dari hal-hal kecil, bahwa sesuatu yang besar

justru merupakan kumpulan sesuatu yang kecil-kecil. 3

Ciri-ciri Paguyuban Arso Tunggal dalam menyiasati glo-

balisasi adalah:

1. Menerapkan pandangan, bahwa nasionalisme bukan

merupakan paham yang sempit dalam menghadapi

globalisasi, melainkan cinta Tanah Air didasarkan

pada pengembangan kearifan lokal dipadukan dengan

ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga kearifan

lokal itu relevan menjawab tantangan global.

2. Melakukan langkah-langkah nyata berlandaskan

budaya dan kearifan lokal Jawa untuk menangkal laju

globalisasi, tidak menyerah, tidak ikut arus.

Dari observasi partisipatif yang dilakukan, penulis me-

nemukan fakta bahwa di balik kegiatan di bidang pengobatan

3 Ketika ditanya penulis, Djoko Murwono menjawab, “Terserah mau

disebut sebagai gerakan apa, tapi yang jelas kami berusaha mengembangkan kearifan lokal Jawa yang sudah terdesak oleh globalisasi, agar bangsa kita bisa bangkit menghadapi arus globalisasi yang mematikan kearifan-kearifan lokal itu.”

Page 6: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Jawa Menyiasati Globalisasi

226

dan pertanian, sesungguhnya Arso Tunggal menitikberatkan

pada tiga isu, yaitu globalisasi, pemahaman budaya Jawa, serta

kerancuan budaya dan agama, yang dapat dijelaskan sebagai

berikut:

Isu Globalisasi

Gerakan Arso Tunggal melengkapi tesis Mansour Fakih

(2001:223), yang mengidentifikasi gerakan tantangan terhadap

globalisasi menjadi tiga, yaitu:

1. Tantangan gerakan kultural dan agama;

2. Tantangan dari gerakan sosial baru (new social movement) dan masyarakat sipil global (global civil society);

3. Tantangan gerakan lingkungan.

Inti ketiga gerakan perlawanan tersebut adalah menolak

pembangunanisme dan globalisasi, dengan argumentasi dasar

bahwa kedua hal itu membawa nilai-nilai kapitalisme dari

negara-negara maju ke negara-negara sedang berkembang.

Menurut Fakih, globalisasi yang kapitalistis menghilangkan

nilai-nilai lokal yang sebenarnya bisa dikembangkan untuk

membangun masyarakat di negara-negara sedang berkembang.

(Saiful Arif, 2000; Mansour Fakih, 2001).

Contoh gerakan kultural adalah kelompok Hindu

Revivalis (Rashtriya Swayamsewak Sangh) yang mendesak

India memboikot barang buatan asing. Begitu pula, gerakan

sosial baru untuk menentang pembangunan dan globalisasi,

misalnya gerakan hijau, feminisme, dan gerakan masyarakat

akar rumput. Adapun gerakan lingkungan banyak dipengaruhi

oleh pikiran Rachel Carson dalam Silent Spring yang membong-

kar kerusakan ekosistem dunia yang diakibatkan oleh praktik

Page 7: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

227

ekonomi modern dalam kerangka globalisasi. Carson mengutuk

keras industri pestisida Amerika, menguraikan makin mening-

katnya kecemasan terhadap teknologi pasca-perang dunia dan

juga makin tingginya kesadaran akan pentingnya kenyamanan-

kenyamanan nonmateri dalam kehidupan.

Fakta bahwa Arso Tunggal menyiasati globalisasi mem-

beri warna baru terhadap gerakan-gerakan menghadapi globali-

sasi. Berbeda dari tiga gerakan yang disebutkan Mansour Fakih,

yang bersifat anti-globalisasi, gerakan Arso Tunggal tidak anti-

globalisasi, melainkan menyiasati globalisasi dengan cara

“memodernisasikan” kearifan lokal Jawa. Cara-cara itu khas

Jawa yang sinkretis dan mengutamakan keselarasan (fakta

empirik mengenai hal ini dijabarkan pada Bab Lima dan Bab

Enam, yaitu melalui berbagai karya nyata di bidang pengobatan

dan pertanian).

Siasat Arso Tunggal dilandasi pemahaman yang dikem-

bangkan, yaitu:

1. Globalisasi merupakan penetrasi budaya kapitalisme

Barat, yang berusaha menyeragamkan budaya-budaya

lokal menjadi budaya global. Penyeragaman tersebut

tidak dapat di-biarkan dan harus direspons dengan

cara-cara mengembang-kan budaya dan kearifan lokal

dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan tekno-

logi;

2. Kearifan lokal Jawa, begitu pula kearifan-kearifan

lokal daerah lain di Indonesia, tidak kalah dari nilai-

nilai global, oleh karena itu harus dikembangkan

untuk menghadapi globalisasi;

3. Dalam rangka mengembangkan kearifan lokal Jawa,

langkah yang ditempuh adalah mengaplikasikan ke-

arifan itu ke dalam tindakan nyata. Budaya harus

dikembangkan dengan ilmu pengetahuan dan tekno-

Page 8: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Jawa Menyiasati Globalisasi

228

logi, sehingga tidak berhenti pada pengagungan

budaya tanpa bermanfaat bagi kemanusiaan;

4. Kekalahan budaya lokal Jawa terhadap budaya global,

disebabkan kurangnya aspek tindakan nyata (pakarti), karena selama ini budaya Jawa cenderung dipahami

sebagai ajaran yang bersifat inward looking, hanya

berkutat pada olah rasa, laku, dan hanya meng-

hasilkan kearifan pribadi. Berbagai kegiatan budaya

Jawa, bahkan cenderung “terjebak” pada romantisme

masa lalu dan hanya mengagung-agungkan budaya

Jawa sebagai budaya yang adiluhung, yang perlu

dilestarikan (diuri-uri), tapi tidak diaplikasikan ke

dalam karya nyata yang berguna bagi kemanusiaan;

5. Globalisasi telah menjerumuskan manusia kepada

pemikiran yang bersifat sangat materialistik dan

kapitalistik, menghan-curkan fungsi dan peran

manusia sebagai makhluk sosial yang plural dan dekat

dengan alam. Manusia menjadi sangat tergantung

dengan manusia yang lain serta kesulitan me-

nempatkan diri dalam perkembangan zaman. Hal itu

tercer-min dalam ungkapan Jawa ”éwuh ing pambudi, yèn ta ora tahan.” Ungkapan itu bermakna, bahwa

manusia Jawa yang tidak tahan terhadap gelombang

globalisasi akan kesulitan menempatkan diri dan

kehilangan orientasi.

Gerakan Arso Tunggal mengembangkan keyakinan,

bahwa budaya lokal Jawa mampu menghadapi gelombang

globalisasi. Tolok ukur kemampuan adalah sejauh mana budaya

lokal Jawa tersebut terjabarkan dalam karya nyata untuk

mewujudkan kesejahteraan manusia.

Page 9: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

229

Perlu kebanggaan terhadap budaya lokal untuk

menghadapi globalisasi. Manusia Jawa tidak perlu rendah diri

atau tidak percaya diri terhadap budaya sendiri. Manusia Jawa

harus bangga terhadap budaya Jawa untuk memberi kontribusi

pada pembangunan bangsa dan tidak lekang oleh waktu serta

mampu menghadapi globalisasi. Manusia Jawa tidak perlu ikut

arus global, karena bagaimanapun budaya lokal tidak dapat

disera-gamkan menjadi global. Globalisasi, dalam konteks ini,

tidak perlu disikapi sebagai gerakan pemusnahan budaya lokal,

melainkan justru akan mengembalikan kejayaan budaya lokal

tersebut.

Oleh karena itu, Paguyuban Arso Tunggal mengembang-

kan pemahaman, bahwa budaya Jawa harus mampu meredam

arus global. Hal itu dilakukan melalui pengembangan budaya

Jawa yang diaktualisasikan dengan pemanfaatan ilmu penge-

tahuan dan teknologi modern.

Dalam konteks itu, maka gerakan Arso Tunggal juga

mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak ber-

pihak pada masyarakat banyak karena terkontaminasi oleh

globalisasi. Obat-obatan yang dikembangkan paguyuban ini,

yang dijual dengan harga murah, merupakan jawaban terhadap

penerapan harga-harga obat yang mahal, adapun SPOR me-

rupakan jawaban terhadap kebijakan pemerintah yang tidak

berpihak pada petani.

Isu Pemahaman Budaya Jawa

Dari studi terhadap Paguyuban Arso Tunggal, penulis

menemukan fakta bahwa gerakan paguyuban ini juga

mengkritik pemahaman terhadap budaya Jawa. Pemahaman

yang selama ini berkembang adalah, nilai-nilai budaya Jawa

menghasilkan kearifan individu. Hal itu antara lain nampak

Page 10: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Jawa Menyiasati Globalisasi

230

pada pemahaman tentang inti humanisme kejawèn, yaitu

sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula Gusti, dan laku. Karena berhenti pada laku, maka humanisme kejawèn

dipahami sebagai proses yang menghasilkan ketenangan jiwa

dan kearifan secara pribadi.

Paguyuban Arso Tunggal, lewat berbagai kegiatannya,

mengkritik pemahaman tersebut, dan mengembangkannya

menjadi: sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula gusti, dan pakarti. Paguyuban ini menekankan aspek pakarti atau

tindakan nyata, bahwa pemahaman humanisme kejawèn harus

diaplikasikan pada tindakan nyata yang bermanfaat bagi

kemanusiaan dan lingkungan.

Oleh sebab itu, Arso Tunggal juga melakukan ”modern-

isasi” budaya dan kearifan lokal Jawa. Gerakan ini menjawab

tesis Benturan Antarperadaban Samuel Huntington (2003).

Huntington mengajukan hipotesis bahwa perpecahan besar di

antara manusia dan sumber konflik yang dominan adalah

budaya.

Oleh karena sumber konflik adalah budaya, maka

”modernisasi” Jawa menjadi penting, agar tidak terbelenggu

oleh arus global, melainkan justru memenangi persaingan dalam

era global tersebut. Istilah ”modernisasi” mengacu pada

pendapat Djoko Murwono yang menyebutkan, bahwa budaya

lokal Jawa harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan

zaman. Penyesuaian tersebut bukan dalam arti mengubah nilai-

nilai yang terkandung di dalamnya, melainkan melengkapinya

dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, sehingga

relevan dengan perkembangan zaman. Pemikiran itu di-

kembangkan Arso Tunggal melalui riset-riset ilmiah yang

menghasilkan obat-obat bio fito farmaka dan produk pertanian

berbasis budaya dan kearifan lokal Jawa.

Page 11: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

231

Dalam konteks hipotesis Huntington, maka gerakan Arso

Tunggal merupakan salah satu fenomena kebangkitan per-

adaban non-Barat, cerminan dari hasrat, niat, dan akal untuk

membentuk dunia dengan cara-cara non-Barat. Kalau Hunting-

ton menyebutkan ”Asianization” di Jepang, ”Hinduization” di

India, ”re-Islamization” di Timur Tengah, maka gerakan Arso

Tunggal dapat disebut sebagai gerakan revitalisasi Jawa di Jawa.

Proses revitalisasi Jawa itu merupakan usaha untuk

membangkitkan kembali budaya dan kearifan lokal Jawa. Usaha

itu mengangkat budaya Jawa agar tidak lagi tertinggal dari

budaya-budaya lain, termasuk budaya Barat dan budaya Timur

Tengah yang menekan budaya lokal di negara-negara berkem-

bang. Konsep revitalisasi Jawa mengacu pada pemahaman,

bahwa budaya Jawa memiliki kekuatan untuk menangkal

pengaruh budaya dari luar.

Revitalisasi Jawa merupakan jawaban atas kerisauan dan

penolakan berbagai pihak yang menyebutkan bahwa tesis

Huntington itu sangat dikotomis dan memojokkan dunia Islam.

Dalam hal ini, maka revitalisasi Jawa dapat dijadikan penengah

atau jalan keluar, yang memberikan solusi, setidak-tidaknya

bagi orang Jawa sendiri. Orang Jawa tidak harus (atau bahkan:

harus tidak) terjebak pada dikotomi Barat-Islam, melainkan

kembali ke akar-akar budayanya sendiri: Jawa.4

Berbagai seminar, diskusi, sarasehan, dan pertemuan-

pertemuan tentang budaya Jawa, yang diikuti penulis, selama

ini cenderung hanya memperbincangkan tentang kehebatan

budaya Jawa, sifat adiluhung budaya Jawa, namun kurang

4 Dalam dunia pemasaran (marketing) cara itu disebut sebagai blue ocean

strategy (strategi samudera biru), yaitu menghindari konflik dengan mencari celah-celah pasar yang baru, bukan red ocean strategy (strategi samudera merah) yang berdarah-darah. Blue ocean strategy adalah strategi menum-buhkan permintaan, menjauh dari kompetisi (Kim dan Mauborgne, 2006).

Page 12: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Jawa Menyiasati Globalisasi

232

mencari langkah-langkah konkret untuk membangkitkan buda-

ya Jawa sehingga dapat memberikan kontribusi bagi pemba-

ngunan nasional di tengah-tengah gempuran budaya dari luar.

Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah misalnya,

pernah menyelenggarakan sarasehan “Sumbangan Nilai-nilai

Jawa untuk Manajemen Masa Kini,” 12 Mei 2005. Bekerja sama

dengan harian Suara Merdeka, DRD juga mengadakan

sarasehan “Sumbangan Jawa untuk Pembangunan Karakter

Bangsa,” 30 Agustus 2005.

Tidak ada kesimpulan dalam sarasehan-sarasehan itu dan

tidak ada pula tindak lanjut. Sarasehan-sarasehan itu, bagi penu-

lis, hanya menjadi ajang curahan perhatian (curhat), sambung

rasa, rerasan, dan romantisme masa lalu, tanpa penjabaran

konkret. Hal itu makin menguatkan pendapat, bahwa budaya

Jawa bersifat subjektif, bermuara pada kearifan individual,

sehingga kurang dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.

Begitu pula dengan Kongres Bahasa Jawa maupun

Kongres Sastra Jawa yang selama ini diselenggarakan. Kongres-

kongres tersebut lebih menitikberatkan pada pelestarian bahasa

dan sastra Jawa, bukan pada budaya Jawa secara komprehensif.

Sama dengan forum-forum yang lain, kongres itu pun tidak

berusaha melakukan revitalisasi nilai-nilai budaya Jawa agar

mampu menjadi pendorong kebangkitan bangsa di era globali-

sasi. Pelestarian bahasa dan sastra Jawa memang perlu, tapi

revitalisasi terhadap budaya Jawa juga penting, agar budaya

Jawa relevan dengan perkembangan zaman.

Dalam konteks pemikiran itu, maka menurut penulis,

telah terjadi penafsiran yang kurang tepat terhadap teks-teks

budaya Jawa karena distorsi yang cukup panjang. Pemahaman

yang berkembang sering menyimpang atau tidak sesuai dengan

makna hakiki dari konsep dasar budaya Jawa. Orang hanya

Page 13: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

233

memahami wujud fisik, tetapi tidak menangkap “roh” yang

terwadahi oleh simbol-simbol yang memang banyak ditemukan

dalam budaya Jawa. Oleh karena itu, perlu dilakukan penafsiran

ulang untuk menemukan penafsiran baru yang lebih relevan

dengan perkembangan zaman.

“Modernisasi” yang dilakukan Arso Tunggal merupakan

rekonstruksi, tercakup upaya-upaya untuk mencari makna-

makna yang tersembunyi di balik teks dan realitas berkaitan

dengan budaya Jawa. Setelah menemukan makna yang

tersembunyi itu, langkah berikutnya adalah merekonstruksi

pemahaman terhadap teks, sehingga melahirkan pemahaman

baru.

Arso Tunggal memberi sumbangan pada “modernisasi”

Jawa dengan melakukan rekonstruksi terhadap pemahaman

budaya Jawa. Rekonstruksi tersebut pada intinya “meluruskan”

pemahaman yang semula memandang bahwa budaya Jawa

hanya menghasilkan kearifan individual menjadi menghasilkan

ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, budaya

Jawa (yang dipadukan dengan perkembangan ilmu dan

teknologi modern) dapat menghasilkan suatu karya nyata yang

bermanfaat bagi kemanusiaan, tidak lagi bersifat subjektif-

individual.

Secara garis besar, upaya yang dilakukan Paguyuban Arso

Tunggal adalah merekonstruksi pemahaman terhadap budaya

Jawa. Pemahaman yang selama ini menyatakan bahwa nilai-

nilai budaya Jawa hanya bersifat subjektif dan bermuara pada

kearifan individu, oleh Arso Tunggal direkonstruksi menjadi

nilai-nilai yang menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi

yang bersifat sosial, bermanfaat bagi kemanusiaan.

Penulis berpendapat, pendekatan humanisme kejawèn

melandasi gerakan Paguyuban Arso Tunggal, baik sebagai siasat

Page 14: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Jawa Menyiasati Globalisasi

234

terhadap globalisasi maupun dalam rekonstruksi terhadap

pemahaman budaya Jawa. Siasat terhadap globalisasi dilakukan

karena pemahaman bahwa globalisasi mengancam eksistensi

manusia, yang unik dan tidak dapat diseragamkan, terlebih lagi

ditindas. Rekonstruksi terhadap pemahaman budaya Jawa

didorong oleh kesadaran bahwa pemahaman selama ini justru

membatasi gerakan untuk meningkatkan martabat dan ke-

sejahteraan manusia.

Isu Kerancuan Budaya dan Agama

Perkembangan budaya Jawa dipengaruhi oleh budaya-

budaya asing yang masuk ke Indonesia bersama agama-agama

dari luar (Hindu, Buddha, Kristen, Katolik, Islam, Konghucu).

Akibatnya, sering terjadi kerancuan dalam hubungan antara

budaya dan agama dalam konteks globalisasi.5

Dalam berbagai sarasehan Reboan, Arso Tunggal sering

membahas perlunya pemisahan antara budaya dan agama.

Pemisahan antara budaya dan agama itu penting, agar budaya

Jawa tetap terjaga dari pengaruh budaya asing (baik Barat

5 Contoh kerancuan pemahaman antara budaya dan agama adalah polemik

di media massa tentang Bupati Kendal, Jateng Widya Kandi Susanti yang tidak mengenakan jilbab pada saat upacara pelantikan 23 Agustus 2010, padahal sehari-hari ia berjilbab. Pada acara pelantikan itu, Widya mengenakan pakaian Jawa; kain, kebaya, dan sanggul. Beberapa penulis surat pembaca di suratkabar mempersoalkan hal tersebut dan menuduh ia khilaf, tidak menghargai syariat Islam, dan sebagainya. Menghadapi polemik itu, dalam pertemuan dengan manajemen Suara Merdeka 30 Agustus 2010, Widya menjelaskan, bahwa ia mengenakan kain, kebaya, dan sanggul karena ingin melestarikan dan mengembangkan budaya Jawa. “Dalam undangan disebut-kan dress code: pakaian nasional, maka saya mengenakan pakaian nasional yaitu kain, kebaya, dan sanggul, sedangkan jilbab bukan pakaian nasional Indonesia. Siapa lagi yang akan melestarikan kain, kebaya, dan sanggul kalau bukan kita sendiri,” katanya. Dalam kasus ini, maka Bupati Kendal itu dapat memahami perbedaan antara budaya dan agama.

Page 15: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

235

maupun Timur Tengah). Budaya Jawa dapat dikembangkan,

dimodernisasikan, mengikuti perkembangan zaman.

Dalam globalisasi, terjadi proses inkulturasi dalam per-

kembangan agama-agama dalam relasi dengan budaya Jawa,

tetapi tidak berarti agama mengubah budaya Jawa. Agama

ibarat bulan yang menerangi bumi (budaya) di malam hari

dengan pancaran sinar matahari (ibarat Tuhan Yang Maha Esa).

Agama menyinari budaya (sinarnya merupakan pantulan

cahaya dari matahari – Tuhan Yang Maha Kuasa), tetapi agama

tidak dapat disatukan dengan budaya. Kalau agama disatukan

dengan budaya, berarti ada mono-agama dan ada mono-

budaya, sehingga universalisme hilang. Kekeliruan yang terjadi

adalah agama disamakan dengan budaya, sehingga terjadi

benturan antaragama, yang kemudian mengimbas pada

benturan antarbudaya. Akibatnya, sekarang terjadi keresahan

budaya.

Keresahan budaya itu digambarkan lewat ungkapan

“wong Jawa wis ilang jawané, wong wadon ilang wirangé, kali ilang kedhungé, pasar ilang kumandhangé. (Terjemahan bebas:

orang Jawa kehilangan sifat Jawanya, perempuan-perempuan

sudah kehilangan rasa malu, sungai kehilangan pusarannya,

pasar kehilangan hiruk-pikuknya sebagai tempat tawar-

menawar).

Ungkapan itu kemudian diteruskan dengan “Landané kari sak jodho, Cinané kari separo, wong Jawa éla-élo. Ungkap-

an itu menggambarkan, orang kulit putih tinggal sepasang

(yaitu Eropa dan Amerika), orang Cina menguasai separo

dunia, adapun orang Jawa hanya terbengong-bengong.

Manusia Jawa tidak lagi memahami sifat-sifat Jawa yang

merupakan warisan leluhur yang seharusnya dirawat dan

diamalkan. Manusia Jawa masa kini sudah terkontaminasi dan

Page 16: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Jawa Menyiasati Globalisasi

236

sangat terpengaruh budaya-budaya asing yang masuk, sehingga

lebih berpola pikir, bersikap, dan berperilaku dengan nilai-nilai

dari luar yang bukan nilai-nilai Jawa lagi. Pola pikir, sikap, dan

perilaku itu digambarkan dalam ungkapan Jawa kaya gabah diinteri (seperti gabah diacak-acak), sehingga terjadi kebe-

ringasan di sana-sini, bertentangan dengan substansi budaya

Jawa yang penuh nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, serta

keseimbangan manusia dan alam semesta.

Ungkapan wong Jawa ilang jawané, menggambarkan

kebudayaan Jawa masa kini, ketika banyak manusia Jawa tidak

lagi memahami kebudayaannya sendiri. Kebudayaan Jawa

tergusur oleh kebudayaan-kebudayaan yang datang dari luar

bersamaan dengan arus globalisasi.

Wong wadon ilang wirangé menggambarkan, kaum

perempuan, yang menurut nilai-nilai Jawa seharusnya menjaga

harga diri sebagai perempuan, justru kehilangan rasa malu.

Akibatnya, kaum perempuan Jawa masa kini berperilaku seperti

layaknya perempuan-perempuan dengan nilai-nilai asing, baik

Barat maupun Timur Tengah. Salah satu tandanya adalah dalam

hal berpakaian dan bergaul dengan lawan jenis.

Kali ilang kedhungé, pasar ilang kumandhangé, meng-

gambarkan keadaan lingkungan yang sudah rusak, tidak terawat

dengan baik. Sungai-sungai kering karena kerusakan ekosistem,

pasar-pasar (tradisional) tidak lagi hiruk-pikuk, tidak ada lai

tawar-menawar harga, tidak lagi ramai dikunjungi orang. Pasar

tradisional sudah terdesak pasar-pasar modern, seperti hy-permart, mal-mal, supermarket, dan sejenisnya. Pasar-pasar

modern itu bahkan telah memasuki wilayah-wilayah pedesaaan,

tidak lagi hanya di kota-kota.

Pandangan yang dikembangkan Arso Tunggal berbeda

dari pendapat banyak pengamat budaya Jawa dan para penganut

Page 17: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

237

kebatinan yang menyanjung kelenturan dan kehebatan budaya

Jawa menghadapi pengaruh dari luar. Bagi Arso Tunggal, se-

karang inilah puncak kehancuran budaya Jawa karena pengaruh

budaya asing. Di antara pengaruh itu termasuk pengaruh aga-

ma-agama.

Dalam sarasehan Reboan sering dibahas tentang

kehancuran budaya Jawa karena pengaruh budaya luar yang

masuk dengan wajah agama. Ada penyampuradukan antara

budaya dan agama, seperti dijelaskan Djoko Murwono sebagai

berikut:

Jadi sebetulnya, kalau saya boleh ngomong jujur, pisahkanlah antara agama dan budaya. Justru kalau agama itu identik dengan budaya di mana asal agama itu ada, akan menghancurkan segala-galanya. Jadi, justru kiamat itu akan terjadi apabila budaya Arab diidentik-kan dengan Muslim. Itu sudah salah. Dan kalau kita datang ke luar Jawa jangan mengidentikkan budaya Jawa ini sama dengan budaya Sumatera. Biarlah budaya Sumatera, budaya Melayu tumbuh dengan sendirinya, biarlah budaya Jawa tumbuh dengan sendirinya.

Ini adalah suatu kesalahan. Kesalahan ini direstrukturisasi dan direstui oleh sesuatu kekuatan, tapi justru saya terima kasih, karena itu akan menimbulkan khasanah baru yaitu menjadi suatu kerusakan, dan apabila kerusakan terjadi itu seperti goro-goro (dalam pewayangan). Setelah itu timbul gejolak yang sangat tinggi lagi, maka rem-rem sidhem permanem, karena ada sesuatu yang datangnya dari Allah dan akan menenteramkan bangsa ini, setelah timbulnya huru-hara yang besar. Jadi, apa-kah sekarang akan jadi huru-hara yang besar, jawabnya ya, karena dari jangka Joyoboyo dikatakan den kaya gabah diinteri. Jadi yang bisa menenteramkan itu, yèn wong Jawa ketemu jawané.

Pandangan tentang perlunya pemisahan budaya dari

agama juga tersirat dalam dialog Raja Prabu Brawijaya V dengan

pelayannya, Sabdo Palon. Dalam buku Ramalan Ghaib Sabdo

Page 18: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Jawa Menyiasati Globalisasi

238

Palon Noyo Genggong (Hardiyanto, 2007:67) disebutkan, ketika

itu Brawijaya V sudah berganti agama, dari Buda (Jawa) menjadi

Islam setelah diberi pengertian tentang agama Islam oleh Sunan

Kalijaga. Brawijaya V membujuk Sabdo Palon untuk memeluk

Islam juga, tapi pelayan ini tidak mau mengikuti ajakan

tersebut.

Sabdo Palon mengungkapkan, ”Paduka yektos, manawi sampun santun agami Islam, nilar agami Buda, turun paduka temtu apes, Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, remen nunut bangsa sanès.” (”Sungguh paduka, jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan agama Buda, keturunan Paduka akan celaka, Jawa tinggal jawan, artinya hilang, suka ikut bangsa lain”). Sabdo Palon meneruskan kata-katanya, ”Besok udara tanah Jawa berubah, tambah panas, jarang hujan. Hasil bumi berkurang, banyak orang suka menipu, berani bertindak nista, hujan salah musim, membuat bingung para petani.”

Ungkapan Sabdo Palon itu sekarang sudah menjadi

kenyataan. Jawa tinggal nama karena orang-orang Jawa tidak

lagi hidup berdasarkan nilai-nilai kejawaan (antara lain karena

pengaruh budaya asing yang dibawa agama-agama), manusia

Jawa lebih senang mengikuti budaya bangsa lain, iklim sudah

berubah (musim hujan kering, musim kemarau hujan), produksi

pertanian merosot (sampai mengimpor produk-produk pertani-

an), banyak orang yang senang menipu, bertindak nista.

Pandangan tentang pemisahan antara agama dan budaya

mirip dengan sikap Kiai Sadrakh yang menjadi Kristen (secara

agama) tapi tidak mau menjadi Belanda (secara budaya) dan

Sunan Kalijaga yang menjadi Islam (secara agama) tetapi tetap

Jawa (secara budaya). Meskipun demikian, dalam perkem-

bangannya, selalu terjadi ”tarik-menarik” antara agama dan

budaya.

Perkembangan agama-agama dari luar, menurut penulis,

telah mengakibatkan sebagian besar manusia Jawa berpaling ke

Page 19: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

239

budaya dan pemahaman tentang nilai-nilai kemanusiaan yang

dibawa oleh agama-agama tersebut. Kenyataan ini berbeda dari

kondisi beberapa puluh tahun silam.6

Cerita Ajisaka juga menggambarkan keberhasilan para

cendekiawan Jawa dalam mengubah huruf Hindu menjadi

huruf Jawa, serta proses pemanfaatan Tahun Saka untuk men-

catat peristiwa-peristiwa sejarah Jawa. Sunan Kalijaga men-

transformasikan agama Islam yang bernuansakan Arab kepada

orang-orang Jawa. Nuansa Islam yang (ketika itu) terasa asing

bagi orang Jawa diubah menjadi agama yang bisa diterima di

Jawa. Sunan menggali perbendaharaan spiritual Jawa dan

memadukannya dengan ajaran Islam, yaitu Ayat 255 Surat Al Baqarah, dan menghasilkan tembang lima bait “Rumeksa ing

Wengi”. Intinya, sebagai mantra untuk perlindungan dari keja-

hatan di waktu malam (Achmad Chodjim, 2006).

Bait pertama syair tembang tersebut sebagai berikut:

Ana kidung rumeksa ing wengi Teguh hayu luputa ing lara luputa bilahi kabèh jim sétan datan purun paneluhan tan ana wani miwah panggawé ala

6 Pada Abad XI misalnya, Kerajaan Kediri maju pesat di bawah Raja

Airlangga yang memeluk agama Syiwa-Buddha; yaitu sinkretisme antara agama Syiwa dan Buddha Tantrayana. Pada masa itulah, muncul gubahan sastra keagamaan yang sangat terkenal, Ramayana dan Mahabharata dalam bentuk puisi yang disebut serat kakawin. Pada masa Kerajaan Majapahit, agama Syiwa-Buddha hidup berdampingan menjadi agama resmi negara. Puncak kejayaan terjadi pada masa Patih Gajah Mada dengan Sumpah Palapa yang terkenal itu. Perdagangan dengan dunia luar berkembang pesat. Kebudayaan Jawa menerima dan menyerap unsur-unsur hinduisme-buddhisme. Proses itu bukan sekadar akulturasi, melainkan kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India. Dalam konteks itu para budayawan Jawa bertindak aktif, berusaha mengolah unsur-unsur agama dan kebudayaan India untuk memperbarui dan mengembangkan kebudayaan Jawa (Simuh, 1999).

Page 20: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Jawa Menyiasati Globalisasi

240

gunaning wong luput geni atemahan tirta maling adoh tan ana ngarah ing mami guna duduk pan sirna

Makna ungkapan itu adalah: Ada kidung rumeksa ing wengi Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit Terbebas dari segala petaka Jin dan setan pun tidak mau Segala jenis sihir tidak berani Apalagi perbuatan jahat guna-guna tersingkir Api menjadi air Pencuri pun menjauh dariku Segala bahaya akan lenyap.

Komunikasi antara Islam dan budaya lokal Jawa kemudian

juga melahirkan berbagai kebiasaan khas yang dilakukan oleh

masyarakat, yang berbeda dari masyarakat Timur Tengah. Sebut

saja, misalnya, halalbihalal, mudik, dan tilik kubur. Sebelum ada

campur tangan misionaris Barat (Bambang Noorseno, 2003),

pengabaran Injil (agama Kristen) di Jawa yang relatif alamiah

tidak menimbulkan gejolak apa pun. Seperti Sunan Kalijaga

tidak perlu menjadi Arab meskipun memeluk Islam, para “kiai”

Kristen Jawa menerima agama Kristen tetapi menolak Belanda.

Kiai Tunggul Wulung tetap mempertahankan identitas Jawa-

nya; begitu pula Kiai Sadrakh yang menyebut jamaahnya

sebagai pasamuwané wong Kristen mardika (jamaah Kristen

merdeka).

Masalah mulai muncul ketika kekristenan dekat dengan

misionaris Barat. Kedekatan itu kemudian menuai kritik;

kemudian muncul istilah “Kristen Jawa” dan “Kristen Landa”,

untuk menyebut orang-orang Kristen yang tetap berbudaya

Jawa dan orang-orang Kristen yang kelanda-landaan. Pertemu-

Page 21: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

241

an antara agama dan budaya selalu melahirkan “tarik-menarik,”

bahkan tidak jarang penyampuradukan antarkeduanya. Dari

sejarah, kita belajar bahwa orang Jawa pintar menyikapi “tarik-

menarik” itu; maka muncul ungkapan-ungkapan budaya Jawa

lentur, luwes, fleksibel, sehingga agama apa pun bisa “dija-

wakan” (atau justru sebaliknya: justru Jawa yang “diagamakan”).

Tidak dapat dimungkiri, bahwa sejarah pun mencatat

muncul keresahan-keresahan ketika budaya menerima

pengaruh dari luar, baik karena masuknya agama, budaya,

maupun agama bersama-sama dengan budaya. Kenyataan itu

tidak hanya terjadi pada budaya Jawa karena pengaruh agama-

agama, tapi juga pada masyarakat Eropa di Abad Pertengahan

dulu. Dominasi agama/gereja yang melakukan ekspansi ke

wilayah budaya, pada Abad Pertengahan itu, menimbulkan

berbagai reaksi. Salah satu reaksi itu adalah kehendak untuk

kembali kepada masa Romawi-Yunani kuna, mengembalikan

harkat kemanusiaan agar terlepas dari dominasi agama/gereja,

kemudian memunculkan gerakan-gerakan humanisme.

Globalisasi yang oleh beberapa pengamat disebut sebagai

pemaksaan budaya Barat terhadap budaya-budaya lokal, juga

menimbulkan keresahan-keresahan. Masyarakat Indonesia se-

karang ini sedang mengalami keresahan budaya semacam itu.

Sebuah gejala, yang sangat tidak menguntungkan bangsa ini.

Ibaratnya, bangsa ini sudah kehilangan pegangan, sehingga

arahnya tidak jelas, karena budaya adalah fondasi yang seha-

rusnya kokoh dipertahankan sebagai modal untuk bersaing di

era global. Oleh sebab itu, penulis mendambakan, kebangkitan

agama-agama sekarang ini diimbangi oleh kebangkitan budaya-

budaya lokal, seperti pada masa Airlangga, Gajah Mada, Sunan

Kalijaga, dan Kiai Sadrakh.

Pemahaman tentang perlunya pemisahan antara agama

dan budaya tersebut melandasi gerakan Paguyuban Arso

Page 22: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Jawa Menyiasati Globalisasi

242

Tunggal, sehingga gerakan ini tidak pernah menyebut diri

sebagai gerakan agama, melainkan sebagai gerakan sosial-

budaya. Gerakan sosial-budaya yang dimaksud adalah gerakan

yang menitikberatkan pada karya nyata yang bermanfaat bagi

masyarakat dan kajian-kajian budaya, melintasi sekat-sekat

agama. Dalam ranah empirik, hal itu dipraktikkan Arso Tunggal

dalam berbagai kegiatan yang tidak membeda-bedakan penga-

nut agama. Itulah sebabnya, pasien yang berobat atau mitra

kerja paguyuban ini pun terdiri dari berbagai penganut agama.

Pemisahan antara budaya dan agama sangat sulit

dilakukan. Salah satu penyebabnya adalah, hampir semua umat

beragama (terutama Islam dan Kristen) berkeyakinan bahwa

agama mereka adalah wahyu dari Tuhan, agama yang memang

dicipta oleh Tuhan, bebas dari campur tangan manusia.

Keyakinan itu mengakibatkan, umat beragama tidak dapat

memisahkan antara ajaran-ajaran agama yang mengatur

hubungan manusia dengan Tuhan dan kebiasaan serta adat

istiadat manusia pada zaman ajaran-ajaran agama itu

berkembang.

Sebagian besar umat beragama memahami agamanya

secara tekstual (terbatas pada teks-teks yang mereka baca secara

harafiah dari kitab suci), tidak secara kontekstual (dengan mem-

pertimbangkan budaya ketika teks-teks itu muncul). Pema-

haman tekstual itu kemudian menyebabkan mereka tidak dapat

membedakan antara budaya dan agama. Sebagai contoh: umat

Islam menganggap jilbab adalah masalah agama, bukan budaya;

orang Kristen percaya bahwa nyanyian-nyanyian rohani meru-

pakan masalah agama bukan budaya. Bahasa pun sering di-

anggap sebagai unsur agama, bukan budaya; misalnya kata

”Allah” diklaim sebagai milik agama Islam, kata ”Salam Sejah-

tera” diklaim sebagai milik agama Kristen. Pemahaman yang

rancu itu lalu melahirkan ungkapan-ungkapan khas tiap-tiap

Page 23: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

243

pemeluk agama, misalnya orang Kristen tidak mau mengucap-

kan ”Salam,” melainkan ”Syalom,” orang Islam tidak mau meng-

ucapkan ”Tuhan” tetapi ”Allah.”

Gejala tersebut makin menimbulkan terkotak-kotaknya

umat beragama. Oleh sebab itu, konflik-konflik yang muncul

dalam masyarakat selalu dikaitkan dengan faktor agama,

meskipun sebenarnya merupakan konflik budaya atau mungkin

konflik ekonomi.

Pemikiran tentang pemisahan antara budaya dan agama

adalah pemikiran yang idealis, karena kalau hal itu bisa diterap-

kan, maka akan mengurangi konflik-konflik sosial-budaya, yang

selama ini dipersepsi sebagai konflik agama. Hal itulah yang

oleh George Weigel (seperti dikutip Huntington, 2003) disebut

the unsecularization of the world sebagai salah satu faktor sosial

yang dominan dalam kehidupan akhir abad ke-21. Persaingan

antaragama (the revival of religion) menguatkan basis identitas

dan komitmen yang melampaui batas-batas nasional dan

mempersatukan peradaban-peradaban.

Ungkapan itu dapat dimaknai, bahwa persaingan

antaragama yang akhir-akhir ini menajam karena meningkat-

nya fundamentalisme agama-agama, justru akan memperkuat

dan mempersatukan budaya-budaya. Kalau demikian, maka

pemisahan antara budaya dan agama bukan sesuatu yang

mustahil, setidak-tidaknya umat manusia akan makin mengerti

hal-hal yang bersifat budaya tidak harus dikaitkan dengan

agama. Kalau pemahaman itu terjadi, maka bangsa Indonesia

tidak perlu terkotak-kotak oleh agama, karena sama-sama

berbudaya Indonesia.

Manusia-manusia Indonesia, apa pun agama yang mereka

anut, secara ideal bisa hidup dalam budaya umum (common culture), yang oleh Huntington disebutkan telah mendorong

Page 24: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Jawa Menyiasati Globalisasi

244

ekspansi cepat hubungan ekonomi antara Republik Rakyat Cina

dan Hong Kong, Taiwan, Singapura, dan komunitas Cina di

negara-negara Asia yang lain. Dengan berakhirnya Perang

Dingin, pening-katan komunalitas budaya mengalahkan per-

bedaan-perbedaan ideologi, sehingga Cina daratan dan Taiwan

pun bergerak menyatu. Bangsa Indonesia pun seharusnya bisa

menerapkan budaya umum itu dalam lingkup keindonesiaan,

sehingga tiap-tiap orang bisa berkata: ”Aku orang Indonesia,

yang berbudaya Indonesia, terlepas dari agama yang aku anut.”

Huntington mengungkapkan, dalam konflik kelas dan

ideologi, pertanyaan kuncinya adalah “Which side are you on?”

dan orang dapat memilih atau mengubah dirinya. Dalam

konflik peradaban, pertanyaannya “What are you on?”; sesuatu

yang given, tidak dapat diubah. Menghadapi pertanyaan ”What are you on?” maka orang Jawa bisa menjawab tegas: ”I am Javanese!” terlepas dari agama yang dianut, kelas sosial maupun

ideologi yang diyakini. Orang Jawa adalah bagian dari bangsa

Indonesia, maka jawaban itu pun bisa menjadi ”I am Indone-sian!” Jawaban tersebut menggambarkan, bahwa seorang Jawa

adalah seorang yang hidup dengan nilai-nilai budaya Jawa, pada

saat yang bersamaan ia adalah bagian dari bangsa Indonesia

yang juga menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang dianut oleh

masyarakat Indonesia.

Pemisahan antara budaya dan agama, kalau dapat diterap-

kan, akan mengurangi kekhawatiran tentang meningkatnya

konflik justru karena kebangkitan agama-agama yang sekarang

terjadi. Kekhawatiran itu muncul karena kebangkitan agama-

agama cenderung hanya terkonsentrasi pada masalah teologis,

mengabaikan masalah kemanusiaan.

Pentingnya agama yang peduli pada kemanusiaan itulah

yang pernah mendorong Auguste Comte (1789-1857), yang

dikenal sebagai bapak positivisme, bercita-cita mendirikan

Page 25: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

245

“agama kemanusiaan.” Dalam benaknya, moralitas tertinggi

adalah cinta dan pengabdian kepada kemanusiaan. Allah abad

pertengahan digantinya dengan le Grand Etre, (Ada Agung),

yakni: Kemanusiaan (dengan huruf K besar!).

Dalam Cours de Philosophie Positive, Comte membagi

pengetahuan ke dalam tiga tahap, yaitu tahap teologis, meta-

fisika, dan positif. Penahapan itu, menurut dia, sesuai dengan

perkembangan individu; masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa.

(Budi Hardiman, 2004: 206).

Lalu, apa kaitan “agama kemanusiaan” dengan kondisi

masa kini? Setidak-tidaknya ada tiga hal, yaitu:

1. Dalam konteks pemikiran Comte, manusia zaman

sekarang sedang menuju “masa kanak-kanak,”

kembali pada “masa teologis.” Masa ketika banyak

orang berlomba-lomba untuk menjadi “yang terdekat”

atau “yang terkasihi” oleh sesuatu kekuatan di luar

diri manusia, yang biasa dikenal sebagai Tuhan Yang

Maha Kuasa. Masa ini ditandai pula dengan

munculnya pemikiran yang ingin membawa agama

sebagai “pusat kekuasaan.” Masa itu diwarnai

kebangkitan agama-agama di hampir seluruh belahan

dunia. Tempat-tempat ibadah (masjid, gereja, pura,

vihara) penuh jemaah. Simbol-simbol agama; apa pun

agama itu, makin merebak. Meskipun belum pernah

menghitung, saya yakin jumlah pemakai jilbab pasti

bertambah banyak, begitu pula jumlah orang yang

mengenakan kalung bertanda salib, atau jumlah umat

Buddha, Hindu, dan Konghucu yang merasa lebih

leluasa memperlihatkan jatidiri mereka.

2. Manusia zaman sekarang juga sedang menggan-drungi

hal-hal yang berbau metafisik. Tanda-tandanya adalah

Page 26: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Jawa Menyiasati Globalisasi

246

banyak orang yang memercayai hal-hal di luar fakta

yang oleh Comte diyakini sebagai satu-satunya

kenyataan. Bagi pemikir kelahiran Montpellier,

Prancis ini, pengetahuan sejati hanyalah yang faktual,

maka ia menolak metafisika. Masa teologis dan masa

metafisik, menurut dia, adalah masa kanak-kanak dan

remaja dalam perkembangan individu. Jadi, masuk

akal kalau terjadi berbagai macam paradoks pada masa

kini. Misalnya, meskipun tempat ibadah penuh

jemaah dan banyak orang yang percaya pada hal-hal

metafisik, namun kebencian, kedengkian, caci-maki,

permusuhan, konflik, dan korupsi tetap terjadi.

3. “Agama kemanusiaan” mungkin bisa menjadi pe-

nyeimbang bagi kemajuan pesat “masa teologis” dan

"metafisik" sekarang ini. Bukankah keseimbangan

memang diperlukan dalam hidup manusia? Seperti

juga diajarkan di semua agama, selain menjalin

hubungan vertikal (dengan Tuhan) umat manusia juga

diwajibkan menjalin relasi horizontal yang baik

dengan sesamanya. Apa pun istilahnya, menurut

penulis, konsep Comte sangat menarik dan layak

direnungkan, terutama konsep bahwa cinta dan

pengabdian kepada kemanusiaan se-bagai moralitas

tertinggi. Bukankah semua agama juga meng-ajarkan

moralitas yang sama? Mana ada agama yang mengan-

jurkan umatnya untuk tidak mencintai dan mengabdi

kepada kemanusiaan?

“Agama kemanusiaan” dapat ditafsirkan sebagai ajakan

kepada agama untuk membumi pada dunia manusia, untuk

melakukan sesuatu agar harkat hidup manusia makin hari makin

bertambah baik. Dari sinilah kesalehan seseorang dinilai, bukan

hanya dari rajinnya beribadah.

Page 27: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi

247

Dalam perspektif itulah, penulis mengkhawatirkan ke-

bangkitan agama-agama hanya terkonsentrasi pada masalah

teologis (atau bahkan pengumpulan massa pengikut) dan menga-

baikan masalah yang lebih membumi, yaitu kemanusiaan.

Penulis memimpikan, kebangkitan itu justru makin mendekat-

kan agama pada kehidupan sehari-hari dan pada kerja sama

kemasyarakatan antaragama. Para penganut agama bersatu

dalam sinergi cinta dan pengabdian kepada kemanusiaan, mem-

beri kontribusi nyata pada penanganan kemiskinan, keter-

belakangan, pengangguran, konflik, korupsi, dan masalah ke-

manusiaan lain yang masih menjadi tantangan bersama.

Bagi penulis, semua agama adalah “agama kemanusiaan”

karena mengajari manusia untuk mengasihi sesama manusia

(siapa pun mereka) sebagai perwujudan cinta kasih Tuhan di

dunia ini. Dengan begitu, tesis Karl Marx bahwa “agama adalah

candu” terbantahkan.

Kesimpulan

Inti dari gerakan Arso Tunggal menyiasati globalisasi

adalah ngèli nanging ora kèli. Ungkapan tersebut menunjukkan

karakter budaya Jawa yang sinkretis; dapat menyesuaikan diri

dengan perkembangan zaman, namun tidak terhanyut oleh arus

perkembangan zaman itu.

Gerakan Arso Tunggal menyiasati globalisasi, menurut

temuan penulis, melakukan kritik terhadap globalisasi, kritik

terhadap pemahaman budaya Jawa, kritik terhadap kerancuan

budaya dan agama. Kritik-kritik tersebut melengkapi pan-

dangan-pandangan tentang globalisasi yang sudah ada.

Gerakan Arso Tunggal melengkapi tesis Mansour Fakih

(2001:223), yang mengidentifikasi gerakan tantangan terhadap

Page 28: Arso Tunggal Menyiasati Globalisasi - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/8/D... · tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem ... Jumlah anggota

Jawa Menyiasati Globalisasi

248

globalisasi menjadi tiga, yaitu: Tantangan gerakan kultural dan

agama; tantangan dari gerakan sosial baru (new social movement) dan masyarakat sipil global (global civil society); serta tantangan gerakan lingkungan.

Paguyuban Arso Tunggal, lewat berbagai kegiatannya,

mengkritik pemahaman bahwa budaya Jawa hanya berhenti

pada ketenangan jiwa dan kearifan individu. Paguyuban ini

menekankan aspek tindakan nyata. Humanisme kejawèn harus

diaplikasikan pada tindakan nyata yang bermanfaat bagi

kemanusiaan dan lingkungan.

Dalam konteks pemikiran itu pula, Arso Tunggal

mengembangkan pemahaman perlunya pemisahan antara

budaya dan agama. Hal itu perlu dilakukan, agar pembangunan

sungguh-sungguh dilakukan dengan pendekatan budaya dan

manusia, terbebas dari kerancuan pemahaman relasi antara

budaya dan agama. Budaya diibaratkan bumi, agama diibaratkan

bulan yang menyinari bumi di malam hari, dan Tuhan Yang

Maha Kuasa diibaratkan matahari sebagai sumber cahaya yang

menyinari bulan dan bumi.