bab ii landasan teori -...

23
10 BAB II LANDASAN TEORI Penelitian ini menggunakan teori psikologi sastra untuk menganalis karakter tokoh utama dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari sehingga akan ditemukan suatu gejala psikologis tokoh untuk mendiagnosis termasuk ke dalam bentuk apakah gangguan yang dialami tokoh tersebut. Setelah didapatkan bentuk psikologis yang ada pada tokoh utama, yaitu dalam penelitian ini ditemukan penyebab-penyebab psikologis yang mengacu pada diagnosa klinis penderita gangguan identitas disosiatif, maka digunakanlah teori gangguan identitas disosiatif untuk menganalis hal tersebut. 2.1 Unsur Pembangun Novel Sebuah karya fiksi merupakan sebuah bangun cerita yang menampilkan sebuah dunia yang sengaja dikreasikan pengarang. Wujud formal fiksi itu sendiri hanya berupa kata, dan kata-kata. Karya fiksi dengan demikian, menampilkan dunia dalam kata, bahasa. Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu keme- nyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian unsur-unsur, yang paling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Unsur-unsur pembangun sebuah novel yang kemudian secara bersama membentuk sebuah totalitas disamping unsur formal bahasa, masih banyak lagi macamnya. Menurut Nurgiyantoro (2009: 23) pembagian unsur yang dimaksud adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik, kedua unsur inilah yang sering banyak disebut para kritikus dalam rangka mengkaji dan atau membicarakan novel atau karya sastra pada umumnya.

Upload: vukien

Post on 23-May-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

10

BAB II

LANDASAN TEORI

Penelitian ini menggunakan teori psikologi sastra untuk menganalis karakter

tokoh utama dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari sehingga akan

ditemukan suatu gejala psikologis tokoh untuk mendiagnosis termasuk ke dalam

bentuk apakah gangguan yang dialami tokoh tersebut. Setelah didapatkan bentuk

psikologis yang ada pada tokoh utama, yaitu dalam penelitian ini ditemukan

penyebab-penyebab psikologis yang mengacu pada diagnosa klinis penderita

gangguan identitas disosiatif, maka digunakanlah teori gangguan identitas

disosiatif untuk menganalis hal tersebut.

2.1 Unsur Pembangun Novel

Sebuah karya fiksi merupakan sebuah bangun cerita yang menampilkan

sebuah dunia yang sengaja dikreasikan pengarang. Wujud formal fiksi itu sendiri

hanya berupa kata, dan kata-kata. Karya fiksi dengan demikian, menampilkan

dunia dalam kata, bahasa. Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu keme-

nyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai

bagian-bagian unsur-unsur, yang paling berkaitan satu dengan yang lain secara

erat dan saling menggantungkan.

Unsur-unsur pembangun sebuah novel yang kemudian secara bersama

membentuk sebuah totalitas disamping unsur formal bahasa, masih banyak lagi

macamnya. Menurut Nurgiyantoro (2009: 23) pembagian unsur yang dimaksud

adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik, kedua unsur inilah yang sering banyak

disebut para kritikus dalam rangka mengkaji dan atau membicarakan novel atau

karya sastra pada umumnya.

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

11

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu

sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya

sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung

turut serta membangun cerita. Unsur yang dimaksud misalnya tokoh, alur, tema

dan latar belakang.

1) Tokoh

Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2009: 165) mengemukakan bahwa

penggunaan istilah karakter dalam berbagai literatur bahasa Inggris menyaran

pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang

ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral

yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut. Dengan demikian, karakter dapat berarti

tokoh-tokoh yang ditampilkan atau pelaku cerita dan perwatakan atau lebih

cenderung kepada sifat.

Para tokoh dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Tokoh

yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita, atau tokoh yang sering diberi

komentar dan dibicarakan oleh pengarangnya disebut tokoh utama atau tokoh inti

(Aminudin, 2011: 79). Selain itu dalam menentukan tokoh utama juga dapat

dilihat dari keseringan munculnya tokoh dalam suatu cerita. Dalam suatu cerita

tokoh inti juga dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh protagonis dan tokoh

antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan positif,

sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang sifatnya berlawanan dari tokoh

protagonis. Tokoh antagonis adalah tokoh yang membawa nilai-nilai negatif.

Tokoh merupakan orang atau pelaku cerita yang dihadirkan dalam suatu

cerita. Tokoh memiliki kecenderungan tertentu yang digambarkan melalui ucapan

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

12

dan apa yang dilakukan dalam sebuah tindakan. Berdasarkan tindakan atau ucapan

yang dilakukan tokoh tersebut akan tergambar bagaimana watak atau karakter dari

tokoh. Watak atau karakter pada tokoh sering disebut dengan istilah penokohan.

Hal serupa juga diutarakan Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2009: 166),

menurut Abrams tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu

karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca memiliki kualitas moral dan

kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang

dilakukan dalam tindakan. Hubungan seorang tokoh dengan kualitas pribadinya

berkaitan dalam penerimaan pembaca. Dalam teori resepsi, pembaca memberikan

penilaian penuh terhadap tokoh cerita tersebut.

Tokoh adalah figur yang dikenai dan sekaligus mengenai tindakan

psikologi. Dia adalah eksekutor dalam sastra. Jutaan rasa akan hadir lewat tokoh.

Dalam sebuah novel tokoh memegang peranan yang sangat penting, namun tak

lepas dari itu, tokoh dalam novel memegang peranan yang berbeda-beda. Ada

tokoh yang penting ada pula tokoh tambahan (Anurkarina, 2015: 35).

Pandangan akan tokoh dalam sebuah cerita juga diutarakan Nurgiyantoro

(2009: 166), hanya saja Nurgiyantoro menjelaskan istilah penokohan lebih luas

pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan sebab ia sekaligus mencakup

masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan

dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran

yang jelas. Penokohan ini sekaligus menyaran pada teknik pewujudan dan

pengembangan tokoh dalam cerita.

Fiksi mengandung dan menawarkan model kehidupan seperti yang disikapi

dan dialami tokoh-tokoh cerita sesuai dengan pandangan pengarang terhadap

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

13

kehidupan itu sendiri. Karena pengarang yang sengaja menciptakan dunia dalam

fiksi, ia mempunyai kebebasan penuh untuk menampilkan tokoh-tokoh cerita

sesuai dengan seleranya, siapapun orangnya, apapun status sosialnya, bagaimana

perwatakannya dan permasalahan apapun yang dihadapinya.

2) Tema

Tema menurut Stanton dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2009: 67) adalah

makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema merupakan gagasan dasar umum

yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sabagai

struktur semantik dan yang menyangkut persamaan atau perbedaan-perbedaan.

Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan

yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik dan situasi tertentu.

Seorang pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum

melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat

memahami tema apabila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang

menjadi media untuk mendeskripsikan tema tersebut, menyimpulkan makna yang

dikandungnya serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarang

(Aminuddin dalam Siswanto, 2008: 161).

Pada hakikatnya, tema merupakan suatu ide pokok atau pokok pikiran.

Dalam tema tersirat suatu tujuan cerita. Seperti apa tujuan cerita yang akan

disampaikan maka tergantung pada tema yang diangkat oleh pengarang. Perlu

diketahui bahwa tema semata-mata bukan sekedar apa yang ditentukan oleh

pengarang dalam menceritakan sebuah persoalan semata, penentuan tema juga

dapat ditafsirkan oleh pembaca sebagai penelaah cerita.

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

14

Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat

menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi yang umum,

lebih luas, dan abstrak. Eksistensi atau kehadiran tema adalah terimplisit dan

merasuki keseluruhan cerita, dan inilah yang menyebabkan kecilnya kemungkinan

pelukisan secara langsung tersebut. Penafsiran tema utama diprasyarati oleh

pemahaman cerita secara keseluruhan (Nurgiyantoro, 2009: 69).

Masalah hidup dan kehidupan yang dihadapi dan dialami manusia amat luas

dan kompleks, seluas dan sekompleks permasalahan kehidupan yang ada. Walau

permasalahan yang dihadapi manusia tidak sama, ada masalah-masalah kehidupan

tertentu yang bersifat universal. Artinya, hal itu akan dialami oleh setiap orang

dimanapun dan kapanpun walau dengan itensitas yang tidak sama.

Novel mengangkat dan mengungkapkan kembali berbagai permasalahan hidup

dan kehidupan tersebut setelah melewati penghayatan yang intens, seleksi subjektif dan

diolah dengan daya imajinatif, kreatif oleh pengarang ke dalam bentuk dunia rekaan.

Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi

tema kedalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan dan aksi interaksinaya

dengan lingkungan.

3) Alur

Plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya

dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau

menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Hal ini dikemukan oleh Kenny

(dalam Nurgiyantoro, 2009: 113) bahwa plot adalah peristiwa-peristiwa yang

ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang

menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat.

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

15

Plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu

sebagaimana yang terlibat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa

tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Penyajian

peristiwa-peristiwa itu dalam sebuah karya sastra bersifat linear. Namun antara

peristiwa-peristiwa yang dikemukakan sebelumnya dan sesudahnya belum tentu

berhubungan langsung secara logis bersebab-akibat.

Hal serupa juga dikemukakan Nurgiyantoro (2009: 114), yang mana

pertimbangan dalam pengolahan struktur cerita, penataan peristiwa-peristiwa,

selalu dalam kaitannya pencarian efek tertentu. Misalnya, ia dimaksudkan untuk

menjaga kesinambungan cerita, untuk mencari kejutan, atau komplesitas struktur.

Struktur karya naratif yang kompleks, misalnya yang memiliki hubungan yang

saling mengait antar peristiwa dan tokoh, namun tak diceritakan secara eksplsit,

biasanya menawarkan lebih banyak kemungkinan dan karenanya lebih

menantang.

Penampilan peristiwa demi peristiwa yang hanya mendasarkan diri pada

urutan waktu saja belum merupakan plot, agar menjadi suatu plot maka peristiwa-

peristiwa tadi harus diolah dan disiasati secara kreatif. Sehingga hasil pengolahan

dan penyiasatan itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan menarik,

khususnya dalam kaitannya dengan karya fiksi yang bersangkutan secara

keseluruhan.

4) Latar

Latar sebuah karya fiksi barangkali hanya berupa latar yang sekedar latar,

berhubung sebuah cerita memang membutuhkan landas tumpu dan pijakan. Latar

netral tak memiliki dan tak mendeskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

16

yang terdapat dalam sebuah latar, sesuatu yang justru dapat membedakannya

dengan latar-latar lain. Unsur latar yang ditekankan perannya dalam sebuah novel,

langsung ataupun tak langsung, akan berpengaruh terhadap elemen fiksi yang lain,

khususnya alur dan tokoh.

Hal ini juga disampaikan Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2009: 216), Abrams

menjelaskan latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran

pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya

peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Pembicaraan tersebut sebenarnya telah menunjukkan betapa eratnya kaitan

antara latar dan unsur-unsur fiksi yang lain. Latar sebuah karya yang sekedar

berupa penyebutan tempat, waktu, dan hubungan sosial tertentu secara umum,

artinya bersifat netral, pada umumnya tak banyak berperanan dalam

pengembangan cerita secara keseluruhan.

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat,

waktu, dan sosial (Nurgiyantoro, 2009: 216). Latar tempat menyaran pada lokasi

terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat

yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial

tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Latar waktu berhubungan

dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam

sebuah karya fiksi masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu

faktual, waktu yang kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan

sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan.

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

17

2.2 Psikologi Sastra

Atkinson (dalam Minderop, 2011: 3) mengutarakan bahwa psikologi berasal

dari kata Yunani psyhe, yang berarti jiwa, dan logos yang berarti ilmu. Jadi

psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang menyelidiki dan mempelajari tingkah

laku manusia. Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

di dalamnya tersurat sikap, tingkah laku, pemikiran, pengetahuan, tanggapan,

perasaan, imajinasi, serta spekulasi manusia itu sendiri. Oleh karena itu, psikologi

merupakan salah satu aspek yang berkaitan langsung dengan karya sastra.

Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sastra sebagai

aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa dan karsa dalam

karyanya. Begitu pula dengan pembaca, dalam menanggapi karya juga tak akan

lepas dari kejiwaan masing-masing. Bahkan sebagaimana sosiologi refleksi,

psikologi sastra juga mengenal karya sastra sebagai pantulan kejiwaan. Pengarang

akan menangkap gejala jiwa kemudian diolah kedalam teks dan dilengkapi

dengan kejiwaannya. Proyeksi pengalaman sendiri imajiner kedalam teks sastra

(Endrasswara, 2003: 96).

Ratna (2013: 342) mengutarakan jika psikologi sastra tidak bermaksud

untuk memecahkan masalah-masalah psikologis praktis, akan tetapi lebih pada

memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra. Sesuai

dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat

secara tidak langsung. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya

masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-

penyimpangan lain yang terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya

dengan psikis.

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

18

Sastra tidak mampu melepaskan diri dari aspek psikis. Jiwa pula yang

berkecamuk dalam sastra. Memasuki sastra akan terkait dengan psikologi karya

itu. Inilah awal kehadiran psikologi sastra dalam penelitian sastra. Hal ini yang

menjadikan penelitian pada novel Pasung Jiwa ini mengarah pada pendekatan

psikologi sebagai studi tipe dan hukum-hukum yang diterapkan pada karya sastra.

Secara spesifik dapat dijelaskan bahwa analisis yang akan dilakukan terutama

diarahkan pada kondisi kejiwaan tokoh utama yang berperan dalam cerita, untuk

mengungkap kepribadian secara menyeluruh.

2.3 Kepribadian

Kepribadian merupakan kajian psikologi yang lahir berdasarkan pemikiran,

kajian atau temuan-temuan hasil praktik penanganan para kasus para ahli. Objek

kajian kepribadian adalah perilaku manusia, yang pembahasannya terkait dengan

apa, mengapa, dan bagaimana perilaku manusia.

Adapun kepribadian menurut Yusuf dan Juntika (2008: 3) merupakan

terjemahan dari bahasa inggris personality. Kata personality berasal dari bahasa

latin persona yang berarti topeng yang digunakan para aktor dalam suatu

permainan atau pertunjukan. Disini para aktor menyembunyikan kepribadian yang

asli, dan menampilkan dirinya sesuai dengan topeng yang digunakan.

Pendapat serupa juga dikemukakan Hall & Lindzey (dalam Yusuf dan

Juntika, 2008: 3) yang menyebut bahwa secara popular, kepribadian dapat

diartikan sebagai keterampilan atau kecakapan sosial, dan kesan yang paling

menonjol yang ditunjukkan seseorang terhadap orang lain (seperti seseorang yang

dikesankan sebagai orang yang agresif atau pendiam).

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

19

Berdasarkan beberapa pengertian mengenai kebudayaan menurut para ahli,

istilah teori kepribadian dapat diartikan sebagai seperangkat asumsi tentang

kualitas tingkah laku manusia beserta definisi empirisnya. Hal yang kita ketahui

tentang manusia ialah makhluk hidup yang unik dibandingkan dengan makhluk

lain seperti hewan. Dibandingkan dengan hewan, manusia lebih bergantung pada

faktor psikologis, dan kurang bergantung kepada faktor biologis. Berkomunikasi

dengan menggunakan simbol-simbol, sedangkan hewan tidak memiliknya.

Namun dalam hal kematangan, manusia lebih lambat dibandingkan hewan.

Berbicara tentang kepribadian, Kartono (1990: 22) berpendapat bahwasanya

segenap kepribadian itu diperengaruhi dari dalam, yaitu oleh dorongan-dorongan

dan insting tertentu guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan

yang dimaksudkan disini ialah kebutuhan biologis dan kebutuhan sosial. Jika

kebutuhan-kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka akan ada ketegangan dan frustasi.

Pengkajian tentang motif utama dalam kehidupan manusia ini seperti

sebelum-sebelumnya, sebenernya hanya berotasikan pada usaha menghilangkan

ketegangan dan frustasi untuk mencapai keseimbangan pada manusia itu sendiri.

Disini keluarga berperan penting sebagai penentu utama dalam pembentukan

kepribadian anak. Melalui perlakuan dan perwatakan yang baik, anak dapat

dengan mudah memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan biologis

maupun kebutuhan sosial. Apabila anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

dasarnya, maka anak akan cendrung berkembang menjadi pribadi yang baik.

2.4 Gangguan Disosiatif

Gangguan disosiatif menurut Nevid, Rathus dan Greene (2005: 202) adalah

masalah kejiwaan pelaku yang ditandai dengan adanya perubahan perasaan

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

20

tentang kepribadian, memori, atau kesadaran. Pelaku yang mengalami gangguan

ini memperoleh kesulitan untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa penting

yang pernah terjadi pada dirinya, melupakan kepribadian yang dalam keadaan

normal membuat diri kita menjadi satu kesatuan.

Gangguan disosiatif dibagi atas empat macam gangguan, yaitu amnesia

disosiatif, fugue disosiatif, gangguan depersonalia dan gangguan identitas

disosiatif atau kepribadian ganda. Berdasarkan pandangan Nevid, Rathus dan

Greene, di bawah ini akan dijelaskan secara singkat mengenai keempat macam

gangguan disosiatif.

1) Amnesia Disosiatif (Dissociative Amnesia)

Menurut Maldonado, Butler, dan Speigel (dalam Nevid, Rathus dan Greene,

2005: 206) amnesia disosiatif dipercaya sebagai tipe yang paling umum dari gangguan

disosiatif. Amnesia diambil dari akar kata Yunani a-, berarti ‘tanpa’, dan mnasthai,

yang berarti ‘untuk mengingat’. Amnesia bukanlah lupa yang biasa, seperti lupa akan

nama sesorang atau dimana seseorang meletakkan kunci mobilnya. Kehilangan ingatan

dalam amnesia lebih jauh atau luas cangkupannya.

Gejala amnesia merupakan gejalah yang umum terjadi pada amnesia

disosiatif, fugue disosiatif, dan gangguan identitas disosiatif. Diagnosa amnesia

disosiatif tepat apabila diberikan pada gangguan disosiatif yang hanya

menunjukkan gejala amnesia saja. Individu yang mengalami amnesia disosiatif

dapat secara mendadak kehilangan kemampuan untuk mengingat kembali

informasi tentang dirinya sendiri ataupun berbagai informasi yang sebelumnya

telah ada dalam memori pelaku. Biasanya hal ini terjadi setelah peristiwa yang

menekan misalnya menyaksikan kematian seseorang yang dicintai.

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

21

Nevid, Rathus dan Greene (2005: 206) berpendapat bahwasanya

kebanyakan kasus dari amnesia disosiatif mengambil bentuk dari amnesia

terlokalisasi dimana peristiwa yang terjadi dalam suatu periode waktu tertentu

hilang dari ingatan. Misalnya, orang tersebut tidak mampu mengingat kembali

untuk beberapa jam atau hari setelah suatu kejadian yang menekan atau traumatis,

seperti perang atau pengeboman.

Bentuk lain dari amnesia disosiatif menurut Nevid, Rathus dan Greene

(2005: 206) mencangkup amnesia selektif dan amnesia keseluruhan. Dalam

amnesia selektif, pelaku hanya lupa pada hal-hal khusus yang mengganggu yang

terdapat pada suatu periode waktu. Misalnya, pelaku dapat mengingat suatu

periode hidup yang dimana pelaku melakukan perselingkuhan, akan tetapi pelaku

tidak ingat peristiwa perselingkuhan itu yang membuat pelaku merasa bersalah.

Bentuk terakhir dari amnesia disositif ialah amnesia menyeluruh, pelaku lupa

akan semua kehidupannya seperti siapa dirinya, apa pekerjaannya, dimana tempat

tinggalnya dan dengan siapa dia tinggal.

Gangguan amnesia disosiatif mengakibatkan pelaku mendadak kehilangan

kemampuan untuk mengingat kembali informasi tentang dirinya. Bentuk-bentuk

dari amnesia ini berorentasikan pada kelemahan daya ingat pelaku dalam

mengingat kembali memori yang pernah ada, baik pada hal-hal tertentu bahkan

pada ingatan keseluruhan.

2) Gangguan Identitas Disosiatif

Menurut Kartono (1981: 93) gangguan identitas disosiatif adalah masalah

kejiwaan yang ditandai dengan adanya perubahan perasaan pelaku tentang

kepribadian, memori, atau kesadaran. Pelaku yang mengalami gangguan disosiatif

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

22

memperoleh kesulitan untuk mengingat peristiwa-peristiwa penting yang pernah

terjadi pada diri pelaku, melupakan kepribadian diri bahkan membentuk

kepribadian baru.

Menurut DSM-IV-TR (The Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorders, 4th edition text revision) (dalam Davison, Gerald dkk, 2006: 258)

gangguan identitas disosiatif yang sebelumnya disebut gangguan kepribadian

ganda yang merupakan pembentukan dua atau lebih kepribadian berbeda.

Gangguan identitas disosiatif mengakibatkan ketidakmampuan pelaku dalam

mengingat informasi penting yang dimiliki.

Gangguan identitas disosiatif merupakan salah satu dari beberapa macam

gangguan disosiatif yang ada. Berbeda dengan gangguan amnesia disosiatif yang

berorintasikan pada hilanganya ingatan pada hal-hal khusus ataupun keseluruhan,

gangguan identitas disosiatif ini berorientasikan pada pembetukan kepribadian

baru pada diri pelaku untuk menyikapi tekanan-tekanan maupun keinginan yang

dipendam. Berhubungan dengan adanya kepribadian yang baru, si pelaku akan

merasa nyaman dengan hilangnya memori-memori yang membuat dirinya

tertekan.

3) Fugue Disosiatif (Dissociative Fugue)

Bentuk ketiga dari gangguan disosiatif ialah fugue disosiatif. Nevid, Rathus

dan Greene (2005: 207) menyatakan bahwa Fugue berasal dari bahasa latin

Fugere, yang berati melarikan diri. Kata fugitive (pelarian/buronan) memiliki asal

kata yang sama. Pada fugue disosiatif, memori yang hilang jauh lebih luas

daripada amnesia disosiatif. Pelaku tidak hanya kehilangan seluruh ingatannya

(misalnya nama, keluarga, atau pekerjaanya), mereka juga secara mendadak

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

23

meninggalkan rumah dan pekerjan mereka serta memiliki kepribadian yang baru.

Pelaku dengan gangguan ini secara tiba-tiba dapat memiliki nama yang baru,

rumah serta pekerjaan baru, bahkan membentuk karakteristik kepribadian yang

baru.

Menurut Maldonado dalam (Nevid, Rathus dan Greene, 2005: 207) selain

perilaku yang aneh ini, pelaku tersebut dapat terkesan normal dan tidak

menunjukkan tanda-tanda lain dari gangguan mental. Pelaku tidak lagi

memikirkan tentang masa lalu, atau melaporkan masa lalu yang penuh dengan

ingatan kesalahan tanpa menyadari bahwa ingatan ini salah.

Bila orang dengan amnesia disosiatif tampak berjalan-jalan tanpa tujuan,

orang dalam tahap fugue bertindak lebih terarah. Mereka tetap berada dekat

dengan tempat tinggal mereka. Mereka menghabiskan waktu siangnya di taman

atau menonton bioskop, atau mereka menghabiskan malam harinya di hotel

menggunakan nama dari kepribadian yang baru, biasanya hanya dengan sedikit

atau tanpa kontak dengan orang lain saat berada dalam tahap fugue. Namun

identitas baru ini tidaklah lengkap serta mengambang, dan kesadaran dirinya akan

masa lalu dapat muncul dalam waktu beberapa jam atau beberapa hari.

4) Gangguan Depersonalisasi

Bentuk terakhir dari gangguan disosiatif adalah gangguan depersonalisasi

Nevid, Rathus dan Greene (2005: 209) menyebutkan jika gangguan ini ditandai

dengan adanya perubahan persepsi yang terjadi secara berulang atau menetap

tentang diri sendiri, mereka untuk sementara waktu merasakan hilangnya

keyakinan bahwa mereka merupakan individu yang nyata.

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

24

Davison dkk (2006: 257) juga menjelaskan jika derealisasi suatu perasaan

tidak nyata mengenai dunia luar yang mencangkup perubahan-perubahan yang

aneh dalam persepsi mengenai lingkungan sekitar, atau dalam perasaan mengenai

periode waktu juga dapat muncul. Pelaku dan objek juga dapat tampak berubah

ukuran atau bentuk dan dapat pula mengeluarkan suara yang berbeda. Semua

perasaan ini dapat diasosiasikan dengan kecemasan, termasuk pusing dan

ketakutan akan menjadi gila atau dengan depresi.

Pada gangguan disositif yang terakhir ini, memori atau daya ingat individu

tidak mengalami gangguan, berbeda dengan gangguan-gangguan disosiatif lain

yang berorientasikan pada kelemahan daya ingat. Hanya saja pelaku dengan

gangguan depersonalisasi biasanya berpikir bahwa dirinya adalah robot, merasa

bahwa dirinya sedang bermimpi atau terpisah dari tubuh mereka, merasa melihat

diri mereka dari kejauhan atau menonton diri mereka sendiri seolah bergerak di

dunia yang tidak nyata.

2.5 Gangguan Identitas Disosiatif

Gangguan identitas disosiatif ialah masalah kejiwaan yang dihadapi

seseorang dengan memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda. Wade

(2007: 356) berpendapat bahwasanya para ahli meyakini bahwa gangguan

tersebut bermula sejak masa kanak-kanak, sebagai suatu cara untuk mengatasi

trauma, seperti tindakan kekerasan. Berdasarkan pandangan ini, trauma

menyebabkan suatu pemisahan mental, dimana satu kepribadian akan muncul

untuk menangani pengalaman sehari-hari, dan kepribadian lainnya akan muncul

untuk menghadapi pengalaman-pengalaman yang buruk.

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

25

Dalam Wade (2007: 356), terdapat kelompok yang meyakini bahwa

sebagian besar kasus gangguan kepribadian ganda secara tidak langsung muncul

akibat dari interaksi yang terjadi di antara para praktisi klinis dengan klien mereka

yang memiliki kerentanan yang disebabkan oleh masalah-masalah psikologis yang

mereka miliki.

Data menunjukkan bahwa pada sebelum tahun 1980-an, hanya sedikit kasus

akan gangguan kepribadian ganda yang terdiagnosis di seluruh dunia, namun pada

tahun 1990-an jumlah kasus gangguan kepribadian ganda dilaporkan meningkat

menjadi puluhan ribu (Greene, Rathus dan Nevid, 2005: 204). Hal ini membuat

sejumlah praktisi mengatakan bahwa kepribadian ganda lebih umum terjadi

daripada yang diyakini sebelumnya. Namun, ahli-ahli yang lain tidak terlalu yakin

akan gangguan ini. Sejumlah ahli percaya bahwa gangguan tersebut terlalu cepat

didiagnosis pada orang-orang yang sangat mudah tersugesti yang bisa saja hanya

mengikuti sugesti bahwa mereka mungkin memiliki gangguan tersebut. Meskipun

masih menjadi pertanyaan apakah kepribadian ganda adalah fenomena nyata atau

suatu bentuk bermain peran, tidak ada keraguan bahwa pelaku yang menampilkan

tingkah laku tersebut memiliki kesulitan emosional dan perilaku yang serius.

Manusia pada umumnya pasti pernah mengalami hari-hari dimana bertindak

tidak seperti diri sendiri. Hal ini dianggap normal dan bukan yang dimaksud

dengan kepribadian ganda. Menurut DSM-IV-TR (dalam Davison dkk, 2006:

258), diagnosis gangguan identitas disosiatif dapat ditegakkan bila seseorang

setidaknya memiliki dua kepribadian yang terpisah, atau berubah-ubah dalam

keberadaan, perasaan dan tindakan yang satu sama lain tidak saling

mempengaruhi dan muncul serta memegang kendali pada waktu yang berbeda.

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

26

Boonn & Draijer (dalam Davison dkk, 2006: 258) mengemukakan jika

gangguan identitas disosiatif biasanya terjadi pada masa kanak-kanak, namun

jarang terdiagnosis hingga usia dewasa. Gangguan seperti ini dinilai Boon dan

Draijer lebih luas dibandingkan dengan gangguan disositif yang lain, dan

penyembuhannya pun kurang menyeluruh. Boon juga menyatakan gangguan ini

jauh lebih sering terjadi pada perempuan dari pada laki-laki. Penegakan diagnosis

lain khusunya depresi, gangguan kepribadian ambang, dan gangguan somatisasi.

Gangguan identitas disosiatif umumnya disertai sakit kepala, penyalahgunaan zat,

fobia, hanusinasi, upaya bunuh diri, disfungsi seksual, perilaku melukai diri

sendiri dan juga simtom-simtom disosiatif lain seperti amnesia dan

depersonalisasi.

Kasus Eve White pada masanya merupakan laporan kasus GID yang

didokumentasikan secara teliti dalam literarur klinis. Namun, banyak kasus lain

yang diungkapkan. Salah satu kasus dimuat di Journal of Abnormal Psychology

pada tahun 1976 (Davison dkk, 2006: 261). Tiga Wajah Evelyn merupakan

riwayat rinci yang ditulis oleh Robert F. Jeans, psikiater yang menangani pasien

tersebut. Hasil terapeutiknya berupa integrasi atau frusi beberapa kepribadian

pasien, bukan menghilangkan semua kepribadian dan menyisakan satu

kepribadian.

Ross (dalam Davison dkk, 2006: 261) mengatakan bahwa sebagian ahli

kontemporer menganggap berbagai kepribadian tersebut sebagai aspek-aspek

penting dari orang tersebut secara keseluruhan, sehingga tujuan terapeutik yang

secara umum diterima adalah upaya untuk menyatukan seluruh kepribadian

menjadi satu kepribadian tunggal.

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

27

2.6 Bentuk Gangguan Identitas Disosiatif

DSM-IV-TR (The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders,

4th edition text revision) (dalam Davison, dkk, 2006: 258) diagnosis gangguan

identitas disosiatif (GID) dapat ditegakkan apabila seseorang memiliki sekurang-

kurangnya dua kondisi kepribadian yang terpisah. Menurut Nevid dkk (2005: 203)

ada empat bentuk gangguan identitas disosiatif berdasarkan beberapa kasus pasien

yang mengalami gangguan identitas disosiatif. Bentuk yang pertama ialah

kepribadian utama yang tidak menyadari hadirnya kepribadian pengganti,

kepribadian yang muncul setelah kepribadian yang melekat pada diri pelaku.

Bentuk yang kedua ialah ada satu kepribadian yang dominan dengan adanya

beberapa kepribadian yang tersisihkan. Bentuk ketiga dari gangguan identitas

disosiatif ialah kedua kepribadian yang berada dalam diri pelaku tidak saling

menyadari satu sama lain. Bentuk terakhir dari gangguan identitas disosiatif ialah

kedua kepribadian yang berada dalam diri pelaku saling bertentangan dan

bersaing untuk mendapat kontrol diri pelaku.

Pada bentuk pertama yang berupa kepribadian utama tidak menyadari hadirnya

kepribadian pengganti, kepribadian yang hadir setelah kepribadian yang melekat pada

diri pelaku. Nevid dkk (2005: 204) dan Durand (2006: 253) menyatakan bahwasanya

bentuk ini ditandai dengan adanya kegagalan dalam diri pelaku untuk mengingat

kembali informasi pribadi yang terlalu penting untuk dianggap sebagai lupa biasa.

Kegagalan dalam mengingat informasi penting dalam diri pelaku menjadikan pelaku

berkeyakinan bahwa dirinya merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak menyadari

pergantian antar kepribadian. Pada bentuk pertama ini hanya kepribadian pengganti

yang menyadari hadirnya kepribadian utama.

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

28

Pada bentuk kedua yang berupa adanya salah satu kepribadian yang

dominan dalam diri pelaku. Nevid (2005: 203) menyatakan bahwasanya hal ini

ditandai dengan adanya kecendrungan salah satu kepribadian yang menunjukkan

diri, dan sebaliknya ada kepribadian yang tersisihkan dan jarang muncul

menampakkan diri. Melihat kedua penanda tersebut, pada bentuk ini bisa

disimpulkan bahwa salah satu kepribadian mempunyai kemampuan untuk

menyisihkan kepribadian yang lain. Kepribadian dominan atau inti dan pengganti,

tentunya tetap ada penanda yang menunjukkan bahwa kepribadian yang seringkali

muncul sudah dapat diketahui bahwa kepribadian tersebut ialah kepribadian

dominan. Sedangkan kepribadian yang jarang sekali muncul merupakan

kepribadian tersisih yang dimiliki pelaku dan jarang tampak untuk

memperlihatkan diri.

Pada bentuk ketiga yang berupa kedua kepribadian tidak saling menyadari

satu sama lain. Davison (2006: 258) dan Nevid dkk (2005: 203) menyatakan

bahwasanya bentuk ini dapat ditandai dengan adanya kesenjangan ingatan atas

apa yang telah diperbuat oleh pelaku. Kemudian terjadi karena sekurang-

kurangnya semua kepribadian hanya memiliki sedikit kontak dengan kepribadian

yang lain. Pada bentuk ini semua kepribadian hanya memiliki sedikit ingatan

mengenai seperti apa kepribadian yang lain, bahkan tidak mengenali sama sekali

bahwa ia memiliki kepribadian yang berbeda. Bentuk ini tentunya melihat bahwa

tidak adanya kaitan antara kepribadian satu dengan kepribadian lainnya, sehingga

apapun pergantian setiap kepribadian tetap tidak disadari oleh diri pelaku.

Pada bentuk terakhir yang berupa kedua kepribadian bersaing untuk

mendapatkan kontrol diri pelaku. Davison (2006: 258), Nevid (2005: 204) dan

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

29

Durand (2006: 253) menyatakan bahwasanya bentuk ini ditandai dengan setiap

kepribadian yang bersifat cukup kompleks, memiliki pola perilaku, ingatan, dan

hubungan tersendiri. Masing-masing kepribadian menentukan tindakan pelaku

bila sedang memegang kendali. Biasanya masing-masing kepribadian tersebut

cukup berbeda, bahkan saling bertentangan. Bentuk kepribadian ini akan menjadi

sebuah pengendali dalam setiap memunculkan salah satu kepribadian. Oleh

karena itu, kepribadian ini akan tampak untuk memperlihatkan diri bahwa

kepribadian tersebut menarik bagi diri pelaku.

Beberapa kepribadian pengganti umumnya mencakup anak-anak dari berbagai

usia, remaja dengan jenis kelamin yang berbeda, pekerja seks komersial, serta laki-laki

homoseksual dan wanita lesbian. Menurut Nevid dkk (2005: 203) Beberapa

kepribadian dapat menunjukkan sindrom-sindrom psikis putus dari realitas yang

diekspresikan dalam bentuk halusinasi dan berpikir yang tidak sewajarnya.

2.7 Penyebab Gangguan Identitas Disosiatif

Boonn & Draijer dalam Davison dkk (2006: 258) mengemukakan jika

gangguan identitas disosiatif biasanya terjadi pada masa kanak-kanak, namun

jarang terdiagnosis hingga usia dewasa. Gangguan seperti ini dinilai Boon dan

Draijer lebih luas dibandingkan dengan gangguan disositif yang lain, dan

penyembuhannya pun kurang menyeluruh. Kartono (1981: 93) menyatakan

bahwasanya ada empat penyebab gangguan identitas disosiatif. Penyebab yang

pertama ialah adanya kelemahan sistem saraf dalam diri pelaku. Penyebab yang

kedua ialah pelaku pernah mengalami kesusahan berat. Selanjutnya, penyebab

ketiga dari gangguan identitas disosiatif ialah adanya usaha meredam keinginan

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

30

pada diri pelaku. Penyebab terakhir gangguan identitas disosiatif ialah adanya

dorongan dari kemauan yang ingin berdiri sendiri dalam diri pelaku.

Pada penyebab gangguan identitas disosiatif yang pertama yaitu kelemahan

sistem syaraf. Smeltzer dan Bare (2002: 68) menyatakan kelemahan dalam sistem

terjadi aneurisma intracranial (serebral) yang merupakan dinding arteri serebral

yang berkembang sebagai hasil dari kelemahan dinding arteri. Pecahnya

aneurisma selalu terjadi tiba-tiba, tidak selalu disertai dengan sakit kepala yang

berat dan sering kehilangan kesadaran untuk periode yang bervariasi. Baihaqi

(2005: 25) menyatakan bahwasanya kelemahan pada sistem saraf ini dapat

mempengaruhi seluruh aspek yang berhubungan dengan tingkah laku dan daya

tahan terhadap stres. Kriteria kelemahan sistem saraf ditandai dengan kurangnya

gizi pada diri pelaku, misalnya penurunan pada glukosa darah yang menyebabkan

pelaku mudah emosi. Selanjutnya penanda pada kelemahan sistem saraf ini ialah

adanya kelainan pada gen pelaku. Penanda selanjutnya ialah pelaku pernah

mengalami penyakit semisal Parkinson yang biasanya disertai dengan gejala

depresi. Kelemahan dalam sistem saraf ini juga bisa berupa lobus occipital yang

menyebabkan seseorang mendadak kasar, berilusi dan mengalami halusinasi

visual. Selain itu menurut Wade (2016: 143-144) kelemahan pada sistem saraf

juga ditandai dengan ketidakselarasan antar hemisfer kiri dan kanan, menjadikan

pelaku tidak lagi bisa berpikir rasional dan sering berhalusinasi dengan apa yang

tidak dia alami.

Penyebab gangguan identitas disosiatif yang kedua yaitu mengalami

kesusahan berat. Menurut Davison (2006: 258-262) kesusahan ini diakibatkan

oleh penyiksaan berat secara fisik atau seksual di masa kanak-kanak. Penyiksaan

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

31

tersebut mengakibatkan dissosiasi dan terbentuknya berbagai kepribadian lain

sebagai suatu cara untuk mengatasi trauma. Selain itu Baihaqi (2005: 30) juga

menjelaskan jika kesusahan ini juga ditandai dengan adanya tekanan-tekanan

dengan apa yang tidak disukai oleh pelaku. Tekanan ini membuat pelaku menjadi

sengsara dan terkekang seperti hubungan orangtua dan anak yang tidak harmonis,

stress berat yang datang berturut-turut dan kurangnya perhatian ibu kepada

anaknya. Sedangkan menurut Durand (2006: 257) kesusahan itu tidak semata-

mata disebab oleh penyiksaan yang didapatkan pelaku. Kesusahan itu bisa berupa

kenangan pahit yang pernah dialami pelaku, seperti melihat melihat ibu dan

bapaknya meninggal saat menginjak ranjau di medan perang. Kejadian yang

menyayat hati diyakini Durand sebagai penanda penyebab gangguan identitas

disosiatif berupa mengalami kesusahan besar.

Penyebab gangguan identitas disosiatif yang ketiga ialah usaha pelaku

dalam meredam keinginan meredam keinginan. Hal ini menurut Kartono (1981:

93) ditandai dengan kegagalan pelaku untuk mewujudkan apa yang diinginkan

sebab terhalang oleh keadaan, si pelaku pun tidak mempunyai kesempatan untuk

mencapai apa yang diinginkannya. Keadaan itu membuat pelaku selalu berandai-

andai bisa memiliki sesuatu yang dinginkan tersebut. Pada akhirnya

kecendrungan-kecendurungan tersebut dimasukkan ke dalam sifat beberapa

kepribadian dan tidak terkendali.

Penyebab gangguan disosiatif terakhir ialah dorongan untuk berdiri sendiri

secara liar. Kartono (1981: 93) menyatakan bahwasanya hal ini ditandai dengan

fungsi kemauan itu yang merupakan keinginan dari kepribadian berbeda,

kemudian dia berkonflik dengan fungsi-fungsi bagian kemauan yang tadi.

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/35980/3/jiptummpp-gdl-amaldaalif-49164-3-babii(-).pdf · Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang

32

Sehingga dorongan-dorongan kemauan ini masing-masing sudah berdiri sendiri.

Maka terjadilah perpecahan pribadi, pribadi majemuk atau kepribadian ganda.

Teori ini juga diutarakan Spanos (dalam Davison dkk, 2006: 264) yang

menyatakan bahwa orang dengan gangguan identitas disosiatuf ini memiliki

kemampuan dalam berfantasi kehidupan dan sering membayangkan bahwa

mereka adalah orang lain bukan dirinya sendiri.