bab ii landasan teori ii.1 dasar-dasar perpajakan ii.1.1...
TRANSCRIPT
6
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Dasar-dasar Perpajakan
II.1.1 Definisi dan Ciri Pajak
Pajak adalah iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib
pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa
yang dapat ditunjuk secara langsung (dapat dipaksakan dengan tiada mendapat jasa
timbal balik yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai
pengeluaran umum).
Sedangkan pengertian pajak menurut beberapa ahli seperti pendapat Prof Dr
Adriani yang dikutip kembali oleh buku karangan Brotodihardjo (2001), definisi pajak
adalah: “Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terhutang wajib
membayarnya menurut peraturan-peraturan yang tidak mendapat prestasi kembali, dapat
langsung ditunjuk dan gunanya untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan tugas
negara untuk menyelenggarakan pemerintahan” (h.2).
Dan menurut Prof. DR. Rachmat Sumitro,SH, yang dikutip dari buku karangan
Mardiasmo (2008), pajak didefinisikan sebagai berikut: “Pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum” (h.1).
Berdasarkan beberapa pengertian pajak di atas, maka dapat disimpulkan ciri-ciri
pajak sebagai berikut:
7
1. Iuran / pungutan
Pajak merupakan iuran rakyat kepada negara, yang dipungut baik oleh pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah.
2. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang
Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 Pasal 23A yang menyatakan
"pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dalam undang-undang".
3. Pajak dapat dipaksakan
Undang-undang memberikan wewenang kepada fiskus untuk memaksa WP agar
mematuhi dan melaksanakan kewajiban perpajakannya. Karena menurut undang
undang dan sanksi pidana fiskal serta sanksi administratif yang khususnya diatur
oleh Undang-Undang No 19 Tahun 2000, adalah termasuk wewenang dari
perpajakan untuk mengadakan penyitaan terhadap harta bergerak/ tetap wajib
pajak, apabila Wajib Pajak tidak melunasi hutang sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Dalam hukum pajak Indonesia dikenal lembaga sandera yaitu wajib
pajak yang pada dasarnya mampu membayar pajak namun selalu menghindari
pembayaran pajak dengan berbagai dalih, maka fiskus dapat menyandera WP
dengan memasukkannya ke dalam penjara.
4. Tidak menerima kontra prestasi
Ciri khas pajak dibanding dengan jenis pungutan lainnya adalah wajib pajak (tax
payer) tidak menerima jasa timbal yang dapat ditunjuk secara langsung dari
pemerintah.
8
5. Untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah
Pajak yang dipungut tidak pernah ditujukan untuk biaya khusus, dipandang dari
segi hukum maka pajak akan terutang apabila memenuhi syarat subjektif dan
syarat objektif .
Syarat objektif adalah syarat yang berhubungan dengan objek pajak
misalnya adanya penghasilan atau penyerahan barang kena pajak. Sedangkan
syarat subjektif adalah syarat yang berhubungan dengan subjek pajak , apakah
orang pribadi atau badan.
II.1.2 Fungsi Pajak
Fungsi pajak terdiri dari :
1. Fungsi anggaran (budgetair)
Fungsi anggaran merupakan fungsi utama pajak dimana pajak dipergunakan
sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan
undang-undang perpajakan yang berlaku. Yang dimaksud dengan memasukkan
dana secara optimal adalah sebagai berikut:
a. Jangan sampai ada wajib pajak/subjek pajak yang tidak membayar kewajiban
pajaknya.
b. Jangan sampai wajib pajak tidak melaporkan objek pajak kepada fiskus.
c. Jangan sampai ada objek pajak dari pengamatan dan perhitungan fiskus yang
terlepas.
Dengan demikian maka optimalisasi pemasukan dana ke kas negara tercipta atas
usaha wajib pajak dan fiskus.
9
2. Fungsi mengatur (regulerend)
Fungsi mengatur dipergunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai
tujuan tertentu, dan sebagai fungsi tambahan karena fungsi ini hanya sebagai
pelengkap dari fungsi utama pajak. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pajak
dipakai sebagai alat kebijakan, misalnya pajak atas minuman keras ditinggikan
untuk mengurangi konsumsi minuman keras tersebut.
II.1.3 Pengelompokkan Pajak
Waluyo, (2006), mengemukakan bahwa pajak dapat dikelompokkan menjadi
beberapa kelompok, yaitu:
1. Berdasarkan pihak yang menarik pajak :
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat (dalam hal ini
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak) guna membiayai rumah tangga
pemerintahan pusat dan tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Besaran pajak pusat ditetapkan melalui undang-undang dan
PP/Perpu.
Jenis-Jenis Pajak Pusat :
- Pajak Penghasilan (PPh).
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
- Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
- Dll.
b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah (dalam hal
ini dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah / Dispenda) yang digunakan
untuk membiayai rumah tangga pemerintah daerah dan tercantum dalam
10
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Besaran dan bentuk pajak
daerah ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda).
Contoh Pajak Daerah:
- Pajak Kendaraan Bermotor.
- Bea Balik Nama atas Kendaraan Bermotor.
- Pajak Restoran.
- Pajak Hotel.
- Dll.
2. Berdasarkan cara pembebanan pajak :
a. Pajak langsung adalah pajak yang dikenakan kepada wajib pajak setelah
muncul atau terbit Surat Pemberitahuan / SPT Pajak yang dikenakan berulang-
ulang kali dalam jangka waktu tertentu. Contoh dari pajak langsung adalah
pajak penghasilan (PPh), pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak penerangan
jalan, pajak kendaraan bermotor, dan lain sebagainya.
b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang dikenakan kepada wajib pajak pada
saat tertentu / terjadi suatu peristiwa kena pajak seperti misalnya pajak
pertambahan nilai (PPN), pajak bea balik nama kendaraan bermotor
(BBNKB), dan lain-lain.
3. Menurut sifatnya :
a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang bersumber pada subjeknya, dalam arti
memperhatikan subjek diri wajib pajak.
b. Pajak objektif, yaitu pajak yang tidak memperhatikan diri wajib pajak atau
bersumber pada keadaan objek tertentu.
11
II.1.4 Asas Pemungutan Pajak
Mardiasmo, (2008), mengemukakan bahwa salah satu asas pemungutan pajak
adalah asas domisili, yaitu asas mengenai pengenaan pajak yang menentukan bahwa
negara tempat Wajib Pajak bertempat tinggal atau berkedudukan lebih berhak
mengenakan pajak atas hasil-hasil yang diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang berasal
dari sumber di mana saja sumber itu ada, baik sumber itu berada di dalam negeri maupun
di luar negeri.
Selain asas domilisi, terdapat satu asas lagi yang berlaku dalam UU PPh 1984 dan
diterima secara global, yaitu asal sumber. Yurisdiksi sumber Indonesia mendasarkan
kepada dua unsur, yaitu menjalankan suatu aktivitas ekonomi secara signifikan, dan
menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari negara tersebut.
Menurut asas sumber, negara tempat sumber itu terletak, lebih berhak
mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu, tak pandang dimana orang yang
memiliki sumber itu berada (di luar negeri yang mengenakan pajak). Siapapun, orang
pribadi atau badan, yang menerima atau memperoleh penghasilan, baik penghasilan dari
usaha (active income) atau penghasilan dari modal (passive income), dari Indonesia dapat
dikenakan Pajak Penghasilan. Dasar hukum asas ini adalah Pasal 2 ayat (4) UU PPh
1984.
II.1.5 Sistem Pemungutan Pajak
Sistem Pemungutan Pajak menurut Mardiasmo (2008), dibedakan menjadi:
12
1. Self Assessment System
Adalah suatu sistem perpajakan yang memberikan kepercayaan kepada Wajib
Pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak
perpajakannya. Dalam hal ini dikenal 5M, yakni mendaftarkan diri di KPP untuk
mendapatkan NPWP, menghitung dan atau memperhitungkan sendiri jumlah
pajak yang terutang, menyetor pajak tersebut ke bank persepsi/kantor giro pos dan
melaporkan penyetoran tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak, serta terutama
menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang melalui pengisian SPT dengan
baik dan benar.
2. Official assessment system
Suatu sistem perpajakan yang mana inisiatif untuk memenuhi kewajiban
perpajakan berada di pihak fiskus. Dalam sistem ini, fiskuslah yang aktif sejak
dari mencari wajib pajak untuk diberikan NPWP, sampai kepada penetapan
jumlah pajak yang terutang melalui penerbitan SKP.
3. Witholding Tax System
Suatu sistem perpajakan dimana pihak tertentu (pihak ketiga) mendapat tugas dan
kepercayaan dari undang-undang perpajakan untuk memotong atau memungut
suatu prosentase tertentu (misalnya 20%, 10% atau 5%) terhadap jumlah
pembayaran atau transaksi yang dilakukannya dengan penerima penghasilan.
13
II.1.6 Tax Avoidance dan Tax Evasion
Sebagai perusahaan yang berorientasi laba, suatu perusahaan domestik maupun
perusahaan multinasional berusaha meminimalkan beban pajak dengan cara
memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari suatu negara.
1. Tax Avoidance, adalah Wajib Pajak melakukan penghindaran pajak dengan cara
menuruti aturan pajak yang berlaku (sifatnya legal dan diperbolehkan). Tax
avoidance biasanya diartikan sebagai suatu skema transaksi yang ditujukan untuk
meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan- kelemahan
(loophole) ketentuan perpajakan suatu negara. Sedangkan tax planning adalah upaya
Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yang terutang melalui skema yang memang
telah jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan dan sifatnya tidak
menimbulkan dispute antara wajib pajak dengan otoritas pajak.
2. Tax Evasion, adalah Wajib Pajak melakukan penghindaran pajak dengan cara
melanggar Undang-Undang Perpajakan sehingga penerimaan negara dirugikan.
Dalam hal ini WP telah melakukan penyelundupan atau pelanggaran pajak yang
tentunya sudah tidak diperkenankan oleh negara (sifatnya ilegal). Tax evasion sendiri
diartikan sebagai suatu skema memperkecil pajak yang terutang dengan cara
melanggar ketentuan perpajakan (ilegal) denganb cara tidak melaporkan sebagian
penjualan atau memperbesar biaya dengan cara fiktif.
II.2 Pajak Penghasilan Pasal 25
II.2.1 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 25
14
Pajak Penghasilan (disingkat PPh) dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam satu
periode tertentu yang dinamakan tahun pajak. Berdasarkan hal ini, maka perhitungan dan
penghitungan PPh dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam SPT Tahunan. Nah,
karena penghitungan PPh dilakukan setahun sekali, maka penghitungan ini harus
dilakukan setelah satu tahun tersebut berakhir agar semua data penghasilan dalam satu
tahun sudah diketahui. Untuk perusahaan, tentu saja data penghasilan ini harus menunggu
laporan keuangan selesai dibuat.
Dengan cara seperti itu tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar baru
dapat diketahui ketika suatu tahun pajak telah berakhir. Agar pembayaran pajak tidak
dilakukan sekaligus yang tentunya akan memberatkan, maka dibuatlah mekanisme
pembayaran pajak di muka atau pembayaran cicilan setiap bulan. Pembayaran angsuran
atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25.
Mengacu pada pendapat Mardiasmo (2001) pengertian Pajak Penghasilan Pasal
25 dapat dikemukakan sebagai pelunasan atau angsuran pajak tentang perhitungan
besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun
berjalan.
II.2.2 Subjek Pajak dan Objek Pajak
Mengacu pada Mulyono (2007), pengertian Subjek Pajak adalah orang pribadi,
warisan, atau badan termasuk bentuk usaha tetap (BUT) baik yang berada di dalam negeri
maupun berada di luar negeri yang mempunyai atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia. Subjek Pajak dapat dibedakan menjadi:
15
1. Subjek Pajak dalam negeri, adalah orang pribadi atau badan yang bertempat
tinggal atau yang bertempat kedudukan di dalam Indonesia yang dapat menerima
atau memperoleh penghasilan dari Indonesia atau luar Indonesia, baik melalui
ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap (BUT) di luar negeri dan juga warisan
yang belum terbagi.
Subjek Pajak dalam negeri terdiri dari:
a. Orang Pribadi, yang terbagi atas:
- Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia dimulai pada saat ia
lahir di Indonesia.
- Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi berakhir pada saat ia meninggal
dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
b. Badan
Adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha. Kewajiban pajak
subjektif badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dimulai
pada saat badan didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir
pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
c. Warisan Yang Belum Terbagi
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek
pajak pengganti. Adapun pihak yang digantikan adalah mereka yang berhak,
16
yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak
pengganti bukannya tanpa alasan. Hal ini dimaksudkan agar pengenaan pajak
atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dilaksanakan.
Warisan menjadi subjek pajak dalam negeri apabila warisan yang
ditinggalkan oleh subjek pajak dalam negeri tersebut belum terbagi dan
menggantikan kewajiban pewaris sampai warisan tersebut dibagi.
2. Subjek Pajak luar negeri
Adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat
kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap (BUT).
Subjek pajak luar negeri terdiri dari :
a. Orang pribadi bukan BUT
b. Badan bukan BUT
c. BUT, adalah suatu tempat usaha di mana seluruh atau sebagian usaha dari
suatu perusahaan dijalankan oleh subjek pajak luar negeri. BUT adalah suatu
sarana bagi nonresident taxpayer untuk melakukan bisnis di negara lain, yang
berupa agen, perwakilan dagang, cabang atau anak perusahaan. BUT dapat
berupa orang pribadi atau badan usaha. BUT sebagai subjek pajak luar negeri
dapat berbentuk seperti :
- Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal dan berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 hari.
- Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
17
Keduanya yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia
melalui suatu bentuk usaha tetap. BUT termasuk subjek pajak luar negeri yang
tidak bertempat kedudukan di Indonesia dan berciri seperti berikut ini :
- Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha di Indonesia.
- Dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Sebagai Subjek Pajak, orang pribadi, badan, warisan belum terbagi dan BUT
sudah mempunyai kewajiban dalam pemenuhan perpajakan. Kewajiban ini lebih
dikenal sebagai kewajiban subjektif, atau kewajiban perpajakan terkait dengan
Subjek Pajak tersebut. Kewajiban perpajakan tersebut antara lain menghitung dan
memperhitungkan, memotong, memungut, membayar dan membayarkan serta
melapor dan melaporkan pajak yang terhutang padanya atau yang terhutang pihak
lain yang harus dipotong atau dipungut.
Selain jenis-jenis subjek pajak diatas, maka yang tidak termasuk subjek pajak
adalah badan perwakilan negara asing dan pejabat perwakilan diplomatik serta organisasi
internasional lainnya.
Mengacu pada Mulyono (2007), Objek Pajak penghasilan adalah penghasilan,
yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak
baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama
dan dalam bentuk apapun.
Pengenaan PPh tidak semuanya dikenakan dari Objek Pajak yang sudah berupa
penghasilan, tetapi dengan berbagai alasan seperti kemudahan, kepraktisan atau alasan
18
adanya kemampuan maka pengenaan PPh dapat dikenakan pada saat terjadinya transaksi
penjualan bahkan pada saat terjadinya transaksi pembelian.
II.2.3 Tarif Pajak Penghasilan Badan
Tarif Pajak Penghasilan secara umum (disebut juga tarif Pasal 17) diterapkan atas
Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT untuk menghitung Pajak
Penghasilan terutang dalam satu tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak. Tarif umum
ini dibedakan untuk Wajib Pajak badan dalam negeri/BUT dan Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri.
Dengan Peraturan Pemerintah dapat diterapkan tarif pajak tersendiri yang dapat
bersifat final atas Penghasilan Tertentu yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan
Pasal 4 Ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan. Besarnya tarif khusus ini tidak boleh
melebihi tarif umum pajak tertinggi berdasarkan Pasal 17 Ayat (1). Penentuan tarif pajak
tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan dan pemerataan
dalam pengenaan pajak.
Berdasarkan Undang-undang No.17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga
Undang-undang Pajak Penghasilan yang mulai berlaku untuk tahun pajak 2001.
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak badan
dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap adalah sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp50.000.000,00 10% Di atas Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp100.000.000,00 15% Di atas Rp100.000.000,00 30%
19
Dan sebagaimana telah dirubah pada UU No.36 Tahun 2008 mengenai tarif PPh,
yaitu pada PPh Badan:
1. Pasal 17(1b)
Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua
puluh delapan persen).
2. Pasal 17(2)
Tarif tertinggi tersebut diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima
persen) yang diatur dengan PP yang mulai berlaku sejak tahun 2010.
3. Pasal 17(2b)
WP badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit
40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu
lainnya dapat memperoleh tarif 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif
diatas.
II.2.4 Pelunasan Atas PPh Terhutang
Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. Undang-undang
Pajak Penghasilan menentukan pelunasan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak dapat
dilakukan melalui dua cara yaitu :
1. Pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan.
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan dilakukan oleh Wajib Pajak
melalui pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain dan melalui
20
pembayaran pajak yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak. Pelunasan pajak
dalam tahun berjalan tersebut merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan
terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan,
kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.
2. Pelunasan Pajak Penghasilan pada akhir tahun pajak.
Pelunasan Pajak Penghasilan pada akhir tahun pajak dilakukan melalui
mekanisme penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan yang merupakan
penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang, yang telah dipotong/dipungut oleh
pihak lain maupun yang telah dibayar sendiri, dan jumlah Pajak Penghasilan yang
masih harus dibayar untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
Pelunasan pajak melalui pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain dan
pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri pada hakekatnya merupakan dua cara
pemenuhan kewajiban pembayaran yang berjalan bersama dan saling melengkapi.
II.2.5 Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan.
Pajak Penghasilan yang dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan
merupakan pelunasan/pembayaran atas perkiraan Pajak Penghasilan yang akan terutang
dalam suatu tahun pajak. Pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan dilakukan oleh
Wajib Pajak melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain maupun
pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri
Pelunasan pajak dalam tahun berjalan terdiri atas :
21
1. Pelunasan melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain yang dapat terdiri
atas PPh Pasal 4 ayat (2) Final, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 24
serta dalam hal-hal tertentu PPh Pasal 26.
2. Pelunasan dengan cara dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dapat berupa Cicilan PPh
Pasal 25, STP PPh Pasal 25. Fiskal Luar Negeri, dan Pajak atas Pengalihan Hak
atas Tanah dan Bangunan.
Mekanisme pelunasan ini dimaksudkan agar pelunasan pajak dalam tahun
berjalan mendekati jumlah pajak yang akan terhutang untuk tahun yang bersangkutan.
Pada dasarnya pelunasan pajak dalam tahun berjalan dilakukan untuk setiap bulan,
namun Menteri Keuangan dapat menentukan masa lain, seperti dilakukannya transaksi
atau saat diperolehnya penghasilan, sehingga pelunasan dalam tahun berjalan dapat
dilaksanakan dengan baik.
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan merupakan angsuran
pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun
pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat
final. Dengan pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, pengenaan pajak
yang tepat waktu, dan pertimbangan lainnya, maka Undang-undang Pajak Penghasilan
menentukan bahwa pelunasan pajak penghasilan dalam tahun berjalan dapat bersifat final
untuk jenis-jenis penghasilan tertentu. Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut tidak
dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang.
II.2.6 Pelunasan Pajak Penghasilan Pada Akhir Tahun.
Pada akhir tahun pajak, atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak selama tahun pajak yang bersangkutan harus dihitung Pajak Penghasilan
22
yang terutang. Pajak Penghasilan yang harus dilunasi pada akhir tahun pajak dihitung
dengan cara : Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan (yang merupakan
objek pajak) selama tahun pajak yang bersangkutan dikurangi dengan Kredit Pajak yaitu
Pajak Penghasilan yang dilunasi dalam tahun pajak berjalan baik yang dibayar sendiri
maupun yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain.
Hasil penghitungan Pajak Penghasilan pada akhir tahun tersebut, dapat
mengakibatkan kurang bayar atau lebih bayar, sebagai berikut :
1. Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari
jumlah kredit pajak (Pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan), maka setelah
dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah
diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya.
2. Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar dari
kredit pajak (Pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan), maka kekurangan pajak
yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya pada tanggal 25 bulan ketiga
setelah tahun pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan
disampaikan.
II.2.7 Pajak Yang Dipotong dan Dipungut Pihak Lain.
Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain mempunyai 2
(dua) macam sifat, yaitu :
1. Pajak Penghasilan yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain merupakan
kredit pajak, artinya dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang
23
untuk tahun pajak yang bersangkutan, yaitu tahun pajak yang sama dengan tahun
yang tercantum dalam bukti pemotongan atau pemungutan.
2. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain bersifat final, artinya tidak
dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang.
Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain pada dasarnya
mempunyai 2 (dua) tujuan, yaitu :
1. Mengamankan penerimaan negara berupa Pajak Penghasilan atas jenis-jenis
penghasilan yang dikenakan pemotongan atau pemungutan PPh berdasarkan
ketentuan Pasal 22, Pasal 23, Undang-undang Pajak Penghasilan.
2. Untuk memperoleh informasi/data yang berhubungan dengan Wajib Pajak, dalam
rangka menciptakan sistem informasi perpajakan yang memadai, guna mengawasi
pelaksanaan “self asessment system” sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan perpajakan.
II.3 Laporan Keuangan
Laporan keuangan adalah catatan informasi keuangan suatu perusahaan pada
suatu periode akuntansi yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja perusahaan
tersebut. Laporan keuangan adalah bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan
keuangan yang lengkap biasanya meliputi :
• Laporan neraca
• Laporan laba/rugi
• Laporan Perubahan Ekuitas
• Laporan perubahan posisi keuangan yang dapat disajikan berupa Laporan arus kas
atau Laporan arus dana
24
• Catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral
dari laporan keuangan
Unsur yang berkaitan secara langsung dengan pengukuran posisi keuangan adalah
aktiva, kewajiban,dan ekuitas. Sedangkan unsur yang berkaitan dengan pengukuran
kinereja dalam laporan laba rugi adalah penghasilan dan beban. Laporan posisi keuangan
biasanya mencerminkan berbagai unsur laporan laba rugi dan perubahan dalam berbagai
unsur neraca.
Laporan keuangan yang pada umumnya terdiri dari 2 macam, yaitu Laporan
Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal. Pada laporan keuangan komersial
biaya boleh dibebankan tanpa ada batasan sepanjang sesuai dengan prinsip akuntansi.
Sedangkan pada laporan keuangan fiskal disamping harus sesuai dengan prinsip
akuntansi juga harus sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
II.3.1 Laporan Keuangan Komersial
Laporan keuangan komersial adalah laporan keuangan yang menyajikan informasi
tentang keadaan yang terjadi selama periode tertentu bagi manajemen atau pihak-pihak
lain yang berkepentingan dengan tujuan menilai kondisi dan kinerja perusahaan yang
disusun dan disajikan berdasarkan SAK.
II.3.2 Laporan Keuangan Fiskal
Laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun sesuai peraturan
perpajakan dan digunakan untuk keperluan perhitungan pajak. Undang-Undang Pajak
25
tidak mengatur secara khusus bentuk dari laporan keuangan, hanya memberikan
pembatasan untuk hal-hal tertentu, baik dalam pengakuan penghasilan maupun biaya.
II.3.3 Biaya Dan Pengurangan
Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Oleh Wajib Pajak dapat dibedakan
antara pengeluaran yang boleh dibebankan sebagai biaya (deductible expense) dan
pengeluaran yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya (non-deductible expense). Biaya
yang boleh dikurangkan pada dasarnya adalah biaya yang berhubungan dengan
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, kecuali penghasilan yang bersifat
final dan penghasilan yang bukan objek pajak. Selain itu pengeluaran dan biaya yang
tidak dapat dikurangkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak menurut PP
No.138/2000 atau ditentukan lain dalam peraturan perpajakan.
II.3.4 Biaya Yang Dapat Dikurangkan
1. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya
pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah,
gaji, honorium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk
uang, bunga, sewa, royalty, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi
asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan.
2. Penyusutan atas pengeluaran memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal
11A.
26
3. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan.
5. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing.
6. Biaya penelitian dan pengembengan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
7. Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan.
8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:
a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam Laporan Laba Rugi Komersial.
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak.
c. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
Instansi Pemerintah yang menangani piutang negara atau adanya perjanjian
tertulis mengenai penghapusan piutang / pembebasan utang antara kreditur
dan debitur yang bersangkutan, atau telah dipublikasikan dalam penertiban
umum atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
Syarat sebagaimana dimaksud pada point ke 3(tiga) tidak berlaku
untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4 ayat (1) huruf k. Pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
27
9. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan yang antara pemberi dan
penerimanya memiliki hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan.
10. Zakat atas penghasilan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 38
tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
11. Biaya sesuai dengan Kep. Dirjen Pajak No 220/PJ/2002 :
a. 50% dari biaya pemakaian telepon seluler yang meliputi beban penyusutan,
biaya berlangganan/pengisian ulang pulsa dan biaya lainnya sehubungan
dengan pengeluaran atas pemakainan telepon seluler.
b. 50% dari biaya pemakaian kendaraan sedan, yang meliputi beban penyusutan
dan biaya pemeliharaan / perbaikan rutin.
Tambahan biaya yang dapat dikurangkan Pada UU No.36 Tahun 2008 :
1. Pasal 6 ayat (1) huruf i
Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pasal 6 ayat (1) huruf j
Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
3. Pasal 6 ayat (1) huruf k
Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
4. Pasal 6 ayat (1) huruf l
Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
28
5. Pasal 6 ayat (1) huruf m
Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
II.3.5 Biaya Yang Tidak Dapat Dikurangkan
1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk
dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi.
2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu, atau anggota.
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak
tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk
usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang
ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna,
dan asuransi bea siswa yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika
dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi
Wajib Pajak yang bersangkutan.
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman
bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan
kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
29
6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan.
7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas
penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi
pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki
oleh pemeluk agama Islam kepada badan amal zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
8. Pajak Penghasilan
9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak
atau orang yang menjadi tanggungannya.
10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persukutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan dibidang
perpajakan.
12. Biaya – biaya sesuai dengan PP No.138 Tahun 2000 :
a. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pasal 9
ayat (8) huruf f dan g UU PPN sepanjang tidak dapat dibuktikan benar telah
dibayar.
30
b. Pajak Masukan berkenaan dengan pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan
dalam menentukan besarnya penghasilan kena pajak sebagaimana pasal 9 (1)
UU PPh.
c. PPh yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali : PPh Pasal 26, tetapi
tidak termasuk dividen, sepanjang PPh tersebut ditambahkan dalam
perhitungan dasar untuk pemotongan pajak.
d. Kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki dan tidak dipergunakan
dalam usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang merupakan objek pajak
e. Nilai sisa buku harta yang dialihkan kepada pegawainya.
f. SE Dirjen Pajak No 20/PJ.42/1994 : Bunga pinjaman selama masa konstruksi
yang tidak dikapitalisir menjadi komponen harga pokok atau harga perolehan
asset.
g. SE Dirjen Pajak N0 27/PJ.42/1986 : Biaya entertainment / jamuan dan
sejenisnya sepanjang tidak ada hubungannya dengan kegiatan usaha WP dan
tidak dibuatkan daftar nominatifnya dan dilampirkan pada SPT tahunan PPh.
h. SE Dirjen Pajak No. 46/PJ.45/1995 : Biaya bunga pinjaman yang tidak dapat
sepenuhnya dijadikan sebagai pengurang penghasilan neto. Hal ini disebabkan
karena Wajib Pajak pada saat meminjam uang kepada pihak lain, ternyata
uang dari hasil pinjaman tadi tidak digunakan sepenuhnya untuk kegiatan
usaha, tetapi ditempatkan dalam bentuk deposito atau tabungan.
Tambahan biaya yang tidak dapat dikurangkan Pada UU PPh No. 36 Tahun 2008
sebagai berikut:
31
1. Pasal 9 ayat (1) huruf c
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali :
a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang.
b. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
c. Cadangan penjamin untuk Lembaga Penjamin Simpanan.
d. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan.
e. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan.
f. Cadangan biaya penutupan dan pemelihara tempat pembuangan limbah
industri untuk usaha pengolahan limbah industri untuk usaha pengolahan
industri.
II.4 Penyusutan Dan Amortisasi
II.4.1 Pengantar
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2004) memberikan penjelasan mengenai
penyusutan adalah : “ Alokasi jumlah suatu aktiva yang dapat disusutkan sepanjang masa
manfaat yang diestimasi. Penyusutan untuk periode akuntansi dibebankan kependapatan
baik secara langsung maupun tidak langsung.”
Undang-Undang No.7 Tahun 1983 jo UU No.14 Tahun 1994 jo UU No.17 Tahun
2000 Pasal 9 ayat (2) menetapkan bahwa : “Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
32
tidak boleh untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan memalalui penyusutuan
atau amortisasi.”
II.4.2 Penyusutan
Untuk pembebanan atas pengeluaran yang masa manfaatnya lebih dari 1 (satu)
tahun yang berkaitan dengan pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan,
perbaikan, atau perubahan aktiva tetap berwujud yang dimiliki dan digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan kecuali tanah yang berstatus hak
milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai.
Aktiva tetap adalah aktiva berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau
dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam operasi perusahaan, tidak dimaksudkan
untuk dijual dalam rangka kegiatan normal perusahaan dan mempunyai masa manfaat
labih dari satu tahun.
Penentuan harga perolehan disamping nilai pembelian dimasukkan juga biaya-
biaya perolehan : bea impor, Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan, setiap biaya
yang dapat diatribusikan secara langsung sampai aktiva siap digunakan, termasuk : Initial
delivery, installation cost, biaya persiapan tempat, biaya professional (arsitek, insinyur,
dsb), sedang potongan harga atau rabat mengurangi harga perolehan.
II.4.3 Harta Berwujud Yang Tidak Dapat Disusutkan
Harta berwujud yang menurut akuntansi dapat disusutkan, tetapi menurut PPh
tidak dapat disusutkan adalah :
33
1. Aktiva yang merupakan natura dan kenikmatan bagi pegawai (rumah dinas),
kecuali :
• Hand Phone dan sedan (dinas) bisa disusutkan dengan pengakuan 50% dari
harga perolehannya.
• Kendaraan untuk antar jemput pegawai.
2. Aktiva yang masih status SGU (leasing) dengan Hak Opsi.
3. Harta yang dimiliki WP yang tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih,
memelihara penghasilan obyek PPh.
Pengeluaran – pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah
berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai yang pertama kali (termasuk
pengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang) tidak dapat disusutkan,
kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan untuk perusahaan atau dimiliki untuk
memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang maka tanah
tersebut dapat disusutkan, misalnya tanah yang dipergunakan untuk perusahaan genteng,
perusahaan keramik, atau perusahaan batu bata.
Perlakuan penyusutan untuk tanah ini sama dengan perlakuan untuk akuntansi
komersial. Sedangkan biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak
pakai tidak dihitung penyusutannya tetapi diamortasikan selama jangka waktu hak-hak
tersebut.
II.4.4 Metode Penyusutan
Metode penyusutan yang diperbolehkan secara fiskal adalah :
34
1. Metode Garis Lurus (Straight Line Method)
Metode ini menghitung penyusutan dilakukan dengan mengitung besaran %
(persentase) yang sama pada masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta atau
aktiva tersebut.
2. Metode Saldo Menurun (Double Declining Balance Method)
Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud selain bangunan, dapat juga
dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang
dihitung dengan cara mengalikan besaran % (persentase) penyusutan dengan
saldo nilai buku aktiva tersebut, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku di
susutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
Berikut ini adalah tabel penyusutan :
Kelompok Harta
Berwujud
Masa
Manfaat
Tarif Penyusutan
Garis Lurus Saldo Menurun
I. Bukan Bangunan:
Kelompok 1 4 Tahun 25 % 50 %
Kelompok 2 8 Tahun 12.5 % 25 %
Kelompok 3 16 Tahun 6.25% 12.5%
Kelompok 4 20 Tahun 5 % 10 %
II. Bangunan
Permanen 20 Tahun 5 %
Tidak Permanen 10 Tahun 10%
Tabel II.4.5: Tabel Penyusutan
II.4.5 Saat Dimulainya Penyusutan
Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta
yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya
35
pengerjaan harta tersebut. Sehingga Penyusutan pada tahun pertama dihitung secara pro
rata.
Dengan persetujuan Direktur Jendral Pajak, Wajib Pajak diperkenankan
melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai
menghasilkan (yang dimaksud mulai menghasilkan adalah saat digunakan untuk
produksi).
Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 19 UU PPh, maka dasar penyusutan atas aktiva
adalah nilai setelah dilakukan revaluasi aktiva tersebut.
II.4.6 Amortisasi
Pada dasarnya amortisasi sama dengan penyusutan, tetapi beban amortisasi
dilakukan terhadap pengurangan nilai terhadap aktiva tidak berwujud yang digunakan
untuk kegiatan usaha. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud
dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna
usaha, dan hak pakai yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun yang
dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara Penghasilan.
Untuk menghitung amortisasi, Wajib Pajak dapat menggunakan metode garis
lurus dan saldo menurun. Apabila menggunakan saldo menurun, maka ditahun terakhir
dari masa manfaat akan diamortisasi sekaligus.
Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan
sebagai berikut:
36
Kelompok Tak
Berwujud
Masa
Manfaat
Tarif Amortisasi
Garis Lurus Saldo Menurun
Kelompok 1 4 Tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 Tahun 12.5% 25%
Kelompok 3 16 Tahun 6.25% 12.5%
Kelompok 4 20 Tahun 5% 10%
Tabel II.4.6: Tabel Amortisasi
II.5 Rekonsiliasi Fiskal
II.5.1 Pengertian
Rekonsiliasi (koreksi) fiskal adalah proses penyesuaian atas laba komersil yang
berbeda dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan penghasilan netto/laba yang sesuai
dengan ketentuan pajak.
Rekonsiliasi fiskal pada hakikatnya adalah merupakan proses untuk mendapatkan
angka laba fiskal atau laba kena pajak dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian
terhadap laba komersial atau laporan rugi laba. Proses rekonsiliasi fiskal ini umumnya
dilakukan oleh Wajib Pajak yang berbentuk perusahaan.
Adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya antara akuntansi komersial
dan fiskal menimbulkan perbedaan dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan kepentingan antara akuntansi komersil yang
mendasarkan laba pada konsep dasar akuntansi yaitu penandingan antara pendapatan
dengan biaya-biaya, sedangkan dari segi fiskal tujuan utamanya adalah penerimaan
negara.
Dalam penyusunan laporan keuangang fiskal, Wajib Pajak harus mengacu kepada
peraturan perpajakan, sehingga laporan keuangan komersial yang dibuat berdasarkan
37
SAK harus disesuaikan atau dibuat koreksi fiskalnya terlebih dahulu sebelum menghitung
besarnya penghasilan kena pajak.
II.5.2 Beda Waktu dan Beda Tetap
Perbedaan antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal
dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu perbedaan waktu dan perbedaan tetap/permanen.
1. Beda Waktu, merupakan perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan yang
sifatnya temporer. Artinya, secara keseluruhan beban atau pendapatan akuntansi
maupun perpajakan sebenarnya sama, tetapi berbeda alokasi setiap tahunnya.
Beda Waktu adalah perbedaan waktu pengakuan pendapatan dan beban tertentu
menurut akuntansi (ekonomi perusahaan) dengan ketentuan perpajakan.
Perbedaan ini mengakibatkan penggeseran pengakuan penghasilan dan biaya
antara satu tahun pajak ke tahun pajak lainnya.
Beda waktu biasanya timbuk karena perbedaan metode yang dipakai antara pajak
dengan akuntansi dalam hal:
a. Akrual dan realisasi.
b. Penyusutan dan amortisasi.
c. Penilaian persediaan.
d. Kompensasi kerugian fiskal.
Contoh-contoh yang dapat menimbulkan beda waktu adalah
a. Perbedaan cara penyusutan atas harta yang sama menghasilkan perbedaan
besarnya penyusutan.
b. Metode pengakuan terhadap piutang usaha.
38
c. Metode pengakuan terhadap persediaan.
d. Metode pengakuan terhadap pengakuan penghasilan dan biaya atas proyek
jangka panjang.
e. Metode pengakuan terhadap efek.
f. Metode pengakuan terhadap biaya sebelum produksi komersial.
2. Beda Tetap/Permanen, terjadi karena adanya perbedaan pengakuan penghasilan
dan biaya menurut akuntansi dengan menurut pajak, yaitu adanya penghasilan dan
biaya yang diakui menurut akuntansi komersial namun tidak diakui menurut
fiskal, atau sebaliknya. Beda tetap mengakibatkan laba/rugi menurut akuntansi
(pre tax income) berbeda secara tetap dengan laba kena pajak menurut fiskal
(taxable income).
a. Beda Tetap Penghasilan
- Penerimaan menurut Standar Akuntansi Keuangan (SAK) merupakan
penghasilan tetapi menurut UU PPh bukan merupakan penghasilan.
- Penerimaan yang menurut SAK bukan merupakan penghasilan, tetapi
menurut UU PPh merupakan penghasilan.
- Menurut SAK, penghasilan yang dikenakan pemungutan pajak bersifat
final diperhitungkan dalam laporan penghasilan, sedangkan menurut
UU PPh tidak masuk dalam laporan penghasilan.
b. Beda Tetap Biaya
- Pengeluaran yang menurut SAK merupakan beban tetapi menurut UU
PPh tidak boleh dikurangi dari penghasilan bruto.
- Beda Tetap Murni.
39
- Beda tetap yang disebabkan tidak dipenuhi syarat-syarat khusus.
- Beda tetap yang disebabkan praktek-praktek akuntansi yang tidak
sehat.
Beda tetap biasanya timbul karena peraturan perpajakan mengharuskan hal-hal
berikut dikeluarkan dari perhitungan Penghasilan Kena Pajak:
a. Penghasilan yang telah dikenakan PPh final (Pasal 4 ayat 2 UU PPh).
b. Penghasilan yang bukan objek pajak (Pasal 4 ayat 3 UU PPh).
c. Pengeluaran yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, yaitu
mendapatkan, menagih, memelihara penghasilan serta pengeluaran yang
sifatnya pemakaian penghasilan atau jumlahnya melebihi kewajaran. (Pasal 9
ayat 1 UU PPh).
II.5.3 Koreksi Positif dan Negatif
Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak (WP) yang pembukuannya
menggunakan pendekatan akuntansi komersial, yang bertujuan mempermudah mengisi
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh, dan menyusun laporan keuangan fiskal yang
harus dilampirkan pada saat menyampaikan SPT Tahunan PPh.
Koreksi fiskal dapat berupa koreksi positif dan negatif. Koreksi positif terjadi
apabila pendapatan menurut fiskal bertambah. Koreksi positif biasanya dilakukan akibat
adanya:
1. Beban yang tidak diakui oleh pajak (non-deductible expense).
2. Penyusutan komersial lebih besar dari penyusutan fiskal.
3. Amortisasi komersial lebih besar dari amortisasi fiskal.
40
4. Penyesuaian fiskal positif lainnya.
Koreksi negatif terjadi apabila pendapatan menurut fiskal berkurang. Koreksi
negatif biasanya dilakukan akibat adanya:
1. Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak.
2. Penghasilan yang dikenakan PPh final.
3. Penyusutan komersial lebih kecil daripada penyusutan fiskal.
4. Amortisasi komersial lebih kecil daripada amortisasi fiskal.
5. Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya.
6. Penyesuaian fiskal negatif lainnya.
II.6 Surat Pemberitahuan Tahunan PPh
II.6.1 Pengertian Surat Pemberitahuan (SPT)
Pengertian dari Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak
(WP) digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
II.6.2 Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT)
Sebagai sarana bagi Wajib Pajak PPh untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak terutang yang sebenarnya termasuk
perhitungan atas :
• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau
melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak lain dalam 1 tahun pajak atau
bagian tahun pajak.
41
• Penghasilan yang merupakan obyek pajak dan atau bukan obyek pajak.
• Harta dan kewajiban.
II.6.3 Jenis Surat Pemberitahuan (SPT)
1. SPT Tahunan PPh yaitu surat yang digunakan oleh Wajib Pajak (WP) untuk
memberitahukan pajak yang terutang dalam suatu Tahun Pajak.
2. SPT Masa PPh yaitu surat yang digunakan oleh Wajib Pajak (WP) untuk
memberitahukan pajak yang terutang dalam suatu Masa Pajak atau pada suatu
saat.
Selain itu juga SPT dapat dibedakan atas :
• SPT PPh Pasal 21
• SPT PPh Pasal 23
• SPT PPh Pasal 25
• SPT PPh Pasal 26
II.7 Pengertian Jasa Konstruksi
Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan
konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi
pengawasan konstruksi. Sedangkan pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau
sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang
mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan
masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk
fisik lain.
42
II.7.1 Tarif Jasa Konstruksi
Ketentuan perpajakan mengenai tarif jasa konstruksi pada tahun 2001 mengikuti
ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 140 Tahun 2000. Kemudian pada tanggal 20 Juli
2008 Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2008,
yang merupakan pengganti PP Nomor 140 Tahun 2000. Dibawah ini akan dijelaskan
mengenai tarif jasa konstruksi pada tahun 2001 dan 2008.
II.7.2 Tarif Jasa Konstruksi pada Tahun 2001 (PP Nomor 140 Tahun 2000)
1. Bersifat Tidak Final
Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menerima
penghasilan dari usaha di bidang jasa konstruksi dikenakan:
a. Apabila pengguna jasanya adalah badan pemerintah, subjek pajak badan dalam
negeri, bentuk usaha tetap atau wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, maka dipotong PPh pasal 23 pada saat
pembayaran uang muka dan termijn dengan tarif sebagai berikut:
Besarnya pemotongan PPh pasal 23 tersebut adalah 15% dari perkiraan
penghasilan netto yang terdiri dari:
- Atas WP penyedia jasa perencanaan konstruksi = 26 ⅔ %.
- Atas WP penyedia jasa pelaksanaan konstruksi = 13 ⅓ %.
- Atas WP penyedia jasa pengawasan konstruksi = 26 ⅔ %.
b. Apabila pengguna jasanya adalah selain dari yang disebutkan dalam huruf a,
maka wajib membayar PPh pasal 25 dengan cara perhitungan 1/12 dari PPh yang
43
dihitung berdasarkan tarif umum pasal 17 UU PPh atas penghasilan netto bulan
yang bersangkutan setelah disetahunkan.
2. Bersifat Final
Wajib Pajak dalam negeri dengan kualifikasi usaha kecil berdasarkan sertifikasi yang
dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, dan nilai pengadaanya sampai dengan
Rp.1.000.000.000 maka dikenakan;
a. Apabila pengguna jasanya adalah badan pemerintah, subjek pajak badan dalam
negeri, bentuk usaha tetap atau wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, maka dikenakan tarif sebagai berikut:
- 4% dari jumlah bruto atas jasa perencanaan konstruksi.
- 4% dari jumlah bruto atas jasa pengawasan konstruksi.
- 2% dari jumlah bruto atas jasa pelaksanaan konstruksi.
b. Apabila pengguna jasanya adalah selain dari yang disebutkan dalam huruf a,
maka WP menyetor sendiri PPh yang terhutang pada saat menerima pembayaran
uang muka dan termijn.
II.7.3 Tarif Jasa Konstruksi pada Tahun 2008 (PP Nomor 51 Tahun 2008)
Berdasarkan peraturan terbaru mengenai jasa konstruksi maka atas penghasilan
dari usaha jasa konstruksi dikenakan pajak penghasilan bersifat final dengan tarif sebagai
berikut:
1. 2% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa yang berkualifikasi
usaha kecil.
44
2. 4% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa yang tidak
berkualifikasi usaha.
3. 3% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa yang berkualifikasi
usaha menengah dan besar.
4. 4% untuk perencanaan atau pengawasan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa
yang berkualifikasi usaha.
5. 6% untuk perencanaan atau pengawasan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa
yang tidak berkualifikasi usaha.
Berikut ini dilampirkan bagan mengenai tarif dan dasar pengenaan PPh usaha Jasa
Kontruksi :
Gambar II.7.3 Tarif dan Dasar Pengenaan PPh Usaha Jasa Konstruksi