bab ii landasan teori ii. 1. dasar perpajakan ii. 1. 1...
TRANSCRIPT
7
BAB II
LANDASAN TEORI
II. 1. Dasar Perpajakan
II. 1. 1. Pengertian Pajak
Negara seperti halnya rumah tangga memerlukan sumber-sumber keuangan
untuk membiayai kelangsungan hidupnya yaitu salah satunya adalah bersumber dari
pajak. Pada masa sekarang ini, pajak memberikan kontribusi terbesar pada negara yang
berarti perannya sangat besar bagi kelangsungan pembangunan bangsa ini. Salah satu
Prinsip yang utama dari pajak adalah adanya keadilan pengenaan pajak, keadilan akan
tercapai jika adanya kepastian Undang-Undang Pajak.
Definisi pajak menurut para ahli dibidang perpajakan, yaitu :
• Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH “Pajak adalah iuran rakyat kepada
kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan
dan yang dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
• Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani “Pajak adalah iuran masyarakat kepada
negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat
prestasi kembali”.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak, Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk
Bea Masuk dan Cukai, dan Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur
sebagai berikut :
1. Iuran rakyat kepada negara
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara dan iuran tersebut berupa
uang (bukan barang).
2. Berdasarkan Undang-Undang
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-Undang dan
aturan pelaksanaannya didasarkan Undang-Undang.
3. Tanpa balas jasa (timbal balik atau kontra prestasi) dari negara yang secara
langsung dapat ditunjuk.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-
pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
II. 1. 2. Pengelompokan Pajak
- Menurut golongannya, pajak terdiri dari :
1. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan
pembayarannya tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak
Penghasilan.
2. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai.
- Menurut sifatnya, pajak terdiri dari:
1. Pajak subjektif, yaitu pajak yang dasarnya adalah subjeknya, dalam arti
memfokuskan pada diri Wajib Pajak, dalam arti memperhatikan keadaan diri
Wajib Pajak.
9
2. Pajak Objektif, yaitu pajak yang dasarnya adalah objeknya, dalam arti tidak
memfokuskan pada diri Wajib Pajak.
- Menurut lembaga pemungutnya, pajak terdiri dari:
1. Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan
Bangunan, dan Bea Meterai.
2. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas :
1) Pajak Daerah Tingkat I (Propinsi), contoh: Pajak Kendaraan
Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
2) Pajak Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota), contoh: Pajak Hotel dan
Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan
Jalan.
II. 1. 3. Asas dan Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia
Asas pemungutan pajak :
1. Asas Domisili (tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak
yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan dari dalam maupun
luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.
2. Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
10
3. Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan denagn kebangsaan suatu negara.
Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang
bukan berkebangsaan Indonesiayang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini
berlaku untuk Wajib Pajak luar negeri.
Sistem pemungutan pajak :
1. Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada
pemerintah untuk menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang. Dalam
sistem ini, Wajib Pajak bersifat pasif. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan
Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus.
2. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya jumlah pajak terutang.
Dalam sistem ini, wajib pajak bersifat aktif, mulai dari menghitung,
melaporkan. Menyetor sendiri pajak terutang. Pemerintah (fiscus) bersifat
pasif dan hanya mengawasi.
3. Withholding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk
menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang.
11
II. 2. Pajak Penghasilan
II. 2. 1. Pengertian Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan atas setiap tambahan
penghasilan atau tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh seseorang atau
suatu badan, baik berupa penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, dari
transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta
berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan. Pajak Penghasilan di Indonesia
terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu Pajak Penghasilan Pasal 21 Orang Pribadi dan Pajak
Penghasilan Pasal 25 Badan.
II. 2. 2. Subjek Pajak Penghasilan
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Perpajakan No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan, yang menjadi Subjek Pajak adalah :
1. - Orang pribadi
- Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak.
2. Badan, terdiri dari PT, CV, perseroan lainnya, BUMN, BUMD, persekutuan,
perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis,
lembaga, dana pensiun, dan bentuk badan usaha lain.
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT), yaitu suatu bentuk usaha yang dipergunakan
oleh Subjek Pajak luar negeri (baik orang pribadi atau badan) untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
12
- Subjek Pajak dibedakan menjadi : 1. Subjek Pajak dalam negeri yang terdiri atas:
1) Subjek Pajak orang pribadi, yaitu :
• Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau
• Orang pribadi yang dalam tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
2) Subjek Pajak Badan, yaitu :
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Contoh,
cabang perusahaan, Perseroan Tebatas, CV, dan lain-lain.
3) Subjek Pajak warisan, yaitu :
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.
2. Subjek Pajak luar negeri yang terdiri atas:
1) Subjek Pajak orang pribadi, yaitu :
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang:
• menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia
• dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
13
• Bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan.
2) Subjek Pajak badan, yaitu:
Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang:
• Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia
• Dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
• Bentuk Usaha Tetap badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat
kedudukan manjemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan,
gedung kantor, pabrik, bengkel, dan lain-lain
II. 2. 3. Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan
Menurut Pasal 3 Undang-Undang Perpajakan No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan, yang tidak termasuk Subjek Pajak adalah:
1. Badan perwakilan negara asing.
14
2. Pejabat pewakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara
asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pula
dan bertempat tinggal bersama-sama mereka.
3. Organisasi Internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 574/KMK.04/2000 Pasal 2, dengan
syarat:
1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada
Pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 574/KMK.04/2000
Pasal 2 butir (3), yaitu :
1) bukan Warga Negara Indonesia; dan
2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.
II. 2. 4. Objek Pajak Penghasilan
Menurut Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perpajakan No. 17 Tahun 2000
tentang Pajak Penghasilan, yang menjadi Objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan.
Yang termasuk dalam pengertian penghasilan tersebut adalah:
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh, termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya.
15
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
3. Laba usaha.
4. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta.
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan lain karena jaminan
pengembalian utang.
7. Dividen dalam nama dan bentuk apapun.
8. Royalti.
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
10. Keuntungan karena pembebasan utang.
11. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
12. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
13. Premi asuransi, termasuk premi reasuransi.
14. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan sepanjang iuran tersebut
ditentukan berdasarkan volume atau pekerjaan bebas anggotanya.
15. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak.
II. 2. 5. Tidak Termasuk Objek Pajak Penghasilan
Menurut Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang perpajakan No. 17 Tahun 2000
tentang Pajak Penghasilan, yang tidak termasuk Objek Pajak antara lain:
1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat, serta
16
Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan, badan sosial dan pengusaha
kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan
2. Warisan.
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal.
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib
Pajak atau pemerintah.
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa.
6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh PT sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, yayasan, atau organisasi sejenis, BUMN, atau
BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia.
7. Iuran yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai, dan penghasilan dari modal yang ditanamkan dalam bidang
tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
17
8. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi.
9. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana.
10. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan
usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan usaha tersebut:
1) Merupakan pengusaha kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan., dan
2) Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia.
II. 2. 6. Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak
Penghitungan besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri
dan bentuk usaha teatap dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Menggunakan pembukuan, atau
2. Menggunakan norma penghitungan. Dengan norma penghitungan, besarnya
penghasilan neto adalah sama dengan besarnya (persentase) Norma
Penghitungan Penghasilan Neto dikalikan dengan jumlah peredaran usaha
atau penerimaan bruto pekerjaan bebas setahun.
Perbedaan antara penerapan standar akuntansi keuangan dengan ketentuan
perundang-undangan perpajakan. Perbedaan tersebut terdiri dari beda tetap dan beda
sementara.
- Perbedaan permanen dapat berbentuk:
18
1. Penghasilan tertentu, baik sebagian maupun seluruhnya dikecuali dari
pengenaan pajak penghasilan.
2. Kelompok Wajib Pajak tertentu, baik sebagian maupun seluruh dibebaskan
dari pembayaran pajak
3. Pengurangan khusus yang diberikan kepada Wajib Pajak atau pengurangan
secara selektif yang diberlakukan terhadap Wajib Pajak tertentu.
- Dengan demikian akan terjadi perbedaan sebagai berikut:
1. Bagi akuntansi keuangan merupakan penghasilan, tetapi bagi akuntansi pajak
penghasilan tersebut bukan merupakan penghasilan atau merupakan
penghasilan yang ditangguhkan pengenaan pajaknya
2. Bagi akuntansi keuangan sudah merupakan pengeluaran, tetapi bagi
akuntansi pajak pengeluaran tersebut tidak dapat dikurangkan sebagai biaya.
3. Bagi akuntansi keuangan tidak/belum merupakan biaya, tetapi bagi akuntansi
pajak pengeluaran tersebut dapat dikurangkan sebagai biaya.
4. Ketentuan perhitungan penghasilan dan biaya yang diatur secara khusus,
terutama transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa.
Perbedaan waktu disebabkan karena perbedaan waktu pengakuan penghasilan,
biaya, dan beban yang bersifat sementara yang mengakibatkan adanya penundaan atau
antisipasi penghasilan atau beban. Perbedaan waktu pengakuan ini secara otomatis akan
menjadi nihil dengan sendirinya pada saat lampaunya waktu tersebut.
Untuk Wajib Pajak badan, besarnya Penghasilan Kena Pajak sama dengan
penghasilan neto dikurangi biaya-biaya yang diperkenankan oleh Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
19
Menurut ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan, biaya-biaya dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu:
• Biaya-biaya dapat dikurangkan dari penghasilan bruto menurut Pasal 6
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah:
1. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,
termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan
atau jasa (upah, gaji, honorarium, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang), bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya
pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, pajak (kecuali
pajak penghasilan), dan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.
2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud, dan
amortisasi atas pengeluaran untuk hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.
3. Iuran kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan.
4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki atau
digunakan dalam perusahaanatau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.
5. Kerugian karena selisih kurs mata uang asing.
6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di
Indonesia.
7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.
8. Kompensasi kerugian tahun-tahun sebelumnya dalam 5 tahun.
20
9. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan piutang tak tertagih
(hanya untuk usaha bank, leasing, atau pertambangan) yang ketentuan
dan syarat-syaratnya akan ditentukan oleh Menteri Keuangan.
10. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, yang syarat-
syaratnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
• Biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto menurut
Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah:
1. Pembagian laba dengan nama dan bentuk apapun, termasuk dividen.
2. Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu, atau anggota.
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan piutang tak tertagih.
Kententuan dan syarat-syaratnya akan ditentukan oleh Menteri
Keuangan.
4. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang
saham atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
5. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan.
6. Pajak Penghasilan.
7. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
8. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi
pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
21
II. 2. 7. Tarif Pajak Penghasilan
Berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan, besarnya tarif PPh bagi Wajib Pajak orang pribadi, adalah sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan Bruto Tarif Pajak
- 0 s/d Rp. 25.000.000 5%
- Diatas Rp. 25.000.000 s/d Rp. 50.000.000 10%
- Di atas Rp. 50.000.000 s/d Rp. 100.000.000 15%
- Diatas Rp. 100.000.000 s/d Rp. 200.000.000 25%
- Diatas Rp. 200.000.000 35%
Sesuai dengan pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan, besarnya tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan, adalah sebagai
berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
- Sampai dengan Rp 50.000.000 10%
- Di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 100.000.000 15%
- Diatas Rp 100.000.000 30%
II. 3. Sengketa Pajak
II. 3. 1 Pengertian Sengketa Pajak
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak, Sengkata pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara
Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan Pejabat yang berwenang sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan
22
Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas
pelaksanaan penagihan
Dalam Pasal 25 Undang-Undang KUP menyatakan, bahwa sengketa terjadi
apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak dan pemotongan atau
pemungutan pajak tidak sebagai mana mestinya.
II. 3. 2 Unsur-Unsur Dalam Sengketa Perpajakan
Sengketa perpajakan terjadi karena dalam suatu keputusan atau dari hasil
pemeriksaan mengandung unsur-unsur yang menyebabkannya, seperti:
1. Adanya suatu keputusan dalam bidang perpajakan yang dapat disengketakan
dan bersifat administratif, tetapi mempunyai kekhususan dan karakteristik
tersendiri di bidang perpajakan.
2. terdapat 2 (dua) pihak yang bersengketa, yaitu Wajib Pajak atau Penanggung
Pajak versus pejabat perpajakan yang mempunyai kewenangan memberikan
keputusan di bidang pajak.
3. Keputusan tersebut diatas dapat diajukan keberatan, yang apabila menurut
Wajib Pajak merasa tidak adil dapat atau diberi kesempatan untuk
mengajukan banding, atau gugatan.
II. 3. 3 Ketegori Sengketa Pajak
Untuk Mengajukan sengketa perpajakan, pokok sengketa yang dikemukakan
harus bersifat formal yuridis atau material. Dengan demikian sengketa pajak dapat
dikategorikan atas:
23
1. Sengketa karena kesalahan atau pelanggaran formal, yaitu terjadi jika,
perundang-undangan atau peraturan pelaksanaan mengenai perpajakan tidak
dipatuhi.
2. Sengketa yang bersifat yuridis, yaitu mengenai kebenaran penerapan undang-
undang.
3. Sengketa karena kesalahan atau pelanggaran material, kemungkinanlebih
disebabkan kesalahan bersifat kuantitatif misalnya dalam perhitungan
pajaknya.
II. 3. 4 Sengketa Pajak Dalam Pemeriksaan
Dalam pelaksanaan pemeriksaan sengketa pajak terjadi karena:
1. Menurut fiskus apa yang diberitahukan oleh Wajib Pajak tidak sesuai atau
menyalahi Undang- Undang.
2. Perhitungannya tidak sesuai dengan norma yang diajukan permohon atau tang
telah ditetapkan oleh pejabat pajak.
3. Bersebrangan dengan ketentuan yang telah diatur dalam akuntansi
perpajakan.
4. Pemberitahuan mengenai jenis dan jumlah barang tidak sesuai perhitungan
kurs konversi (Nilai Dasar Perhitungan Bea Masuk)
5. Pemberitahuan nilai pabean/nilai transaksi yang tidak dapat diyakini
kebenarannya tanpa penjelasan.
II. 3. 5 Pihak Yang Dapat Mengajukan Sengketa
Undang-Undang perpajakan mengatur mengenai siapa yang dapat mengajukan
sengketa dalam arti mempunyai hak untuk mengajukan perkara sengketa perpajakan dan
24
kepada siapa hal itu disampaikan. Subjek pajak yang dapat mengajukan sengketa terdiri
dari:
1. Wajib Pajak yang telah mempunyai identitas pajak berupa NPWP.
2. Importir, eksportir, orang pribadi, pengusaha sarana pengangkut, pengusaha
tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat dan
lainnya, dibidang pabean.
3. Pengusaha pabrik; Importir, pengusaha tempat penjualan eceran.
Dalam hal tertentu sengketa pajak dapat diajukan oleh pihak ketiga yang
mendapat kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk mewakili orang/badan hukum dalam
pengajuan dan penyelesaian sengketa/keberatan atas penetapan pajak.
II. 4 Sengketa Pajak Dalam Proses Keberatan
II. 4. 1 Pengertian Keberatan
Dalam perpajakan, keberatan adalah suatu upaya penyelesaian sengketa
perpajakan atau ketidaksetujuan terhadap penerbitan keputusan tertulis yang dibuat oleh
pejabat berwenang melalui suatu proses permohonan tertulis yang menurut anggapan
Wajib Pajak/Pengguna Jasa Kepabeanan/Pabrikan Barang Kena Cukai sebagai masalah
yang masih memerlukan klarifikasi lebih lanjut.
Sebelum pengajuan keberatan langkah pertama yang dapat dilakukan Wajib
pajak adalah menggunakan haknya untuk meminta penjelasan tentang keputusan dan
Direktorat Jendral Pajak berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut,seperti yang
diatur dalam Pasal 25 ayat (6) Undang-Undang KUP, yang menyebutkan: “ Apabila
diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jendral Pajak
25
wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan
pajak, penghitungan rugi atau pemotongan atau pemungutan pajak”
II. 4. 2 Masalah Yang Dapat Diajukan Keberatan
Pasal 25 Undang-Undang KUP, menyatakan apabila Wajib Pajak berpendapat
bahwa jumlah rugi, jumlah pajak dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak
sebagaimana mestinya. Keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari
ketetapan pajak (formal maupun materil), yaitu jumlah rugi adalah hal-hal yang
berkaitan dengan hasil dari kegiatan pemeriksaan, sebagai tindak lanjut dari laporan
yang dibuat oleh Wajib Pajak dalam surat pemberitahuan atau pemenuhan ketentuan
formal.
Pengajuan keberatan yang terjadi karena ada alasan penolakan atas keputusan
yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, penolakan yang terjadi berkaitan
dengan:
1. Surat Tagihan Pajak yang menurut Wajib Pajak keputusan pengenaan
pajaknya tersebut perlu atau harus dibatalkan .
2. Retur Penjualan dengan dasar pengenaan pajaknya yang tidak disetujui oleh
Wajib Pajak dan harus disertai bukti dan hasil penghitungan yang dapat
dipertanggung jawabkan.
3. Koreksi positif atas peredaran usaha pos retur (penjualan)
4. Biaya-biaya yang menyangkut masalah internal perusahaan wajib Pajak.
5. Koreksi HPP
6. Penghitungan atas pajak bangunan yang tidak memenuhi persyaratan
pemeriksaan atau metodologi yg jelas.
26
II. 4. 3 Tata Cara Penyelesaian Keberatan
1. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktorat Jendral
Pajak atas suatu:
1) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
2) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
3) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
4) Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
5) Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan perundang-undangan perpajakan.
2. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
mengemukakan jumlah pajak terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau
dipungut atau jumlah rugi menurut penghtungan Wajib Pajak dengan disertai
alasan-alasan jelas.
3. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
poin 1 dan 2 tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak
dipeertimbangkan.
4. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (bulan) sejak tanggal surat,
tanggal pemotongan atau pemungutan, kecuali Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka wakti itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di
luar kekuasaannya.
5. Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat
Jenderal Pajak atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat
menjadi bukti penerimaan Surat Keberatan.
27
6. Direktorat jendral Pajak dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan.
Keputusan Direktorat Jenderal Pajak dapat berupa:
1) Mengabulkan seluruhnya.
2) Mengabulkan sebagian.
3) Menolak.
4) Menambah besarnya jumlah pajak terutang.
7. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah lewat dan Direktorat
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan
dianggap dikabulkan.
8. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak.
9. Apabila pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan
pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2%
sebulan (maksimal 24 bulan) dihitung sejak tanggal pembayaran yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya
Keputusan Keberatan.
II. 5 Sengketa Pajak Dalam Proses Banding
II. 5.1 Pengertian Banding
Sengketa pajak dalam proses banding atau sengketa banding adalah sengketa
yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak dengan Fiskus, mengenai
keputusan keberatan yang tidak disetujui oleh Wajib Pajak. Jadi, sebagaimana halnya
keberatan, Wajib pajak atau Penanggung Pajaklah yang harus mengajukan banding.
28
Sengketa banding bisa menyangkut masalah formal maupun materil, yaitu:
1. Sengketa Formal
Timbul apabila Wajib Pajak atau Fiskus atau keduanya tidak mematuhi prosedur
dan tata cara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Perpajakan, khususnya
Undang-Undang KUP dan Undang-Undang Pengadilan Pajak.
2. Sengketa Material
Sengketa Material terjadi apabila terdapat perbedaan jumlah pajak yang terutang
atau terdapat perbedaan jumlah pajak yang terutang atau terdapat pebedaan jumlah pajak
yang lebih bayar (dalam kasus restitusi) menurut perhitungan Fiskus yang tercantum
pada ketetapan pajak dengan jumlah menurut perhitungan Wajib Pajak. Masalah tersebut
timbul karena perbedaan Dasar Hukum yang seharusnya digunakan perbedaan persepsi
atas ketentuan peraturan perpajakannya.
II. 5. 2 Ketentuan Formal Pengajuan Banding
Ketentuan Formal pelaksanaan banding diatur dalam ketentuan Pasal 27 KUP jo.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, adalah sebagai
berikut:
1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Badan
Peradilan Pajak terhadap keputusan keberatan yang ditetapkan oleh
Direktorat Jenderal Pajak.
2. Putusan Badan Peradilan Pajak bukan merupakan keputusan tata usaha
Negara, yang artinya Wajib Pajak tidak diberi peluang untuk mengadukan
putusan banding ke peradilan tata usaha negara.
29
3. Pengajuan pemohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak
dan pelaksanaan penagihan pajak.
4. Syarat Formal Pengajuan Banding
Syarat pengajuan banding menurut Pasal 27 Undang-Undang KUP dan
diperjelas lagi dalam Hukum Acara Banding Pasal 35 s/d Pasal 39 Undang-
Undang Pengadilan Pajak adalah, sebagai berikut:
1) Banding Kepada Pengadilan Pajak diajukan secara tertulis dengan
Surat Banding dan Dalam Bahasa Indonesia.
2) Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang
pengurus, atau kuasa hukumnya.
3) Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
diterima keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan.
4) Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.
5) Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan
dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
6) Surat banding dilampiri salinan surat keputusan yang dibanding.
7) Dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang
terutang, banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang
dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen).
8) Pemohon banding dapat melengkapi Surat Bandingnya untuk
memenuhi ketentuan yang berlaku, sepanjang masih dalam jangka
waktu yang ditetapkan.
30
5. Pencabutan banding
Wajib Pajak sudah mengajukan Surat Banding ke Pengadilan Pajak dapat
mencabut bandingnya dengan mengajukan surat pernyataan pencabutan
kepada Pengadilan Pajak.
II. 5. 3 Proses Pelaksanaan Banding
Proses dan jangka waktu pelaksanaan banding Pengadilan Pajak, sebagai berikut:
Gambar 2.1
31
II. 5. 4 Persidangan Banding
Persidangan banding dapat dilakukan melalui serangkaian proses pemeriksaan
dengan acara biasa (PAB) sesuai dengan Pasal 49 s/d 64 atau melalui pemeriksaan
dengan acara cepat (PAC) sesuai dengan Pasal 65 s/d 68 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
1. Pemeriksaan Dengan Acara Biasa (PAB)
(PAB) dilakukan oleh majelis yang terdiri dari 1 (satu) orang hakim
ketua dan 2 (dua) orang hakim anggota, disertai panitera yang tugasnya
membuat Berita Acara Sidang. Prosedur (PAB) menurut UU Pengadilan
Pajak Pasal 50 s/d 84, sebagai berikut:
1) Pembukaan Sidang dan Pemeriksaan Kelengkapan Banding
2) Independensi Hakim dan Panitera.
• Tidak terikat hubungan sedarah atau semenda smpai derajat
ketiga, atau hubungan suami istri dengan hakim atau panitera
meskipun telah bercerai
• Tidak terikat hubungan sedarah atau semenda smpai derajat
ketiga, atau hubungan suami istri dengan pemohon banding atau
kuasanya meskipun telah bercerai
• Berkepentingan langsung atau tidak langsung atas satu sengketa
yang ditanganinya.
3) Keterangan Para Pihak dan Saksi
32
4) Pihak Yang Tidak Boleh Didengar Keterangannya Sebagai Saksi:
• Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke
atas ke bawah sampai derajat ketiga dari salah satu pihak yang
bersengketa.
• Istri atau suami pemohon banding walaupun telah bercerai
• Anak yang belum berusia 17 tahun
• Orang sakit ingatan
5) Kerahasiaan data
Seseorang karena pekerjaannya harus merahasiakan sesuatu
didalam sidang ditiadakan.
6) Pembuktian
• Akta autentik, yang menurut Undang-Undang dibuat atau
dihadapan seorang pejabat umum membuat surat itu dengan
maksud sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum
didalamnya
• Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan
ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan
maksud digunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum
didalamnya.
• Surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh
pejabat berwenang.
• Surat-surat atau tulisan lain yang ada hubungannya dengan
banding.
33
• Keterangan ahli yagng dapat dibuktikan dengan lisan maupun
tertulis yang dikuatkan dengan sumpah.
• Keterangan saksi
• Pengakuan para pihak
• Pengetahuan hakim
7) Penyelesaian Sidang
Apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pada 1 (satu) hari
persidangan maka pemeriksaan dapat dilanjutkan pada hari persidangan
berikutnya yang ditetapkan berdasarkan Pasal 64 ayat (1) Undang-
Undang Pengadilan Pajak. Dan dapat dilakukan apabila terbanding tidak
datang.
8) Putusan Pengadilan pajak (Acara Biasa)
Putusan Pengadilan Pajak sesuai dengan Pasal 80 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yaitu:
• Menolak
• Mengabulkan sebagian atau seluruhnya
• Menambah pajak yang harus dibayar
• Tidak dapat diterima
• Membetulkan kesalahan tulis atau kesalahan hitung
• Membatalkan
9) Hal-hal Yang Harus Dimuat Dalam Putusan Pengadilan Pajak
• Kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
34
• Nama, tempat tinggal atau kediaman, dan identitas lainnya dari
pemohon dan penggugat.
• Nama jabatan dan alamat terbanding atau tergugat.
• Hari, tanggal diterimanya Banding atau Gugatan.
• Ringkasan Banding atau Gugatan, ringkasan Surat Uraian
Banding atau Surat Tanggapan, Surat bantahan.
• Pertimbangan dan penilaian bukti.
• Pokok sengketa.
• Alasan hukum yang menjadi dasar putusan.
• Amar putusan tentang sengketa.
• Hari, tanggal, nama hakim yang memutus, nama panitera,
keterangan hadir atau tidaknya para pihak.
2. Pemeriksaan Dengan Acara Cepat (PAC)
Pemeriksaan acara cepat dilakukan oleh Hakim Tunggal atau Majelis.
Ketentuan acara cepat:
1. Sengketa yang diputus melalui pemeriksaan dengan acara cepat
1) Sengketa pajak tertentu.
• Banding Kepada Pengadilan Pajak diajukan secara tertulis
dengan Surat Banding dan Dalam Bahasa Indonesia.
• Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya,
seorang pengurus, atau kuasa hukumnya.
35
• Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak
tanggal diterima keputusan yang dibanding, kecuali diatur
lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
• Dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak
yang terutang, banding hanya dapat diajukan apabila jumlah
yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima
puluh persen).
2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 84 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Pajak adalah kekeliruan
Putusan pengadilan Pajak yang harus dibetulkan atas kesalahan tulis dan
atau kesalahan hitung
3) Sengketa yang berdasarkan petimbangan hokum bukan merupakan
wewenang Pengadilan Pajak, artinya Pengadilan Pajak hanya memeriksa
dan memutus sengketa atas Keputusan Keberatan, kecuali ditentukan lain
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Putusan Sengketa Pajak Atas Pemeriksaan Dengan Acara Cepat (PAC)
1) Putusan (PAC) “tidak dapat diterima”, diambil dalam jangka waktu 30
hari sejak batas waktu pengajuan banding dilampaui.
2) Putusan (PAC) atas kesalahan hitung, kesalahan tulis dalam putusan
pengadilan pajak, yang hanya berupa pembetulan diambil dalam jangka
waktu 30 hari sejak kekeliruan dimaksud diketahui atau salah satu pihak
terima.